Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal

(1)

MAKNA HIDUP PADA WANITA

YANG BERPERAN SEBAGAI ORANG-TUA TUNGGAL

SKRIPSI

Guna Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

RENNY VIDYA WAHYULY

041301060

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal” adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penelitian ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Mei 2008


(3)

ABSTRAK PENELITIAN

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Mei 2008

Renny Vidya Wahyuly: 041301060

Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal (xii + 219 halaman + 3 lampiran)

Daftar Bacaan: 44 (1987-2007)

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal, khususnya karena kematian pasangan hidup, perasaan-perasaan duka cita yang mereka alami saat suaminya meninggal serta permasalahan hidup yang muncul ketika mereka telah menjadi orang-tua tunggal. Kehidupan sebagai orang-tua tunggal dipenuhi berbagai masalah sehingga menyebabkan penderitaan bagi wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Dengan adanya makna hidup di dalam kehidupannya, hidup mereka akan lebih terarah, berkualitas, dan bahagia.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data tentang gambaran makna hidup dari ketiga responden penelitian agar dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah: (1) Berjenis kelamin wanita; (2) Berusia 18-40 tahun; (3) Merupakan orang-tua tunggal karena kematian suami; (4) Telah melewati masa duka cita minimal 1 tahun; (5) Memiliki anak yang masih dibiayai sendiri. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam dengan pedoman umum dan observasi selama wawancara berlangsung.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketiga responden mengalami perasaan duka cita dengan intensitas yang berbeda-beda, responden juga mengalami permasalahan yang berbeda seputar kehidupannya, misalnya masalah ekonomi, masalah sosial, masalah keluarga, masalah kesepian dan juga ketegangan sebagai orang-tua tunggal. Ketiga responden penelitian juga dapat melalui penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, mereka dapat menemukan makna hidupnya sehingga dapat bertahan dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan.


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim…

Alhamdulillahirabbilalamin……. Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan saya waktu, melimpahkan rahmat dan kesehatan kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Saya menyadari bahwa saya tidak akan mampu menyelesaikan proposal ini hanya dengan mengandalkan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu saya ingin berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam penyusunan skripsi ini. Terima kasih saya ucapkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Chairul Yoel Sp. A(K) selaku Dekan Fakultas Psikologi USU

2. Ibu Dra. Irna Minauli, M.Si, psikolog, yang telah bersedia membantu saya, meluangkan waktunya buat saya, memberikan bimbingan, saran maupun kritik yang bersifat membangun demi penyelesaian skripsi ini.

3. Ibu Dr. Irmawati, M.Si sebagai penguji skripsi dan tempat saya bertanya mengenai penelitian kualitatif. Ibu Raras Sutatminingsih, M.Si sebagai penguji skripsi. Ibu Rodiatul Hasanah, M.Si, psikolog dan Kak Arliza Juairiani, M.Si, psikolog sebagai dosen penguji sidang seminar, terima kasih atas saran dan kritiknya dalam perbaikan skripsi ini.


(5)

4. Ibu Wiwik Sulistyaningsih, M.Si selaku dosen pembimbing akademis. Terima kasih bu atas pinjaman bukunya....

5. Staff dan pegawai Psikologi USU: Pak Iskandar, Pak Aswan, Pak Anto, Kak Ari dan Kak Devi. Terima kasih atas segala bantuan dan informasinya buat saya.

6. Kepada kedua orangtua saya yang sangat saya sayangi, Mama Sri Iriyanti dan Papa Jhon Hariono, SH, terima kasih atas segala dukungan baik moril maupun materi, atas segenap perhatian yang kalian berikan serta doa yang tak putus-putusnya dipanjatkan kepada Allah demi kesuksesan ananda dalam menjalani kuliah ini (Hope both of u have a good health from God). Buat ketiga adikku yang cantik: Dian, Anggi dan Ayu (Makasih ya dek udah mau dengar curhat kakak tentang kuliah ini, semoga bisa menjadi pelajaran juga buat kalian nanti). Kebersamaan, kehangatan, canda tawa serta kebahagiaan dalam keluarga ini semoga tetap terjalin selamanya. Dukungan dari kalian akan tetap mendorongku untuk menjadi yang terbaik bagi kalian semua.

7. Om Eko dan Tante Susi, terima kasih karena telah mengenalkan responden kepada saya. Buat ketiga responden dalam penelitian ini: Tante Asti, Tante Rima dan Kak Wina, terima kasih banyak atas semua cerita dan pengalamannya, tanpa tante dan kakak, Vidya gak kan bisa menyelesaikan skripsi ini.


(6)

8. Sahabat dan teman-temanku di Psikologi USU: Nesya (Makasih ya selama ini udah mau bantuin Renny), Mbak Dewi, Yola, Achi, Vidha, Hilma, Dini, Yuda, Izul, Nina, Sugi, Isrina, Bima ‘Sandra’, Kakas, Rayez, Fani, teman-teman seperjuangan di Psikologi Klinis: Sumitro, Meirose, Vitria, Dwita, Imme, Johan, Nurmayani (Makasih buat diskusi-diskusinya) dan teman-teman angkatan 2004 lainnya. Friends, nothing 2 say dude…..Just a thanx 4 every seconds u share with me. Just a simple wish for best friendship 4ever.

9. Buat sahabat-sahabat lama ku yang masih setia menemaniku: Yono, Whyna, Rina, Ayu ( I luv u all guys!)

10. Tak lupa pula saya ucapkan terima kasih buat senior-senior di Psikologi USU: Kak Nina (Kakak qu…makasih buat revisinya ya!), kak Achi (Thanx buku-bukunya kak!), kak Zube, kak Herna dan kak Fatimah (Thanx single parent-nya kak!). Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Allah SWT.

11. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

Akhirulkalam, segala sesuatu pasti tidak pernah luput dari kesalahan dan kekurangan, dan selayaknya kehidupan dirancang untuk terus dapat memberikan yang terbaik. Demikian pula halnya dengan skripsi ini, masih banyak terdapat kelemahan-kelemahan di dalamnya. Untuk itu, saya dengan segala kerendahan


(7)

hati menerima kritik dan saran guna perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini memberikan banyak manfaat yang berarti bagi setiap pembaca. Amin....

Medan, Mei 2008


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR BAGAN... xi

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah ... 1

I.B. Perumusan Masalah ... 15

I.C. Tujuan Penelitian ... 15

I.D. Manfaat Penelitian... 15

I.D.1. Manfaat teoritis... 15

I.D.2. Manfaat praktis ... 16

I.E. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II LANDASAN TEORI II.A. Makna Hidup II.A.1. Definisi Makna Hidup... 19

II.A.2. Karakteristik Makna Hidup... 21

II.A.3. Penghayatan Hidup... 22


(9)

II.A.3.b. Penghayatan Hidup Tanpa Makna... 23

II.A.4. Sumber-sumber Makna Hidup... 25

II.A.5. Komponen-komponen Perubahan Penghayatan Makna Hidup... 26

II.A.6. Metode Menemukan Makna Hidup... 28

II.B. Penderitaan dan Pandangan Logoterapi mengenai penderitaan... 33

II.C. Orangtua Tunggal II.C.1. DefinisiOrangtua Tunggal... 38

II.C.2. Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Orangtua Tunggal 38

II.C.3. Masalah yang Dihadapi oleh Orangtua Tunggal... 41

II.C.4. Masalah yang Dihadapi oleh Wanita yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal... 44

II.D. Duka Cita II.D.1. Definisi Duka Cita... 48

II.D.2. Representasi dari Duka Cita... 49

II.D.3. Manifestasi Psikologis dari Duka Cita... 50

II.D.4. Duka cita pada Wanita karena Kematian Suami... 51

II.E. Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal... 53

II.F. Paradigma Penelitian... 57

BAB III METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif... 58


(10)

III.B. Responden Penelitian... 60

III.B.1. Karakteristik Responden... 60

III.B.2. Jumlah Responden... 60

III.B.3. Prosedur Pengambilan Responden... 61

III.B.4. Lokasi Penelitian... 61

III.C. Metode Pengambilan Data... 61

III.C.1. Wawancara... 62

III.D. Alat Bantu Pengumpulan Data... 63

III.D.1.Pedoman Wawancara... 63

III.D.2. Alat Perekam... 64

III.D.3. Lembar Observasi dan Catatan subyek... 64

III.E. Kredibilitas (Validitas) Penelitian... 65

III.F. Prosedur Penelitian... 65

III.F.1. Tahapan Persiapan Penelitian... 65

III.F.2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian... 68

III.F.3. Tahapan Pencatatan Data... 70

III.F.4. Prosedur Analisis Data... 70

BAB IV ANALISA DATA DAN HASIL ANALISA DATA IV.A. Responden I... 72

IV.A.1. Analisa Data... 72

IV.A.1.a. Deskripsi Identitas diri Responden I... 72


(11)

IV.A.1.b. Hasil Observasi... 74

IB.A.1.c. Data Hasil Wawancara... 78

IV.A.2. Analisis Intrapersonal pada Responden I... 93

IV.B. Responden II... 101

IV.B.1. Analisa Data... 101

IV.B.1.a. Deskripsi Identitas Diri Responden II... 101

Latar Belakang Responden II... 101

IV.B.1.b. Hasil Observasi... 102

IV.B.1.c. Data Hasil Wawancara... 107

IV.B.2. Analisis Intrapersonal pada Responden II... 125

IV.C. Responden III... 132

IV.C.1. Analisa Data... 132

IV.C.1.a. Deskripsi Identitas Diri Responden III... 132

Latar Belakang Responden III... 132

IV.C.1.b. Hasil Observasi... 133

IV.C.1.c. Data Hasil Wawancara... 137

IV.C.2. Analisis Intrapersonal pada Responden III... 153

IV.D. Analisis Interpersonal antar Responden... 159

IV.E. Hasil Analisa Data antar Responden... 173

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN V.A. Kesimpulan... 199


(12)

V.C. Saran-saran... 213

V.C.1. Saran Praktis... 213

V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan ... 214


(13)

