Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009)
1
PERJANJIAN KARTEL INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA SEBAGAI PELANGGARAN UNDANG – UNDANG NO.5
TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
(STUDI PUTUSAN KPPU NOMOR 24/KPPU-I/2009)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH: THOMAS M.S NIM: 080200291
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERJANJIAN KARTEL INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI
INDONESIA SEBAGAI PELANGGARAN UNDANG – UNDANG NO.5
TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
(STUDI PUTUSAN KPPU NOMOR 24/KPPU-I/2009)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH: THOMAS M.S NIM: 080200291
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Windha, S.H., M.Hum NIP. 197501122005012002
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li Windha, S.H., M.Hum. NIP. 196201171989032002 NIP. 197501122005012002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan pengerjaan skripsi ini dengan baik.
Pada kesempatan ini, Penulis dengan rendah hati mempersembahkan
skripsi yang berjudul “Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di
Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009)” kepada dunia pendidikan, guna menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan hukum.
Adapun salah satu tujuan dari disusunnya skripsi ini adalah untuk melengkapi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini menguraikan berbagai jenis Perjanjian Yang Dilarang, khususnya mengenai Kartel dan mengkaji mengenai Kartel yang dilakukan perusahaan industri minyak goreng sawit di Indonesia.
Tujuan lainnya adalah untuk mengembangkan pengetahuan mengenai Persaingan Usaha dan Kartel agar dapat dipelajari oleh mahasiswa, kalangan pelaku pasar, maupun masyarakat umum.
Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
(4)
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Bapak Syafruddin, S.H., M.H., DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
5. Ibu Windha, S.H., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus selaku Pembimbing II Penulis dalam pengerjaan Skripsi ini;
6. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum
Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
7. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, S.H., M.Li., selaku Pembimbing I
Penulis dalam pengerjaan Skripsi ini, sekaligus selaku Dosen Penasehat Akademik selama Penulis mengenyam bangku pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Suatera Utara;
8. Kedua orang tua Penulis, Ir. O.R. Sitorus dan Y.F. Silalahi, S.E, serta kakak
Penulis Indri Lucy Mutiara Sitorus, S.T dan adik Penulis Putri Cahyani Mataniari Sitorus, yang selalu mendoakan, membantu, memberi dukungan dan semangat luar biasa kepada Penulis;
9. Febrisa Helena Hasiani Siregar, seseorang yang selalu mendoakan,
mendukung dan memberikan motivasi serta arahan positif kepada Penulis;
10. Seluruh Dosen pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
(5)
11. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
12. Marthin Simanungkalit, Wira Andika, Franky Simatupang, Oude Silalahi,
Albert Siahaan, Oka Sagala, Siska Sitepu, Lisda Sagala, Rumanty Fitriana, Stephan Ferdinandus, teman-teman yang selalu membantu dan memberi motivasi serta semangat kepada Penulis;
13. Seluruh rekan-rekan stambuk 2008 atas kepedulian dan dorongan yang telah
diberikan kepada Penulis;
14. Seluruh Rekan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang
tidak dapat Penulis sebutkan satu-persatu;
15. Para penulis buku-buku dan artikel-artikel yang Penulis jadikan referensi data
guna pengerjaan skripsi ini, dan
16. Seluruh orang yang Penulis kenal dan mengenal Penulis. Semoga Tuhan
senantiasa memberikan berkat dan perlindungan-Nya kepada kita semua. Penulis berharap kiranya skripsi ini tidak hanya berakhir sebagai setumpuk kertas yang tidak berguna, tapi dapat dipakai oleh setiap orang yang membutuhkan pengembangan pengetahuan mengenai Persaingan Usaha. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif terhadap skripsi ini. Atas segala perhatiannya, Penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, 24 Juni 2012 Penulis,
(6)
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ………. i
DAFTAR ISI ……….... iv
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR……… vii
ABSTRAK ……… viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………..… 1
B. Perumusan Masalah ……….. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………. 6
D. Keaslian Penulisan ……… 7
E. Tinjauan Kepustakaan ………... 9
F. Metode Penelitian ……….. 13
G. Sistematika Penulisan ……… 15
BAB II INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA A. Struktur Produksi Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia ……….. 18
B. Bentuk Pemasaran Minyak Goreng Sawit di Indonesia ……….. 25
C. Perkembangan Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia ……… 34
(7)
BAB III KARTEL SEBAGAI PERJANJIAN YANG DILARANG BERDASARKAN UNDANG - UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999
A. Pengertian Perjanjian Yang Dilarang ………... 39
B. Jenis–Jenis Dari Perjanjian Yang Dilarang ……….……. 43
C. Kartel Sebagai Perjanjian yang Dilarang Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ……… 56
D.Bentuk Perjanjian Kartel Yang Dilakukan Perusahaan
Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia ………….. 73
BAB IV ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN KARTEL YANG
DILAKUKAN PERUSAHAAN INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA
A. Kasus Posisi Perjanjian Kartel Yang Dilakukan
Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia ………….. 78
B. Analisis Terhadap Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009
Tentang Perjanjian Kartel Yang Dilakukan Industri Minyak
Goreng Sawit di Indonesia ……… 91
C. Dampak Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009
Terhadap Perusahaan-Perusahaan Industri Minyak
Goreng Sawit di Indonesia ……… 96
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ……… 101
B. Saran ……….. 103
(8)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Uji Homogenity of Varians Dari Minyak Goreng Curah 85
(9)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Alur Proses Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi CPO 24
(10)
ABSTRAK
Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor
24/KPPU-I/2009) Thomas M.S*) Ningrum Natasya Sirait**)
Windha***)
Saat ini sering terjadi persaingan yang tidak sehat (unfair competition)
dalam proses persaingan, salah satunya adalah praktek kartel minyak goreng yang dilakukan oleh 20 produsen minyak goreng sawit di Indonesia. Penurunan harga CPO di pasar yang tidak direspon secara proporsional oleh harga minyak goreng di pasar domestik yang melatarbelakangi dugaan terjadinya praktek kartel dalam industri minyak goreng sawit di Indonesia.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia dan bagaimanakah perjanjian kartel berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 serta bagaimanakah analisis yuridis terhadap Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel minyak goreng.
Ketiga permasalahan itulah yang akan dikaji dalam tulisan ini dengan
menggunakan metode pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library
research) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai
sumber bacaan seperti perundang–undangan, buku–buku, majalah dan internet
yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
Perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia ditandai dengan adanya sejumlah industri minyak goreng yang berencana untuk membangun pabrik minyak goreng yang baru, diantaranya adalah Wilmar Group dan Sinar Mas Group. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi akan minyak goreng sawit di Indonesia yang semakin meningkat. Perjanjian kartel diatur dalam Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999 yang tidak mengkategorikan kartel
sebagai per se illegal, sebab kartel masih dimungkinkan sepanjang tidak
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, yang merugikan masyarakat dan konsumen. Dalam kasus kartel minyak goreng, KPPU seharusnya tidak dapat menjatuhkan putusannya karena KPPU hanya mempunyai satu alat bukti saja
yang tidak sesuai dengan asas ”satu bukti bukan bukti” yang ada di dalam hukum
Indonesia, terlebih bukti KPPU hanya berupa indirect evidence yang sebenarnya
harus didukung dengan direct evidence.
Kata kunci: Perjanjian, Kartel, Bukti.
*)
Mahasiswa **)
Dosen Pembimbing I ***)
(11)
ABSTRAK
Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor
24/KPPU-I/2009) Thomas M.S*) Ningrum Natasya Sirait**)
Windha***)
Saat ini sering terjadi persaingan yang tidak sehat (unfair competition)
dalam proses persaingan, salah satunya adalah praktek kartel minyak goreng yang dilakukan oleh 20 produsen minyak goreng sawit di Indonesia. Penurunan harga CPO di pasar yang tidak direspon secara proporsional oleh harga minyak goreng di pasar domestik yang melatarbelakangi dugaan terjadinya praktek kartel dalam industri minyak goreng sawit di Indonesia.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia dan bagaimanakah perjanjian kartel berdasarkan UU No.5 Tahun 1999 serta bagaimanakah analisis yuridis terhadap Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang kartel minyak goreng.
Ketiga permasalahan itulah yang akan dikaji dalam tulisan ini dengan
menggunakan metode pengumpulan data dengan penelitian kepustakaan (library
research) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai
sumber bacaan seperti perundang–undangan, buku–buku, majalah dan internet
yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas penulis dalam skripsi ini.
Perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia ditandai dengan adanya sejumlah industri minyak goreng yang berencana untuk membangun pabrik minyak goreng yang baru, diantaranya adalah Wilmar Group dan Sinar Mas Group. Hal ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan konsumsi akan minyak goreng sawit di Indonesia yang semakin meningkat. Perjanjian kartel diatur dalam Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999 yang tidak mengkategorikan kartel
sebagai per se illegal, sebab kartel masih dimungkinkan sepanjang tidak
menimbulkan persaingan usaha tidak sehat, yang merugikan masyarakat dan konsumen. Dalam kasus kartel minyak goreng, KPPU seharusnya tidak dapat menjatuhkan putusannya karena KPPU hanya mempunyai satu alat bukti saja
yang tidak sesuai dengan asas ”satu bukti bukan bukti” yang ada di dalam hukum
Indonesia, terlebih bukti KPPU hanya berupa indirect evidence yang sebenarnya
harus didukung dengan direct evidence.
Kata kunci: Perjanjian, Kartel, Bukti.
*)
Mahasiswa **)
Dosen Pembimbing I ***)
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai negara hukum dan negara kesejahteraan, Indonesia bertujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur materil dan spiritual yang dalam pelaksanaannya berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).
Pasal 33 UUD 1945 menetapkan bahwa sistem ekonomi yang dianut negara adalah ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial sebagai cita-cita pembangunan ekonomi. Untuk itu dalam menyusun kebijakan perekonomian negara harus senantiasa berusaha menghilangkan ciri-ciri negatif yang terkandung dalam sistem
ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosialisme, yaitu free fight liberalism yang
membenarkan eksploitasi terhadap manusia, etatisme dimana negara beserta aparaturnya meminimumkan potensi dan daya kreasi unit ekonomi di luar sektor negara, dan pemusatan ekonomi pada salah satu kelompok yang bersifat monopoli
yang merugikan masyarakat.1
Dalam dunia usaha sekarang ini sesungguhnya banyak ditemukan perjanjian-perjanjian dan kegiatan-kegiatan usaha yang mengandung unsur-unsur yang kurang adil terhadap pihak yang ekonomi atau sosialnya lebih lemah dengan dalih pemeliharaan persaingan yang sehat. Terjadinya hal yang demikian itu
1
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Anti Monopoli, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hlm. 4.
(13)
antara lain disebabkan kurangnya pemahaman kalangan pelaku usaha terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (selanjutnya disebut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999).
Bagi dunia usaha, persaingan harus dipandang sebagai suatu hal yang positif. Persaingan disebut sebagai suatu elemen yang esensial dalam perekonomian modern. Pelaku usaha menyadari bahwa dalam dunia bisnis adalah wajar untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, tetapi sebaiknya dilakukan melalui persaingan usaha yang jujur. Persaingan memberikan keuntungan pada para pelaku usaha itu sendiri dan juga kepada konsumen. Dengan adanya persaingan, pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan, terus-menerus melakukan inovasi dan berupaya keras memberikan produk untuk jasa yang terbaik bagi konsumen. Persaingan akan berdampak pada semakin efisiennya pelaku usaha dalam menghasilkan produk atau jasanya. Di sisi lain, dengan adanya persaingan, maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka mempunyai pilihan dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan kualitas yang baik.
Persaingan usaha memang dapat membantu meningkatkan kualitas suatu produk barang dan/atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha, dengan harga yang terjangkau oleh konsumen, sehingga tidaklah berlebihan bila dikatakan
bahwa adanya persaingan usaha yang sehat itu dianggap sebagai katalisator
(14)
Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dibalik praktik bisnis itu adanya berbagai macam persaingan misalnya: ada persaingan yang sehat dan adil (fair competition), ada persaingan yang tidak sehat (unfair competition), bahkan
ada persaingan yang destruktif (destructive competition) seperti predatory price.
Tentu saja, perilaku anti persaingan seperti persaingan usaha tidak sehat dan destruktif itu tidak kita kehendaki, karena mengakibatkan in-efisiensi
perekonomian berupa hilangnya kesejahteraan (economic welfare), bahkan
mengakibatkan keadilan ekonomi dalam masyarakatpun terganggu dan timbulnya akibat-akibat ekonomi dan sosial yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban, maupun kepentingan umum.
Perilaku persaingan yang tidak sehat (unfair competition) seperti yang
disebut di atas, dapat dilihat dari perilaku kartel minyak goreng yang dilakukan 20 produsen minyak goreng sawit di Indonesia. Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar kedua dunia setelah Malaysia. Sebanyak 85% (delapan puluh lima persen) lebih pasar dunia kelapa sawit dikuasai oleh Indonesia dan
Malaysia.2 Dengan fakta tersebut, maka sudah sepantasnya perkebunan kelapa
sawit dijadikan andalan oleh pemerintah untuk mendongkrak perekonomian Indonesia yang saat ini masih terpuruk dan mengangkat Indonesia menjadi salah satu negara yang diperhitungkan dalam persaingan pasar bebas pasca 2020. Hal ini kemudian direalisasikan melalui pernyataan dari presiden Republik Indonesia. Susilo Bambang Yudhoyono yang telah mencanangkan program ekonomi yang pro-pertumbuhan, pro-orang kecil, dan pro-kesempatan kerja yang akan memacu
2
Iyung Pahan, Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir, (Jakarta:PenebarSwadaya, 2008), hlm. 1.
(15)
agribisnis kelapa sawit sebagai ujung tombak bagi kerangka dasar pembangunan
Indonesia menyongsong era globalisasi dan pasar bebas pasca-2020.3
Kelapa sawit merupakan tanaman yang paling produktif dengan produksi minyak per ha yang paling tinggi dari seluruh tanaman penghasil minyak nabati
lainnya.4 Minyak goreng merupakan salah satu bahan dasar yang dihasilkan dari
pengolahan kelapa sawit. Dari minyak kelapa sawit (dalam bahasa Inggris biasa
disebut sebagai Crude Palm Oil (CPO) dihasilkan minyak goreng yang biasa
digunakan oleh masyarakat untuk mengolah bahan makanan mentah menjadi makanan yang dapat dikonsumsi langsung. Minyak goreng menjadi sangat penting bagi kehidupan masyarakat di Indonesia karena sebagian besar makanan yang dimakan oleh penduduk Indonesia diolah dengan cara digoreng terlebih dahulu. Hal ini telah menjadi kebiasaan hidup sebagian besar masyarakat di Indonesia yang tidak dapat diubah. Oleh karena itu minyak goreng dimasukkan ke dalam kriteria sembilan bahan pokok atau biasa disebut dengan sembako oleh pemerintah.
Stabilisasi harga barang-barang kebutuhan pokok termasuk di dalamnya minyak goreng merupakan salah satu dari sekian rupa program kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung dilakukan dalam upaya menjaga standar kelayakan hidup masyarakat. Produk minyak goreng menjadi salah satu barang yang penting untuk dikendalikan pemerintah karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak (yang masih menggunakan minyak goreng sebagai mediasi pengolahan hampir sebagian besar makanan yang dikonsumsinya).
3Ibid. 4Ibid.,
(16)
Fenomena beberapa tahun terakhir terkait dengan gejolak harga CPO dunia, secara faktual mempengaruhi terjadinya gejolak harga minyak goreng di pasar domestik. Melambungnya harga CPO dari kisaran harga US$ 1.300/ton pada minggu I bulan Maret 2008 menjadi alasan logis yang menjelaskan melambungnya harga minyak goreng sawit di pasar domestik ketika itu dari kisaran harga Rp.7.000,-/kg pada bulan Februari 2007 menjadi Rp. 12.900,-/kg pada bulan Maret 2008. Hal ini dapat dijelaskan karena 80% (delapan puluh
persen) biaya produksi pengolahan minyak goreng sawit merupakan biaya input
(bahan baku) CPO. Namun demikian, ketika terjadi penurunan harga di pasar input (CPO), harga minyak goreng pada pasar domestik diindikasikan tidak meresponnya secara proporsional. Fenomena inilah yang melatarbelakangi dugaan terjadinya perilaku ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh para pelaku usaha minyak goreng di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah :
1. Bagaimana perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia?
2. Bagaimana perjanjian kartel itu berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun
1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat?
3. Bagaimana analisis yuridis terhadap Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009
(17)
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan industri minyak goreng sawit
di Indonesia.
b. Untuk mengetahui bagaimana perjanjian kartel itu berdasarkan
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
c. Untuk mengetahui bagaimana analisis yuridis terhadap Putusan KPPU
Nomor 24/KPPU-I/2009 yang dilakukan perusahaan industri minyak goreng sawit di Indonesia.
2. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Secara Teoritis
Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah dalam skripsi ini akan memberikan pemahaman dan sikap kritis terhadap hukum persaingan yang masih baru di Indonesia dan juga untuk mengetahui dan menambah wawasan terhadap persoalan fenomena monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, khususnya tentang perjanjian yang dilarang yaitu perjanjian kartel. Mengingat bahwa buku dan literatur yang membahas permasalahan ini masih minim, maka diharapkan kelak tulisan ini mampu menambah khasanah pemikiran tentang hukum persaingan usaha pada umumnya dan
(18)
kartel pada khususnya, yang dapat member kontribusi pada terciptanya persaingan usaha yang sehat.
b. Secara Praktis
Secara praktis, pembahasan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembaca ataupun sebagai bahan kajian baik bagi kalangan akademisi, praktisi hukum maupun para pelaku usaha di bidang ekonomi, baik pelaku usaha negara maupun para pelaku usaha swasta tentang hukum persaingan usaha di Indonesia guna terciptanya persaingan usaha yang sehat di dalam dunia usaha ataupun perekonomian negara, khususnya tentang kartel sebagai perjanjian yang dilarang dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan
skripsi yang berjudul “Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di
Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009)”, penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum/Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU melalui surat tertanggal 02 Maret 2012 (terlampir) menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama.
