Mengenai Pendahuluan, yang terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Batasan Pengertian Pencegahan Perkawinan, yang terdiri dari : Pengertian Analisa Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqih Penutup, yang terdiri dari : Kesimpulan dan Saran ALASAN DAN AKIBAT PENCE

Teknik yang digunakan adalah penelitian kepustakaan library research, yaitu mengumpulkan data dari berbagai literatur yang relevan dengan pokok masalah yang di jadikan sumber penulisan karya tulis ini. d. Metode Analisa Data Data yang dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis dan diinterpretasikan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Analisa data dilakukan dengan metode induktif kemudian menginterpretasikan dengan bahasa penulis sendiri. 2. Teknik Penulisan Adapun teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi , Tesis dan Disertasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta”.

E. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini dibagi ke dalam empat bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab, yaitu:

BAB I : Mengenai Pendahuluan, yang terdiri dari; Latar Belakang Masalah, Batasan

dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Dan Sistematika Pembahasan BAB II : Alasan Dan Akibat Pencegahan Perkawinan, yang terdiri dari : Tinjauan Umum Tentang Perkawinan, Pengertian Pencegahan Perkawinan Alasan Dan Akibat Pencegahan Perkawinan.

BAB III : Pengertian Pencegahan Perkawinan, yang terdiri dari : Pengertian

Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqih Klasik, Pencegahan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam, Pencegahan Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

