Pandangan Historis Struktural M Dawam Ra (1)

PANDANGAN

HISTORIS-STRUKTURAL KERAKYATAN M. DAWAM RAHARDJO

Sebuah Pengamatan

Oleh Tarli Nugroho *

Kamis, 28 Oktober 2010, gerimis masih berderai, membuat udara dingin tak segera beranjak dari Kota Gudeg pagi itu. Namun, di sebuah ruangan di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, seorang lelaki tua berambut perak nampaknya mampu menghangatkan suasana. Di hadapan puluhan mahasiswa, peserta dan sejumlah dosen, dengan suara jernih ia menguraikan pemikirannya mengenai agenda kajian ilmu-ilmu sosial profetik, dengan terlebih dahulu memberi latar mengenai perkembangan pemikiran keislaman di Indonesia. 1 Selama lebih dari dua jam ia berbicara dan meladeni diskusi. Seperti biasa, makalah yang disampaikannya lebih dari sepuluh halaman, dan presentasinya hampir tanpa lelucon.

Sumber kehangatan perbincangan pagi itu adalah dikarenakan lelaki itu memulai makalahnya dari lontaran pemikiran seorang muda yang kebetulan baru saja lulus dari UIN Sunan Kalijaga. Ada seorang guru besar senior terkemuka berceramah, dan titik pangkal ceramahnya bertolak dari lontaran seorang sarjana muda yang baru saja lulus, agaknya hal itu sangat mengesankan para mahasiswa, dosen, dan peserta lain yang hadir. Bagaimana bisa seorang guru besar senior menulis makalah dari lontaran seorang muda, dan namanya perlu disebut berkali-kali pada makalahnya?! Bagi mereka yang telah mengenal lelaki tua itu, mungkin akan berujar: “Begitulah Dawam!”

* Penulis pengantar ini adalah Anggota Dewan Pengurus Mubyarto Institute, Yogyakarta; peneliti di Pusat Studi Pancasila (PSP) UGM; dan dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Proklamasi 45

Yogyakarta. Sejak akhir 2010 diminta menjadi Asisten Rektor Universitas Proklamasi 45, yang dijabat oleh Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo. Menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM, kini masih menyelesaikan studinya di Program Pascasarjana Ekonomi Pertanian UGM. Telah menulis sejumlah buku mengenai ekonomi-politik dan ekonomi perdesaan.

1 M. Dawam Rahardjo, “Kemiskinan Pemikiran dalam Kajian Islam di Indonesia: Menuju Ilmu-ilmu Sosial Profetik”. Makalah disampaikan pada Kuliah Umum di Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu

Sosial dan Humaniora (Fishum) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis, 28 Oktober 2010. Makalah tidak diterbitkan.

Demikianlah. Ya, lelaki tua berambut perak itu adalah Mohammad Dawam Rahardjo. Di kalangan rekan-rekannya, ia biasa dipanggil Mas Dawam. Panggilan “Mas” ini bukan hanya monopoli mereka yang hampir seumuran dengannya, melainkan juga dipakai oleh mereka yang jauh lebih muda darinya, dan dia tidak pernah menunjukkan ekspresi keberatan. Penerimaannya atas panggilan “Mas” oleh mereka yang jauh lebih muda, bahkan jauh lebih muda dari anaknya, barangkali merupakan cermin dari sikap egaliter yang dimilikinya. Bagi kita yang hidup di tengah masyarakat dengan ciri feodal sangat kental, dan ciri semacam itu juga masuk menjadi

bagian dari kehidupan dunia universiternya, 2 sikap egaliter sebagaimana yang melekat pada sosok seperti Dawam memang sangat istimewa.

Sang Pembahas

Dalam sebuah karangannya, Kuntowijoyo pernah mengutarakan kegelisahannya mengenai sejarah kesarjanaan kita yang selalu berjalan terputus-putus, sehingga tak sempat untuk “mengakumulasikan” dirinya. 3

Sumber keterputusan itu, menurutnya, salah satunya dikarenakan para sarjana kita masih memelihara keengganan untuk saling mendengar dan belajar. Akibatnya, kerja-kerja di masa yang telah lampau akan selalu silap ditenggelamkan waktu, di-nol-kan kembali, karena setiap generasi sarjana yang muncul belakangan lebih suka merayakan kegelisahannya sendiri,

4 2 tanpa merasa perlu menautkannya dengan pencapaian di kelampauan. Dan

tidak susah untuk menghubungkan kondisi itu dengan, salah satunya, kultur feodal yang ada di perguruan tinggi kita. Kultur dengan kecongkakan senioritas dan egosenstrisme.

Oleh karena itu, makalah Dawam pagi itu memang layak disambut hangat. Terlebih, dalam makalah yang sama, ia tak hanya memberi tempat pada lontaran gagasan seorang anak muda yang masih-sedang membangun riwayat intelektualnya, sebuah sambutan hangat yang di Indonesia langka diberikan oleh seorang intelektual yang telah mapan dan apalagi seorang guru besar senior, melainkan, pada saat yang bersamaan ia juga membahas dengan seksama gagasan karibnya, Kuntowijoyo—pelontar gagasan ilmu sosial profetik, dan memberikan sejumlah ide pengembangan bagi lontaran- lontaran awal yang telah dikemukakan sobatnya itu, sesuatu yang juga sama

2 Lihat, misalnya, wawancara dengan Taufik Abdullah, “Masalah Utama Universitas adalah Kerutinan”, yang dimuat dalam Majalah Prisma, No. 2/VII, Maret 1978, hal. 40-45.

3 Kuntowijoyo, “Integrasi Sains Sosial dengan Nilai-nilai Islam: Sebuah Upaya Perintisan”, makalah dalam Seminar “Islam in ASEAN’s Institution of Higher Learning II: Islam & Social Science” di

Universitas Kebangsaan Malaysia, 10-13 November 1990. Dimuat kembali dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1996), hal. 320-322.

4 Bdk. Tarli Nugroho, “Dari Karsa ke Filsafat, Dari Filsafat ke Ilmu: Hidayat Nataatmadja dan Dekolonisasi Pemikiran”, Kata Pengantar untuk buku Hidayat Nataatmadja, Melampaui Mitos &

Logos: Pemikiran ke Arah Ekonomi-Baru (Yogyakarta: LANSKAP, 2007), hal. xxx-xxxi.

langkanya dalam dunia kesarjanaan kita. Terkait dengan hal terakhir mengenai keengganan sarjana Indonesia untuk saling mendengar dan belajar dari sesamanya, sebuah perguruan tinggi besar nasional bahkan sampai harus memberikan insentif kepada para dosennya agar mau mengutip karya para koleganya satu almamater ketika akan menulis di jurnal ilmiah. Sangat ironis.

Di Indonesia, kebiasaan untuk saling membaca dan menguji, bertukar- tangkap gagasan antar-para sarjana, memang sangat memprihatinkan. Mengenai kenapa hal itu bisa terjadi, ada beberapa kemungkinan yang bisa dikemukakan. Pertama, barangkali memang hanya sedikit sarjana Indonesia yang mencoba membangun pemikirannya sendiri, sehingga akhirnya tidak muncul urgensi untuk saling membaca dan menguji dalam dunia kesarjanaan kita. Sudah menjadi kelaziman, bahwa kebanyakan sarjana, termasuk mereka yang menyandang gelar guru besar, lebih suka memposisikan diri sebagai penjaja pengetahuan-konvensional. Jika mereka menjadi guru, mereka memang hanya mengajar dengan cara delivery of stocks. Ini menyebabkan sumber perbincangan yang bisa digali menjadi langka, dan diskusi yang ketat menjadi kehilangan alasan untuk dilakukan.

