BIDANG ORGANISASI

F. BIDANG ORGANISASI

1. Di dalam usaha mengisi dan membina Orde Baru ini, maka PNI dengan segenap Organisasi Massa-nya meyakini bahwa semua kekuatan sosial politik harus melaksanakan kristalisasi dan konsolidasi daiam tubuhnya masing-masing.

2. PNI dan segenap Organisasi Massanya menyadari bahwa dalam tubuh PNI dan Organisasi Massanya harus juga diadakan kristalisasi dan konsolidasi, agar supaya tubuh sehat, dewasa, militant dan trampil untuk dapat menunaikan tugas perjuangan yang berarti itu.

3. Konsolidasi dan kristalisasi yang dimaksud di atas meliputi:

a. Menghilangkan mental Orde Lama dan menumbuhkan serta mengembangkan mental Orde Baru dalam arti kata yang sebenar-benarnya.

b. Meningkatkan tenaga-tenaga pimpinan Partai/ Organisasi Massa PNI hingga terdiri dari pemimpinpemimpin yang memenuhi syarat- syarat dan mampu melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas.

c. Terus menerus mengadakan penyempurnaan di bidang Organisasi Partai/Organisasi Massanya.

d. Membersihkan diri dari unsur-unsur negatip di dalam tubuh PNI/Organisasi Partai/Organisasi Massanya, dan yang mengganggu pelaksanaan tugas suci sebagaimana digambarkan di atas.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa meridhoi perjuangan kita sekalian. Jakarta, 20 Desember 1967 Desember 1967 Pada bulan September 1966, Panitia Peneliti Ajaran Pemimpin Besar

Revolusi yang dibentuk oleh MPRS, diketuai Osa Maliki, datang kepada Bung Karno. Ada Roelan Abdulgani, Sanusi Hardjadinata dan bersamaan itu kebetulan hadir juga Pak Harto dan Ibu Wachid Hasyim. Sebelum itu, Bung Karno baru saja mengatakan di depan pertemuan Angkatan 45, bahwa ia seorang Marxis. Oleh karena itu, dalam pertemuan ini, Ibu Wachid Hasyim minta: "mbok Bung Karno tidak usah menyatakan sebagai seorang Marxis, kami kan .tidak percaya kalau Bung Karno itu seorang Marxis"

Menurut cerita Osa Maliki, menjelang penyelenggaraan sidang MPP, pimpinan PNI menghadap ke Istana dan Bung Karno berpesan, hendaknya Deklarasi Marhaenis terus berlaku. Tapi kata Osa, DPP PNI tidak dapat menerimanya.

Namun Osa Maliki sebagai ketua umum PNI dalam ceramahnya yang berjudul "Marhaenisme berlawanan dengan Marxisme" yang dimuat dalam brosur "Keterangan Azas PNI" (1968), mengatakan bahwa Marxisme Bung Karno adalah Marxismenya Bung Karno sendiri, bukan Marxisme dari abad ke-19, bukan Dogmatic Marxis. Bung Karno adalah seorang Marxis Revisionis.

Sepanjang ingatan saya, memang Bung Karno berulang-kali mengatakan bahwa ia seorang Marxis Revisionis, karena menolak filsafatnya yang atheis (mengingkari Tuhan). Bung Karno menyetujui Marxisme mengenai hukum dialektikanya, yaitu metode berpikir dalam memecahkan soal-soal masyarakat.

Dalam uraiannya yang disampaikan di hadapan peserta kursus kaum ibu di Gedung Agung Yogyakarta pada tahun 1 946 (yang kemudian dibukukan menjadi "Sarinah")' Bung Karno sudah mengatakan - bahkan diulanginya dalam berbagai kesempatan -, bahwa dalam cita-cita politiknya, ia seorang nasionalis, dalam cita- cita sosialnya, ia seorang sosialis dan dalam cita-cita sukmanya, ia seorang theis yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Osa Maliki Sendiri mengakui bahwa Bung Karno sebagai seorang Marxis, menggunakan Marxisme untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Dengan hancurnya kedua sistim ini, akan menguntungkan dan memberikan kebahagiaan kepada kaum Marhaen.

Bung Karno menyesuaikan Marxisme dengan kondisi Indonesia. Meski pun Marx mengajarkan bahwa imperialisme dan kapitalisme harus dilawan oleh proletar, tapi Bung Karno berkata: Apakah di Indonesia hanya proletar saja yang ada dan berjuang?

Ajaran Marx dianalisa oleh Bung Karno dengan melihat sejarah bermacam-macam revolusi di dunia.

Revolusi Amerika ( 1776), bukan revolusi rakyat, tapi revolusi militer. Angkatan Perang Amerika dengan kekuatan senjatanya melawan kolonialisme Inggris.

Revolusi Perancis (1789), juga bukan revolusi rakyat, tapi revolusi kaum middenstand (golongan menengah) yaitu kaum borjuasi yang menggunakan kekuatan rakyat.

Revolusi India juga revolusi kaum middenstand atau revolusi swadesi yang tidak berhasil.

Revolusi Indonesia menurut analisa Bung Karno, bukan revolusi militer yang waktu itu tidak ada, bukan revolusi middenstand atau borjuasi, karena golongan ini di Indonesia sangat lemah. Yang ada ialah rakyat yang ditindas oleh penjajahan.

