Sindroma Guillain-Barre

(1)

SINDROMA GUILLAIN-BARRE

Dr. IRINA KEMALA NST

NIP. 19800903 200604 2 001

DEPARTEMEN NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN USU / RSUP H. ADAM MALIK

MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Sindroma Guillain Barre menggambarkan sekumpulan manifestasi sindroma klinis dari poliradikulopati inflamasi akut yang menyebabkan kelemahan dan terganggunya refleks.

Penatalaksanaan SGB memiliki dua komponen yaitu perawatan suportif dan perawatan spesifik.

Melalui tulisan ini akan dibahas mengenai patofisiologi serta penatalaksanaan Sindroma Guillain-Barre. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu kewajiban dalam menjalani pendidikan keahlian dibidang Ilmu Penyakit Saraf.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kepada Dr. Rusli Dhanu, SpS(K) selaku pembimbing I dan Prof.DR.Dr. Hasan Sjahrir, SpS(K) selaku pembimbing II atas bimbingan dan pengarahannya dalam penulisan laporan kasus ini.

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis maupun pembaca.

Hormat saya,


(3)

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ………. ii

Kata Pengantar ………. iii

Daftar Isi ……….. iv

Daftar Singkatan ……….. vi

Daftar Tabel ………. vii

Daftar Gambar ………. vii

Abstrak ………. viii

Abstract ………. ix

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ……….. 1

2. Tujuan Penulisan ……… 1

3. Manfaat Penulisan ………. 1

II. LAPORAN KASUS 1. Identitas ………. ……….. 2

2. Anamnesis ……….. 2

3. Pemeriksaan Fisik ………... 2

4. Pemeriksaan Neurologis ………. 3

5. Diagnosa ……….……… 4

6. Pemeriksaan penunjang……….. 5

7. Kesimpulan Pemeriksaan ………. 5

8. Diagnosa Akhir ………. 6

9. Penatalaksanaan ……… 6

10.Prognosa ……… 6

III. TINJAUAN PUSTAKA 1. Defenisi ………. 7

2. Epidemiologi ………. 7

3. Etiologi ... 7


(4)

5. Patogenesis...………... 8

6. Gambaran Klinis ……… 10

7. Prosedur Diagnostik ……….. 10

8. Diagnosis Banding ………. 11

9. Penatalaksanaan ……… 12

10. Prognosis ……… 14

IV. DISKUSI KASUS ……….. 15

V. PERMASALAHAN ……… 15

VI. KESIMPULAN ……….. 16

VII. SARAN ……….. 16

VIII. DAFTAR PUSTAKA ……… 17


(5)

DAFTAR SINGKATAN

CSS : Cairan Serebrospinal

IVIG : Intravenous Immunoglobulin

LMN : Lower Motor Neuron

PE : Plasma Exchange


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi Sindroma Guillain-Barre... 8

Tabel 2. Diagnostic criteria for Guillain-Barre Syndrome………....…….. 11

Tabel 3. Skala disabilitas untuk SGB ……….. 13

Tabel 4. Treatment og GBS: IVIG vs PE ……….. 14

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Immunopathogenesis Sindroma Guillain-Barre ... 9


(7)

ABSTRAK

Sindroma Guillain-Barre dikarakteristikkan sebagai onset akut adri gangguan saraf perifer dan kranial. Tanda dan gejala termasuk kelemahan dengan progresivitas yang cepat dan simetris serta hilangnya refleks tendon. Plasmapheresis atau infus intravena human gamma globulin dini meningkatkan perbaikan dan mengurangi insiden disabilitas jangka panjang. dari Pada kasus ini dilaporkan seorang pria, 50 tahun, datang ke RSUP.H.Adam Malik Medan dengan keluhan utama lemah seluruh anggota gerak. Dari pemeriksaan neurologis ditemukan tetraparesis flaksid, penurunan refleks biseps/trisep dan APR/KPR, hipoestesi pada Th4-Th5 kebawah dan inkontinensia urin dan alvi. Dari pemeriksaan lumbal punksi ditemukan level protein dan jumlah sel normal. Penderita didiagnosa dengan Sindroma Guillain-Barre dan direncanakan untuk dilakukan plasma exchange.


(8)

ABSTRACT

The Guillain-Barre Syndrome is characterized by acute onset of peripheral and cranial nerve dysfunction. Symptoms and signs include rapidly progressive and symetrical weakness with loss

of tendon reflexes. Early plasmapheresis or intravenous infusion of human gamma globulin

accelerate recovery and diminished the incidence of long term neurologic disability. This is a case report of male, 50 years, admitted to RSUP.H.Adam Malik Medan with major complain is weakness in all extremities. From neurologic examination we found flaccid tetraparesis, decreases in biseps/ triseps and APR/KPR reflex on all extremities, hypoestesia in Th4-Th5, and incontinence urine et alvi From lumbar puncture we found level protein and cell were normal. The patient diagnosed as Guillain-Barre Syndrome and planned to receive plasma exchange.


(9)

I. PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG

Sindroma Guillain Barre (SGB) menggambarkan sekumpulan manifestasi sindroma klinis dari poliradikulopati inflamasi akut yang menyebabkan kelemahan dan terganggunya refleks 1. Sindroma Guillain Barre merupakan penyebab paralisis flaksid akut tersering di Eropa. Penyakit ini umumnya akan mengalami perbaikan secara sempurna, namun pada sebagian kasus mengalami kecacatan menetap dan bahkan pada sekitar 4-15% kasus meninggal dunia.

Sindroma Guillain Barre dikenal sebagai beberapa gangguan yang ditandai oleh suatu serangan immune-mediated pada saraf tepi, khususnya pada myelin sheath atau sel Schwann dari saraf motorik atau sensorik.

