Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

(1)

PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG

-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK

PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI

PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

Diajukan untuk memenuhi syarat – syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

AMALIA GERALDA HARAHAP NIM : 090200445

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT

UNDANG -UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG

POKOK-POKOK PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

(STUDI PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

Diajukan untuk memenuhi syarat – syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

AMALIA GERALDA HARAHAP

NIM : 090200445

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. HASIM PURBA, SH.,M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I

(EDY IKHSAN, SH, M.Hum) NIP.196302161988031002

Pembimbing II

(DR.ROSNIDAR, SH,M.Hum) NIP.196602021991032002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur alhamdulillah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-undang No.1 tahun 1974 Tentang pokok-pokok perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Studi pada (Pengadilan Agama Medan)

Tujuan Penulis menulis skripsi ini merupakan salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan program studi Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, sehingga proses penulisan ini dapat berjalan lancar dan dapat diselesaikan. Untuk itu penulis dengan segala ketulusan hati mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Budiman ginting, selaku Pembantu Dekan I; 3. Bapak M.Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III;

4. Bapak Hasyim Purba, selaku Ketua Departemen Hukum Perdata; 5. Ibu Rosnidar, selaku Dosen Pembimbing II;

6. Untuk Almarhum Papa yang menjadi inspirasi dalam menyelesaikan skripsi ini;


(4)

7. Mama tercinta yang senantiasa memberikan kasih sayang, pengertian, bimbingan dan memberikan bantuan moril dan materil yang tidak henti-hentinya.

8. kakak yang telah banyak memberikan semangat dan dukungannya sehingga dapat tercapai apa yang penulis cita-citakan;

9. M.Arno Muchtar yang telah banyak memberikan semangat dan dukungannya selama ini;

10.Sahabat-sahabatku : Fika, Kiki, Oji, Putri serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu;

Penulis sangat menyadari sepenuhnya ketidaksempurnaan penulisan skripsi ini yang disebabkan keterbatasan baik dalam pengumpulan data-data maupun penjabaran data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, hingga akhirnya dalam penyelesaian skripsi ini penulis mendapat banyak dukungan, serta doa berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Medan, 06 Juli 2013


(5)

ABSTRAKSI

Perkawinan dengan segala hal yang melingkupinya tak luput dari berbagai persoalan yang timbul sebagai konsekuensinya, salah satu kaitannya melingkupi masalah pelaksanaan perkawinan itu sendiri, dimana pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum negara dan hukum agama yang dianut oleh para pihak tersebut dapat dianggap tidak sah sehingga menimbulkan suatu permasalahan dalam pernikahan itu sendiri.Beranjak dari permasalahan mengenai ketidak lengkapan syarat perkawinan tersebut maka diaturlah hal-hal yang berkenaan dengan penyelesaian masalah tersebut yang dikenal dengan proses pembatalan perkawinan yang di atur dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dari aturan perundang-undangan tersebut maka penulis mencoba memahami pelaksanaan dari suatu pembatalan perkawinan sebagaimana yang menjadi permasalahan pada skripsi ini adalah faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan perkawinan, prosedur pelaksanaannya dan akibat hukum yang terjadi akibat adanya pembatalan perkawinan tersebut baik terhadap anak, harta bersama, maupun hubungan dengan pihak ketiga.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dimana penulis, selain mendapatkan bahan dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi, buku-buku perpustakaan, penulis juga melakukan penelitian dan wawancara langsung dengan Hakim dan Panitera di Pengadilan Agama Medan.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Keaslian Penulisan ... 5

F. Tinjauan Kepustakaan ... 6

G. Metode Penelitian ... 9

H. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN ... 14

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan ... 14

A. 1. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Undang- Undang No. Tahun 1974 ... 14

A. 2. Pengertian Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 17

B. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan ... 22

C. Prosedur / Tata Cara Pembatalan Perkawinan ... 24

D. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan ... 27

E. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan ... 27

F. Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan ... 30

G. Pihak Yang Berhak Mengajukan Pembatalan Perkawinan ... 32


(7)

ABSTRAKSI

Perkawinan dengan segala hal yang melingkupinya tak luput dari berbagai persoalan yang timbul sebagai konsekuensinya, salah satu kaitannya melingkupi masalah pelaksanaan perkawinan itu sendiri, dimana pelaksanaan perkawinan yang dilaksanakan menurut hukum negara dan hukum agama yang dianut oleh para pihak tersebut dapat dianggap tidak sah sehingga menimbulkan suatu permasalahan dalam pernikahan itu sendiri.Beranjak dari permasalahan mengenai ketidak lengkapan syarat perkawinan tersebut maka diaturlah hal-hal yang berkenaan dengan penyelesaian masalah tersebut yang dikenal dengan proses pembatalan perkawinan yang di atur dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dari aturan perundang-undangan tersebut maka penulis mencoba memahami pelaksanaan dari suatu pembatalan perkawinan sebagaimana yang menjadi permasalahan pada skripsi ini adalah faktor apa yang menjadi penyebab terjadinya pembatalan perkawinan, prosedur pelaksanaannya dan akibat hukum yang terjadi akibat adanya pembatalan perkawinan tersebut baik terhadap anak, harta bersama, maupun hubungan dengan pihak ketiga.

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dimana penulis, selain mendapatkan bahan dari peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan penulisan skripsi, buku-buku perpustakaan, penulis juga melakukan penelitian dan wawancara langsung dengan Hakim dan Panitera di Pengadilan Agama Medan.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembicaraan mengenai perkawinan selalu saja menarik perhatian, dimana hampir setiap manusia memiliki harapan mempunyai bahtera pernikahan yang harmonis. Sebagaimana kita ketahui dalam Islam pernikahan itu sendiri merupakan hal yang amat fundamental, sehingga penjelasannya telah disebutkan dengan rinci didalam Al-Qur’an dan hadits nabi.

Pernikahan dalam Islam merupakan kontrak sosial yang ditandai dengan adanya kesepakatan Ijab qabul. Kesepakatan antara mempelai pria dan mempelai wanita yang dilaksanakan oleh wali nikahnya. Persyaratan nikah yang telah dipenuhi mengakibatkan suatu perkawinan dipandang sah oleh agama. Namun berbeda jika dipandang dari prinsip yang dianut oleh negara. Negara mewajibkan syarat pelaksanaannya sebagaimana hukum Islam dan juga agar perkawinan tersebut dicatatkan dalam register resmi yang telah ditetapkan. Jika kedua hal tersebut dapat dipenuhi maka pernikahan tersebut baru dapat dinilai sah oleh negara.

Hampir semua makhluk ciptaan Allah SWT, di atas dunia ini bila hendak mengembang-biakkan keturunannya dilalui dengan proses perkawinan. Demikian halnya dengan manusia sebagai salah satu diantara makhluk ciptaanNya dalam1 melangsungkan keturunannya melalui suatu wadah perkawinan. Hal ini dapat dilihat pada firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa (4):1.

Terjemahan :

1


(9)

‘Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan daripadanya Allah menciptakan istri dan daripadanya Allah menciptakan istri dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.’

Perbedaan antara proses perkawinan manusia dengan makhluk lainnya terletak pada nilai sebuah perkawinan. Manusia sebagai makhluk yang termulia. Memandang perkawinan itu mengandung nilai spiritual yang datangnya dari Allah yang terdapat dalam ajaran agama sedang makhluk selain manusia hanya menggunakan perkawinan sebagai alat untuk berkembang biak saja. Hal ini dikarenakan manusia dikaruniai oleh Allah SWT berupa akal pikiran sedang makhluk lainnya tidak dikaruniai.

Sebagai negara yang berdasarkan pancasila, dimana sila yang pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan agama, sehingga perkawinan bukan hanya sekedar mempunyai unsur jasmani saja akan tetapi unsur kerohanian juga mempunyai peranan penting. Hal ini mempunyai hubungan erat dengan tujuan dari sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan sejahtera serta kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk mencapai suatu tujuan dari perkawinan maka yang utama ialah melakukan pelaksanaan perkawinan secara benar, yang diartikan sebagai pelaksanaan perkawinan yang memenuhi aturan-aturan perkawinan sebagaimana tertuang di dalam syarat-syarat sah suatu perkawinan. Dalam hal perkawinan yang terjadi tidak bersesuaian dengan syarat sah suatu perkawinan maka terhadap hal ini dapat terjadi suatu pembatalan perkawinan.


(10)

Berbicara tentang pembatalan sebuah perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia hal tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai sejauhmana pelaksanaan pembatalan perkawinan tersebut dan efek daripada praktek pembatalan perkawinan tersebut maka untuk mengkaji hal tersebut pada skripsi ini penulis mencoba melihat praktek pembatalan perkawinan pada Pengadilan Agama Medan.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang dapat timbul dari suatu perkawinan yang dibatalkan melingkupi masalah yang berkaitan dengan status hukum perkawinan itu sendiri, status hukum terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan.

Berdasarkan latar belakang di atas maka timbul suatu masalah pokok yaitu bagiamana Praktek Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang di Indonesia. Dengan adanya masalah pokok diatas maka dapat pula dikemukakan 3 (tiga) sub masalah, yaitu :

1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan pembatalan perkawinan ? 2. Bagaimanakah prosedur dari pelaksanaan pembatalan perkawinan ? 3. Bagaimanakah akibat hukum dari pelaksanaan pembatalan perkawinan ?

C. Tujuan Penulisan

Suatu penulisan skripsi tentu mempunyai tujuan pembahasan masalah penulisan. Adapun yang menjadi tujuan penulisan dari permasalahan dalam skripsi ini adalah :


(11)

a) Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang dapt menyebabkan pembatalan perkawinan

b) Untuk mengetahui prosedur dari pelaksanaan pembatalan perkawinan c) Untuk mengetahui akibat hukum dari pelaksanaan pembatalan

perkawinan

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan skripsi ini adalah :

a) Dari sudut pandang teoritis, skripsi ini diharapkan mampu membuat teori-teori baru mengenai hal-hal yang dapat dijadikan dasar pembatalan perkawinan, atau paling tidak memperkuat teori lama yang telah baku yang nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pengubah hukum perkawinan dalam masyarakat.

b) Dari sudut pandang praktis, skripsi ini dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat pada umumnya, khususnya bagi pemerintah dan peradilan kaitannya hakim dalam memberikan putusan yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan diluar daripada aturan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

c) Dari sudut pandang akademis, skripsi ini diharapkan mampu membuka cakrawala berpikir para akademisi dalam menilai tentang masalah pembatalan perkawinan diluar aturan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974.