BAB IV : Analisa Pencegahan Perkawinan Menurut Fiqih

Klasik Dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

BAB V : Penutup, yang terdiri dari : Kesimpulan dan Saran

BAB II ALASAN DAN AKIBAT PENCEGAHAN PERKAWINAN

Sebelum memulai uraian tentang pencegahan perkawinan menurut fiqih klasik, penulis merasa perlu menggambarkan terlebih dahulu tentang Kerakteristik Hukum Islam, dimana hukum Islam itu sendiri tidak terlepas dari kerakteristiknya. Hukum Islam memiliki suatu sistem yang justru menimbulkan dorongan untuk dipelajari oleh para cendikia hukum Islam di seluruh dunia. Karena dari sistem hukum Islam itu terlihat perkembangannya yang sangat pesat di bidang sistem-sistem hukum lainnya. 7 Sejak ratusan tahun yang lalu di kalangan umat islam di seluruh dunia termasuk Indonesia, mengalami ketidakjelasan persepsi tentang syari’ah, fiqih dan hukum islam kekacauan persepsi ini meliputi arti dan ruang lingkup pengertian syari’ah islam yang kadang-kadang diartikan sama dengan fiqih. Fatwa-fatwa tentang masalah islam di Indonesia kebanyakan diambil dari kitab-kitab yang dikarang oleh para sarjana hukum islam tempo dulu, tiap-tiap karangan diwarnai dengan pendapat dan pendirian masing-masing pengarangnya dan sangat tergantung kepada orang yang meminta fatwa tersebut kepada pengarang kitab tersebut. Akibat hal 7 R. Abdul Djamil, Hukum Islam Asas-Asas,Hukum Islam I, Hukum Islam II , Bandung, Mandar Maju, 1992. h, 64. demikian, timbul masalah khilafah karena antara satu ulama dengan ulama lain mempunyai persepsi yang berbeda dalam menilai suatu masalah hukum. Menurut Abu al-Hasan Ahmad Faris secara sistematis kata fiqih bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya secara baik dan mendalam. Sedangkan menurut pengertian istilah, Muhammad Abu Zahrah mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan fiqih adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci. Dari dua definisi ini ada dua objek kajian fiqih, yaitu hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci dari al-Qur’an dan sunnah yang menunjuk suatu kejadian tertentu, atau menjadi rujukan lagi kejadian-kejadian tertentu, seperti riba haram hukumnya karena telah ditetapkan dalam surat Al-Baqarah 2:279. bahwa pengetahuan mengenai hukum syara’ itu di dasarkan kepada dalil tafsili, dan fiqih itu digali dan di temukan melalui penalaran mujtahid. 8 Adapun hakekat dari fiqih itu adalah pertama, fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum syara’ dari setiap pekerjaan mukallaf, baik yang wajib, haram, makruh, mandub, dan mubah: kedua, objek kajian fiqih adalah hal-hal yang bersifat amaliah, sedangkan hal-hal yang bukan bersifat amaliah seperti masalah akidah tidak termasuk dalam kajian fiqih: ketiga, pengetahuan hukum syariah itu di dasarkan kepada dalil tafsili; keempat, fiqih itu digali dan ditemukan melalui penalaran nazhar dan ta’amul yang diistinbatkan dari ijtihad; kelima, fiqih sebagai ilmu merupakan seperangkat cara kerja sebagai bentuk praktis dari cara berfikir, terutama cara berfikir taksonomis dan cara berfikir logis untuk memahami kandungan ayat dan hadis hukum; keenam, pada hakekatnya fiqih merupakan 8 Abdul Manan Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006, h. 44 seperangkat norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. 9 Salah satu dimensi hukum Islam yang paling dikenal dalam masyarakat, baik umat Islam maupun komunitas ilmiah, adalah fiqih, yang merupakan produk penalaran fuqaha yang dideduksi dari sumber ayat al-Qur’an dan teks hadis yang otentik. 10 Produk pemikiran mereka di dokumentasikan dalam berbagai kitab fiqih, yang tersusun secara tematik dan mencakup berbagai bidang kehidupan, mulai dari tharah sampai jihad. Ia dapat diidentifikasi sebagai kumpulan hukum ‘Abd al-Wahab Khallaf, 1972: 11 yang bersifat praktis amaliah atau terapan. Sementara itu, menurut Al-‘Asymawi 1993:119, fiqih memiliki beberapa karakteristik.pertama, selalu disajikan sebagai suatu yang unik, yang tidak dapat dibandingkat dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Tetapi sebetulnya fiqih sangat dipengaruhi oleh hukum dan yurusprudensi Romawi-Bizantium. Kedua, mula-mula fiqih berkembang secara kasuistis, tanpa rencana dan system, karena itu tidak mempunyai teori tentang hukum, politik atau ekonomi selain yang dikembangkan oleh ilmu imam syafi’i. ketiga, fiqih kurang memberikan kepada fuqaha karena situasi-situasi politik sepanjang sejarah islam. Keempat, ada kekurangan indepedensi ijtihad, disebabkan oleh banyak faktor luar. Keadaan ini memaksa fuqaha untuk tidak mencari pendapat baru, tetapi mencari hilah. Kelima pembaruan hanya terbatas pada pemilihan terhadap pendapat-pendapat dalam berbagai macam mazhab. Jadi, fiqih adalah tidak sekedar ilmu tentang hukum syariah yang diperoleh dari proses istidlah, tetapi hukum-hukum itu seringkali disebut fiqih. Saat ini teknologi fiqih 9 Ibid, h. 45 10 Cik Hasan Bisri, Pilar-Pilar Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2004, h. 46 tidak lagi dimaksudkan sebagai seperangkat ilmu tentang hukum, melainkan hukum – hukum fiqih itu sendiri disebut fiqih. 