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Skema Penemuan Makna Hidup pada Responden I... 100 Bagan 1. Skema Penemuan Makna Hidup pada Responden II... 131 Bagan 1. Skema Penemuan Makna Hidup pada Responden III... 158


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Gambaran Umum Responden I... 72

Tabel 2. Waktu Wawancara Responden I... 78

Tabel 3. Penghayatan Responden I dalam melewati perasaan duka cita... 94

Tabel 4. Permasalahan hidup yang dialami oleh Responden I... 94

Tabel 5. Gambaran Makna Hidup pada Responden I... 96

Tabel 6. Pengaruh Kematian suami terhadap makna hidup pada Responden I. 99 Tabel 7. Gambaran Umum Responden II... 101

Tabel 8. Waktu Wawancara Responden II... 107

Tabel 9. Penghayatan Responden II dalam melewati perasaan duka cita... 125

Tabel 10. Permasalahan hidup yang dialami oleh Responden II... 126

Tabel 11. Gambaran Makna Hidup pada Responden II... 127

Tabel 12. Pengaruh Kematian suami terhadap makna hidup pada Responden II... 130

Tabel 13. Gambaran Umum Responden III... 132

Tabel 14. Waktu Wawancara Responden III... 137

Tabel 15. Penghayatan Responden III dalam melewati perasaan duka cita... 153

Tabel 16. Permasalahan hidup yang dialami oleh Responden III... 154

Tabel 17. Gambaran Makna Hidup pada Responden III... 155

Tabel 18. Pengaruh Kematian suami terhadap makna hidup pada Responden III... 157


(15)

Tabel. 20. Masalah-masalah yang dihadapi Responden selama menjadi

orangtua tunggal... 161 Tabel 21. Gambaran Makna Hidup pada responden... 164 Tabel 22. Pengaruh Kematian suami terhadap makna hidup responden... 171 Tabel 23. Perbandingan proses keberhasilan penemuan makna hidup


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Pedoman Wawancara Lampiran B. Pedoman Observasi

Lampiran C. Lembar Persetujuan Wawancara Lampiran D. Verbatim Wawancara


(17)

ABSTRAK PENELITIAN

Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Mei 2008

Renny Vidya Wahyuly: 041301060

Makna Hidup pada Wanita yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal (xii + 219 halaman + 3 lampiran)

Daftar Bacaan: 44 (1987-2007)

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mengenai makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal, khususnya karena kematian pasangan hidup, perasaan-perasaan duka cita yang mereka alami saat suaminya meninggal serta permasalahan hidup yang muncul ketika mereka telah menjadi orang-tua tunggal. Kehidupan sebagai orang-tua tunggal dipenuhi berbagai masalah sehingga menyebabkan penderitaan bagi wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Dengan adanya makna hidup di dalam kehidupannya, hidup mereka akan lebih terarah, berkualitas, dan bahagia.

Pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan data tentang gambaran makna hidup dari ketiga responden penelitian agar dapat memahami penghayatan subjektif yang dirasakan oleh responden. Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah: (1) Berjenis kelamin wanita; (2) Berusia 18-40 tahun; (3) Merupakan orang-tua tunggal karena kematian suami; (4) Telah melewati masa duka cita minimal 1 tahun; (5) Memiliki anak yang masih dibiayai sendiri. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah teknik wawancara mendalam dengan pedoman umum dan observasi selama wawancara berlangsung.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketiga responden mengalami perasaan duka cita dengan intensitas yang berbeda-beda, responden juga mengalami permasalahan yang berbeda seputar kehidupannya, misalnya masalah ekonomi, masalah sosial, masalah keluarga, masalah kesepian dan juga ketegangan sebagai orang-tua tunggal. Ketiga responden penelitian juga dapat melalui penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, mereka dapat menemukan makna hidupnya sehingga dapat bertahan dalam kehidupan yang penuh dengan tantangan.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah susunan orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah atau adopsi (Burgess & Locke, dalam Khairuddin, 1997).

Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak (Khairuddin, 1997). Keluarga sebagai sistem sosial terkecil mempunyai fungsi dan tugas agar sistem tersebut berjalan seimbang dan berkesinambungan. Peranan dan fungsi keluarga sangat luas dan sangat bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan, sosiologi, agama dan ekonomi (Gunarsa & Gunarsa, 1993).

Majelis umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengemukakan bahwa keluarga sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan sosialisasi anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan sosial yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera (Sunarti, 2004).

Glasser dan Navarre (1999) menyatakan bahwa sebagai orang-tua, ada berbagai tugas yang harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan keluarga. Dukungan keuangan, pengasuhan anak, dan mengurus rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh


(19)

tua. Tugas-tugas tersebut menjadi tanggung jawab bersama antara kedua orang-tua, yaitu ayah dan ibu.

Menurut Menaghan, Sieber & Thoits (dalam Evenson & Simon, 2005), pada dasarnya, pengalaman menjadi orang-tua menyediakan kepuasan pribadi bagi individu yang mengalaminya, seperti halnya tujuan dan makna hidup, dimana terdapat dukungan kesejahteraan emosional. Menjadi orang-tua membutuhkan aturan baru dan tanggung jawab yang besar sebagai ayah maupun ibu (Hill dan Aldous, dalam Craig, 1996).

Terdapat banyak tugas dan peran yang harus dilaksanakan sebagai orang-tua, dan hal tersebut membutuhkan kerjasama masing-masing pasangan. Suami atau istri dalam rumah tangga yang normal merupakan partner yang sanggup memberikan rasa aman dan nyaman. Selain itu dengan adanya pasangan seseorang dapat berbagi tugas dalam menjawab berbagai kebutuhan hidup, dalam mengatasi berbagai masalah dan tanggung jawab, namun ada kalanya nasib berkata lain, tidak setiap orang dapat terus menerus hidup dengan pasangannya, tidak selamanya tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara kedua orang-tua harus dijalankan bersama-sama. Adakalanya tugas tersebut hanya dijalankan oleh satu orang-tua saja dimana seorang suami atau istri harus berperan ganda (”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007)

Sebagian dari orang-tua harus mengalami menjadi orang-tua tunggal oleh berbagai sebab, ada yang karena pasangan meninggal dunia, bercerai, atau karena kehamilan di luar nikah (”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007). Laswell (dalam Wolf, 1995) mengatakan bahwa orang-tua tunggal muncul karena


(20)

kematian pasangan dan putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Sejalan dengan pendapat tersebut, Papalia (1998) menyatakan bahwa selain perceraian, kehilangan pasangan hidup dapat menyebabkan seseorang menjadi orang-tua tunggal.

Lopata (dalam Belsky, 1997) menyebutkan bahwa peristiwa kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang dapat mengganggu kehidupan emosional, mengubah hubungan individu dengan lingkungan sosialnya dan dapat menimbulkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan setelah ditinggalkan pasangan. Ketika pasangan meninggal, pasangan yang ditinggalkan tidak hanya kehilangan dukungan emosional, persahabatan, dan teman, namun harus menemukan cara untuk memenuhi semua tugas-tugas dan tanggung jawab dalam keluarga. Menemukan pengganti untuk mengisi peran yang kosong, atau mencoba untuk melakukannya seorang diri, sendiri dan tanpa dukungan (Sanders, 1992).

Berdasarkan Holmes-Rahe Social Readjusment Rating Scale (dalam Lemme, 1995), yaitu skala yang mengukur tentang peristiwa hidup yang menimbulkan tingkat stres paling tinggi, diperoleh hasil bahwa kematian pasangan hidup merupakan peristiwa yang sangat menimbulkan stres, dan menempati urutan tertinggi. Senada dengan yang dikatakan oleh Brubaker (dalam Lemme, 1995) menyatakan hal ini terjadi karena penyesuaian masa menjanda atau menduda yang terjadi secara tiba-tiba. Banyak pasangan yang tidak siap akan perubahan kehidupan setelah kematian pasangan hidup mereka, apalagi kematian tersebut terjadi secara mendadak. Hal ini dikuatkan oleh Rahe dan Holmas (dalam Kasschau, 1993) yang menyatakan bahwa kehilangan pasangan karena kematian


(21)

merupakan peristiwa yang lebih dapat menimbulkan stres daripada kehilangan pasangan karena perceraian. Menurut Mitchell (dalam Kasschau, 1993) hal ini dikarenakan individu yang mengalami perceraian masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang telah putus dengan pasangannya dan masih dapat mengharapkan bantuan dari pasangannya terutama dalam masalah yang berkaitan dengan keperluan sekolah anak, pertunangan atau pernikahan anak dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kepentingan anak.

Brubaker (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa terdapat dua tantangan utama yang dialami oleh janda atau duda, yaitu mengatasi perasaan duka cita setelah ditinggalkan orang yang dicintai dan membangun kehidupan baru sebagai orang-tua tunggal. Bankoff (dalam Lemme, 1995) menjelaskan tiga tahapan dalam mengatasi tantangan ini. Tahap pertama disebut dengan crisis loss phase, tahap kedua yang dialami adalah transition phase, dan tahap ketiga dari proses kehilangan pasangan adalah reorganization phase.

Tahap pertama disebut dengan crisis loss phase, yaitu periode dimana masih terjadi kekacauan dan disorganisasi selama beberapa hari, beberapa minggu, dan terkadang sampai beberapa bulan. Kemarahan, ketidakpercayaan, dan kebingungan mengenai apa yang akan terjadi di masa depan menjadi karakteristik dari tahap ini. Simptom-simptom depresi, misalnya apatis dan penarikan diri biasanya dihubungkan dengan penghayatan akan kehilangan orang yang dicintai (Lopata, dalam Lemme, 1995). Janda atau duda mulai menghadapi kesulitan dalam keseharian mereka, misalnya dalam hal keuangan atau


(22)

tugas-tugas rumah tangga, perasaan kesepian dan kehilangan sebagai akibat dari kematian pasangan mereka (Lemme, 1995).

Tahap kedua yang dialami adalah transition phase, terjadi jika rasa kehilangan pada individu tersebut mulai berkurang, dan adanya kemungkinan akan kehidupan baru yang akan muncul. Di tahap ini juga dimulai pengembangan identitas baru sebagai orang-tua tunggal dan mulai dibangun kembali sistem sosial (Bankoff, dalam Lemme, 1995).

