DAYA KENDALI PIROKSASULFON DAN KOMBINASINYA DENGAN ATRASIN SECARA PRATUMBUH TERHADAP GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.)

(1)

ABSTRAK

DAYA KENDALI PIROKSASULFON DAN KOMBINASINYA

DENGAN ATRASIN SECARA PRATUMBUH TERHADAP GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN TEBU

(Saccharum officinarum L.)

Oleh

Rio Panjinata Rasobayo

Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara luas di Indonesia. Tebu adalah bahan baku dalam proses pembuatan gula. Dalam perkembangannya gula mempunyai peranan penting dalam kehidupan bangsa dan negara.

Gulma merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam praktek budidaya tebu. Gulma yang tumbuh di kebun tebu akan menyaingi tanaman dalam mendapatkan air, unsur hara, udara, dan ruang tumbuh. Salah satu cara

pengendalian gulma yang dilakukan adalah secara kimiawi dengan menggunakan herbisida. Penggunaan herbisida dengan pola kerja yang sama dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan adanya gulma yang resisten/toleran

terhadap herbisida. Guna menghindari terjadinya hal tersebut maka diperlukanlah herbisida dengan bahan aktif yang lain atau baru. Piroksasulfon merupakan herbisida yang relatif baru, sehingga masih banyak informasi yang harus dicari untuk mengetahui kinerja herbisida tersebut.


(2)

Penelitian ini bertujunan untuk (1) mengetahui daya kendali herbisida piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh terhadap pertumbuhan gulma pada budidaya tebu, (2) mengetahui perubahan komposisi jenis gulma pada lahan pertanaman tebu setelah aplikasi herbisida

piroksasulfontunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh, dan (3) mengetahui tingkat keracunan pada tanaman tebu akibat aplikasi herbisida

piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh.

Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Bataranila, kecamatan Natar, kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari bulan November 2009 – Februari 2010. Perlakuan diterapkan pada petak percobaan di lapangan dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS). Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Pengamatan dilakukan terhadap persentase penutupan gulma total dan tiap spesies, bobot kering gulma total dan tiap spesies, populasi tanaman tebu, tinggi tanaman tebu, dan tingkat keracunan tanaman tebu terhadap herbisida.

Hasil penelitian menunjukkan (1) Kombinasi piroksasulfon dosis 150 g/ha dengan atrasin efektif dalam mengendalikan gulma golongan daun lebar total dan gulma dominan Mimosa invisa pada pertanaman tebu dan piroksasulfon tunggal pada semua taraf dosisnya tidak efektif dalam mengendalikan gulma pada pertanaman tebu, (2) terdapat perubahan komposisi jenis gulma akibat aplikasi piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin, dan (3) semua taraf dosis piroksasulfon tunggal dan kombinasi dengan atrasin tidak meracuni tanaman tebu dan aman digunakan pada pertanaman tebu.


(3)

DAYA KENDALI PIROKSASULFON DAN KOMBINASINYA

DENGAN ATRASIN SECARA PRATUMBUH TERHADAP

GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN TEBU

(

Saccharum officinarum

L.)

Oleh

RIO PANJINATA RASOBAYO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

DAYA KENDALI PIROKSASULFON DAN KOMBINASINYA

DENGAN ATRASIN SECARA PRATUMBUH TERHADAP

GULMA PADA BUDIDAYA TANAMAN TEBU

(

Saccharum officinarum

L.)

(Skripsi)

Oleh

RIO PANJINATA RASOBAYO

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Rumus Bangun Piroksasulfon ... 30

2. Rumus Bangun Atrasin ... 32

3. Rumus Bangun Metribusin ... 32

4. Tata Letak Percobaan ... 36

5. Bagan Pengambilan Contoh Gulma ... 39


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang dan Masalah ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 6

1.3 Landasan Teori ... 7

1.4 Kerangka Pemikiran ... 12

1.5 Hipotesis ... 14

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

2.1 Informasi tentang Tanaman Tebu ... 16

2.1.1 Morfologi Tanaman Tebu ... 16

2.1.2 Fase Pertumbuhan Tanaman tebu ... 17

2.1.3 Budidaya Tanaman tebu ... 19

2.1.3.1 Olah Tanah ... 19

2.1.3.2 Pembuatan Baris Tanaman ... 19

2.1.3.3 Pemupukan ... 20

2.1.3.4 Bibit dan Penanaman ... 20

2.1.3.5 Pengairan/Irigasi ... 21

2.1.3.6 Pemeliharaan ... 22

2.2 Gulma dan Pengelolaannya ... 23

2.3 Pengendalian Gulma pada Budidaya Tebu ... 26

2.4 Piroksasulfon ... 29


(7)

iv

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 34

3.2 Alat dan Bahan ... 34

3.3 Metode Penelitian ... 35

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 36

3.4.1 Persiapan Lahan dan Pembuatan Petak Percobaan ... 36

3.4.2 Penanaman ... 37

3.4.3 Aplikasi Herbisida ... 37

3.4.4 Pemupukan ... 37

3.4.5 Penyiangan Mekanis ... 38

3.5 Pengamatan ... 38

3.5.1 Pengamatan Gulma ... 38

3.5.1.1 Persentase Penutupan (Total dan Tiap Spesies) ... 38

3.5.1.2 Bobot Kering (Total dan Tiap Spesies) ... 39

3.5.2 Pengamatan Tanaman Tebu ... 40

3.5.2.1 Populasi Tanaman ... 40

3.5.2.2 Tinggi Tanaman ... 40

3.5.2.3 Fitotoksisitas Tanaman ... 40

3.6 Jenis Gulma Dominan ... 41

3.7 Perubahan Komunitas ... 42

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

4.1 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Total ... 43

4.2 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Daun Lebar ... 47

4.3 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Rumput ... 51

4.4 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Cleome rutidospermeae ... 54

4.5 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Euphorbia geniculata ... 57

4.6 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Mimosa invisa ... 60

4.7 Persentase Penutupan dan Bobot Kering Gulma Richardia brasiliensis ... 63

4.8 Komposisi Jenis Gulma ... 66

4.9 Perubahan Komunitas/Komposisi Jenis Gulma ... 67


(8)

v

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1 Simpulan ... 75

5.2 Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

LAMPIRAN ... 80 Tabel 20-197 ... 80-147


(9)

DAFTAR PUSTAKA

Agropages. 2009. Pyroxasulfone. http://www.agropages.com. Diakses tanggal 29 November 2009

Alanwood. 2008. Metribuzin. http://www.alanwood.net. Diakses tanggal 29 November 2009

Anonim. 2009. Pengendalian Gulma di Kebun Tebu.

http://www.ratoonjatim.co.cc/pengendalian_gulma/pengendalian_gulma_rig ht.htm. Diakses 29 November 2009.

Baron, J. 2006. Produk Baru IR-4/Daftar Solusi Transisi. http:// www.aftresearch.org. Diakses tanggal 29 November 2009 BPS. 2009. Lampung Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Pemerintah

Provinsi Lampung. Lampung. Hlm 338-357 & 438-441.

Dinas Perkebunan Jatim. 2009a. Pengendalian Gulma di Kebun Tebu.

http://disbunjatim.co.cc/pengendalian_gulma/pengendalian_gulma_di_ kebun_tebu.htm. Diakses tanggal 29 November 2009.

____________________. 2009b. Jenis dan Sebaran Gulma di Kebun Tebu. http://disbunnjatim.co.cc/pengendalian_gulma/jenis_dan_sebaran_gulma_di _kebun.htm. Diakses tanggal 29 November 2009.

Evizal, R. 1998. Bahan Kuliah Teknik Perkebunan (Buku Ajar). (Tidak Dipublikasikan). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Herts, J. 2005. Pyroxasulfone. http://www.herts.ac.uk. Diakses tanggal 29 November 2009

Indarto. 2008. Bahan Kuliah Tanaman Penghasil Gula dan Minyak. (Tidak Dipublikasikan). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Indarto dan Sembodo, D.R.J. 2002. Aplikasi herbisida pratumbuh pada tiga varietas tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Agrotropika VII (1). Hlm 4-9


(10)

Indarto, Sembodo, D.R.J., dan D. Mawardi. 2003. Aplikasi metribuzin (sencor 480 SC) sebagai herbisida pratumbuh pada pertanaman tebu lahan kering. Prosiding Simposium Nasional dan Kongres PERAGI VII. Hlm 297-301. Jumin, H. B. 1991. Dasar-Dasar Agronomi. Rajawali Press. Jakarta.

Kompas. 2010. 2014, Indonesia Swasembada Gula.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/01/28/20055763/2014.. Indonesia.Swasembada.Gula. Diakses tanggal 1 Mei 2010.

Kurtz, M. E., Y. Yamaji, dan Y. T. DeLoach. 2009. KIH-485 (Pyroxasulfone): Pengendalian Gulma Daun Lebar (Urochloa platyphylla) pada Jagung dengan Aplikasi Pratanam pada Olah Tanah Konvensional dan Olah Tanah Minimum. http://wwsa.net. Diakses tanggal 29 November 2009

Mawanti, R.D. 2009. Efikasi Herbisida Imazapik (Cadre 240 AS) terhadap Gulma pada Budidaya Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) Lahan Kering. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. 160 hlm.

Moenandir, J. 1990. Fisiologi HerbisidaBuku Gulma II. Badan Penerbit CV. Rajawali Press. Jakarta. 95 hlm.

___________. 1993. Ilmu Gulma dalam Sistem Pertanian. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 181 hlm.

PT. GMP. 2009. Artikel Budidaya Tebu. http://gunungmadu.co.id/. Diakses tanggal 29 November 2009.

Purba, E. 2009. Keanekaragaman Herbisida dalam Pengendalian Gulma Mengatasi Populasi Gulma Resisten dan Toleran Herbisida. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Gulma pada Fakultas Pertanian. http://www.usu.ac.id. Diakses tanggal 29 Noveember 2009.

Riyanto, H.. 2006. Penggunaan Herbisida untuk Pengendalian Gulma di Perkebunan Tebu Lahan Kering. PT Gunung Madu Plantations. Tidak dipublikasikan. 13 hlm.

Sarah, S. R., Nader, S., Peter, S. H., dan Darren, R. E. 2009. Tolerance of eight sweet corn (Zea mays l.) hybrids to pyroxasulfone. University of Guelph, Ridgetown Campus. http://cat.inist.fr. Diakses tanggal 29 November 2009 Sastroutomo. S.S. 1990. Ekologi Gulma. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

236 hlm.

Sembodo, D. R. J. 2007. Bahan Kuliah Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma. (Tidak Dipublikasikan). Universitas Lampung. Bandar Lampung.


(11)

________. 2009. Bahan Kuliah Herbisida dan Lingkungan. (Tidak Dipublikasikan). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Sembodo, D. R. J. dan Sriyani, N. 2009. Bahan Kuliah Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma Bioekologi Gulma. (Tidak Dipublikasikan). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Setyobudi, H., Subiyantono, dan S. Wanasuria. 1995. Praktek-praktek pencampuran herbisida pada tanaman perkebunan. Prosiding Seminar Pengembangan Aplikasi Kombinasi Herbisida. Hlm 47-53.

Sriyani, N. 2009. Bahan Kuliah Herbisida dan Lingkungan Fisiologi Herbisida. (Tidak Dipublikasikan). Universitas Lampung. Bandat Lampung.

