Pemikiran Perancis yang Arsitektonik

Pemikiran Perancis yang Arsitektonik

Ada banyak cara untuk mengkategorikan pemikiran. Cara yang paling sederhana adalah dengan label kiri, kanan, dan tengah. Namun, kategorisasi itu terlalu sederhana, tak lagi bisa mewakili kompleksitas dunia pemikiran yang terus berkembang. Johan Galtung, sebagai upaya untuk mencandra kompleksitas pemikiran dalam teori pembangunan, ia menyusun taksonomi menggunakan identitas warna, yaitu aliran biru, aliran merah, aliran hijau, aliran pink (campuran dari biru, merah, dan hijau), aliran kuning (campuran biru dan merah), serta aliran campuran (dari hijau, pink, dan kuning). 128 Dasar yang digunakan untuk menyusun taksonomi berdasarkan warna itu adalah matriks budaya, faktor yang sebenarnya juga telah diperhatikan oleh pemikir ekonomi seperti Adam Smith, namun kemudian ditinggalkan oleh para pemikir sesudahnya yang lebih suka menggunakan berbagai pendekatan abstrak-kuantitatif. Untuk memperjelas taksonomi yang dibuat Galtung, sebut saja misalnya ekonomi Smithian, sebuah istilah yang digunakan Galtung untuk menyebut aliran ekonomi mainstream. Matriks budaya dari ekonomi Smithian adalah individualisme-vertikalitas- monetisasi-ekspansi. Kapitalisme, demikian menurut Galtung, sebenarnya

41 hanya berhubungan dengan satu aspek saja dari matriks tadi, yaitu hanya

terkait aspek moneter. Sehingga, kapitalisme tidak tepat dijadikan label representasi, karena kerangka yang lebih besarnya sebenarnya adalah ekonomi Smithian tadi. Dalam taksonomi warna, ekonomi Smithian oleh Galtung disimbolkan dengan warna biru.

Tapi kategorisasi itu kaitannya dengan teori, atau pemikiran. Lantas, bagaimana seandainya kita ingin mengkategorisasikan juga sang pemikirnya? Jelasnya, setelah semua uraian panjang lebar mengenai pemikiran Dawam terdahulu, bagaimana pada akhirnya kita bisa melihat Dawam?

Sepertinya menarik untuk memperhatikan pertimbangan yang digunakan oleh Kees Bertens ketika ia menyusun buku Filsafat Barat Kontemporer (2006), terutama dalam cara bagaimana ia menempatkan atau mengurutkan pembahasan mengenai filsafat Inggris, Jerman dan Perancis.

127 Selain buku-buku yang telah disebut dalam catatan kaki sebelumnya, identitas lengkap buku- buku yang menandai penggunaan pendekatan sejarah oleh Dawam lainnya adalah M. Dawam

Rahardjo, Nalar Ekonomi Politik Indonesia (Bogor: IPB Press, 2011); M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Neoklasik dan Sosialisme Religius: Pragmatisme Pemikiran Ekonomi Politik Sjafruddin Prawiranegara (Bandung: Mizan, 2011); dan M. Dawam Rahardjo, dkk., Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa (Jakarta: LP3ES, 1995).

128 Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization (London: Sage Publications, 1996), lihat bagian tiga, bab dua.

Dalam bukunya, yang terdiri dari dua jilid itu, Bertens menempatkan pembahasan mengenai filsafat Inggris di bagian awal, disusul kemudian oleh filsafat Jerman, dan terakhir adalah filsafat Perancis. Pada bab pendahuluan ia menjelaskan bahwa pengurutan sebagaimana yang dipilihnya itu berangkat dari pembacaan bahwa tradisi filsafat dan bahasa bersifat saling kait-mengait. Dari sisi bahasa, pada abad ke-18 bahasa Perancis memang merupakan bahasa filosofis dan bahasa ini berada pada masa keemasannya. Bahkan di Jerman, bahasa Perancis pada masa itu digunakan sebagai bahasa utama kaum terpelajar. Namun, sejak pertengahan abad ke-18 bahasa Jerman berkembang pesat sebagai bahasa filosofis, dan pada abad ke-19 malah menjadi bahasa filosofis yang terpenting di Eropa. Dominasi Amerika dalam percaturan internasional, terutama sejak Perang Dunia II, kemudian membuat bahasa Inggris menjadi bahasa paling penting pada abad ke-20. 129

Jika dilihat dari corak pemikirannya, filsafat Inggris sangat menaruh minat pada fakta-fakta, tidak menyukai pendekatan spekulatif, dan tentunya anti-metafisika. Model penguraiannya bersifat analisis, bukan sintesis. Pendek kata, corak filsafat Inggris yang khas adalah empirismenya, dimana mereka gemar menautkan filsafat dengan ilmu pengetahuan. Sementara itu, filsafat Jerman, yang relatif lebih muda jika dibandingkan dengan filsafat Inggris dan Perancis, kemudaannya itu tak menghalanginya untuk memiliki corak khas. Filsafat Jerman adalah ladang subur bagi