Tahap ketiga dari proses kehilangan pasangan adalah reorganization phase, dimana individu mulai menetapkan kehidupan baru (misalnya menikah kembali) dan mulai bersikap normal serta menyesuaikan diri terhadap rasa kehilangan pasangan (Bankoff, dalam Lemme, 1995).

Menurut Lemme (1995), terdapat perbedaan antara wanita dan pria dalam menyikapi perasaan kehilangan atas pasangan hidup mereka. Umumnya wanita akan merasa lebih sulit untuk menerima perasaan kehilangan tersebut. Wanita lebih sulit untuk menerima kenyataan bahwa pasangan hidupnya telah tiada daripada pria. Wanita juga lebih memilih untuk tidak menikah kembali daripada pria setelah peristiwa tersebut. Hal ini menyebabkan wanita yang ditinggal mati suaminya lebih merasakan kesepian daripada pria yang ditinggal mati istrinya (Lemme, 1995). Hal ini sesuai dengan komunikasi personal yang peneliti lakukan dengan seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal karena kematian suaminya (A, berusia 28 tahun dengan 1 orang anak) seperti terdapat dalam kutipan wawancara berikut ini:

”Mm…waktu suami tante meninggal, ya pasti sedih kali ya. Apalagi waktu itu usia pernikahan tante belum lagi 2 tahun. Pikiran jadi sering ngambang gitu.


(23)

Sempat ada perasaan gini, kenapa Allah gak adil kali dengan ku? Kayaknya baru sebentar kali tante hidup dengan suami, tapi kok cepat kali dipanggilNya? Pokoknya kayak gak percaya gitu la tante. Tante kadang ngerasa gak ada temen ngomong, buat tempat curhat gitu. Kalau ngerasa stres dengan kerja, dengan yang lain-lain, gak ada orang yang bisa diajak cerita. Jadi gak ada tempat sharing gitu la..”

(Komunikasi Personal, 4 November 2007)

Pria memiliki kesulitan untuk mengekspresikan perasaan duka cita daripada wanita, walaupun begitu pria lebih cepat menerima kenyataan tentang kematian pasangannya (Troll, Miller & Atchley dalam Nock, 1987). Selain itu, pria juga memiliki kecenderungan yang besar untuk menikah kembali. Hal ini terjadi karena duda menghadapi kesulitan dengan kesepian dan urusan-urusan rumah tangga (Connidis, dalam Aiken, 1994). Hal ini disebabkan kurangnya pengalaman dari duda tersebut dan sedikitnya teman sesama duda untuk berbagi cerita dan masalah. Mereka menyadari bahwa sahabat, seks, dukungan fisik dan emosional yang biasanya ada pada istri sangat mereka butuhkan (Treas & Vantlilst, dalam Aiken, 1994).

Bruce (1995) mengungkapkan bahwa kematian pasangan hidup menyebabkan seseorang menjadi orang-tua tunggal, dan ini banyak dialami oleh wanita. Alasan mengapa lebih banyak wanita yang menjadi orang-tua tunggal menurut Bruce adalah karena wanita memiliki harapan hidup yang lebih panjang dan yang kedua adalah pada saat pernikahan, hampir pada semua pasangan, usia suami lebih tua daripada istri. Sejalan dengan hal tersebut, Aiken (1994) menyebutkan mengenai alasan mengapa terdapat perbedaan yang cukup besar mengenai persentase janda dan duda yaitu disebabkan wanita memiliki harapan hidup yang lebih lama daripada pria, selain itu jumlah janda yang lebih besar


(24)

daripada duda juga disebabkan oleh duda yang cenderung untuk menikah lagi setelah kematian istrinya.

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia tahun 2000, terlihat lebih banyak janda dibandingkan duda, yaitu sekitar 8.670.870 janda dan 1.763.613 duda. Survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) tahun 2004 di Indonesia diperoleh hasil sekitar 40 juta keluarga yang berkepala rumah tangga dengan status janda. Berdasarkan hasil survei tersebut juga diketahui bahwa 13,4 % janda di Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (Saras, 2005). Sementara itu, data dari Dinas Kependudukan Kota Medan tahun 2005 disebutkan bahwa jumlah janda lebih besar dibandingkan jumlah duda, dimana janda cerai sebanyak 1,48 %, dan janda karena kematian suami sebanyak 6,17 %. Jumlah duda cerai sebanyak 0,56 % dan duda karena kematian istri sebanyak 1,01 %. Berdasarkan data tersebut di atas apabila dikumulatifkan maka persentase janda lebih besar, yaitu 7,65 % daripada persentase duda yang hanya mencapai persentase 1,57 %. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa peran sebagai orang-tua tunggal ini tampaknya lebih banyak dipegang oleh wanita.

Menurut Perlmutter & Hall (1995), orang-tua tunggal adalah orang-tua yang tanpa pasangan secara kontinu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Kemudian Sager, Walker, Brown, Crohn dan Rodstein (dalam Duvall & Miller, 1995) mengartikan orang-tua tunggal sebagai orang-tua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab pasangannya.


(25)

Haber dan Ruyon (1994) menyatakan bahwa banyak hal yang berubah dan butuh penyesuaian diri bagi seorang wanita yang ditinggalkan suami karena kematian. Salah satunya adalah menjadi orang-tua tunggal. Hal tersebut menjadikan hidup seorang wanita tidak hanya berperan sebagai ibu, namun juga berperan sebagai ayah. Keadaan yang demikian menjadikan hidup sebagai orang-tua tunggal bukanlah perkara yang mudah. Wanita yang juga berperan sebagai kepala rumah tangga lebih sering mengalami stres secara psikologis sebagai hasil dari perjuangannya untuk mempertahankan hidup. Mereka merasakan penderitaan seperti depresi atau kecemasan, karena mengharuskan kemampuan mereka untuk menjadi orang-tua yang mendukung dan penuh perhatian terhadap anaknya (Craig, 1996). Hal tersebut sesuai dengan pengalaman seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal seperti terdapat dalam kutipan wawancara berikut:

”Waktu tante ditinggal suami tante, terpikir juga, aduh....gimana ini ngadepin ke depannya? Takut gak bisa gitu. Tapi ya harus dijalani kan. Kadang ya stres juga lah. Mikirin kerjaan, mikiran keluarga, mikirin anak... ya capek la pokoknya.”

(Komunikasi Personal, 4 November 2007)

Perubahan hidup yang tiba-tiba mengharuskan seseorang melakukan penyesuaian diri dengan keadaan hidupnya. Perasaan duka cita yang dialami wanita yang kehilangan pasangan karena kematian berlangsung selama 1 atau 2 tahun setelah kematian pasangan (Kail dan Cavanaugh, 2000). Sejalan dengan pendapat tersebut, Hoyer dan Roodin (2003) mengatakan bahwa individu yang kehilangan seseorang yang dicintai karena kematian akan mengalami perasaan duka cita selama lebih kurang 2 tahun setelah ditinggalkan pasangannya. Perasaan


(26)

duka cita yang dialami wanita karena kehilangan pasangan hidupnya selama 1 atau 2 tahun tersebut juga harus disertakan dengan adanya penyesuaian diri terhadap perubahan hidupnya. Lebih lanjut lagi, Heinemann (dalam Nock, 1987) menambahkan bahwa kebanyakan individu yang kehilangan pasangannya karena kematian membutuhkan waktu paling tidak 1 sampai 3 tahun untuk menyesuaikan diri dengan peristiwa tersebut. Pendapat tersebut sesuai dengan pengalaman seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal seperti dalam kutipan wawancara berikut ini:

”Tante udah hampir 5 tahun ya pisah dengan suami, ya...kadang-kadang masih teringat juga. Pasti la ya...kangen gitu...Apalagi kalau ngeliat anak tante ini, nanti dia nyanyi-nyanyi, karaoke gitu...terus tante teringat...Iih...kalau ada papanya, pasti dia senang kali....ya nangis juga, sampe anak tante kadang nanya mama kenapa....Gak apa-apa sayang....mama teringat papa aja...gitu.”

(Komunikasi Personal, 4 November 2007)

Saarna (2002) mengungkapkan bahwa menjadi janda bagi wanita merupakan perubahan yang signifikan dalam kehidupan wanita, keadaan tersebut membawa tantangan dan tanggung jawab yang cukup besar. Menurut Paulin dan Lee (2002), hal ini disebabkan karena wanita yang juga berperan sebagai orang-tua tunggal bagi anak-anaknya dihadapkan pada tugas-tugas orang-orang-tua yang mestinya dapat dilakukan dengan pasangan hidup atau suami, misalnya mengasuh anak, membantu anak dalam pekerjaan rumahnya, mengurus rumah tangga, mencukupi kebutuhan anak, dan sebagainya. Tugas-tugas tersebut dilakukan dengan sumber daya yang terbatas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Stroebe & Stroebe (dalam Cavanaugh, 2006) menyebutkan bahwa ketika individu kehilangan pasangannya, ia akan mengalami peningkatan penyakit-penyakit fisik,


(27)

merasakan simptom-simptom depresi, kehilangan status, kesulitan ekonomi dan rendahnya dukungan sosial.

Kehilangan pasangan hidup secara signifikan dapat mengakibatkan perubahan dalam kesejahteraan seseorang (Saarna, 2002). Perubahan tersebut meliputi perubahan psikologis, ekonomi, fisik dan kesejahteraan sosial. Lebih lanjut, Hetherington (1999) menjelaskan bahwa masalah utama wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal karena kematian suami berkaitan dengan adanya perubahan tekanan yang dialaminya, antara lain masalah praktis dalam kehidupan, seperti ekonomi, masalah pekerjaan dan masalah mengurus rumah tangga.

Wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal dihadapkan pada masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan yang sangat beragam. Hurlock (1991) menyebutkan beberapa permasalahan umum yang dihadapi wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal karena kematian suami adalah masalah ekonomi, keluarga, tempat tinggal, sosial, praktis dan seksual. Masalah ekonomi adalah masalah utama yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal (Egelman, 2004). Pendapat tersebut didukung oleh Troll (dalam Lemme, 1995) yang menyatakan bahwa banyak wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal mengalami kemiskinan, hal tersebut dapat terjadi karena hilangnya pendapatan dari suami yang dulu mendukung perekonomian keluarga. Hal ini sesuai dengan pengalaman seorang wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal seperti terdapat dalam kutipan wawancara berikut ini:

”Masalah yang nomor satu ya masalah ekonomi. Semuanya gara-gara ekonomi bisa berbuat nekat. Kadang orang-tua ya, apalagi tante udah gak


(28)

punya bapak, ya juga harus bantu. Kadang orang-tua butuh gini...gini...Itu rasanya kepala tante mau pecah, dada rasanya berat...kali. Ya Allah...aku pengen kali membahagiakan orang-tua, tapi apa daya lah. Cuma segini la tante bisa bantu dia. Kadang tante pikir, kalau aja sempat, abis pulang kerja tante pengen nyari tambahan lagi, kerja paruh waktu gitu lah. Tapi gimana la, pulang kerja aja udah malam jam 8. terkadang kondisi fisik kita gak sesuai dengan keinginan kita. Kita pingin nyari duit tambahan lagi, tapi badan udah gak bisa...udah capek...kali...”

(Komunikasi Personal, 4 November 2007) Cavanaugh dan Fredda (2006) menyebutkan bahwa kehilangan pasangan hidup karena kematian akan membawa individu kepada perasaan kehilangan atau duka cita yang sangat mendalam, terlebih lagi jika hubungan itu telah lama dibina dan sangat dekat. Sejalan dengan pendapat tersebut, kualitas hubungan dengan suami juga berpengaruh terhadap perasaan duka cita. Hubungan istri yang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan suaminya serta ketergantungan istri dengan suaminya akan menyulitkan istri untuk menyesuaikan diri dengan perasaan kehilangan suaminya (Rando, 1997).

Fulton (dalam Cavanaugh dan Fredda, 2006) menyatakan bahwa memahami perasaan duka cita pada seseorang karena kematian pasangan sangat penting karena perasaan duka cita itu dapat mengubah makna hidup seseorang. Proses duka cita karena kematian seseorang merupakan waktu untuk mencari makna dalam kematian tersebut dan juga dalam kehidupan (Saito, dalam Cavanaugh dan Fredda, 2006). Sejalan dengan hal tersebut, Lieberman & Peskin (dalam Hoyer & Roodin, 2003) menjelaskan bahwa salah satu aspek terpenting dalam perasaan duka cita karena kematian seseorang yang disayangi adalah mendorong seseorang untuk mencoba membuat penghayatan akan dunianya dan untuk mencari makna baru dalam kehidupannya. Kematian dapat membawa


(29)

perubahan yang positif dalam kehidupan seseorang, dan perasaan duka cita merupakan penggerak bagi pertumbuhan individu dalam mencari makna pribadi tentang rasa kehilangan tersebut (Edmons & Hooker, dalam Hoyer & Roodin, 2003).

Makna hidup merupakan hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidup bagi seseorang (Bastaman, 2007). Frankl (1988) menyatakan bahwa makna hidup bersifat unik, spesifik, personal dan konkrit, sehingga masing-masing orang mempunyai makna hidup yang khas dan cara penghayatan yang berbeda antara pribadi satu dengan yang lainnya.

Frankl (dalam Bastaman, 2007) mengatakan bahwa individu dapat memperoleh makna hidupnya melalui tiga sumber, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), nilai-nilai pengalaman (experiental values), dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values).

Berdasarkan teori dan prinsip logoterapi, Viktor Frankl (dalam Bastaman, 1996) menggambarkan tentang penghayatan hidup seseorang yang tidak bermakna yaitu antara lain merasa hampa, gersang, tidak memiliki tujuan hidup, merasa hidup tidak berarti, serba bosan dan apatis. Kadang-kadang tidak terungkap secara nyata, namun terselubung dibalik berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk berkuasa, bersenang-senang mencari kenikmatan seksual, bekerja, dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, perilaku dan kehendak yang berlebihan itu biasanya menutupi penghayatan-penghayatan hidup tanpa makna.


(30)

Makna hidup apabila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya mereka yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan (Bastaman, 1996). Crumbaugh (dalam Bastaman, 1996) mengemukakan beberapa perilaku dalam penghayatan hidup bermakna antara lain: menjalani kehidupan dengan semangat, mempunyai tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan sendiri yang telah dicapai, mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, menyadari bahwa sesungguhnya makna hidup dapat ditemukan dalam berbagai keadaan, tabah dalam menghadapi suatu peristiwa tragis, benar-benar menghargai hidup dan kehidupan serta mampu mencintai dan menerima cinta kasih dari orang lain.

Ada beberapa komponen yang dapat menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna (Bastaman, 1996), yaitu kelompok komponen personal (terdiri dari pemahaman diri dan pengubahan sikap), kelompok komponen sosial (berupa dukungan sosial) dan kelompok komponen nilai (terdiri dari makna hidup, komitmen diri dan kegiatan-kegiatan terarah).

Bastaman (1996) menyatakan bahwa perubahan hidup dari tidak bermakna menjadi bermakna harus melalui proses. Proses tersebut meliputi tahap derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna), tahap penerimaan diri (pemahaman diri, pengubahan sikap), tahap penemuan makna hidup (penemuan makna dan penentuan tujuan hidup), tahap realisasi makna (komitmen diri, kegiatan terarah dan pemenuhan makna hidup) serta tahap kehidupan bermakna (penghayatan bermakna, kebahagiaan).


(31)

Proses menemukan makna hidup dapat dilakukan dengan berbagai metode. Bastaman (1996) menyebutkan metode-metode tersebut adalah metode pemahaman diri, metode bertindak positif, metode pengakraban hubungan, metode pendalaman tri-nilai dan metode ibadah.

Seorang istri yang ditinggalkan suaminya karena kematian, mau tak mau harus menjalani peran ganda sebagai orang-tua tunggal. Peran sebagai orang-tua tunggal dalam rumah tangga tentu saja tidak mudah, karena dibutuhkan perjuangan berat untuk membesarkan dan mengurus anak, termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga (”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007). Namun, kematian pasangan tidak selalu melemahkan, pasangan yang masih bertahan dapat menemukan makna dalam kehilangan tersebut dan menyadari adanya makna dalam kehidupannya (Hoyer & Roodin, 2003).

Perjuangan wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal, dimana ia berusaha bertahan dalam hidupnya yang bermasalah, merupakan salah satu bentuk eksistensi dari manusia. Menurut ajaran logoterapi, kehidupan ini mempunyai makna dalam keadaan apapun dan bagaimanapun, termasuk dalam penderitaan sekalipun, hasrat hidup bermakna merupakan motivasi utama dalam kehidupan ini (Muhid, 2002)

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih banyak yang bertahan menjadi orang-tua tunggal walaupun kehidupan menjadi orang-tua tunggal terkadang penuh derita dan permasalahan sehingga peneliti ingin melihat bagaimanakah makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.


(32)

I.B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama dari penelitian ini, yaitu:

a. Bagaimanakah penghayatan wanita dalam menghadapi perasaan duka cita setelah kematian suaminya?

b. Bagaimanakah permasalahan hidup yang dialami wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal?

c. Bagaimanakah penghayatan wanita tersebut dalam menghadapi penderitaan sebagai orang-tua tunggal?

d. Bagaimanakah gambaran makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal?

I.C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.

I.D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara teoritis dan praktis.

I.D.1. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian Psikologi khususnya di bidang Psikologi Klinis mengenai makna hidup pada wanita yang


(33)

berperan sebagai orang-tua tunggal. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi masukan bagi peneliti lain yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut.

I.D.2. Secara Praktis

Bagi Wanita Yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapinya secara tepat, membantu para wanita tersebut memperoleh makna dari pengalaman-pengalaman hidupnya sejak menjadi orang-tua tunggal serta membantu mereka dalam mengatasi perasaan duka cita karena kematian pasangan hidupnya.

Bagi Klinisi

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi bagi para klinisi khususnya dalam menghadapi kasus-kasus yang berkaitan dengan makna hidup dan perasaan duka cita karena kematian pasangan hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.

I.E. SISTEMATIKA PENULISAN

Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut:

BAB I adalah pendahuluan yang berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.


(34)

BAB II memuat landasan teori yang terdiri dari teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang makna hidup, termasuk tentang definisi makna hidup, karakteristik makna hidup, sumber-sumber makna hidup, penghayatan hidup, komponen-komponen perubahan penghayatan makna hidup, dan metode menemukan makna hidup. Teori tentang orang-tua tunggal, termasuk definisi orang-tua tunggal, perbedaan keluarga utuh dan keluarga orang-tua tunggal, masalah yang dihadapi oleh orang-tua tunggal, dan masalah yang dihadapi wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Teori tentang duka cita, termasuk definisi duka cita, representasi duka cita, manifestasi psikologis dari duka cita, dan duka cita pada wanita karena kematian suami serta mengenai dinamika penelitian, yaitu makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.

BAB III membicarakan tentang metode penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini, termasuk subjek dan lokasi penelitian, selain itu juga memuat teknik pengambilan responden dalam penelitian serta metode pengambilan data yang digunakan.

BAB IV mengenai analisa data dan interpretasi data yang menguraikan tentang data pribadi responden, analisa data dan interpretasi per responden yang meliputi latar belakang meninggalnya suami, penghayatan responden terhadap perasaan duka cita atas meninggalnya suami, permasalahan yang dialami oleh responden,


(35)

penghayatan responden atas penderitaannya sebagai orang-tua tunggal dan mengenai gambaran makna hidup pada responden sebagai orang-tua tunggal.