Tapi tanya Bung Karno: Rakyat itu siapa? Apakah proletar atau bukan? Akhirnya ia sampai kepada studi bahwa yakyat Indonesia sebagian terbesar bukan proletar. Memang ada proletarnya sedikit yang hidupnya dengan menjual tenaga kepada pemilik modal, tapi lebih banyak petani kecil yang memiliki alat-alat produksi seperti tanah yang sempit, punya pacul dan cangkul, tapi hidupnya melarat dan sengsara. Banyak lagi golongan masyarakat lainnya seperti kaum kromo yang mempunyai rumah gubuk dan alat-alat pertanian, tapi hidupnya melarat. Mereka itulah yang terlibat dan mendukung revolusi.

Golongan ini dinamakan oleh Bung Karno sebagai kaum Marhaen yang menjadi tulang punggung perjuangan nasional. Beda sekali dengan pengertian Marxisme yang menunjuk kepada proletar untuk menghancurkan imperialisme dan kapitalisme. Mereka dirugikan oleh imperialisme dan dihisap oleh kapitalisme/feodalisme, tapi mereka bukan proletar.

Bung Karno menolak diktatur proletariat dan perjuangan klasnya, jadi bagaimana ia bisa dikatakan seorang Marxis.

Inilah alasannya mengapa banyak orang keberatan, terutama tokoh-tokoh PNI gaya baru, jika Bung Karno mengaku seorang Marxis. Artinya, Bung Karno tidak tepat mengaku seorang Marxis, karena beberapa prinsip Marxisme ditolaknya. Mereka tidak memahami bahwa pengakuan "seorang Marxis" yang digunakan oleh Bung Karno itu, digunakan dalam pengertian metafora, pengakuan politis untuk kebutuhan politik, bukan dalam arti hakiki. Bahkan Bung Karno mengakui, dia seorang Marxis Revisionis.

Padahal Amerika selalu berupaya membendung kegiatan politik Bung Karno, bukan semata-mata karena masalah "Marxis" atau "komunis", tapi terutama sekali karena Bung Karno tidak mau tunduk pada keinginan Amerika. Sampai sekarang pun Amerika tidak menolak bermesraan dengan komunis Cina dan Vietnam, karena kedua negara itu membuka pintu bagi penanaman modal Amerika dan pasarnya dibuka bagi pemasaran hasil industri Amerika.

PNI gaya baru yang menyesuaikan diri dengan trend politik baru di Indonesia, dengan sikap pragmatis yang kaku dan dirayu ilusi, merasa tertarik untuk menyatakan bahwa Bung Karno BUKAN BAPAK MARHAENISME, sehingga dengan demikian, Marhaenisme yang menjadi asas PNI, rumusannya bisa direvisi, disesuaikan dengan selera baru, dengan tidak perlu lagi memperhitungkan sikap Bung Karno.

Sejak 1927 ketika Marhaenisme pertama kali diperkenalkan oleh Bung Karno sampai 1965, paham ini diterima penuh dan tidak pernah diributkan. Setiap warga PNI dengan bangga meneriakkan: Marhaen Jaya dan Hidup Bung Karno Bapak Marhaenisme!

Setelah era Orde Baru, segalanya menjadi terbalik. Tokoh-tokoh PNI gaya baru, mengingkari Bapaknya, untuk sekedar mengharapkan "pengakuan".

Tapi malangnya, semua itu tidak menolong. Sebaliknya yang terjadi ialah keruntuhan total PNI, sebuah partai besar simbul nasionalisme Indonesia.

PNI tersungkur dalam posisi pimpinannya berkolaborasi dengan kekuatan yang justru hendak menghacurkannya.

Berikut ini Pernyataan Kebulatan Tekad pemimpinpemimpin PNI gaya baru yang ikut menggulingkan Presiden Sukarno. Akibatnya, setelah Bung Karno di gulingkan, di luar perhitungan pemimpin- pemimpin PNI,PNI sendiri yang dihancurkan.

PERNYATAAN KEBULATAN TEKAD DEWAN PIMPINAN PUSAT PARTAI NASIONAL INDONESIA Beserta SEGENAP DPP/PRESIDIUM ORGANISASI MASSA P.N.I.

SETELAH menyadari sedalam-dalamnya bahwa:

1. Negara Republik Indonesia dan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara hingga kini masih mendapatkan tantangan dan rongrongan baik dari sisa-sisa kekuatan G30S/PKI atau pun dari kekuatan-kekuatan anti Pancasila lainnya.

2. Keadaan politik, ekonomi - kebudayaan - keagamaan dalam masyarakat Indonesia masih jauh dari apa yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia.

KEMUDIAN dari pada itu, setelah meyakini, bahwa untuk menanggulangi masalah-masalah termaksud di atas, segenap potensi PNI - Organisasi Massanya:

berlandaskan azas partai yaitu Marhaenisme dengan tatsiran dan perumusan yang asli/murni dan bebas dari pengaruh- pengaruh Marxisme; yang terkonsolidasi dan telah mengalami Kristalisasi secara positip;

harus ditingkatkan perjuangannya untuk mengamankan dan mengamalkan Pancasila, untuk menyumbangkan amal dan dharma baktinya kepada negara, bangsa dan masyarakat Indonesia guna mensukseskan Dwi Dharma dan Catur Karya Kabinet Ampera bersama-sama dengan kekuatan Pancasilais lainnya dalam keadaan rukun dan damai dengan semangat gotong royong sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila.

Dengan menegaskan kembali pendirian dan sikap sebagaimana telah diputuskan oleh kongres Persatuan/Kesatuan PNI tanggal 24 - 28 April 1966 di Bandung, Keputusan

Sidang M.P.P. ke I dan Sidang MPP ke 11 dan sekaligus MENYATAKAN KEBULATAN TEKAD, sebagai berikut: