Perjanjian Pelaku Usaha Dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentang Dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Prektik Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat

(1)

DAFTAR PUSTAKA I. BUKU

Badrulzaman, Mariam Darus dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001.

Barnes, Stanley N. et.al, Report of the Attorney General’s National Committee to Study the Antitrust Laws, Washington: US Government Printing Office, 1955

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2002

Elliott, Catherine & Frances Quinn, Contract Law, Essex, England: Pearson Education Limited, 2003.

Emirzon, Joni, Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta: PT. Prenhalindo, 2000. Fuady, Munir, Hukum Antimonopoli : Menyongsong Era Persaingan

Sehat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1999

____________, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001

Hansen, Knud, et.al, Undang-Undang No.5 Tahun 1999: Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Law Concerning the Prohibiton of Monopolistic Practices and Unfair Competiton), Jakarta: GTZ bekerjasama dengan PT Katalis, 2002

Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986 Hartono, Dr. Nj. C.F.G. Sunarjati, SH, Beberapa Masalah Transisi dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, Bandung: Binacipta, 1972 Hermansyah, SH., M.Hum., Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha di

Indonesia, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008

Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, SH., M.Hum, Hukum Bisnis, dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung: Refika Aditama, 2004 Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia, Buku Penjelasan


(2)

M. Manullang, Drs., Pengantar Ekonomi Perusahaan, Yogyakarta: Liberty, 1991

Maulana, Insan Budi, Catatan Singkat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000

Meliala, A Qirom Syamsudin, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Beserta Perkembangannya, Yogyakarta: Liberty, 1985

Pakpahan, Normin S., Kertas Kerja Hukum Ekonomi, Pokok-Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: ELIPS, Desember 1994

Prayoga, Ayudha D., et.al, Persaingan Usaha dan Hukum yang Mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Proyek Elips, 1999

R. Murjiyanto, SH., KN, Pengantar Hukum Dagang, Aspek-Aspek Hukum Perusahaan dan Larangan Praktek Monopoli, Yogyakarta : Liberty bekerja sama dengan Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jayanabra Yogyakarta, 2002

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bandung: Binacipta, 1987 R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 1995 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2004

Salim, H.S, Hukum Kontrak; Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak,

Jakarta: Sinar Grafika, 2003

Saliman, Abdul R., et.al, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan, Teori dan Contoh Kasus, Jakarta: Prenada Media, 2005

Shippey, Karla C. J.D, Menyusun Kontrak Bisnis Internasional, Jakarta: PPM, 2001

Silalahi, M. Udin., Badan Hukum dan Organisasi Perusahaan, Jakarta : Badan Penerbit IBLAM, 2005

_______________, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, 2007

Sirait, Ningrum Natasya, Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat,


(3)

__________________, Hukum Persaingan di Indonesia, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004

__________________, Kumpulan Tulisan Berbagai Aspek Mengenai Hukum Persaingan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004

Siswanto, Arie, Hukum Persaingan Usaha, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002

Sitompul, Asril, Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT. Intermasa, 1984

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: PT. Intermasa, 2003

Sullivan, Lawrence A. & Warren S. Grimes, The Law of Antirust: An Integrated Handbook, (St.Paul. Minn: West Group, 2000)

Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI Press, 1986

Usman, Rachmadi, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Jakarta: Djambatan, 2000

_______________, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004

Yani, Ahmad dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Anti Monopoli, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Yuhassarie, Emmy, et.all, Prosiding, Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya Tahun 2004, Undang-Undang No.5/1999 dan KPPU, 17-18 Mei 2004, Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005

II. PERATURAN

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Keputusan Presiden Republik Indonesia No.75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha


(4)

Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU

Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No: 253/ KPPU/ Kep/ VII/ 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999

III. PUTUSAN KPPU

Putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-I/2002 Tender Penjualan Saham PT. Indomobil Sukses International

Putusan Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2004 Tender Penjualan Dua Unit Tanker Pertamina

Perkara Nomor: 22/KPPU-L/2005 Tender Pipanisasi oleh PGN

Putusan Perkara Nomor: 07/KPPU-L/2007 Kepemilikan Silang yang Dilakukan oleh Kelompok Usaha Temasek dan Praktik Monopoli Telkomsel

Putusan Perkara Nomor: 17/KPPU-L/2007 Lelang Saham PT Dharmala Sakti Sejahtera, Tbk di PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia

Putusan Perkara Nomor: 19/KPPU-L/2007 Penguasaan Pasar dan Persekongkolan yang Dilakukan oleh EMI Music South East Asia, EMI Indonesia, Arnel Affandy, SH, Dewa 19 dan Iwan Sastrawijaya

Putusan Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008 Hak Siar Liga Utama Inggris Musim 2007-2010

Putusan Perkara Nomor: 18/KPPU-L/2008 Tender Pengadaan 6 (enam) unit Gamma Ray Container Scanner Dirjen Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2007

IV. JURNAL HUKUM

36th Annual Meeting – 1988 North American Competition Policy,The Impact on Canada of the Extraterritorial


(5)

Application of The U.S. Antitrust Laws, Westlaw Journal 57 ANTITRLJ 435

UNCTAD, TD/B/RBP/Rev. 5 of 20 February 1998


(6)

BAB III

PERJANJIAN YANG DILARANG MENURUT UU NO. 5 TAHUN 1999 A. Pengertian Perjanjian yang Dilarang

Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 menyebutkan definisi perjanjian yaitu suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis. Berdasarkan perumusan pengertian tersebut, dapat disimpulkan unsur-unsur perjanjian menurut konsepsi UU No. 5 Tahun 1999 meliputi94

a. Perjanjian terjadi karena suatu perbuatan :

b. Perbuatan tersebut dilakukan oleh pelaku usaha sebagai para pihak dalam perjanjian

c. Perjanjian dapat dibuat secara tertulis atau tidak tertulis d. Tidak menyebut tujuan perjanjian

Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan pengertian perjanjian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

94

Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hlm. 37


(7)

Sedangkan dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud dengan perjanjian atau kontrak adalah “an agreement between two or more persons which creates an obligation to do or not to do a particular thing”.95

Dengan demikian, meskipun sulit untuk dibuktikan, perjanjian lisan secara hukum sudah dapat dianggap perjanjian yang sah dan sempurna. Unsur adanya perjanjian tetap disyaratkan, dimana perjanjian lisan dianggap sudah cukup memadai untuk menyeret si pelaku untuk bertanggung jawab secara hukum.96 Jika dibandingkan dengan definisi yang diberikan dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang merumuskan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih, maka dapat dilihat bahwa pada prinsipnya secara esensi tidak ada suatu perbedaan yang berarti, hanya saja dalam UU No. 5 Tahun 1999 definisi yang telah diberikan secara tegas menyebutkan pelaku usaha sebagai ubjek hukumnya, yaitu setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelanggarakan berbagai usaha dalam bidang ekonomi.97

Perjanjian yang dirumuskan dalam Pasal 1 angka 7 tersebut adalah perjanjian sepihak. Namun, tidak berarti hanya perjanjian sepihak yang terkena UU No. 5 Tahun 1999. Harus dipahami bahwa perjanjian sepihak saja sudah dapat terkena UU No. 5 Tahun 1999.98

95

Hermansyah, op.cit, hlm.24 96

Munir Fuady, op.cit, hlm. 51 97

Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, op.cit, hlm. 21 98

Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, op.cit, hlm. 38


(8)

ini akan disalahgunakan, sehingga akan terjadi perjanjian sepihak yang ditaati oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak terikat yang akhirnya merusak persaingan. Hal ini bisa diatasi dengan menambah suatu ketentuan lain seperti persekongkolan. Dengan ini, walaupun pasal perjanjian tidak bisa diberlakukan, mereka akan terkena ketentuan terakhir.99

Secara sedehana untuk memudahkan pengertian membaca berbagai cara untuk lebih memudahkan pengertian tentang analisis suatu perjanjian dalam konteks persaingan, perjanjian yang diartikan lebih sekedar meeting of minds:

100

1. Dinyatakan (expressed agreement)

a. Dalam bentuk kontrak sehingga melingkupi penawaran dan penerimaan b. Dinyatakan dalam pertemuan dua pemikiran yang bersifat informal 2. Tersirat (implied agreement)

a. Dengan melihat perubahan pada pasar secara terus-menerus b. Menggunakan faktor plus untuk melihat perubahan kondisi pasar.

B.Jenis-Jenis Perjanjian yang Dilarang

Jenis-jenis perjanjian yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16. Dilarangnya jenis-jenis perjanjian sebagaimana diuraikan di bawah ini karena dapat mengakibatkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Adapun jenis-jenis perjanjian tersebut adalah sebagai berikut:

1. Oligopoli

99

Ibid, hlm. 39-40 100


(9)

Perjanjian oligopoli (shared monopoly) ini dolarang dalam Pasal 4 UU No. 5 Tahun 1999, yang berbunyi:

1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan /atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud oleh ayat 1 apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

Dari perumusan Pasal 4 UU No.5 Tahun 1999 tersebut telah terlihat bahwa suatu perjanjian yang menimbulkan oligopoli dilarang jika terpenuhinya unsur-unsur sebagai berikut101

a. Adanya suatu perjanjian :

b. Perjanjian tersebut dibuat antar pelaku usaha

c. Tujuan dibuatnya perjanjian tersebut adalah untuk secara bersama-sama melakukan penguasan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa

d. Perjanjian tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan curang

e. Praktik monopoli atau persaingan curang patut diduga telah terjadi jika dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar dari satu jenis barang atau jasa.

Berdasarkan Pasal 4 ini, perjanjian oligopoli dilarang apabila dapat merugikan persaingan, jadi bukan per se illegal. Sehingga dalam penerapannya harus diteliti dengan seksama apakah suatu perjanjian oligopoli itu merupakan

101


(10)

tindakan yang dilarang atau tidak dengan memperhatkan unsur-unsur sebagai berikut:

a. Apakah tindakan tersebut terjadi pada suatu pasar tertentu baik pasar produk maupun pasar geografis

b. Selidiki pula apakah pelaku atau para pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan untuk menguasai pasar tersebut

c. Kemudian harus diperhatikan apakah pelaku atau para pelaku usaha tersebut dalam melakukan praktik monopoli terseut mempunyai niat atau kesengajaan untuk melakukan praktik monopoli.

Bila ketiga unsur ini dipenuhi maka barulah pelaku usaha dapat dikanakan pasal oligopoli tersebut.102 Pendekatan UU No. 5 Tahun 1999 agak berbeda dalam hal oligopoli tersebut, karena biasanya oligopoli tidak terbentuk hanya dari perjanjian melainkan melalui penyesuaian (penyelarasan) perilaku masing-masing pelaku usaha.103 Di dalam pasar oligopoli khususnya barang-barang yang homogen104

102

Asril Sitompul, Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat : Tinjauan Terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 45

103

M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, op.cit, hlm. 81

104

Seperti minyak tanah, bensin, pipa baja, bahan bangunan

akan terjadi keterkaitan reaksi, contohnya jika satu pelaku usaha menaikkan harga salah satu produknya maka pelaku usaha yang lain juga akan menaikkannya, demikian juga sebaliknya apabila harga diturunkan. Hal ini dapat terjadi karena sifat barang-barang yang homogen mengakibatkan tidak terjadinya


(11)

persaingan kualitas; di mana barang homogen memiliki kecenderungan kualitas yang sama.105

2. Penetapan harga

a. Penetapan harga (price fixing)

Pasal 5 ayat (1) melarang pelaku usaha membuat perjanjian dengan pesaing-pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa bagi konsumen atau pelanggannya. Jadi seharusnya para pelaku usaha yang mengadakan perjanjian tersebut bersaing satu sama lain di dalam harga tetapi karena adanya perjanjian tersebut, maka tidak ada lagi persaingan di antara mereka.

Dalam Pasal 5 ayat (1) ini penetapan harga secara horizontal dilarang tanpa melihat efek negatif dari perjanjian tersebut terhadap persaingan. Dengan kata lain, walaupun efek negatif yang ditimbulkan kecil terhadap persaingan, perjanjian tersebut tetap dilarang.106

Perjanjian penetapan harga ini dapat mencakup: perjanjian penetapan keniakkan harga, perjanjian tentang suatu formula tertentu untuk perhitungan harga, perjanjian untuk menghilangkan atau membuat diskon dan rabat, perjanjian tentang syarat-syarat kredit bagi pelanggan atau konsumen, perjanjian untuk menghilangkan produk-produk yang dipasarkan pada harga yang murah untuk

105

M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, op.cit, hlm. 82. Lihat juga pasar semen domestik yang dikuasai oleh kelompok Semen Gresik dan PT Semen Indocement yang masing-masing menguasi market share 43% dan 34% dalam M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, Ibid, hlm. 85-89.

106


(12)

dapat membatasi supply dan mempertahankan tingginya harga.107 Undang-undang memberikan pengecualian terhadap larangan membuat perjanjian ini jika perjanjian penetapan harga ini dibuat dalam hal usaha patungan atau didarkan pada undang-undang yang berlaku.108

b. Diskriminasi harga (price discrimination)

Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang satu harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang atau jasa yang sama. Terdapat berbagai bentuk dan tingkatan strategis diskriminasi harga, di mana setiap tingkatan menuntut informasi yang berbeda mengenai konsumen, yaitu109

1) Diskriminasi harga sempurna, di mana produsen akan menetapkan harga yang berbeda untuk setiap konsumen. Setiap konsumen akan dikenakan harga yang tertinggi yang sangup dibayarnya. Dengan menerapkan strategi ini, produsen akan menyerap seluruh surplus konsumen, sehingga dapat mencapai laba yang paling tinggi. Strategi ini hanya dapat diterapakan dalam kasus tertentu saja, karena menuntut produsen untuk mengetahui dengan tepat berapa jumlah maksimum yang ingin dibayarkan oleh konsumen untuk jumlah barang yang ditawarkan.

:

2) Pada situasi di mana produsen tidak dapat mengidentifikasikan maksimum harga yang dapat dikenakan untuk setiap konsumen, atau situasi di mana

107

Ibid, hlm. 80 108

Pasal 5 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 109


(13)

produsen tidak dapat melanjutkan struktur harga yang sama untuk tambahan unit penjualan, maka produsen akan menerapkan strategi diskriminasi harga tingkat kedua, di mana produsen akan menerapkan sebagian surplus dari konsumen. Pada strategi ini produsen akan menerapkan harga yang berbeda untuk setiap pembelinya berdasarkan jumlah barang yang dibeli. Pembeli yang bersedia membeli barang yang lebih banyak diberikan harga per unit yang lebih murah. Makin sedikit barang yang dibeli, harga per unitnya semakin mahal. Strategi ini banyak digunakan pada penjualan grosir atau swalayan besar.

3) Bentuk terakhir diskriminasi harga umumnya ditetapkan produsen yang mengetahui bahwa permintaan atas produk mereka beragam secara sistematik, berdasarkan karakteristik konsumen dan kelompok demografis. Pada kondisi ini, produsen dapat memperoleh keuntungan dengan mengenakan tarif yang berbeda untuk setiap kelompok konsumen yang berbeda.

c. Penetapan harga di bawah pasar (predatory pricing)

Perjanjian penetapan harga di bawah pasar ini diatur dalam Pasal 7 UU No. 5 Tahun 1999, di mana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Berdasarkan pasal tersebut, perjanjian penetapan harga di bawah biaya marginal yang dilarang adalah perjanjian yang dibuat pelaku usaha dengan pelaku usaha pesaingnya dengan tujuan menetapkan harga di bawah pasar atau di bawah biaya rata-rata, yang membawa akibat timbulnya persaingan usaha tidak sehat. Pada satu sisi,


(14)

penetapan harga di bawah biaya marginal akan menguntungkan konsumen dalam jangka pendek, tetapi di pihak lain akan sangat merugikan pesaing (produsen lain).110

d. Perjanjian penetapan harga jual kembali atau Perjanjian dengan persyaratan tertentu (resale price maintenance)

Dari bunyi Pasal 8111 UU No. 5 Tahun 1999 terlihat bahwa resale price maintenance hanya dilarang apabila ia dapat mengakibatkan terjadinya praktik persaingan uasha tidak sehat; berbeda dengan price fixing yang bersifat per se illegal.112

Adapun alasan diadakannya perjanjian ini adalah untuk menghindari intra-brand competition di antara para distributor yang dapat mangancam stabilitas jaringan ecerannya. Selain itu, supplier juga dapat lebih mudah untuk mempertahankan persepsi konsumen terhadap kualitas produknya.

Perjanjian resale price maintenance dapat terjadi antara supplier dan distributor-distributornya di mana supplier menetapkan suatu harga terendah dari suatu barang atau jasa yang harus ditaati oleh distributor-distributor tersebut. Dengan kata lain, para distributor tersebut tidak boleh menjual atau memasok kembali barang atau jasa tersebut dengan harga yang lebih rendah daripada harga yeng telah ditetapkan tersebut.

113

3. Pembagian wilayah (market allocation)

110

Rahmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, op.cit, hlm. 50 111

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang membuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya, dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

112

Berbeda dengan Amerika Serikat (De Miles Medical Co. v. John D Park & Sons. Co) dan Australia (T.P.C v. Stihl Chain Saws Pty. Ltd) yang menetapkan baik resale price maintenance maupun price fixing sebagai tindakan yang per se illegal.

113


(15)

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.114 Perjanjian pembagian wilayah ini dapat bersifat horizontal maupun vertikal. Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau alokasi pasar; dimana wilayah pemasaran dapat berarti wilayah negara Republik Indonesia misalnya kabupaten, provinsi atau wilayah regional lainnya.115

a. Pembagian pasar territorial

Dalam ilmu hukum antimonopoli, dikenal berbagai macam pembagian pasar (secara horizontal) yang secara yuridis tidak dibenarkan, yaitu sebagai berikut:

b. Pembagian pasar konsumen c. Pembagian pasar fungsional d. Pembagian pasar produksi 4. Pemboikotan

Perjanjian mengenai pemboikotan terdapat dalam Pasal 10 UU No. 5 Tahun 1999, dimana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat mengahalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Atau pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menolak menjual setiap barang dan atau jasa dari pelaku usaha lain sehingga

114

Pasal 9 UU No. 5 Tahun 1999 115


(16)

perbuatan tersebut akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan atau dapat diduga akan merugikan pelakuusaha lain; atau membatasi pelaku usaha lain dalam menjual atau membeli setiap barang atau jasa dari pasar bersangkutan. Hal ini dapat juga disebut dengan group boycott. Pemboikotan ini merupakan suatu perjanjian horizontal yang dapat menutup akses kepada input yang diperlukan oleh pesaing-pesaing lain.116

5. Kartel

Perjanjian untuk membentuk kartel tidak dibenarkan oleh Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999, yaitu menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Adapun dari pengertian tersebut, bentuk-bentuk kartel dapat berupa kartel harga, kartel produksi dan kartel pembagian wilayah pemasaran. Inilah yang secara klasik disebut dengan hard core cartels.117

Pada teorinya memang perjanjian kartel sangat menguntungkan para anggota kartel, dan sebaliknya sangat merugikan konsumen. Namun pada praktiknya, kartel sangat susah untuk dipertahankan karena sangat tergantung kepada kesetiaan para pelakunya yang bila tidak dapat dipertahankan maka akan mengakibatkan harga kembali kepada titik persaingan.

118

116

Ayudha D. Prayoga, et.al, op.cit, hlm. 84 117

M. Udin Silalahi, Perusahaan Saling Mematikan & Bersekongkol, Bagaimana Cara Memenangkan, op.cit, hlm.17

118

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia, op.cit, hlm. 92. Lihat juga

putusan KPPU


(17)

6. Trust

Pasal 12 UU No. 5 Tahun 1999 melarang adanya lembaga trust ini di mana pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerjasama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perusahaan perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat. Melihat namanya, bentuk perjanjian ini sebenarnya yang merupakan inspirasi lahirnya undang-undang antimonopoli Amerika Serikat (Antitrust Law) di mana gabungan perusahaan raksasa membentuk suatu perusahaan besar yang bertujuan mengontrol produksi atau pemasaran dan menguasai pasar.119

7. Oligopsoni

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lainnya untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan, agar dapat mengendalikan harga atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha

Tempuran Emas, Tbk. (Jakarta), PT. Jakarta Lloyd (Jakarta), PT Jayakusuma Perdana Lines Jakarta, PT Samudera Indonesia, Tbk. (Jakarta), PT Tanto Intim Line Surabaya, dan PT Lumintu Sinar Perkasa (Jakarta)

119

Ningrum Natasya Sirait, Kumpulan Tulisan Berbagai Aspek Mengenai Hukum Persaingan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm. 10


(18)

tidak sehat.120 Dugaan bila pelaku usaha patut diduga atau dianggap secara bersama-sama menguasai pembeliaan atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.121

Perjanjian oligopsoni ini merupakan kebalikan dari oligopoli yang terjadi di tingkat penjualan sedangkan oligopsoni terjadi di tingkat pembelian.122 Selain itu, perjanjian ini juga merupakan bentuk jamak dari monopsoni.123

8. Integrasi vertikal

Integrasi vertikal adalah suatu penguasaan serangkaian proses produksi atas barang tertentu mulai dari hulu sampai hilir atau proses yang berlanjut atas suatu layanan jasa tertentu oleh pelaku usaha tertentu.124 Pada umumnya argumentasi pembenaran dari tindakan melakukan integrasi vertikal adalah alasan pencapaian efisiensi yang sebenarnya justru disarankan undang-undang. Dapat dikemukakan beberapa manfaat tambahan yang diperoleh suatu perusahaan bila perusahaan tersebut berintegrasi vertikal dari hulu ke hilir, di antaranya125

a. Manfaat ekonomi karena karakter teknologi: mungkin terdapat penghematan biaya karena ekternalitas antar jalur produksi. Misalnya dalam industri baja, lebih menguntungkan untuk mengempa baja selagi panas. Jadi

:

120

Pasal 13 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1999 121

Pasal 13 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999 122

Ningrum Natasya Sirait, Kumpulan Tulisan Berbagai Aspek Mengenai Hukum Persaingan, loc.cit

123

Monopsoni dimaksudkan sebagai seorang atau pelaku usaha yang menguasai pasar yang besar untuk membeli suatu produk

124

Munir Fuady, op.cit, hlm. 68, Lihat juga pasal 14 UU No. 5 Tahun 1999 125


(19)

lebih menguntukngkan untuk memilki pabrik lembar baja dan pemgempaan baja dalam satu atap daripada memisahkannya pada pabrik yang lain.

b. Manfaat ekonomi karena adanya kepastian kontrak: integrasi vertikal seringkali diambil sebagai langkah untuk menghindari perilaku perusahaan pemasok yang tidak menaati kontrak. Misalnya perusahaan yang memasok botol pada perusahaan minuman dapat menekan biaya produksi dengan tidak menaati prosedur pembuatan botol yang tercantum dalam kontrak antara perusahaan minuman dengan perusahaan pembuat botol minuman. Akibatnya mutu botol dapat berkurang, yang pada akhirnya dapar merusak citra perusahaan minuman tersebut.

c. Manfaat ekonomi karena pengurangan biaya transaksi: terdapat banyak kemungkinan yang terjadi di pasar. Namun tidak mungkin memperkirakan semua kemungkinan yang akan terjadi dan mencantumkannya dalam kontrak. Untuk mengurangi biaya transaksi yang mungkin tibul dalam situasi tak pasti, seringkali transaksi-trasaksi tersebut perlu dilakukan dalam satu atap.

Tetapi yang menjadi perhatian dari perilaku yang menghambat persaingan apabila suatu perusahaan ketika menghadapi persaingan kemudian melakukan transfer pricing126

126

Transfer pricing adalah saat pelaku usaha memberikan harga yang lebih rendah kepada perusahaan yang terintegrasi diatas atau dibawahnya dengan tujuan membuat biaya produksi lebih rendah sehingga akan mengakibatkan harga jual yang lebih rendah dibanding pelaku usaha pesaingnya karena biaya produksi yang relatif rendah.

atau kecurangan biaya produksi dalam invoice atau kwitansi mereka. Adapun tujuan dari transfer pricing ini adalah menekan biaya yang terjadi di level terbawah (dari unit ritel ke tangan konsumen) yang akan menjadi relatif lebih rendah dibanding dengan biaya produk yang tidak berasal dari produk


(20)

integrasi vertikal. Selain itu, transfer pricing dapat memberikan keuntungan kepada pelaku usaha yang melakukannya sehingga pesaingnya tidak akan mampu bersaing di level tertentu dalam rangkaian produksi sampai pada tingkat konsumen.127

Kesimpulan yang dapat ditarik adalah dampak integrasi vertikal bagi persaingan dan efisiensi tidak terlalu jelas. Di satu sisi terdapat alasan-alasan penghematan biaya yang dapat diperoleh dari integrasi tersebut. Di lain sisi, integrasi vertikal dapat digunakan oleh perusahaan untuk menghambat persaingan atau meningkatkan laba monopoli. Yang jelas, dampak negatif dari integrasi vertikal semakin jelas jika terdapat masalah monopoli di hulu atau hilir. Jika masalah monopoli ini dapat diatasi maka integrasi vertikal tidak terlalu penting untuk dipermasalahkan.

128

9. Perjanjian tertutup

Pada prinsipnya seorang pelaku usaha bebas untuk menentukan sendiri pihak penjual atau pembeli atau pemasok suatu produk di pasar sesuai dengan berlakunya hukum pasar. Karena itu, setiap perjanjian yang membatasi kebebasan tersebut bertentangan dengan hukum pasar dan dapat mengakibatkan persaingan curang. Perjanjian yang membatasi kebebasan pelaku usaha tertentu untuk memilih sendiri pembeli, penjual atau pemasok disebut dengan istilah perjanjian tertutup. Perjanjian tertutup yang dilarang oleh Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999 ini sebagai berikut129

127

Ningrum Natasya Sirait, Kumpulan Tulisan Berbagai Aspek Mengenai Hukum Persaingan, op.cit, hlm. 11

128

Ayudha D. Prayoga, et.al, op.cit, hlm. 108 129

Munir Fuady, op.cit, hlm. 68


(21)

a. Penerima produk hanya akan memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu saja

b. Penerima produk tidak akan memasok kembali produk tersebut kepada pihak tertentu saja

c. Penerima produk hanya akan memasok kembali produk tersebut kepada tempat tertentu saja

d. Penerima produk tidak akan memasok kembali produk tersebut kepada tempat tertentu saja

e. Penerima produk harus bersedia membeli produk lain dari pelaku pemasok tersebut. Inilah yang disebut dengan Tie-In Agreement atau Tying Agreement130

f. Penerima produk diberi potongan harga jika bersedia membeli produk lain dari pelaku pemasok

g. Penerima produk diberikan potongan harga jika tidak membeli produk dari pelaku pemasok.

Salah satu ciri dari perjanjian tertutup ini ialah apabila pelaku usaha tersebut memiliki kekuatan pasar pada salah satu produknya sehingga dapat memaksakan kehendak kepada pelanggannya untuk membeli produk yang lain yang belum tentu dibutuhkan atau menjadi pilihannya.131

130

Tying agreement dapat didefinisikan sebagai penjualan produk dengan syarat bahwa si pembeli harus juga membeli produk lain yang sebenarnya bisa dibeli oleh pembeli itu dari penjual lain.

131

Ningrum Natasya Sirait, Kumpulan Tulisan Berbagai Aspek Mengenai Hukum Persaingan, op.cit, hlm. 12

Perjanjian tertutup ini termasuk ke dalam pembagian distribusi vertikal. Pembatasan distribusi vertikal ini dapat dibagi ke dalam dua katagori sebagai berikut:


(22)

a. Penetapan harga jual kembali, seperti penetapan harga maksimum penjualan kembali atau penetapan harga minimum penjualan kembali. Tetapi dalam hal ini, Pasal 8 UU No. 5 Tahun 1999 melarang penetapan harga minimum. Sedangkan penetapan harga maksimum untuk distribusi vertikal tidak dilarang.

b. Pembatasan distribusi vertikal yang bukan tentang harga, misalnya pengalokasian konsumen dalam wilayah tertentu atau kelas konsumen tertentu kepada pihak-pihak penjual kembali (reseller) yang tertentu.

10. Perjanjian dengan pihak luar negeri

Perjanjian dengan pihak luar negeri yang dilarang dalam Pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 apabila pelaku usaha membuat perjanjian dengan pihal luar negeri yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Terdapat berbagai masalah dalam unsur Pasal 16 ini sebab tidak dijelaskan perjanjian yang bagaimana yang dimaksudkan dengan perjanjian luar negeri karena selama ini berbagai perjanjian telah dijalankan baik dalam bentuk kerjasama (joint venture), kontrak bisnis maupun perjanjian lainnya.132

Selain itu, terdapat kejanggalan dalam hal pihak yang melakukan perjanjian tersebut yaitu siapa saja pihak lain di luar negeri ini, sebab menimbulkan beberapa persepsi misalnya apakah yang dimaksud perusahaan atau badan hukum Indonesia yang merupakan cabang / afiliasi dari perusahaan asing

133

132

Ibid, hlm. 13 133

Insan Budi Maulana, op. cit, hlm. 26

ataupun sebaliknya termasukkah perusahaan atau badan hukum yang berdomisili di luar negeri namun merupakan cabang / afiliasi dari perusahaan atau badan hukum Indonesia serta ada


(23)

juga pemahaman pihak luar yang memang tidak memiliki hubungan sama sekali dengan pelaku usaha tersebut sebelumnya.

C.Sanksi dalam Perjanjian yang Dilarang

Berikut merupakan sanksi yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 dari bagian Perjanjian yang dilarang:

No Jenis perjanjian Sanksi adminis-tratif Sanksi denda (yang juga termasuk administra tif)

Pidana pokok Pidana tambahan

1. Oligopoli (Pasal 4) Penetapan pembatalan perjanjian, penetapan pembayara n ganti rugi (Pasal 47) Denda minimal satu milyar Rupiah dan maksimal 25 milyar Rupiah (Pasal 47 ayat 2g) Denda minimal 25 milyar Rupiah dan maksimal 100 milyar Rupiah atau pidana kurungan pengganti denda selam-lamanya enam bulan Pencabutan izin usaha, larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap UU untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang mengakibatkan timbulnya kerugian pada pihak lain (Pasal 49)

2. Penetapan harga (Pasal 5)

Ibid Ibid Pidana denda minimal lima milyar Rupiah dan maksimal 25 milyar


(24)

Rupiah

3. Diskriminasi

harga dan diskon/ potongan harga (Pasal 6-8)

Ibid Ibid Ibid Ibid

4. Pembagian wilayah (Pasal 9)

Ibid Ibid Denda minimal 25 milyar Rupiah dan maksimal 100 milyar Rupiah atau pidana kurungan pengganti denda selam-lamanya enam bulan Ibid

5. Pemboikotan

(Pasal 10)

Ibid Ibid Ibid Ibid 6. Kartel

(Pasal 11)

Ibid Ibid Ibid Ibid 7. Trust

(Pasal 12)

Ibid Ibid Ibid Ibid 8. Oligopsoni

(Pasal 13)

Ibid Ibid Ibid Ibid 9. Integrasi

vertical (Pasal 14) Menghen -tikan integrasi vertical (Pasal 47 ayat 2b)

Ibid Ibid Ibid

10. Perjanjian tertutup (Pasal 15) Penetapan pembatalan perjanjian, penetapan Pem-bayaran ganti rugi (Pasal 47)

Ibid Pidana denda minimal lima milyar Rupiah dan maksimal 25 milyar Rupiah Ibid

11. Perjanjian dengan

pihak luar negeri

(Pasal 16)

Ibid Ibid Denda minimal 25 milyar Rupiah dan maksimal 100 milyar Rupiah atau pidana Ibid


(25)

kurungan pengganti denda selam-lamanya enam bulan

Sumber: Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999

D.Perjanjian yang Dikecualikan dalam UU No.5 Tahun 1999

Salah satu alasan terdapat perlunya pengecualian dalam hukum persaingan karena ada kebutuhan yang mendasar terhadap pengaturan jenis kegiatan, pihak maupun industri tertentu yang menyangkut kepentingan umum yang apabila dihitung secara ekonomi, proses produksi yang dilakukan oleh satu perusahaan saja akan mampu mengurangi biaya produksi secara keseluruhan. Selain itu, perlindungan terhadap pihak yang lemah dalam proses persaingan yang sangat keras yang dapat mengakibatkan sebagian pelaku usaha tersingkir dari proses persaingan.134

1. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara

Latar belakang filosofis yuridis mengenai pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999 ini adalah berdasarkan Pasal 33 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 di mana demokrasi ekonomi Indonesia berdasarkan asas kekeluargaan, di mana:

2. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat

3. Potensi, inisiatif dan daya kreasi setiap warga negara diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum

134


(26)

Dengan demikian, UUD RI Tahun 1945 sejak awal telah menginstruksikan adanya proteksi terhadap bidang-bidang perekonomian tertentu.

Pada Bab IX, Pasal 50 (a) dikatakan bahwa yang dikecualikan dari undang-undang ini adalah:

a. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Beberapa unsur yang terdapat dalam Pasal 50 huruf a sebagai berikut135

Dalam hal terdapat peraturan perundang-undangan yang tidak secara langsung diamanatkan sebagai peraturan pelaksana dari suatu undang-undang, maka peraturan tersebut tidak dapat mengeyampingkan UU No. 5 Tahun 1999. Dengan demikian apabila materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah UU tersebut bertentangan dengan UU No.5 Tahun 1999 maka tidak dapat diterjemahkan sebagai pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999.

: Pertama, unsur Perbuatan yang dalam hal ini memiliki makna yang sama dengan kata “kegiatan” yang terdapat dalam UU No. 5 Tahun 1999 terutama dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 29 yang berupa larangan bagi pelaku usaha untuk melakukan sesuatu. Sehingga ketentuan yang diatur pada pasal-pasal tersebut dapat dikecualikan apabila dilakukan bertujuan melaksanakan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

136

Sebaliknya, walaupun peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar bagi pelaku usaha untuk melakukan perbuatan dan atau perjanjian adalah dalam

135

Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No: 253/KPPU/Kep/VII/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 50 huruf a UU No. 5 Tahun 1999, hlm. 12

136


(27)

bentuk Peraturan Menteri misalnya, tetapi jika Peraturan Menteri tersebut diterapkan atas delegasi dari UU, maka perbuatan dan atau perjanjian tersebut walaupun akibatnya tidak sejalan dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999, pelaku usaha tersebut tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Hal tersebut karena, tindakan hukum pelaku usaha adalah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku, jadi termasuk dalam katagori pengecualian sebagaimana dimaksu pasal 50 huruf a.137

Kedua, kata Perjanjian yang sesuai dengan perumusan Pasal 1 angka 7. Ketiga, unsur “bertujuan melaksanakan” yang dapat diartikan bahwa pelaku usaha melakukan sesuatu tindakan bukan atas otoritas sendiri tetapi berdasarkan perintah dan kewenangan yang secara tegas diatur dalam undang-undang atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tetapi mendapat delegasi secara tegas dari undang-undang. Melaksanakan peraturan perundang-undang tidak dapat ditafsirkan sama dengan berdasarkan peraturan perundang-undangan. “Melaksanakan” selalu dikaitkan dengan kewenangan yang secara tegas diberikan pada subjek hukum tertentu oleh undang-undang (peraturan perundang-undangan) sedangkan “berdasarkan” tidak terkait dengan pemberian kewenangan, tetapi semata-mata hanya menunjukkan untuk suatu hal tertentu diatur dasar hukumnya.138

Keempat, kata Peraturan Perundang-undangan yang berlaku mengacu pada ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Yang termasuk jenis dan hierarki

137 Ibid 138


(28)

Peraturan Perundang-undagan mencakup UUD RI Tahun 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Selain itu, dalam Pasal 7 ayat (4) juga disebutkan Peraturan lainnya seperti peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga/Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa/yang setingkat.139

b. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba

Ketentuan pengecualian pasal 50 huruf b ini harus dilihat dalam konteks undang-undang Paten, Merek Dagang, Hak Cipta, dll yang relevan dan telah disesuaikan dengan TRIPS. Tetapi dalam undang-undang hak kekayaan intelektual tersebut tidak ada disinggung kaitannya dengan masalah persaingan usaha. Maka pengecualian mutlak untuk hak atas kekayaan intelektual dari ketentuan persaingan usaha menimbulkan masalah dalam hukum persaingan usaha. Selain itu, dalam Pasal 15 UU No. 5 Tahun 1999 melarang tanpa kecuali

139


(29)

perjanjian eksklusif dan perjanjian distribusi, sedang pasal 50 mengecualikan sama sekali perjanjian lisensi dari jangkauan undang-undang ini.140

Penemuan dalam bidang hak kekayaan intelektual umumnya bertujuan untuk peningkatan kualitas kehidupan umat manusia, sehingga wajar memberikan hak menikmati penemuannya dengan memberikan hak monopoli yang dilindungi oleh undang-undang dalam kurun waktu tertentu sebelum menjadi milik publik (public domain). Alasan lain ialah penelitian hak atas kekayaan intelektual memerlukan dedikasi, biaya dan waktu yang lama, sehingga apresiasi terhadap upaya ini diberikan dengan jalan monopoli yang diproteksi.

141

c. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan

Perjanjian de facto antara pelaku usaha tentang penggunaan suatu standar yang seragam merupakan kartel yang menghalangi persaingan. Di lain sisi, perjanjian tersebut diperlukan untuk memungkinkan terjadinya persesuaian antar produk industri sehingga dapat menjamin penggunaannya di seluruh dunia.142

140

Ibid, hlm. 418 141

Ningrum Natasya Sirait, Hukum Persaingan di Indonesia,op.cit, hlm. 224 142

Knud Hansen, et.al, Undang-Undang No.5 Tahun 1999: Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Law Concerning the Prohibiton of Monopolistic Practices and Unfair Competiton), (Jakarta: GTZ bekerjasama dengan PT Katalis, 2002), hlm. 444-445

Oleh sebab itu, yang dikecualikan hanya standar teknis yng tidak menghalangi persaingan usaha. Bentuk dari standarnya sendiri tidak menentukan, karena standar yang tidak mengikat juga dapat mengakibatkan hambatan persaingan.


(30)

Yang menentukan adalah, apakah ada perjanjian sesuai dengan Pasal 1 angka 7 yang mengikat perusahaan-perusahaan terkait.143

d. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan

Hukum Indonesia membedakan antara perwakilan dagang dan agen tunggal (sole agent). Apabila Pasal 50 ini menjangkau kedua bentuk tersebut, maka Pasal 15, yang melarang distribusi vertikal, menjadi tidak berarti. Namun, Pasal 50 d ini pada dasarnya hanya menjangkau perjanjian dengan perwakilan dagang, tidak dengan penyalur mandiri atau distributor. Hal ini terlihat dalam rumusannya yaitu hanya hanya hubungan keagenan yang dibebaskan.

e. Perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas

Pengecualian akan berlaku atas dasar persyaratan sebagai berikut:

1) Semua pihak yang diikutsertakan berhak atas pemanfaatan hasil penelitian dan pengembangan bersama tersebut untuk tujuan penelitian lanjutan dan pemanfaatan. Namun, instititut penelitian, lembaga akademis atau pelaku usaha yang memasok penelitian dan pengembangan sebagai jasa komersial tanpa umumnya aktif dalam pemanfaatan hasil untuk penelitian lebih lanjut 2) Tanpa mengabaikan Pasal 2, di mana perjanjian penelitian dan pengembangan

hanya mengatur penelitian dan pengembangan bersama, masing-masing pihak 143

Hal ini berhubungan dengan spesifikasi teknis murni akan selalu terjadi, apabila disepakati secara mengikat di antara pelaku usaha untuk mematuhi standar yang sebenarnya tidak mengikat. Tetapi dengan syarat tertentu spesifikasi tersebut dapat diterima, misalnya kalau tidak ada persaingan dan menurut situasi persaingan tersebut tidak mungkin terjadi karena tidak mempunyai manfaat ekonomi


(31)

harus bebas mandiri untuk memanfaatkan hasil penelitian dan pegembangan bersama dan know-how yang sudah ada sebelumnya yang diperlukan untuk tujuan pemanfaatan termaksud.

3) Setiap penelitian bersama harus berkaitan dengan hasil yang dilindungi oleh hak kekayaan intelektual atau merupakan know how yang secara substansial mempunyai kontribusi terhadap kemajuan teknis atau ekonomis dan hasilnya harus bersifat menentukan terhadap produksi produk perjanjian atau terhadap penerapan proses perjanjian

4) Pelaku usaha yang ditugaskan untuk memproduksi melalui spesialisasi dalam produksi harus disyaratkan menerima tugas dari semua pihak, kecuali kalau perjanjian penelitian dan pengembangan bersama itu juga mengatur distribusi bersama.144

f. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia

Pengecualian yang dibicarakan di sini adalah negara sebagai subjek hukum perdata, bukan subjek hukum internasional. Kalaupun negara membuat perjanjian dengan negara lain ataupun lembaga keuangan internasional maka negara atau pemerintah di sini dalam kapasitas sebagai subjek hukum perdata (jure gestionis) bukan sebagai subjek hukum publik (jure imperii).145

g. Perjanjian dan atau kebutuhan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri

144

Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 455 145


(32)

Perjanjian ini dikecualikan karena tujuannya adalah membuka pasar di luar negeri. Ini tidak terlepas dari sejarah pembuatan UU No. 5 Tahun 1999, di mana Indonesia saat itu berada dalam krisis ekonomi sehingga diperlukan dorongan untuk melakukan ekspansi dan penetrasi ke pasar luar negeri.146

h. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau

Pengecualian ini dianggap sangat khas Indonesia, karena pengecualian ini tidak dikenal di berbagai jurisdiksi.147

i. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya

Adapun pengecualian ini memang bertujuan untuk melindungi usaha kecil yang merupakan komponen ekonomi kerakyatan yang dikehendaki UUD RI Tahun 1945.

Usaha koperasi merupakan ciri khas ekonomi Indonesia dan dapat disebut sebagai bentuk klasik kegiatan ekonomi “orang kecil”, yang berasal dari mentalitas kebudayaan penduduk Indonesia, yaitu secara gotong royong melaksanakan tujuannya.148 Ketentuan tentang pengecualian koperasi ini erat hubungannya dengan pengecualian “usaha kecil”. Karena meskipun suatu koperasi hanya beranggotakan usaha-usaha kecil, tetap harus dipastikan bahwa koperasi itu sendiri memenuhi persyaratan yang termuat dalam Pasal 50 huruf h. Jika tidak, maka untuk koperasi tersebut berlaku UU No. 5 Tahun 1999.149

146 Ibid 147

Ibid, hlm. 53 148

Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 475 149

Ibid, hlm. 479

Dalam pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999 juga disebutkan pengecualian oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai berikut:


(33)

“Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dalam undang-undang dan diselenggarakan oleh BUMN dan atau badan atau lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah.”

Perhitungan ekonomi memperlihatkan bahwa monopoli alamiah yang dilakukan oleh suatu perusahaan jelas akan lebih menguntungkan apabila hal tersebut berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan industri vital.150

150


(34)

BAB IV

PERJANJIAN PELAKU USAHA DENGAN PIHAK LUAR NEGERI YANG BERTENTANGAN DENGAN UU NO. 5 TAHUN 1999

A. Perjanjian Pelaku Usaha dengan Pihak Luar Negeri

1. Gambaran umum perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar negeri Berbisnis dengan dunia menjadi tema dekade sekarang. Pada tahun 1990-an telah bermuncul1990-an berbagai kesepakat1990-an perdag1990-ang1990-an di 1990-antara negara-negara di seluruh dunia.151

Perubahan kebijakan pemerintah didasari oleh kebutuhan dan tuntutan warganya, terutama kalangan bisnis yang memiliki pengaruh besar. Perusahaan-perusahaan besar dan pedagang-pedagang individual selalu mencari peluang di negara-negara lain untuk membuat kesepakatan atau perjanjian transaksi dalam pasar internasional.

Meskipun beberapa negara terus memaksa mengisolasi diri, kebanyakan negara mulai mengakui bahwa pengembangan dan pemanfaatan strategi ekonomi global sangat penting bagi pertumbuhan dan pemeliharaan ekonomi yang kuat. Kebanyakan dorongan untuk menuju globalisasi muncul dari sektor bisnis.

152

151

Putaran Uruguay menghasilkan General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang ditandatangani oleh 117 negara pada tahun 1993, North American Free Trade Agreement (NAFTA) pada tahun 1993 dan United States Preference Act (ATPA) pada tahun 1991

152

Karla C. Shippey, J.D, Menyusun Kontrak Bisnis Internasional, (Jakarta: PPM, 2001), hlm. 12-13


(35)

Istilah perjanjian dalam hal ini merupakan kesepadanan dari istilah “Overeenkomst” dalam bahasa Belanda atau “Agreement” dalam bahasa Inggris, yang menyebabkan istilah ini lebih sempit dari istilah “Perikatan”.153

a. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang dimaksudkan tentang perjanjian yang tertulis semata;

Selain itu, terdapat juga istilah kontrak dengan berbagai macam konotasi dari kata tersebut, seperti:

b. Hukum kontrak dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur dalam perjanjian-perjanjian dalam dunia bisnis semata-mata

c. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian internasional, multinasional atau perjanjian dengan perusahaan-perusahaan mulinasional;

d. Hukum kontrak semata-mata dimaksudkan sebagai hukum yang mengatur tentang perjanjian-perjanjian yang prestasinya dilakukan oleh kedua belah pihak.

Adapun penulis menyatakan pemakaian istilah kontrak dalam bagian perjanjian ini karena kemiripan pengertian dari kedua kata tersebut seperti halnya berikut ini:

a. Kontrak menurut Black Law Dictionary adalah suatu kesepakatan yang diperjanjikan (promissory agreement) diantara dua atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi atau menghilangkan hubungan hukum;

153

Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 2


(36)

b. Kontrak menurut Steven H. Gifis adalah serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti kerugian terhadap wanprestasi terhadap kontrak tersebut, atau terhadap pelaksanaan kontrak tersebut oleh hukum dianggap sebagai suatu tugas;

c. Kontrak, menurut Karla C. Shippey, J.D dalam pengertian yang luas, adalah kesepakatan yang mendefinisikan hubungan antara dua pihak atau lebih; d. Kontrak menurut Pasal 1313 KUHPerdata (dalam hal ini disebut perjanjian)

sebagai suatu perbuatan di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih;

Jadi, berbeda dengan konotasi-konotasi kontrak di atas bahwa kontrak itu harus tertulis, namun sebenarnya istilah kontrak dapat juga dipakai apabila suatu perjanjian bukan merupakan perjanjian tertulis154 seperti yang dicakup dalam Pasal 1 angka (7) UU No. 5 Tahun 1999.155

Adapun dari sejarahnya kontrak merupakan akibat dari pengaruh doktrin laissez-faire di mana menurut doktrin tersebut membebaskan para pihak untuk membuat perjanjian secara bebas karena menurutnya para pihak merupakan penilai yang paling bagus untuk kepentingan mereka masing-masing. Dan ketika pilihan telah dibuat, pekerjaan dari pengadilan hanyalah sebagai wasit untuk memastikan bahwa para pihak memenuhi janji mereka masing-masing, dan bukan

154

Joni Emirzon, Hukum Bisnis Indonesia, (Jakarta: PT. Prenhalindo, 2000), hlm. 179 155

Definisi Perjanjian menurut Pasal 1 angka 7 UU No. 5 Tahun 1999 adalah suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis.


(37)

merupakan tugas pengadilan untuk menilai apakah penawaran dalam kontrak yang telah dilakukan adil bagi para pihak atau tidak.156

Dari pengertian tersebut dapat kita lihat bahwa yang melakukan perjanjian dapat berupa orang perorangan atau badan usaha, yang menurut peraturan di Indonesia dapat terdiri dari

Pasal 1 butir 5 UU No. 5 Tahun 1999 memberikan definisi pelaku usaha sebagai berikut:

“Setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi”.

157

1. Badan usaha yang bukan badan hukum :

a. Perseroan (maatschap) b. Usaha dagang

c. Perseroan firma d. Perseroan komanditer

2. Badan usaha yang berbentuk badan hukum a. Perseroan terbatas

b. Perusahaan Negara atau Badan usaha milik negara c. Koperasi

d. Yayasan

156

Catherine Elliott & Frances Quinn, Contract Law, (Essex, England: Pearson Education Limited, 2003), hlm. 4

157


(38)

Selain dalam bentuk kontrak, perjanjian pelaku usaha Indonesia dengan pihak asing yang paling banyak dijumpai merupakan bentuk penanaman modal. Jenis-jenis penanaman modal asing ke dalam negeri dapat diuraikan berikut158 a. Joint venture adalah kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik

modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka. Kerjasama yang sering disebut “Contract of Operation” ini tidak membentuk suatu badan hukum baru seperti pada joint enterprise. Beberapa kontrak yang merupakan bentuk kerjasama antara modal nasional dan orang asing adalah yang dikenal dengan nama “technical asssitance” atau “technical service”, “franchise and brand use agreement” dan “management contract” yang kesemuanya ini merupakan non-equity joint ventures.

:

b. Joint enterprise merupakan perusahaan terbatas yang dimiliki oleh pemilik modal asing dan nasional.

c. Kontrak karya terjadi apabila penanaman modal asing membentuk satu badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerjasama dengan suatu badan hukum yang mempergunakan modal nasional.

d. Production sharing atau bagi hasil dengan cara kredit yang diberikan oleh pihak asing akan dikembalikan beserta bunganya dari produksi perusahaan yang bersangkutan, yang biasa dikaitkan dengan suatu ketentuan mengenai kewajiban perusahaan nasional tersebut mengekspor hasilnya ke negara pemberi kredit.

158

C.F.G. Sunarjati Hartono, Beberapa Masalah Transisi dalam Penanaman Modal Asing di Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1972),hlm. 129-158


(39)

e. Portofolio investment dimana modal asing menyertai suatu badan usaha dan decision-making dari perusahaan tersebut juga datang dari pihak asing tersebut namun nama perusahaan serta pengurusnya merupakan orang Indonesia.

2. Pembatasan kebebasan melakukan perjanjian (kebebasan berkontrak) Hukum perjanjian Indonesia menganut prinsip kebebasan berkontrak. Prinsip tersebut terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Salah satu syarat sahnya adalah dalam Pasal 1320 KUHPerdata selanjutnya Pasal 1335 menetapkan perjanjian yang tanpa kuasa atau karena kuasa yang dilarang tidak mempunyai kekuatan mengikat, dan kuasa yang dilarang itu terdapat dalam Pasal 1337 KUHPerdata yaitu klausul yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum.

Syarat kausa yang legal merupakan mekanisme netralisasi, yakni sarana untuk menetralisir prinsip hukum kontrak lain, yaitu prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract).159 Sejalan dengan sejarah dari hukum kontrak tersebut dari bangsa Romawi yang pada waktu itu menganut prinsip tertutup terhadap kontrak yang kemudian bergeser karena pengaruh hukum Kanonik dengan menganut asas kebebasan berkontrak. Namun, muncul situasi yang menyalahgunakan prinsip kebebasan berkontrak ini sehingga muncullah kausa yang legal sebagai syarat sahnya suatu kontrak.160

159

Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, op.cit, hlm. 73 160

Ibid


(40)

Kausa dalam suatu kontrak ada yang disebutkan, tetapi ada juga yang tidak disebutkan atau tersirat.161 Dan jika ternyata kausa yang tidak disebutkan itu tidak sah menurut hukum maka kontrak tersebut juga dapat dikatakan tidak memenuhi kausa yang halal.162 Di dalam pengertian hukum perdata, suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum artinya bahwa perjanjian itu dianggap tidak pernah ada dan harus dikembalikan kepada suatu keadaan sebelum adanya perjanjian.163

B. Perjanjian Pelaku Usaha dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999

1. Unsur-unsur pelaku usaha dan pihak luar negeri yang mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat

Pasal 1 angka 5 UU No. 5 Tahun 1999 memuat jangkauan penerapan undang-undang ini hanya berlaku untuk pelaku usaha yang berkedudukan atau yang melakukan kegiatan usahanya di wilayah Republik Indonesia. Ketentuan Pasal 1 angka 5 ini dimodifikasi oleh ketentuan Pasal 16 undang-undang tersebut yang melarang pelaku usaha Indonesia membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan monopoli. Ketentuan khusus ini diperlukan karena keterkaitan pribadi di dalam Pasal 1 angka 5, di mana materi ketentuan ini tidak menjangkau pelaku usaha yang berkedudukan di luar negeri dan juga yang tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia meskipun mungkin perilakunya berdampak terhadap

161

Catherine Elliott & Frances Quinn, op.cit, hlm.105 162

Munir Fuady, Hukum Kontrak dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, op.cit, hlm. 75 163

Normin S. Pakpahan, Kertas Kerja Hukum Ekonomi, Pokok- Pokok Pikiran Tentang Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: ELIPS, 1994), hlm. 14-15


(41)

pasar di wilayah Indonesia. Dengan demikian, Pasal 16 dapat diterapkan terhadap kartel-kartel internasional.164

1) Pengertian istilah pelaku usaha dan pihak lain di luar negeri

Unsur-unsur pelaku usaha, pihak lain di luar negeri, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dapat dijabarkan sebagai berikut:

Pasal 1 angka 5 mendefinisikan “pelaku usaha” menurut kegiatannya dan dengan demikian menurut fungsi perilaku usaha di pasar. Dengan demikian, undang-undang tersebut mengikuti pendefinisian perusahaan menurut fungsi yang dikenal secara internasional.165 Menurut definisi tersebut, sifat perusahaan ditentukan oleh kegiatan ekonominya. Klasifikasi menurut sistematik undang-undang terhadap subjek hukum yang melakukan kegiatan usaha166

Definisi apakah suatu pelaku usaha merupakan orang perseorangan atau badan usaha dinilai terlalu luas, sehingga dapat dipertegas dengan menyatakan bahwa kegiatan ekonomi ialah segala kegiatan yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan. Dimensi kegiatan usaha tidak berpengaruh terhadap definisi istilah “pelaku usaha” sebab pelaku usaha dapat berupa PT yang tercatat di bursa saham atau seorang pedagang kecil.

tidak berpengaruh di sini.

167

Selain itu, juga tidak diperhatikan apakah pelaku usaha tersebut beroperasi atau mempunyai fasilitas produksi, juga tidak diperhatikan apakah kegiatan

164

Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 49 165

Ibid 166

Apakah yang bersangkutan dianggap perseorangan atau badan hukum, ini nyata dalam formulasi undang-undang tersebut melalui kalimat “orang peroarangan atau badan usaha”

167

Kecuali kalau pedagang kecil tersebut dapat dimasukkan ke dalam golongan pengecualian dalam Pasal 50 huruf h


(42)

tersebut dilakukan sebagai pekerjaan utama atau pekerjaan sampingan. Dapat disimpulkan dari istilah “pelaku usaha” bahwa hanya dari jenis kegiatannyalah ditentukan apakah subjek hukum ditentukan sebagai pelaku usaha. Dan sebaliknya dapat ditentukan bahwa subjek hukum melalui suatu kegiatan tertentu, tetapi melalui kegiatan yang lain tidak.168

1) Dalam arti yang paling luas, kelompok usaha terdiri dari beberapa badan usaha mandiri yang bergabung menjadi satu kesatuan ekonomi yang mandiri. Badan-badan usaha mandiri tersebut berada dalam suatu kepemimpinan yang sama yang memperlihatkan ke luar bahwa induk perusahaan membuat perencanaan secara seragam untuk semua anak perusahaannya.

UU No. 5 Tahun 1999 juga diterapkan terhadap kelompok usaha, asosiasi badan usaha dan badan usaha milik negara (BUMN), yang perinciannya sebagai berikut:

169

Perencanaan tersebut harus meliputi kegiatan ekonomi perusahaan yang pokok seperti misalnya keuangan, pembelian, organisasi, penjualan atau sumber daya manusia. Di dalam praktiknya, rencana yang seragam ini diformulasikan secara berbeda-beda. Jadi, suatu prestasi yang seragam ini dapat bertahan karena perintah-perintah induk perusahaan mengikat berdasarkan hukum perusahaan, dan masing-masing perusahaan tidak dapat membantah ketentuan-ketentuan pimpinan induk perusahaan.

168

Contohnya, pedagang eceran yang menjual barangnya adalah pelaku usaha, tetapi tidak dianggap sebagai pelaku usaha apabila ia membeli barang konsumsi untuk keperluannya sendiri. Sebab itu sudah termasuk pada katagori seorang konsumen sesuai Pasal 1 angka 15

169


(43)

Anggota-anggota kelompok usaha yang terkait juga sebagai pelaku usaha, apabila mereka melakukan perjanjian internal di antara mereka sendiri. Sebaliknya, diragukan, apakah kelompok usaha seluruhnya (yang terdiri dari induk perusahaan dan anak perusahaan) adalah pelaku usaha yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 5. Kelompok usaha yang terkait berdasarkan hukum perusahaan tetap berada dalam lingkup UU No. 5 Tahun 1999 karena undang-undang ini tidak berlandaskan pada bentuk hukum struktur badan usaha, melainkan hanya kepada kegiatan usaha.170

2) Bagi suatu asosiasi badan usaha, hanya perlu diperhatikan secara sistematik apakah beberapa badan usaha melakukan kegiatan usaha atas dasar perjanjian bersama, meskipun pihak-pihak yang terkait merupakan pelaku usaha sendiri. Sebagai contoh dapat disebutkan asosiasi professional atau ekonomi.

3) Badan Usahan Milik Negara (BUMN) dan lembaga-lembaganya juga dapat menjadi pelaku usaha (Pasal 51 UU No. 5 Tahun 1999). Secara umum yang dianggap sebagai BUMN adalah setiap badan usaha yang dapat dipengaruhi oleh negara karena menjadi pemilik, pemegang saham atau karena ketentuan khusus anggaran dasar badan hukum atau dengan alasan lain.171 Contohnya, Perseroan Terbatas (terbuka/publik), di mana negara memegang saham mayoritas atau menempatkan pejabatnya menjadi pimpinan perusahaan, perusahaan yuang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara juga termasuk perusahaan publik.172

170

Ibid, hlm. 52-53 171

Ibid, hlm. 53

172

Tidak ada parameter tetap untuk menentukan apakah kegiatan utama suatu lembaga adalah kegiatan ekonomi. Unsur yang menentukan dalam masing-masing kasus terkait dengan


(44)

Sedangkan unsur pihak lain di luar negeri tidak terdapat pengertiannya dalam undang-undang, karena memang pasal tersebut sengaja memilih rumusan yang luas sehingga dapat diterapkan tanpa harus memperhatikan apakah pihak luar negeri tersebut memenuhi persyaratan definisi pelaku usaha sesuai Pasal 1 angka 5. Satu-satunya syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa pihak tersebut harus merupakan pihak luar negeri yang melakukan aktivitasnya di luar wilayah Indonesia.173

2) Pengertian monopoli

Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1999 disebutkan pengertian monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dalam pengertian tersebut tidak dipakai kata dominasi pasar atau posisi dominan, melaikan kata penguasaan.

Menurut United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) Model Law, terdapat kaitan antara istilah posisi dominan kekuasaan pasar dengan kesanggupan untuk menguasai pasar bersangkutan yaitu posisi dominan kekuasaan pasar menunjuk kepada tingkat penguasaan nyata atau potensial terhadap pasar oleh satu pelaku usaha atau beberapa pelaku usaha yang bertindak bersama-sama atau merupakan suatu kesatuan ekonomi.174

pengecualian dalam UU No. 5 Tahun 1999 ialah apakah kepentingan umum yang harus dipenuhi suatu lembaga negara jelas-jelas tidak berkaitan dengan tujuan mendapat keuntungan ekonomi.

173

Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 271 174

UNCTAD, TD/B/RBP/Rev. 5 of 20 February 1998, hlm. 27 nomor 55

Sedangkan pengertian pelaku usaha dan kelompok pelaku usaha sama dengan yang termuat dalam Pasal 1 angka 5 serta penjelasan pada bagian sebelumnya dari skripsi ini.


(45)

3) Pengertian persaingan usaha tidak sehat

Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.175

1) persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur

Dari pengertian tersebut, secara sistematik persaingan usaha tidak sehat ditandai tiga criteria alternatif yaitu:

Istilah persaingan dengan cara tidak jujur diambil dari landasan persaingan usaha pada awalnya yaitu Pasal 382 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Pasal 1365 KUHPerdata. Menurut Pasal 382 KUHP istilah “persaingan usaha yang dilakukan dengan cara tidak jujur” berkaitan dengan istilah “perbuatan penipuan”.176

2) persaingan usaha yang dilakukan dengan melawan hukum

Menurut pengertian ini maka yang dianggap persaingan usaha yang melawan hukum adalah segala kegiatan usaha yang melawan larangan undang-undang. Larangan undang-undang adalah setiap ketentuan dalam undang-undang yang melarang perilaku teretntu dan secara imperatif, yang dapat dilihat dari formulasi ketentuan yang bersangkutan.177

3) unsur menghambat persaingan usaha

Di dalam UU No.5 Tahun 1999 tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai hambatan persaingan usaha. Oleh sebab itu, acuan dapat diambil dari tujuan undang-undang tersebut pada Pasal 2 dan 3, yaitu “mengahambat persaingan usaha” dapat berupa

175

Pasal 1 angka 6 UU No. 5 Tahun 1999 176

Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 65 177


(46)

perilaku pasar tertentu, atau dapat juga berupa perubahan struktur pasar. Perilaku pasar yang dilarang oleh hukum antimonopoli secara kasar dapat dibagi menjadi diskriminasi dan hambatan. Dengan demikian, suatu hambatan persaingan usaha dalam arti seperti ini adalah segala diskriminasi yang dilakukan oleh penjual (maupun pembeli), yang tidak beralasan. suatu hambtan mengganggu kebebasan bersaing dari pesaing, dan dilarang apabila tidak dapat diselaraskan dengan sistem persaingan usaha yang bebas.178

2. Kewenangan dalam memeriksa pelaku usaha lokal dan/atau asing maupun pihak luar negeri menurut UU No. 5 Tahun 1999

Pengertian Pasal 16 menjadi jelas dalam kaitannya dengan Pasal 1 angka 5 yang mengatur ruang lingkup penerapan secara internasional UU No. 5 Tahun 1999. Sesuai dengan perbedaan yang dimuat dalam pasal tersebut sehubungan dengan prinsip wilayah dari segi subjektif179 dan objektif180, maka Pasal 16 mengatur suatu keadaan khusus apabila melakukan perjanjian dengan pihak luar negeri181

178

Ibid, hlm. 67 179

Prinsip di mana hukum yang diterapkan bagi suatu perusahaan, dalam hal ini apabila perusahaan tersebut merupakan perusahaan internasional maka terdapat beberapa teori seperti “teori tempat pendirian”, yang biasanya dianut oleh negara dengan sistem Anglo-Saxon dan Belanda juga termasuk, yang menetapkan bahwa hukum yang berlaku bagi perusahaan tersebut ialah hukum di mana perusahaan tersebut pertama kali didirikan. Ada juga “Teori tempat kedudukan”, yang dianut oleh tradisi Eropa Kontinental, yang menentukan bahwa hukum yang diterapkan adalah hukum negara tempat kedudukan administratif atau kantor pusat pelaku usaha bersangkutan.