Kedua, minimnya media atau jurnal akademis yang mampu jadi referensi bersama dan yang sekaligus bisa bertahan lama. Sejarah jurnal di Indonesia mirip dengan sejarah pers mahasiswa, dimana yang terakhir digambarkan oleh Amir Effendi Siregar sebagai sejarah “patah tumbuh

3 hilang berganti”. Kelangkaan ini telah menyebabkan minimnya kebiasaan

untuk saling membaca dan menguji pemikiran di kalangan sarjana Indonesia. Sehingga, gagasan penting apapun (termasuk juga yang “tidak- penting”) yang pernah dihasilkan pada akhirnya akan selalu menguap seiring waktu, atau hanya akan bertahan selama penggagasnya masih hidup. Dan yang lebih fatal dari tidak adanya jurnal akademis yang berwibawa dan sanggup bertahan lama tadi adalah tidak munculnya sebentuk peer-group pada dunia kesarjanaan kita. Pada akhirnya, karena tidak ada peer group, tak pernah ada gagasan yang pernah benar-benar teruji di lingkungan bersangkutan. Gagasan yang pernah dicetuskan hanya akan beredar di kalangan para pendukungnya dan tak akan mendapatkan tanggapan yang berarti dari mereka yang tak menyepakatinya. Pendek kata, tidak terjadi diskusi yang timbal-balik.

Sepanjang usia Republik ini yang hampir tujuh dekade, media yang bisa disebut sebagai jurnal akademis berwibawa dan mampu bertahan lama jumlahnya memang tak lebih dari lima jari tangan. Jika patokannya adalah angka empat puluh tahun, saat ini jurnal yang usianya mampu melampaui angka itu hanya empat. Pertama, adalah Majalah Basis yang terbit di Yogyakarta dan pertama kali terbit pada 1951. Hingga kini majalah tersebut

5 Lihat Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti (Jakarta: Karya Unipress, 1983).

masih rutin mengunjungi pembacanya tiap bulan. Kedua, adalah Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia (Economics and Finance in Indonesia), yang diterbitkan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jurnal ini pertama kali terbit pada 1952 dan hingga kini masih setia mengunjungi pembacanya. Ketiga, adalah Majalah Analisa yang terbit pada 1971 dan diterbitkan oleh CSIS (Center for Strategic and International Studies). Pada 1989, majalah ini berubah namanya menjadi Analisis CSIS. 6 Dan keempat, adalah Majalah

Prisma, yang nomor perdananya terbit pada November 1971 dan diterbitkan oleh LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), dimana Dawam pernah menjadi bagian darinya, dan bahkan merupakan salah satu bagian terpentingnya. Meskipun Prisma pernah berhenti terbit selama kurang lebih satu dekade, pada Juni 2009 majalah ini kembali mengunjungi pembaca, meski tak lagi setiap bulan seperti dulu, melainkan tinggal setahun tiga kali. 7 Meskipun demikian, ketika Prisma terbit kembali, yang mengangkat topik Senjakala Kapitalisme dan Demokrasi, redaksi Prisma tidak menghitung tahun yang vakum itu sebagai bagian dari periode terbitnya, sehingga volume terbitnya terhitung 28 (No. 1/XXVIII). Dari keempat media itupun, hanya Basis dan Prisma bisa dikatakan berstatus sebagai referensi bersama, mengingat oplag dan persebarannya yang memang luas.

4 gampang kawin-mawin dengan berbagai hal, termasuk dengan feodalisme

Ketiga, kelangkaan itu memang lahir dari kemalasan saja. Kemalasan ini

dan egosentrisme yang telah disebut di muka.

Cermin dari langkanya kebiasaan untuk saling membaca dan menguji ini bisa dilihat dari jumlah karya sekunder mengenai pemikiran para sarjana Indonesia, baik yang terbit dalam bentuk buku maupun artikel. Dari segi obyek, di antara sarjana Indonesia, sejauh ini, yang paling lazim dijadikan obyek studi barangkali adalah Soedjatmoko. Ini bisa dilihat dari jumlah publikasi yang menuliskan pemikiran Soedjatmoko, baik yang pada mulanya dilakukan untuk keperluan akademis (penulisan skripsi, tesis dan disertasi), maupun keperluan lainnya. Selain Soedjatmoko, beberapa sarjana Indonesia lainnya yang juga sudah lazim dijadikan obyek studi pemikiran adalah Tan Malaka, Mohammad Hatta, Nurcholish Madjid, dan Kuntowijoyo. Daftarnya, meski masih ada beberapa nama lain, memang

sangat sedikit. 8

6 CSIS 20 Tahun (Jakarta: CSIS, 1991). 7 Prisma terakhir kali terbit pada 1998, yang ditandai oleh edisi Prisma No. 1/XXVII, September-

Oktober 1998. Lihat Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2003), hal. 503-512.

8 A. Nashih Luthfi, Amien Tohari dan Tarli Nugroho, Pemikiran Agraria Bulaksumur: Telaah Awal atas Pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Singarimbun, dan Mubyarto (Yogyakarta: STPN-Press

dan Sayogyo Institute, 2010), hal. ix-xv.

Tentu, tulisan-tulisan tentang sarjana Indonesia tidak sesedikit itu, jika yang dimaksudkan dengan tulisan tentang sarjana itu adalah tulisan mengenai pribadinya. Setiap kali ada tokoh sarjana berulang tahun, biasanya pada angka antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, telah banyak terbit buku berisi kumpulan karangan mengenai mereka. Tapi di antara karangan-karangan itu, jika kita periksa kembali, sangat sedikit yang umumnya berusaha memberikan ulasan mendalam terhadap gagasan sang sarjana yang ditulis, apalagi yang disertai dengan kritik yang serius dan tak sekadar berisi puja-puji. Hadirnya tulisan yang serba-sedikit itupun masih belum membatalkan penilaian tentang keengganan saling membaca dan menguji sesama tadi, karena jika diperhatikan kajian-kajian yang pernah ada itu umumnya dilakukan oleh generasi yang jauh lebih muda terhadap seniornya yang lebih tua. Artinya, jika dilakukan oleh generasi sarjana yang berbeda, kita masih bisa menemukan sejumlah kecil karangan yang membesarkan hati. Namun, jika paramaternya diperketat menjadi timbangan antar-sarjana yang segenerasi, yang langka itupun menjadi semakin lamat-lamat. Dan jika parameternya diubah lagi menjadi seorang sarjana senior yang menulis pemikiran juniornya, yang lamat-lamat itupun musnah sudah. Persis di titik itulah peran kesarjanaan Dawam menjadi sangat istimewa.