42 pemikiran spekulatif, yang oleh karenanya memiliki orientasi kuat pada

metafisika. Jika filsafat Inggris bersifat analisis, maka filsafat Jerman bersifat sintesis, sehingga cenderung pada metode dialektis. Produk otentik dari filsafat Jerman adalah idealisme. Di Jerman, setiap pemikiran dituntut untuk berangkat dari sebuah penelitian yang mendalam dan dasariah, dimana di luar itu pemikiran akan dianggap dangkal dan rendah. Tidak mengherankan karena adanya tuntutan itu maka karya-karya pemikiran yang lahir di Jerman hadir dalam bentuk buku-buku tebal yang sulit untuk dibaca. Adapun filsafat Perancis, yang tradisinya sudah terbentuk sejak abad ke-16, ditandai oleh kecermatan dan kejelasannya, dimana para filsuf sangat berambisi untuk mencapai sofistikasi penjelasan sebagaimana yang diuraikan oleh ilmu pengetahuan. Identitas yang melekat pada filsafat Perancis adalah rasionalisme dan spiritualisme. 130 Kekuatan filsafat Perancis kadang tidak terletak pada otentisitas gagasannya, dimana sumber gagasan itu kadang mereka dapatkan dari filsafat Jerman, melainkan pada kecermatannya dalam membahas segala konsekuensi yang mungkin dari gagasan-gagasan yang ada sehingga akhirnya berkembang menjadi pembahasan mendalam yang tersendiri. Itu pula yang membuat Bertens menempatkan pembahasan atas filsafat Perancis di belakang filsafat Jerman.

129 Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 10. 130 Ibid., hal. 14-15.

Seandainya corak-corak filsafat atas dasar bahasa dan nasionalitas itu bisa dipinjam sebagai “model” untuk menimbang sosok Dawam, maka ada banyak ciri dari pemikiran Dawam yang sebenarnya tersebar pada tiga model tadi. Namun, karena ciri dialektis dalam karya-karyanya, yang membuatnya selalu bisa menyusun sintesis atas teori-teori yang dibahasnya, ia tidak mungkin dianggap sama dengan “model Inggris”. Ciri dialektis ini, yang merupakan konsekuensi logis dari pendekatan historis-struktural yang dipergunakannya ketika membahas berbagai hal, telah membuatnya bersifat terbuka terhadap berbagai teori. Oleh Didin Damanhuri, keterbukaan terhadap berbagai teori itu membuat pemikiran Dawam disebutnya sebagai bersifat eklektik. 131 Penilaian itu tentunya kurang tepat, karena ciri eklektik itu sebenarnya hanya merupakan konsekuensi dari pendekatan historis-struktural yang digunakan Dawam, jadi bukan merupakan pendekatan itu sendiri. Atau, itu adalah konsekuensi dari metode, tapi bukan metode itu sendiri.

Sementara itu, untuk bisa disebut sebagai satu model dengan corak pemikiran Jerman, kita sulit menemukan keberanian berpikir spekulatif pada karya-karya Dawam. Meskipun secara teknis ia menuliskan pemikirannya dalam “model Jerman”, yaitu tulisan-tulisan tebal dan mendalam, yang menunjukkan keseriusannya dalam membahas setiap persoalan, minimnya unsur spekulatif dan intensi terhadap metafisika membuat pemikiran Dawam tidak bisa dimasukan sebagai semodel dengan

43 corak pemikiran Jerman.

Barangkali, sekali lagi ini hanya sekadar usaha untuk menyederhanakan sekaligus meringkus prisma pemikiran Dawam yang luas itu, corak pemikiran Dawam sepertinya lebih bersesuaian dengan “model Perancis”. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan untuk mendukung pendapat ini. Pertama, dalam posisinya sebagai seorang pembahas, jangkauan bahasan yang diberikan oleh Dawam atas gagasan-gagasan yang telah lebih dulu diutarakan oleh koleganya, misalnya, seringkali jauh lebih kompleks dan lengkap daripada gagasan awalnya, termasuk mencakup elaborasi dari berbagai konsekuensi logis yang dalam gagasan awal tidak diperhatikan. Dalam kaitannya dengan gagasan Ekonomi Pancasila, misalnya, sulit untuk ditampik jika hingga hari ini gagasan itu lebih lekat pada figur Mubyarto. Namun, kontribusi Dawam terhadap gagasan Ekonomi Pancasila, terutama melalui pendekatan filsafat yang disumbangkannya, dan berbagai komparasi yang dilakukannya untuk melegitimasi bahwa pencarian teori dan paradigma baru pembangunan bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga dilakukan di Tanzania, Srilanka, India, dan tentu saja

131 Didin S. Damanhuri, “Ekonomi Politik M. Dawam Rahardjo: Analisis Ekonomi berbasis Kondisi Historis Sosial, Politik, dan Budaya Bangsa Indonesia”, tulisan kata pengantar bagi buku M.