BAB V berisi kesimpulan, diskusi dan saran mengenai makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan. Diskusi berisikan data-data atau temuan yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal baru, serta saran yang berisi saran-saran praktis sesuai dengan hasil dan masalah-masalah peneliitian, dan saran-saran metodologis untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(36)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Makna Hidup

II.A.1. Definisi Makna Hidup

Teori mengenai makna hidup dikemukakan oleh Frankl. Teori ini kemudian dikembangkan dalam suatu istilah yang dikenal dengan logoterapi. Logoterapi memiliki tiga asas utama (Bastaman, 2007), yaitu:

a. Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam penderitaan dan kepedihan sekalipun.

b. Setiap manusia memiliki kebebasan-yang hampir tak terbatas-untuk menemukan sendiri makna hidupnya.

c. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakkan lagi yang menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setelah upaya mengatasinya telah dilakukan secara optimal tetap tidak berhasil.

Bastaman (2007) juga mengungkapkan bahwa pada hakikatnya asas-asas ini merupakan inti dari setiap perjuangan hidup, yakni mengusahakan agar kehidupan senantiasa berarti bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan agama.

Frankl (dalam Bastaman, 2007) menjelaskan tentang tiga asumsi dasar mengenai kebermaknaan hidup, yaitu:


(37)

a. Kebebasan bersikap dan berkehendak (the freedom to will).

Kebebasan ini sifatnya bukan tak-terbatas karena manusia adalah makhluk serba terbatas, baik dalam aspek ragawi (tenaga, daya tahan, stamina, usia), aspek kejiwaan (kemampuan, keterampilan, kemauan, ketekunan, bakat, sifat, tanggung jawab pribadi), aspek sosial budaya (dukungan lingkungan, kesempatan, tanggung jawab sosial, ketaatan pada norma), dan aspek kerohanian (iman, ketaatan beribadah, cinta kasih). Kebebasan ini untuk menentukan sikap terhadap kondisi-kondisi tersebut. Kebebasan ini harus disertai dengan rasa tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan.

b. Kehendak untuk hidup bermakna (the will to meaning).

Setiap orang pasti menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang penting dan jelas yang akan diperjuangkan dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga, dan berarti (meaningfull). Sebaliknya, bila tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tidak bermakna (meaningless).

c. Tentang makna hidup (the meaning of life).

Makna hidup adalah hal-hal yang dipandang penting, dirasakan berharga dan diyakini sebagai sesuatu yang benar serta dapat dijadikan tujuan hidupnya. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti dan biasanya mereka yang menemukan dan mengembangkannya akan terhindar dari keputusasaan.


(38)

Menurut Abidin (2002), dorongan terkuat bukanlah dorongan untuk mendapatkan kepuasan, seperti yang dinyatakan oleh Freud, atau kekuasaan, seperti pendapat Adler, namun kebutuhan akan makna. Tujuan atau tugas tertentulah yang membuat seseorang bertahan hidup. Motivasi utama dari manusia adalah untuk menemukan tujuan itu, itulah makna hidup. Pencarian makna yang dilakukan merupakan fenomena kompleks, yang membutuhkan penggalian, dan untuk memahaminya kita harus mengalaminya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hidup merupakan suatu hal yang dianggap penting, berharga dan bernilai bagi seseorang dan dapat menjadi tujuan hidup dari orang tersebut. Apabila seseorang telah berhasil menemukan makna hidupnya, maka kehidupannya akan dirasakan lebih berarti.

II.A.2. Karakteristik Makna Hidup

Makna hidup, sebagaimana dikonsepkan oleh Frankl (dalam Bastaman, 2007) memiliki beberapa karakteristik, yaitu:

a. Makna hidup itu sifatnya unik, pribadi dan temporer, artinya apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Selain itu, makna hidup juga bersifat berubah-ubah dari waktu ke waktu. b. Makna hidup itu spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar

dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak-filosofis, tujuan-tujuan idealistis, dan prestasi-prestasi akademis yang serba menakjubkan.


(39)

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka karakteristik dari makna hidup adalah unik, pribadi, temporer, spesifik dan nyata.

II.A.3. Penghayatan Hidup

II.A.3.a. Penghayatan Hidup Bermakna

Menurut Bastaman (2007), penghayatan hidup bermakna dapat berupa: 1) Menjalani kehidupan sehari-hari dengan penuh semangat dan gairah, serta

jauh dari perasaan hampa.

2) Mempunyai tujuan hidup yang jelas, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang, sehingga kegiatan-kegiatan menjadi terarah.

3) Merasakan sendiri kemajuan yang telah dicapai.

4) Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, dalam arti menyadari batasan-batasan lingkungan dan tetap dapat menentukan sendiri apa yang paling baik dilakukan.

5) Menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, betapapun buruknya keadaan.

6) Menghadapi situasi yang tidak menyenangkan atau penderitaan dengan sikap tabah dan sadar ada makna serta hikmah dibalik penderitaannya. 7) Benar-benar menghargai hidup dan kehidupan. Tidak pernah berpikir untuk

bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaan yang ada.

Jadi, penghayatan hidup bermakna tercermin dalam perilaku-perilaku sebagai berikut: menjalani hidup dengan semangat, memiliki tujuan hidup yang jelas, merasakan kemajuan yang telah diperoleh, dapat menyesuaikan diri dengan


(40)

lingkungan, menyadari bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam keadaan apapun, bersikap sabar dan tabah dalam menghadapi suatu peristiwa bahkan penderitaan sekalipun, dan benar-benar menghargai kehidupannya.

II.A.3.b. Penghayatan Hidup Tanpa Makna

Bastaman (2007) mengemukakan bahwa dalam kehidupan seseorang mungkin saja hasrat untuk hidup secara bermakna ini tidak terpenuhi. Penyebabnya antara lain karena kurang disadari bahwa dalam kehidupan itu sendiri dan pengalaman masing-masing orang terkandung makna hidup yang potensial yang dapat ditemukan dan dikembangkan. Selain itu mungkin karena pengetahuan yang kurang mengenai prinsip dan teknik dalam menemukan makna hidup itu sendiri.

Ketidakberhasilan menemukan dan memenuhi makna hidup biasanya menimbulkan penghayatan makna hidup tanpa makna (meaningless), hampa, gersang, merasa tak memiliki tujuan hidup, merasa hidupnya tak berarti, bosan, dan apatis. Kebosanan adalah ketidakmampuan seseorang untuk membangkitkan minat, sedangkan apatis merupakan ketidakmampuan untuk mengambil prakarsa. Penghayatan-penghayatan seperti digambarkan di atas mungkin saja tidak terungkap secara nyata, tapi menjelma dalam berbagai upaya kompensasi dan kehendak yang berlebihan untuk: berkuasa (the will to power), bersenang-senang mencari kenikmatan (the will to pleasure) termasuk kenikmatan seksual (the will to sex), bekerja (the will to work), dan mengumpulkan uang (the will to money).


(41)

Penghayatan hidup tanpa makna ini jika tidak diatasi dapat berkembang menjadi karakter pribadi neurosis noogenik, karakter totaliter dan karakter konformis.

1) Neurosis Noogenik, merupakan suatu gangguan perasaan yang cukup menghambat prestasi dan penyesuaian diri seseorang. Gangguan ini biasanya tampil dalam keluhan-keluhan serba bosan, hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali. Motto hidup dari pribadi ini adalah ”Aku salah dan Kamu pun tidak benar. Aku serba salah.”

2) Karakter Totaliter, adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain. Pribadi ini sangat peka kritik dan biasanya akan menunjukkan reaksi menyerang kembali secara keras dan emosional. Motto hidup dari ribadi totaliter ini adalah ”Aku benar dan Kamu salah. Semau aku.”

3) Karakter Konformis adalah gambaran pribadi dengan kecenderungan kuat untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri. Motto hidup karakter konformis adalah ”Aku salah dan Kamu benar. Aku ikut kamu saja.”

Jadi, jika seseorang tidak berhasil menemukan makna hidupnya, maka ia akan mengalami penghayatan hidup tanpa makna. Individu tersebut akan merasa kehampaan dalam hidup, bersikap apatis, bosan, dan merasa tidak memiliki tujuan


(42)

hidup. Sikap ini biasanya berkembang menjadi karakter-karekter khusus, yaitu: neurosis noogenik (sering mengeluh bosan, hampa dan penuh keputusasaan, kehilangan minat dan inisiatif, serta merasa bahwa hidup ini tidak ada artinya sama sekali); karakter totaliter (cenderung untuk memaksakan tujuan, kepentingan, dan kehendaknya sendiri dan tidak bersedia menerima masukan dari orang lain); dan karakter konformis (cenderung untuk selalu berusaha mengikuti dan menyesuaikan diri kepada tuntutan lingkungan sekitarnya serta bersedia pula untuk mengabaikan keinginan dan kepentingan dirinya sendiri).

II.A.4. Sumber-sumber Makna Hidup

Frankl (dalam Bastaman, 2007) menyatakan tiga kelompok nilai yang dapat menjadi sumber makna hidup dalam diri manusia, yaitu:

a. Nilai-nilai kreatif (Creative Values), yaitu berkarya serta melakukan tugas hidup sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab. Melalui karya dan kerja kita dapat menemukan arti hidup dan menghayati kehidupan secara bermakna. Pekerjaan hanyalah merupakan sarana yang memberikan kesempatan untuk menemukan dan mengembangkan makna hidup; makna hidup tidak terletak pada pekerjaan, tapi lebih tergantung pada pribadi yang bersangkutan, dalam hal ini sikap positif dan mencintai pekerjaan itu serta cara bekerja yang mencerminkan keterlibatan pribadi pada pekerjaannya. b. Nilai-nilai penghayatan (Experiental Values), yaitu keyakinan dan

penghayatan akan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keindahan, keimanan, dan keagamaan, serta cinta kasih. Menghayati dan meyakini suatu nilai


(43)

dapat menjadikan seseorang berarti hidupnya. Cinta kasih dapat menjadikan pula seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya, dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan hidupnya penuh pengalaman hidup yang membahagiakan.

c. Nilai-nilai bersikap (Attitude Values), yaitu sikap tabah terhadap realitas yang dihadapi. Sikap menerima dengan penuh ikhlas dan tabah hal-hal tragis yang tak mungkin dielakkan lagi dapat mengubah pandangan kita dari semula yang diwarnai penderitaan semata-mata menjadi pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka sumber-sumber makna hidup ada tiga, yaitu nilai-nilai kreatif (creative values), yaitu berkarya dengan melakukan suatu pekerjaan dengan bertanggung jawab; nilai-nilai penghayatan (experiental values), yaitu keyakinan dan penghayatan akan nilai-nilai yang diakui dalam masyarakat; dan nilai-nilai bersikap (attitude values), yaitu menyikapi suatu peristiwa dengan sabar dan tabah.