Susanto, H. 2008. Bahan Kuliah Pengelolaan Gulma Perkebunan. (Tidak Dipublikasikan). Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Taketani, Y., K. Koichiro, K. Kiyoshi, F. Tomonori, dan S. Tsutomu. 2009. Mekanisme Aksi Herbisida Baru, Pyroxasulfone. http://cat.inist.fr. Diakses tanggal 29 November 2009

Tjitrosemito, S. dan A. H. Burhan, 1995. Campuran Hebisida (Suatu Tinjauan). Prosiding Seminar Pengembangan Aplikasi Kombinasi Herbisida. Hlm 25-36.

Triharso. 1994. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 362 hlm.

Utomo, I.H., P. Bangun, dan M. Rachman. 1995. Dinamika populasi gulma di lapangan akibat pemakaian herbisida sejenis.Prosiding Seminar

Pengembangan Aplikasi Kombinasi Herbisida. Hlm 19-24.

Wikipedia. 2009a. Atrazine. http://www.wikipedia.org. Diakses tanggal 29 November 2009.

________. 2009b. Tebu. http://www.wikipedia.org. Diakses tanggal 29 November 2009.


(12)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah

Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tanaman yang dibudidayakan secara luas di Indonesia. Tebu sendiri adalah bahan baku dalam proses pembuatan gula. Dalam perkembangannya gula mempunyai peranan penting dalam kehidupan bangsa dan negara. Gula berperan sebagai salah satu kebutuhan bahan pokok yang diperlukan bagi masyarakat (Mawanti, 2009). Dari kebutuhan rakyat tehadap gula tersebut membuat tebu menjadi komoditi penting dan tentu saja mempunyai nilai ekonomis yang tinggi.

Pada kenyataannya dari tahun ke tahun pemerintah selalu mengimpor gula. Hal tersebut membuktikan bahwa produksi gula nasional belum mencukupi kebutuhan domestik. Data menunjukkan Indonesia pada tahun 2007 mempunyai luas 445.113 hektar lahan tebu dan mampu memproduksi gula sebesar 2,61 juta ton belum dapat memenuhi kebutuhan gula dalam negeri yang diperkirakan pada tahun 2008 besarnya mencapai 2,72 juta ton (Barani dalam Mawanti, 2009). Untuk Provinsi Lampung pada tahun 2007 saja dengan areal 108.921 hektar dan mampu

memproduksi 714.641 ton masih mengimpor gula sebesar 4.375 ton pada triwulan I 2007 (BPS, 2009). Kementerian Perindustrian menperkirakan Indonesia baru dapat mencapai swasembada gula pada tahun 2014 (Kompas, 2010)


(13)

Dalam menyikapi masalah tersebut pemerintah melalui BUMN atau bekerja sama dengan pihak swasta/rakyat melakukan cara perluasan lahan/areal tebu.

Harapannya adalah produksi dan produktivitas tebu dapat meningkat sehingga produksi gula juga akan meningkat pula. Selain itu berubahnya sistem budidaya dari lahan sawah di pulau Jawa menjadi budidaya lahan kering pada pulau-pulau lain diharapkan juga dapat mengatasi masalah tersebut.

Masalah lainnya adalah masalah-masalah yang dihadapi dalam praktek budidaya. Masalah ini juga mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya dalam

mempengaruhi produktivitas tebu dan produksi gula. Gulma merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam praktek budidaya tebu. Menurut Moenandir (1990), penurunan hasil pertanian yang disebabkan oleh gulma dapat mencapai 20 — 80% bila gulma tidak dikendalikan. Gulma yang tumbuh di kebun tebu akan menyaingi tanaman dalam mendapatkan air, unsur hara, udara, dan ruang tumbuh. Gulma juga akan menyulitkan proses pemanenan tebu (Indarto dan Sembodo, 2002).

Gulma yang tumbuh dapat menurunkan panen tebu sebesar 6-9% yang disebabkan berkurangnya jumlah dan tinggi batang serta mengecilnya diameter batang dan menurunkan rendemen 0,09% serta hasil gula sebesar 10%. Gangguan gulma di kebun tebu juga dapat menurunkan bobot tebu 53,7%. (Kuntohartono dalam Mawanti, 2009).

Akibat yang ditimbulkan dari tumbuhnya gulma pada lahan maka harus dilakukan proses pengendalian yang tepat, efektif, dan efisien. Salah satu cara pengendalian gulma yang dilakukan adalah secara kimiawi dengan menggunakan herbisida.


(14)

Herbisida adalah senyawa kimia peracun gulma (Triharso, 1994) atau Menurut Moenandir (1993), herbisida adalah bahan kimia yang dapat mengendalikan pertumbuhan gulma sementara atau seterusnya bila diperlukan pada ukuran yang tepat.

Gulma dominan yang tumbuh pada tanaman tebu antara lain Cyperus rotundus, Digitaria adscendens, Mikania micrantatha, Brachiaria nuticum, Centrocema pubescens, Dactyloctenium aegyptium, Croton hirtus, Ipomoea triloba, Mimosa invisa, Borreria alata, Richardia brasiliensis, (Susanto,2008). Hal tersebut menyebabkan herbisida yang dipakai pada budidaya tebu bermacam-macam jenisnya. Herbisida yang biasanya dipakai pada budidaya tebu adalah diuron, 2,4-D, dan metribusin.

Pada praktik budidaya tanaman tebu herbisida yang banyak digunakan adalah herbisida pratumbuh. Penyemprotan herbisida pratumbuh adalah proses aplikasi yang dilakukan sebelum gulma, tanaman, atau keduanya tumbuh. Penyemprotan dilakukan dengan harapan tebu yang masih kecil dapat berkembang dengan maksimal tanpa adanya gangguan gulma (Indarto, dkk., 2003).

Aplikasi dilakukan secara pratumbuh dikarenakan tanaman tebu memiliki masa kritis dimulai sejak fase perkecambahan sampai dengan fase pembentukan anakan (Riyanto, 2006). Pada fase kritis tesebut tanaman tebu masih kecil sehingga permukaan lahan masih sangat terbuka lebar. Hal tersebut dapat memacu

pertumbuhan gulma dan membuat pertumbuhan tebu menjadi tertekan. Fase kritis tersebut berlangsung kira-kira selama 3 bulan sampai tajuk tanaman antar baris saling bertemu. Setelah tebu berumur 3 bulan sinar matahari menjadi terhalang


(15)

untuk sampai ke permukaan tanah dan membuat gulma menjadi tertekan pertumbuhannya (Indarto, dkk., 2003). Pengaplikasian herbisida secara

pratumbuh menjadi salah satu faktor penting dalam menentukan produksi tebu.

Faktor lainnya dari aplikasi herbisida secara pratumbuh adalah dampaknya terhadap tanaman tebu itu sendiri. Waktu aplikasi yang dilakukan secara pratumbuh tentu saja dapat mengakibatkan teracuninya tanaman tebu atau dapat menyebabkan kematian. Apalagi kondisi tanaman tebu masih dalam fase kritis. Oleh karena itu, diperlukan penentuan dosis yang tepat agar herbisida yang diaplikasikan dapat meracuni/menekan pertumbuhan gulma dan tidak meracuni/menekan tanaman tebu.

Dalam perkembangannya tidak selamanya herbisida tersebut akan selalu efektif dalam mengendalikan gulma. Menurut Sriyani (2009) penggunaan herbisida dengan pola kerja yang sama dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan adanya gulma yang resisten/toleran terhadap herbisida. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan seleksi yang memunculkan biotipe gulma baru yang resisten terhadap gulma.

Guna menghindari terjadinya hal tersebut maka diperlukan herbisida dengan bahan aktif yang lain atau baru. Piroksasulfon merupakan herbisida yang relatif baru, sehingga masih banyak informasi yang harus dicari untuk mengetahui kinerja herbisida tersebut.

Piroksasulfon adalah bahan aktif yang termasuk dalam kelompok kimia pirazol dan oksazol (Herts, 2005). Pola kerjanya dalam tumbuhan sebagai penghambat


(16)

sulfonylioxazoline ALS (acetolacetate synthase) yang dapat diaplikasi secara pratumbuh dengan kemampuan pengendalian gulma yang lebih luas yaitu gulma rumputan dan daun lebar (Kurtz et al., 2009). Menurut Sriyani (2009) ALS adalah enzim yang mengakatalisis sintesis asam amino leusin, isoleusin, dan valin.

Deskripsi di atas menyebutkan piroksasulfon mempunyai kemampuan

pengendalian yang lebih luas tetapi tetap dibutuhkan juga herbisida-herbisida dengan bahan aktif lainnya. Menurut Setyobudi, dkk. (1995) Herbisida tidaklah mutlak dapat mengendalikan seluruh jenis gulma. Herbisida dengan bahan aktif lain dapat dicampurkan atau dikombinasikan. Pencampuran-pencampuran herbisida tersebut tentu saja bertujuan untuk memperluas spektrum pengendalian gulma. Terkadang dalam beberapa praktik budidaya pencampuran dua jenis herbisida mutlak diperlukan. Hal tersebut dilakukan karena keberadaan beberapa jenis gulma yang tumbuh pada areal yang sama (Setyobudi dkk, 1995).

Penelitian ini menggunakan herbisida baru dengan bahan aktif piroksasulfon yang diaplikasikan secara tunggal dan dikombinasi dengan herbisida berbahanaktif atrasin sehingga diketahui daya kendali herbisida terhadap pertumbuhan gulma, respons terhadap tanaman tebu, dan perubahan komposisi jenis gulma. Selain itu, diharapkan herbisida yang diaplikasikan pratumbuh tunggal maupun

dikombinasikan dengan atrasin tidak berpengaruh negatif pada pertumbuhan dan produksi tanaman tebu.


(17)

Untuk mengetahui tingkat efikasinya dalam mengendalikan gulma maka dilakukan perngujian pada berbagai taraf dosis. Percobaan ini dilakukan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana daya kendali herbisida piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh terhadap pertumbuhan gulma pada budidaya tebu?

2. Apakah terdapat perubahan komposisi jenis gulma pada lahan budidaya tebu setelah aplikasi herbisida piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh?

3. Apakah aplikasi herbisida piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh meracuni tanaman tebu?

1.2 Tujuan penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah dan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui daya kendali herbisida piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh terhadap pertumbuhan gulma pada budidaya tebu.

2. Mengetahui perubahan komposisi jenis gulma pada lahan pertanaman tebu setelah aplikasi herbisida piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh.

3. Mengetahui tingkat keracunan pada tanaman tebu akibat aplikasi herbisida piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh.


(18)

1.3Landasan Teori

Dalam rangka menyusun penjelasan teoritis terhadap pertanyaan yang telah dikemukakan, penulis menggunakan landasan teori sebagai berikut:

Tebu merupakan tanaman utama yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan gula. Dalam praktik budidayanya, budidaya tebu memiliki masalah-masalah sehingga menyebabkan tingkat produksi dan rendemen yang rendah. Salah satu masalah yang dihadapi adalah masalah gulma. Dalam pertanian gulma tidak dikehendaki karena (a) menurunkan produksi akibat bersaing dalam pengambilan unsur hara, air, sinar matahari, dan ruang tumbuh; (b) menurunkan mutu hasil akibat kontaminasi dengan bagian-bagian gulma; (c) mengeluarkan senyawa alelopati yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman; (d) menjadi inang bagi hama dan patogen yang menyerang tanaman; (e) mengganggu tata-guna air; dan (f) secara umum meningkatkan biaya usaha tani (Jumin, 1991).

Terdapat beberapa cara dalam mengendalikan gulma antara lain cara manual atau mekanik, organisme (jasad hidup) atau pengendalian secara hayati, dan

pengendalian secara kimiawi (Moenandir, 1993). Menurut Sembodo (2007) ada enam metode pengendalian gulma yaitu (1) preventif atau pencegahan, yaitu pengendalian gulma yang bertujuan untuk menekan pertumbuhan dan penyebaran gulma agar gangguan dapat dikurangi atau ditiadakan; (2) mekanik/fisik, yaitu dengan cara merusak fisik atau bagian tubuh gulma sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati; (3) kultur teknik/ekologik, yaitu pengendalian dengan cara memanipulasi ekologi atau lingkungan sehingga pertumbuhan gulma tertekan dan sebaliknya untuk tanaman; (4) hayati, yaitu pengendalian yang


(19)

bertujuan menekan populasi gulma dengan menggunakan organisme hidup; (5) kimia, yaitu pengendalian dengan menggunakan herbisida; dan (6) terpadu, yaitu pengendalian dengan cara memadukan beberapa cara pengendalian secara

bersama-sama.

Pada budidaya tanaman tebu yang biasanya dilakukan pada lahan yang luas, pengendalian gulma secara kimiawi merupakan cara yang efektif dan efisien. Penggunaan zat kimia pada pengendalian gulma dapat menekan biaya produksi dan mengatasi masalah keterbatasan tenaga kerja.

Herbisida pratumbuh adalah herbisida yang yang diaplikasikan sebelum gulma tumbuh pada lahan pertanaman (Mawanti, 2009). Herbisida pratumbuh memiliki beberapa syarat yaitu tidak selektif, sistemik, memiliki persistensi yang cukup di dalam tanah, dan tidak meracuni tanaman (Indarto, dkk., 2003).

Herbisida pratumbuh diaplikasikan pada lahan pertanaman yang diolah dengan olah tanah sempurna atau intensif. Keadaan tanaman pada saat aplikasi dapat saja belum ditanam, sudah ditanam, belum tumbuh, atau sudah tumbuh. Herbisida yang digunakan dikenal sebagai herbisida residual. Herbisida yang diaplikasikan akan membentuk lapisan tipis pada permukaan tanah. Gulma yang berkecambah akan terkena dan menyerap saat mengenai lapisan herbisida yang terbentuk tersebut. Dampaknya gulma akan teracuni. Untuk mencapai biji gulma yang berkecambah faktor kelembapan tanah sangat membantu sehingga tidak dianjurkan untuk mengaplikasikan herbisida pratumbuh pada kondisi kering (Sembodo, 2009).


(20)

Herbisida sistemik adalah herbisida yang dialirkan atau ditranslokasikan dari tempat terjadinya kontak pertama dengan herbisida ke bagian lainnya, biasanya akan menuju titik tumbuh karena pada bagian tersebut metabolisme tumbuhan paling aktif berlangsung. Herbisida ini dapat diaplikasikan melalui

tanah/pratumbuh. Jika diaplikasikan melalui tanah, maka translokasi terjadi secara apoplastik (melalui jaringan mati dengan pembuluh utama xylem) berupa aliran masa bersama-sama gerakan air dari tanah ke daun melalui proses

transpirasi (Sembodo 2009).

Dalam penggunaannya agar pengendalian gulma dengan herbisida dapat efektif memerlukan beberapa pertimbangan yaitu jenis herbisida, sasaran yang ingin dikendalikan (gulma), tanaman budidaya, cara aplikasi (Sembodo, 2009).

Dosis sangat menentukan efikasi dan selektivitas sebuah herbisida. Menurut Sukman dan Yakup (1995) yang dikutip oleh Mawanti (2009) sifat selektif herbisida ditentukan pada tingkat dosis tertentu, apabila dosis tersebut dinaikkan atau diturunkan maka sifat selektif herbisida tersebut akan hilang. Selain itu suatu tingkat dosis herbisida tidak hanya akan berpengaruh pada gulma tetapi juga terhadap tanaman utama. Dampaknya adalah adanya gejala keracunan atau bahkan dapat menyebabkan kematian pada tanaman tebu (Indarto dan Sembodo, 2002).

Penggunaan herbisida juga berdampak terhadap perubahan komunitas gulma yang ada pada suatu lahan pertanaman dan menimbulkan jenis gulma yang toleran. Menurut Mawardi dkk. (1996) yang dikutip oleh Mawanti (2009) menyatakan bahwa penggunaan herbisida dapat menekan spesies gulma tertentu, tetapi dapat


(21)

juga mengakibatkan terjadinya perubahan komunitas (perubahan komposisi gulma) dan populasi gulma atau tumbuhnya jenis-jenis gulma yang baru. Perubahan jenis gulma yang lebih besar kemungkinan disebabkan oleh adanya tekanan selektifitas yang lebih tinggi dari herbisida yang digunakan. Sebab lain diduga karena adanya perbedaan tanggapan masing-masing jenis gulma terhadap perlakuan yang diberikan. Selain itu, karena disekitar lahan masih terdapat gulma lain, maka diduga perubahan komunitas tersebut juga diakibatkan oleh

pemencaran biji dari daerah sekitarnya dan tumbuhnya kembali bagian vegetatif yang tersisa dalam tanah (Sastroutomo, 1990).

Jenis gulma yang toleran dapat muncul apabila penggunaan herbisida dengan pola kerja yang sama dan dalam jangka waktu yang lama. Hal tersebut menyebabkan meningkatnya tekanan seleksi yang memunculkan biotipe gulma yang resisten terhadap gulma (Sriyani, 2009). Hal tersebut didukung dari sifat herbisida adalah gabungan dari sifat toksisitas dan persistensi herbisida. Ketahanan gulma yang peka terhadap suatru herbisida akan terjadi kalau herbisida tersebut tidak aktif. Dengan demikian herbisida yang mempunyai sifat toksik tinggi akan memacu kondisi resistensi gulma secara perlahan (Utomo dkk., 1995). Untuk menghindari masalah ini diperlukan penggiliran jenis herbisida yang dipakai atau penggunaan metode pengendalian gulma yang berganti-ganti. Cara tersebut juga dapat mengurangi akumulasi residu dalam tanah (Triharso, 1994).

Keragaman jenis gulma pada lahan pertanaman sangatlah tinggi. Menurut Setyobudi dkk, (1995) pada dasarnya tidak ada jenis herbisida yang dapat


(22)

gulma dapat dilakukan dengan mencampur suatu jenis herbisida dengan herbisida lain atau diberi tambahan adjuvan.

Pencampuran herbisida tersebut dapat menghasilkan keuntungan maupun kerugian. Karena dari pencampuran herbisida dapat menghasilkan sebuah interaksi. Interaksi dalam hal kombinasi herbisida adalah aktivitas biologis satu komponen bahan aktif dimodifikasi oleh komponen lainnya (Tjitrosemitro dan Burhan, 1995). Interaksi yang dihasilkan dari kombinasi herbisida bersifat sinergis, antagonis, dan aditif. Kombinasi yang kompatibel akan menghasilkan efek yang sinergis. Kombinasi yang tidak kompatibel akan menghasilkan efek antagonis (Setyobudi dkk, 1995).

Piroksasulfon yang relatif masih baru adalah herbisida bersifat sistemik. Piroksasulfon merupakan turunan dari 3-sulfonylisoxazoline. Herbisida ini digunakan untuk mengendalikan gulma rumputan tahunan yang diaplikasi secara pratumbuh maupun pascatumbuh. Herbisida ini dapat digunakan pada budidaya jagung, sayuran, lobak, gandum, dan lain-lain (Baron, 2006). Berdasarkan hasil percobaan, diketahui bahwa aplikasi piroksasulfon tidak mengurangi ketinggian tanaman, tongkol ukuran, atau hasil dari salah satu jagung manis hibrida yang diuji (Sarah et al., 2009). Kombinasiya dengan Atrasin diharapkan dalam memperluas spektrum pengendalian gulma. Menurut Sriyani (2009) atrasin digunakan untuk mengendalikan gulma rumputan tahunan dan daun lebar.

Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengujian lapang untuk melihat tingkat daya kendali (efikasi). Herbisida piroksasulfon diaplikasikan sebagai herbisida pratumbuh secara tunggal pada beberapa taraf dosis dan dikombinasikan


(23)

dengan atrasin, sehingga diketahui respons dan daya kendali herbisida yang diujikan serta perubahan komposisi gulma.

1.4 Kerangka Pemikiran

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan, maka disusunlah kerangka pemikiran untuk memberikan penjelasan teoritis terhadap perumusan masalah. Tebu merupakan salah satu komoditas yang banyak dibudidayakan. Tanaman tebu adalah bahan baku utama dalam industri pembuatan gula. Gula merupakan salah satu dari kebutuhan masyarakat, sehingga tanaman tebu memiliki nilai strategis yang sangat penting. Pada kenyataannya kebutuhan masyarakat akan gula selalu menjadi masalah. Total produksi gula nasional selalu berada di bawah total kebutuhan konsumsi nasional.

Beberapa masalah yang dihadapi adalah pada praktik budidaya tanaman tebu, misalinya penggunaan varietas yang tidak unggul, serangan hama dan penyakit, metode pemanenan yang tidak tepat serta efisien dan gangguan gulma. Hal tersebut tentu saja berdampak pada tingkat produktivitas tebu dan rendemen yang rendah.

Gulma merupakan tumbuhan yang mengganggu dan merugikan kepentingan manusia. Keberadaan gulma pada tanaman tebu tentu saja menjadi pesaing dalam mendapatkan unsur hara, air, dan cahaya. Dampaknya adalah terganggunya pertumbuhan tanaman tebu. Saat tebu sedang dalam periode kritisnya yaitu tebu masih kecil dan tajuknya belum bertemu merupakan saat-saat yang paling


(24)

menyebabkan pertumbuhan gulma yang relatif lebih cepat akan menutupi lahan dan tentu saja mengganggu pertumbuhan awal tebu. Selain itu, keberadaan gulma juga dapat menghambat atau menyulitkan dalam proses pemanenan ataupun penggunaan mesin-mesin pertanian.

Cara-cara pengendalian gulma telah banyak yang diterapkan. Mekanis, manual, hayati, kimiawi, dan terpadu merupakan cara-cara yeng telah ditempuh manusia dalam mengendalikan pertumbuhan gulma. Dalam pelaksanaannya tentu saja kita melihat cara mana yang paling efektif dan efisien. Terutama untuk areal

pertanaman tebu yang dibudidayakan secara luas.

Pengendalian gulma dengan menggunakan zat kimiawi merupakan salah satu cara yang dapat terbilang efektif dan efisien. Karena penggunaan zat kimiawi dapat menekan biaya produksi yang tinggi serta mengatasi keterbatasan masalah tenaga kerja. Pengendalian gulma biasa dilakukan dengan menggunakan herbisida. Herbisida adalah senyawa kimia yang digunakan untuk mengendalikan gulma dalam waktu tertentu.

Penggunaan herbisida pada budidaya tebu biasanya menggunakan bahan aktif 2,4-D, diuron, dan metribusin. Biasanya diaplikasikan sebagai herbisida pratumbuh untuk menghasilkan pertumbuhan awal tanaman tebu yang baik. Pengaplikasian secara pratumbuh dapat berdampak teracuninya tanaman tebu. Penentuan dosis menjadi peranan penting untuk melihat efektifitas herbisida apakah dapat meracuni/menekan gulma yang tumbuh dan tidak


(25)

Sampai saat ini penggunaan herbisida dengan bahan aktif tersebut masih efektif dan masih terus dilakukan. Dalam perkembangannya herbisida-herbisida dengan bahan aktif tersebut tidak akan selalu digunakan. Kekhawatiran yang terjadi adalah munculnya gulma-gulma yang toleran terhadap herbisida-herbisida tersebut. Tentunya diperlukanlah tindakan yang bijak seperti merotasi

penggunaan herbisida dengan memilih herbisida-herbisida dengan pola kerja yang berbeda-beda.

Piroksasulfon adalah herbisida yang relatif baru. Piroksasulfon adalah bahan aktif yang termasuk dalam kelompok kimia pirazol dan oksazol. Pola kerjanya dalam tumbuhan sebagai penghambat sulfonylioxazoline ALS (acetolacetate synthase).

Pengujian pada piroksasulfon dilakukan secara tunggal dan dikombinasikan dengan atrasin, untuk melihat daya efikasinya terhadap gulma maupun tebu. Hasil tersebut nantinya dapat menjadi suatu rekomendasi yang diharapkan dapat

membantu untuk mengatasi masalah gulma pada budidaya tebu.

1.5 Hipotesis

Dari kerangka pemikiran yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:

1. Terdapat dosis piroksasulfon yang efektif dalam mengendalikan gulma baik yang diaplikasikan tunggal dan kombinasinya dengan atrasin secara


(26)

2. Adanya perubahan komposisi jenis gulma pada lahan pertanaman tebu akibat aplikasi piroksasulfon tunggal dan yang kombinasinya dengan atrasin atrasin secara pratumbuh.

3. Tidak teracuninya tanaman tebu akibat aplikasi herbisida piroksasulfon tunggal dan yang kombinasinya dengan atrasin secara pratumbuh.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Informasi tentang Tanaman Tebu

2.1.1 Morfologi Tanaman Tebu

Tanaman tebu temasuk ke dalam famili Poaceae (graminae). Tebu merupakan tanaman semusim yang berumur 1 tahun. Bagian tanaman tebu terbagi atas beberapa bagian antara lain akar, batang, daun, dan bunga (Mawanti, 2009). Menurut Wikipedia (2009b) klasifikasi botani tanaman tebu adalah sebagai berikut :

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Famili : Poaceae

Genus : Saccharum

Spesies : Saccharum officinarum L.

Tanaman tebu memiliki akar serabut. Panjangnya bisa mencapai satu meter. Tanaman tebu yang masih muda memiliki 2 jenis akar yaitu akar setek dan akar tunas. Akar setek berasal dari setek batang. Akar ini berfungsi hanya saat tanaman masih muda sehingga tidak berumur panjang. Akar tunas adalah akar


(28)

yang berasal dari tunas yang telah tumbuh. Akar ini menggantikan akar setek dan memiliki umur yang panjang dan tetap ada selama tanaman tumbuh. Ujung akar tanaman tebu ditutupi oleh tudung akar dan terdapat bulu-bulu halus yang disebut bulu akar (Mawanti, 2009).

Batang tanaman tebu di atas permukaan tanah tidak bercabang, tinggi, dan tumbuhnya tegak. Tingginya bisa mencapai 2,5-5 meter. Terdiri dari ruas-ruas batang (internode) dan dibatasi oleh buku-buku (node). Setiap ruas tanaman tebu bebeda-beda panjangnya. Bagian pangkal memiliki ruas yang pendek-pendek dan semakin panjang pada bagian atasnya kemudian mengecil pada bagian pucuknya. Ruasnya dapat berbentuk tong, silindris, kelos, konis, cembung cekung (Mawanti, 2009).

Daun tanaman tebu termasuk daun tidak lengkap. Daunnya terdiri dari pelepah daun dan helaian daun tanpa tangkai daun. Pangkal daun terletak pada buku batang dengan posisi yang berseling. Terdapat bulu-bulu dan lidah daun pada pelepahnya dan memiliki tulang daun yang sejajar. Helaian daun berbentuk garis sepanjang 1-2 m dan lebar 4-7 cm dengan ujung yang meruncing. Tepinya bergerigi dan pemukaan yang kesap. Apabila tanaman tebu mengalami kekurangan air, daun-daun tebu akan menggulung yang bertujuan untuk mengurangi penguapan (Mawanti, 2009).

2.1.2 Fase Pertumbuhan Tanaman Tebu

Menurut Indarto (2008) tanaman tebu memiliki 4 fase pertumbuhan mulai dari fase perkecambahan hingga pemasakan tebu. Fase tersebut terdiri atas:


(29)

a. Fase perkecambahan

Pada fase ini tebu mulai berkecambah dari batang setek. Fase perkecambahan memiliki rentang waktu sekitar 1 bulan. Fase ini merupakan fase yang

penting karena keadaan tebu yang dalam masa kritis. Fase ini menentukan tingkat persentase perkecambahan. Perkecambahan yang tinggi ditentukan oleh kualitas bibit/setek, ketersediaan air, dan ketersediaan oksigen. b. Fase pertumbuhan anakan

Fase ini memiliki rentang waktu antara 1-3 bulan sesudah tanam (BST). Fase ini akan menetukan jumlah tebu per ha atau populasi per ha. Jumlah anakan dipengaruhi oleh ketersediaan air, ketersediaan unsur hara, dan intensitas sinar matahari yang cukup.

c. Fase pemanjangan batang

Pemanjangan batang terjadi pada umur 3—10 bulan. Pada fase ini batang akan bertambah tinggi dan besar. Fase ini memperngaruhi terhadap rata-rata bobot tebu. Pemanjangan batang tanaman tebu akan melambat pada saat umur tanaman semakin tua. Pemanjangan batang dipengaruhi oleh ketersediaan air, ketersediaan unsur hara, dan sinar matahari yang cukup.

d. Fase pemasakan

Fase pemasakan adalah fase yang terjadi antara antara pertumbuhan memanjang dan tebu mati atau 10-12 BST. Fase ini berpengaruh terhadap kandungan gula di dalam batang tebu atau rendemen. Tingkat kemasakan gula dipengaruhi oleh curah hujan, kandungan N dan P dalam batang, dan temperatur pada malam hari.


(30)

2.1.3 Budidaya Tanaman Tebu

2.1.3.1 Olah Tanah

Kegiatan olah tanah biasanya dilakukan 3 kali, yaitu olah tanah I, olah tanah II, dan olah tanah III. Olah tanah I yang berfungsi mencacah tunggul tebu, memecah dan membalikkan tanah. Hal tersebut bertujuan untuk memecah tunggul tebu keprasan (ratoon).

Olah tanah II dilakukan 1-7 hari setelah olah tanah I. Olah tanah II bertujuan untuk mengiris dan membalik tanah hingga kedalaman kurang lebih 35 cm. Ruang penanaman bibit menjadi lebih dalam dan perkembangan sistem perakaran diharapkan menjadi lebih luas.

Olah tanah III dilakukan 10 hari setelah olah tanah II. Olah tanah III bertujuan untuk mengolah tanah yang lebih dalam sehingga perakaran tebu dapat mudah menembus lapisan tanah yang lebih dalam, memudahkan pembuatan alur, dan memudahkan masuknya air irigasi ke lapisan tanah yang lebih dalam (PT. GMP, 2009).

2.1.3.2 Pembuatan Baris Tanaman

Pembuatan baris tanaman dilakukan setelah Olah tanah III. Pembuatan baris biasanya dilakukan dengan alat mekanik. Untuk lahan yang luas biasanya digunakan ridger yang bermata dua atau tiga. Penggunaan ridger tersebut


(31)

double row. Untuk lahan yang berbukit-bukit atau tidak datar (flat) maka arah baris tanaman disesuaikan dengan kontur lahan (PT. GMP, 2009).

2.1.3.3 Pemupukan

Menurut Rahmawan (2007) yang dikutip oleh Mawanti (2009) pemupukan dilakukan saat penanaman. Pemupukan sendiri bertujuan untuk memberi tambahan unsur hara pada tanah untuk tanaman tebu dalam jumlah yang cukup dan berimbang.

Dosis pupuk yang diberikan yaitu urea 200 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, dan KCl 150 kg/ha. Tanaman plant cane dilakukan pemupukan susulan saat berumur 2-3 bulan dengan dosis urea 100 kg/ha dan KCl 150 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan pada waktu pagi hari (PT. GMP, 2009).

2.1.3.4 Bibit dan Penanaman

Tanaman tebu biasanya ditanam dengan setek batang. Jadi diperlukan bibit dalam budidaya tanaman tebu. Bibit yang baik berasal dari tanaman yang berumur 7-8 bulan, sehat, tidak tercampur dengan varietas lain, varietas unggul (produksi, rendemen, tahan hama dan penyakit), daya kecambah yang tinggi, dan tahan kekeringan (Indarto, 2008).

Penanaman biasanya dilakukan dengan ujung bertemu ujung (end to end) atau overlapping (25% atau 50%). Batang bibit yang sudah di letakkan pada baris tanam dipotong-potong sepanjang 2-3 mata dengan menggunakan golok yang sudah diolesi lysol 20%. Untuk mendapatkan barisan tanaman yang rapi setelah


(32)

tumbuh nanti, ketika melakukan pemotongan batang bibit sambil diinjak agar tidak berserak ketika dipotong. Bibit ditutup dengan menggunakan tanah remah dari sekeliling baris tanaman. Tanah penutup bibit diatur sedemikian rupa agar tidak terlalu tipis atau terlalu tebal karena dapat mempengaruhi perkecambahan (PT. GMP, 2009).

2.1.3.5 Pengairan/Irigasi

Produktivitas tebu lahan kering sangat dipengaruhi oleh jumlah dan distribusi curah hujan setiap tahun. Pada tanaman plant cane yang penanamannya

dilakukan di bulan kering, irigasi diberikan pada saat tanam dan diulang setelah pemupukan susulan. Sedangkan pada tanaman ratoon, irigasi dilakukan setelah pemupukan tunggal atau setelah kultivasi yang biasanya menggunakan ripper (PT. GMP, 2009).

Tipe pengairan curah (Sprinkler irrigation) adalah portable gun dan travelling gun. Pada tanaman plant cane digunakan travelling gun dimana kecepatan pergerakan sprinkler gun dapat diatur sesuai keperluan. Alat ini dioperasikan pada malam hari saat angin cukup tenang dan penguapan air rendah (PT. GMP, 2009).

Sedangkan pada tanaman ratoon dimana resiko gagal berkecambah lebih kecil dibandingkan tanaman plant cane, maka cukup digunakan portable gun, dengan curah air yang membentuk lingkaran dan dapat dipindah-pindahkan secara manual setiap 2–3 jam sekali pada titik-titik yang telah ditentukan (PT. GMP, 2009).


(33)

2.1.3.6 Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman secara umum mencakup segala kegiatan yang berkaitan dengan upaya menjaga kelangsungan hidup tanaman agar tetap hidup sehat dan memiliki produktivitas tinggi. Kegiatan yang dikerjakan pada pemeliharaan tanaman dilakukan dengan menggunakan tenaga manusia maupun tenaga mesin pertanian. Pekerjaan pemeliharaan tanaman yang menggunakan tenaga manusia adalah sulam (replacement) dan pengendalian gulma pasca tumbuh. Sulam bertujuan memperbaiki populasi tanaman. Alsintan yang digunakan untuk pemeliharaan tanaman dikelola secara desentralisasi, agar memudahkan koordinasi dalam bekerja, meningkatkan efisiensi waktu dan ketepatan waku kerja. Periode pemeliharaan tanaman dengan alsintan akan berakhir seluruhnya setelah tanaman berumur 3 bulan kecuali weeding secara manual (PT. GMP, 2009).

Menurut Mawanti (2009) pemeliharaan pada budidaya tanaman tebu terbagi dalam 2 jenis tanaman, plant cane dan ratoon cane. Pada plant cane

pemeliharaan terdiri dari penyulaman, pengendalian gulma pratumbuh, pemupukan termasuk yang susulan, pengendalian gulma pascatumbuh, pengendalian hama, dan klentek. Untuk tanaman ratoon cane pemeliharaan terdiri dari pengelolaan sisa tebang, penyulaman, pendangiran, pemupukan, pengendalian gulma (pratumbuh dan pascatumbuh), pengendalian hama (klentek).


(34)

2.2 Gulma dan Pengelolaannya

Gulma adalah tumbuhan yang tidak dikehendaki atau tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya (Triharso, 1994). Menurut Sembodo (2007) gulma adalah tumbuhan yang merugikan atau mengganggu kepentingan manusia

sehingga manusia berusaha untuk mengendalikannya.

Gulma dapat digolongkan berdasarkan habitatnya, umur, morfologi (respon terhadap herbisida), sifat botani, cara perkembangbiakan, dominan atau tidak dominan, dan dapat menimbulkan alelopati (Triharso, 1994).

Gulma mengadakan interaksi dengan tanaman umumnya secara kompetisi. Kompetisi adalah salah satu interaksi antartumbuhan yang saling memperebutkan sumber daya alam yang tersedia terbatas pada lahan dan waktu sama yang

menimbulkan dampak negatif terhadap pertumbuhan dan hasil salah satu jenis tumbuhan atau lebih (air, hara, cahaya, CO2, dan ruang tumbuh). Macam-macam kompetisi yaitu intra spesific competition, inter spesific competition, intra plant competition, dan inter plant competition. Intra spesific competition adalah persaingan antarspesies sama dalam lahan yang sama dan inter spesific competition adalah persaingan antarspesies berbeda dalam lahan yang sama. Sedangkan intra plant competition adalah persaingan antarorgan tanaman dalam tubuh satu tanaman dan inter plant competition adalah persaingan antara dua tanaman berbeda dapat berbeda atau bersamaan spesiesnya (Triharso, 1994). Menurut Sembodo dan Sriyani (2009) ada tiga fase kompetisi antara gulma dengan tanaman, (1) fase tanpa faktor pembatas, (2) fase kompetisi gulma dan tanaman, (3) fase dominansi tanaman. Selain itu, gulma memiliki sifat antara lain


(35)

berdaya saing tinggi, persisten (daya tahan lama), dan merusak (pernicious). Ketiga sifat gulma tersebut menunjukkan keberadaan gulma di sekitar tanaman budidaya menimbulkan suatu masalah dan kerugian.

Menurut Evizal (1998) dampak yang diakibatkan akibat terjadinya persaingan dengan gulma adalah

a. Berkompetisi dengan tanaman pokok untuk mendapatkan air, unsur hara, udara, dan ruang tumbuh

b. Mengurangi efisiensi pemupukan dan ketersediaan unsur hara. c. Mendorong perkembangan penyakit

d. Menghasilkan zat alelopati

e. Menyulitkan pengelolaan kebun seperti pemeliharaan, pengawasan, panen, dan transportasi

f. Mengganggu jalan dan saluran drainase

Dampak yang diakibatkan gulma sudah jelas sangat merugikan. Tentunya akan berdampak pada penurunan tingkat produksi tanaman utama. Dari hal tersebut maka manusia berusaha untuk mengendalikan gulma dengan berbagai cara.

Pengelolaan gulma adalah kegiatan menekan atau mengurangi pertumbuhan populasi gulma sehingga penurunan hasil yang diakibatkannya secara ekonomi menjadi tidak berarti. Pengelolaan gulma dapat dilakukan dengan cara

pencegahan, pemberantasan, dan pengendalian gulma. Pencegahan gulma dilakukan dengan sortasi benih, media tanam yang bersih, seed law, dan

karantina. Sedangkan pengendalian gulma dilakukan secara mekanis (kultivasi, hand weeding, pencangkulan, pemotongan, pembakaran, pemberian mulsa, dll), kultur teknis (penggunaan varietas unggul, pengaturan jarak tanam, pemupukan,


(36)

penggenangan, pengeringan lahan, multiple croping, dll), dan hayati atau biologi (cover crops dan musuh alami). Pemberantasan dapat dilakukan secara kimiawi dan terpadu (Triharso,1994). Untuk pengendalian dengan kimiawi biasanya menggunakan senyawa kimia bernama herbisida. Menurut Purba (2009) pengendalian gulma pada dasarnya dapat dilakukan dengan berbagai teknik pengendalian termasuk diantaranya pengendalian secara manual (tenaga manusia dilengkapi dengan peralatan kecil), memanfaatkan tanaman penutup tanah

(legume cover crop), mekanis, ekologis, solarisasi, biologis, menggunakan bahan kimia (herbisida) dan teknik budidaya lainnya.

Masing-masing teknik pengendalian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan dari masing-masing teknik pengendalian dapat diperkecil dengan menerapkan konsep pengendalian gulma secara terpadu (integrated weed management) yaitu memadukan cara-cara pengendalian yang kompatibel satu sama lain. Diantara metode-metode pengendalian gulma, teknik pengendalian secara kimiawi (dengan menggunakan herbisida) cenderung mengalami

peningkatan (kualitas dan kuantitas) dari tahun ke tahun di banyak negara di dunia ini. Volume pemakaian herbisida ini jauh lebih tinggi (70%) di negara-negara maju dibanding dengan di negaranegara sedang berkembang (Purba, 2009).

Keuntungan penggunaan herbisida untuk pertanian adalah menaikkan

produktivitas kerja petani. Apabila seorang petani mengendalikan gulma secara manual saja maka jumlah lahan yang bisa dikelolanya sangat terbatas dan hasil panennya tentu hanya cukup untuk beberapa orang saja. Tetapi dengan


(37)

lebih luas dan hasil pertaniannya bisa memenuhi kebutuhan banyak orang. Peningkatan penggunaan herbisida dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain ketersediaan tenaga kerja terbatas, waktu pelaksanaan pengendalian gulma relatif singkat, dan biaya pengendalian lebih murah (cost-effective) dibanding dengan teknik lain (Purba, 2009).

Di Indonesia, pengendalian gulma dengan herbisida telah diterapkan secara intensif pada usaha pertanian maju pada perkebunan besar dan pertanian rakyat modern. Komoditi perkebunan yang banyak menggunakan herbisida

dewasa ini adalah kelapa sawit (Purba, 2009).

2.3 Pengendalian Gulma pada Budidaya tebu

Pengendalian gulma pada lahan tebu bertujuan untuk mengurangi tingkat

gangguan gulma yang tumbuh pada areal tanaman pokok, menekan pertumbuhan gulma sehingga tanaman tebu dapat tumbuh dengan baik, dan memudahkan serta memperlancar kegiatan pemeliharaan berikutnya sampai saat tebang (Indarto dan Sembodo, 2002).

Keberadaan gulma pada lahan pertanaman tebu akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tebu, baik untuk jumlah tunas tebu yang dihasilkan maupun untuk produksi yang dihasilkan (bobot tebu per hektar) (Indarto dan Sembodo, 2002). Menurut Kuntohartono (1991) yang dikutip oleh Mawanti (2009) tercatat

kerugian yang ditimbulkan oleh gulma dapat menurunkan panen mencapai sekitar 6-9%, bahkan untuk kasus tertentu sering menyebabkan kegagalan panen. Hal tersebut disebabkan berkurangnya tinggi dan jumlah batang serta mengecilnya


(38)

diameter batang. Rendemen juga dapat turun sebesar 0,09% dan hasil gula sebesar 10%. Oleh karena itu, keberadaan gulma di kebun tebu menjadi tidak menguntungkan dikarenakan disamping dapat menurunkan produktivitas tebu, juga secara teknis keberadaan gulma akan menyulitkan tahapan kegiatan budidaya.

Pengendalian gulma di kebun tebu harus berdasarkan cara budidaya tanaman tebu yang baku yang secara tidak langsung menekan pertumbuhan gulma. Prinsip utama dalam pengendalian gulma adalah melakukan upaya untuk mengurangi populasi gulma sebelum gulma itu merugikan pertanaman tebu, dan dilakukan dengan berbagai cara. Berdasarkan pengalaman populasi gulma dapat diturunkan secara efektif dengan lebih dari satu cara pengendalian. Oleh karena itu,

pengendalian gulma harus dilakukan secara terpadu dengan mengkombinasikan berbagai metoda yang ada (Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2009b).

Komponen bercocok tanam tebu adalah pengolahan tanah yang cukup (gembur dan dalam), tepat waktu, penggunaan bibit bermutu tinggi dan dalam jumlah memadai (7,5 - 8,0 ton bibit/ha), penggunaan varietas yang unggul, dosis dan cara pemupukan baku, pemberian air yang cukup, dan pekerjaan pemeliharaan

tanaman tepat waktu. Penerapan standarisasi teknik budidaya tebu itu sebagai dasar untuk membudidayakan tebu secara baik dan kemudian baru dibantu dengan cara pengendalian gulma secara langsung (antara lain: penyiangan, penyemprotan herbisida) yang ditata dalam rangkaian kegiatan bercocok tanam tersebut (Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2009a).


(39)

Penggunaan herbisida untuk mengendalikan gulma di perkebunan menjadi suatu alternatif yang banyak digunakan karena memberikan berbagai keuntungan dalam pemakaiannya. Herbisida mampu menekan biaya produksi pertanian yang

dikeluarkan dan dapat mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja dalam kegiatan pengendalian gulma (Moenandir, 1993). Dalam pengendaliannya menggunakan herbisida, efektifitasnya ditentukan antara lain oleh (1) macam spesies, kerapatan dan stadia pertumbuhan gulma; (2) macam, cara aplikasi, dan dosis herbisida; serta (3) saat aplikasi. Terdapat hubungan yang sangat erat antara spesies gulma beserta perilaku dan daur hidupnya dengan macam herbisida serta saat

pemakaiannya (Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2009b).

Vegetasi gulma pada lahan tebu didominasi oleh spesies-spesies antara lain Cyperus rotundus,Digitaria adscendens, Mikania micrantatha, Brachiaria. Nuticum, Centrosema pubescens, Dactyloctenium aegyptium, Croton hirtus, Ipomoea triloba, Mimosa invisa, Borreria alata, Richardia brasiliensis, (Susanto,2008). Dengan mengetahui komposisi spesies suatu gulma di suatu daerah, maka dengan pertimbangan pendekatan agronomis dan pengendalian secara kimiawi, dapat disusun suatu program pengendalian gulma secara rasional dan efektif.

Pengendalian gulma sudah dimulai sejak persiapan lahan sebelum penanaman tebu. Persiapan lahan diawali dengan pengolahan tanah menggunakan peralatan bajak dan garu. Tujuan pengolahan tanah selain untuk menyediakan kondisi fisik tanah yang ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman, sekaligus juga merupakan upaya pengendalian gulma secara mekanis. Aplikasi herbisida


(40)

pratumbuh dilakukan setelah selesai penanaman pada tanaman pertama (plant cane) atau setelah aplikasi pupuk pada tanaman keprasan (ratoon) (Riyanto, 2006).

Pemilihan herbisida dan dosisnya adalah faktor penting dalam keberhasilan suatu tindakan pengendalian gulma. Herbisida yang dipasarkan sangat beragam baik kondisi fisik, komposisi senyawa yang terkandung di dalamnya, selektifitas, dan resistensinya. Diperlukan ketelitian dalam memilih jenis herbisida untuk

diaplikasikan.

Beberapa jenis herbisida yang diaplikasikan melalui tanah dan melalui tajuk/daun (Sembodo, 2009). Terdapat berbagai macam jenis herbisida pratumbuh atau yang diaplikasikan melalui tanah pada budidaya tebu. Contohnya adalah diuron, atrasin, metribuzin, 2,4-D, dan ametrin (Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2009a). Herbisida pratumbuh harus mempunyai syarat antara lain tidak selektif, sistemik, memiliki persistensi yang cukup lama di dalam tanah, dan tidak meracuni

tanaman (Indarto, dkk., 2003). Kelebihan dari aplikasi herbisida pratumbuh adalah dapat mengendalikan gulma sejak awal (Indarto dan Sembodo, 2002). Gulma dapat tertekan pertumbuhannya sejak berkecambah sehingga gulma tidak akan tumbuh dengan baik atau mati.

2.4 Piroksasulfon

Herbisida piroksasulfon adalah herbisida bersifat sistemik. IUPAC memberikan nama untuk piroksasulfon adalah


(41)

(trifluoromethyl)ylmethylsulfonyl]-4,5-dihydro-5,5-dimethyl-1,2-oxazole 3 - [5 - (difluoromethoxy)-1-metil-3-(trifluoromethyl) pyrazol-4-ylmethylsulfonyl] -4,5-dihidro-5 ,5-dimetil-1 ,2-oksazola sedangkan CAS memberikan nama 3 -[5-(difluoromethoxy)-1-methyl-3-(trifluoromethyl)pyrazol-4-ylmethylsulfonyl]-4,5-dihydro-5,5-dimethyl-1,2-oxazole atau

3-[[[5- (difluoromethoxy)-1-methyl-3-(trifluoromethyl)-1H-pyrazol-4-yl]methyl]sulfonyl]-4,5-dihydro-5,5-dimethylisoxazole (Agropages, 2009). Rumus molekul

pyroxasulfone C12H14F5N3O4S dan rumus bangun yang ditunjukkan pada Gambar 1 (Agropages, 2009).

Gambar 1. Rumus Bangun Piroksasulfon.

Piroksasulfon merupakan turunan dari 3-sulfonylisoxazoline. Herts (2005) menyatakan bahwa Piroksasulfon termasuk kelompok kimia pirazol dan oksazol. Herbisida ini digunakan untuk mengendalikan gulma rumputan tahunan yang diaplikasi secara pratumbuh maupun pascatumbuh. Herbisida ini dapat digunakan pada budidaya jagung, sayuran, lobak, gandum, dan lain-lain (Baron, 2006). Piroksasulfon memiliki fleksibilitas aplikasi yang luas dari pratanam sampai dengan pascatumbuh pada beberapa jenis tanaman budidaya (Kurtz et al., 2009).


(42)

Mekanisme tindakan pyroxasulfone diduga dengan menghambat pada biosintesis yang sangat-panjang rantai asam lemak (VLCFAs) baik in vivo dan in vitro. piroksasulfon secara drastis mengurangi biosintesis VLCFAs dan menyebabkan penumpukan asam lemak dalam prekursor sel beras (Taketani et al, 2009). Menurut Kurtz et al (2009) pola kerja pyroxasulfone dalam tumbuhan adalah sebagai penghambat sulfonylioxazoline ALS (acetolacetate synthase).

Piroksasulfon merupakan bahan aktif yang digunakan pada percobaan herbisida pada tanaman jagung dan kedelai yang diaplikasi pada saat gulma belum tumbuh. Berdasarkan hasil percobaan, diketahui bahwa aplikasi piroksasulfon tidak

mengurangi ketinggian tanaman, tongkol ukuran, dan hasil dari salah satu jagung manis hibrida yang diuji. Berdasarkan hasil ini, piroksasulfon dapat diaplikasikan pada pratumbuh dan dapat digunakan secara aman untuk pengelolaan gulma (Sarah et al., 2009).

2.5 Atrasin dan Metribusin

Atrasin dan metribusin merupakan herbisida dari kelompok triazinon yang selektif dengan cara kerja menghambat fotosintesis. Ditemukan pada tahun 1952 oleh Geigy Basle yang berasal dari Swiss. Digunakan untuk mengendalikan gulma rumputan tahunan dan daun lebar (Sriyani, 2009).

Rumus molekul atrasin adalah C8H14ClN5C8H14ClN5 dengan nama kimia 2-chloro-4-(ethylamine)-6-(isopropylamine)-s-triazine. Rumus bangun atrasin ditunjukkan pada gambar 2 (Wikipedia, 2009a).


(43)

Gambar 2. Rumus Bangun Atrasin.

Rumus molekul metribuzin adalah C8H14N4OS dengan nama kimia 1,2,4-triazin-5(4H)-one 4-amino-6-tert-butyl-4,5-dihydro-3-methylthio-1,2,4-triazin-5-one atau 4-amino-6-(1,1-dimethylethyl)-3-(methylthio-. Rumus bangun metribuzin

ditunjukkan pada Gambar 3 (Alanwood, 2008).

Gambar 3. Rumus Bangun Metribusin.

Atrasin dan metribusin dapat diaplikasikan secara pratumbuh melalui tanah dan pasacatumbuh melalui daun. Bersifat tidak mudah menguap dan tidak

terdekomposisi oleh cahaya sehingga residu dalam tanah lama. Diserap oleh tumbuhan melalui akar, kemudian ditranslokasikan terutama di apoplas oleh jaringan xilem secara difusi atau osmotik. Jika herbisida ini diaplikasi secara


(44)

pascatumbuh, maka herbisida ini hanya diakumulasikan di daun dan tidak akan ditranslokasikan keluar dari daun. Maka akan bersifat kontak (Sriyani, 2009).

Mekanisme kerja atrasin dan metribuzin adalah mematikan tumbuhan dengan cara menghambat proses fotosintesis. Menghambat transfer elektron. Penghambatan aliran energi pada transfer elektron menyebabkan penumpukkan elektron

berenergi tinggi yang menyebabkan membran kloroplas tidak mampu menahan luapan energi dari elektron dan menjadi rusak (Sriyani, 2009).

Tumbuhan akan menunjukkan gejala keracunan setelah biji tumbuhan

berkecambah dan melakukan fotosintesis. Gejala pertama yang terlihat yaitu pada daun. Daun yang keracunan akan mengalami klorosis dan nekrosis. Pada

golongan berdaun lebar gejala dimulai dari pinggir daun menuju ke tengah. Sedangkan untuk golongan rumput, gejala dimulai dari ujung daun ke pangkal daun (Sriyani, 2009).


(45)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Susunan Perlakuan Percobaan ... 35 2. Pengaruh perlakuan herbisida piroksaslufon terhadap persentase

penutupan gulma total pada 4, 8, dan 12 MSA ... 44 3. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap bobot kering

gulma total pada 4, 8, dan 12 MSA ... 46 4. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap persentase

penutupan gulma daunlebar pada 4, 8, dan 12 MSA ... 48 5. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap bobot kering

gulma daun lebar pada 4, 8, dan 12 MSA ... 50 6. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap persentase

penutupan gulma rumput pada 4, 8, dan 12 MSA ... 52 7. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap bobot kering

gulma rumput pada 4, 8, dan 12 MSA ... 53 8. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap persentase

penutupan gulma Cleome rutidospermae pada 4, 8, dan 12 MSA ... 55 9. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap bobot kering

gulma Cleome rutidospermae pada 4, 8, dan 12 MSA ... 56 10. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap persentase

penutupan gulma Euphorbia genicuulata pada 4, 8, dan 12 MSA ... 58 11. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap bobot kering

gulma Euphorbia geniculata pada 4, 8, dan 12 MSA ... 59 12. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap persentase


(46)

vii Mimosa invisa pada 4, 8, dan 12 MSA ... 63 14. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon tehadap persentase

penutupan gulma Richardia brasiliensis pada 4, 8, dan 12 MSA ... 64 15. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap bobot kering

gulma Richardia brasiliensis pada 4, 8, 12 MSA ... 66 16. Nilai kefisien komunitas gulma pada 4, 8, dan 12 MSA ... 68 17. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap populasi

tanaman tebu pada 4, 8, dan 12 MSA ... 72 18. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap tinggi tanaman

tebu pada 4, 8, dan 12 MSA ... 73 19. Pengaruh perlakuan herbisida piroksasulfon terhadap fitotoksisitas

tanaman tebu pada 4, 8, dan 12 MSA ... 74 20. Jenis dan tingkat dominansi gulma pada 4 MSA ... 80 21. Jenis dan tingkat dominansi gulma pada 8 MSA ... 81 22. Jenis dan tingkat dominansi gulma pada 12 MSA ... 82 23. Persentase penutupan gulma total pada 4 MSA ... 83 24. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma total pada 4 MSA ... 83 25. Analisis ragam persentase penutupan gulma total pada 4 MSA ... 83 26. Persentase penutupan gulma total pada 8 MSA ... 84 27. Tranformasi data (√(x+0,5)) persentase penutupan gulma total pada 8

MSA ... 84 28. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma total pada 8 MSA ... 85 29. Analisis ragam persentase penutupan gulma total pada 8 MSA ... 85 30. Persentase penutupan gulma total pada 12 MSA ... 85 31. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah


(47)

viii 33. Bobot gulma total pada 4 MSA ... 86 34. Transformasi data (√(x+0,5)) bobot kering gulma total pada 4 MSA ... 87 35. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma total pada 4 MSA ... 87 36. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 4 MSA ... 87 37. Bobot kering gulma total pada 8 MSA ... 88 38. Tranformasi data (√(x+0,5)) bobot kering gulma total pada 8 MSA ... 88 39. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma total pada 8 MSA ... 89 40. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 8 MSA ... 89 41. Bobot kering gulma total pada 12 MSA ... 89 42. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma total pada 12 MSA ... 90 43. Analisis ragam bobot kering gulma total pada 12 MSA ... 90 44. Persentase penutupan gulma daun lebar pada 4 MSA ... 90 45. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma daun lebar pada 4 MSA ... 91 46. Analisis ragam persentase penutupan gulma daun lebar pada 4 MSA .. 91 47. Persentase penutupan gulma daun lebar pada 8 MSA ... 91 48. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah persentase

penutupan gulma daun lebar pada 8 MSA ... 92 49. Analisis ragam persentase penutupan gulma duan lebar pada 8 MSA .. 92 50. Persentase penutupan gulma daun lebar pada 12 MSA ... 92 51. Tranformasi data (√(x+0,5)) Persentase penutupan gulma daun lebar


(48)

ix persentase penutupan gulma daun lebar pada 12 MSA ... 93 53. Analisis ragam persentase penutupan gulma duan lebar pada 8 MSA .. 93 54. Bobot kering gulma daun lebar pada 4 MSA ... 94 55. Tranformasi data (√(x+0,5)) bobot kering gulma daun lebar pada 4

MSA ... 94 56. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma daun lebar pada 4 MSA ... 95 57. Analisis ragam bobot kering gulma daun lebar pada 4 MSA ... 95 58. Bobot kering gulma daun lebar pada 8 MSA ... 95 59. Tranformasi data (√(x+0,5)) bobot kering gulma daun lebar pada 8

MSA ... 96 60. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma daun lebar pada 8 MSA ... 96 61. Analisis ragam bobot kering gulma daun lebar pada 8 MSA ... 96 62. Bobot kering gulma daun lebar pada 12 MSA ... 97 63. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma daun lebar pada 12 MSA ... 97 64. Analisis ragam bobot kering gulma daun lebar pada 12 MSA ... 97 65. Persentase penutupan gulma rumput pada 4 MSA ... 98 66. Persentase penutupan gulma rumput pada 8 MSA ... 98 67. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan gulma rumput

pada 8 MSA ... 99 68. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma rumput pada 8 MSA ... 99 69. Analisis ragam persentase penutupan gulma rumput pada 8 MSA ... 99 70. Persentase penutupan gulma rumput pada 12 MSA ... 100


(49)

x pada 12 MSA ... 100 72. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma rumput pada 12 MSA ... 101 73. Analisis ragam persentase penutupan gulma rumput pada 12 MSA ... 101 74. Bobot kering gulma rumput pada 4 MSA ... 101 75. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma rumput pada 4

MSA ... 102 76. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma rumput pada 4 MSA ... 102 77. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 4 MSA ... 102 78. Bobot kering gulma rumput pada 8 MSA ... 103 79. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma rumput pada 8

MSA ... 103 80. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma rumput pada 8 MSA ... 104 81. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 8 MSA ... 104 82. Bobot kering gulma rumput pada 12 MSA ... 104 83. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma rumput pada 12

MSA ... 105 84. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma rumput pada 12 MSA ... 105 85. Analisis ragam bobot kering gulma rumput pada 12 MSA ... 105 86. Persentase penutupan gulma Cleome rutidospermae pada 4 MSA ... 106 87. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan gulma

Cleome rutidospermae pada 4 MSA ... 106 88. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah


(50)

xi pada 4 MSA ... 107 90. Persentase penutupan gulma Cleome rutidospermae pada 8 MSA ... 107 91. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan gulma

Cleome rutidospermae pada 8 MSA ... 108 92. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma Cleome rutidospermae pada 8 MSA ... 108 93. Analisis ragam persentase penutupan gulma Cleome rutidospermae

pada 8 MSA ... 108 94. Persentase penutupan gulma Cleome rutidospermae pada 12 MSA ... 109 95. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan gulma

Cleome rutidospermae pada 12 MSA ... 109 96. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma Cleome rutidospermae pada 12 MSA ... 109 97. Analisis ragam persentase penutupan gulma Cleome rutidospermae

pada 12 MSA ... 110 98. Bobot kering gulma Cleome rutidospermae pada 4 MSA ... 110 99. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma Cleome

rutidospermae pada 4 MSA ... 111 100. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Cleome rutidospermae pada 4 MSA ... 111 101. Analisis ragam bobot kering gulma Cleome rutidospermae pada

4 MSA ... 111 102. Bobot kering gulma Cleome rutidospermae pada 8 MSA ... 112 103. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma

Cleome rutidospermae pada 8 MSA ... 112 104. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Cleome rutidospermae pada 8 MSA ... 113 105. Analisis ragam bobot kering gulma Cleome rutidospermae pada


(51)

xii 107. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma

Cleome rutidospermae pada 12 MSA ... 114 108. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Cleome rutidospermae pada 12 MSA ... 114 109. Analisis ragam bobot kering gulma Cleome rutidospermae pada

12 MSA ... 114 110. Persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata pada 4 MSA ... 115 111. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata pada 4 MSA ... 115 112. Analisis ragam persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata

pada 4 MSA ... 115 113. Persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata pada 8 MSA ... 116 114. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan gulma

Euphorbia geniculata pada 8 MSA ... 116 115. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata pada 8 MSA ... 117 116. Analisis ragam persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata

pada 8 MSA ... 117 117. Persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata pada 12 MSA .... 117 118. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan gulma

Euphorbia geniculata pada 12 MSA ... 118 119. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata pada 12 MSA .... 118 120. Analisis ragam persentase penutupan gulma Euphorbia geniculata

pada 12 MSA ... 118 121. Bobot kering gulma Euphorbia geniculata pada 4 MSA ... 119 122. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma


(52)

xiii kering gulma Euphorbia geniculata pada 4 MSA ... 120 124. Analisis ragam bobot kering Euphorbia geniculata pada 4 MSA ... 120 125. Bobot kering gulma Euphorbia geniculata pada 8 MSA ... 120 126. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma

Euphorbia geniculata pada 8 MSA ... 121 127. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Euphorbia geniculata pada 8 MSA ... 121 128. Analisis ragam bobot kering Euphorbia geniculata pada 8 MSA ... 121 129. Bobot kering gulma Euphorbia geniculata pada 12 MSA ... 122 130. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma

Euphorbia geniculata pada 12 MSA ... 122 131. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Euphorbia geniculata pada 12 MSA ... 123 132. Analisis ragam bobot kering Euphorbia geniculata pada 12 MSA .... 123 133. Persentase penutupan Mimosa invisa pada 4 MSA ... 123 134. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan Mimosa invisa

pada 4 MSA ... 124 135. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan Mimosa invisa pada 4 MSA ... 124 136. Analisis ragam persentase penutupan Mimosa invisa pada 4 MSA .... 124 137. Persentase penutupan Mimosa invisa pada 8 MSA ... 125 138. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan Mimosa invisa

pada 8 MSA ... 125 139. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan Mimosa invisa pada 8 MSA ... 126 140. Analisis ragam persentase penutupan Mimosa invisa pada 8 MSA .... 126 141. Persentase penutupan Mimosa invisa pada 12 MSA ... 126


(53)

xiv pada 12 MSA ... 127 143. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan Mimosa invisa pada 12 MSA ... 127 144. Analisis ragam persentase penutupan Mimosa invisa pada 12 MSA .. 127 145. Bobot kering gulma Mimosa invisa pada 4 MSA ... 128 146. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering Mimosa invisa pada 4

MSA ... 128 147. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Mimosa invisa pada 4 MSA ... 129 148. Analisis ragam bobot kering gulma Mimosa invisa pada 4 MSA ... 129 149. Bobot kering gulma Mimosa invisa pada 8 MSA ... 129 150. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering Mimosa invisa pada 8

MSA ... 130 151. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Mimosa invisa pada 8 MSA ... 130 152. Analisis ragam bobot kering gulma Mimosa invisa pada 8 MSA ... 130 153. Bobot kering gulma Mimosa invisa pada 12 MSA ... 131 154. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering Mimosa invisa pada

12 MSA ... 131 155. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Mimosa invisa pada 12 MSA ... 132 156. Analisis ragam bobot kering gulma Mimosa invisa pada 12 MSA .... 132 157. Persentase penutupan gulma Richardia brasiliensis pada 4 MSA ... 132 158. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan gulma

Richardia brasiliensis pada 4 MSA ... 133 159. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah


(54)

xv pada 4 MSA ... 133 161. Persentase penutupan gulma Richardia brasiliensis pada 8 MSA ... 134 162. Tranformasi data (√√(x+0,5)) persentase penutupan gulma

Richardia brasiliensis pada 8 MSA ... 134 163. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma Richardia brasiliensis pada 8 MSA ... 135 164. Analisis ragam persentase penutupan gulma Richardia brasiliensis

pada 8 MSA ... 135 165. Persentase penutupan gulma Richardia brasiliensis pada 12 MSA ... 135 166. Tranformasi data (√(x+0,5)) persentase penutupan gulma

Richardia brasiliensis pada 12 MSA ... 136 167. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

persentase penutupan gulma Richardia brasiliensis pada 12 MSA .... 136 168. Analisis ragam persentase penutupan gulma Richardia brasiliensis

pada 12 MSA ... 136 169. Bobot kering Richardia brasiliensis pada 4 MSA ... 137 170. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma Richardia

brasiliensis pada 4 MSA ... 137 171. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Richardia brasiliensis pada 4 MSA ... 138 172. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis pada

4 MSA ... 138 173. Bobot kering Richardia brasiliensis pada 8 MSA ... 138 174. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma

Richardia brasiliensis pada 8 MSA ... 139 175. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Richardia brasiliensis pada 8 MSA ... 139 176. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis pada


(55)

xvi 178. Tranformasi data (√√(x+0,5)) bobot kering gulma

Richardia brasiliensis pada 12 MSA ... 140 179. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah bobot

kering gulma Richardia brasiliensis pada 12 MSA ... 141 180. Analisis ragam bobot kering gulma Richardia brasiliensis pada

12 MSA ... 141 181. Populasi tanaman tebu pada 4 MSA ... 141 182. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

populasi tanaman tebu pada 4 MSA ... 142 183. Analisis ragam populasi tanaman tebu pada 4 MSA ... 142 184. Populasi tanaman tebu pada 8 MSA ... 142 185. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

populasi tanaman tebu pada 8 MSA ... 143 186. Analisis ragam populasi tanaman tebu pada 8 MSA ... 143 187. Populasi tanaman tebu pada 12 MSA ... 143 188. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah

populasi tanaman tebu pada 12 MSA ... 144 189. Analisis ragam populasi tanaman tebu pada 12 MSA ... 144 190. Tinggi tanaman tebu pada 4 MSA ... 144 191. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah tinggi

tanaman tebu pada 4 MSA ... 145 192. Analisis ragam tinggi tanaman tebu pada 4 MSA ... 145 193. Tinggi tanaman tebu pada 8 MSA ... 145 194. Uji Tukey untuk kemenambahan model terhadap nilai tengah tinggi

tanaman tebu pada 8 MSA ... 146 195. Analisis ragam tinggi tanaman tebu pada 8 MSA ... 146 196. Tinggi tanaman tebu pada 12 MSA ... 146


(56)

xvii tanaman tebu pada 12 MSA ... 147 198. Analisis ragam tinggi tanaman tebu pada 12 MSA ... 147


(57)

III. BAHAN DAN METODE

3.1Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di lahan pertanaman tebu Bataranila, kecamatan Natar, kabupaten Lampung Selatan dan Laboratorium Gulma, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dari bulan November 2009 – Februari 2010.

3.2Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat pengolah tanah (cangkul), sabit, tali rafia, alat semprot punggung semi otomatis dan nozel berwarna merah (lebar bidang semprot 2 meter), kuas, ember, pengaduk, meteran, kuadran berukuran 0,5 m x 0,5 m, kantung plastik, gelas ukur, oven, pipet tetes, alat tulis, cutter, amplop kertas, timbangan, dan alat tulis.

Bahan yang digunakan antara lain herbisida BAS 9446H 85 WG dengan

kandungan bahan aktif piroksasulfon sebesar 850 g/kg, herbisida Sunatra 500 EC dengan kandungan bahan aktif atrasin sebesar 500 g/l, herbisida Sencor 70 WP dengan kandungan bahan aktif metribusin sebesar 700 g/kg, pupuk (urea dan majemuk), air, cat, dan tanaman tebu varietas RGM-97.


(58)

3.3Metode Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan dalam perumusan masalah dan untuk menguji hipotesis, penelitian dilaksanakan dalam rancangan perlakuan tunggal terstruktur regresi dengan 9 perlakuan (tabel 1). Perlakuan diterapkan pada petak percobaan di lapangan dalam Rancangan Kelompok Teracak Sempurna (RKTS). Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Ukuran petak percobaan untuk setiap perlakuan adalah 6,5 m x 5 m. Homogenitas ragam antarperlakuan diuji dengan uji Bartlett dan adtivitas data diuji dengan uji Tukey. Bila asumsi terpenuhi, data dianalisis ragam dan pemisahan nilai tengah dilakukan dengan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf 5%. Susunan perlakuan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Susunan perlakuan percobaan.

No Perlakuan Dosis

Bahan Aktif (g/ha) Dosis Formulasi per ha Dosis Formulasi per 32,5m2 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Kontrol Piroksasulfon Piroksasulfon Piroksasulfon Piroksasulfon Piroksasulfon Atrasin Piroksasulfon Atrasin Metribusin

Penyiangan Mekanis (2 kali)

- 100 150 200 250 100 2500 150 2500 875 - - 118 g 176 g 235 g 294 g 118 g 5000 ml 176 g 5000 ml 1250 g - - 1,15 g 1,72 g 2,29 g 2,88 g 1,15 g 48,75 ml 1,72 g 48,75 ml 12,18 g -


(59)

3.4Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan lahan dan pembuatan petak percobaan

Sebelum penanaman, dilakukan pengolahan lahan meliputi land clearing dan membajak tanah dengan menggunakan cangkul. Selanjutnya dibuat petak percobaan dengan panjang 6,5 m dan lebar 5 m. Setiap petak percobaan terdiri dari 5 baris tanaman tebu, dengan jarak antar baris 1,3 m, panjang baris 5 m. Jumlah total seluruh petak percobaan berjumlah 27 petak, dengan luas masing-masing petak percobaan 32,5 m2, luas keseluruhan lahan percobaan yang digunakan 877,5 m2. Tata letak percobaan disajikan dalam gambar 4.

Gambar 4. Tata letak percobaan.

I II

III

P9 P3 P1

P4 P8 P5

P7 P6 P2

P7 P1 P6 P9 P4 P3 P2 P8 P5 P3 P4 P2 P7 P1 P8 P9 P6 P5


(60)

Keterangan: I = Ulangan 1 II = Ulangan 2 III = Ulangan 3 P1 = Kontrol

P2 = Piroksasulfon 100 g/ha P3 = Piroksasulfon 150 g/ha P4 = Piroksasulfon 200 g/ha

P5 = Piroksasulfon 250 g/ha P6 = Piroksasulfon 100 g/ha

= Atrasin 2500 ml/ha P7 = Piroksasulfon 150 g/ha

= Atrasin 2500 ml/ha P8 = Metribusin 875 g/ha P9 = Penyiangan Mekanis

3.4.2 Penanaman

Setelah penyiapan lahan selesai, selanjutnya disiapkan bibit tebu yang telah dipotong berupa stek. Bibit tebu yang digunakan adalah varietas RGM-97. Penanaman bibit dilakukan secara end to end (ujung bertemu ujung). Dalam satu meter terdapat 5 buah stek, tiap stek terdapat 2 mata tunas, sehingga dalam satu meter terdapat 10 mata tunas tebu.

3.4.3 Aplikasi herbisida

Aplikasi dilakukan 3 hari setelah penanaman bibit tebu dengan satu kali aplikasi herbisida. Aplikasi herbisida menggunakan sprayer knapsack semi automatic dan nozel berwarna merah. Sebelum aplikasi herbisida, dilakukan kalibrasi dengan menggunakan metode luas untuk menentukan volume semprot, sehingga didapat volume semprot herbisida yaitu 600 l/ha. Aplikasi herbisida dilakukan pada perlakuan 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8.

3.4.4 Pemupukan

Pemupukan dilakukan dengan menggunakan jenis pupuk NPK dan urea.

Pemberian pupuk dilakukan satu kali bersamaan dengan waktu penanaman. Dosis pupuk yang digunakan untuk NPK 300 kg/ha dan urea 100 kg/ha, sehingga dosis


(61)

yang digunakan untuk tiap petak percobaan adalah 0,98 kg NPK dan 0,32 kg urea. Sebelum diaplikasikan, kedua jenis pupuk tersebut dicampur terlebih dahulu hingga merata

3.4.5 Penyiangan Mekanis

Penyiangan mekanis hanya dilakukan dua kali, yaitu pada 4 dan 8 minggu setelah aplikasi (MSA) dengan menggunakan cangkul.

3.5Pengamatan

Pengamatan dilakukan untuk menguji kesahihan kerangka pemikiran dan hipotesis. Pengamatan dilakukan pada setiap petak perlakuan. Peubah

pengamatan dilakukan pada dua objek pengamatan, yaitu gulma dan tanaman tebu.

3.5.1 Pengamatan Gulma

Peubah yang digunakan dalam melakukan pengamatan terhadap gulma meliputi persentase penutupan gulma dan bobot kering gulma (total dan tiap spesies).

3.5.1.1Persentase Penutupan Gulma (Total dan Tiap Spesies)

Pengamatan persentase penutupan gulma total adalah luas permukaan tanah yang ditutupi oleh gulma pada lokasi yang diamati. Pengamatan dilakukan secara visual dengan menaksir persentase luas tanah yang ditutupi gulma pada 4, 8, dan 12 minggu setelah aplikasi (MSA).


(62)

3.5.1.2Bobot Kering Gulma (Total dan Tiap Spesies)

Bobot kering gulma total dan gulma dominan diamati pada 4, 8, dan 12 MSA. Pengambilan contoh gulma dilakukan dengan metode kuadran berukuran 0,5 m x 0,5 m secara sistematis dan bertujuan untuk menilai tingkat efikasi herbisida terhadap setiap spesies gulma. Gulma yang masih segar yang berada dalam petak kuadran dipotong tepat setinggi permukaan tanah. Selanjutnya gulma tersebut dipilah menurut spesiesnya dan dikeringkan menggunakan oven pada suhu 80ºC selama 48 jam atau sampai mencapai bobot kering konstan dan ditimbang.

Gambar 5. Bagan pengambilan contoh gulma.

Keterangan:

1 : Pengambilan sampel gulma pada 4 MSA 2 : Pengambilan sampel gulma pada 8 MSA 3 : Pengambilan sampel gulma pada 12 MSA

1

2

3

2

3

1

6,5 m


(63)

3.5.2 Pengamatan Tanaman Tebu

Peubah yang digunakan dalam melakukan pengamatan terhadap tanaman tebu meliputi populasi tanaman tebu (induk dan anakan), tinggi tanaman tebu, dan tingkat keracunan tanaman tebu terhadap herbisida.

3.5.2.1 Populasi Tanaman

Pengamatan populasi dilakukan pada 4, 8, dan 12 MSA. Pengamatan populasi tanaman dilakukan dengan menghitung jumlah tanaman yang terdapat pada tiga baris tanaman (baris 2-4) dari 5 baris tanaman pada setiap petak percobaan.

3.5.2.2Tinggi tanaman

Tinggi batang tebu diamati pada 4, 8, dan 12 MSA pada setiap petak percobaan. Sampel tanaman ditentukan sebanyak 10 sampel tanaman pada 3 baris tanaman (baris 2-4). Tinggi batang diukur dengan menggunakan meteran. Pengukuran dilakukan dengan mengukur dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi.

3.5.2.3Fitotoksisitas tanaman

Pengamatan tingkat keracunan tanaman oleh herbisida dinilai secara visual terhadap seluruh tanaman tebu petak perlakuan yang diamati pada 4, 8, dan 12 MSA. Pengamatan gejala fitotoksisitas herbisida terhadap tanaman tebu adalah dengan membandingkan keadaan tanaman pada petak percobaan dengan kondisi populasi tanaman tebu pada perlakuan mekanis pada masing-masing ulangan.


(1)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Ir. Dad R.J. Sembodo, M.S.

Sekretaris : Ir. Indarto, M.S.

Penguji bukan

Pembimbing : Ir. Darmaisam Mawardi, M.S.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 29 Oktober 1987 sebagai anak pertama dari empat bersaudara keluarga Bapak Tadjuddin Nur, S.H. dan Ibu Dra. Elyareni. Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-kanak Budi Bhakti Persit tahun 1993, Sekolah Dasar Sriwijaya II-5 tahun 1999, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 9 Bandar Lampung tahun 2002, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 9 Bandar Lampung tahun 2005.

Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa di Program Studi Agronomi, Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung pada tahun 2005 melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis melaksanakan Praktik Umum di PT. Gunung Madu Plantations pada tahun 2008. Selama menjadi mahasiswa penulis ikut dalam organisasi Agronomi Pecinta Alam dan aktif dalam kegiatan pecinta alam dan lingkungan. Penulis pernah juga menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Budidaya Pertanian pada tahun 2006 – 2007.


(3)

SANWACANA

Puji syukur saya (penulis) panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas izin, rahmat, dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Ir. Dad R. J. Sembodo, M.S.selaku ketua tim penguji dan pembimbing pertama yang telah memberikan kesempatan, arahan, pengetahuan,

bimbingan, dan saran selama menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. 2. Bapak Ir. Indarto, M.S. selaku Sekretaris tim penguji dan pembimbing kedua

yang telah memberikan arahan, pengetahuan, bimbingan, dan saran selama menyelasaikan skripsi ini.

3. Ibu Ir. Darmaisam Mawardi, M.S. selaku penguji bukan pembimbing yang telah memberikan saran, bantuan, dan arahan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Bapak Dr. Ir. Darwin H. Pangaribuan, M.Sc. selaku Pembimbing akademik

telah memberikan arahan dan saran selama menjadi mahasiswa di Jurusan Budidaya Pertanian.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian dan Bapak Prof. Dr. Ir. Setyo Dwi Utomo, M.Sc. selaku Ketua Jurusan


(4)

ii 6. Seluruh dosen-dosen Jurusan Budidaya Pertanian yang telah memberikan

pengetahuan dan ilmu yang berharga selama menjadi mahasiswa di Jurusan Budidaya Pertanian.

7. Kedua orang tua, Bapak Tadjuddin Nur, S.H. dan Ibu Dra. Elyareni, Tante Yuliana Mailani, serta saudara-saudaraku Rio Panggabumi R., Sangbimo Aditya, Gamal Alfariz yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, semangat dan doa sampai berhasil menyelesaikan penelitian dan skripsi. 8. Seluruh Anggota Agropala, khususnya Angkatan IX (Yaupan, Ardi, Firman,

Wimpi, Rubi, Ilyas, Astri, Dian, Putri, Lya, Icha, Yuni, Devi, dan Essy ) yang telah memberikan bantuan, pengetahuan, dukungan, doa, dan semangatnya. “Salam Lestari”

9. Bay, Budi, Gustiawan, Novalim, Virgio, Ramadian, Adi, Iam, Wawa, Taufik, Lukman, Roosa, Yayah, Rere, Oni, Nisa, Andika, dan Bragah yang telah membantu dalam menyelesaikan penelitian di lapangan.

10. Bapak Sukirno dan Bapak Khoiri yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.

Semoga bantuan dari saudara-saudara semua dapat bermanfaat dan dibalas oleh Allah SWT dengan kebaikan pula.

Bandar Lampung, Mei 2010


(5)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Kombinasi piroksasulfon dosis 150 g/ha dengan atrasin efektif dalam mengendalikan gulma golongan daun lebar total dan gulma dominan Mimosa invisa pada pertanaman tebu dan piroksasulfon tunggal pada semua taraf dosisnya tidak efektif dalam mengendalikan gulma pada pertanaman tebu.

2. Terdapat perubahan komposisi jenis gulma akibat aplikasi piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin.

3. Semua taraf dosis piroksasulfon tunggal dan kombinasinya dengan atrasin tidak meracuni tanaman tebu dan aman digunakan pada pertanaman tebu.

5.2 Saran

Hasil penelitian menunjukkan piroksasulfon tunggal dosis 100 g/ha, 150 g/ha, 200 g/ha, dan 250 g/ha tidak mampu mengendalikan gulma. Perlu penambahan

dosis untuk melihat apakah herbisida piroksasulfon dapat efektif dalam mengendalikan gulma pada budidaya tebu.


(6)

76 Piroksasulfon yang dikombinasikan dengan atrasin sudah efektif dalam

mengendalikan gulma namun belum dapat menekan pertumbuhan gulma secara keseluruhan. Perlu penambahan dosis tetapi tidak terlalu besar dari penelitian ini.