Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

13 2. Ahmad Feri Tanjung dengan judul TANGGUNG JAWAB HUKUM PENGGUNA ANGGARAN ATAS PERUBAHAN TEKNIS PEKERJAAN PASCA PENANDATANGANAN SURAT PERJANJIAN KONTRAK PELELANGAN PENGADAAN BARANG DAN JASA Tesis yang berjudul “Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender BarangJasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan secara akademis dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun ada peneliti- peneliti pendahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai masalah tugas jabatan Notaris, namun secara judul dan substansi pokok permasalahan yang dibahas sangat jauh berbeda dengan penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai landasannya dan tugas teori hukum adalah untuk: “menjelaskan nilai-nilai hukum dan postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam, sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang di bahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri”. 7 7 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Umum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, hal. 2. Universitas Sumatera Utara 14 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. 8 Teori berguna untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Menurut Soerjono Soekanto, bahwa “kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.” 9 Snelbecker mendefenisikan teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaksis yaitu yang mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang diamati. 10 Di dalam penjelasan umum atas Undang-undang Persaingan Usaha dikatakan bahwa kebijakan pemerintah diberbagai sektor ekonomi yang dibuat selama tiga dasawarsa terakhir ternyata belum membuat seluruh masyarakat mampu berpartisipasi, hanya sebagian kecil golongan masyarakat saja yang dapat menikmati kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut, sehingga berdampak kepada semakin meluasnya kesenjangan sosial. 8 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hal. 80. 9 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 1986, hal. 6. 10 Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, hal. 34-35. Universitas Sumatera Utara 15 Di sisi lain perkembangan usaha swasta pada kenyataannya sebagian besar merupakan perwujudan dari kondisi persaingan usaha yang tidak sehat. Kedudukan monopoli yang ada lahir karena adanya fasilitas yang diberikan oleh pemerintah. 11 antara lain melalui tata niaga serta ditempuh melalui praktek bisnis yang tidak sehat unfair business practices seperti persekongkolan untuk menetapkan harga price fixing melalui kartel menetapkan mekanisme yang yang menghalangi terbentuknya kompetisi, menciptakan barrier to entry, 12 dan terbentuknya integrasi baik horizontal dan vertikal. Teori yang digunakan dalam penelitian tesis ini adalah teori dari Hans Kelsen tentang tanggung jawab hukum. Satu konsep yang berhubungan dengan konsep tanggung jawab hukum, bahwa seseorang bertanggung jawab secara hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab hukum, subyek berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal perbuatan yang bertentangan. 13 Apabila didasarkan pada sifat-sifat atau jenis-jenis perjanjian di atas maka perjanjian Pengadaan BarangJasa Pemerintah adalah termasuk pada Perjanjian Timbal Balik karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Juga termasuk pula Perjanjian Atas Beban karena masing-masing pihak mempunyai 11 Ahmad Yani dan Gunawan Wijaya, Anti Monopoli, cet.1.Jakarta: Raya Grafindo Persada,1999, hal. 7. 12 Barrier to entry adalah hambatan yang dibuat untuk mencegah masuknya pesaing potensial, barrier toentry ini biasa dilakukan melalui perizinan usaha dari pemerintah 13 Hans Kelsen sebagaimana diterjemakan oleh Somardi, General Theory Of law and State, Teori UmumHukum dan Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif- Empirik, Jakarta: BEE Media Indonesia, 2007, hal. 81. Universitas Sumatera Utara 16 kewajiban memberikan sesuatu prestasi. Jika berdasarkan cara terbentuknya dapat digolongkan sebagai Perjanjian Konsensuil karena timbulnya perjanjian berdasarkan adanya kata sepakat dari pihak Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak Penyedia Barang. Pada perjanjian Pengadaan BarangJasa inipun sangat tepat digolongkan pada Perjanjian Formil karena dalam proses pelaksanaannya mengharuskan melalui beberapa tahapanformalitas yang sudah ditentukan. Dalam Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan bahwa:“Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Para penyedia barangjasa pemerintah dilarang untuk melakukan pengaturan- pengaturan berupa dan berbentuk apapun untuk menentukan pemenang tender. Pengaturan-pengaturan tersebut bisa saja dilakukan oleh penyedia barangjasa selaku peserta tender pengadaan barangjasa pemerintah dengan panitiapejabat pengadaan barangjasa pemerintah dan atau oleh para penyedia barangjasa selaku peserta tender dengan panitiapejabat pengadaan barangjasa pemerintah, atau bahkan dengan malalui pihak-pihak lain yang tidak terkait dengan tender pengadaan barangjasa pemerintah yang dapat memenangkan tender pengadaan barangjasa pemerintah tersebut. 