dikeluarkan akibat diagnosis yang terlambat serta lama terapi yang panjang untuk mengobati aspergillosis invasif. Pengembangan pengobatan infeksi jamur
oportunistik sistemik ke arah yang lebih rasional dan efektif dilakukan karena minimalnya efisiensi dan potensi AMB serta toksisitas obat standard tersebut yang
hingga kini digunakan Ellis et al., 2006. Terapi menggunakan golongan antijamur baru yang lebih poten diharapkan dapat menurunkan tingkat kematian,
lama terapi serta akumulasi biaya yang dikeluarkan. Pengobatan aspergillosis kini dikembangkan kearah yang lebih rasional
dengan cara kombinasi beberapa obat terapi primer. Berbagai kombinasi yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya menunjukkan keberhasilan terapi
dibanding pada penggunaan obat tunggalnya. Pada penelitian in vitro hal ini dapat diungkapkan dengan indeks interaksi kedua obat hasil kombinasi yang
memberikan kemampuan sinergisitas, antagonis, maupun aditif Perea et al., 2002, Siau and Kerridge, 1998, Manavathu et al., 2003. Namun secara klinis
potensi kombinasi tersebut diinterpretasikan dengan dosis penggunaan yang lebih minimal, sehingga toksisitas obat dan biaya pengobatan dapat ditekan Karthaus,
2011, Maertens et al., 2004, Njunda et al., 2012. Pada penelitian Oakley et al 1998 baru dilakukan penelitian terhadap
sensitivitas A. fumigatus dengan AMB dan CAS tunggal metode macrobroth dilution, sehingga belum diketahui bagaimana interaksi keduanya apabila
dikombinasikan. Perea et al 2002 dan Manavathu et al 2003 telah melakukan penelitian in vitro terkait interaksi antara VOR dan CAS yang dikombinasikan.
Penelitian keduanya memberikan data bahwa terdapat penurunan konsentrasi kadar VOR dan CAS yang digunakan pada kombinasi dibandingkan pada
tunggalnya. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas AMB, VOR, dan CAS tunggal maupun kombinasi terhadap A. fumigatus.
B. Perumusan Masalah
1. Manakah efektivitas antijamur yang lebih baik antara antijamur tunggal AMB, VOR, CAS dan antijamur kombinasi AMB-VOR, AMB-CAS,
VOR-CAS terhadap Aspergillus fumigatus?
2. Bagaimanakah interaksi antar antijamur yang dikombinasikan?
C. Tujuan Yang Akan Dicapai
1. Mengetahui efektivitas yang lebih baik antara antijamur tunggal dengan antijamur kombinasi terhadap Aspergillus fumigatus
2. Menginterpertasi interaksi antar antijamur yang dikombinasikan.
D. Tinjauan Pustaka
1. Aspergillus fumigatus
Aspergillus fumigatus termasuk jamur oportunistik yang dapat
menginfeksi salah satu atau semua dari organ tubuh manusia. Konidia jamur ini seringkali ditemukan di udara. Parasit endogen ini umumnya dapat menimbulkan
penyakit pada manusia dengan sistem kekebalan yang terganggu Jawetz and Adelberg, 2007.
a. Taksonomi
Berikut taksonomi Aspergillus fumigatus: Superkingdom
: Eukariot Kingdom
: Fungi Filum
: Ascomycota Subfilum
: Pezizomycotiana Kelas
: Eurotiomycetes Ordo
: Eurotiales Keluarga
: Trichocomaceae Genus
: Aspergillus Spesies
: Aspergillus fumigatus Mehrotra and Aneja, 1990 b.
Morfologi jamur Spesies keluarga Eurotiaceae genus khas Aspergillus ini memiliki
morfologi tertentu yang dapat diidentifikasi secara mikroskopik Gambar 1 dan makroskopik. Pada umumnya, antar Aspergillus sp. dapat dibedakan satu dengan
yang lain dari warna dan bentuk konidianya Mehrotra and Aneja, 1990.
Perbedaan warna hifa pada tiap jamur inilah yang digunakan sebagai parameter karakterisasi yang khas dari tiap spesies Aspergillus sp. Clark et al., 1983.