2

Infeksi gastrointestinal atau pernafasan ringan mendahului gejala neuropatik pada 1 hingga 3 minggu sebelumnya (kadang-kadang lebih lama) pada sekitar 60% kasus. Penelitian ini menunjukkan bahwa Campylobacter jejuni adalah organisme penginfeksi yang paling sering dijumpai namun hanya dijumpai pada proporsi kecil kasus.

3

Tiga macam pengobatan telah diuji secara luas pada SGB yaitu terapi kortikosteroid,

plasma exchange, dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Dari ketiganya, plasma exchange

dan IVIG yang memperlihatkan keefektifan.

4

2

I.2. Tujuan Penulisan

Laporan kasus ini dibuat untuk membahas aspek epidemiologi, etiologi, patogenesis, gambaran klinik, penegakan diagnosa, perkembangan terapi serta prognosis dari penderita Sindroma Guillain Barre

I.3. Manfaat Penulisan

Dengan adanya laporan kasus ini diharapkan dapat diperoleh penjelasan lebih lanjut mengenai penatalaksaan yang tepat sehingga memberikan prognosa yang baik bagi penderita Sindroma Guillain Barre


(10)

II. LAPORAN KASUS

II.1. ANAMNESE PRIBADI

Seorang pria (ES), umur 50, suku Karo, pekerja petani, menikah, alamat Dusun I Bintang Meriah Kecamatan Kuta Buluh, masuk ke RS H.Adam Malik Medan pada tanggal 18 November 2009.

II.2. RIWAYAT PERJALANAN PENYAKIT

Keluhan Utama : Lemah keempat anggota gerak

Telaah : Lemah keempat anggota gerak telah dialami os sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, berlangsung secara perlahan-lahan. Diawali dengan rasa kebas pada kedua tungkai yang kemudian dikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Kelemahan pada tungkai bawah kemudian semakin memberat keesokan harinya sehingga os tidak dapat berjalan. Tiga hari kemudian rasa lemah ini terasa menjalar sampai ke lengan, juga disertai dengan rasa kebas dan semakin memberat sehingga os tidak dapat menggerakkan keempat anggota gerak sejak 1 minggu ini. Kemudian os juga mengeluh sesak nafas sejak 1 hari yang lalu. Riwayat demam (+) 5 hari sebelumnya, disertai batuk. Riwayat mencret (-). Riwayat trauma (-). Riwayat batuk lama (-)

RPT : -

RPO : tidak jelas

II.3. PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum :

Sensorium : Compos Mentis Tekanan Darah : 140 / 80 mmHg Nadi : 84 x / menit, reguler Pernapasan : 26 x / i


(11)

Kepala : norrmosefalik Thoraks : Simetris fusiform

Jantung : Bunyi jantung normal, Desah (-)

Paru-paru : Pernapasan vesikuler, suara tambahan (-) Abdomen : Soepel, peristaltik normal

Ekstremitas : Tetraparesis

II.4. PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

Sensorium : Compos Mentis

Tanda perangsangan meningeal : Kaku kuduk (-) Brudzinsky I : (-) Kernig (-) Brudzinsky II : (-) Tanda peninggian TIK : Sakit kepala (-) Kejang (-)

Muntah (-) NERVUS KRANIALIS :

N I : Normosmia

N II, III : Refleks cahaya + / +, pupil isokor, Ø 3 mm N III, IV, VI : Gerakan bola mata (+) normal

N V : Buka tutup mulut (+) normal N VII : Sudut mulut simetris

N VIII : Pendengaran (+) normal

N IX, X : Uvula medial, arcus faring simetris N XI : Sulit dinilai

N XII : Lidah istirahat dan dijulurkan medial Sistem Motorik

Trofi : Eutrofi Tonus : hipotonus Kekuatan Otot :

11111 11111

ESD : ESS :

11111 11111

11111 11111

EID : EIS :


(12)

Refleks Fisiologis : kanan kiri Biceps / Triceps : + ↓/ +↓ + ↓ /+↓ KPR / APR : +↓ /+↓ +↓ / +↓ Refleks Patologis : kanan kiri

Hofmann Tromner : (-) (-)

Babinski : (-) (-)

Klonus kaki : (-) (-)

Sistem sensibiltas : Hipestesi setinggi Thoracal 4-5 ke bawah

Vegetatif :

Miksi : Inkontinensia urine Defekasi : Inkontinensia alvi Vertebra : Dalam batas normal Gejala serebellar : Tidak dijumpai Gejala Ekstrapiramidal : Tidak dijumpai Fungsi Luhur : baik

II.5. DIAGNOSA

Diagnosa Fungsional : Tetraparese tipe LMN + Hipestesia setinggi Th 4-5 ke bawah + Inkontinensia urin + Inkontinensia alvi Diagnosa Anatomis : Saraf perifer

Diagnosa Etiologis : Autoimun

Diagnosa Banding : 1. Sindroma Guillain Barre 2. Miopati

3. Myelitis transversalis

Diagnosa Kerja : Tetraparese tipe LMN+ Hipestesia setinggi Th 4-5 ke bawah + Inkontinensia urin + Inkontinensia alvi ec Sindroma Guillain Barre


(13)

II.6. PEMERIKSAAN PENUNJANG

II.6.1. Hasil Laboratorium (19 November 2009)

Hb : 17,9 g / dl Ureum : 68 mg/dl

Ht : 51,5 % Kreatinin : 1,0 mg/dl

Leukosit : 12900 / mm3

Trombosit : 319.000 / mm3 Natrium : 131 mEq/L KGD ad random : 149 mg/dl

LED : 8 mm/jam Kalium : 4,52 mEq/L

SGPT : 29 U/l Chlorida : 94 mEq/L

SGOT : 141 U/l Albumin : 3,59 g/dl

II.6.2. Hasil EKG

Kesan : EKG dalam batas normal II.6.3. Hasil Konsul Paru

Kesimpulan : Tidak tampak kelainan pada jantung dan paru II..7.4. Hasil Lumbal punksi (26 November 2009)

Warna : jernih PH : 7,5

LDH : 32 U/L PMN sel : sulit dinilai Protein : 11 mg/dl MN sel : sulit dinilai Jumlah sel : 2 /mm3

Glukosa : 123 mg/dl Reaksi pandy : (-) Reaksi none : (-)

II.7.5 Konsul Anestesi dan Reaminasi (19 November 2009) Jawaban : Acc perawatan di ICU

II.7. KESIMPULAN PEMERIKSAAN

Telah dirawat di RS HAM seorang pria (ES), 50 tahun, Karo, Kristen protestan, petani, dengan keluhan utama lemah keempat anggota gerak.

