Artis dan Amputansi Parpol Modern

10

Suara Pembaruan

OPINI & EDITORIAL

Jumat, 26 April 2013

Group Publisher:
Peter F Gontha

SP

Pemimpin Umum:
Theo L Sambuaga
Wakil Pemimpin Umum:
Randolph Latumahina
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:
Primus Dorimulu

Memihak Kebenaran


Editor at Large:
John Riady

Tajuk Rencana

Kepongahan di Depan Hukum

H

ukum bagai tak mampu tegak berdiri saat berhadapan dengan orangorang berpengaruh atau berstatus sosial di atas orang kebanyakan.
Bagai mereka yang memiliki kemampuan finansial yang begitu besar
atau mempunyai kedekatan dengan pemegang kekuasaan, hukum seolah
lunglai tanpa daya. Begitu ketika seorang pensiunan perwira tinggi polisi berhadapan dengan hukum, tiada kekuatan yang bisa memaksa bekas pembesar
itu patuh. Pelaksanaan eksekusi terhadap mantan Kepala Badan Reserse
Kriminal Mabes Polri Susno Duadji memperkuat pandangan skeptis yang berbunyi, hukum hanyalah keras kepada orang-orang kecil, namun lemah terhadap orang-orang kuat.
Keberlakuan hukum yang secara universal menempatkan setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama, di negeri ini justru diputarbalikkan karena
kekuasaan atau kekuatan finansial dan politik. Kekuatan finansial serta posisi
hebat seseorang mampu menumpulkan kekuatan hukum saat berlaku terhadap diri atau orang-orang dekatnya.

Susno yang puluhan tahun sebagai penegak hukum justru tidak memperlihatkan keteladanan mematuhi hukum. Perlawanannya terhadap putusan lembaga peradilan yang menghukum dengan pidana penjara 3,5 tahun, memperlihatkan kepongahannya yang hendak membuktikan dia adalah orang yang
tidak tersentuh oleh hukum. Begitu mirisnya saat mendengar kabar yang menyebutkan orang-orang miskin tidak pernah mampu berbuat banyak ketika
penegakan hukum yang sewenang-wenang dan tanpa sedikit pun menempatkan rasa keadilan diterapkan secara keras. Sebaliknya, penegakan hukum
yang tidak boleh membedakan status sosial bagai menutup sebelah mata dan
memberi ruang yang amat besar kepada orang-orang kaya dan berpangkat
untuk membela diri atau lolos dari jerat hukum.
Perlawanan Susno terhadap pelaksanaan eksekusi yang hendak dijalankan oleh jaksa sebagai penuntut umum atas perkara yang sudah diputus oleh
Mahkamah Agung, sesungguhnya tidak lebih dari upaya untuk menghindar
dari sanksi hukum. Penafsiran sepihak yang menjadi dalil dari pihak terpidana
maupun kuasa hukumnya mengenai ketidaklengkapan bunyi putusan kasasi
secara yuridis formal bukan menjadi alasan eksepsional sehingga hukum tidak
berlaku terhadap pensiunan polisi itu.
Ketidakpatuhannya untuk menjalankan pelaksanaan hukuman membuka
mata banyak orang bahwa dia cuma mencari cara agar bisa lolos dari jerat hukum. Bahkan, ada juga sementara kalangan yang menduga bahwa masuknya
Susno ke sebuah partai politik dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif
menjadi salah satu jurusnya untuk bisa lepas dari jangkauan tangan penegak hukum. Sesungguhnya sikap perlawanan yang diperlihatkan Susno Duadji bukan
hanya turunnya kredibilitas namanya sebagai seorang mantan petinggi kepolisian, tapi juga berdampak buruk terhadap Polri. Apalagi ketika lembaga penegak
hukum itu bertindak seolah melindungi terpidana yang hendak dijemput oleh jaksa untuk menjalankan pemidanaan. Susno dengan sikapnya sudah membenturkan sesama penegak hukum, kendati polisi selayaknya menyadari bahwa kedatangan jaksa untuk menjemput terpidana guna menjalani hukumannya.
Hingga kini belum bisa diketahui kapan jaksa akan bisa membawa Susno
untuk menjalani hukumannya di lembaga pemasyarakatan meski Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto sudah memerintahkan agar Susno Duadji mematuhi hukum.

Sesunggunya tanpa ada perintah atau pernyataan keras dari pembesar di
negeri ini, terpidana yang puluhan tahun menyandang predikat sebagai penegak hukum dengan kesadaran penuh mematuhi hukum dengan secara sukarela menjalankan putusan pengadilan. Perlawanan Susno memberikan pelajaran yang amat buruk kepada publik mengenai kepatuhan terhadap hukum.
Jaksa yang mewakili negara dan diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk menjalankan putusan hakim diremehkan dengan perlawanan itu.
Bila jaksa sudah diremehkan, bukankah itu berarti pula meremehkan kewibawaan negara? Otoritas sebuah negara bisa dilihat dari penegakan hukum.
Negara yang memiliki otoritas penuh tidak akan menghadapi kesulitan atau
dipermainkan saat aparaturnya hendak menegakkan hukum. Negara yang
berwibawa dan berkemauan membuat hukum tegak dan dipatuhi seyogianya
tidak boleh memberikan tempat kepada siapa pun untuk berdiri bagai sosok
yang tak tersentuh hukum, bahkan mengangkanginya. Hukum yang berwibawa dan setiap warga negara tunduk dan mematuhinya, menjadi faktor yang
amat menentukan bagi maju atau tidaknya negara ini. Dengan predikat Indonesia sebagai negara hukum maka tidak ada tempat bagi satu manusia pun
yang kebal terhadap hukum, apalagi mengecohnya.

S A S A R A N
Pemerintah meminta putusan hukum terhadap Susno Duadji dihormati.
– Rakyat sedih melihat penegak hukum tidak patuhi hukum.

Hasil survei menunjukkan pemuda tidak suka partai.
– Kalau tidak ada pendekatan, golput akan meningkat.

Tulisan opini panjang 1.200 kata disertai riwayat hidup singkat,

foto kopi NPWP, foto diri penulis dikirim ke opini@suarapembaruan.com.
Bila setelah dua minggu tidak ada pemberitahuan dari redaksi,
penulis berhak mengirim ke media lain.

Artis dan Amputasi Parpol Modern
IDING
R HASAN

K

ehadiran artis dalam dunia politik Indonesia
masih dianggap sebagai
magnet yang mampu menyedot
perhatian publik. Dalam daftar
calon caleg sementara (DCS)
yang diajukan parpol kontestan
Pemilu 2014, terdapat sejumlah
nama dari kalangan artis. Selain
nama-nama yang sudah lebih dulu masuk legislatif, kini muncul
nama-nama baru.

Meskipun banyak kritik kepada para artis yang telah berkiprah
di dunia politik terkait dengan kapasitas dan kapabilitas politiknya,
namun partai-partai politik agaknya tetap bergeming untuk terus
merekrut artis. Memang terdapat
hubungan simbiosis-mutualistis
antara parpol dan artis. Parpol jelas akan diuntungkan oleh kehadiran artis, karena dengan modal
popularitas dan finansial, artis lebih berpotensi daripada caleg-caleg lainnya untuk meraih suara.
Sementara bagi artis sendiri, partai memberikannya kendaraan
untuk masuk ke dalam dunia politik tanpa harus melewati tahapantahapan politik seperti halnya kader-kader partai.
Faktor lain yang membuat
parpol masih menjadikan para artis sebagai tumpuan harapan adalah diterapkannya sistem pemilihan proporsional terbuka sejak Pemilu 2009. Dalam sistem seperti
ini, suara terbanyak merupakan
faktor kunci melenggangnya seorang caleg ke lembaga legislatif.
Para artis mendapatkan keuntungan karena tidak terlalu repot
melakukan kampanye khususnya
beriklan di media massa. Dalam
pekerjaannya mereka kerap warawiri di layar kaca sehingga publik
mudah mengenali.
“Vote Getter”?
Banyak kalangan menilai

bahwa perekrutan artis sebagai
caleg oleh parpol dilakukan atas

dasar pertimbangan, mereka dijadikan pendulang suara (vote
getter). Tetapi benarkah artis
masih layak dianggap sebagai
pendulang suara untuk saat ini?
Sebenarnya istilah pendulang
suara sudah tidak relevan lagi
kalau diterapkan dalam konteks
politik Indonesia kontemporer.
Istilah pendulang suara pada
awalnya disematkan kepada orang-orang terkenal ketika sistem
pemilihan yang diterapkan adalah
sistem proporsional tertutup, di
mana masyarakat memilih partai
bukan orang, dan partailah yang
menentukan siapa yang berhak
menjadi anggota legislatif. Biasanya partai sudah menentukan nomor urut caleg dan inilah yang paling menentukan.
Seorang vote getter seperti

artis biasanya tidak ditempatkan
pada nomor urut jadi, melainkan
nomor urut bawah, karena fungsi
mereka hanyalah untuk mendulang suara bagi partai yang
mengusungnya. Dengan demikian, istilah vote getter lebih tepat
ditujukan pada orang-orang yang
dipasang hanya untuk mengumpulkan suara bagi parpol.
Pemilihan sekarang yang
menggunakan sistem proporsional terbuka istilah vote getter sebenarnya tidaklah tepat. Dalam
sistem proporsional terbuka
yang paling menentukan adalah
suara terbanyak. Caleg yang
mendapatkan nomor urut terbawah pun memiliki peluang keterpilihan yang sama dengan caleg
di urutan atas. Para artis yang
ikut berkompetisi tidak lagi berfungsi sebagai pendulang suara
bagi partainya, melainkan bagi
dirinya sendiri.
Perekrutan para artis atau para pesohor lainnya sebagai caleg,
meskipun di satu sisi menguntungkan bagi partai politik dalam
hal perolehan suara, tetapi pada

sisi lain, juga bisa menjadi penyakit yang kalau dibiarkan akan
terus menggerogoti eksistensi
partai. Dalam hal ini adalah keharusan partai-partai politik di
Indonesia menjadi partai modern. Bagaimanapun masa transisi Indonesia menuju negara demokrasi harus disokong oleh
partai-partai politik modern. Salah satu variabel dari partai poli-

tik modern yang relevan dalam
konteks ini adalah adanya kaderisasi yang berjenjang. Kaderisasi yang seharusnya dilakukan
partai politik modern pada
umumnya melalui tiga tahapan
penting. Pertama, rekrutmen
anggota partai. Tentu saja perekrutan anggota partai dilakukan
melalui proses seleksi yang ketat
dan profesional, tidak berdasarkan kekerabatan, kekuatan modal atau popularitas.
Kedua, tahap pembinaan
anggota menjadi kader partai loyalis yang memahami betul platform dan ideologi partai. Inilah
orang-orang yang oleh Dan
Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan dan Media (1999) disebut sebagai politisi-politisi ideolog
yang di kemudian hari bisa menjadi penggerak utama parpol.
Mereka adalah politisi-politisi

yang lahir dari rahim ideologi
partai. Oleh karena itu, tahap kedua ini merupakan tahap yang
paling penting dalam kaderisasi
partai politik.
Ketiga, distribusi sumbersumber daya politik ke dalam
pos-pos kekuasaan baik legislatif
maupun eksekutif. Setelah para
kader dibina menjadi loyalis-loyalis partai barulah mereka diikutkan dalam kompetisi politik
seperti dalam pemilihan legislatif yang tidak lama lagi akan berlangsung di negeri ini. Kader-kader semacam inilah yang sebenarnya paling siap untuk berkompetisi secara sehat.
Dengan demikian, perekrutan para artis oleh partai-partai
politik di Indonesia dapat dianggap sebagai pengamputasian tahapan partai untuk menjadi partai politik modern. Hal ini karena
para artis melompat dari tahap
pertama ke tahap ketiga. Mereka
tidak melalui tahap kedua yang
sebenarnya merupakan tahap
yang paling penting. Tidak heran
artis yang kemudian berhasil lolos menjadi anggota legislatif tidak mampu menampilkan performa politik yang memadai.
PENULIS ADALAH DEPUTI DIREKTUR
THE POLITICAL LITERACY INSTITUTE,
DOSEN KOMUNIKASI POLITIK

FISIP UIN JAKARTA