11 Berkaitan dengan konsep pencegahan perkawinan, hukum Islam dimaksud meliputi pada fiqih resmi yang berbahasa Indonesia yang telah di formalkan dan dikondifikasi dalam sebuah Kompilasi Hukum Islam atas Intruksi Peresiden No. 1 Th. 1991. Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan atau himpunan kaidah-kaidah hukum islam yang disusun secara sistematis dan menjadi rukun formal bagi hakim pengadilan agama dalam menstandarkan hukum materiil dilingkungan pengadilan agama yang mudah-mudahan dapat; 1 memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam hukum islam, 2 mengatasi berbagai masalah khilafiyah perbedaan pendapat untuk menjamin kepastian hukum,dan 3 mampu menjadi bahan buku dan berperan aktif dalam pembinaan hukum nasional. 12 A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Kata “kawin” atau “nikah “berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-isteri dengan resmi, jadi perkawinan atau pernikahan ialah hal perbuatan nikah. perkawinan dalam bahasa arab disebut dengan al-nikah yang bermakna al-dammu wa-al jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wath’al-‘aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad. 13 Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum islam adalah “perkawinan menurut hukum islam adalah 11 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006, h. 48 12 Muhamad Daud Ali, Hukum Islam, Jakarta:PTRaja grafindo persada, 2004 , cet. Ke-9, 13 Amiur nurudin,dan azhari akmal tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia studi kritis perkembangan hukum islam dari fiqih,UU NO.11974 sampai KHI, Jakarta: kencana,2004,cet.ke-1, h.38 pernikahan,yaitu akad yang sangat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah allah dan melaksanakanya merupakan ibadah.” 14 Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah, melainkan sebagai pelaksana proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hokum perkawinan islam mengandung unsure-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga berdasarkan relegius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Sedangkan dasar-dasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan yang perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakannya, yaitu : iman, islam, ikhlas. 15 Adapun dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 seperti yang termuat dalam pasal 1 bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal bedasarkan tuhan Yang Maha Esa.” 16 Pencantuman ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena Negara Indonesia berdasarkan kepada pancasila yang sila pertamanya adalah ketuhanman Yang Maha Esa, dan sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahirjasmani tetapi juga memiliki unsur batinrohani 14 Departemen agama, Kompilasi Hukum Islam Departemen Agama Republic Indonesia, 2000,h.14 15 R. Abdul Djamil, Hukum Islam Asas-Asas,Hukum Islam I, Hukum Islam II , Bandung, Mandar Maju, 1992. h, 72 16 Departemen agama, Himpunan Perundang-Undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, direktorat Pembina badan peradilan agama islam direktora jendral pembinaan kelembaagaan agama islam, 2000, h.131 Hukum melakukan perkawinan variatif; wajib bagi orang yang mempunyai penghasilan cukup dan ia takut terjatuh dalam lembah kejahatan, sunnah bagi orang yang ingin kawin serta cukup belanjanya, jaiz ini adalah hukum asalnya, dengan demikian, seseorang boleh kawin dan boleh tidak kawin atau tidak di hukum pula orang yang tidak kawin , makruh bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah haram bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang di nikahinya. 17 Ada dua tujuan perkawinan menurut imam Ghazali dalam ihya’ulumuddinnya yaitu memenuhi nalurinya dan memenuhi petunjuk agama, sehigga dua tujuan tersebut dapat di kembangkan menjadi lima: 1. mendapatkan dan melangsungkan perkawinan 2. memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya 3. memenuhi panggilan agama, memelihara diri, kejahatan dan kerusakan 4. menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersengguh-sungguh memperoleh harta kekayaan yang halal dan 5. membangun rumah tangga untuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang. 18 Kompilasi Hukum Islam pasal 4 menyatakan bahwa perkawinan sah, apabila dilakukan menurut hukum islam. hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang No.1 1974 yang menganggap perkawinan sah menurut pasal 2 ayat 1 bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Walaupun Undang-Undang No.1 Th. 1974 Tentang Perkawinan menganut azas monogami sebagaimana tercantum dalam pasal 3 ayat 1 namun hal