180

Prinsip objektif ini berkaitan dengan lokasi pasar yang relevan sehingga hukum yang berlaku ialah hukum yang berlaku di lokasi pasar tersebut.

181

Mengingat belum ada jawaban yang seragam atas pertanyaan hukum dari negera mana yang harus diterapkan terhadap badan usaha yang kegiatannya internasional.

di mana Pasal 1 angka 5 tidak menjangkau pelaku usaha yang bermarkas besar di luar negeri dan tidak melakukan aktivitas usaha di Indonesia, walaupun aktivitasnya memberikan dampak di Indonesia.


(47)

UU No. 5 Tahun 1999 menghindari kontroversi internasional tersebut dengan menyatukan teori pendirian dan tempat kedudukan menjadi ketentuan yang menyeluruh. Secara kumulatif, undang-undang tersebut mensyaratkan pelaku usaha mendirikan usahanya menurut hukum Indonesia182 dan harus “berkedudukan” di Indonesia juga.183 Soal kapan suatu badan usaha dianggap berkedudukan di Indonesia perlu dilihat dari kegiatan ekonomi badan usaha yang ditentukan oleh pimpinan, karena itu wilayah tempat kedudukan pimpinan usahalah yang menentukan.184

Karena itu, UU No. 5 Tahun 1999 dapat diterapkan terhadap kelompok usaha/perusahaan kalau perusahaan induk didirikan di Indonesia sedangkan anak-anak perusahaan didirikan atau berkedudukan di luar negeri. Sebaliknya, penerapan kumulatif teori tempat pendirian dan tempat kedudukan menurut Pasal 1 angka 5 tersebut dapat berakibat tidak berlakunya undang-undang ini terhadap badan usaha yang didirikan di Indonesia tetapi tidak berkedudukan di Indonesia dan tidak juga melakukan kegiatan usaha di Indonesia.185

Teritorialitas objektif telah terpenuhi ketika pelaku usaha asing melakukan kegiatan usahanya di Indonesia. Oleh karena itu, Pasal 16 terbatas penggunaannya terhadap kasus di mana perusahaan asing tidak aktif di pasar Indonesia, tetapi mempunyai pengaruh terhadap pasar Indonesia melalui perjanjian. Berdasarkan keterkaitan antara Pasal 16 dengan Pasal 1 angka 5, maka UU No. 5 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan terhadap perjanjian di mana kedua belah pihak

182

Berarti nama badan usaha tersebut tercatat dalam daftar perusahaan nasional dan berdasarkan hukum Indonesia telah diizinkan pendiriannya.

183

Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 55 184

Ibid 185


(48)

berkedudukan di luar negeri, sedangkan dampak perjanjian tersebut hanya terasa di pasar Indonesia.186

Pasal 16 secara eksplisit hanya mencakup masalah perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7. Dalam hal ini, yang menentukan adalah efek hukum yang mengikat, namun di samping itu, efek ekonomi, moral dan sosial juga mengikat. Dan secara juridis perjanjian tersebut adalah perjanjian yang dibuat secara sah menurut hukum termasuk juga ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.187

Selain itu, perjanjian yang dibuat dalam Pasal 16 bukan hanya menjangkau keadaan di mana sudah terdapat praktek yang anti persaingan dan hanya dilanjutkan oleh perjanjian – perjanjian tersebut. Tetapi yang dimaksud dalam pasal ini adalah bahwa telah terdapat hubungan usaha antara pelaku usaha Indonesia dengan pelaku usaha atau pihak lain di luar negeri, dan perjanjian yang dibuat menyebabkan hubungan usaha tersebut tidak sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1999.188

Terdapat banyak undang-undang antimonopoli yang diterapkan melebihi perbatasan nasional, tetapi terdapat perbedaan penting antara doktrin dan praktik hukum pelaksanaannya. Dengan syarat-syarat tertentu, beberapa negara menggunakan yurisdiksi territorial “objektif” sehubungan dengan aktifitas yang ditentukan di luar negeri dan diterapkan di dalam wilayah nasional, tanpa

186

Ibid, hlm. 266 187

Joni Emirzon, op.cit, hlm. 457 188

Knud Hansen, et.al, op.cit, hlm. 272; Lihat juga dalam putusan KPPU Perkara Nomor: 03/KPPU-L/2008, hubungan antara PT Direct Vision yang telah melakukan kegiatan usaha di Indonesia sejak tanggal 28 Februari 2006 telah menjalin hubungan dengan Astro All Asia Network, Plc sejak tanggal 30 Juni 2006 sebelum PT Direct Vision mendapat hak siar eksklusif Liga Inggris untuk periode 2007-2010


(49)

memperhatikan apakah menggunakan anak perusahaan setempat untuk menghubungi pembeli di wilayah nasional. Peraturan Penggabungan Uni Eropa (European Merger Regulation) berlaku terhadap penggabungan badan-badan usaha non-Uni Eropa yang melewati batas nilai penjualan minimum yang diperoleh Uni Eropa, tanpa memperhatikan apakah badan usaha tersebut ada secara fisik di Eropa.

Sedangkan di Amerika Serikat, dikenal penerapan “doktrin akibat” (effect doctrine)189 yang memberikan jurisdiksi materiil terhadap “kegiatan pihak luar negeri yang dimaksudkan untuk dan memang menimbulkan akibat yang cukup berarti di Amerika Serikat190” termasuk kegiatan pihak luar negeri191 tentang impor atau penggabungan badan usaha luar negeri, kegiatan yang mempunyai “pengaruh langsung, cukup berarti serta cukup dapat diramalkan” terhadap impor atau perdagangan Amerika Serikat,192

189

Dalam perkara United States v. Aluminium Co. of Am., 148 F.2d 416 (2d Cir. 1945)

yang menolak doktrin American Banana dan menyatakan tindakan pihak asing yang berdampak terhadap impor Amerika Serikat adalah termasuk dalam pengaturan Sherman Act. Dalam pertimbangannya, Hakim menyatakan: “…any state may impose liabilities, even upon persons nit within its allegiance, for conduct outside its borders that has consequences within its borders which the state reprehends.”

190

Dalam kasus Hartford Fire Ins. Co v. California, 509 US 764 S.Ct 2891 (1993),

Mahkamah Agung Amerika Serikat menggunakan “effect doctrine” dan juga prinsip comity secara bersamaan. Di mana, perusahaan reasuransi di Inggris telah diangggap melakukan konspirasi dengan perusahaan asuransi di Amerika Serikat dengan membatasi bentuk perlindungan asuransi. dalam kasus ini, prinsip comity diterapkan secara ketat, yaitu walaupun pemerintah Inggris membolehkan tindakan tersebut namun pemerintah Inggris tidak memerintahkan tindakan tersebut, sehingga Mahkamah Agung Amerika Serikat tidak menganggap terdapat konflik yang nyata antara kepentingan pemerintah Inggris dengan kepentingan pemerintah Amerika Serikat sehingga tidak terdapat pelanggaran terhadap prinsip comity dalam hal tersebut.

191

Stanley N. Barnes, et.al, Report of the Attorney General’s National Committee to Study the Antitrust Laws, (Washington: US Government Printing Office, 1955), hlm. 71-72. contohnya dalam kasus The Alcoa Case, terdapat perjanjian kartel antara Prancis, Swiss dan perusahaan penghasil ingot Inggris dengan pelaku usaha pesaingnya Alcoa, yang berasal dari Kanada

kasus hambatan ekspor dan

kasus-192

36th Annual Meeting – 1988 North American Competition Policy,

The Impact on Canada of the Extraterritorial Application of The U.S. Antitrust Laws, Westlaw Journal 57 ANTITRLJ 435, hlm. 2 “Pada tahun 1982 Amerika Serikat mengkodifikasi prinsip


(50)

kasus di mana hambatan persaingan usaha mempengaruhi keuangan atau pembelian barang atau jasa oleh pemerintah Amerika Serikat di luar negeri.193

Penerapan doktrin ini dapat dilakukan dengan menelaah tiga situasi yaitu: pertama, tidak adanya niat untuk mengakibatkan kerugian pada wilayah Amerika, namun pada kenyataannya merugikan. Kedua, adanya niat untuk merugikan pihak Amerika namun tidak berhasil atau tidak terjadi kerugian seperti yang diharapkan. Ketiga, adanya niat untuk merugikan dan niat tersebut berhasil terjadi. Dalam situasi pertama Sherman Act tidak dapat diterapkan karena apabila diterapkan dapat mengakibatkan “komplikasi internasional terhadap tatanan hukum” yang disebabkan penafsiran hukum yang terlalu luas. Sedangkan untuk situasi kedua jelas tidak dapat diterapkan karena tidak akan dapat dibuktikan adanya niat tersebut. Oleh sebab itu, untuk melihat efek/akibat itu harus dapat dibuktikan niat dan akibatnya yang sering sekali perilaku ini terjadi di luar wilayah suatu negara hanya saja dampaknya terasa di dalam negeri.

194

Tetapi penerapan doktrin akibat/efek ini juga terdapat batasannya dengan adanya “sikap saling menghormati”, maka apabila terjadi “konflik sesungguhnya” antara hukum Amerika Serikat dengan hukum luar negeri, di mana penerapan hukum Amerika Serikat menyebabkan pelanggaran terhadap hukum negara

yurisdiksi hukum persaingan Amerika Serikat dalam Foreign Trade Antitrust Improvement Act of 1982 (FTAIA) dan menyatakan bahwa Amerika Serikat mempunyai yurisdiksi terhadap tindakan anti persaingan yang dilakukan pihak asing apabila: such conduct has a direct, substantial and reasonably forseeable effect (A) on [domestic or import commerce] or (B) on export trade or export commerce…

193

United States v. Nippon Paper Industries Co. 109F.3d (1st Cir. 1997). Dalam perkara ini perusahaan-perusahaan yang berdomisili di Jepang dan melakukan seluruh kegiatan kartel di Jepang untuk menetapkan harga jual kertas fax ke Amerika Serikat didakwa secara pidana di Amerika Serikat dan yurisdiksi Amerika Tersebut dikuatkan oleh pengadilan banding Amerika Serikat

194

Lawrence A. Sullivan & Warren S. Grimes, The Law of Antirust: An Integrated Handbook, (St.Paul. Minn: West Group, 2000), hlm. 976


(1)

14.Semua teman di tempat kerja Penulis, IEC, mulai dari Director, Tony, rekan kerja lainnya, Gunawan Chandra, yang sangat tertarik dengan permasalahan hukum, dan Andrie (office is not the same without you guys), Michael Chandra (ex-IEC), Rianni Halim (thanks to the dictionary that you always lend me) A’khun/Hertanto, Maya, Marlisa (yang memberi Penulis obat sakit gigi sebelum mengajar serta tips menjaga gigi), Mellisa T, serta seluruh staf di sana.

Medan, Juni 2009


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAKSI ... .viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………..1

B. Perumusan Masalah ………...10

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………...10

D. Keaslian Penulisan ………11

E. Tinjauan Kepustakaan ………12

F. Metode Penulisan ………14

G. Sistematika Penulisan ………15

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Tinjauan Umum Perjanjian ………18

1. Pengertian perjanjan dan syarat-syarat sahnya perjanjian ...18

2. Jenis – jenis perjanjian secara umum ………...22

B. Tinjauan Umum Hukum Persaingan Usaha di Indonesia …..25

1. Latar belakang Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No. 5 Tahun 1999) ………..25

2. Prinsip per se dan rule of reason dalam UU No. 5 Tahun 1999 ………...29


(3)

4. Subjek hukum dalam UU No. 5 tahun 1999 …………...34 5. Penegakan hukum persaingan Usaha di Indonesia ……36

BAB III PERJANJIAN YANG DILARANG DAN YANG DIKECUALIKAN DALAM UU NO. 5 TAHUN 1999

A. Pengertian Perjanjian yang Dilarang ………..39 B. Jenis - Jenis Perjanjian yang Dilarang ………..41 C. Sanksi dalam Perjanjian yang Dilarang ………..56 D. Perjanjian yang Dikecualikan dalam UU NO.5 TAHUN 1999

………..58 BAB IV PERJANJIAN PELAKU USAHA DENGAN PIHAK LUAR

NEGERI YANG BERTENTANGAN DENGAN UU NO. 5 TAHUN 1999

A. Perjanjian Pelaku Usaha dengan Pihak Luar Negeri …..67 1. Gambaran umum perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar

negeri ………67 2. Pembatasan kebebasan melakukan perjanjian (kebebasan

berkontrak) ………72

B. Perjanjian Pelaku Usaha dengan Pihak Luar Negeri yang

Bertentangan dengan UU NO. 5 Tahun 1999 …………..73 1. Unsur -unsur pelaku usaha dan pihak luar negeri yang

mengakibatkan monopoli dan persaingan usaha yang tidak

sehat ………..73

2. Kewenangan dalam memeriksa pelaku usaha lokal dan atau asing maupun pihak luar negeri menurut UU No. 5 Tahun

1999 ………..79


(4)

Usaha (KPPU) mengenai perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar negeri ………..86 4. Akibat hukum perjanjian pelaku usaha dengan pihak luar

negeri yang mengakibatkan monopoli dan persaingan

usaha yang tidak sehat ………..108

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ………..110

B. Saran ………..112


(5)

PERJANJIAN PELAKU USAHA DENGAN PIHAK LUAR NEGERI YANG BERTENTANGAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999

TENTANG LARANGAN PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

ABSTRAKSI

*) Prof. Dr. Ningrum Natasya Sirait, SH, M.Li **) Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum

***) Christie Gozali

Pasal 33 UUD tahun 1945 yang merupakan dasar acuan normatif menyusun kebijakan perekonomian nasional menjelaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi ialah berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme pasar. Hanya saja dalam praktiknya, peluang-peluang yang ada pada pelaku usaha tertentu digunakan secara curang dan tidak terarah yang menyebabkan kerugian ekonomi bukan hanya bagi pelaku usaha lainnya dan konsumen, namun juga bagi perekonomian nasional; sebagai contoh di Indonesia dengan dibentuknya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) pada tahun 1991 yang memberikan kewenangan tunggal untuk membeli cengkeh dari petani cengkeh dan kewenangan menjual kepada para produsen rokok. Kecurangan-kecurangan dalam menjalankan usaha atau bisnis ini pada awalnya timbul dari suatu persaingan antar pelaku usaha, meskipun sudah ada etika-etika antar sesama pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Sebab persaingan antar para pelaku usaha merupakan hal yang wajar dan memang merupakan persyaratan mutlak bagi terwujudnya ekonomi pasar.

Namun apabila sudah merambah pada tahap-tahap kecurangan dan merugikan pihak lain, inilah yang menyebabkan timbulnya peranan hukum dalam melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi, sehingga dinamika kegiatan ekonomi tersebut dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Sebagai contoh perilaku pelaku usaha dalam persaingan usaha yang paling banyak didengungkan adalah tuduhan monopoli yang merupakan suatu bentuk penguasaan pangsa pasar; di mana adanya suatu kelompok tertentu yang memonopoli suatu bidang produk atau jasa tertentu. Selain itu terdapat juga beberapa potensi perilaku usaha yang menyimpang, antara lain: penentuan harga, predatory pricing dan pre-emptive expansion, kartel, merger, integrasi vertical, persaingan di tingkat pembeli (monopsoni), penguasaan pasar.

Di mana dalam pelaksanaan perilaku curang tersebut tidak terlepas dari perjanjian-perjanjian yang dibuat baik antara para pelaku usaha maupun antara pelaku usaha dengan pihak lain yang merupakan pihak asing atau yang berada di luar negeri. Oleh karena maraknya kasus-kasus yang diperiksa oleh KPPU yang bersangkutan dengan pihak asing, baik dalam kapasitas pelaku usaha maupun sebagai pihak lain, maka ini mendorong Penulis untuk membuat skripsi yang dapat membedakan karakter pelaku usaha asing dengan pihak lain di luar negeri


(6)

yang juga termasuk pihak asing yang sebenarnya mereka tunduk pada hukum negara lain.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara Studi Pustaka (Library Research), yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder biasa serta mempelajari sumber-sumber atau bahan tertulis yang dijadikan bahan dalam penulisan skripsi ini, misalnya buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan, putusan perkara, artikel dari internet, jurnal hukum dari internet dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan skripsi ini.

Kesimpulan skripsi ini adalah yang termasuk pihak asing yang merupakan kelompok usaha yang melakukan kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha seperti dalam Kasus Tender Pipanisasi oleh PGN (Welspun Gujarat Stahl Rohren Pte. Ltd.), Kepemilikan Silang yang Dilakukan oleh Kelompok Usaha Temasek dan Praktik Monopoli Telkomsel (Temasek Holdings, STT, SingTel, STTC, SingTel Mobile, AMHC, AMH, ICL dan ICPL yang disebut “Kelompok Usaha Temasek”) dan juga dalam kasus Hak Siar Liga Utama Inggris Musim 2007-2010 (AAAN dan AAMN) sebagai pelaku usaha dengan alasan pendekatan dalam pembuktian unsur melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Indonesia dengan menerapkan teori Single Economic Entity Doctrine.

Sedangkan pihak lain di luar negeri sesuai dengan pasal 16 UU No. 5 Tahun 1999 dapat dilihat kejelasan pengertiannya dalam kasus Tender Penjualan Dua Unit Tanker Pertamina (Goldman Sachs (Singapore), Pte. dan Frontline, Ltd.), Tender Pipanisasi oleh PGN (Daewoo International Corporation dan Det Norske Veritas Pte. Ltd), Hak Siar Liga Utama Inggris Musim 2007-2010 (ESS) karena pihak lain tersebut hanya melakukan perjanjian di mana dalam pelaksanaanya di wilayah Indonesia bukan mereka. Contohnya ESS yang hanya memasok chanel-chanel kepada berbagai operator TV berbayar di Indonesia, jadi ini tidak cukup untuk dianggap melakukan kegiatan ekonomi di wilayah Indonesia.

Kata Kunci: Perjanjian, Pelaku Usaha, Pihak Lain di Luar Negeri, Monopoli dan atau Persaingan Usaha Tidak Sehat

*) Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ***) Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara


Dokumen yang terkait

Peranan Notaris Dalam Persekongkolan Tender Barang/Jasa Pemerintah Terkait Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

6 47 130

ANALISIS PERJANJIAN WARALABA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

1 3 13

ANALISIS EFEKTIVITAS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT TERHADAP PEMBATASAN PRAKTEK KARTEL DI INDONESIA.

0 3 10

MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI PERSEROAN TERBATAS DITINJAU DARI HUKUM PERSAINGAN USAHA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.

0 0 13

PENETAPAN TINGKAT SUKU BUNGA DALAM PEMBIAYAAN KONSUMEN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT.

0 0 2

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 19

UU 5 1999 Larangan Praktik Monopoli Persaingan Usaha Tidak Sehat

0 0 47

PASAR PERSAINGAN TIDAK SEMPURNA MONOPOLI

0 2 21

PERANAN KPPU DALAM MENEGAKKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

0 0 8

BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERSAINGAN USAHA A. Tinjauan Umum Perjanjian 1. Pengertian perjanjan dan syarat-syarat sahnya perjanjian - Perjanjian Pelaku Usaha Dengan Pihak Luar Negeri yang Bertentang Dengan Undang-Undang nomor 5 Tahun 1999 T

0 0 21