Kelima, Meningkatnya Pemahaman Obyektif tentang Islam

Kelima, Meningkatnya Pemahaman Obyektif tentang Islam

Seperti telah digambarkan, memasuki pergantian abad ke-20, terutama pasca Perang Dunia ke II, wajah orientalisme telah berubah menjadi lebih “simpatik.” Perubahan ini telah menghasilkan dua kelompok orientalis: Pertama, mereka yang masih melakukan pencitraan buruk, prasangka dan mispersepsinya serta terus mempertahankan salah fahamnya tentang Islam dan kaum Muslimin. Kelompok ini cenderung melihat kebangkitan Islam sebagai penyebab kemunduran Barat dan menjadi ancaman bagi eksistensi peradaban dan

32 Para sarjana tersebut memiliki pandangan-pandangan dan konsern tentang modernitas yang berbeda-beda. Fazlur Rahman mengklaim dirinya sebagai juru bicara pemikir neomodernis.

Rahman merintis ‘pendekatan etis’ (the ethical approach) terhadap Al-Qur'an dan menganjurkan agar kaum Muslimin menangkap pesan-pesan esensial Al-Qur'an dalam rangka relevansisasi dan aktualisasi Islam dengan modernisme. Isma’il Al-Faruqi merintis proyek Islamisasi ilmu yang mengundang polemik konstruktif. Nasr menekankan spiritualitas Islam dan dikenal sebagai juru bicara neo-traditionalisme Islam. Ahmed, Mernissi dan Azmeh konsern dengan isu-isu modernisme dan postmodernisme. Hanafi dikenal menggagas pemikiran ‘kiri Islam’ (Islamic–left) dalam tafsirnya terhadap Al-Qur'an. Sementara Riffat Hassan tertarik dengan studi-studi dekonstruksi kedudukan dan peranan perempuan dalam Islam.

dominasi Barat. 33 Lain kata, pandangan ini melihat Islam tidak lain kecuali politik. Kebangkitan agama-agama non-Barat, terutama Islam, tidak lain kecuali

fundamentalisme dan terorisme. Kebangkitan kesadaran agama non- Barat di berbagai negara akan berujung pada konflik peradaban. 34 Kedua, mereka yang

simpatik terhadap Islam. Mereka melihat Islam sebagai agama yang sudah lama disalahmengertikan. Kelompok kedua ini, lebih dari simpati, melihat Islam secara netral dan bersahabat. Mereka ini adalah golongan orientalis senior seperti Louis Massignon, Montgomery Watt, W.C. Smith, Bernard Lewis, Schimmel dan lain-

lain yang dicirikan oleh pandangan-pandangannya yang positif terhadap Islam. 35 Kemudian, dengan munculnya kelompok orientalis yang lebih muda –

yang disebut Akbar S. Ahmed sebagai “post orientalis”– seperti Michael Gilsenan, Lois Beck, William Chittick, Barbara Metcalf, John L. Esposito dan lain-lain, Ahmed optimis bahwa karya-karya mereka akan diapresiasi lebih baik lagi oleh kalangan sarjana Muslim untuk menciptakan keseimbangan dan netralitas. Senada dengan Ahmed, Bryan Turner mengatakan, “tradisi kesarjanaan baru akan menciptakan kondisi dimana konfrontasi-konfrontasi orientalisme dengan

oksidentalisme akan hilang.” 36 Contoh dari karya yang cukup simpatik tentang Islam misalnya adalah

karya-karya Louis Massignon yang menulis karya besar tentang sufi agung Abu Mansur al-Hallaj (858-922) berjudul La Passion de Husayn Ibn Mansur Hallaj (1975) yang disalin ke dalam bahasa Inggris tahun 1982. Massignon mengkoleksi manuskrip-manuskrip yang banyak sekali yang ia kumpulkan dari Kairo, Istanbul, Teheran, Mosul, Kaza dan lain-lain untuk menuliskan sejarah kehidupan dan puisi-puisinya Al-Hallaj dari teks-teks asli berbahasa Arab. Setelah menunjukkan sikap simpatiknya kepada Nabi Ibrahim sebagai figure abadi sepanjang masa dari tiga agama: Yahudi, Kristen dan Islam, orientalis besar itu mengatakan bahwa Islam sesungguhnya mengajak semua bangsa-bangsa untuk menyadari dan menghargai warisan tradisi Abrahamik. Islam mengajak seluruh umat manusia bersatu dalam panggilan monoteisme agama Ibraham dan

33 Pandangan umum di Barat melihat Islam sebagai sebuah ancaman pasca runtuhnya komunisme bukan lagi dugaan dan kecurigaan tapi sudah merupakan fenomena yang diakui dan dibenarkan

banyak pihak. Paling tidak ada dua studi yang menggambarkan ketakutan Barat akan Islam tersebut. Lihat Esposito, Islamic Threat: Myth or Reality? (1995) dan Huntington, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).