II.A.5. Komponen-komponen Perubahan Penghayatan Makna Hidup

Bastaman (1996) mengemukakan beberapa komponen yang menentukan berhasilnya perubahan dari penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, yaitu:

a. Pemahaman Diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik.


(44)

b. Makna Hidup (the meaning of life), yakni nilai-nilai penting dan sangat berarti bagi kehidupan pribadi seseorang yang berfungsi sebagai tujuan hidup yang harus dipenuhi dan pengarah kegiatan-kegiatannya.

c. Pengubahan sikap (changing attitude) dari yang semula tidak tepat menjadi lebih tepat dalam menghadapi masalah, kondisi hidup dan musibah yang tak terelakkan.

d. Keterlibatan diri (self commitment) terhadap makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan.

e. Kegiatan terarah (directed activities), yakni upaya-upaya yang dilakukan secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi-potensi pribadi (bakat, kemampuan, ketrampilan) yang positif serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan hidup.

f. Dukungan sosial (social support), yakni hadirnya seseorang atau sejumlah orang yang akrab, dapat dipercaya dan selalu bersedia membantu memberi bantuan saat-saat diperlukan.

Keenam unsur tersebut merupakan proses integral dan dalam konteks mengubah penghayatan hidup tak bermakna menjadi bermakna, antara satu dengan yang lain tak dapat dipisahkan.

Selanjutnya Bastaman (1996) juga mengkategorikan komponen-komponen tersebut menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Kelompok komponen personal (Pemahaman diri, pengubahan sikap) b. Kelompok komponen sosial (Dukungan sosial)


(45)

Seperti halnya komponen-komponen penemuan makna hidup, tahap-tahap di atas pun dapat dikategorikan atas lima kelompok tahapan berdasarkan urutannya (Bastaman, 1996), yaitu:

a. Tahap Derita (Peristiwa tragis, Penghayatan tanpa makna) b. Tahap Penerimaan diri (Pemahaman Diri, Pengubahan sikap)

c. Tahap Penemuan makna hidup (Penemuan makna dan penentuan tujuan hidup)

d. Tahap Realisasi makna (Keikatan diri, Kegiatan terarah dan Pemenuhan makna hidup)

e. Tahap Kehidupan bermakna (Penghayatan bermakna, Kebahagiaan)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat enam komponen perubahan penghayatan makna hidup, yaitu: pemahaman diri (self insight), makna hidup (the meaning of life), pengubahan sikap (changing attitude), keikatan diri (self commitment), kegiatan terarah (directed activities), dan dukungan sosial (social support).

II.A.6. Metode Menemukan Makna Hidup

Bastaman (1996) mengungkapkan ada 5 metode yang dapat digunakan untuk menemukan makna hidup, yaitu:

a. Pemahaman Pribadi

Metode ini pada dasarnya membantu memperluas dan mendalami beberapa aspek kepribadian dan corak kehidupan seseorang. Hasil memanfaatkan metode ini antara lain:


(46)

1). Mengenali keunggulan-keunggulan dan kelemahan-kelemahan pribadi (penampilan, sifat, bakat, pemikiran) dan kondisi lingkungannya (keluarga, tetangga, teman sekerja);

2). Menyadari keinginan masa kecil, masa muda, dan keinginan-keinginan sekarang, serta memahami kebutuhan-kebutuhan apa yang mendasari keinginan itu;

3). Merumuskan secara lebih jelas dan nyata hal-hal yang diinginkan untuk masa mendatang, dan menyusun rencana yang realistis untuk mencapainya.

Mengenali dan memahami sendiri hal-hal di atas sangat bermanfaat untuk mengembangkan segi-segi positif dan mengurangi segi-segi negatif masing-masing pribadi, baik yang potensial maupun yang sudah aktual.

b. Bertindak Positif

Metode ini diawali dengan cara menanamkan ’berpikir positif’ di dalam pikiran, kemudian dilakukan ‘bertindak positif’. Kalau pada berpikir positif di dalam pikiran ditanamkan hal-hal yang serba baik dan bermanfaat dengan harapan akan terungkap dalam perilaku nyata, maka metode bertindak positif benar-benar mencoba menerapkan hal-hal yang baik itu dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.

c. Pengakraban Hubungan

Hubungan sesama manusia adalah sangat azasi dan karenanya merupakan salah satu sumber makna bagi manusia sendiri. Inilah pandangan yang melandasi metode pengakraban hubungan. Hubungan akrab yang dimaksud adalah hubungan antara seorang pribadi dengan pribadi lain sedemikian rupa, sehingga dihayati


(47)

sebagai hubungan yang dekat, mendalam, saling percaya dan memahami. Selain itu, hubungan juga dirasakan sangat berarti bagi masing-masing pihak.

Metode ini menganjurkan agar seseorang membina hubungan yang akrab dengan orang tertentu (misalnya: anggota keluarga, teman, rekan sekerja). Hal ini disebabkan karena dalam hubungan pribadi yang akrab seseorang benar-benar merasa diperlukan dan memerlukan orang lain, dicintai dan mencintai orang lain tanpa mementingkan diri sendiri. Dalam hal ini seseorang merasa dirinya berharga dan bermakna, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Hal yang terpenting dalam metode ini adalah perasaan kedekatan yang senantiasa harus dipelihara dan ditingkatkan.

d. Pendalaman Tri-nilai

Yang dimaksud dengan ’Pendalaman Tri-nilai’ adalah usaha-usaha untuk memahami benar-benar nilai-nilai berkarya (creative values), nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values) yang dapat menjadi sumber makna hidup bagi seseorang.

1). Pendalaman Nilai-nilai Kreatif. Nilai ini intinya adalah memberikan sesuatu yang berharga dan berguna pada kehidupan. Pendalaman nilai-nilai kreatif membantu orang untuk lebih mencintai dan menekuni pekerjaan yang dihadapi atau sekurang-kurangnya melakukannya dengan penuh kesungguhan.

2). Pendalaman Nilai-nilai Penghayatan. Metode ini mengambil sesuatu yang bermakna di lingkungan luar dan mengalaminya. Mendalami nilai-nilai


(48)

penghayatan berarti mencoba memahami, meyakini dan menghayati berbagai nilai yang ada dalam kehidupan.

3). Pendalaman Nilai-nilai Bersikap. Metode ini memberi kesempatan kepada seseorang untuk mengambil sikap yang tepat terhadap kondisi dan peristiwa-peristiwa tragis yang telah terjadi dan tidak dapat dihindari lagi. Dengan mengambil sikap yang tepat, maka beban pengalaman tragis itu akan berkurang, bahkan mungkin peristiwa itu dapat memberikan pelajaran berharga dan menimbulkan makna tertentu, yang dalam bahasa sehari-hari disebut hikmah.

e. Ibadah

Menurut pengertian umum ibadah adalah segala kegiatan melaksanakan apa yang diperintahkan Tuhan, dan mencegah diri dari hal-hal yang dilarang-Nya menurut ketentuan agama. Dalam pengertian yang lebih khusus, ibadah adalah ritual untuk mendekatkan diri kepada Tuhan melalui cara-cara yang diajarkan dalam agama. Ibadah yang dilakukan secara khidmat sering menimbulkan perasaan tenteram, mantap dan tabah, serta tak jarang menimbulkan perasaan-perasaan seakan-akan mendapat bimbingan dalam melakukan tindakan-tindakan penting.

Menjalani hidup sesuai dengan tuntunan agama memberikan corak penghayatan bahagia dan bermakna bagi si pelaku. Doa merupakan salah satu bentuk ibadah dan sarana penghubung psikis dan spiritual antara manusia dengan Sang Pencipta. Ibadah dan doa dapat memberikan makna tertentu pada seseorang apabila orang itu benar-benar melaksanakan dengan baik dan penuh kesungguhan.


(49)

Sehubungan dengan metode ibadah ini, maka berdoa bagi kebaikan orang lain (termasuk orang yang tidak disukai) termasuk ibadah yang dapat memberikan makna khusus bagi orang yang berdoa.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat lima metode untuk menemukan makna hidup, yaitu: pemahaman pribadi, yang bertujuan untuk mengenali dan memahami diri sendiri, termasuk kekurangan dan kelebihan diri sendiri; bertindak positif, yang diawali dengan berpikir positif dan kemudian melakukan perilaku yang positif; pengakraban hubungan, yaitu membina hubungan yang akrab dengan orang tertentu; pendalaman tri-nilai, yaitu usaha-usaha untuk memahami sumber makna hidup bagi seseorang; dan metode ibadah, yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan dan senantiasa berdoa kepada-Nya.

II.B. Penderitaan dan Pandangan Logoterapi Mengenai Penderitaan

Menurut Bastaman (1996) penderitaan tampaknya merupakan bagian integral dari kehidupan manusia, karena eksistensi manusia senantiasa berkisar antara senang dan susah, tawa dan air mata, derita dan bahagia. Dengan demikian lepas dari berat-ringannya penderitaan, setiap orang dalam hidupnya pasti pernah mengalaminya, dan siapa pun yang merasa belum pernah mengalami penderitaan pasti pada suatu saat akan mengalaminya juga.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Bastaman, 1996) menggambarkan penderitaan sebagai ”proses, perbuatan, cara menderita, dan penanggungan” yang terkait dengan sesuatu yang tidak menyenangkan, seperti sakit, cacat,


(50)

kesengsaraan dan kesusahan. Atas dasar uraian tersebut, maka penderitaan dapat dirumuskan sebagai perasaan tak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Rumusan ini mengandung beberapa unsur, yaitu:

1. Perasaan yang tidak menyenangkan. Unsur emosi ini tak terpisahkan dari penderitaan, dan dihayati secara unik oleh masing-masing penderita dengan intensitas yang berbeda-beda, mulai dari sekedar perasaan tak nyaman yang temporer sampai dengan kesedihan mendalam yang berlangsung lama.