tersebut di tempatkan pada status darurat yang menyebabkan seseorang suami dapat beristeri lebih dari seorang 17 Rahmat Taufiq Hidayat,almank alam islami: sumber rujukan keluarga muslim baru, Jakarta:PT.dinia Pustaka jaya, 2000, cet. Ke-1, h. 314 18 Abdul rahman ghajaly,fiqh munakahat, bogor:kencana, 2003, cet.ke-1, h.23 dengan meminta izin ke pengadilan dan dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagai mana terdapat dalam pasal 4 ayat 2. Izin beristeri lebih dari seorang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 diberikan dengan alasan sebagai mana terdapat dalam pasal 4 ayat 2 dan senada dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 57 yang menyatakan: a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai isteri; b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat di sembuhkan; c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 19 Kemudian syarat yang di tentukan dalam Undang-Undang No.1 Th. 1974 untuk mendapatkan ijin pengadilan agama bagi suami yang akan berpoligami selain syarat utama adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak, untuk memperoleh izin pengadilan agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 undang-undang tersebut yaitu: a. Adanya persetujuan isteri atau isteri-isteri b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak- anak mereka Dalam hal isteri atau isteri-isteri tidak mau memberikan persetujuan, sedangkan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang telah berdasarkan alasan-alasan 19 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2000, h. 14 yang dipersyaratkan. Maka pengadilan agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di pengadilan. Pengadilan agama dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. 20 Syarat-syarat perkawinan yang dijelaskan oleh Undang-Undang No. 1 Th. 1974 pada pasal 6 adalah hal-hal yang harus dipenuhi jika akan melangsungkan sebuah perkawinan, yaitu: 1 Adanya persetujuan dari kedua belah pihak 2 Untuk yang berumur 21 tahun, harus mendapat izin dari orang tua atau jika salah satu dari kedua orang tua telah meninggal atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dapat di peroleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu meyampaikan kehendaknya. 3 Bila orang tua telah meninggal atau tidak dapat menyampaikan kehendaknya, maka izin di peroleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan ke atas. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 14 menyatakan bahwa rukun dan syarat dalam suatu perkawinan harus ada calon isteri, suami, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan Kabul. Dalam pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No.1 Th.1974 dan pasal 15 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah menycapai umur 19 tahun dan wanita sudah mencapai 16 tahun, namun demikian dalam hal terjadi penyimpangan dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang di 20 Departemen agama, tanyajawab saputar kepenghuluan, Jakarta:direktorat jendral bibingan masyarakat islam dan penyelenggaraan haji,2003, h. 25 tunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat 2 dalam pasal 7 Undang-Undang perkawinan tersebut. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengatur perkawinan terlarang dalam pasal 8 senada dengan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 39 yang mana melarang perkawinan antara dua orang yang berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, menyamping antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya, semenda mertua, anak tiri, menantu, dan ibubapak tiri, sesusuan orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibipaman sesusuan, berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang, mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku. Selain dari hal tersebut di atas terdapat pula perkawinan terlarang lainnya seperti wanita dalam masa iddah dengan pria lain dan wanita yang tidak beragama islam pasal 40 KHI dan larangan terhadap isteri-isteri yang di talak raj’I, tetapi masih dalam masa iddah pasal 41 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 10 Undang-Undang No.1 tahun 1974. Demikian juga seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi sebagaimana termaktub dalam pasal 9 Undang-Undang perkawinan, kecuali dalam hal yang tersebut dalam pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 Undang-Undang ini, dan pada pasal 11-nya bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu yang apabila perkawinan terlarang tersebut tetap dilangsungkan maka perkawinan itu batal. Kewajiban untuk mencatat perkawinan diatur dalam pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku” dan kompilasi hukum islam pasal 5 yang menyatakan “1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap perkawinan harus dicatat. 