Landasan Teoritis Ulama dan Politik Praktis

B. Rumusan Masaalah

Yang menjadi landasan kenapa penulis ingin membahas hal ini adalah sebagai berikut: 1. Mengapa ulama mau terlibat dalam politik praktis,? 2. Sejauh mana pengaruh ulama dalam kebijakan pemerintah dan sistem politik Indonesia,? 3. Apa dampak polsitif dan negatife jika ulama terjun kedunia politik praktis.? 4. Menurut ajaran islam sejauh mana keterlibatan ulama dalam politik dan aktifitas politik apa saja yang seharusnya dilakukan oleh para ulama,?

C. Landasan Teoritis

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. OG Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa. Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. 2 BAB II PEMBAHASAN

A. Sejarah Perpolitikan Ulama di Indonesia 1. Masa Orde Lama

Pada awal-awal kemerdekaan, sejarah mencatat bahwa umat islam berhasil mendirikan sebuah partai yang bernuansa keislaman yang diberi nama Masyumi. Partai Masyumi didirikan pada tanggal 7-8 November 1945 yang sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin umat islam dalam sebuah kongres bertempat di gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. 1 Pendukung utama Partai Masyumi adalah Muhammadiyah dan NU dan hampir semua organisasi Islam Nasional maupun lokal mendukung Masyumi kecuali Perti. Tujuan dari partai Masyumi adalah melanjutkan perjuangan dibidang politik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia merdeka. Pada masa itu umat islam telah bersatu dan Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam. 2 Diera 1950-an Masyumi adalah salah satu dari empat partai besar yang ada di Indonesia pada saat itu, seperti yang telah saya singgung di atas bahwa Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi islam terbesar dan mempunya banyak masa bila kita bandingkan dengan organisi islam lainnya. Berdasarkan kenyataan ini dapat dibayangkan apabila salah satu dari dua organisasi besar ini mengundurkan diri dari Masyumi, maka partai ini akan kehilangan salah satu sayapnya pesantren atau reformis dari tubuhnya, dan memang kenyataan inilah yang terjadi pada awal 1950-an. 3 Partai Masyumi pecah ini antara lain disebabkan oleh pembagaian kekuasaan yang tidak seimbang didalam pemerintah. NU mengharapkan agar kursi mentri agama dapat ditunjuk dari golongan mereka. Namun Dewan Syura Masyumi memutuskan memilih KH. Fakih Usman berasal 1 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal 31 2 Dehar Noer, Islam dan Politik, Jakarta: Yayasan Risalah, 2003, hal 149 3 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal 33 3 dari Muhammadiyah untuk menduduki kursi Mentri Agama. 4 Kegagalan tersebut semakin memotifasi ulama tradisional untuk keluar dari partai ini dan mendirikan partai sendiri yang diberi nama NU. Dengan adanya perpecahan dua partai ini bukan hanya mengakibatkan perpecahan dari dua golongan ulama tersebut, tetapi juga membuat umat islam yang ada di Indonesia saat itu menjadi terpecah belah. Dari kasus ini adapat kita lihat bahwa dalam hal politik ulama sudah mulai mementingkan kelompok masing-masing dan tidak melihat keadaan umat islam pada saat itu. Pada tahun 1960-an partai Masyumi dibekukan dan tinggal PNU sebagai satu-satunya partai Islam yang ada di Indonesia.

2. Masa Orde Baru

Kegagalan percobaan kudeta PKI pada 30 September 1965 memberikan konsekuensi bahwa Orde Lama akan hancur dan muncul pemerintahan Orde Baru. 5 Banyak yang menganggap bahwa kehancuran Komunis akan memberikan peran penting PNU dalam membina umat dan memajukan Negara ini dan islam akan kembali menjadi kekuatan politik sebagai mana terjadi pada masa demokrasi parlementer. Namun dengan taktik pemerintah yang didukung oleh militer dengan penundaan pemilu sampai tahun 1971 dan menjadikan Golkar sebagai organisasi politik yang mendukungnya, harapan tokoh islam tidak menjadi kenyataan karena pada saat itu Golkar menang dengan memperoleh suara 62. 6 Pada masa Orde Baru, PNU bergabung dengan PPP. Ketika Orde Baru ingin menguasai kekuasaan, Soeharto membujuk ulama untuk bergabung bersama Golkar. Sekjak itulah ulama ada yang di PPP dan ada juga yang di Golkar, dan hal itu semakin membuat perpecahan dikalangan umat islam. Pada era tersebut untuk meraih suara umat, para ulama yang tergabung di Golkar dan PPP melakukan berbagai cara, bahkan mereka juga sempat 4 Hasbi Indra, Pesantren dan Transpormasi Sosial” Jakarta: Penerbit Penamadani, 2005, hal 51 5 Nanang Tahqiq, Politik Islam, Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2004, hal 191 6 Ibid, hal 191 4 mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa “umat Islam haram hukumnya apabila tidak memilih PPP”. Dengan kasus tersebut jelas bagi kita bahwa pada saat itu ulama kita sudah berani berfatwa halal dan haram dalam memilih partai yang notabene belum tentu bersih, bijaksana dan diridhai oleh Allah.