(19)
Adapun beberapa judul yang memiliki sedikit kesamaan di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara antara lain:
1. Analisis Perjanjian Kartel Perdagangan Garam ke Sumatera Utara Ditinjau
dari Undang-Undang No.5 Tahun 1999. (Disusun oleh Steveni / 030200111)
2. Kartel Sebagai Perjanjian Yang Dilarang Dalam Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia. (Disusun oleh Frien Jones Iven H.T / 010200246)
3. Aspek Hukum Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat Dalam Dunia Usaha Menurut UU No.5 Tahun 1999. (Disusun oleh Fitria T / 870200033)
4. Tinjauan Yuridis Terhadap Divestasi Kapal Tangker VLCC PT. Pertamina
Menurut UU No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Disusun oleh Andina K M Tarigan / 02020006)
5. Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Tertutup dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004). (Disusun oleh Cory Sinaga / 070200084)
Surat dari Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum/Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU tersebut kemudian dijadikan dasar bagi Ibu Windha, SH.M.Hum (Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara) untuk menerima judul yang diajukan penulis. Penulis juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah
(20)
mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan penulis dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis sendiri yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
Adapun tinjauan kepustakaan mengenai skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Kartel
Tindakan pelaku usaha melalui perjanjian baik secara tertulis atau tidak, serta sepakat untuk melakukan suatu tindakan secara bersama-sama membentuk oligopoli dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang ditentukan diantara
mereka sendiri dalam hukum persaingan disebut kartel.5
Menurut Munir Fuady, kartel adalah suatu kerjasama dari produsen-produsen produk tertentu yang bertujuan untuk mengawasi produksi, penjualan dan harga dan untuk melakukan monopoli terhadap komoditas atau industri tertentu. Kartel dapat pula diartikan sebagai asosiasi berdasarkan suatu kontrak diantara perusahaan-perusahaan yang mempunyai kepentingan yang sama, yang dirancang untuk mencegah adanya suatu persaingan. Biasanya melalui kartel ini anggota kartel tersebut dapat menetapkan harga atau syarat-syarat perdagangan
5
Ningrum Natasya Sirait, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka BangsaPress, 2003), hlm. 16-17.
(21)
lainnya untuk mengekang suatu persaingan sehingga hal ini dapat menguntungkan
para anggota kartel yang bersangkutan.6
Kamus Hukum Ekonomi ELIPS mengartikan kartel (cartel) sebagai
persekongkolan atau persekutuan di antara beberapa produsen produk sejenis dengan maksud untuk mengontrol produksi, harga, dan penjualannya, serta untuk memperoleh posisi monopoli. Dengan demikian kartel merupakan salah satu bentuk monopoli, dimana beberapa pelaku usaha (produsen) bersatu untuk mengontrol produksi, menentukan harga, dan atau wilayah pemasaran atas suatu
barang dan atau jasa, sehingga diantara mereka tidak ada lagi persaingan.7
Selain defenisi diatas, ada pula defenisi kartel yang lebih mengarah pada
harga (kartel harga)8, yaitu bahwa kartel adalah situasi dimana produsen barang
atau jasa sejenis secara diam-diam atau secara tegas dan terbuka membuat
kesepakatan tentang harga barang atau jasa yang mereka produksi.9
Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999, kartel diatur dalam Pasal 11 yang mengatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat
6
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli; Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 63-64.
7
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 55.
8
Knud Hansen, dkk., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: Katalis, 2002), hlm. 139.
9
Abdul Hakim G. Nusantara & Benny K. Harman, Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli ; Undang-Undang-Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Jakarta: ElexMediaKomputindo, 1999), hlm. 10.
(22)
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.10
2. Perjanjian Yang Dilarang
Berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 seperti yang disebutkan diatas, maka jelaslah bahwa kartel dipandang sebagai sebagai salah satu perjanjian yang dilarang.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, beberapa perjanjian yang
termasuk dalam perjanjian yang dilarang adalah:11
a. Pasal 4: mengenai perjanjian oligopoli.
b. Pasal 5: mengenai perjanjian penetapan harga (price fixing).
c. Pasal 6: mengenai diskriminasi harga.
d. Pasal 7: mengenai perjanjian penetapan harga di bawah harga pasar.
e. Pasal 8: mengenai perjanjian penetapan harga jual kembali.
f. Pasal 9: mengenai pembagian wilayah.
g. Pasal 10: mengenai pemboikotan.
h. Pasal 11: mengenai kartel.
i. Pasal 12: mengenai Trust.
j. Pasal 13: mengenai oligopsoni.
k. Pasal 14: mengenai integrasi vertikal.
l. Pasal 15: mengenai perjanjian tertutup.
m. Pasal 16: mengenai perjanjian dengan pihak luar negeri.
10
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Pasal 11. 11
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010), hlm. 89-95.
(23)
3. Monopoli
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disebut monopoli adalah
situasi pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang atau satu kelompok, sehingga harganya dapat dikendalikan.
Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary monopoli adalah
“A privilege or peculiar advanted vested in one or more persons
or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular business or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity. A form of market structure in which one or only a few firms
dominate the total sales of a product ar service”.12
Monopoli terbentuk jika hanya satu pelaku mempunyai kontrol eksklusif terhadap pasokan barang dan jasa di suatu pasar, dan dengan demikian juga
terhadap penentuan harganya.13 Karena pada kenyataannya monopoli sempurna
jarang ditemukan, dalam prakteknya sebutan monopoli juga diberlakukan bagi pelaku yang menguasai bagian terbesar pasar. Secara lebih longgar, pengertian monopoli juga mencakup struktur pasar dimana terdapat beberapa pelaku, namun karena peranannya yang begitu dominan, maka dari segi praktis, pemusatan
kekuatan pasar sesungguhnya ada di satu pelaku saja.14
Monopoli mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:15
a. Terdapat hanya satu penjual.
12
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 3.
13
Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 5. 14
Ibid., hlm. 5-6. 15
Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010), hlm. 53.
(24)
b. Produknya unik (tidak homogen).
c. Tidak terdapat produk substitusi.
d. Terdapat hambatan masuk pasar yang berarti serta untuk masuk dan keluar
pasar akan sulit bagi pesaing.
F. Metode Penelitian
Diperlukan metode penelitian sebagai suatu tipe pemikiran yang secara sistematis dipergunakan dalam penelitian dan penilaian skripsi ini, yang pada akhirnya bertujuan mencapai keilmiahan dari penulisan skripsi ini. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut:
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, agar tujuan lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, dipergunakan metode penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang dalam hal ini, antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 dan Peraturan dan Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
2. Sumber Data
Penelitian Yuridis Normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang didapat tidak secara langsung dari objek
(25)
penelitian. Peneliti mendapat data yang sudah jadi yang dikumpulkan oleh pihak lain dengan berbagai cara atau metode, baik secara komersial ataupun nonkomersial.
Data sekunder yang dipakai penulis adalah sebagai berikut:
a. Bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait,
antara lain:
1). Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999. 2). Peraturan dan Pedoman Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
b. Bahan hukum sekunder, berupa Putusan KPPU No.24/KPPU-I/2009),
buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi, artikel-artikel, dan sebagainya yang diperoleh baik melalui media cetak maupun media elektronik.
c. Bahan hukum tertier, yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan jurnal ilmiah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dari penulisan skripsi ini dilakukan melalui teknik studi
pustaka (library research) dan juga melalui bantuan media elektronik, yaitu
internet. Untuk memperoleh data dari sumber ini penulis memadukan, mengumpulkan, menafsirkan, dan membandingkan buku-buku dan arti-arti yang berhubungan dengan judul skripsi Perjanjian Kartel Industri Minyak Goreng Sawit di Indonesia Sebagai Pelanggaran Undang-Undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009) ini.
(26)
4. Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya. Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan:
a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan
dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.
b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut di atas
agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.
c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan kesimpulan dari
permasalahan.
d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif,
yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Agar penulisannya lebih terarah dan lebih mudah dipahami, maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur. Sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini dikemukakan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan, yang semuanya berkaitan dengan perjanjian kartel industri minyak
(27)
goreng sawit di Indonesia sebagai pelanggaran Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
BAB II INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA
Pada bab ini, yang menjadi pembahasan adalah struktur produksi
industri minyak goreng sawit di Indonesia, bentuk pemasaran minyak goreng sawit di Indonesia, serta perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia.
BAB III KARTEL SEBAGAI PERJANJIAN YANG DILARANG
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999
Pada bab ini, yang menjadi pembahasan adalah pengertian perjanjian yang dilarang, jenis-jenis dari perjanjian yang dilarang, kartel sebagai perjanjian yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, dan bentuk perjanjian kartel yang dilakukan perusahaan industri minyak goreng sawit di Indonesia.
