ruang lingkup muatan-muatan kejahatan yang termasuk kejahatan politik, seperti kejahatan terhadap sistem politik, nilai-nilai dasar
bernegara atau kejahatan yang bertujuan menjatuhkan kekuasaan. Pengelompokan tersebut dapat lebih jelas apabila tujuan dari
kejahatan terhadap Pancasila sebagai ideologi negara diketahui dengan jelas. Hanya saja berdasarkan pengertian dan cakupan
kejahatan politik di atas, maka secara garis besar kejahatan politik dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok, yaitu:
17
a. Kejahatan oleh pemegang kekuasaan; dan b. Kejahatan terhadap sistem kekuasaan.
Berkaitan dengan kejahatan politik, Dionysious Spineliss lebih menitik beratkannya kepada kejahatan oleh pemegang kekuasaan.
Dalam hal ini, Dionysious Spineliss sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief menyebutkan kejahatan politik sebagai crimes politician
in office memiliki karakteristik adalah:
a. mengandung unsur penyalahgunaan jabatan publik the abuse of politician office;
b. Mengandung unsur pelanggaran kepercayaan violation of trust atau penyalahgunaan kepercayaan abuse of
confidence; c. berkaitan dengan dengan kepentingan hukum masyarakat
yang sangat serius; d. biasanya dilakukan dengan bantuan karyawan sipil atau
karyawan partai sebagai kaki tangan, atau sebagai pelaku utama sementara si politikus sebagai penganjur atau pelaku
tidak langsung;
e. sulitnya tindak pidana ini dideteksi atau dibuktikan;
17
Loc.cit.
f. muncunya fenomena kembar berupa ―penalisasi politik‖
penalization of politics
dan ―politisasi proses peradilan
pidana‖ the politicing of criminal proceedings.
18
Karakteristik kejahatan politik yang disebutkan oleh Dyonisious Spineliss dirasakan belum memberikan batasan mengenai yang
dimaksud dengan kejahatan politik secara sederhana, dikarenanan masih didasarkan pada pengkotomian dua kategori kejahatan politik.
Adanya batasan suatu perbuatan dianggap sebagai kejahatan politik memberikan bantuan untuk membedakannya dengan kejahatan
biasa. Dalam hal ini, peneliti membatasi perbuatan mana yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan
politik pada teori ―predominan‖ yang disampaikan
oleh Hazewinkel-
Soeringa. Teori ―predominan‖ sebagaimana dikutip oleh Loebby Loqman dari Soeringa ialah
―diperhatikan apa yang ―dominan‖ dari suatu perbuatan. Apabila yang dominan adalah kejahatan umum, maka perbuatan tersebut tidak
disebutkan sebagai delik politik.
19
Selanjutnya, hal yang juga masih berkaitan dengan kejahatan politik berhubungan dengan unsur subjektif dari penjahat politik.
Dalam hal ini harus diperhatikan motif perbuatan dari penjahat politik yang membedakannya dengan penjahat
lainnya. Remmelink sebagaimana dikutip oleh Loebby Loqman mengatakan bahwa
―seorang penjahat politik dikendalikan oleh motif altruistis yang digerakkan oleh hati nuraninya. Penjahat politik ingin merubah
18
Ibid, 178-179.
19
Loebby Loqman, Delik Politik di Indonesia, P enerbit Ind-Hill-Co, Jakarta, 1993, hlm. 46.
masyarakat atau pempinan dari masyarakat tersebut sesuai dengan idealnya, sedangkan penjahat biasa didorong oleh motif yang bersifat
egoitis. ‖
20
Sebagai contoh, pembedaan motif dari penjahat politik dengan penjahat biasa dapat dilihat pada kejadian pemberontakan
perjuangan revolusi Partai Komunis Indonesia pada tahun 1965. Dimana pada saat itu, PKI yang dimotori oleh tokoh-tokohnya seperti
D.N. Aidit, M.H. Lukman, Njoto dan Sakirman memiliki motif melakukan ―revolusi merah‖ yang bertujuan merebut kekuasaan
tertinggi Negara dan mentransformasikan Pancasila dengan ideologi Komunisme. Dalam hal ini, cita-cita kaum komunis pada hendak
merebut kekuasaan dengan motif menghilangkan perbedaan kelas. Hal ini hanya sekilas contoh yang menggambarkan motif penjahat
politik. Hal lain yang berkaitan terminologi kejahatan politik ialah dimana
bahwa kejahatan delik politik bukan istilah yuridis, melainkan hanya merupakan istilah sebutan umum Public Term dan istilah sebutan
teoritik ilmiah Scientific Term.
21
Mengenai pengertian yuridis mengenai kejahatan politik sama sekali tidak ditemukan didalam
peraturan perundang-undangan. Hanya saja ada disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi, yang pada
20
Ibid., hlm. 47.
21
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Huku m Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan , Op.cit., hlm. 185.
Pasal 5 ayat 1 menyebutkan ―Ekstradisi tidak dilakukan terhadap
kejahatan politik
‖ cetak tebal oleh peneliti. Selain itu, pada beberapa perjanjian ekstradisi yang telah diratifikasi dan disahkan
melalui undang-undang juga dipergunakan istilah kejahatan politik tanpa menyebutkan pengertian yuridis kejahatan politik.
3. Delik Politik bernuansa Cyber Crime