Dari anamnese didapati bahwa lemah keempat anggota gerak telah dialami penderita sejak 1 minggu sebelum masuk RS HAM, berlangsung secara perlahan-lahan. Awalnya rasa kebas pada kedua tungkai yang kemudian dikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain sejak 2 minggu yang lalu. Keesokan harinya memberat sehingga os tidak dapat berjalan. Rasa lemah ini terasa menjalar sampai ke lengan tiga hari kemudian yang juga disertai dengan rasa


(14)

kebas dan semakin memberat sehingga os tidak dapat menggerakkan kedua lengan dan tungkai sejak 1 minggu terakhir. Sesak nafas dialami os sejak 1 hari yang lalu. Riwayat demam (+) 5 hari sebelumnya, disertai batuk. Riwayat mencret (-). Riwayat trauma (-). Riwayat batuk lama (-)

Dari hasil pemeriksaan fisik dijumpai sensorium compos mentis, vital sign

frekuensi nafas 26x/menit. Hasil pemeriksaan neurologis didapatkan; sistem motorik tetraparesis tipe LMN, penurunan reflek fisiologis pada keempat ekstremitas. Pada pemeriksaan sensibilitas dijumpai hipoestesia setinggi Th4-5 ke bawah. Pemeriksaan vegetatif dijumpai inkontinensia urine dan inkontinensia alvi.

Dari hasil pemeriksaan penunjang lumbal punksi dijumpai kadar protein serta jumlah sel normal.

II.8. DIAGNOSA AKHIR

Tetraparese tipe LMN+ Hipestesia setinggi Th 4-5 ke bawah + Inkontinensia urin + Inkontinensia alvi ec Sindroma Guillain Barre

II.9. PENATALAKSANAAN

• Bed Rest

• Diet MB TKTP

• O2 face mask 6-8L/i

• Inj. Dexamethasone 1 ampul/6 jam  tapering off

• Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam

• Total Plasma Exchange

• Fisioterapi

II.10. PROGNOSA

- Ad vitam : dubia ad bonam - Ad functionam : dubia ad bonam - Ad sanationam : dubia ad malam


(15)

III. TINJAUAN PUSTAKA III.1 DEFENISI

Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu polineuropati ascending, simetris, akut yang sering terjadi pada 1-3 minggu dan kadang-kadang hingga 8 minggu setelah suatu infeksi akut.

III.2 EPIDEMIOLOGI 5

Penyakit ini dijumpai di seluruh dunia dengan tingkat insidens yang bervariasi dari 0,4 sampai 1,7 kasus per 100.000 penduduk tiap tahun.4 Berdasarkan survey epidemiologi di Amerika Serikat mendapatkan insidens rerata tahunan SGB sekitar 3 kasus per 100.000 populasi.

Perbandingan menurut kelompok umur, angka rerata rawat inap pasien SGB meningkat sejalan dengan usia, dijumpai 1,5 kasus per 100.000 populasi pada penduduk berusia kurang dari 15 tahun dan puncaknya 8,6 kasus per 100.000 populasi pada penduduk berusia 70-79 tahun.

1

Sindroma Guillain Barre dapat mengenai semua usia, walaupun jarang dijumpai pada bayi

1

6

. Penyakit ini mempunyai dua puncak usia yakni 15-35 tahun dan 50-75 tahun. Rasio pria berbanding wanita 1,5 : 1.7

III.3 ETIOLOGI

Sindroma Guillain Barre telah dihubungkan dengan infeksi virus dan bakteri yang mendahuluinya, pemberian vaksin tertentu serta penyakit sistemik lainnya 7. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit paskainfeksi yang diperantarai sistem imun yang menyerang saraf perifer 1. Sindroma Guillain Barre sering terjadi paska infeksi pernafasan atau penyakit saluran cerna tetapi telah dilaporkan suatu infeksi spesifik seperti cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, enterovirus, Campylobacter jejuni, mycoplasma dan paska imunisasi.

Agen pencetus yang paling sering teridentifikasi adalah C.jejuni (13-39% kasus),

cytomegalovirus (5-22%), Epstein-barr virus (1-13% kasus) dan Mycoplasma pneumonia (5% kasus). Seluruh kuman ini memiliki sekuens karbohidrat (antigen) yang menyerupai jaringan saraf tepi.

5


(16)

III.4 KLASIFIKASI

Tabel 1. Klasifikasi Sindroma Guillain-Barre

Dikutip dari : Gooch C, Fatimi T. Autoimmune Neuropathies Guillain-Barre Syndrome. In: Brust JCM, ed. Current Diagnosis and Treatment in Neurology. New York. Mc Graw-Hill; 2007. P.302-4

III.5 PATOGENESIS

Organ penginfeksi menyebabkan respon imun humoral dan selular. Respon imun humoral terjadi sebagai hasil dari aktivasi komplemen di bagian luar dari plasmalemma sel Schwann. Respon imun seluler melibatkan makrofag dan sel T yang menyerang myelin sehat di saraf perifer dan kranial, menyebabkan blok konduksi dari impuls saraf.9

Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai suatu penyakit autoimmune, dimana sistem imun secara “keliru” menyerang myelin atau akson, saraf pembawa signal dari dan menuju otak. Kekeliruan serangan imun ini dapat timbul akibat permukaan C. jejuni

mengandung polisakarida yang menyerupai glikokunjugat jaringan saraf manusia. Kemiripan ini disebut “ molecular mimicry “, yang didefinisikan sebagai pengenalan ganda oleh reseptor sel-B atau sel-T dari suatu struktur mikroba dan suatu antigen host, dan merupakan mekanisme dimana infeksi mencetuskan reaksi silang antibodi atau sel-T yang dapat menyebabkan penyakit autoimun.