Dawam, sebagaimana telah disinggung di muka, misalnya, tak segan untuk membahas pemikiran Kuntowijoyo, intelektual yang segenerasi

5 dengannya dan sama-sama bekas anggota Limited Group, sebuah kelompok diskusi yang mereka dirikan ketika masih sama-sama mahasiswa. 9 Makalah

yang disebut di bagian awal bukanlah makalah pertama yang ditulis Dawam mengenai pemikiran Kunto, dan sepertinya juga bukan yang terakhir. Demikian juga, ia tak sungkan untuk membahas pemikiran Mubyarto, yang meskipun secara de facto Mubyarto pernah menjadi gurunya ketika masih menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM, 10 usia mereka sebenarnya tak terpaut jauh, yaitu lebih kurang hanya empat tahun. Dalam buku

9 Limited Group, atau Lingkaran Diskusi Limited Group, adalah kelompok diskusi yang dibentuk oleh Dawam dan beranggotakan sejumlah mahasiswa yang di kemudian hari menjadi sarjana-

sarjana terkemuka, seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Syafii Maarif, Amien Rais, Kuntowijoyo, Ichlasul Amal, Yahya Muhaimin, dan lain-lain. Mereka berkumpul tiap Jumat sore di kediaman Prof. Dr. A. Mukti Ali, di Demangan, Yogyakarta. Mukti Ali, yang kemudian menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Pembangunan II (1973-1978), bertindak sebagai mentor bagi anak-anak muda ini. Lihat, misalnya, Djohan Effendi, “Intelektual Muslim yang Selalu Gelisah: Kesaksian Seorang Sahabat”, dimuat dalam Ihsan Ali-Fauzi, Syafiq Hasyim, dan J.H. Lamardy, Demi Toleransi Demi Pluralisme: Esai-esai untuk Merayakan 65 Tahun M. Dawam Rahardjo (Jakarta: Paramadina, 2007), hal. 34.

10 Mubyarto (1938-2005) menyelesaikan pendidikan doktornya dari Iowa State University pada 1965 dalam usia 27 tahun. Sekembalinya ke Indonesia ia masih sempat bertemu dengan Dawam

yang masih berstatus mahasiswa. Dalam wawancara yang dilakukan penulis pengantar ini dengan Dawam, salah satu mata kuliah yang diambilnya dan diajar oleh Mubyarto adalah ekonometri.

Habibienomics, 11 misalnya, meskipun pokok telaahnya adalah mengenai pemikiran ekonomi Habibie dalam peta kebijakan ekonomi pembangunan

Indonesia, yang ditimbang dengan gagasan Mohammad Hatta, Sjafruddin Prawiranegara, Sumitro Djojohadikusumo, dan Widjojo Nitisastro, sarjana- sarjana yang pernah menempati posisi-posisi sentral dalam pengambilan kebijaksanaan pembangunan Indonesia, Dawam tetap memasukan gagasan Mubyarto, mengenai Ekonomi Pancasila, sebagai sebuah gagasan penting dalam sawala itu. Meskipun Mubyarto tidak pernah menempati posisi sentral dalam pengambilan kebijaksanaan pembangunan Indonesia, 12 sebagaimana para teknokrat yang telah disebutkan, namun dalam pandangan Dawam, Mubyarto adalah ekonom yang menuliskan gagasannya secara jelas dan konsisten, terutama dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, sehingga patut dijadikan timbangan dalam setiap perbincangan mengenai ekonomi pembangunan Indonesia. 13 Dan itu berbeda, misalnya, dengan Widjojo, yang meskipun memainkan posisi penting dalam pengambilan kebijakan ekonomi di masa Orde Baru, namun apa yang sering disebut sebagai “Widjojonomics” pada dasarnya hanya bisa diikuti dari produk-produk kebijakan yang dikeluarkannya saja, karena di level konsep tidak pernah dituliskan secara jelas, dan kalaupun ada risalah yang bisa dianggap sebagai manifesnya, risalah itupun tidak ditulisnya sendiri dan secara khusus. Karangan-karangan Widjojo, misalnya, sangat sulit

untuk ditemui. 14 Bagi sosok yang menduduki posisi sangat penting, dan

6 dianggap sebagai pemimpin dari sekelompok ekonom paling berpengaruh dalam perumusan kebijakan ekonomi di masa Orde Baru, 15 kelangkaan ini

tentunya cukup mengherankan. Di antara para anggota—meminjam istilah David Ransom— “The Berkeley Mafia”, yang rajin menuliskan pendapat dan analisisnya, dalam berbagai rupa karangan, hanyalah Mohamad Sadli dan

11 M. Dawam Rahardjo, Habibienomics: Telaah Ekonomi Pembangunan Indonesia (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1997).

12 Mubyarto, pada usia yang masih muda, memang pernah menjadi Penasihat Menteri Perdagangan dalam Analisis Harga dan Hubungan-hubungan Harga Hasil-hasil Pertanian dan

Kebijaksanaan Pangan (1968-1971), yang waktu itu dijabat oleh Sumitro Djojohadikusumo. Ia juga pernah menjadi Asisten Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas, yang dijabat oleh Ginandjar Kartasasmita, untuk bidang Peningkatan Pemerataan dan Penanggulangan Kemiskinan (1993-1999). Meskipun dua posisi yang pernah didudukinya itu cukup penting, namun posisi itu bukanlah posisi yang bersifat struktural dalam lingkungan pemerintahan.

13 Ibid., hal. 6. 14 Pada 2010, atau jauh setelah Widjojo pensiun, kumpulan karangannya baru diterbitkan. Baca

Widjojo Nitisastro, Pengalaman Pembangunan Indonesia: Kumpulan Tulisan dan Uraian Widjojo Nitisastro (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010).

15 David Ransom, pada 1970, menyebut para ekonom yang berada di bawah koordinasi Widjojo ini, yang sebagian besar berasal dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sebagai “The

Berkeley Mafia”. Lihat David Ransom, “The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre”, dimuat dalam Majalah Ramparts, Vol. 9/No. 4, October 1970.

Emil Salim. Karangan keduanya mudah dijumpai pada berbagai media, baik surat kabar, majalah, maupun jurnal-jurnal akademis.

Pada 1986, BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Indonesia Project di Australian National University (ANU), menerbitkan serial tulisan bertajuk “Recollections of My Career” yang berisi wawancara dengan sejumlah teknokrat dan pengusaha senior Indonesia, sebagian besar di antaranya adalah teknokrat ekonomi di masa Orde Baru, mengenai pengalaman mereka dalam mengelola perekonomian Indonesia. Teknokrat pertama yang diwawancara adalah Sumitro

Djojohadikusumo. 16 Wawancara-wawancara itu dilakukan dalam berbagai variasi oleh Anne Booth, Thee Kian Wie, J.A.C. Mackie, Hal Hill, Howard Dick, H.W. Arndt, dan Chris Manning, yang merupakan redaktur-redaktur BIES. Teknokrat lainnya yang diwawancara adalah Sjafruddin

17 18 Prawiranegara, 19 Sarbini Sumawinata, Mohamad Sadli, Suhadi

20 21 Mangkusuwondo, 22 Emil Salim, dan Subroto. Dua nama lain yang juga diwawancara dalam serial artikel di BIES itu adalah Soedarpo

23 Sastrosatomo, 24 dan Teuku Mohamad Daud. Ketika rangkaian itu diterbitkan menjadi buku pada 2003, 25 yang disunting oleh Thee Kian Wie, buku itu juga mencakup wawancara dengan Mohammad Saubari 26 dan Abdoel Raoef Soehoed, 27 yang meskipun tajuk artikelnya ketika terbit di BIES bukan “Recollections of My Career”, namun isinya sama-sama diangkat dari wawancara dan berisi refleksi terkait dengan kebijakan ekonomi

7 Indonesia. Baik serial artikel yang telah dimuat BIES, maupun setelah

diterbitkan menjadi buku, sama-sama tidak memuat wawancara dengan Widjojo. Dalam bagian pendahuluan, Thee menyebut bahwa wawancara dengan Widjojo, dan juga Ali Wardhana, tidak pernah berhasil dilakukan. 28 Kelangkaan yang menguntit Widjojo sebagaimana yang telah disebut itupun genap sudah.