Dawam Rahardjo, Nalar Ekonomi Politik Indonesia, op. cit., hal. vi.

Amerika Latin, 132 membuat sumbangan Dawam tak menjadi hanya catatan kaki, melainkan sebuah kontribusi besar tersendiri. Seperti halnya corak

filsafat Perancis yang kadang meneruskan gagasan-gagasan yang telah dilahirkan filsafat Jerman, namun dengan pembahasan yang jauh lebih cermat dan problematisasi yang lebih rumit dan lebih matang, maka demikian juga sejumlah pemikiran Dawam.

Kedua, sebagaimana halnya di Perancis dimana filsafat sangat memasyarakat dan terlibat dalam urusan-urusan publik, maka pemikiran Dawam juga terlibat dalam berbagai persoalan keseharian. Dawam bukan hanya memiliki karangan-karangan panjang yang berlarat-larat, namun juga esai-esai atau kolom-kolom pendek yang jumlahnya tak sedikit, baik yang dipublikasikan di surat kabar harian, mingguan, maupun majalah. Karangan-karangan pendek ini, yang sayangnya hingga kini belum tersentuh dan dibukukan, menunjukkan keterlibatannya yang intens terhadap masalah-masalah keseharian. Dan sebagai seorang pemikir, meski menulis kolom pendek, karangan Dawam selalu penuh rujukan. Tulisan- tulisan pendeknya kadang merupakan terusan dari karangan-karangan panjangnya, atau juga sebaliknya, karangan-karangan panjangnya merupakan terusan dari beberapa persoalan yang pada mulanya diutarakan dalam bentuk kolom.

Dan ketiga, juga sebagaimana halnya di Perancis dimana filsafat bertaut dengan kesusastraan, yang ditandai oleh banyaknya filosof Perancis yang

44 diakui sebagai sastrawan besar, seperti Bergson, Camus, dan Sartre, maka

pertautan itu juga hadir pada diri Dawam. Sejak masih mahasiswa Dawam bukan hanya telah terbiasa menulis kolom, melainkan juga telah banyak menulis cerpen dan menerjemahkan sejumlah cerpen berbahasa asing ke dalam bahasa Indonesia. Jadi, selain memiliki alat ekspresi berupa kolom atau karangan ilmiah, gagasan-gagasan Dawam juga kadang disampaikan melalui sastra, dalam hal ini cerpen. Kalau membaca sejumlah cerpennya yang lahir belakangan, sastra secara sengaja memang digunakan oleh Dawam sebagai media untuk menyampaikan gagasan, terutama gagasan keagamaannya. 133

Paling tidak, tiga alasan itu cukup untuk menggambarkan bahwa Dawam adalah pemikir “model Perancis”. Namun, karena secara teknis ia juga memiliki ketahanan yang mengagumkan untuk menuliskan gagasannya secara panjang lebar, yang selintas akan mengingatkan kita pada pemikir “model Jerman”, bolehlah kita menyebutnya sebagai “pemikir model Perancis yang arsitektonik”. Gagasan-gagasan tebal yang ditulis orang Jerman, karena tendensi kelengkapannya, membuatnya bersifat arsitektonik. Karangan-karangan Dawam memiliki juga ciri itu. Tak heran,

132 Lihat, misalnya, M. Dawam Rahardjo, “Pengalaman Pembangunan Dasawarsa 1970-an: Menuju Strategi Alternatif”, dimuat di Prisma, No. 11/IX, November 1980, hal. 54-55.

133 Lihat, misalnya, M. Dawam Rahardjo, Anjing yang Masuk Surga (Yogyakarta: Jalasutra, 2008).

salah satu makalah terbarunya mengenai Ekonomi Islam bertajuk “Konsep Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam”. Makalah itu bukan sekadar mengambil judul “arsitektur”, karena di dalamnya Dawam memang benar-benar mengemukakan gagasannya menganai bagaimana sebenarnya bangun gagasan Ekonomi Islam, lengkap dengan sejumlah modelnya. 134

Akhir kata, karena buku yang kini berada di tangan pembaca ini diterbitkan dalam rangka untuk memperingati hari ulang tahun penulisnya yang ke-70, ada baiknya pengantar ini ditutup dengan sebuah ucapan: Selamat ulang tahun, Pak Dawam! Teruslah menulis, seperti mentari yang selalu menyambangi kami tiap pagi, agar arsitektur pemikiranmu semakin utuh.

Yogyakarta, 1 April 2012

Tarli Nugroho

45

134 M. Dawam Rahardjo, “Konsep Arsitektur Ilmu Ekonomi Islam dan Pengembangannya pada Perguruan Tinggi di Indonesia”, makalah disampaikan pada Workshop Nasional Arsitektur Ilmu

Ekonomi Islam, yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah, 28 Februari 2012.