Sel T memegang peranan penting pada penyakit SGB, dimana sel T help merupakan prasyarat yang penting untuk maturasi sel B dan produksi antibodi. Pada penderita SGB, sel T dijumpai di saraf perifer.

3


(17)

Ganglioside-like epitopes berada pada dinding bakteri C.jejuni yang dikenali oleh limfosit B. Limfosit menghasilkan antibodi yang bereaksi silang dengan gangliosid GM1 yang ada pada myelin saraf tepi pasien SGB. Infeksi oleh organisme lain juga dapat memicu respon antibodi yang sama. Perbedaan pola SGB kemungkinan diakibatkan oleh keanekaragaman keterkaitan antara antibodi dan sel-T dari spesifitas yang berbeda.

Gambar 1. Immunopathogenesis Sindroma Guillain Barre

11

Dikutip dari : Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th. New York : Mc Graw Hill. 2005


(18)

III.6 GAMBARAN KLINIS

Sindroma Guillain-Barre muncul sebagai paralisis motorik areflesia yang berkembang cepat dengan atau tanpa gangguan sensorik. Kelemahan biasanya berkembang selama beberapa jam hingga hari dan sering disertai dengan rasa kebas dan disestesia pada ekstremitas. Tungkai biasanya lebih berat terkena dibandingkan lengan. Saraf kranial bawah juga sering terlibat, menyebabkan kelemahan bulbar dan kesulitan mengeluarkan ludah dan menjaga jalan nafas. Sebagian besar pasien memerlukan perawatan rumah sakit, dan hampir 30% memerlukan bantuan ventilator pada perjalanan penyakitnya.

Kelemahan yang bersifat asending, simetris bisa melibatkan otot pelvis, abdominal, thorakal dan ekstremitas atas. Kelumpuhan bisa berlanjut sampai 10 hari dan kemudian bertahan tidak berubah secara relatif selama 2 minggu.

4,5,12

Nervus kranialis VII sering terlibat dimana kelemahan fasialis bilateral kira-kira 50% dari kasus. Disfungsi orofaringeal terlihat pada kasus berat dan merupakan tanda awal yang mengancam terjadinya gagal nafas. Tingkat gangguan sensorik biasanya bervariasi dan biasanya ringan. Fungsi saraf otonom dapat terganggu seperti takikardi, aritmia jantung, hipotensi postural atau gejala vasomotor.

1,4,5

Proses penyembuhan biasanya dimulai 2 minggu setelah berhentinya progresifitas klinis. Tetapi proses penyembuhan bisa lebih lambat, memerlukan waktu sampai 6-24 bulan.

5

5

III.7 PROSEDUR DIAGNOSTIK III.7.1 Lumbal Pungsi (LP)

Penemuan Cairan serebrospinal (CSS) bersifat khas, terdiri dari peningkatan kadar protein CSS [1 sampai 10 g/L (100 sampai 1000 mg/dL) tanpa disertai pleositosis. Gambaran CSS dapat normal jika gejala terjadi kurang dari 48 jam; pada akhir minggu pertama kadar protein biasanya meningkat. Peningkatan sementara pada sel CSS (10 sampai 100/μL) bisa dijumpai pada beberapa kasus; namun pleositosis CSS yang menetap menunjukkan kemungkinan diagnosis yang lain seperti mielitis viral.12,13

III.7.2 Elektromiografi (EMG)

Gambaran elektrodiagnostik sangat ringan atau tidak ada pada tahap awal SGB dan tertinggal dari perkembangan klinis. Pada kasus dengan demielinasi, memanjangnya distal


(19)

latency, perlambatan kecepatan hantaran, adanya blok konduksi dan dispersi temporal dari potensial aksi gabungan adalah gambaran yang biasa ditemukan.

Tabel 2. Diagnostic Criteria for Guillain-Barre´ Syndrome

12,13

REQUIRED

1. Progressive weakness of 2 or more limbs due to neuropathy 2. Areflexia

3. Disease course _4 weeks

4. Exclusion of other causes [e.g.vasculitis (polyarteritis nodosa, systemic lupus erythematosus, Churg-Strauss syndrome), toxins (organophosphates, lead), botulism, diphtheria, porphyria, localized spinal cord or cauda equina syndrome]

SUPPORTIVE

1. Relatively symmetric weakness 2. Mild sensory involvement

3. Facial nerve or other cranial nerve involvement 4. Absence of fever

5. Typical CSF profile (acellular, increase in protein level) 6. Electrophysiologic evidence of demyelination

Source: Modified from AK Asbury, DR Cornblath: Ann Neurol 27:S21, 1990.

Dikutip dari : Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th

III.8 DIAGNOSA BANDING

. New York : Mc Graw Hill

Sindroma Guillain-Barre ini didiagnosis banding dengan : 1. Poliomyelitis

Penyakit ini ditandai dengan adanya demam dan myalgia yang berat, diikuti dengan kelumpuhan otot tipe flaksid yang asimetris. Pada cairan serebrospinal dijumpai pleocytosis dan tidak dijumpai keterlibatan sensorik.

2. Botulism

5

Sering terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi makanan kaleng. Gejala diawali dengan diplopia.

3. Neuropati logam berat

5

Onset kelemahan lebih lambat. Pada kebanyakan kasus dijumpai riwayat terpapar logam berat di daerah industri.

4. Paralisis periodik hipo atau hiperkalemik

5

Onset yang tiba – tiba dari paralisis general dengan disertai salah satu apakah hipo atau hiperkalemik.5


(20)

5. Polymyositis akut

Dijumpai kelemahan simetris otot proximal dengan onset akut. Ruam sering didapati pada dermatomysitis. Laju endap darah dan level creatine phosphokinase meningkat.