Kembali ke Dawam, meskipun dia termasuk sebagai salah satu penggagas Ekonomi Pancasila, dan merupakan salah satu pembicara pada

16 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 22/No. 3, December 1986, hal. 27-39. 17 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 23/No. 3, December 1987, hal. 100-108. 18 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 28/No. 2, August 1992, hal. 43-53. 19 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 29/No. 1, April 1993, hal. 35-51. 20 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 32/No. 1, April 1996, hal. 33-49. 21 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 33/No. 1, April 1997, hal. 45-74. 22 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 34/No. 2, August 1998, hal. 67-92. 23 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 30/No. 1, April 1994, hal. 39-58. 24 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 35/No. 3, December 1999, hal. 41-50.

25 Thee Kian Wie (Editor), Recollections: The Indonesian Economy, 1950-1990 (Singapore: ISEAS, 2003).

26 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 23/No. 2, August 1987, hal. 118-121. 27 BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 24/No. 2, August 1988, hal. 43-57. 28 Thee, Recollections, op. cit., hal. xiv.

Seminar Ekonomi Pancasila yang pertama pada 1980 di Bulaksumur, 29 namun dalam setiap karangannya mengenai Ekonomi Pancasila ia selalu

menempatkan figur dan pemikiran Mubyarto dalam posisi penting dan tak pernah berusaha untuk menonjol-nonjolkan dirinya, meskipun sumbangan Dawam pada gagasan Ekonomi Pancasila tak kalah pentingnya. Selain Mubyarto, bersama dengan Hidayat Nataatmadja dan juga Sri-Edi Swasono, Dawam memang termasuk ekonom yang terus mengembangkan gagasan tersebut, pada berbagai aspeknya. Pada 2004, misalnya, Dawam menulis sebuah buku utuh berisi tinjauan filosofis yang teoritis terhadap gagasan

Ekonomi Pancasila. 30 Ia mengkaji aspek ontologis, aksiologis, dan epistemologis dari gagasan tersebut. Dawam menulis bahwa Ekonomi Pancasila merupakan pemikiran ekonomi alternatif, sama seperti halnya Teori Ketergantungan yang lahir di Amerika Latin. Hanya saja, Ekonomi Pancasila belum mengalami “internasionalisasi”, meskipun salah satu elemen teorinya, yaitu teori ekonomi dualistis—yang diperkenalkan J.H. Boeke, telah menjadi kosa kata dalam pemikiran ekonomi internasional. 31 Pendekatan penting yang dilakukan oleh Dawam dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila adalah ia mengemukakan konsep Ekonomi Pancasila dalam rumusan positif, dan bukan dalam kerangka defensif atau counter- concept. Meminjam bahasa Ignas Kleden, lebih mudah merumuskan apa yang “bukan” Ekonomi Pancasila—sebuah perspektif counter-concept, daripada menjelaskan “apa itu” Ekonomi Pancasila, yang merupkan ciri dari

8 konsep positif. Melalui bukunya tadi, dan beberapa karangannya yang lain, 33 Dawam berusaha mengemukakan dan mengelaborasi gagasan

Ekonomi Pancasila menurut sebuah kerangka konsep positif. Terkait dengan usahanya tersebut, apa yang telah dikerjakan Dawam kurang lebih serupa dengan sumbangan yang telah diberikan oleh Hidayat Nataatmadja.

29 Prosiding seminar tersebut telah diterbitkan dalam Mubyarto dan Boediono (Editor), Ekonomi Pancasila (Yogyakarta: BPFE, 1981). Ada delapan belas pemakalah dalam seminar tersebut,

dimana Dawam termasuk salah satu di antaranya. Namun, dari delapan belas pemakalah itu, hanya Mubyarto, Hidayat Nataatmadja, dan Dawam yang kemudian tercatat terus mengembangkan gagasan tersebut dalam beberapa aspeknya.

30 M. Dawam Rahardjo, Ekonomi Pancasila: Jalan Lurus Menuju Masyarakat Adil dan Makmur (Yogyakarta: PUSTEP-UGM, 2004).

31 Ibid., hal. 4. 32 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1987), hal. 160.

33 M. Dawam Rahardjo, “Ekonomi Islam, Ekonomi Pancasila dan Pembangunan Ekonomi Indonesia”, dalam Ainur R. Sophiaan (Editor), Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen Strategis

Pembangunan Masyarakat Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hal. 107-136; “Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu”, makalah disampaikan pada Kuliah Ekstrakurikuler Ekonomi Pancasila (KEEP) yang diadakan oleh Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM, Januari 2004; dan “Ekonomi Pancasila dalam Tinjauan Filsafat Ilmu, Sistem dan Konstitusi”, makalah disampaikan pada acara KEEP, April 2005. Karangan-karangan ini memberikan kerangka yang positif terhadap gagasan Ekonomi Pancasila.

Tak hanya dalam kapasitasnya sebagai seorang sarjana, yang memberikan dukungan pemikiran, dalam kapasitasnya sebagai tokoh di LP3ES, Dawam juga turut mendukung gagasan itu melalui kerangka kelembagaan, misalnya, melalui penerbitan dua buku mengenai Ekonomi Pancasila yang ditulis Mubyarto. 34 Pendek kata, Dawam tak merasa dirinya

menjadi sub atau menjadi tidak penting ketika sedang membicarakan gagasan orang lain, meskipun itu adalah kawannya sendiri dan/atau mereka yang lebih muda darinya. Sebagai seorang sarjana ia sama sekali terbebas dari beban-beban egosentrisme semacam itu, sehingga ia bisa leluasa membahas gagasan siapapun secara jernih.

Di Indonesia, keleluasaan sebagaimana yang melekat pada Dawam itu barangkali hanya bisa “ditandingi” oleh Ignas Kleden, yang secara kebetulan pernah bekerja sebagai asistennya di LP3ES. 35 Ignas, misalnya, secara serius dan panjang lebar pernah membahas puisi-puisi yang ditulis Todung Mulya Lubis dan Mochtar Pabottingi. 36 Todung dan Mochtar bukanlah penyair seperti Joko Pinurbo atau Dorothea Rosa Herliany, yang puisi-puisinya juga pernah dibahas secara panjang lebar oleh Ignas, 37 namun itu tak menghalangi seorang Ignas untuk menulis sebuah tinjauan serius yang panjangnya menakjubkan bagi keduanya. Meski kasus ini terjadi di area kesusastraan, dan bukan di area pemikiran sosial, namun bahasan-bahasan sebagaimana yang pernah ditulis Ignas terhadap sejumlah sastrawan atau tokoh yang menulis sastra tadi juga berhadapan dengan kelangkaan sejenis.

9 Dunia kesusastraan dan pemikiran kebudayaan Indonesia di akhir abad

kedua puluh dan awal abad kedua puluh satu adalah dunia yang miskin pembahas dengan keleluasaan sebagaimana yang masih dimiliki Ignas. Ini, dengan catatan, dengan mengabaikan sejumlah bahasan yang dilakukan oleh para penulis yang lebih muda terhadap karya-karya penulis yang lebih tua. Agaknya, kemiskinan para pembahas, jika melihat apa yang telah terjadi, memang telah menjadi gejala umum.