Jamur berfilamen ini dapat secara jelas diamati dengan mikroskop dengan mewarnai konidia jamur menggunakan larutan lactophenol cotton blue
yang sebelumnya telah ditetesi alkohol 70 ke dalamnya Henrici, 1948, Clark et al., 1983. Oleh karena itu, seringkali penampang mikroskopik Aspergillus
fumigatus berwarna kebiruan.
c. Penyakit yang ditimbulkan
1 Aspergillosis Aspergillosis didefinisikan sebagai suatu kelompok mikosis yang
disebabkan oleh berbagai macam jamur patogen genus Aspergillus, salah satu jenisnya yang paling banyak menyebabkan infeksi jamur sistemik yaitu
Aspergillus fumigatus Jawetz and Adelberg, 2007. Infeksi sistemik ini umumnya dapat memperparah kondisi manusia yang terinfeksi apabila dalam
kondisi kekebalan tubuh rendah, sehingga Aspergillus fumigatus tergolong jamur patogen oportunistik Jawetz et al., 1996. Konidia jamur ini akan tumbuh dengan
baik pada salah satu bagian tubuh atau organ yang ditempelinya, umumnya dalam paru-paru, sebab aspergillus memiliki suhu optimum untuk tumbuh dan
berkembang pada rentang ± 30
o
C, hampir sama dengan suhu tubuh normal manusia yaitu 36,5-37,2
o
C Pasanen, 1991. 2 Infeksi Pernafasan
Infeksi pernafasan yang seringkali ditimbulkan oleh alergi konidia jamur Aspergillus fumigatus yaitu batuk, sesak nafas, infeksi paru-paru allergic
http:www.microscopy-uk.org.uk
Gambar 1. Pengamatan dengan mikroskop konidia jamur Aspergillus fumigatus.
bronchopulmonary aspergillosis, dan rongga pernafasan yang seringkali
menyebabkan sinusitis Penelope and Kieren, 2006. d.
Terapi obat aspergillosis Amfoterisin B merupakan obat golongan polien yang paling banyak
digunakan sebagai obat pilihan pertama yang efektif pada infeksi jamur berat dan beberapa mikosis sistemik Reiss et al., 2011. Obat ini mampu mengikat
ergosterol membran sel jamur sehingga membran sel tidak terbentuk, selain itu juga dapat mengikat flusitosin dan analog pirimidin yang tidak memungkinkan
membran sel dapat terbentuk dengan sempurna Jawetz and Adelberg, 2007. 2.
Antijamur a.
Amfoterisin B Amfoterisin B AMB Gambar 2 termasuk dalam golongan mayor
polien dengan spektrum terapi luas. Polien makrolida konvensional ini memiliki 7 ikatan rangkap, termasuk ester di dalamnya, karboksil bebas, dan glikosida pada
rantai sampingnya dengan kelompok amina primer Walsh et al., 2008. Mekanisme kerja AMB utamanya dengan mengikat ergosterol yang akan dibentuk
menjadi dinding sel jamur. Amfoterisin B juga mengikat kolesterol dalam membran sel jamur, walaupun kemampuannya tidak sebesar dalam mengikat
ergosterolnya. Hal ini menyebabkan disfungsi organ dalam sel jamur akibat pemutusan ikatannya oleh AMB, sehingga membran sel jamur tidak terbentuk
yang menyebabkan kematian pada sel Herbrecht et al., 2007. Penggunaan AMB secara luas selama beberapa tahun terakhir sebagai
fungistatik dan fungisidal menyebabkan meluasnya tingkat resistensi Aspergillus fumigatus terhadap obat ini. Hal ini dibuktikan dengan lama terapi obat ini
terhadap infeksi invasif aspergillosis yang semakin lama dengan dosis toleransi semakin tinggi Ellis et al., 2006 dengan resiko nefrotoksisitas dan hipokalemia
akibat penggunaan AMB Jawetz and Adelberg, 2007. Umumnya hal ini disebabkan karena lamanya terapi penyembuhan aspergillosis hingga mampu
mematikan jamur penyebab penyakit Karthaus, 2011.
b. Vorikonazol
Vorikonazol VOR Gambar 3 masuk dalam generasi kedua azol yang terbukti secara in vitro dan in vivo aktif melawan spektrum jamur yang luas,
termasuk Aspergillus fumigatus Manavathu et al., 2003. Dari beberapa kasus aspergillosis, VOR memiliki aktivitas fungisidal juga fungistatik yang baik
Johnson et al., 1998. Azol memiliki target aksi pada pengikatan ergosterol jamur Ghannoum and Rice, 1999. Obat ini dilaporkan memiliki toksisitas rendah
terhadap renal dengan bioavailabilitas baik di dalam tubuh Linares et al., 2005.
c. Kaspofungin
Kaspofungin CAS Gambar 4 merupakan golongan baru antijamur. Obat golongan echinocandin
ini terbukti efektif menekan pertumbuhan Aspergillus fumigatus pada konsentrasi rendah disertai efek fungisidal walaupun
sedikit. Kaspofungin merupakan derivat dari pneumocandin Bo Manavathu et al., 2003. Toksisitas obat ini dalam rentang terapi infeksi aspergillosis minimal
Maertens et al., 2004.
Gambar 2. Struktur molekul AMB.
Gambar 3. Struktur molekul VOR.
Gambar 4. Struktur molekul CAS.
Mekanisme kerja CAS dengan menghambat sintesis 1,3-D-glukan pada dinding sel jamur, dengan penghambatan non kompetitif enzim 1,3-D-glukan
sintase yang merupakan komponen esensial bagi sebagian besar jamur
untuk membentuk dinding selnya, termasuk Aspergillus fumigatus. Komponen inilah yang digunakan sebagai target obat baik sebagai fungisidal maupun
fungistatik CAS Ghannoum and Rice, 1999. Hasil uji in vitro CAS memberikan informasi bahwa efek fungisidal diperoleh dari penghambatan pembentukan
dinding sel, sedangkan efek fungistatik dari perubahan integritas dinding sel jamur Letscher-Bru and Herbrecht, 2003.
3. Metode uji sensitivitas antijamur
a. Macrobroth dilution
Metode macrobroth dilution seringkali dilakukan apabila terdapat beberapa fasilitas penelitian yang tidak tersedia di dalam laboratorium. Selain
lebih mudah dan lebih murah dalam pengerjaannya, metode ini juga lebih mudah dikerjakan dibanding microbroth dilution. Utamanya untuk pengujian dengan
volume besar dan jumlah sampel yang banyak Therese et al., 2006. Keuntungan lain menggunakan metode ini yaitu mempermudah pembacaan dan penentuan
KHM Kadar Hambat Minimal.
http:www.drugbank.ca
b. Microbroth dilution
Microbroth dilution merupakan metode yang direkomendasikan Clinical Laboratory Standards Institute CLSI untuk menguji sensitivitas Aspergillus
fumigatus terhadap beberapa obat antijamur, sesuai dalam referensi dokumen CLSI M38-A Fothergill, 2012. Metode ini memiliki tahapan kerja yang hampir
sama dengan macrobroth dilution. Perbedaan terdapat pada alat ujinya, yaitu dengan teknik microbroth dilution sering disebut sebagai checkerboard analysis
Badiee et al., 2012. c.
Disk diffusion Pada metode disk diffusion memungkinkan peneliti untuk mengatur
sendiri konsentrasi kadar antijamur maupun antibiotik yang akan dimasukkan dalam disk Therese et al., 2006. Metode ini menggunakan media agar dalam
cawan petri yang memerlukan kontrol suhu dan waktu inkubasi serta sterilitas dalam pengerjaannya Siau and Kerridge, 1998.
d. E-test
E-test merupakan metode uji sensitivitas yang paling sederhana dari metode lain yang umumnya dipakai. E-test dibenamkan pada petri berisi media
dan suatu jamur tertentu di dalamnya untuk kemudian diinkubasi selama beberapa waktu Badiee et al., 2012.
4. Interaksi antar antijamur
Data hasil penelitian Oakley et al 1998 terkait kombinasi vorikonazol dengan itrakonazol menunjukkan hasil yang sangat baik melawan pertumbuhan
jamur Aspergillus fumigatus secara in vitro. Hasil tersebut ditinjau dari nilai KHM vorikonazol ketika dikombinasikan yaitu 0,5-
1 μgmL. Pada penelitian Manavathu et al 2003 terhadap kombinasi vorikonazol dengan kaspofungin menunjukkan
hasil yang kurang baik, dibandingkan apabila vorikonazol dikombinasikan dengan ravukonazol. Sejauh yang diketahui peneliti, kombinasi antara amfoterisin B
dengan vorikonazol maupun kaspofungin belum terdapat penelitian secara in vitro maupun kasus terapi yang menggunakan kombinasi amfoterisin B dengan
vorikonazol maupun kaspofungin.
E. Landasan Teori