6. Myasthenia gravis

5

Ptosis dan kelemahan okulomotor yang merupakan gambaran SGB pada beberapa kasus dapat menyerupai myasthenia gravis, tetapi pada perjalanan penyakit selanjutnya tidak dijumpai gangguan sensoris, reflek tendon (+).4,5

III.9 PENATALAKSANAAN III.9.1 Terapi Suportif

Manajemen awal meliputi :

• Pertahankan ABC jalur intravena dan bantuan ventilasi sesuai indikasi

1,7

• Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami gagal nafas. Indikator klinis untuk intubasi mencakup hipoksia, penurunan fungsi respirasi yang cepat, batuk yang lemah, dan dicurigai aspirasi.

• Pasien dengan SGB harus dimonitor ketat untuk perubahan tekanan darah, denyut jantung dan aritmia lainnya.

- Jarang dibutuhkan pengobatan untuk takikardi

- Atropin direkomendasikan untuk bradikardi simtomatik

- Karena labilnya disautonomia, hipertensi sebaiknya ditangani dengan obat

short acting seperti beta blocker atau nitroprusside

- Hipotensi akibat disauotonomia biasanya menunjukkan respon terhadap cairan intravena dan posisi telentang

- Alat pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan pada pasien dengan blok jantung derajat dua atau derajat tiga.

III.9.2 Terapi Spesifik

Pengobatan yang telah diuji secara pada SGB ada tiga macam yaitu kortikosteroid,

plasma exchange dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Dari ketiganya, plasma exchange

dan IVIG yang memperlihatkan keefektifannya, sedangkan studi yang berulang tidak memperlihatkan keefektifan dari terapi steroid.2


(21)

Efikasi plasma exchange (PE) dan IVIG tampaknya sama dalam memperpendek durasi penyakit. Terapi kombinasi tidak memperlihatkan penurunan disabilitas yang bermakna. Keputusan untuk menggunakan terapi didasarkan kepada keparahan penyakit, laju progresifitas dan rentang waktu antara simptom pertama dengan presentasi klinis.

Pada SGB dikenal sistem skoring untuk menggambarkan kondisi penyakit yang disebut sebagai scale of disability.

1

Tabel 3. Skala disabilitas untuk SGB 14

Skala 0 : Sehat

Skala 1 : Tanda dan gejala neuropati tetapi mampu bekerja

Skala 2 : Pasien mampu berjalan tanpa bantuan tongkat tetapi tidak mampu berkerja Skala 3 : Pasien mampu berjalan dengan bantuan tongkat, peralatan atau bantuan Skala 4 : Terbatas hanya di tempat tidur atau di kursi roda

Skala 5 : Membutuhkan alat bantu napas Skala 6 : Kematian

Dikutip dari : Winer JB. Treatment of Guillain-Barre Syndrome. Q J Med 2002; 95: 717-21 1. Intravenous immunoglobulin

Saat ini IVIG merupakan pilihan terapi untuk SGB. Dosis total standar untuk suatu pemberian IVIG adalah 2gr/kg. Secara konvensional diberikan 0,4g/kg/hari selama 5 hari.

Intravenous immunoglobulin (IVIG) bekerja dengan menetralisir antibodi myelin yang melalui antibodi anti-idiotypic, menurunkan sitokin proinflamasi seperti interferon-gamma

(INF-gamma), juga menghambat kaskade komplemen dan memicu remielinisasi.

2

Pada prakteknya pemberian IVIG relatif lebih mudah dan aman dibandingkan PE, sehingga umumnya IVIG merupakan pengobatan yang lebih dipilih. Namun terdapat situasi dimana PE lebih dipilih atau diindikasikan, misalnya :

7

- Adanya kontraindikasi penggunaan IVIG

2,15

- Intoleransi atau efek samping yang serius pada penggunaan IVIG - IVIG tidak tersedia sedang PE tersedia

2. Plasma Exchange

Albumin digunakan pada PE saat plasma pasien ditukar dengan subsitusi plasma. Dapat menghilangkan autoantibodi dan kompleks imun dari serum. Plasma exchange


(22)

mempercepat pemulihan dan dapat membantu menghilangkan konstituen sitotoksik dari serum.

Plasma exchange dilakukan sebanyak lima kali pada hari yang berselang. Setiap kali PE, 40-50 ml/kg plasma dikeluarkan dan digantikan, setengahnya dengan saline 0,9% dan setengahnya dengan albumin 5% dalam 0,9% larutan saline. Regimen replacement dengan menggunakan albumin sama efektifnya dengan regimen yang menggunakan fresh frozen plasma.

1,2

Tabel 4. Treatment of GBS: IVIG vs PE 11

IVIG PE

Duration of treatment Venous access

Contraindication

Risk of infection

Adverse reactions

2-5 days

Peripherally almost always adequate

Previous anaphilaxis to IVIG, renal insufficiency, severe CHF, severe IgA insufficiency

Low with new products (donors screened for HIV; hepatitis A,B, C; and HTLV-1)

Headache, aseptic meningitis, renal failure, anaphylaxis

8-10 days (4-5 exchanges)

Central frequently require especially in children and elderly

Hemodynamic instability, significant autonomic instability,

coagulation disorder

Variable; definite increase in line infection with placement of central catheters

Hypotension,cardiac

arrhythmias, sepsis, thrombosis, hemorrhage

Dikutip dari: Sheikh KA. Peripheral nerve Disease. In : Jhonson RT, Griffin JW, McArthur JC, editors. Current therapy in neurologic disease.6th ed. USA. Mosby.2002 p.366-70

III.10 PROGNOSA

Diperkirakan 85% pasien SGB mencapai perbaikan fungsional penuh dalam waktu 6-12 bulan, maksimal sampai 18 bulan setelah onset. Sekitar 7-15% mengalami sekuele neurologis yang permanen. Angka mortalitas kurang dari 5%, dengan sepsis, emboli paru, dan

cardiac arrest sebagai penyebabnya.

Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor prognostic buruk SGB antara lain :

6

1. Umur ≥ 60th

6

2. Kecepatan perburukan klinis

3. Amplitudo konduksi saraf rendah pada saat stimulasi distal 4. Penggunaan ventilator yang lama.

Secara umum “poor long term prognosis” secara langsung berhubungan dengan beratnya penyakit pada episode akut dan keterlambatan onset terapi spesifik.


(23)

Relaps hanya terjadi pada 3-5% kasus, dan tidak secara signifikan dipengaruhi oleh terapi atau faktor lain.6

IV. DISKUSI KASUS

Pada kasus ini telah dirawat seorang laki-laki yang didiagnosa dengan Sindroma Guillain-Barre berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan keluhan utama lemah pada keempat anggota gerak. Dari anamnese didapati bahwa lemah keempat anggota gerak telah dialami penderita sejak 1 minggu sebelum masuk RS HAM, berlangsung secara perlahan-lahan. Awalnya rasa kebas pada kedua tungkai yang kemudian dikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain sejak 2 minggu yang lalu. Keesokan harinya memberat sehingga os tidak dapat berjalan. Rasa lemah ini terasa menjalar sampai ke lengan tiga hari kemudian yang juga disertai dengan rasa kebas dan semakin memberat sehingga os tidak dapat menggerakkan kedua lengan dan tungkai sejak 1 minggu terakhir. Sesak nafas dialami os sejak 1 hari yang lalu. Riwayat demam dijumpai, disertai batuk.

Dari pemeriksaan neurologis didapatkan; tetraparesis tipe LMN, penurunan reflek fisiologis pada keempat ekstremitas, hipoestesia setinggi Th4-5 ke bawah dan inkontinensia urine dan inkontinensia alvi.

Saat masuk os didiagnosa banding dengan miopati dan myelitis transversalis. Miopati disingkirkan karena pada kasus ini kelemahan diawali pada bagian distal terlebih dahulu. Sedangkan myelitis transversalis yang menyebar keatas (asending) disingkirkan karena pada kasus ini tidak dijumpai peningkatan refleks dan tidak ada refleks patologis.

Dari hasil pemeriksaan lumbal punksi dijumpai kadar protein serta jumlah sel normal. Pada kasus ini os dikonsulkan ke ICU karena mengalami kesulitan bernafas akibat kelemahan otot-otot pernafasan. Pasien menjalani plasma exchange dan terlihat kemajuan kondisi pasien dengan meningkatnya kekuatan motorik dan menurunnya kesulitan bernafas.

V. PERMASALAHAN

1. Apakah diagnosa pasien ini sudah benar?


(24)

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosis Sindroma Guillain Barre ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang.

2. Gambaran klinis berupa kelemahan yang bersifat asending, simetris bisa melibatkan otot pelvis, abdominal, thorakal dan ekstremitas atas

3. Penatalaksanaan kasus ini terapi suportif dan terapi spesifik

VII. SARAN

Perlu penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang penyakit dan perjalanannya yang lama agar keluarga dan penderita sabar menjalani pengobatan dan menunggu masa penyembuhan.


(25)

DAFTAR PUSTAKA

1. Davids HR, Oleszek JL, Cha-Kim A. Guillain-Barre Syndrome.2009.Available from: http//www.emedicine.com/PMR/topic48.htm

2. Expert Consensus statements on the use of IVIG in Neurology. 1st ed. Prepared by the Asia Pasific IVIG advisory board.2004

3. Yu RK, Usuki S, Ariga T. Ganglioside Molecular Mimicry and Its Pathological roles in Guillain-Barre Syndrome and Related Disease. Infection and Immunity.2006; 74: 6517-27

4. Adam RD, Victor Mand Ropper AH : Principle of Neurology, 7th

5. Gilroy J. Basic Neurology. 3

ed, New York: Mc. Graw – Hill. 2001

rd

6. Newswanger DL, Warren CR. Guillain Barre Syndrome. American Family

Physician, 2004; 69: 2405-10

ed.New York : McGraw – Hill ; 2000

7. Miller A, Ali OE, Sinert R. Guillain Barre Syndrome.2009. Available from: http://www.emedicine.com/EMERG/topic222.htm

8. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathies. In : Brust JCM, editor. Currrent Diagnosis and Treatment Neurology. New York: McGraw Hill; 2007. p.302-4

9. Hankey GJ. Wardlaw JM. Clinical Neurology. 1st

10.Csurhers PA. Sullivan AA. Green K. Pender et al. T cell Reactivity to P0, P2. PMP-22 and Myelin basic protein in patients with Guillain-Barre Syndrome and Chronic Inflammatory Demyeliting Poliradiculopathy. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2005; 76: 1431-39

ed. London: Manson Publishing; 2008

11.Sanap MN, Worthley LIG. Neurologic Complication of Critical Illness: Part II. Polyneuropathies and Myopathies. Critical Care and Resuscitation. 2002; 4: 133-140 12.Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. 16th

13.Lange DJ, Latov N,Trojaborg W. Acquired Neuropathies. In : Rowland LP, editor. Merrit’s Neurology. 10

. New York : Mc Graw Hill. 2005

th

14.Winner JB. Treatment of Guillain Barre Syndrome. QJ Med 2002; 95: 17-21

edition. Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins ; 2000. p.613-15

15.Sheikh KA. Peripheral nerve Disease. In : Jhonson RT, Griffin JW, McArthur JC, editors. Current therapy in neurologic disease.6th ed. USA. Mosby.2002 p.366-70


(1)

5. Polymyositis akut

Dijumpai kelemahan simetris otot proximal dengan onset akut. Ruam sering didapati pada dermatomysitis. Laju endap darah dan level creatine phosphokinase meningkat. 6. Myasthenia gravis

5

Ptosis dan kelemahan okulomotor yang merupakan gambaran SGB pada beberapa kasus dapat menyerupai myasthenia gravis, tetapi pada perjalanan penyakit selanjutnya tidak dijumpai gangguan sensoris, reflek tendon (+).4,5

III.9 PENATALAKSANAAN III.9.1 Terapi Suportif

Manajemen awal meliputi :

• Pertahankan ABC jalur intravena dan bantuan ventilasi sesuai indikasi

1,7

• Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami gagal nafas. Indikator klinis untuk intubasi mencakup hipoksia, penurunan fungsi respirasi yang cepat, batuk yang lemah, dan dicurigai aspirasi.