Lebih jauh terkait dengan posisi dan sumbangan Dawam bagi gagasan Ekonomi Pancasila, ada baiknya soal itu disinggung juga dalam pengantar

34 Dua buku itu adalah Mubyarto, Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan (Jakarta: LP3ES, 1987) dan Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988).

35 Ignas Kleden pernah menjadi staf dan merupakan salah satu bagian penting dari LP3ES. Penyebutan bahwa Ignas pernah menjadi asisten Dawam merujuk kepada wawancara yang

dilakukan oleh penulis pengantar ini pada 19 Maret 2012 dengan Dawam sendiri. 36 Ignas Kleden, “Saatnya Membaca Puisi Kembali”, kata pengantar untuk kumpulan sajak Todung

Mulya Lubis, Sudah Masanya Kita Membaca Puisi Kembali (Jakarta: tanpa penerbit, 1999); Ignas Kleden, “Puisi sebagai Medium”, kata pengantar untuk buku kumpulan puisi Mochtar Pabottingi, Dalam Rimba Bayang-bayang (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003).

37 Ignas Kleden, “Puisi: Membaca Kiasan Badan”, kata pengantar untuk Joko Pinurbo, Di Bawah Kibaran Sarung (Magelang: Indonesia Tera, 2001). Lihat juga Ignas Kleden, “Dari Penyimpangan

Semiotik ke Perlawanan Politik: Sajak-sajak Dorothea Rosa Herliany”, dalam Ignas Kleden, Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan: Esai-esai Sastra dan Budaya (Jakarta: Grafiti, 2004), hal. 309- 339.

ini. Selama ini, tulisan-tulisan terkait dengan sosok dan pemikiran Dawam sepertinya lebih banyak memotret dan menimbang kiprahnya di bidang pemikiran keagamaan, ilmu sosial, atau sebagai seorang cendekiawan per se, dan langka sekali yang pernah memberi catatan atas kiprahnya di bidang pemikiran ekonomi, terutama dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila. Padahal, sumbangannya terhadap bidang tersebut tidak sedikit. Bahkan, dalam kaitannya dengan Ekonomi Pancasila, Dawam terhitung sebagai salah satu pemikir utamanya.

Ekonomi Pancasila: Antara Ekonomi-Politik dan Politik Ekonomi

Istilah Ekonomi Pancasila, meskipun sejak 1980 identik dengan figur Mubyarto, sebenarnya pertama kali diperkenalkan dan dipergunakan oleh Emil Salim. Ekonom yang merupakan anggota keluarga The Berkeley Mafia itu telah mengintroduksi istilah Ekonomi Pancasila sejak 1965. Ini sekaligus mengkoreksi tulisan Mudrajad Kuncoro yang menyebut bahwa istilah Ekonomi Pancasila pertama kali digunakan oleh Emil Salim pada 1966, yaitu merujuk tulisannya di Harian Kompas, 30 Juni 1966, bertajuk “Sistem Ekonomi Pantjasila”. 38 Pada tahun itu, Emil Salim paling tidak—sejauh yang

bisa ditelusuri—mempublikasikan dua karangan mengenai Ekonomi Pancasila, yaitu satu dalam bentuk monografi yang diterbitkan oleh

LEKNAS (Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional), 39 dan satu

10 dalam bentuk bab pada sebuah buku yang juga diterbitkan oleh LEKNAS

dan secara khusus dipersembahkan kepada para peserta pendidikan di Lemhanas (Lembaga Pertahanan Nasional). 40

Pada karangannya yang pertama Emil Salim membahas empat model sistem ekonomi, yaitu Ekonomi Swasta, Ekonomi Kontrol, Ekonomi Kolektif, dan Ekonomi Perencanaan Sentral. Pembahasan mengenai model- model sistem dan teori-teori mengenai sistem ekonomi yang dilakukannya adalah dalam rangka mencari dan merumuskan sistem ekonomi yang sesuai dengan Indonesia. Pada laporannya itu, Emil Salim masih menggunakan

38 Lihat Mudrajad Kuncoro, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2000; edisi pertama, cetakan kedua), hal. 198. Hingga edisi yang terkini,

kekeliruan ini masih belum dikoreksi. Lihat juga Mudrajad Kuncoro, “Sistem Ekonomi Pancasila: Antara Mitos dan Realitas”, dimuat dalam Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia (JEBI), Vol. 16/No.1/2001, hal. 88-96.

39 Emil Salim, Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Lembaga Ekonomi dan Kemasjarakatan Nasional, 1965). Monografi setebal 94 halaman itu diberi pengantar oleh Widjojo

Nitisastro, dimana pengantarnya bertiti mangsa 1 Agustus 1965. 40 Emil Salim, “Politik dan Ekonomi Pantjasila”, dimuat dalam Widjojo Nitisastro dkk., Masalah-

masalah Ekonomi dan Faktor-faktor IPOLSOS (Ideologi, Politik, Sosial) (Jakarta: LEKNAS, 1965), hal. 81-97. Buku ini juga dipengantari oleh Widjojo, dan bertiti mangsa 27 November 1965. Selain Emil Salim, para penyumbang tulisan dalam buku ini adalah Widjojo Nitisastro (yang juga menuliskan kata pengantar), Ali Wardhana, Fuad Hasan, Selo Soemardjan, Mohammad Sadli, Barli Halim, Bintoro Tjokroamidjojo, Subroto, Soelaiman Soemardi, dan Kartomo Wirjosuhardjo.

istilah “Sistem-Ekonomi Sosialisme Pantjasila”. Baru pada kertas kerja yang ditulisnya kemudian, yang sangat menekankan pentingnya pemerintah memikirkan masalah pembangunan ekonomi untuk mengimbangi keberhasilan Indonesia dalam pembangunan politik, istilah yang digunakan Emil Salim berubah menjadi “Ekonomi Pancasila”. 41 Meski telah digunakan

pada dua tulisan tadi, istilah Ekonomi Pancasila baru benar-benar “bergaung” setelah Emil Salim menulis sebuah makalah bagi Seminar KAMI,

Januari 1966, 43 dan sebuah artikel di Harian Kompas pada Juni 1966. Artikel pendek itu kemudian disambung lagi pada 1979 oleh sebuah artikel

panjang Emil Salim di Majalah Prisma. 44 Beberapa tulisan yang pernah membahas gagasan Ekonomi Pancasila, seperti tulisan Mudrajad Kuncoro

sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, biasanya paling akhir hanya merujuk pada tulisan Emil Salim yang dimuat di Kompas—atau dalam Seminar KAMI—ketika menyebut kapan pertama kali istilah itu muncul, dan tidak memperhatikan kalau istilah telah diperkenalkan sejak setahun sebelumnya.