14 14 Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Azas-Azas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991, hal. 110. Universitas Sumatera Utara 17 Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus pula bersendikan pada keadilan, yaitu asas-asas keadilan dari masyarakat itu. 15 Pasal 33 UUD 1945 Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial ditegaskan antara lain: a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. c. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. d. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ekonomi Pasar Sosial berdasarkan Pasal 33 bertujuan: a. Mengembangkan mekanisme ekonomi pasar terkendali yang diabdikan bagi kesejahteraan masyarakat. b. Mendorong inisiatif swasta dalam kegiatan ekonomi dengan tetap memelihara keseimbangan kepentingan swasta dan kepentingan sosial dalam manajemen perekonomian melalui instrument pengendali sebagai bentuk dari intervensi pemerintah untuk mempertahankan persaingan sehat dan wajar. c. Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh para pelaku usaha yang merugikan para pelaku usaha yang lain, dapat menimbulkan konflik yang tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi Negara. Penerapan aturan hukum tegas merupakan salah satu upaya untuk mencegah bentuk–bentuk kejahatan bisnis tersebut. Lahirnya undang-undang anti monopoli merupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Republik Indonesia untuk 15 C. S. T . Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hal. 41 Universitas Sumatera Utara 18 menciptakan iklim ekonomi yang sehat dan mencegah persaingan usaha yang tidak sehat yang dapat mematikan potensi kemajuan ekonomi bangsa. Tujuan dari undang- undang antimonopoli adalah untuk menciptakan efisiensi pada ekonomi pasar dengan mencegah monopoli, mengatur persaingan yang sehat dan bebas, dan memberikan sanksi terhadap kartel atau persekongkolan bisnis. Bagaimanapun juga ide tersebut telah lahir dari hak inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat untuk selanjutnya disebut DPR untuk memiliki undang-undang untuk selanjutnya disebut UU Antimonopoli bagi Indonesia sejak bertahun-tahun. Berkembangnya perhatian rakyat Indonesia untuk memiliki undang-undang antimonopoli disebabkan oleh kenyataan bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut konglomerat di Indonesia telah mencaplok pangsa pasar terbesar ekonomi nasional Indonesia dan dengan cara demikian mereka dapat mengatur barang-barang dan jasa, dan menetapkan harga-harga demi keuntungan mereka. Persekongkolan tender mendapat perhatian khusus dari KPPU sehingga mendorong KPPU untuk mengajukan draf Pedoman Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Berdasarkan UU No. 51999. Latar belakang lahirnya draf pedoman tersebut adalah pertama, terdapatnya gambaran yang tidak jelas dalam pelaksanaan tender yang sesuai dengan semangat persaingan usaha sebagaimana ditentukan dalam UU No. 51999. Kedua, ketentuan Pasal 22 masih bersifat umum dan kurang memberikan penjelasan rinci mengenai pelaksanaan tender. Pasal 22 hanya melarang persekongkolan untuk menentukan danatau mengatur pemenang Universitas Sumatera Utara 19 tender tanpa melakukan elaborasi cara-cara atau indikator apakah yang dapat dikatakan sebagai penentuanpengaturan pemenang tender. Berkaitan dengan sifat keumuman dari Pasal 22 maka keinginan untuk membuat suatu pedoman pelaksananaan tender perlu dihargai sebagai salah satu pelaksanaan tugas KPPU Pasal 35 huruf f UU No. 51999. Sehingga diperlukan upaya untuk menggali situasi yang dapat ditentukan sebagai penentuan atau pengaturan pemenang tender. Akan tetapi agar pedoman dapat menjadi benchmark bagi para pelaku usaha dalam melaksanakan proses tender maka KPPU harus memperhatikan ”yurisprudensi” dari putusan KPPU. Karena putusan KPPU merupakan sumber hukum untuk mengetahui kondisi atau situasi yang oleh KPPU dapat dikategorikan sebagai bersekongkol untuk menentukan atau mengatur pemenang tender. Sebagaimana diketahui Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah menegaskan bahwa tugas pokok dari Notaris adalah membuat akta otentik dan akta otentik itu akan memberikan kepada pihak- pihak yang membuatnya suatu pembuktian yang mutlak. Sebelum berlakunya Undang-Undang Jabatan Notaris dapat dilihat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa: “Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.” Menjalankan tugas jabatannya, Notaris tidak hanya berwenang untuk membuat akta otentik dalam arti menyusun, membacakan dan menandatangani dan Universitas Sumatera Utara 20 dalam bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1868 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya,” tetapi kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik dapat juga berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Jabatan Notaris yang berbunyi: Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang- undangan danatau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dilihat dari uraian pasal tersebut di atas, dapat dikemukakan bahwa kewajiban bagi Notaris adalah untuk membuat suatu akta, kecuali apabila terdapat alasan-alasan yang mempunyai dasar untuk menolak pembuatan akta tersebut. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya juga dituntut harus memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai ketentuan Undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Adanya hubungan erat antara ketentuan mengenai bentuk akta dan keharusan adanya pejabat yang mempunyai tugas untuk melaksanakannya, menyebabkan adanya kewajiban bagi pemerintah untuk menunjuk dan mengangkat Notaris. Universitas Sumatera Utara 21 Terhadap otentisitas suatu akta otentik yang dibuat di hadapan Notaris, dapat dilihat dari unsur-unsur yang tercantum di dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut di atas, yakni sebagai berikut: a. Bahwa akta itu dibuat dalam bentuk menurut hukum; b. Bahwa akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; c. Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat dimana akta itu dibuat. Berkaitan dengan tugas dan wewenang Notaris yang diberikan oleh pemerintah kepadanya, untuk itu Notaris dalam menjalan tugas jabatannya harus berpegangan pada ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan- peraturan yang ada, baik itu Undang-undang maupun Kode Etik Profesi Notaris. Notaris adalah merupakan suatu profesi, karena itu, terhadapnya perlu diberikan aturan etika profesi dalam bentuk kode etik, di samping diberikan kepadanya tempat bernaung dalam suatu organisasi profesi Notaris yang disebut dengan Ikatan Notaris Indonesia, atau yang disingkat dengan INI. 16 Notaris dalam profesinya sesungguhnya adalah merupakan pejabat umum, yang dengan akta-aktanya akan menimbulkan alat-alat pembuktian tertulis dan mempunyai sifat otentik, sehingga dengan adanya peran Notaris akan mendorong masyarakat untuk mempergunakan alat-alat pembuktian tertulis otentik. Oleh karena itu Notaris harus aktif dalam pekerjaannya dan bersedia melayani masyarakat manapun juga yang membutuhkan jasa-jasanya. Negara merasa perlu menata kelembagaan notariat melalui sejumlah pembatasan- pembatasan, mengingat kewenangan lembaga Notariat diabdikan sepenuhnya untuk kepentingan yang lebih tinggi, yakni kepentingan masyarakat. Garis 16 H. M. N. Purwosujtipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Pengetahuan Dasar Hukum Dagang, Jakarta: Djambatan, 2007, hal. 16. Universitas Sumatera Utara 22 kewenangan formal yang diderivasi dari kekuasaan umum inilah yang membedakan jabatan Notaris dengan profesi-pofesi lainnya. 17 Berdasarkan hal di atas, pembatasan-pembatasan yang dimaksud dapat berupa peraturan yang mengikat di kalangan Notaris self regulation yang diwujudkan dalam kode etik Notaris. Di dalam menjalankan tugas jabatannya, Notaris selain terikat dengan segala ketentuan yang tertuang dalam undang-undang, juga harus ikut serta menegakkan ketertiban ditengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan pelaksanaan tugas jabatannya, maka Notaris harus dikontrol dengan Kode Etik Profesi, lebih lanjut Frans Hendra Winarta menyatakan bahwa organisasi profesi memiliki kepentingan untuk memperoleh jaminan agar anggotanya menjalankan tugasnya dengan memenuhi standar etika profesi. Hal ini sangat penting, mengingat profesi hukum merupakan profesi mulia atau luhur, yang sangat berkaitan dengan kepentingan umum. 18 Selain diikat oleh kode etik Notaris, dalam menjalankan tugas dan kewenangannya ada 3 tiga aspek yang harus diperhatikan Notaris pada saat pembuatan akta. Aspek-aspek ini berkaitan dengan nilai pembuktian, yaitu: 19 a. Lahiriah uitwendige bewijskracht Kemampuan lahiriah akta Notaris, merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik acta publica probant 17 Irsyadul Anam Malaba, Pluralitas Organisasi Notaris Di antara Hak, Kebutuhan, Inefiensi dan Tafsir Pemerintah, Jakarta: Jurnal Renvoi, Nomor 2. 26. III Tahun Ketiga 2005, hal. 35. 18 Frans Hendra Winarta, Persepsi Sebagian Masyarakat Terhadap Profesi Hukum Di Indonesia, Media Notariat, Edisi Oktober – Desember 2003, Nomor 3, Jakarta: CV. Pandeka Lima, 2003 hal. 59. 