• Pasien dengan SGB harus dimonitor ketat untuk perubahan tekanan darah, denyut jantung dan aritmia lainnya.

- Jarang dibutuhkan pengobatan untuk takikardi

- Atropin direkomendasikan untuk bradikardi simtomatik

- Karena labilnya disautonomia, hipertensi sebaiknya ditangani dengan obat short acting seperti beta blocker atau nitroprusside

- Hipotensi akibat disauotonomia biasanya menunjukkan respon terhadap cairan intravena dan posisi telentang

- Alat pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan pada pasien dengan blok jantung derajat dua atau derajat tiga.

III.9.2 Terapi Spesifik

Pengobatan yang telah diuji secara pada SGB ada tiga macam yaitu kortikosteroid, plasma exchange dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Dari ketiganya, plasma exchange dan IVIG yang memperlihatkan keefektifannya, sedangkan studi yang berulang tidak memperlihatkan keefektifan dari terapi steroid.2


(2)

Efikasi plasma exchange (PE) dan IVIG tampaknya sama dalam memperpendek durasi penyakit. Terapi kombinasi tidak memperlihatkan penurunan disabilitas yang bermakna. Keputusan untuk menggunakan terapi didasarkan kepada keparahan penyakit, laju progresifitas dan rentang waktu antara simptom pertama dengan presentasi klinis.

Pada SGB dikenal sistem skoring untuk menggambarkan kondisi penyakit yang disebut sebagai scale of disability.

1

Tabel 3. Skala disabilitas untuk SGB 14

Skala 0 : Sehat

Skala 1 : Tanda dan gejala neuropati tetapi mampu bekerja

Skala 2 : Pasien mampu berjalan tanpa bantuan tongkat tetapi tidak mampu berkerja Skala 3 : Pasien mampu berjalan dengan bantuan tongkat, peralatan atau bantuan Skala 4 : Terbatas hanya di tempat tidur atau di kursi roda

Skala 5 : Membutuhkan alat bantu napas Skala 6 : Kematian

Dikutip dari : Winer JB. Treatment of Guillain-Barre Syndrome. Q J Med 2002; 95: 717-21

1. Intravenous immunoglobulin

Saat ini IVIG merupakan pilihan terapi untuk SGB. Dosis total standar untuk suatu pemberian IVIG adalah 2gr/kg. Secara konvensional diberikan 0,4g/kg/hari selama 5 hari.

Intravenous immunoglobulin (IVIG) bekerja dengan menetralisir antibodi myelin yang melalui antibodi anti-idiotypic, menurunkan sitokin proinflamasi seperti interferon-gamma (INF-gamma), juga menghambat kaskade komplemen dan memicu remielinisasi.

2

Pada prakteknya pemberian IVIG relatif lebih mudah dan aman dibandingkan PE, sehingga umumnya IVIG merupakan pengobatan yang lebih dipilih. Namun terdapat situasi dimana PE lebih dipilih atau diindikasikan, misalnya :

7

- Adanya kontraindikasi penggunaan IVIG

2,15

- Intoleransi atau efek samping yang serius pada penggunaan IVIG - IVIG tidak tersedia sedang PE tersedia

2. Plasma Exchange

Albumin digunakan pada PE saat plasma pasien ditukar dengan subsitusi plasma. Dapat menghilangkan autoantibodi dan kompleks imun dari serum. Plasma exchange diberikan bersamaan dengan albumin (50 ml/kg) selama periode 10 hari dan terbukti


(3)

mempercepat pemulihan dan dapat membantu menghilangkan konstituen sitotoksik dari serum.

Plasma exchange dilakukan sebanyak lima kali pada hari yang berselang. Setiap kali PE, 40-50 ml/kg plasma dikeluarkan dan digantikan, setengahnya dengan saline 0,9% dan setengahnya dengan albumin 5% dalam 0,9% larutan saline. Regimen replacement dengan menggunakan albumin sama efektifnya dengan regimen yang menggunakan fresh frozen plasma.

1,2

Tabel 4. Treatment of GBS: IVIG vs PE 11

IVIG PE

Duration of treatment Venous access

Contraindication

Risk of infection

Adverse reactions

2-5 days

Peripherally almost always adequate

Previous anaphilaxis to IVIG, renal insufficiency, severe CHF, severe IgA insufficiency

Low with new products (donors screened for HIV; hepatitis A,B, C; and HTLV-1)

Headache, aseptic meningitis, renal failure, anaphylaxis

8-10 days (4-5 exchanges)

Central frequently require especially in children and elderly

Hemodynamic instability, significant autonomic instability,

coagulation disorder

Variable; definite increase in line infection with placement of central catheters

Hypotension,cardiac

arrhythmias, sepsis, thrombosis, hemorrhage

Dikutip dari: Sheikh KA. Peripheral nerve Disease. In : Jhonson RT, Griffin JW, McArthur JC, editors. Current therapy in neurologic disease.6th ed. USA. Mosby.2002 p.366-70

III.10 PROGNOSA

Diperkirakan 85% pasien SGB mencapai perbaikan fungsional penuh dalam waktu 6-12 bulan, maksimal sampai 18 bulan setelah onset. Sekitar 7-15% mengalami sekuele neurologis yang permanen. Angka mortalitas kurang dari 5%, dengan sepsis, emboli paru, dan cardiac arrest sebagai penyebabnya.