BAB IV ANALISIS YURIDIS PERJANJIAN KARTEL YANG
DILAKUKAN PERUSAHAAN INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA
Pada bab ini, yang menjadi pembahasan adalah posisi kasus perjanjian kartel yang dilakukan industri minyak goreng sawit di Indonesia, menganalisis putusan KPPU terhadap perkara perjanjian kartel yang dilakukan industri minyak goreng sawit di Indonesia,
(28)
serta dampak putusan KPPU terhadap perusahaan-perusahaan industri minyak goreng sawit di Indonesia.
BAB V PENUTUP
Pada Bab terakhir ini, akan dikemukakan kesimpulan dari bagian awal hingga bagian akhir penulisan yang merupakan ringkasan dari substansi penulisan skripsi ini, dan saran-saran yang penulis ciptakan dalam kaitannya dengan masalah yang dibahas.
(29)
BAB II
INDUSTRI MINYAK GORENG SAWIT DI INDONESIA
A. Struktur Produksi Industri Minyak Goreng Sawit Di Indonesia
Minyak Goreng Sawit (selanjutnya disebut MGS) merupakan salah satu komoditas yang mempunyai nilai strategis karena termasuk salah satu dari 9 kebutuhan pokok bangsa Indonesia. Permintaan akan MGS di dalam dan di luar negeri yang kuat merupakan indikasi pentingnya peranan komoditas kelapa sawit dalam perekonomian bangsa. Kebutuhan MGS terus meningkat dari tahun ke tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk, berkembangnya pabrik dan industri makanan, dan meningkatnya konsumsi masyarakat akan minyak goreng untuk
memasak.16
Keunggulan kompetitif Indonesia sendiri dibandingkan dengan negara lain yaitu sumber daya alamnya, sedangkan keunggulan komparatif Indonesia dalam agribisnis yaitu sebagai negara tropis yang mendapat sinar matahari yang melimpah sepanjang tahun dengan curah hujan yang cukup dan hampir merata. Kondisi inilah yang sangat dibutuhkan oleh tanaman kelapa sawit sebagai bahan baku utama minyak goreng sawit.
Kelapa sawit merupakan sosok tanaman yang cukup tangguh, terutama bila terjadi perubahan musim. Berbeda dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya, tanaman kelapa sawit dapat menghasilkan dua jenis minyak yaitu minyak
16
Anonim, Positioning Paper Minyak Goreng, dapat diakses di
www.kppu.go.id//Positioning_Paper/positioning_paper_minyak_goreng.pdf, hlm. 17, terakhir diakses tanggal 3 Mei 2012.
(30)
kelapa sawit dan minyak inti sawit. Berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa minyak sawit memiliki keunggulan dibandingkan minyak nabati lainnya.
Beberapa keunggulan minyak sawit antara lain sebagai berikut :17
1. Tingkat efisiensi minyak sawit tinggi sehingga mampu menempatkan CPO
menjadi sumber minyak nabati termurah.
2. Penggunaanya sangat luas, diantaranya minyak goreng, shortening, dan
margarin.
3. Sebagai sumber energi yang baik.
4. Dengan karateristik unik yang dimilikinya, terutama dalam hal potensi
kandungan vitamin E dan karotenoid, serta tidak mengandung asam lemak
trans, berbagai penelitian telah banyak yang menunjukkan bahwa penggunaan minyak sawit dalam bahan makanan berpengaruh positif bagi kesehatan tubuh.
5. Mengandung antioksidan alami (tokoferol dan tokotrienol). Telah banyak
penelitian dilakukan untuk membuktikan bahwa tokoferol dan tokotrienol
bisa melindungi sel-sel dari proses penuaan dan penyakit degeneratif seperti atherosclerosis dan kanker.
6. Komposisi asam lemak seimbang dan mengandung asam lemak linoleat
sebagai asam lemak esensial.
7. Produktivitas minyak sawit tinggi yaitu 3,2 ton/ha, sedangkan minyak
kedelai, lobak, kopra, dan minyak bunga matahari masing-masing hanya 0,34; 0,51; 0,57; dan 0,53 ton/ha.
17
(31)
8. Sifat intercgeable-nya cukup menonjol dibanding dengan minyak nabati lainnya karena memiliki keluwesan dan keluasan dalam ragam kegunaan baik di bidang pangan maupun nonpangan.
9. Sekitar 80% (delapan puluh persen) dari penduduk dunia, khususnya di
negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi per kapita untuk minyak dan lemak terutama minyak yang harganya murah (minyak sawit).
10. Terjadinya pergeseran dalam industri yang menggunakan bahan baku minyak
bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan yaitu oleokomia yang berbahan baku CPO, terutama di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Eropa Barat.
Minyak sawit juga mempunyai keunggulan dalam hal susunan dan nilai gizi yang terkandung di dalamnya. Kadar sterol dalam minyak sawit relatif lebih
rendah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya yang terdiri dari sitosterol,
campesterol, sigmasterol, dan kolesterol. Bahkan, dari hasil penelitian dinyatakan bahwa kandungan kolesterol dalam satu butir telur setara dengan kandungan kolesterol dalam 29 liter minyak sawit. Minyak sawit dapat dikatakan sebagai
minyak goreng non kolesterol (kadar kolesterolnya rendah).18
Kenyataan menunjukkan bahwa banyak pelaku industri dan konsumen yang cenderung menggunakan dan menyukai minyak sawit. Dari aspek ekonomis,
harganya relatif murah dibandingkan minyak nabati lain.19
Selain itu, komponen yang terkandung di dalam minyak sawit lebih banyak dan beragam sehingga
18
Ibid., hlm. 185. 19
(32)
pemanfaatannya juga beragam. Dari aspek kesehatan yaitu kandungan
kolesterolnya rendah.20
Saat ini telah banyak pabrik pengolah yang memproduksi minyak goreng dari kelapa sawit dengan kandungan kolesterol yang rendah.
Dengan berbagai fungsi dan keunggulan yang dimiliki kelapa sawit serta melihat kondisi bahwa subsektor perkebunan mempunyai peran atau berdampak penting antara lain terhadap pembangunan sosial ekonomi yang berupa terbukanya lapangan kerja, peningkatan pendapatan masyarakat yang pada akhirnya akan terjadi pengembangan ekonomi kerakyatan, usaha perkebunan
kelapa sawit ini layak dikembangkan di daerah-daerah.21
Minyak sawit yang digunakan sebagai produk pangan dihasilkan dari minyak sawit maupun minyak inti sawit melalui proses vaksinasi, rafinasi, dan hidrogenesis. Produksi CPO Indonesia sebagian besar difraksinasi sehingga dihasilkan fraksi olein cair dan fraksi stearin padat. Fraksi olein tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik sebagai pelengkap minyak goreng dari minyak kelapa.
Sebagai bahan baku untuk minyak makan, minyak sawit antara lain
digunakan dalam bentuk minyak goreng, margarin, butter, vanaspati, shortening
dan bahan untuk membuat kue-kue. Sebagai bahan pangan, minyak sawit mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan minyak goreng lain, antara lain mengandung karoten yang diketahui berfungsi sebagai anti kanker dan tokoferol sebagai sumber vitamin E. Di samping itu, kandungan asam linoleat dan linolenatnya rendah sehingga minyak goreng yang terbuat dari buah sawit
20
Ibid.
21
Maruli Pardamean, Cara Cerdas Mengelola Perkebunan Kelapa Sawit, (Yogyakarta: Lily Publisher, 2011), hlm. 3.
(33)
memiliki kemantapan kalor (heat stability) yang tinggi dan tidak mudah teroksidasi. Oleh karena itu, minyak sawit sebagai minyak goreng bersifat lebih awet dan makanan yang digoreng dengan menggunakan minyak sawit tidak cepat tengik.
Produk turunan minyak kelapa sawit untuk industri pangan selain minyak
goreng kelapa sawit, dapat juga dihasilkan margarin, shortening, vanaspati
(vegetable ghee), ice creams, bakery fats, instans noodle, cocoa butter extender, chocolate dan coatings, specialtyfats, sugarconfectionary, biscuitcreamfats, dan filled milk. Sementara itu produk turunan dari minyak inti sawit dapat dihasilkan cocoa butter substitute, specialty fats, ice cream, coffee whitener/cream, sugar confectionary, biscuitcreamfats, filledmild dan imitationcream.
Berikut adalah keunggulan minyak sawit pada aplikasinya untuk keperluan
pangan:22
1. Produk pangan yang diformulasikan dengan menggunakan minyak sawit akan
mempunyai keawetan yang lebih baik karena minyak sawit sangat stabil terhadap proses ketengikan dan kerusakan oksidatif lainnya. Alasan itulah yang membuat minyak sawit dikenal sebagai minyak goreng terbaik.
2. Minyak sawit mempunyai kecenderungan untuk mengalami kristalisasi dalam
bentuk kristal kecil sehingga mampu meningkatkan kinerja creaming jika
digunakan pada formulasi cake dan margarin.
3. Kandungan asam palmitat minyak sawit sangat baik untuk proses aerasi
campuran lemak/gula, misalnya pada proses baking.
22
(34)
4. Minyak sawit baik digunakan untuk membuat vanaspati, atau vegetableghee, yang mengandung 100% (seratus persen) lemak nabati; bisa digunakan untuk substitusi mentega susu dan mentega coklat.