2. Reaksi-reaksi atas penderitaan yang dialami. Seperti halnya dengan perasaan yang tak menyenangkan, reaksi seseorang atas penderitaan sifatnya individual dan unik, serta terungkap dalam berbagai perilaku yang terletak diantara polar ”berontak” dan ”menerima”. Travelbee (dalam Bastaman 1996) menyebut tipe-tipe reaksi ini sebagai ”The why me reaction” dan “The acceptance reaction”, atau bahkan “The why not me reaction”. Yang pertama adalah corak reaksi yang paling sering terjadi pada orang-orang yang sedang mengalami penderitaan. Mereka seakan-akan mempertanyakan mengapa nasib buruk itu yang menimpa diri mereka, dan bukan terjadi pada orang lain. Reaksi tidak menerima ini biasanya terungkap dalam bentuk-bentuk marah, mengasihani diri sendiri, depresi, tidak peduli, apatis dan mencari-cari kesalahan pada orang lain. Selanjutnya, yang kedua adalah reaksi menerima dengan penuh kesabaran penderitaan yang sedang dialami. Sedangkan yang ketiga adalah reaksi berupa kesediaan untuk mengambil alih dan mengalami sendiri penderitaan yang menimpa orang lain, khususnya orang yang dikasihi.


(51)

Ini sama sekali bukan masochistis, melainkan reaksi yang lebih banyak didasari oleh keyakinan agama dan filsafat hidup yang menganggap bahwa penderitaan merupakan bagian intrinsik dari kehidupan manusia dan kesediaan berkorban untuk menanggung penderitaan orang lain merupakan perbuatan yang mulia.

3. Seseorang yang menderita. Dalam rumusan ini unsur penderita diartikan secara luas. Tidak saja penderitaan itu dirasakan oleh orang yang langsung mengalaminya sendiri, tetapi derita yang menimpa orang-orang yang dicintai akan dirasakan pula sebagai penderitaan oleh orang yang mencintainya. Contoh paling nyata adalah penderitaan yang sedang dialami seorang anak akan dirasakan pula sebagai penderitaan oleh kedua orang-tua yang mengasihinya.

4. Kesulitan-kesulitan yang menimbulkan penderitaan. Jenis keempat ini ternyata banyak ragamnya, seperti penyakit-penyakit badani, gangguan-gangguan dan penyakit kejiwaan, keterpisahan (cerai, lari, mati, terkucil menyendiri), dosa dan kesalahan, kegagalan, dan sebagainya. Bahkan tidak jarang status tinggi dan kemewahan ditanggapi justru sebagai hal menyusahkan bagi orang-orang yang hampa hidupnya. Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyebut hal ini sebagai “the tragic triads of human existence”, yakni tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia, yaitu pain (sakit), guilt

(salah), dan death (maut).

a. Sakit (pain) secara komprehensif dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan mental atau fisik yang kurang baik atau kegelisahan mental dan fisik.


(52)

Intensitas sakit (pain) berkisar dari mulai setengah gelisah atau penderitaan yang membosankan hingga penderitaan yang akut bahkan seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan secara

“generelized” atau “localized”, sebagai akibat dari korban kecelakaan atau luka secara fisik atau luka secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari, melarikan diri atau menghancurkan faktor kausatif dan yang menyebabkannya (Travelbee, dalam Bastaman, 1996).

b. Salah (guilt) merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tak sesuai dengan hati nurani. Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan, dan tindakan seseorang sesuai dengan tolok ukur tertentu. Secara umum dikenal bermacam-macam rasa salah, seperti fantasy guilt, situation guilt, dan real guilt. Semuanya dianggap melanggar hati nurani dan norma-norma sosial, dan biasanya berakhir dengan penyesalan. Selama orang masih merasa menyesal atas kesalahan-kesalahan yang dilakukannya itu menandakan bahwahati nuraninya masih berfungsi.

c. Kematian (death), baik kematian sendiri maupun kematian orang lain merupakan tragedi alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya. Tetapi sikap orang terhadap kematian pada umumnya paradoksal. Di satu pihak menyadari bahwa kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang sekali secara serius bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih bila menyangkut kematian sendiri.


(53)

Menurut Bastaman (1996) ketiga fenomena tersebut (pain, guilt, dan

death) sebagai wujud dari ”the tragic triads” oleh Logoterapi dipandang sebagai tanda kefanaan (mortality) manusia. Manusia tidak mungkin hidup selamanya dengan selalu berjaya tanpa cela. Setiap manusia dalam hidupnya pasti pernah mengalami kegagalan, kesalahan, dosa, sakit dan derita, dan pada akhirnya akan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Hal ini tidak berarti bahwa Logoterapi mengembangkan pandangan hidup pesimistis, tetapi sebaliknya Logoterapi menganjurkan sikap optimistis dalam menghadapi penderitaan dalam kaitannya dengan penemuan makna hidup. Hidup bermakna dicapai melalui proses penemuan dan pemenuhan makna hidup dengan jalan memberikan sesuatu kepada kehidupan melalui kegiatan berkarya dan bekerja, menerima sesuatu dari kehidupan dengan meyakininya sebagai hal yang bernilai, menghayati cinta kasih dan mengasihi sesama manusia, serta mengambil sikap tepat dalam menghadapi penderitaan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

Fenomenologi memandang penderitaan sebagai bagian integral dari kehidupan dan merupakan aspek intrinsik dalam eksistensi manusia sebagai makhluk fana (mortal being). Dalam menghadapi penderitaan, setiap manusia wajib berupaya seoptimal mungkin untuk mengatasinya, tetapi bila ternyata penderitaan itu tidak dapat dihindarkan lagi, maka tiba saatnya penderitaan itu harus diterima sebagai bagian dari hidupnya. Penerimaan diri ini, harus diakui, memang tidak mudah dilakukan karena selain memerlukan kesediaan dan kesadaran akan pentingnya mengubah sikap terhadap pendritaan, juga


(54)

memerlukan dukungan kekeluargaan dan persahabatan dari lingkungan terdekat, serta bantuan profesional (Bastaman, 1996).

Dalam pandangan Logoterapi, makna penderitaan bukan semata-mata terletak dalam keberhasilan mengatasinya, melainkan juga dalam kesediaan untuk mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang tidak dapat dihindari lagi. Keberhasilan mengatasi penderitaan sendiri (dan orang lain) merupakan wujud nyata pemenuhan nilai-nilai kreatif (creative values), sedangkan kesediaan menerima kondisi tragis yang tak dapat diatasi – bahkan mampu menemuka makna dari penderitaannya itu merupakan prestasi monumental dalam memenuhi nilai-nilai penghayatan (experiental values) dan nilai-nilai bersikap (attitudinal values). Semuanya seakan-akan membuka gerbang ke arah hidup yang bermakna (Bastaman, 1996).

II.C. Orang-tua Tunggal

II.C.1. Definisi Orang-tua Tunggal

Menurut Perlmutter dan Hall (1995), orang-tua tunggal adalah orang-tua tanpa partner (pasangan) yang secara kontinu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri.

Pengertian orang-tua tunggal menurut Sager, dkk (dalam Duvall & Miller, 1995) adalah orang-tua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan, atau tanggung jawab pasangannya. Laswell (dalam Wolf, 1995) mengatakan bahwa orang-tua tunggal muncul karena kematian pasangan dan


(55)

putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang-tua tunggal adalah seorang pria ataupun wanita yang pernah menikah atau tidak menikah, yang secara sendirian bertanggung jawab membesarkan anaknya tanpa didampingi oleh pasangannya.

II.C.2. Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Orang-tua Tunggal

Menurut Glasser dan Navarre (1999), terdapat empat perbedaan utama antara keluarga utuh dan keluarga orang-tua tunggal, yaitu:

a. Struktur Tugas

Berbagai tugas utama dalam keluarga merupakan tanggung jawab orang-tua. Memenuhi kebutuhan fisik, emosi, dan sosial dari seluruh anggota keluarga adalah pekerjaan bagi kedua orang-tua. Jika tugas tersebut harus dilakukan oleh satu orang-tua, maka orang tersebut harus cukup matang, kompeten dan memiliki cukup waktu untuk melakukan tugasnya. Walau demikian tetap sulit bagi satu orang-tua untuk dapat mengambil alih semua tugas dua orang-tua sekaligus dalam jangka waktu yang panjang.

Dukungan kekuatan, pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh orang-tua. Jika harus dilakukan oleh satu orang-tua saja, maka ada berbagai keterbatasan yang dimilikinya, yaitu keterbatasan waktu dan tenaga serta keterbatasan sosial, dimana


(56)

tugas-tugas yang bersifat pria atau wanita harus dilakukan oleh orang-tua tunggal dalam menjalankan peran ganda, baik sebagai ibu maupun sebagai ayah.

b. Struktur Komunikasi

Bagi anak, orang-tua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu:

1). Sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya diinternalisasi oleh orang-tua.

2). Sebagai penghubung dan mewakili anak dalam dunia orang dewasa.

Berdasarkan asumsi bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia, maka seorang anak akan mengalami gangguan dalam saluran komunikasinya jika hanya ada satu orang-tua. Tipe dan kualitas pengalaman orang-tua cenderung diatur menurut jenis kelaminnya. Dalam keluarga dengan dua orang-tua bukan hanya anak yang memperoleh pengalaman yang lebih bervariasi, tetapi orang-tua melalui pasangannya dapat mengetahui tipe pengalama dari lawan jenisnya.

c. Struktur Kekuasaan

Orang-tua punya tanggung jawab penuh dalam keluarga. Oleh karena itu, kehidupan keluarga dengan satu orang-tua, dalam setiap situasi orang-tua tunggal akan dihadapkan pada pilihan untuk bekerja sama atau menentang si anak. Dengan kondisi yang demikian, anak akan melihat otoritas sebagai pribadi daripada kesepakatan bersama. Jika orang-tua tunggal tersebut tidak punya


(57)

pengalaman untuk mengambil keputusan secara demokratis, maka akan mempersulit hubungan dengan anaknya.

Pengambilan keputusan menjadi tanggung jawab orang-tua dari dua jenis kelamin, baik ayah maupun ibu dalam keluarga utuh. Dalam keluarga orang-tua tunggal, figur otoritas atau pemegang kekuasaan dipegang oleh satu jenis kelamin saja, sehingga bagi anak tiap keputusan yang diambil diidentifikasikan dengan jenis kelamin tersebut.

d. Struktur Afeksi

Kebutuhan emosional bagi anggota keluarganya merupakan tanggung jawab orang-tua untuk memenuhinya. Orang-tua harus memiliki kasih sayang dan rasa aman yang diperlukan anak untuk mempertahankan stabilitas emosionalnya dalam keadaan yang menekan (stres) dan dapat menghilangkan perasaan-perasaan negatif yang ada dalam diri si anak.

Struktur keluarga merupakan elemen penting dalam menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional. Pada keluarga dengan orang-tua tunggal, terjadi perubahan dalam struktur keluarga dengan dua orang-tua sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai kesulitan.

Berdasarkan berbagai struktur dalam keluarga tersebut, tampak jelas bahwa keluarga orang-tua tunggal mempunyai kekurangan dan keterbatasan jika dibandingkan dengan keluarga utuh. Hal ini dapat menimbulkan berbagai kesulitan pada keluarga dengan orang-tua tunggal.


(58)

II.C.3. Masalah yang Dihadapi oleh Orang-tua Tunggal

Setiap keluarga memang tidak akan lepas dari berbagai masalah yang harus dihadapi, namun orang-tua tunggal memiliki masalah yang khusus. Weiss (dalam Leslie & Korman, 1995) mengidentifikasikan adanya tiga sumber ketegangan pada orang-tua tunggal, yaitu:

a. Tanggung jawab yang berlebihan

Dalam keluarga dengan dua orang-tua, pengambilan keputusan merupakan tanggung jawab bersama. Suami dan istri membicarakan dan merencanakan segala sesuatunya secara bersama-sama. Pada orang-tua tunggal bertanggung jawab sendiri untuk mengambil keputusan, merencanakan serta memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya.

b. Tugas yang berlebihan

Mereka harus mengambil alih semua pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh dua orang. Mereka harus bekerja untuk memperoleh penghasilan, mengurus rumah, dan memperhatikan semua kebutuhan anak-anaknya. Menghadapi semua tugas tersebut setiap hari membuat mereka lelah dan jarang memiliki waktu untuk mereka sendiri.

c. Emosi yang berlebihan

Orang-tua tunggal harus mengatasi sendiri kebutuhan emosi anaknya. Hal ini disebabkan waktu mereka habis untuk bekerja, mengurus rumah dan keluarga, sulit untuk memenuhi kebutuhan emosi dan keinginan mereka sendiri.


(59)

Menurut Duncan (”Sulitnya menjadi orang-tua tunggal,”2007), pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga yang hanya dipimpin oleh orang-tua tunggal adalah masalah anak. Tugas utama orang-tua memang membesarkan anak, jadi tugas tersebut kini harus ditanggung sendiri oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal.

Perlmutter dan Hall (1995) menyatakan bahwa dalam keluarga orang-tua tunggal, satu orang-tua bertanggung jawab untuk menghadapi semua tugas yang biasnya dilakukan oleh dua orang-tua. Orang-tua tunggal harus bertanggung jawab penuh untuk mengurus rumah, mengatur keuangan, merawat anak, dan memenuhi kebutuhan emosi anak.

Menurut Egelman (2004), terdapat tiga dampak umum keluarga orang-tua tunggal bagi orang-tua, yaitu:

a. Multitasking, yaitu konflik peran yang muncul pada orang-tua tunggal karena banyaknya peran yang harus dilakukan dalam waktu yang bersamaan.

b. Solo Parenting, yaitu kesulitan dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan hidup sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak.

c. Issues of self, yaitu self image pada orang-tua tunggal akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orang-tua.

Selanjutnya, Lopata (dalam Dyer, 1983) mengemukakan bahwa masalah utama yang dialami oleh individu yang telah kehilangan pasangannya adalah kesepian. Serupa dengan pendapat tersebut, Kimmel (1990) menegaskan bahwa


(60)

kesepian merupakan masalah bagi orang-tua tunggal, perasaan terjebak oleh keharusan menjadi orang-tua dan mencari penghasilan, kurangnya waktu untuk diri sendiri, kelelahan karena tanggung jawab yang berat untuk mengasuh anak dan membesarkan anak sendirian.

Latar belakang pendidikan dan kelas sosial juga merupakan faktor yang penting dalam memperkirakan seberapa baik janda atau duda dapat beradaptasi dengan perubahan hidup mereka. Lopata (dalam Belsky, 1990) menyebutkan bahwa janda yang berlatar belakang pendidikan rendah dan memiliki kelas sosial yang menengah ke bawah pada umumnya merasakan depresi dan terisolasi secara sosial.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, terlihat bahwa menjadi orang-tua tunggal bukanlah hal yang mudah, karena harus mengalami berbagai masalah dan kesulitan. Masalah utamanya berkaitan dengan tugas yang berlebihan, dimana orang-tua tunggal berperan ganda, menjadi ayah dan ibu sekaligus bagi anak-anaknya.

II.C.4. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Berperan sebagai Orang-tua Tunggal

Menurut Hurlock (1991), terdapat beberapa masalah-masalah umum pada wanita yang menjanda, yaitu:

a. Masalah Ekonomi

Akibat inflasi yang terus meningkat, apa yang diterima janda secara turun temurun jauh kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka.


(1)

Wolf, J. (2005). Single-Parent. [Online]. http://www.wikipedia.org/wiki/single-parent. Tanggal akses 31 Agustus 2007.


(2)

LAMPIRAN A

PEDOMAN WAWANCARA

I. Identitas Responden

II. Penghayatan wanita dalam menghadapi perasaan duka cita setelah kematian suaminya:

a. Bagaimanakah cara responden merepresentasikan perasaan duka cita yang dialaminya, yang meliputi:

1. Sensasi fisik 2. Perasaan

3. Pikiran atau kognisi 4. Perilaku

5. Kesulitan sosial 6. Pencarian spiritual

b. Bagaimanakah fase-fase dalam melewati perasaan duka cita yang dilalui responden saat suaminya meninggal, yang terdiri dari:

1. The avoidance phase 2. The confrontation phase 3. The reestablishment phase

c. Berapa lama waktu yang dibutuhkan responden untuk beradaptasi dengan kondisi kehilangan pasangan hidup?

d. Bagaimanakah cara responden beradaptasi dengan kondisi kehilangan pasangan hidup?


(3)

III. Permasalahan hidup yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal:

a. Bagaimanakah perubahan hidup yang dialami oleh responden sebelum dan setelah menjadi orangtua tunggal, yang meliputi perubahan dalam:

1. Masalah ekonomi 2. Masalah keluarga 3. Masalah tempat tinggal 4. Masalah sosial

5. Masalah praktis 6. Masalah seksual

b. Bagaimanakah permasalahan hidup yang dialami oleh responden ketika menjadi orangtua tunggal serta masalah apa yang paling utama dan dianggap paling berat?

c. Bagaimanakah cara responden dalam menghadapi setiap permasalahan tersebut?

d. Apakah responden mengalami ketegangan sebagai orangtua tunggal, yang dapat dilihat melalui:

1. Tanggung jawab yang berlebihan 2. Tugas yang berlebihan

3. Emosi yang berlebihan

IV. Penghayatan wanita dalam menghadapi penderitaan sebagai orangtua tunggal: a. Bagaimanakah unsur-unsur dari penderitaan yang dialami oleh


(4)

b. Bagaimanakah cara responden menyikapi penderitaannya sebagai orangtua tunggal?

V. Gambaran makna hidup pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal: a. Bagaimanakah penghayatan hidup bermakna dan atau penghayatan hidup

tidak bermakna pada responden?

b. Bagaimanakah proses penemuan makna hidup pada responden yang berperan orangtua tunggal karena kematian pasangannya?

c. Apakah yang menjadi sumber kekuatan bagi responden ketika menjalani hidup sebagai orangtua tunggal?

d. Bagaimanakah komponen perubahan penghayatan makna hidup pada responden?

e. Bagaimanakah metode yang digunakan responden untuk menemukan makna hidup?

f. Hal apakah yang dianggap paling berharga dan bernilai bagi responden dan mengapa hal tersebut dianggap paling berharga dan bernilai?

g. Bagaimanakah pengaruh kematian suami serta perasaan duka cita terhadap pemaknaan hidup pada responden?


(5)

LAMPIRAN B PEDOMAN OBSERVASI

Nama Responden :

Hari/Tanggal Wawancara :

Waktu Wawancara :

Tempat wawancara :

Wawancara ke :

Hal-hal yang diobservasi: 1. Penampilan fisik responden 2. Setting wawancara

3. Sikap responden pada iter 4. Sikap iter pada responden

5. Hal-hal yang menganggu wawancara

6. Hal-hal yang unik, menarik, dan tidak biasa dalam wawancara 7. Hal-hal yang sering dilakukan responden selama wawancara


(6)

LAMPIRAN C INFORM CONCERN

LEMBAR PERSETUJUAN WAWANCARA

Perjanjian ini berkaitan dengan penelitian dalam rangka pemenuhan Tugas Akhir yang dilakukan oleh Renny Vidya Wahyuly, Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara 2008 sebagai peneliti, maka sehubungan dengan penelitian Tugas Akhir yang dilakukan oleh peneliti, maka peneliti meminta izin dalam hal ini pengambilan data terhadap responden.

Peneliti dalam hal ini akan menggunakan data wawancara hanya untuk kepentingan Tugas Akhir. Peneliti akan berjanji tidak akan membeberkan hasil wawancara kecuali untuk kepentingan Tugas Akhir.

Responden yang disebutkan namanya di bawah ini akan bersedia memberikan data wawancara yang berkaitan dengan penelitian Tugas Akhir tersebut.

Nama :

Tanda Tangan :

Medan, Februari 2008