Beberapa faktor yang diduga sebagai faktor prognostic buruk SGB antara lain :

6

1. Umur ≥ 60th

6

2. Kecepatan perburukan klinis

3. Amplitudo konduksi saraf rendah pada saat stimulasi distal 4. Penggunaan ventilator yang lama.

Secara umum “poor long term prognosis” secara langsung berhubungan dengan beratnya penyakit pada episode akut dan keterlambatan onset terapi spesifik.


(4)

Relaps hanya terjadi pada 3-5% kasus, dan tidak secara signifikan dipengaruhi oleh terapi atau faktor lain.6

IV. DISKUSI KASUS

Pada kasus ini telah dirawat seorang laki-laki yang didiagnosa dengan Sindroma Guillain-Barre berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan keluhan utama lemah pada keempat anggota gerak. Dari anamnese didapati bahwa lemah keempat anggota gerak telah dialami penderita sejak 1 minggu sebelum masuk RS HAM, berlangsung secara perlahan-lahan. Awalnya rasa kebas pada kedua tungkai yang kemudian dikuti dengan rasa lemah namun os masih dapat berjalan dengan bantuan orang lain sejak 2 minggu yang lalu. Keesokan harinya memberat sehingga os tidak dapat berjalan. Rasa lemah ini terasa menjalar sampai ke lengan tiga hari kemudian yang juga disertai dengan rasa kebas dan semakin memberat sehingga os tidak dapat menggerakkan kedua lengan dan tungkai sejak 1 minggu terakhir. Sesak nafas dialami os sejak 1 hari yang lalu. Riwayat demam dijumpai, disertai batuk.

Dari pemeriksaan neurologis didapatkan; tetraparesis tipe LMN, penurunan reflek fisiologis pada keempat ekstremitas, hipoestesia setinggi Th4-5 ke bawah dan inkontinensia urine dan inkontinensia alvi.

Saat masuk os didiagnosa banding dengan miopati dan myelitis transversalis. Miopati disingkirkan karena pada kasus ini kelemahan diawali pada bagian distal terlebih dahulu. Sedangkan myelitis transversalis yang menyebar keatas (asending) disingkirkan karena pada kasus ini tidak dijumpai peningkatan refleks dan tidak ada refleks patologis.

Dari hasil pemeriksaan lumbal punksi dijumpai kadar protein serta jumlah sel normal. Pada kasus ini os dikonsulkan ke ICU karena mengalami kesulitan bernafas akibat kelemahan otot-otot pernafasan. Pasien menjalani plasma exchange dan terlihat kemajuan kondisi pasien dengan meningkatnya kekuatan motorik dan menurunnya kesulitan bernafas.

V. PERMASALAHAN

1. Apakah diagnosa pasien ini sudah benar?


(5)

VI. KESIMPULAN

1. Diagnosis Sindroma Guillain Barre ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan penunjang.

2. Gambaran klinis berupa kelemahan yang bersifat asending, simetris bisa melibatkan otot pelvis, abdominal, thorakal dan ekstremitas atas

3. Penatalaksanaan kasus ini terapi suportif dan terapi spesifik

VII. SARAN

Perlu penjelasan kepada penderita dan keluarganya tentang penyakit dan perjalanannya yang lama agar keluarga dan penderita sabar menjalani pengobatan dan menunggu masa penyembuhan.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

1. Davids HR, Oleszek JL, Cha-Kim A. Guillain-Barre Syndrome.2009.Available from: http//www.emedicine.com/PMR/topic48.htm

2. Expert Consensus statements on the use of IVIG in Neurology. 1st ed. Prepared by the Asia Pasific IVIG advisory board.2004

3. Yu RK, Usuki S, Ariga T. Ganglioside Molecular Mimicry and Its Pathological roles in Guillain-Barre Syndrome and Related Disease. Infection and Immunity.2006; 74: 6517-27

4. Adam RD, Victor Mand Ropper AH : Principle of Neurology, 7th 5. Gilroy J. Basic Neurology. 3

ed, New York: Mc. Graw – Hill. 2001

rd

6. Newswanger DL, Warren CR. Guillain Barre Syndrome. American Family Physician, 2004; 69: 2405-10

ed.New York : McGraw – Hill ; 2000

7. Miller A, Ali OE, Sinert R. Guillain Barre Syndrome.2009. Available from: http://www.emedicine.com/EMERG/topic222.htm

8. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathies. In : Brust JCM, editor. Currrent Diagnosis and Treatment Neurology. New York: McGraw Hill; 2007. p.302-4

9. Hankey GJ. Wardlaw JM. Clinical Neurology. 1st

10.Csurhers PA. Sullivan AA. Green K. Pender et al. T cell Reactivity to P0, P2. PMP-22 and Myelin basic protein in patients with Guillain-Barre Syndrome and Chronic Inflammatory Demyeliting Poliradiculopathy. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2005; 76: 1431-39

ed. London: Manson Publishing; 2008

11.Sanap MN, Worthley LIG. Neurologic Complication of Critical Illness: Part II. Polyneuropathies and Myopathies. Critical Care and Resuscitation. 2002; 4: 133-140 12.Kasper Dl, fauci AS, Longo DL, et al.editors. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. 16th

13.Lange DJ, Latov N,Trojaborg W. Acquired Neuropathies. In : Rowland LP, editor. Merrit’s Neurology. 10

. New York : Mc Graw Hill. 2005

th

14.Winner JB. Treatment of Guillain Barre Syndrome. QJ Med 2002; 95: 17-21

edition. Philadelphia : Lippicott Williams & Wilkins ; 2000. p.613-15

15.Sheikh KA. Peripheral nerve Disease. In : Jhonson RT, Griffin JW, McArthur JC, editors. Current therapy in neurologic disease.6th ed. USA. Mosby.2002 p.366-70