5. Roti yang diproduksi dengan shortening dari minyak sawit mempunyai
tekstur dan keawetan yang lebih baik.
6. Minyak sawit juga banyak dipakai untuk produksi krim biskuit, terutama
karena kandungan padatan dan titik lelehnya yang cukup tinggi.
Adapun manfaat yang nantinya dapat diperoleh dari usaha perkebunan
kelapa sawit adalah:23
1. Meningkatkan produktivitas sumber daya alam dan manusia melalui usaha
agribisnis perkebunan.
2. Meningkatkan ekspor nonmigas melalui subsektor perkebunan.
3. Memperluas kesempatan kerja dan serta peluang berusaha bagi masyarakat di
sekitar lokasi kebun.
4. Meningkatkan perekonomian masyarakat/petani yang ikut serta dalam
kegiatan kebun.
5. Pendayagunaan sumber daya alam secara efisien, produktif dan berwawasan
lingkungan.
6. Menambah peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dari sektor
perkebunan.
7. Melakukan alih teknologi, manajemen dan pengetahuan Agribisnis dan
Agroindustri kepada usaha perkebunan rakyat di sekitar lokasi proyek.
23
(35)
Minyak sawit adalah salah satu solusi bagi isu ketahanan pangan (food security) dan volatilitas harga pada bahan pangan yang sedang dihadapi dunia saat ini. Hal ini karena satu hektar tanah dapat menghasilkan 6000 liter minyak sawit sehingga minyak sawit jauh lebih ekonomis dan ramah lingkungan bila
dibandingkan dengan rapeseed yang hanya menghasilkan 1.190 liter/ha, biji
bunga matahari sebanyak 952 liter/ha, dan biji kedelai 446 liter/ha.24
Alur proses pengolahan kelapa sawit menjadi CPO adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Alur Proses Pengolahan Kelapa Sawit Menjadi CPO
(Sumber: Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 hlm. 4)
Keterkaitan erat antara industri kelapa sawit dengan minyak goreng menjadi latar belakang kedua industri tersebut cenderung terintegrasi guna mencapai efisiensi dan efektivitas terutama dalam hal kepastian/keamanan pasokan bahan bakunya. Dari sisi peraturan atau regulasi, pemerintah juga memberikan peluang tercitanya industri terintegrasi dari hulu (perkebunan kelapa
24
(36)
sawit) hingga hilir (produksi minyak goreng), dan apabila diuraikan proses pengolahan CPO menjadi minyak goreng maka dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 2. Alur Proses Penyulingan Minyak Kelapa Sawit
(Sumber: Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 hlm. 9)
B. Bentuk Pemasaran Minyak Goreng Sawit Di Indonesia
Kelapa Sawit bukanlah tanaman asli dari Indonesia. Tanaman ini berasal dari Afrika Barat yang mulai diperkenalkan di Indonesia sejak tahun 1848 melalui Hortus Botanicus Amsterdam sebagai tanaman hias di taman kebun raya Bogor. Oleh karena cocok ditanam di Indonesia dengan iklim dan jenis tanah yang ada,
maka pada tahun 1911 dikembangkan secara besar-besaran di Sumatera Utara.25
Kelapa sawit sangat penting artinya bagi Indonesia. Selama kurun waktu 20 tahun terakhir, kelapa sawit menjadi komoditas andalan ekspor dan komoditas yang
25
Endang Tjitroresmi, Peran Industri Perkelapasawitan Dalam Pasar Global, dapat diakses di www.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog.pdf, hlm. 136, terakhir diakses tanggal 25 April 2012.
(37)
diharapkan dapat meningkatkan pendapatan dan harkat petani pekebun serta para
transmigran di Indonesia.26
Untuk pengembangan yang bersifat ekonomis maka tanaman kelapa sawit berkembang luas dengan berbagai bentuk seperti : perkebunan milik pemerintah (BUMN/PTP), perusahaan inti rakyat-perkebunan (PIR-BUN), perkebunan inti rakyat khusus (PIR-SUS), perkebunan inti rakyat transmigrasi (PIR-TRANS), Perusahaan Besar Swasta Nasional (PBSN) dan perkebunan rakyat.
Kelapa sawit merupakan komoditas primadona dari sub sektor perkebunan yang diunggulkan untuk pasar domestik maupun ekspor. Sebelum mengenal kelapa sawit sebagai bahan baku minyak goreng, penduduk Indonesia pada umumnya menggunakan kelapa biasa sebagai bahan baku pembuatan minyak nabati. Pohon kelapa ini banyak tumbuh di Indonesia di berbagai pelosok wilayah dan sudah dikenal sebagai bahan baku minyak goreng. Disamping minyak kelapa dikenal pula minyak kacang, minyak jagung, minyak bunga matahari, dan sebagainya. Namun produk minyak lain tersebut sangat sedikit (jarang masyarakat yang memproduksi sendiri), sementara minyak goreng dari kelapa merupakan kebutuhan yang dapat diproduksi sendiri dan memang sejak dahulu merupakan primadona minyak nabati masyarakat. Dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maupun dunia membutuhkan minyak nabati yang tidak sedikit jumlahnya, oleh karena itu berkembanglah minyak yang berbahan baku kelapa sawit.
26
Maruli Pardamean, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, (Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka, 2008), hlm. 1.
(38)
Pada mulanya teknologi pengolahan kelapa sawit menjadi minyak goreng juga cukup sederhana sehingga hasilnya kurang menguntungkan karena harus cepat dimasak untuk menghindari menurunnya kualitas produk, yaitu berbau tengik. Kelapa sawit maksimal 24 jam setelah panen harus diproses untuk diolah
menjadi bahan kasar minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO). Hal ini harus
dilakukan untuk menghindari bau minyak yang kurang enak (tengik). Dengan menggunakan bahan baku kelapa biasa hal tersebut tidak akan terjadi karena sebelum diolah menjadi minyak kelapa, maka diproses terlebih dahulu menjadi kopra. Dengan demikian, hasilnya juga lebih bagus, walaupun dengan teknologi yang masih sangat sederhana. Namun dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pemasakan tandan buah sagar (TBS) kelapa sawit dapat dilakukan dengan lebih baik dan dapat menghilangkan bau tengik. Akhirnya bahan baku kelapa sawit dapat bersaing dengan kelapa biasa dan bahkan memiliki keunggulan dalam hal warna, rasa, penampilan dan keawetan. Kelapa sawit juga bisa diuraikan menjadi bahan turunan yang bisa dipergunakan untuk keperluan lain baik sebagai bahan dasar olahan makanan maupun industri kecantikan, kesehatan dan sebagainya.
Dalam era globalisasi dimana persaingan antara negara-negara penghasil komoditi sejenis begitu ketatnya maka untuk menghadapinya tentunya harus mulai dipersiapkan agar produk dari Indonesia bisa ikut berperan di pasar dunia. Strategi keunggulan kompetitif di sektor perkebunan harus dimanfaatkan secara maksimal untuk menghasilkan bahan baku berkualitas bagi sektor industri. Keunggulan kompetitif ini akan menciptakan daya saig produk yang tinggi bagi
(39)
komoditi perkebunan karena memanfaatkan keunggulan tenaga kerja, iklim tropis (sinar matahari dan curah hujan merata sepanjang tahun), ketersediaan lahan yang
luas, serta ditambah dengan dukungan pemerintah dalam pendanaan investasi.27
Dengan potensi lahan dan kemampuan berbudidaya yang cukup berpengalaman serta kemampuan produksi yang sudah mencapai peringkat 2 (dua) dunia seharusnya lebih terpacu lagi untuk dapat bersaing.
Di dunia dikenal 40 (empat puluh) jenis minyak dan lemak yang dapat dikonsumsi manusia, namun yang sudah masuk perdagangan internasional hanya 17 (tujuh belas) jenis yang diperdagangkan oleh lebih dari 120 (seratus dua puluh)
negara.28
Saat ini minyak kelapa sawit merupakan salah satu minyak nabati yang paling popular karena keunggulannya yaitu bisa diproduksi secara besar-besaran dan dapat dipasarkan hampir di seluruh dunia serta menghasilkan volume minyak yang paling besar per satuan hektar tanaman dibandingkan produk minyak dari bahan baku lain.
Akhir-akhir ini timbul pertentangan mengenai penggunaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng, diantaranya menyebutkan CPO kelapa sawit dapat menimbulkan kolesterol tinggi, namun ternyata dari hasil penelitian tidak
menunjukkan hal demikian.29
Selain keunggulan per satuan luas dalam menghasilkan minyak, terdapat manfaat CPO dan hasil olahan lainnya yaitu: pertama, mengandung karoten, tokofenol dan antioksidan yang bermanfaat untuk kesehatan diantaranya merupakan sumber provitamin A, obat antikanker, dan
27
Iyung Pahan, Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir, (Jakarta:PenebarSwadaya, 2008), hlm. 1.