2. Pencatat perkawinan tersebut pada pasal 1 dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No.22 jo. Undang-Undang Nomor 32 tahun 1954.” Realitas yang berkembang dalam masyarakat yang modern ini ternyata masih ada sebagian masyarakat kita yang melakukan perkawinan di bawah tangan, karena pentingnya catat mencatat dalam sebuah perkawinan yang diatur oleh Negara, maka terdapat dua pandangan pada fenomena tersebut. Pandangan pertama menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tidaklah menjadi syarat sah sebuah perkawinan dan hanya merupakan persyaratan administratif sebagai bukti telah terjadinya sebuah perkawinan, dan pandangan yang kedua, menyatakan bahwa pencatatan perkawinan tetap menjadi syarat sah tambahan sebuah perkawinan. 21 Menurut penulis kendatipun pencatatan perkawinan hanya bersifat administratif, tetap harus dianggap penting karena melalui pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di depan pegawai pencatat tersebut akan diterbitkan buku kutipan akta nikah yang akan menjadi bukti otentik tentang telah dilangsungkannya; sebuah perkawinan yang sah. B. Pengertian Pencegahan Perkawinan 21 Hartono Mardjono, Menegakan Syari’at Islam Dalam Konteks Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997, h. 97. Pada dasarnya yang di maksud dengan pencegahan perkawinan adalah usaha yang menyebabkan tidak berlangsungnya perkawinan. Berbeda dengan pembatalan perkawinan, pencegahan itu berlaku sebelum terjadinya perkawinan. Sedangkan pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak dilanjutkan hubungan perkawinan setelah sebelumnya perkawinan itu telah terjadi secara sah. 22 Pencegahan perkawinan adalah menghindari suatu perkawinan berdasarkan larangan hukum islam yang di undangkan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan berdasarkan hukum islam yang termuat dalam pasal 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan. Demikian juga yang terungkap dalam pasal 60 Kompilasi Hukum Islam. Pencegahan dimaksud adalah 1. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum islam dan peraturan perundang-undangan; 2. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan menurut hukum islam dan peraturan perundang- undangan. Ada dua syarat penting yang apabila tidak dipenuhi, perkawinan dapat dicegah. 23 Pertama, syarat materiil adalah syarat yang berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan seperti yang sudah diuraikan. dan kedua syarat administratif adalah syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan, yang 22 Amir Syarifuddin, Antara Fiqih Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: PT.Kencana,2006, cet,1, h, 150 23 Zainuddin Ali, Perdata Hukum Islam Di Indonesia,PT, Sinar Grafika, Cet,1, 2006, h, 33 meliputi calon mempelai laki-laki dan calon mempelai wanita, saksi, wali, dan pelaksanaan akad nikahnya, juga harus diperhatikan. Selain itu, pasal 3 PP Nomor 9 Tahun 1975 menentukan : 1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. 2. Pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan sekurang-kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan 3. Pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat 2 disebut sesuatu alasan yang penting. Diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah. Selain itu dapat juga dilihat pada pasal 4,5,6,7,8, dan 9 PP Nomor 9 Tahun 1975. sebagai contoh pasal 8 menyatakan bahwa setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuata halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang sudah di tentukan dan mudah dibaca oleh umum. 24 Berdasarkan uraian dimaksud, menunjukan bahwa apabila ada pihak-pihak yang merasa keberatan dapat melangsungkan pencegahan, agar tidak terjadi perkawinan yang dilangsungkan bertentangan dengan hukum islam dan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, menurut garis hukum yang tertuang dalam pasal 61 KHI, “tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan. Kecuali tidak sekufu karena 24 Ibid, h, 34 perbedaan agama atau ikhtilafu al-din”. 25 Upaya pencegahan perkawinan tidak menimbulkan kerancuan sehingga baik Undang-Undang perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam mengatur siapa-siapa yang berhak untuk mengajukan mencegahan perkawinan yang dimaksud. C. Alasan Pencegahan Perkawinan Islam mensyariatkan dan menggalakan perkawinan. Walaupun begitu, islam mengharamkan perkawinan dengan beberapa golongan perempuan. Pengharaman itu dilakukan karena beberapa sebab. Antaranya sebagai suatu penghormatan dan penghargaan kepada perempuan tersebut seperti mengawini ibu kandung sendiri. Antaranya karena fitrah semua manusia tidak menginginkan perkara tersebut seperti mengawini anak perempuan dan adik perempuan sendiri. Karena perkawinan itu menjaga kehormatan tidak dapat dicapai dengan sempurna apabila mengawini kaum kerabat, seperti mengawini saudara atau cucu perempuan. Dan karena perkawinan itu adalah untuk menyusun dan membina hubungan kekeluargaan, oleh karena itu diharamkan mengawini dengan anak-anak perempuan dan cucu-cucu perempuan sesususan. 