3. Masa Reformasi

Pada pemilu pertama masa reformasi partai politik islam PPP sudah mulai melakukan berbagai cara supaya bisa memperoleh kekuasaan tertinggi di Negara ini walaupun harus melakukan berbagai cara yang tidak adil. Seperti hal yang terjadi pada pemilu 1999, pada pemilu tersebut jelas-jelas bahwa partai yang memenangkan pemilu adalah PDIP dan yang berhak menjadi Presiden pada saat utu adalah Megawati Soekarno Putri. Namun dengan taktik politiknya ulama- ulama PPP mengeluarkan fatwa bahwa dalam ajaran islam ditegaskan perempuan tidak boleh untuk menjadi pemimpin. Maka dengan berat hati Megawati harus rela jabatannya diberikan kepada Abdurahman Wahed dan Megawati harus puas denga jabatan sebagai Wakil Presiden. Namun setelah presiden Abdurahman Wahid dilengserkan dari jabatannya karena berbagai hal, maka otomatis posisi Presiden RI digantikan oleh Wakil Presiden yaitu Megawati, dan para ulama PPP akhirnya mencabut fatwa pertamanya karena alasan mudharat. Tetapi menurut pengamatan banyak orang, alasan kenapa PPP mengeluarkan fatwa yang demikian karena Megawati mengajak Hamzahas yang merupakan kader PPP untuk menjadi wakilnya. 7 Jadi jelas bagi kita bahwa fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh para ulama bukan berdasarkan kebutuhan Agama atau umat Islam, tetapi melainkan karena kepentingan Partai atau golongan mereka.

B. Ulama dan Politik Praktis

7 Diskusi dengan salah seorang dosen tanggal 1 mei 2012 di Banda Aceh 5 Keterlibatan ulama dalam politik praktis baik sebagai calon maupun sebagai pendukung calon Kepala Daerah, DPR, Presiden dan lain-lain menimbulkan kekhawatiran dari banya kalangan, karena leterlibatan ulama dalam kancah politik praktis tersebut dikhawatirkan akan memecah berlahkan umat islam. Ulama adalah orang yang menempati kedudukan tertinggi dimata umat, hal itu disebabkan karena kharismanya, ulama memiliki kelebihan dalam spiritual keagamaan serta kearifan, dan ulama juga memiliki beban membimbing, mengarahkan umatnya kejalan yang diridhoi oleh Allah swt ulama juga merupakan tempat untuk bertanya dan konsultasi tentang kehidupan oleh semua umatnya. 8 Disamping itu Ulama dijadikan sebuah simbol pencitraan kepada masyarakat. Citra diri yang ingin dibentuk manakala calon tersebut menggandeng ulama adalah citra yang religius dengan komitmen mengangkat nilai-nilai religius Islam. 9 Dengan peran tersebut membuat banyak perkataan ulama didengar oleh umat yang selalu setia mengikutinya. Namun dewasa ini dengan kedudukan itulah membuat ulama menjadi rebutan banyak golongan, termasuk partai politik dan mereka melamar para ulama untuk menjadi wakil calon kepala daerah, calon anggota dewan dari partai mereka, dan mereka juga menggunakan ulama sebagai pendukung setia mereka karena perkataan ulama sangat dihargai oleh umat dan umat bisa memilih kandidat yang didukung oleh para ulama. Ketika ulama tergoda dengan politik praktis, maka ulama tidak lagi sebagai pengayom umat, dan pengarah umat kejalan agama, tetapi ulama sudah berubah fungsi menjadi Makelar Politik Political Brokers. Pada masa reformasi sampai saat ini sudah banya partai politik yang dikemudikan oleh para ulama. Para ulama yang mengemudikan partai-partai 8 http:muhammadidolaq.blogspot.com201103jika-kiai-jadi-politisi.html , diakses tgl 29 April 2012 9 http:edikusmayadi.blogspot.com201203ulama-dan-politik-lokal.html , diaksese tanggal 29 April 2012 6 politik tersebut dewasa ini tidak hanya melakukan perang fatwa untuk memenangkan golongannya, akan tetapi perperangan dikalangan ulama dalam hal politik sudah semakin memanas, mereka sudah berani berperang ayat dan hadis demi memenangkan kelompok-kelompok mereka. Jangan heran apabila dalam pemilukada persaingan para ulama semakin memanas karena setiap ulama mempromosikan calon mereka masing-masing, dan terkadang ulama dalam berkampanye berani memnipulasi ayat-ayat agama demi memenangkan kandidat yang didukungnya. Oleh karena itu, ulama yang terlibat atau melibatkan diri keranah pilkada secara tidak sadar bukan membuat umat islam bersatu, akan tetapi mereka telah memecah belahkan umat dalam kotak- kotak politik.

C. Pengaruh Ulama dalam Kebijakan Pemerintah dan Sistem Politik Indonesia.