Keempat, Dampak Balik pada Proses Kebangkitan Islam

Keempat, Dampak Balik pada Proses Kebangkitan Islam

Dapatkah atau mungkinkah akar-akar kebangkitan Islam dilacak dari tradisi orientalisme? Salah satu wujud kebangkitan Islam adalah keterlibatan aktif umat Islam dalam memberikan jawaban-jawaban konseptual atas tantangan-tantangan perubahan sosial yang diakibatkan oleh proses modernisasi. Tidak ada cara lain dalam melakukan ini kecuali kaum intelektual Muslim berfikir keras menangkap makna universal Al-Qur'an dan secara dinamis mentafsirkan ayat-ayatnya agar relevan dengan situasi zaman yang bagaimanapun. Pekerjaan ini tentu saja membutuhkan syarat-syarat. Kaum Muslimin harus memiliki bekal dalam memahami Al-Qur'an dengan pandangan- pandangan radikal, historis dan empiris. Langkah ke arah ini sudah dirintis oleh para intelektual Muslim yang melakukan pembaruan Islam sejak abad ke-19, abad yang disebut-sebut sebagai awal menyeruaknya fajar kebangkitan Islam, dengan tokoh-tokohnya seperti Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha dan Jamaluddin Al-Afghani di Mesir, Sayyid Ahmad Khan di India, dan Muhammad Iqbal di Indo-Pakistan.

Disadarkan oleh perlunya mencetak banyak sarjana Muslim yang qualified, Universitas al-Azhar Kairo telah menginisasi proyek pengiriman mahasiswa- mahasiswa prospektifnya ke universitas-universitas Barat yang dicap sebagai sarangnya orientalisme sejak 1932. Bahkan, Muhammad ‘Ali II dari kekhalifahan Turki Utsmani melakukannya sejak abad ke-18. Proyek ini masih berlangsung hingga kini dan telah menghasilkan banyak pemikir modern Islam. Program ini telah mengenalkan dan memberikan jalan bagi akses para sarjana Muslim ke dalam tradisi keilmuan dunia Barat yang memiliki sumber-sumber kajian Islam yang melimpah, baik literatur-literatur Arab maupun Inggris. Hasilnya adalah sejak tahun 1960-an, atau pada abad ke-20, muncul generasi baru sarjana Muslim, para pemikir dan kaum intelektual Islam di Barat yang berasal dari negara-negara Muslim yang memiliki konsern yang berbeda yang menempatkan mereka menjadi juru bicara dunia Islam modern. Mereka misalnya adalah Fazlur Rahman, Isma’il al-Faruqi, Syed Hossen Nasr, Akbar S. Ahmed, Fatima Mernissi,

Aziz Azmeh, Bassam Tibi, Hassan Hanafi, Riffat Hassan dan lain-lain. 32 Dari Asia Tenggara juga lahir generasi baru yang berbicara tentang Islam di kawasannya

seperti Chandra Muzaffar, Deliar Noer, Omar Farouk, Taufik Abdullah, Sharon Siddique, Nurcholish Madjid dan lain-lain. Generasi yang paling akhir misalnya Azyumardi Azra dan Yudi Latif yang studi-studinya membawa perspektif dan terobosan baru. Di tangan kaum intelektual baru abad ke-20 ini, gema kebangkitan Islam dan kajian-kajian ilmiah Islam terus berlanjut dan terjaga kontinyuitasnya. Studi-studi mereka berangkat dari kemampuan menghadirkan formulasi-formulasi yang lebih akademik yang mampu menjawab tantangan zaman yang dikembangkan dari konvergensi pendekatan-pendekatan Barat dan tradisi Islam.

Penjelasan ini mengindikasikan kemunculan generasi baru sarjana dan pemikir Islam yang dilahirkan dari interaksi tradisi ilmiah Islam–Barat. Atau, dengan kata lain, munculnya lapisan pemikiran Muslim yang dilahirkan dari persentuhannya dengan bahkan dalam tradisi orientalisme. Akses para sarjana Islam terhadap dunia literatur Barat dan tradisi orientalisme justru telah melahirkan angkatan pemikir Islam yang aktif dalam interaksinya dengan isu-isu modernisme yang memerlukan keterlibatan aktif mereka. Tradisi studi ilmiah tentang Islam dan masyarakat Muslim belakangan tidak lagi merupakan dominasi para orientalis tapi juga telah melibatkan banyak pemikir dan sarjana Muslim sendiri. Inilah yang membentuk equilibrium baru kajian-kajian keislaman antara sarjana-sarjana Barat dan para pemikir Muslim. Deskripsi- deskripsi atau konsepsi-konsepsi tentang Islam dan masyarakat Muslim menemukan responnya dari dalam sehingga studi-studi Islam tidak lagi dicirikan oleh suburnya mispersespi dan prasangka.