25 Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Republik Indonesia, 2000, h. 14 Dengan sebab tujuan tersebut. Islam mengharamkan perkawinan sebagian golongan permpuandengan sebagian golongan laki-laki. Berikut adalah keterangan kepada keharaman tersebut. 26 Hal-hal yang menyebabkan haramnya menikahi perempuan ada tiga, yaitu : 1. Sebab Keturunan 2. Sebab Sepersusuan 3. Sebab Pernikahan jumlah wanita yang haram dinikahi adalah empat belas golongan. Tujuh diantaranya dari sebab keturunan, dua golongan dari sebab sepersusuan, dan lima golongan dari sebab pernikahan, semua ini disebut muhram. A. Dari Sebab Keturunan 1. Ibu dan jalurnya ke atas nenek perempuan dan seterusnya 2. Anak perempuan dan keturunannya dari garis ke bawah cucu, dan seterusnya 3. Saudara perempuan seibu sebapak 4. Bibi saudara perempuan ibu 5. Saudara perempuan dari bapak 6. Anak perempuan dari saudara laki-laki 7. Anak perempuan dari saudara perempuan 26 Mustofo Al-Khin, kitab fikih mazhab safi’ie. Undang-undang kekeluargaan, nikah,talak nafkah, penjagaan anak-anak, penyusuan,menentukan keturunan, dan anak buangan. kuala Lumpur : PT. Prospecta Printers SDN BHD, 2005, Hal. 744 Firman Allah SWT : خ ْا تﺎ و ْ ﻜ ﺧو ْ ﻜ ﺎﱠ و ْ ﻜ اﻮﺧأو ْ ﻜ ﺎ و ْ ﻜ ﺎﻬﱠ أ ْ ﻜْ ْ ﱢﺮﺣ ْﺧ ْا تﺎ و . . Artinya. “Diharamkan atas ibumu, anak perempuan, saudara perempuanmu, saudara perempuan dari bapak, saudara perempuan dari ibu, anak perempuan saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempun”Q.S. An-Nisa :23 B. Dari Sebab Sepersusuan 1 . Ibu yang menyusi ibu susuan 2.Saudara sesusuan saudara susuan Firman Allah SWT : ﺔ ﺎﺿﱠﺮ ا ْ ﻜ اﻮﺧأو ْ ﻜ ْ ﺿْرأ ﻰ ﱠا ﻜ ﺎﻬﱠ أو . Artinya. “dan diharamkan juga atasmu menikahi ibu yang menyusuimu dan saudaramu yang sesusuan”Q.S. An-Nisa : 23 C. Dari Sebab Pernikahan Musaharah : 1. Ibu dari isteri 2. Anak tiri bila terjadi dukhul dengan ibunya 3. Saudara perempuan dari isteri, kecuali bila telah cerai 4. Isteri dari anak laki-laki sekandung 5. Isteri dari bapak ibu tiri 27 Firman Allah SWT : تﺎﻬﱠ أو ﱠا ﻜﺋﺎ ْ ْ آرْﻮ ﺣ ﻰ ﻰ ﱠا ﻜ ﺋﺎ رو ْ ﻜﺋﺎ ﱠ ﻬ ْ ْﺧد ﻰ ْ ﻜ ْﺻأ ْ ْﺬﱠا ﻜﺋﺎ ْأ ﺋ ﺣ و ْ ﻜْ حﺎ ﱠ ﻬ ْ ْﺧد اْﻮ ْﻮﻜ ْ ْنﺈ ْ ْﺪﻗﺎ ا ْ ْﺧ ْا ْ اْﻮ ْ ْنأو , ﺣر ارْﻮ ﻏ نﺎآ ﷲا ﱠنإ ﺎ ْ . Artinya : “ dan diharamkan juga atasmu menikahi ibu isterimu mertuamu dan anak isterimu yang ada di dalam penguasaanmu karena pernikahan dengan isteri-isteri yang telah kamu dukhul dengan mereka, jika kamu telah dukhul dengan mereka, tidaklah dosa atasmu menikahinya dan isteri-isteri anakmu menantumu, begitu juga haram hukumnya, bila kamu kumpulakan dua saudara perempuan, kecuali yang telah terdahulu bahwasannya Allah Maha Pengampun lagi Maha Pengasih.” Q.S. An-Nisa : 23 Dan mengenai alasan perkawinan dapat dicegah, secara limitatif sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 13, dan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 60. 27 Ibnu Mas’ud, fikih mazhab syafi’I, edisi lengkap. Muamalat, munakahat, jinayat. Bandung : CV. Pustaka Setia Bandung, 1999, hal. 293. Dari pasal-pasal yang tersebut di atas dapat penulis simpulkan bahwa pada dasarnya suatu perkawinan dapat dicegah, apabila : pertama. Para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan, baik itu syarat-syarat materiil ataupun syarat- syarat administratif. Seperti yang dimuat dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974. bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas. b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri. d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibipaman susuan. e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang. f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. D. Akibat Pencegahan Perkawinan Berbicra tentang “akibat” berarti dengan sendirinya adanya sebab, dan membicarakan pencegahan perkawinan berarti bahwa perkawinan itu belum dilakukan atau belum terjadinya suatu perkawinan. Berbeda halnya dengan pembatalan perkawinan yang mana perkawinan itu sebelumnya telah berlangsung dan bisa jadi buah dari akibat perkawinannya itu telah menghasilkan anak, kemudian permasalahan yang timbul diantaranya adalah seputar masalah seksual, apakah perbuatan itu dianggap zina atau tidak ? dan jika menghasilkan anak, bagaimana status anak tersebut dianggap anak zina atau bukan kemudian tentang kaitannya dengan hak mewarisi. Dari beberapa permasalahan akibat pembatalan perkawinan itu sama sekali tidak ditemukan dalam permasalahan pencegahan perkawinan, dengan tidak ditemukannya akibat dari pencegahan perkawinan ini, disebabkan karena perkawinan tersebut belum terjadi. jadi dalam hal ini penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa tidak ada akibat yang ditimbulkan dari pencegahan perkawinan tersebut.

BAB III PENGERTIAN PENCEGAHAN PERKAWINAN