Menarik untuk memperhatikan, ada jeda yang sangat panjang dari sejak pertama kali istilah Ekonomi Pancasila diperkenalkan hingga istilah itu kembali dibicarakan. Setelah tulisan-tulisannya pada tahun 1966, Emil Salim baru menggunakan lagi istilah itu pada 1979, melalui tulisan panjangnya di Prisma. Artinya, ada jeda selama 13 tahun. Tulisan Emil itupun bukan merupakan tulisan pertama mengenai Ekonomi Pancasila

11 pada dekade 1970-an. Sebelumnya, pada 1978, Christianto Wibisono juga

menulis sebuah artikel panjang di Majalah Analisis, berjudul “Menuju Sistem Ekonomi Pancasila”. 45 Pada awal 1979, tepatnya pada 16 Februari

1979, di Jakarta juga telah berdiri Lembaga Pengkajian Ekonomi Pancasila (LPEP). Lembaga ini dipimpin oleh Drs. Soerowo Abdulmanap, dan sebagai penasihatnya adalah Mohammad Hatta, Proklamator kita. 46 Pada tahun

41 Emil Salim, “Politik dan Ekonomi Pantjasila”, ibid. 42 Emil Salim, “Membina Ekonomi Pancasila”. Tulisan ini, bersama dengan seluruh makalah yang

dipresentasikan pada seminar tersebut, dibukukan dalam Seminar KAMI, Jalur Baru Sesudah Runtuhnya Ekonomi Terpimpin (The Leader, the Man and the Gun) (Jakarta: Sinar Harapan, 1984, cetakan kedua). Tulisan Emil Salim bisa dilihat di hal. 110-121.

43 Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat Harian Kompas, 30 Juni 1966. Tulisan ini dimuat kembali dalam buku Mencari Bentuk Ekonomi Indonesia: Perkembangan Pemikiran 1965-

1981 (Jakarta: Gramedia, 1982), hal. 36-38. Buku itu disunting oleh Redaksi Ekonomi Harian Kompas sendiri. Tulisan tersebut juga bisa dibaca pada Emil Salim, Kembali ke Jalan Lurus, Esai- esai 1966-1999 (Jakarta: Alvabet, 2000), hal. 3-5.

44 Emil Salim, “Sistem Ekonomi Pancasila”, dimuat dalam Majalah Prisma, No. 5/VIII, Agustus 1979, hal. 3-9.

45 Christianto Wibisono, “Menuju Sistem Ekonomi Pancasila”, dalam Majalah Analisis, No. 3/VII, 1978, hal. 215-240.

46 Soal keberadaan lembaga ini terdokumentasikan dalam buku LPEP, Ekonomi Pancasila (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980). Buku diterbitkan sebagai peringatan ulang tahun yang pertama dari

lembaga tersebut.

1979 itu, selain tulisan Emil Salim, sebelumnya Mubyarto juga telah mulai menggunakan istilah Ekonomi Pancasila. Di Harian Kompas, 3 Mei 1979, Mubyarto menulis artikel berjudul “Koperasi dan Ekonomi Pancasila”. Dan setelahnya, pada 6 Juli 1979, juga di Harian Kompas, Sunario Waluyo menulis artikel “Pemikiran tentang Ekonomi Pancasila”.

Kalau menyimak lagi sejarah, barangkali dalam sejarah ilmu sosial di Indonesia, tak ada polemik yang lebih besar daripada “Polemik Ekonomi Pancasila” yang terjadi pada awal 1980-an. Pada 1957 memang sempat terjadi perdebatan penting dalam “Seminar Sedjarah” yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan dengan Universitas Gadjah Mada. Namun, perdebatan dalam seminar itu tidak banyak

merembes keluar forum, sehingga tak sampai menjadi polemik. 47 Adapun “Polemik Ekonomi Pancasila”, yang terjadi sejak akhir tahun 1980 dan

berlangsung hampir sepanjang tahun 1981, melibatkan tulisan dan pendapat dari puluhan sarjana, bukan hanya dari lingkungan ilmu ekonomi, melainkan juga dari ilmu-ilmu lainnya, seperti filsafat, hukum, politik, dan lain-lain. Bahkan, polemik tersebut juga telah memancing perhatian sejumlah Indonesianis untuk mengutarakan pendapatnya. 48 Sejak 1980 hingga 1981, tak kurang digelar 4 seminar penting yang membicarakan topik itu, yang digelar baik di Yogyakarta maupun di Jakarta.

EMPAT SEMINAR EKONOMI PANCASILA, 1980-1981

Tempat/Waktu

Tajuk

Penyelenggara

Para Pembicara

Ace Partadiredja, Bambang Riyanto, Boediono, M. Dawam Rahardjo, Dibyo Prabowo, Hadori Yunus, Harsono, Hidayat

Nataatmadja, Kadarman, Kaptin 19 September 1980

Yogyakarta

Seminar

Fakultas Ekonomi

Ekonomi Pancasila

UGM

Adisumarta, Mubyarto, Roekmono Markam, Sarino Mangunpranoto, Soediyono, Soetatwo Hadiwigeno, Soetrisno PH, Sudarsono, Sulistyo

Seminar

Lembaga Pengkajian

Jakarta Sistem Ekonomi Arief Budiman, Bambang Ekonomi Pancasila 19-20 Oktober 1980

Krisnamurthi, Mubyarto, Sarbini

Pancasila

(LPEP)

Abdul Rachman Panetto, Adi

Dewan Pertahanan

Sasono, Affendi Anwar, Ariono

Abdulkadir, Bintoro Jakarta

Simposium

Keamanan Nasional

Sistem Ekonomi Tjokroamidjojo, Boediono, dan Departemen 23-26 Juni 1981

Hidayat Nataatmadja, Hindersah

Pancasila

Dalam Negeri Republik Wiratmadja, M. Dawam Rahardjo

Indonesia

Mubyarto, Roekmono Markam, Soerjanto Poespowardojo, Sri-Edi

47 Lihat buku Seminar Sedjarah, Laporan Lengkap Atjara I dan II tentang Konsepsi Filsafat Sedjarah Nasional dan Periodisasi Sedjarah Indonesia, Seri 2 (Yogyakarta: UGM, 1958).

48 Lihat, misalnya, R. William Liddle, “The Politics of Ekonomi Pancasila: Some Reflections on Recent Debate”, dimuat dalam BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 18/No. 1,

March 1982, hal. 96-101; Peter McCawley, “The Economics of Ekonomi Pancasila”, dimuat dalam BIES (Bulletin of Indonesian Economic Studies), Vol. 18/No. 1, March 1982, hal. 102-109.

Swasono, Sutopo Yuwono, Syamsuddin Mahmud, T.M.H.L. Tobing, Thamrin Nurdin, Wagiono Ismangil Ahmad Azhar Basyir, Frans Seda, Handjilin, Harsoyono Subyakto, Heidjrachman R., Herqutanto Sosronegoro, Hidayat

Nataatmadja, Mubyarto, Pdt. 19 September 1981 Chris Marantika THN, Samiadji Ekonomi Pancasila UGM Djajengminardo, Sarino Mangunpranoto , Soehardi Sigit, Soetrisno P. H., Sudarsono, Warsito Singowardono

Yogyakarta

Seminar II

Fakultas Ekonomi

Sumber: Tarli Nugroho (2010), diolah dari berbagai sumber.

Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, meski sebagai sebuah istilah Ekonomi Pancasila pertama kali diperkenalkan oleh Emil Salim, dalam perjalanannya istilah tersebut kemudian lebih lekat dengan nama Mubyarto. Memang, Mubyarto-lah yang kemudian serius mengembangkan gagasan tersebut, baik dalam wilayah keilmuan maupun sebagai identitas bagi praksis kebijakan. Pada 19 September 1980, atas inisiatif Mubyarto pula, gagasan Ekonomi Pancasila untuk pertama kalinya diseminarkan, bertepatan dengan Dies Natalis Fakultas Ekonomi UGM ke-25. Ada 18 orang sarjana yang memberikan sumbangan pemikiran kala itu, dari sudut makro

13 ekonomi, mikro ekonomi, teori pembangunan, etika ekonomi dan gagasan

mengenai konsep manusia Indonesia untuk menyempurnakan konsep homo oeconomicus. Dawam termasuk ke dalam salah satu pembicara pada seminar tersebut.

Seminar di Yogya tadi ternyata mampu menarik perhatian. Wacana Ekonomi Pancasila kemudian direspon oleh pemerintah dalam bentuk seminar pula yang diselenggarakan oleh Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (Wanhankamnas) dan Departemen Dalam Negeri (Depdagri) pada

23 hingga 26 Juni 1981, yang prosidingnya kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Wawasan Ekonomi Pancasila (1981). 49 Jika seminar di

Yogya lebih banyak menekankan aspek teoritis keilmuan, maka seminar di Jakarta ini terutama mengelaborasi Ekonomi Pancasila sebagai gagasan mengenai sistem ekonomi, dan bukan sebagai teori ekonomi (baru). Beberapa pembicara dari seminar di Yogya juga turut menjadi pembicara pada seminar kedua ini, yaitu Mubyarto, Hidayat Nataatmadja, Roekmono Markam, Boediono, dan juga Dawam.

Meski sama-sama menggunakan istilah Ekonomi Pancasila, terdapat perbedaan mendasar antara apa yang dimaksud dengan Ekonomi Pancasila oleh Emil Salim dengan menurut Mubyarto dan kawan-kawannya, atau “versi Yogya”. Jika Emil Salim menerjemahkan istilah tadi sebagai gagasan

49 Abdul Madjid dan Sri-Edi Swasono (eds.), Wawasan Ekonomi Pancasila (Jakarta: UI-Press, 1981) 49 Abdul Madjid dan Sri-Edi Swasono (eds.), Wawasan Ekonomi Pancasila (Jakarta: UI-Press, 1981)

Sedangkan jika dilihat secara konseptual, ketika memperkenalkan istilah itu, Emil Salim tidak sedang bertendensi hendak menyusun teori ekonomi baru, atau sistem ekonomi baru, sebagaimana yang terasa kental dalam Seminar Ekonomi Pancasila di Yogya pada 1980. Emil, sebagaimana bisa diikuti dalam pemikiran-pemikirannya kemudian, tidak pernah mengemukakan pandangan bahwa ada yang keliru dari ilmu ekonomi mainstream (neoklasik). Ia selalu berpandangan bahwa ilmu ekonomi itu universal. Jika terdapat ketidaksesuaian antara teori ekonomi dengan praktik, maka kekeliruan itu terletak di praktik. Jadi, menurut Emil, tidak ada gunanya menyusun teori baru karena memang ilmu ekonomi tidak ada

yang keliru, hanya penerapannya saja yang mungkin keliru. 50 Pandangan itu tentu saja jauh berseberangan dengan pendapat

Mubyarto dan pendapat para pembicara yang mengemuka dalam Seminar

14 1980. Dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar ekonomi pada 1979,

Mubyarto, dengan tegas mengemukakan bahwa ilmu ekonomi mainstream tidak bisa sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Dalam pandangan Mubyarto, teori ekonomi neoklasik (mainstream economics) bukan hanya tidak mampu mendistribusikan kue ekonomi secara merata, sebuah masalah yang dihadapi perekonomian Indonesia pada 1970-an (dan tetap permanen hingga hari ini), melainkan teori tersebut secara konseptual memang tidak bersifat mendukung terhadap gagasan keadilan sosial. 51 Dengan demikian, dalam pandangan Mubyarto, diperlukan bukan hanya perubahan kebijakan untuk mendistribusikan kue ekonomi nasional, melainkan diperlukan juga sebuah teori ekonomi baru untuk melakukannya. 52 Jadi, nampak benar bahwa perbedaan antara maksud

Ekonomi Pancasila sebagaimana diuar Emil Salim berlainan secara fundamental dengan yang dibentuk oleh Mubyarto dan kawan-kawannya.

50 Baca wawancara Majalah Prisma dengan Emil Salim, “Emi Salim: Bukan Kesalahan Ilmu Ekonomi”, dalam Majalah Prisma, No. 1/IX, Januari 1980, hal. 56-61.

51 Mubyarto, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial dan Keadilan (Jakarta: Yayasan Agro Ekonomika, 1980). 52 Mubyarto, Gagasan dan Metoda Berpikir Tokoh-tokoh Besar Ekonomi dan Penerapannya bagi

Kemajuan Kemanusiaan (Yogyakarta: BPFE, 1979). Tulisan ini merupakan pidato pengukuhan Mubyarto sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, diucapkan pada 19 Mei 1979.

Tendensi untuk menolak keberlakuan teori ekonomi Barat di Indonesia sejatinya bukanlah merupakan fenomena baru tahun 1980-an. Sejak masa kolonial, beberapa sarjana Belanda yang mengkaji perekonomian Hindia, juga telah melemparkan sejumlah keraguan atas kemampuan teori ekonomi konvensional dalam menjelaskan dinamika perekonomian di tanah jajahan. Tesis mengenai “Ekonomi Dualistis” (Dual Economies) sebagaimana yang diajukan oleh Julius Herman Boeke pada awal abad ke-20, bisa jadi merupakan titik pangkal bagi munculnya gagasan mengenai teori baru bagi ilmu ekonomi di Indonesia, yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Dalam disertasinya yang ditulis pada 1910, Tropisch-Koloniale Staathuishoudkunde: Het Probleem (Masalah Perekonomian Kolonial Tropik), Boeke pertama kali mengintrodusir tesis mengenai ekonomi dualistis. Dari sudut ekonomi, menurut Boeke, sebuah masyarakat dapat ditandai oleh tiga unsur, yaitu semangat sosial (social spirit), bentuk organisasi, dan teknik yang mendominasinya. Ketiga unsur ini saling berkaitan dan dalam kaitannya itu menentukan ciri khas dari masyarakat bersangkutan, yang disebut sebagai sistem sosial. Dalam sebuah masyarakat dimana pada waktu yang bersamaan memiliki dua atau lebih sistem sosial, dan tiap sistem itu berbeda satu sama lain, disebut masyarakat dualistis atau masyarakat plural (plural societies). Ekonomi dualistis merupakan implikasi dari sistem sosial yang juga bersifat dualistis. Dalam perekonomian yang bersifat dualistis, sebagaimana yang ada di Hindia

15 Belanda, maka diperlukan dua pendekatan ekonomi yang berbeda untuk

memahami dua modus perekonomian tadi, dimana teori ekonomi umum (baca: Barat) tidak berlaku bagi sistem sosial yang bersifat khas.

Tesis Boeke tersebut kemudian memancing polemik yang melibatkan banyak ekonom. Inti polemik terutama berkisar pada persoalan benarkah sistem sosial yang berbeda dengan masyarakat Barat—tempat dimana ilmu ekonomi modern lahir dan dibesarkan—memerlukan teori ekonomi tersendiri yang berbeda dengan teori umum? Di antara yang terlibat dalam polemik itu adalah Jacob van Gelderen, Dionijs Huibert Burger, dan G.H. van der Kolff. Van Gelderen, dalam tulisannya mengenai perekonomian

tropis, 53 berpandangan bahwa teori ekonomi umum bukannya tidak berlaku sama sekali di Hindia Belanda. Ada keadaan-keadaan yang membuat

kenapa sebuah teori kadang berlaku dan kadang tidak, dan itu tidak berarti membatalkan keabsahan teori yang bersangkutan. Sebagai jalan tengah dari pandangan Boeke, van Gelderen mengemukakan bahwa di samping teori ekonomi murni, memang perlu pula dikembangkan teori ekonomi praktis atau aplikatif dalam bentuk kebijaksanaan ekonomi atau ekonomi-politik. Lebih jauh, menurut van Gelderen, untuk memahami perekonomian

53 J. Van Gelderen, “Voorlezingen over Tropisch Koloniale Staathuishoudkunde” (1927). Risalah ini pernah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “Ilmu Ekonomi Jajahan Daerah

Khatulistiwa” (Jakarta: Bhratara, 1981).