34 Pada tahun 1993, Huntington melakukan prediksi yang kemudian menyulut kontrovesi internasional bahwa dunia pada masa pasca Perang Dingin terbagi menjadi tujuh atau delapan

peradaban besar dunia. Menurut Hutington, "in the post Cold War, for the first time in history, global politics has become multipolar and multicivilizational . . . The most important grouping of the state are no longer the three blocks of the Cold War but rather the world's seven or eight major civilizations . . . The central and most dangerous dimension of the emerging global politics would be conflict between groups from differing civilizations." Kelompok-kelompok peradaban yang dimaksud Esposito adalah Barat, Amerika Latin, Afrika, Islam, Cina, Hindu, Ortodoks, Budha, dan Jepang. Yang kontroversial adalah asumsinya bahwa diantara peradaban besar itu, yang paling potensial menjadi konflik global adalah Barat akan berhadapan dengan Islam menggantikan komunisme yang sudah terkubur. Lihat Huntington, The Clash of Civilization . . . , 1996.

35 Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam, London, Routledge, 1992, hal. 180. 36 Bryan S. Turner, Orientalism, Postmodernism and Globalism, London and New York, Routledge,

1994, hal 13.

menyebarkannya ke seluruh dunia. 37 Ketika Montgomery Watt menulis tentang biografi Nabi Muhammad, dia

tidak hanya melihat bukti-bukti bagaimana keagungan Muhammad dalam kehidupannya sehari-hari, tetapi studinya sampai pada sebuah keraguan mendasar yang mengganggu dirinya: “Jangan-jangan Muhammad benar-benar seorang Nabi.” Sambil menolak pandangan kolega-koleganya dari apa yang ia ragukan sendiri tentang keyakinannya, Watt mengatakan bahwa dia ingin menjawab tantangan yang diberikan Muhammad, dan penelitian tentang sosok Muhammad tidak akan pernah lengkap tanpa menjawab pertanyaan apakah ia memang benar-benar seorang Nabi yang harus kita akui. 38 Pengembaraannya ini

tentu saja memberikan inspirasi kepada orientalis lain untuk lebih netral dan meninggalkan kebencian terhadap Islam karena selama pertanyaan itu tidak dijawab (mengakui kenabian Muhammad) mereka tidak akan sampai pada kesimpulan yang rasional dan diterima oleh kalangan Islam.

Karya Watt yang sangat jelas besimpati kepada Islam adalah bukunya The Influence of Islam on Medieval Europe (1972). 39 Dalam karyanya ini, Watt

menjelaskan secara gamblang tentang kontribusi Islam atas Eropa dan reaksi Eropa terhadapnya. Setelah mengulas panjang lebar tentang prestasi orang Arab dalam lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat seperti matematika, astronomi, kedokteran, logika, metafisika dan yang lain-lain, di akhir bukunya, Watt memberikan kesaksian:

Ketika kita mencermati keseluruh sisi konfrontasi antara Islam dan Kristen pada abad pertengahan, menjadi jelas buat kita bahwa pengaruh Islam atas dunia Kristen Eropa lebih besar ketimbang yang selama ini kita sadari. Bersama-sama Islam, Eropa Barat tidak saja menikmati produk- produk material dan temuan-temuan teknologi; Islam bukan saja mendorong tumbuhnya intelektualisme Eropa dalam lapangan-lapangan ilmu pengetahuan dan filsafat. Di samping itu, Islam telah mendorong Eropa untuk membentuk citra baru mengenai dirinya sendiri. Karena Eropa bereaksi terhadap Islam, wajar saja kalau mereka melecehkan pengaruh yang diterimanya dari kaum Sarasen, dan pada saat yang sama melebih-lebihkan ketergantungannya dalam kedua lapangan di atas kepada warisan Yunani dan Romawi. Maka, dewasa ini, ketika kita tengah bergerak menuju satu dunia, penting bagi kita orang Eropa Barat untuk melakukan koreksi terhadap kekeliruan ini, dan mengakui sepenuhnya utang kita kepada orang Arab dan dunia Islam. (1995: 125)

Kesimpulan Watt tersebut tentu tidak dibuat-buat. Ia berbicara atas fakta-fakta yang ia temukan yang tidak bisa ia tolak dan kemudian membuat kesimpulan

37 Steenbrink, Dialog...., hal. 30. 38 Ibid.

39 Sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam Atas Eropa Abad Pertengahan dan diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama

bekerja sama dengan MISSI (1995), diberi pengantar oleh Nurcholish Madjid.

obyektif yang bisa diterima oleh kalangan Islam. “Jika seorang pengkritik orientalisme paling pedas seperti Edward Said, tidak membicarakan Watt dalam bukunya yang masyhur Orientalism: Western Conceptions of the Orient,” kata Cak Nur, “itu merupakan pengakuan bahwa Watt memang baik dalam melakukan analisis terhadap Islam” (Watt 1995: x). Seperti halnya Massignon dan Watt, Smith juga menyarankan kesimpulan-kesimpulan yang bisa diterima oleh

umumnya kaum Muslimin. 40 Sir. Hamilton A.R. Gibb adalah contoh yang lain. Dia dipandang sebagai

salah satu orientalis besar yang menunjukkan sikap simpatiknya terhadap Islam. Sebagai ahli Islam, ia telah menulis 22 buku tentang Islam dan dunia Timur. Dalam bukunya Wither Islam?, ada ungkapannya yang terkenal yang merupakan kesimpulannya dari keseluruhan prosesnya mempelajari Islam berpuluh-puluh tahun. Ucapannya itu sangat termashur di dunia Islam:

Wilfred Cantwell Smith, setidaknya menulis 15 buku tentang Islam. Begitu pentingnya mempelajari Islam, ia mendirikan Islamic Studies di McGill University, Canada. Simpatinya pada masyarakat Islam terlihat dari ucapannya yang terkenal: “Seluruh studi yang dilakukan tentang Islam hanya valid bila masyarakat Islam sendiri mengatakan ‘ya’ atas studi itu.”

“Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekadar sistem teologi saja, Islam adalah sebuah peradaban yang lengkap). Esposito, salah satu sarjana Barat kontemporer tentang Islam yang sangat

menonjol, bersikap simpatik dalam hampir keseluruhan pandangannya tentang Islam. Dalam bukunya, The Islamic Threat: Myth or Reality? (1995), ia berargumen, ketimbang sebuah ancaman bagi Barat, Islam sesungguhnya adalah tantangan. Islam merupakan ancaman bagi kepuasan diri spiritualitas, sosial dan politik Barat, tapi bukan pada hegemoni Barat. Islam adalah tantangan bagi materialisme, liberalisme dan individualisme Barat, atau terhadap apa yang

disebut Barat sebagai toleransi dan kebebasan berbicara. 41 Ketika gagasan Huntington tentang konflik peradaban (the clash of

civilization) mengemuka dan menarik perhatian dunia, Esposito memberikan bantahannya: “Berbeda dengan Asia Selatan, Islam di Asia Tenggara jauh lebih

40 Lihat kutipan atas Smith di awal tulisan ini. Menarik dicatat, menurut Steenbrink, bahwa para orientalis yang memandang Islam secara obyektif dan mencoba akan berpindah agama

mengalami perlakuan yang tidak simpatik dari lingkungan kolega dan para pengikutnya. Massignon, Watt dan Smith, kata Steenbrink, selain dikritik oleh lingkungan Kristennya, juga menerima perlakuan pengucilan walaupun memiliki banyak pengikut. Mereka berada dalam posisi yang mengambang. Satu sisi telah dianggap keluar dari Kristen karena bersimpati kepada Islam, dan di sisi lain, mereka juga belum diterima sepenuhnya oleh kalangan Islam karena ketidaktegasan menyatakan keyakinannya.

41 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality?, Oxford University Press, Second edition, 1995, hal. 3-6.

multiagama dan multikultural dan merupakan sebuah profil tentang Islam moderat dan pluralistik.” Setelah menjelaskan kiprah pemikiran para sarjana dan kaum profesional Islam Indonesia yang berfikir kreatif dalam gagasan-gagasan pembaruan agama dan sosial, juga tentang demokratisasi, pluralisme dan hak- hak perempuan di dunia Islam, Esposito juga menyebut Malaysia dengan nada yang sama untuk mengkonter tesisnya Huntington: “Jika sebagian orang mempertanyakan apakah Islam cocok dengan modernisasi dan memperingtkan akan bahayanya konflik peradaban antara Islam dan Barat, Malaysia meruntuhkan stereotip-stereotip gegabah semacam itu. Malaysia adalah contoh bangsa Muslim yang secara silmultan menekankan pentingnya identitas

kemusliman tapi juga mempromosikan pluralisme.” 42 Tidaklah diragukan, kritik-kritik para sarjana Barat ini akan berfungsi

lebih efektif dalam menciptakan keseimbangan informasi, gagasan dan pemahaman Islam ketimbang yang datang dari kalangan sarjana Islam sendiri yang bisa jadi terkesan apologetik. Respon orientalis terhadap orientalis lain ini, jelas terkesan lebih obyektif. Pada gilirannya, sesuai dengan berjalannya waktu, Islam semakin dipandang lebih obyektif dan simpatik. Diantara hasilnya adalah tumbuhnya satu generasi yang banyak perpindah agama kepada Islam setelah mereka mengetahui gambaran Islam yang lebih mendekati kebenaran. Tidak hanya lapisan masyarakatnya, beberapa orientalis sendiri sudah terang-terangan menyatakan masuk Islam dan menjadi Muslim seperti Leopold Weiss yang berganti nama menjadi Muhammad As’ad, kemudian juga Martin Lings (Alberry), Thomas Irving, John Webster, Fritjof Schuon, Martin van Bruinessen dan lain-lain. Di abad ke-20, sudah puluhan ribu, di Eropa dan Amerika, orang- orang Barat yang masuk Islam baik dari kalangan ilmuwan, seniman, artis, musisi, olahragawan, aktifis politik dan pergerakan. Ini semua adalah salah satu dampak dari membaiknya hubungan Barat Islam dan semakin difahaminya Islam dalam konteks yang sesungguhnya.