19 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, halaman 123. R. Subekti, Hukum Acara Perdata,Bandung: Bina Cipta, 1989, hal. 93-94. Universitas Sumatera Utara 23 sese ipsa. Jika dilihat dari luar lahirnya sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang menyangkal keotentikan akta Notaris. Parameter untuk menentukan akta Notaris sebagai akta otentik adalah adanya tanda tangan dari Notaris yang bersangkutan, baik yang ada pada Minuta dan Salinan serta adanya awal akta mulai dari judul sampai akhir akta. Nilai pembuktian akta Notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta Notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta Notaris sebagai akta otentik, bukan akta otentik, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta Notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta otentik. b. Formal formele bewijskracht Universitas Sumatera Utara 24 Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh Notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta Notaris. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul waktu menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihakpenghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris pada akta pejabatberita acara, dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihakpenghadap pada akta pihak. Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh Notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikandisampaikan di hadapan Notaris dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta Notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta Universitas Sumatera Utara 25 tersebut harus diterima oleh siapa pun. Tidak dilarang siapa pun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta Notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas akta yang dibuat di hadapan Notaris atau yang dibuat oleh si Notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa ada aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dalam akta yang bersangkutan, misalnya bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap Notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi maka yang bersangkutan atau penghadap tersebut dapat mengajukan tuntutan untuk menggugat Notaris, dan penguggat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut. 20 c. Materil materielebewijskracht Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya tegenbewijs. Keterangan atau pernyataan yang dituangkandimuat dalam akta pejabat atau berita acara, atau keterangan atau para pihak yang diberikandisampaikan di hadapan 20 G. H. S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta: Erlangga, 1990, hal. 61. Universitas Sumatera Utara 26 Notaris akta pihak dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkandimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudianketerangannya dituangkandimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata. Jika ternyata pernyataanketerangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar berkata, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta Notaris mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untukdi antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika akan membuktikan aspek materil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa Notaris tidak rnenerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta akta pejabat, atau para pihak yang telah benar berkata di hadapan Notaris menjadi tidak benar berkata, dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta Notaris. 21 Ketiga aspek tersebut di atas merupakan kesempurnaan akta Notaris sebagai akta otentik dan siapa pun terikat oleh akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa ada salah satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengelompokkan persekongkolan tender sebagai Pasal yang menggunakan pendekatan Rule of Reason. Dalam pendekatan Rule of reason pelanggaran pasal terjadi bila terdapat akibat yang 21 J. J. Amstrong Sembiring, “Analisa Hukum Terhadap Undang-undang No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dalam Implementasi Penyelenggaraan Fungsional Notaris”, http:www.blogster.comkompartaanalisis-hukum-tentang, diakses tanggal 10 agustus 2011 Universitas Sumatera Utara 27 merugikan pesaing, menghambat persaingan dan kepentingan umum. Pembuktian dalam hal ini meliputi: a. Ada tidaknya pelanggaran b. Akibat pelanggaran itu yang berupa akibat ekonomis yang dapat berupa kerugian pada pesaing, persaingan, dan konsumen. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwasanya dalam indikasi persekongkolan tender harus dibuktikan ada tidaknya kerugian atau keberatan dari pelaku usaha lain. Artinya setelah pengumuman pemenang tender tidak terdapat sanggahan dari peserta lain maka peserta lain dianggap menerima. Sebelumnya Peserta pemilihan penyedia barangjasa yang merasa dirugikan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan peserta lainnya, dapat mengajukan surat sanggahan kepada pengguna barangjasa apabila ditemukan: a. penyimpangan terhadap ketentuan dan prosedur yang telah ditetapkan dalam dokumen pemilihan penyedia barangjasa; b. Rekayasa tertentu sehingga menghalangi terjadinya persaingan yang sehat; c. Penyalahgunaan wewenang oleh panitiapejabat pengadaan danatau pejabat yang berwenang lainnya; d. Adanya unsur KKN di antara peserta pemilihan penyedia barangjasa; e. Adanya unsur KKN antara peserta dengan anggota panitia pejabat pengadaan danatau dengan pejabat yang berwenang lainnya. Persekongkolan dalam tender ini menurut KPPU dapat berdampak buruk bagi konsumen antara lain: Universitas Sumatera Utara 28 a. Konsumen membayar harga yang lebih mahal dari pada yang sesungguhnya b. Barang dan atau jasa yang diperoleh sering kali lebih rendah dari yang akan diperoleh apabila tender dilakukan secara jujur c. Terjadi hambatan pasar bagi peserta potensial yang tidak memperoleh kesempatan untuk mengikuti dan memenangkan tender. d. Nilai proyek menjadi lebih tinggi akibat mark-up yang dilakukan oleh pihak- pihak yang bersekongkol. Apabila hal tersebut dilakukan dalam proyek pemerintah yang pembiayaannya melalui APBN, maka persekongkolan tersebut berpotensi menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Dampak tersebut ialah pada pengadaan barang dan atau jasa pemerintah, indikasi persekongkolan yang terjadi dalam evaluasi dan penetapan pemenang lelang maka harga penawaran peserta yang terendah dan menguntungkan bagi negara justru tidak dimenangkan. Padahal tujuan awal ialah memperoleh pemenang lelang dengan harga penawaran terendah dengan kualitas bagus dan menguntungkan negara. Skema persekongkolan tender seringkali mencakup mekanisme untuk mengalokasikan dan mendistribusikan laba diperoleh sebagai hasil harga kontrak yang lebih tinggi diantara para pelaku usaha yang bersekongkol. Sebagai contoh, pesaing yang tidak setuju untuk menawar atau memasukkan tawaran yang pasti kalah losing bid akan menerima sub-kontrak atau kontrak pasokan dari pemenang tender dalam rangka membagi keuntungan dari harga penawaran tidak sah yang lebih tinggi. Namun, perjanjian persekongkolan tender yang bertahan lama akan membutuhkan metode yang lebih baik dalam menetapkan pemenang kontrak, mengawasi dan Universitas Sumatera Utara 29 membag i keuntungan persekongkolan tender selama periode bulanan atau tahunan. Persekongkolan tender mungkin akan mencakup pembayaran uang dengan menetapkan penawaran yang akan menang bidding winner kepada satu atau lebih pihak yang bersekongkol. Ini biasa disebut dengan pembayaran kompensasi yang kadang diasosiasikan. Di Negara Organisation for Economic Co-operation and Development OECD, pengadaan publik dapat mencapai sekitar 15 dari PDB. Di Negara non OECD, angka tersebut justru lebih tinggi. Lihat OECD, Penyuapan dalam Pengadaan, Metode, Pelaku dan Upaya Mengatasinya. 22 dengan para perusahaan memasukkan penawaran “palsu” cover bidding yang tinggi. Walaupun individu dan perusahaan mungkin setuju untuk mengimplementasikan metode persekongkolan tender dalam berbagai cara, mereka biasanya mengimplementasikan satu atau lebih strategi yang serupa. Teknik-teknik ini biasanya tidak terlalu ekslusif. Sebagai contoh, penawaran palsu mungkin digunakan bersamaan dengan metode rotasi pemenang bid-rotation. Strategi tersebut akan menghasilkan pola yang dapat dideteksi oleh pejabat pengadaan dan dapat membantu pengungkapan metode persekongkolan tender tersebut.

2. Konsepsi

Dokumen yang terkait

Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

5 100 133

Perjanjian Pelaku Usaha Dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentang Dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Prektik Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat

2 69 130

Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009)

3 59 116

Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

6 47 130

Analisis Terhadap Pengecualian Penerapan Undang-Undang No. 5 TAHUN 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terhadap Perjanjian Yang Berkaitan Dengan Waralaba (Studi terhadap Perjanjian Kerjasama Yayasan Pendidikan Oxford

0 72 150

Sertifikasi & Akreditasi Oleh Asosiasi Dalam Perspektif Uu No. 5/1999 (Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat)

0 25 21

Persekongkolan Tender Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Dalam Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Kota Pematang Siantar Ditinjau Dari UU Nomor 5 Tahun 1999 (Studi Kasus RSU Kota Pematang Siantar)

2 83 190

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 18

Hubungan Induk Perusahaan Dan Anak Perusahaan Dalam Kaitannya Dengan Larangan Praktik Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Di Indonesia Menurut Uu No. 5 Tahun 1999

0 0 11

Tinjauan Yuridis Terhadap Divestasi Kapal Tanker VLCC PT.Pertamina Menurut UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

0 1 160