Hindia, teori ekonomi umum memang tidak bisa langsung diterapkan begitu saja, karena ada beberapa faktor yang membuatnya berbeda dari kondisi yang diandaikan oleh teori ekonomi umum. Paling tidak ada tiga faktor yang disebut Boeke dan Gelderen dalam kaitannya dengan kondisi spesifik Hindia Belanda waktu itu, yaitu pertama, faktor sosial-historis Hindia Belanda itu sendiri; kedua adalah faktor geografi ekonomi; dan ketiga adalah faktor etnologi.

Keterbatasan-keterbatasan yang melekat pada ilmu ekonomi konvensional semakin hari semakin bersifat terbuka. Tak heran jika kemudian pada bagian awal pidato pengukuhannya, yang dibacakan pada 19 September 1978, Roekmono Markam menyebut bahwa tak ada persoalan yang paling menyulitkan para guru besar ekonomi waktu itu selain

persoalan “relevansi”. 54 Persoalan yang sama pula yang telah mendorong Mubyarto untuk terus berburu “kijang ilmiah” Ekonomi Pancasila. Baginya,

keterbatasan yang melekat pada teori ekonomi konvensional tak bisa hanya disiasati di level kebijakan, melainkan juga harus dicarikan kerangka teoritis baru penggantinya, sebuah posisi yang jelas jauh berseberangan dengan pandangan yang dipegang oleh Emil Salim.

Jika menyimak riwayatnya yang cukup panjang, ditambah dengan sejumlah polemik yang pernah menyertainya, gagasan Ekonomi Pancasila sebenarnya bisa dikatakan telah “memiliki sejarah sendiri” dan merupakan salah satu milestone dari pemikiran kaum intelektual Indonesia. Meskipun

16 demikian, Ekonomi Pancasila hingga kini masih merupakan gagasan

fragmentaris yang belum tersimpul menjadi sebuah gagasan utuh. Secara teoritis, gagasan keilmuan ekonomi dibangun dari beberapa komponen teori, seperti teori tentang konsep manusia, teori sistem ekonomi, teori ekonomi (murni) dan teori ilmu pengetahuan. Pada Ekonomi Pancasila, komponen-komponen itu belum terlihat padu.

Meski beberapa sarjana terkemuka telah mencoba mengambil tempat untuk merumuskan lebih jelas gagasan Ekonomi Pancasila, hasilnya masih jauh dari bisa dikatakan selesai. Pada 1985, misalnya, kumpulan ceramah Sumitro Djojohadukusumo yang disampaikan melalui TVRI antara bulan September hingga November 1984, dibukukan dan diberi tajuk “Ekonomi

Pancasila”. 55 Pada dasarnya Sumitro berusaha mengembangkan gagasan Ekonomi Pancasila dari pendekatan normatif dengan menjabarkan sila-sila

dalam Pancasila. Namun, karena berupa kumpulan naskah ceramah, elaborasi yang bisa dilakukan tidak bersifat mendalam.

Berbeda dengan lazimnya polemik keilmuan yang biasanya hanya hangat di kalangan kesarjanaan, cukup menarik untuk memperhatikan

54 Roekmono Markam, Menuju ke Definisi Ekonomi Post-Robbins (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1978), hal. 1.

55 Sumitro Djojohadikusumo, Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila (Jakarta: IKPN-RI [Induk Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia], 1985) 55 Sumitro Djojohadikusumo, Trilogi Pembangunan dan Ekonomi Pancasila (Jakarta: IKPN-RI [Induk Koperasi Pegawai Negeri Republik Indonesia], 1985)

Pada kenyataannya, tak kurang dari Soeharto sendiri ikut bicara mengenai Polemik Ekonomi Pancasila, dan komentarnya membuat orang tak lagi berani mengatakan selainnya. Dalam sebuah wawancara, Mubyarto mengatakan bahwa sejak Soeharto ikut berkomentar mengenai Ekonomi Pancasila, dan itu dengan sejumlah tuduhan negatif, maka banyak di antara kawan-kawannya yang kemudian tiarap, tak lagi berani ngomong mengenai

gagasan itu. 56 Apa yang dilakukan oleh para pelopor Seminar Ekonomi Pancasila 1980, dari sudut pandang pemerintah, adalah mereka sedang

merongrong otoritas tunggal yang bisa menafsir Pancasila, yaitu pemerintah

17 sendiri. Tak heran, meski sempat ramai diperbincangkan sepanjang tahun

1981, gagasan Ekonomi Pancasila kemudian seperti balon kempes. Itulah yang kemudian membuat kenapa gagasan tersebut hanya identik dengan nama Mubyarto.

Namun, meski intensi perbincangan versi Yogya adalah mencoba mengelaborasi gagasan Ekonomi Pancasila sebagai ilmu (ekonomi politik), yang berbeda dengan versi Emil Salim dan juga versi seminar di Jakarta yang lebih tertarik untuk membincangkan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi (politik ekonomi), namun dalam kenyataannya Mubyarto, yang setelah 1980-an menanggung gagasan itu hampir seorang diri, tidak banyak melakukan pencapaian berarti dalam pengembangan Ekonomi Pancasila sebagai ilmu. Karangan-karangan Mubyarto yang terbit setelah itu dan hingga akhir hayatnya justru lebih banyak mengembangkan gagasan itu

sebagai politik ekonomi atau sistem ekonomi. 57 Di sinilah pemikiran

56 Wawancara Tarli Nugroho (bersama Indarti Yuni Astuti, Karlina, dan Fauzul A. Muhammad) dengan Mubyarto. Wawancara dilakukan pada medio April 2003. Wawancara ini sebagian telah

diterbitkan di Jurnal Balairung, No. 37/Th. XVIII, 2004, hal. 115-127, dengan tajuk “Mubyarto: Ilmu Ekonomi yang Kita Ajarkan Keliru”.

57 Lihat, misalnya, Mubyarto, Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1988); Reformasi Sistem Ekonomi: Dari Kapitalisme menuju Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Adiya

Media, 1999); dan Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta: BPFE, 2000). Bandingkan buku-buku ini dengan buku yang bisa disebut sebagai magnum opus-nya, yaitu Mubyarto, Ilmu Ekonomi,

Dawam, dan sebelumnya Hidayat Nataatmadja, memainkan peranan penting dalam menambal aspek-aspek mendasar yang tidak sempat dikerjakan atau dipikirkan Mubyarto. Dan itu semua terkait dengan filsafat.

Manusia Pancasila dan Insan Kamil

Ilmu ekonomi tidak bisa menurunkan dirinya dari undang-undang, sekalipun itu adalah undang undang dasar. Persoalan ini sepertinya kurang disadari oleh Mubyarto. Itu nampak dari karangannya sewaktu menjawab