28
Endang Tjitroresmi, Op.Cit., hlm. 138. 29
(40)
mencegah jantung koroner, kedua: asam lemak yang berasal dari CPO kelapa sawit adalah asam lemak tak jenuh yang dapat menurunkan kadar kolesterol
dalam darah.30
Sekitar 80% (delapan puluh persen) penduduk dunia, khususnya di negara berkembang masih berpeluang meningkatkan konsumsi perkapita untuk minyak
dan lemak terutama untuk minyak yang harganya murah.31
Di samping faktor penduduk, peningkatan konsumsi juga disebabkan oleh efek substitusi dan pendapatan. Faktor lain yang memperbesar peluang CPO adalah bergesernya industri yang menggunakan bahan baku minyak bumi ke bahan yang lebih bersahabat dengan lingkungan seperti oleokimia hasil CPO, seperti di negara-negara Amerika Serikat, Eropa Barat dan Jepang.
Saat ini Indonesia memasok 31% (tiga puluh satu persen) kebutuhan minyak kelapa sawit (CPO) dunia, dengan posisi ini seharusnya bisa ditingkatkan atau paling tidak bertahan dan tidak mudah tergoyahkan oleh negara pesaing yang
kemungkinan akan lebih giat memacu produksinya.32
Selain itu, permintaan domestik terhadap komoditas minyak sawit juga terus meningkat dari tahun ke tahun yang diperkirakan pada tahun 2010 mencapai lebih dari 3 (tiga) juta ton per tahun. Dalam prediksi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) kebutuhan minyak kelapa sawit akan terus meningkat dari 2,6 juta ton per tahun
pada tahun 1998, menjadi 3,4 juta ton pada tahun 2010.33
Sementara di pasar dunia akhir-akhir ini kebutuhan terhadap minyak sawit mentah (CPO) dan
30
Ibid., hlm. 185. 31
Endang Tjitroresmi, Op.Cit., hlm. 139. 32
Ibid., hlm. 139.
33
(41)
turunannya juga semakin meningkat, menggeser kedudukan minyak nabati jenis lain, seperti minyak kedelai.
Secara relatif pangsa konsumsi minyak sawit menduduki pangsa terbesar dalam total konsumsi minyak goreng Indonesia, kemudian diikuti minyak goreng lainnya (minyak kedelai, minyak jagung) dan minyak goreng kelapa. Hal yang menarik adalah pangsa konsumsi minyak kelapa cenderung meningkat. Hal ini secara ekonomi lebih baik karena ada kecenderungan diversifikasi dalam konsumsi minyak goreng sawit. Konsumsi minyak goreng yang terlalu bertumpu pada satu jenis minyak goreng seperti minyak goreng sawit mengandung resiko secara ekonomi khususnya dari segi stabilitas harga. Selain itu, mengingat minyak sawit adalah komoditas ekspor Indonesia, peningkatan konsumsi yang terlalu bertumpu pada minyak goreng sawit dapat mengurangi kesempatan Indonesia memperoleh devisa dari ekspor.
Peningkatan pangsa konsumsi minyak goreng non sawit juga diharapkan akan mendorong peningkatan produksi bahan baku minyak goreng non sawit khususnya kelapa dan jagung yang potensial di Indonesia. Hal ini selain diversifikasi, produksi bahan baku minyak nabati juga akan melestarikan plasma nutfah kelapa dan jagung secara lintas generasi.
Secara nasional, konsumsi minyak goreng sawit sebagian besar dikonsumsi masyarakat dalam bentuk minyak goreng curah, yakni mencapai 80% (delapan puluh persen). Sisanya, yakni 20% (dua puluh persen) dalam bentuk
(42)
kemasan (bermerek).34
Selain karena harga minyak goreng curah lebih murah (20% (dua puluh persen) - 30% (tiga puluh persen)) di bawah harga minyak goreng kemasan), masyarakat Indonesia tampaknya belum banyak menuntut
atribut produk yang lebih rinci (brand minded) sebagaimana diperoleh dari
minyak goreng kemasan.
Meskipun pangsa pasar minyak goreng bermerek hanya sekitar 20% (dua puluh persen), telah cukup banyak produk minyak goreng di pasar. Beberapa diantaranya adalah Bimoli, Filma, Tropical, Fortune, Sania, Kunci Mas, Madina, Rolebrand, Delima, Sunco, Avena, Sarimurni. Hal ini berarti, pada segmen pasar
minyak goreng bermerek cenderung terjadi persaingan monopolistik
(monopolistic competition) yang sangat intensif. Sebagaimana struktur pasar persaingan monopolistik, persaingan yang terjadi bukanlah pada tingkat harga
melainkan pada variabel di luar harga (non price competition) seperti
promosi/iklan. Beberapa minyak goreng sawit bermerek mempromosikan diri sebagai minyak goreng nonkolesterol. Padahal semua minyak goreng yang bahan bakunya dari tumbuh-tumbuhan, tidak mengandung kolesterol.
Mengingat masih terbatasnya pangsa minyak goreng bermerek di Indonesia, serta tingginya persaingan pada segmen ini, sebagian produsen minyak goreng sawit menyiasati dengan menghasilkan keduanya yakni minyak goreng curah dan minyak goreng bermerek. Sekitar 32% (tiga puluh dua persen) produsen minyak goreng yang ada menghasilkan minyak goreng bermerek sekaligus minyak goreng curah. Dengan cara ini, produsen dapat memanfaatkan pasar
34
Tungkot Sipayung, Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit, (Bogor:PT. Penerbit IPB Press, 2012), hlm. 85.
(43)
minyak goreng curah (umumnya konsumen kelas berpendapatan menengah ke bawah) dan pasar minyak goreng bermerek (konsumen kelas berpendapatan menengah ke atas).
Perbedaan harga antara minyak goreng curah dengan minyak goreng
bermerek tampaknya menarik beberapa supermarket/hypermart untuk membuat
minyak goreng kemasan semi bermerek dan dipasarkan dengan tingkat harga antara minyak goreng bermerek dengan minyak goreng curah. Segmen pasar yang dibidik minyak goreng semi bermerek ini adalah konsumen bagian atas kelas berpendapatan rendah, dan bagian bawah kelas berpendapatan tinggi atau lazim disebut konsumen kelas menengah.
Secara keseluruhan dibandingkan dengan volume produksi minyak goreng yang dihasilkan daya serap pasar domestik yakni konsumsi minyak goreng masih terbatas. Akibatnya sebagian besar produksi minyak goreng nasional ditujukan untuk ekspor.
Kecenderungan peningkatan ekspor dari produksi minyak goreng nasional secara ekonomi menguntungkan Indonesia. Nilai tambah yang diperoleh melalui ekspor minyak goreng secara umum lebih besar daripada bila mengekspor CPO. Selain itu, kecenderungan yang demikian mencerminkan bahwa pasar ekspor
lebih menarik bagi produksi minyak goreng daripada pasar domestik.35
Sistem pemasaran dalam minyak goreng dapat dilihat dari jenis minyak goreng yang dipasarkan dimana untuk minyak goreng kemasan (bermerek), produsen menunjuk satu perusahaan sebagai distributor untuk melakukan
35
(44)
distribusi ke seluruh wilayah pemasarannya termasuk namun tidak terbatas ke seluruh retail modern. Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan terhadap perusahaan yang merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama sekali tidak mempunyai afiliasi. Berdasarkan pemeriksaan dalam kasus kartel minyak goreng, diperoleh informasi bahwa kontrol produsen terhadap harga minyak goreng kemasan (bermerek) hanya sampai ditributornya saja dimana distributor
mendapatkan marketing fee sebesar 5% (lima persen).36
Sebaliknya hal tersebut tidak terjadi pada sistem pemasaran minyak goreng curah, sebagian produsen tidak menunujuk distributor dan melakukan penjualan secara langsung. Hal tersebut terkait dengan karakteristik produk itu sendiri yang sangat berfluktuasi harganya dan daya tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen biasanya hanya melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara (pembeli besar) dengan sistem jual beli putus. Oleh karena itu, produsen tidak mempunyai kontrol harga di tingkat konsumen akhir. kontrol harga dilakukan produsen minyak goreng curah hanya pada harga jual langsung pada saat minyak goreng akan dijual dan dikeluarkan dari gudang produsen.
C. Perkembangan Industri Minyak Goreng Sawit Di Indonesia.
Indonesia merupakan konsumen terbesar CPO yang pada tahun 2001 mencapai 3,7 juta ton atau 42% (empat puluh dua persen) dari total produksi CPO nasional atau 15,6% (lima belas koma enam persen) konsumsi CPO dunia.
36
(45)
Dibandingkan dengan kondisi tahun 1998,37
terjadi peningkatan konsumsi tetapi persentase terhadap produksi nasional dan dunia menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan konsumsi tidak sebanding dengan kenaikan produksi atau laju pertumbuhan produksi lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan konsumsi. Besarnya kebutuhan konsumsi minyak goreng sawit membutuhkan peningkatan produksi minyak sawit mentah (CPO).
Pada kurun waktu tahun 1990-1993, konsumsi CPO untuk industri minyak goreng jauh lebih besar dibandingkan produksi CPO dalam negeri. Oleh karena itu, untuk memenuhinya maka industri minyak goreng banyak mengimpor CPO dari negara lain seperti Malaysia sebagai produsen terbesar dunia. Laju pertumbuhan konsumsi dan produksi per tahun pada kurun waktu tersebut
rata-rata adalah 5,9% (lima koma sembilan persen).38
Baru pada tahun 1994 produksi CPO melampaui dari kebutuhan CPO untuk industri minyak goreng, yang berarti sebagian bisa diekspor ke negara lain. Pada tahun 1998 konsumsi CPO Indonesia mencapai 2,8 juta ton (56% (lima puluh enam persen)) dari total produksi CPO Indonesia atau 16% (enam belas persen) dari konsumsi dunia yang mencapai 17,3 juta ton.39
Perkembangan industri minyak goreng sawit pada 10 tahun terakhir mengalami peningkatan karena beralihnya pola konsumsi masyarakat dari minyak goreng kelapa menjadi minyak goreng kelapa sawit. Konsumsi per kapita minyak goreng Indonesia mencapai 16,5 kg per tahun dimana konsumsi untuk minyak
37
Endang Tjitroresmi, Op.Cit., hlm. 156. 38
Ibid., hlm. 157. 39
(46)
goreng sawit sendiri mencapai 12,7 kg per tahun. Berdasarkan peningkatan konsumsi untuk keperluan rumah tangga dan industri, maka total konsumsi minyak goreng dalam negeri pada tahun 2005 mencapai 6 (enam) juta ton dimana
83,3% (delapan puluh tiga koma tiga persen) terdiri dari minyak goreng sawit.40
Pada tahun 2000, jumlah unit usaha minyak goreng mencapai 58 (lima puluh delapan) perusahaan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. 27,8% (dua puluh tujuh koma delapan persen) industri minyak goreng sawit berada di Sumatera, 19% (sembilan belas persen) di Riau, 17% (tujuh belas persen) di Jakarta, 14,9% (empat belas koma Sembilan persen) di Jawa Timur dan 21,3%
(dua puluh satu koma tiga persen) di daerah lainnya.41
Pada tahun tersebut, kapasitas industri minyak goreng seluruhnya adalah sebanyak 8,2 juta ton, namun produksi yang dihasilkan baru mencapai 3,5 juta ton, dimana 40% (empat puluh persen) nya adalah untuk pasaran ekspor.
Pada tahun 2011, para pebisnis kelapa sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memperkirakan produksi
CPO pada 2011 meningkat 1 juta-1,5 juta ton.42
Produksi CPO tersebut hanya tumbuh 4,7% (empat koma tujuh persen) dibandingkan tahun 2010. Menurut perhitungan Gapki, realisasi produksi CPO tahun 2010 lalu mencapai 21 juta ton. Pada untuk pasar ekspor, Gapki memperkirakan total ekspor CPO tahun 2010
40
Ibid., hlm. 158. 41
Ibid. 42
Herlina, KD, Produksi Minyak Sawit Tumbuh 4,7%, dapat diakses di
http://industri.kontan.co.id/news/produksi-minyak-sawit-tumbuh-47-1, terakhir diakses tanggal 13 Juni 2012.
(47)
mencapai 15,15 juta ton-15,6 juta ton. Volume ekspor ini naik tipis ketimbang
total ekspor tahun 2009 yang sebesar 15,3 juta ton.43
Kelapa sawit ternyata berhasil menjadi komoditas yang dapat “menembus”
daerah yang selama ini tidak memilikinya, seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan provinsi lain di luar Aceh, Sumatera Utara, dan Lampung. Pertumbuhan
tanaman kelapa sawit “cukup bersahabat” dibandingkan tanaman lain dan lebih
tahan dalam menghadapi berbagai kendala dan masalah.44
Pada saat ini, sejumlah industri minyak goreng kelapa sawit mentah (CPO) berencana untuk berinvestasi membangun pabrik baru minyak goreng. Ekspansi produsen CPO ini diwujudkan untuk untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri yang terus meningkat. Ini juga sekaligus memanfaatkan fasilitas yang akan diberi pemerintah untuk pengembangan industri hilir CPO nasional. Untuk industri hilir CPO dan turunannya ada tiga hingga empat investor yang sudah menyatakan kesanggupannya. Wilmar Group, merupakan salah satu perusahaan CPO besar di Indonesia yang menyatakan akan menambah investasi
untuk industri hilir CPO sebesar 500 (lima ratus) juta dolar AS.45
Perusahaan ini menyatakan akan membangun pabrik minyak goreng dan produk turunan CPO lainnya di gresik.
Sementara itu, Sinar Mas Group sudah membangun pabrik baru minyak goreng di Indonesia. Pabrik industri minyak goreng tersebut sedang diuji coba
43
Ibid.
44
Maruli Pardamean, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit,
Op.Cit., hlm. 3. 45
Kementerian Perindustrian, Industri Hilir CPO: Pabrik minyak goreng bertambah, dapat diakses di http://www.kemenperin.go.id/artikel/1367/Industri-hilir-CPO:-Pabrik-Minyak-Goreng-Bertambah, terakhir diakses tanggal 3 Mei 2012.
(48)
dengan produksi minyak goreng sekitar 800 (delapan ratus) ton per hari. Selanjutnya, Sinar Mas juga akan menyelesaikan pembangunan pabrik baru minyak goreng di Tarjun, Kalimantan Selatan. Pabrik minyak goreng ini dengan kapasitas produksi 340.000 ton per tahun dengan investasi sekitar Rp. 600 (enam ratus) miliar. Bahkan, kapasitas pabrik Tarjun ini juga akan dilipatgandakan produksinya pada tahun 2012. Selain pabrik minyak goreng yang baru, Sinar Mas saat ini sudah memiliki pabrik minyak goreng di Pulo Gadung, Jakarta, dengan kapasitas 100.000 ton per tahun. Selain itu juga di Surabaya sebanyak 470.000 ton
per tahun dan Belawan (Medan) 470.000 ton per tahun.46
Seluruh produksi minyak goreng tersebut diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia semakin terus bertambah seiring dengan semakin tingginya konsumsi masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun. Hal yang sangat mempengaruhi semakin tingginya konsumsi masyarakat di Indonesia akan minyak goreng sawit adalah tipe makanan yang dimakan oleh penduduk Indonesia itu sendiri yang membutuhkan dilakukan penggorengan terlebih dahulu. Dengan semakin tingginya kebutuhan dan keinginan masyarakat Indonesia akan minyak goreng sawit, maka hal ini akan menjadi faktor penting dalam perkembangan industri minyak goreng sawit itu sendiri, dan di Indonesia kebutuhan akan minyak goreng sawit semakin meningkat dari tahun ke tahun, dan hal ini yang akan memicu semakin berkembang dan bertambahnya industri minyak goreng sawit di Indonesia.
46
(49)
BAB III
KARTEL SEBAGAI PERJANJIAN YANG DILARANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999
A. Pengertian Perjanjian Yang Dilarang
Perikatan dan perjanjian menunjuk pada dua hal yang berbeda.47 Perikatan
berasal dari bahasa Belanda verbitennis atau bahasa Inggrisnya binding, dan
dalam bahasa Indonesia selain diterjemahkan sebagai perikatan juga ada yang
menerjemahkan sebagai “perutangan”.48 Perikatan adalah suatu istilah atau pernyataan yang bersifat abstrak, yang menunjuk pada hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua atau lebih orang atau pihak, dimana hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak yang terlibat dalam hubungan hukum tersebut. Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang terjadi baik karena perjanjian maupun karena hukum.
Meskipun bukan paling dominan, namun pada umumnya perikatan yang lahir dari perjanjian merupakan yang paling banyak terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita temui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik
karena Undang-Undang.49 Ketentuan tersebut dipertegas lagi dengan rumusan
ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa suatu perjanjian
47
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 1. 48
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 26.
49
(50)
adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap
satu orang lain atau lebih.50
Kata perjanjian secara umum dapat mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas, suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang dikehendaki (atau dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk di dalamnya perkawinan, perjanjian kawin dan lain-lain. Dalam arti sempit, perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan saja.51
Pada umumnya perjanjian tidak terikat pada suatu bentuk tertentu, dapat dibuat secara lisan dan andaikata dibuat secara tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti apabila terjadi perselisihan. Untuk beberapa perjanjian tertentu, Undang-Undang menentukan suatu bentuk tertentu, sehingga apabila bentuk itu
tidak dituruti maka perjanjian itu tidak sah.52 Dengan demikian suatu perjanjian
itu tidak mutlak disyaratkan harus dalam bentuk tertulis, hanya dalam hal tertentu, bentuk perjanjian yang tertulis itu akan menjadi syarat adanya suatu perjanjian tersebut.
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 menyebutkan defenisi perjanjian yaitu suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis
maupun tidak tertulis.53 Berdasarkan perumusan pengertian tersebut, dapat
50Ibid., hlm. 2. 51
J. Satrio, Hukum Perikatan ; Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hlm. 28. 52
Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 65.
53
(51)
disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi Undang-Undang No.5 Tahun 1999 meliputi:
1. Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan;
2. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam
perjanjian;
3. Perjanjian dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis;
4. Tidak menyebut tujuan perjanjian.54
Dengan demikian, sungguhpun mungkin sulit dibuktikan, perjanjian lisan secara hukum sudah dapat dianggap perjanjian yang sah dan sempurna. Unsur adanya perjanjian tetap disyaratkan, dimana perjanjian lisan dianggap sudah cukup memadai untuk menyeret si pelaku untuk bertanggung jawab secara
hukum.55
Para ahli menganggap rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata selain kurang lengkap juga terlalu luas. Perjanjian lahir karena ada persetujuan atau kesepakatan di antara para pihak, bukan persetujuan sepihak saja. Pengertian perbuatan di sini juga tidak terbatas, mencakup perbuatan secara sukarela dan perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dengan demikian, baik KUHPerdata maupun Undang-Undang No.5 Tahun 1999 sama-sama merumuskan pengertian perjanjian dalam pengertian yang luas.
Menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1999, subjek hukum di dalam
perjanjian tersebut adalah “pelaku usaha”. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.5
54
Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 37.
55
Munir Fuady, Hukum Anti Monopoli; Menyongsong Era Persaingan Sehat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hlm. 51.
(52)
Tahun 1999 menyatakan, yang dimaksudkan dengan “pelaku usaha” adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.56 Dengan demikian, berdasarkan perumusan yang diberikan Pasal 1 angka 5 tersebut, subjek hukum di dalam perjanjian bisa berupa perseorangan atau badan usaha yang berbadan hukum atau bukan badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara.
Badan usaha dimaksud adalah badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia. Dengan kata lain, badan usaha asing tidak dapat dijerat dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Pasalnya, hanya badan usaha yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia yang dapat dijerat dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Demikian pula, baik batang tubuh maupun penjelasan Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tidak menjelaskan lebih lanjut apakah orang perseorangan di sini juga harus berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha (bisnis) di dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia atau tidak.
Perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 tersebut adalah perjanjian sepihak. Namun, tidak berarti hanya perjanjian sepihak yang terkena
Undang-Undang No.5 Tahun 1999. Jangkauan berlakunya sangat
56
(1)
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam tulisan ini, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia berkembang cukup pesat seiring dengan tingginya konsumsi masyarakat di Indonesia. Peningkatan konsumsi ini tidak hanya terjadi di Indonesia, akan tetapi terjadi juga dalam pasar global. Hal ini terjadi dikarenakan produksi minyak nabati jenis lain yang semakin menurun dalam pasar global dan menyebabkan beralihnya permintaan ke CPO. Sementara itu, perkembangan industri minyak goreng sawit di Indonesia ditandai dengan adanya sejumlah industri minyak goreng yang sudah berencana untuk membangun pabrik minyak goreng yang baru, diantaranya adalah Wilmar Group dan Sinar Mas Group. Ekspansi produsen CPO ini diwujudkan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng di dalam negeri yang terus meningkat dan sekaligus memanfaatkan fasilitas yang akan diberi pemerintah untuk pengembangan industri hilir CPO nasional.
2. Perjanjian kartel, merupakan salah satu perjanjian yang dilarang dan diatur secara tegas di dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dalam ketentuan Pasal 11, yang dilarang adalah perjanjian di antara para pesaing yang berisi pengaturan terhadap produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa
(2)
yang ditujukan untuk mempengaruhi harga, yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Larangan terhadap Pasal 11 tersebut tidak mengkategorikan kartel sebagai per se illegal, sebab kartel masih dimungkinkan sepanjang tidak menimbulkan praktik monopolisasi dan/atau persaingan usaha tidak sehat, yang merugikan masyarakat dan konsumen.
3. Analisis yuridis terhadap Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 dilakukan dengan menitikberatkan pada alat bukti yang digunakan oleh KPPU dalam putusannya yang menghukum ke-20 (dua puluh) produsen minyak goreng sawit yang terlibat dalam kartel. Putusan KPPU mengenai kartel minyak goreng ini tidak dapat dijatuhkan oleh KPPU karena KPPU dalam menjatuhkan hukuman tersebut hanya mendasarkan pada satu alat bukti saja, yang dalam hukum di Indonesia dikenal suatu asas satu bukti bukan bukti
(unus testis nullus testis). Hal tersebut sesuai dengan putusan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Jakpus) dan Mahkamah Agung (MA) yang juga membatalkan putusan KPPU tersebut. Sangat sempit sekali perusahaan-perusahaan minyak goreng tersebut dikatakan melakukan kartel hanya dengan bukti tidak langsung (indirect evidence). Karena seharusnya penggunaan bukti tidak langsung (indirect evidence) harus didukung bukti-bukti lainnya untuk mendapatkan pembuktian yang mempunyai suatu kekuatan hukum.
(3)
B. Saran
Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa hal yang disarankan oleh penulis, yaitu:
1. Hendaknya KPPU dalam menangani dan memutus suatu perkara persaingan usaha (dalam hal ini khususnya perkara kartel) mempunyai lebih dari satu alat bukti yang dikenal dalam hukum di Indonesia dengan asas unus testis nullus testis dan tidak menganggap hanya cukup dengan satu alat bukti saja untuk mengidentifikasi adanya suatu praktik kartel yang dilakukan oleh para pelaku usaha.
2. Hendaknya hakim-hakim di Indonesia yang menangani perkara persaingan usaha mempunyai pengetahuan yang sama mengenai penggunaan indirect
evidence dalam hukum persaingan di Indonesia. Hal inipun berguna untuk
memberikan kepastian hukum mengenai penggunaan indirect evidence itu sendiri kepada masyarakat maupun kepada para pelaku usaha.
3. Undang-Undang No.5 Tahun 1999 sebaiknya dilakukan amandemen terutama amandemen terhadap pengertian kartel sebagai perjanjian yang dilarang dalam hukum persaingan usaha di Indonesia, yang pada saat ini pengertian kartel yang jelas tidak ada disebutkan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999, akan tetapi hanya menyebutkan mengenai larangan kartel saja.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Badrulzaman, Mariam Darus, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Fauzi, Yan, Yustina E. Widyastuti, dkk., Kelapa Sawit, Jakarta: Penebar Swadaya, 2012.
Fuady, Munir, Hukum Anti Monopoli ; Menyongsong Era Persaingan Sehat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003.
Ginting, Elyta Ras, Hukum Anti Monopoli Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Hansen, Knud, dkk., Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: Katalis, 2002.
Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.
Margono, Suyud, Hukum Anti Monopoli, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Maulana, Insan Budi, Catatan Singkat UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Nusantara, Abdul Hakim G., & Harman, Benny K., Analisa dan Perbandingan Undang-Undang Antimonopoli; Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jakarta: Elex Media Komputindo, 1999.
Pahan, Iyung, Panduan Lengkap Kelapa Sawit Manajemen Agribisnis Dari Hulu Hingga Hilir, Jakarta: Penebar Swadaya, 2008.
Pardamean, Maruli, Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit, Jakarta: PT. AgroMedia Pustaka, 2008
---. Cara Cerdas Mengelola Perkebunan Kelapa Sawit, Yogyakarta: Lily Publisher, 2011.
(5)
Prayoga, Ayudha D., dkk., Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Partnership for Business Competition, 2001.
Rusli, Hardijan, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1993.
Satrio, J., Hukum Perikatan ; Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Buku 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Sirait, Ningrum Natasya, Asosiasi dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003.
---. Hukum Persaingan di Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.
---. Hukum Persaingan di Indonesia, UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2010.
Sipayung, Tungkot, Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit, Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2012.
Sitompul, Asril, Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ; Tinjauan
Terhadap Undang–Undang Nomor 5 Tahun 1999, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1999.
Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
Usman, Rachmadi, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Antimonopoli, Jakarta: Rajawali Pers, 1999.
Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(6)
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 04 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 11 Undang–Undang No. 5 Tahun 1999
Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 01 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Website
Anonim, Indirect Evidence Sebagai Alat Bukti Kartel Dipersoalkan, dapat diakses
di http://hukumonline.com/berita/baca/alat-bukti-kartel-dipersoalkan,
terakhir diakses tanggal 6 Mei 2012.
Anonim, Positioning Paper Minyak Goreng, dapat diakses di www.kppu.go.id//Positioning_Paper/positioning_paper_minyak_goreng. pdf, terakhir diakses tanggal 3 Mei 2012.
Endang Tjitroresmi, Peran Industri Perkelapasawitan Dalam Pasar Global, dapat diakses di www.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog.pdf, terakhir diakses tanggal 25 April 2012.
Herlina, KD, Produksi Minyak Sawit Tumbuh 4,7%, dapat diakses di http://industri.kontan.co.id/news/produksi-minyak-sawit-tumbuh-47-1, terakhir diakses tanggal 13 Juni 2012.
Kementerian Perindustrian, Industri Hilir CPO: Pabrik minyak goreng bertambah, dapat diakses di http://www.kemenperin.go.id/artikel/1367/Industri-hilir-CPO:-Pabrik-Minyak-Goreng-Bertambah, terakhir diakses tanggal 3 Mei 2012.
Hasim Purba, Tinjauan Yuridis Terhadap Holding Company, Cartel, Trust dan Concern, dapat diakses di http://library.usu.ac.id/download/fh/perda-hasim1.pdf, terakhir diakses tanggal 26 Juni 2012.