(12)

d) Dari sudut kepentingan sosial, diharapkan skripsi ini dapat memberi masukan kepada pemerintah, khususnya DPR dan membentuk suatu hukum perkawinan dan yang bernilai keadilan bagi kepentingan seluruh rakyat Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Masalah perkawinan, terutama masalah pembatalan perkawinan sebelumnya telah banyak dibahas oleh para penulis-penulis sebelumnya, disebabkan topik tentang hal ini sangat menarik dan banyak berkaitan dengan segi-segi hukum yang lainnya.

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan, pelaksanaan seminar di beberapa daerah khususnya di Medan, serta dari hasil-hasil penelitian serta hasil penelusuran elektronik yang dilakukan, melalui media internet, televisi dan radio, ada beberapa yang mengangkat wacana tentang hukum perkawinan yang berkaitan dengan pembatalan perkawinan, namun berbeda maksud dan tujuan penelitian yang diajukan. Kekhususan penulisan skripsi ini adalah berkaitan dengan pembatalan perkawinan yang didasarkan atas aturan Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Rumusan permasalahan serta pendekatan metode penelitian yang dipergunakan dalam skripsi ini berbeda dengan penulisan terdahulu. Dengan demikian secara akademis, keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.


(13)

F. Tinjauan Kepustakaan

Arti kata perkawinan mengandung pengertian umum, yaitu bersatunya dua perkara. Dalam bahasa Arab kata perkawinan menunjukkan kata bergandengan maka sering juga disebut dengan al-Aqd, yakni bergandengan (bersatu) antara perempuan dan laki-laki, yang selanjutnya diistilahkan dengan kata zawaaja atau Az Zuwaaj.2

Perkawinan merupakan pintu bagi bertemunya dua hati dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, bahagia, harmonis, serta mendapat keturunan. Perkawinan itu merupakan ikatan yang kuat yang didasari oleh perasaan cinta yang sangat mendalam dari masing-masing pihak untuk hidup bergaul guna memelihara kelangsungan manusia di bumi.3

Sebagai ikatan bathin, perkawinan merupakan pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Dalam tahap permulaan ikatan bathin ini diawali dan ditandai dengan adanya persetujuan dari calon mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Selanjutnya tercermin dalam kerukunan kehidupan suami isteri, untuk mencapai tujuan utama membina keluarga yang bahagia dan kekal.

Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara. Perkawinan berarti ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

2

Diambil dari http://menikahsunnah.wordpress.com/2007/06/02, makna hukum dan tujuan perkawinan

3


(14)

isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4

Definisi lain dari perkawinan, dapat dilihat dari definisi hukum adat dimana terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami-isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.5 Perkawinan dalam arti ‘perikatan adat ‘ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan ‘rasak sanak’(hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan ‘rasan tuha’ (hubungan antara orangtua keluarga dan para calon suami, isteri).6

Sebagai ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami isteri. Ikatan lahir ini merupakan hubungan formil yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain dan masyarakat.7 Ikatan lahir ini biasanya terjadi dengan diadakannya upacara perkawinan8. Upacara perkawinan ini melibatkan keseluruhan keluarga dan sanak dari kedua mempelai, sehingga

4 Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. 5

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 8.

6

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni, 1977, hal.28/41.

7 K. Wantjik Saleh, Hukum perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976, hal.

14-15.

8

Riduan Syahrani, Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Bandung, Alumni, 2006, hal. 62.


(15)

mampu menyatukan dua keluarga yang berbeda, dan mencapai tujuan yang dimaksud dalam perkawinan, salah satunya yaitu melanjutkan keturunan.

Dasar bagi pelaksanaan perkawinan itu sendiri terletak pada terpenuhi atau tidaknya syarat-syarat sah perkawinan. Dimana perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan.9 Dikatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawianan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Namun dinyatakan Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, oleh karena itu tidak tertutup kemungkinan dalam keadaan terpaksa suami melakukan poligami yang sifatnya tertutup atau poligami yang tidak begitu saja dapat dibuka tanpa pengawasan hakim. Terjadinya suatu poligami yang dilaksanakan secara tertutup jika dipandang dari segi hukum agama maka terhadap hal tersebut dapat menjadi dasar terjadinya suatu pembatalan perkawinan.

Definisi dari sahnya suatu perkawinan berarti menurut hukum yang berlaku, jika perkawinan itu dilaksanakan tidak menurut tata-tertib hukum yang telah ditentukan maka perkawinan itu tidak sah. Jika tidak menurut pada aturan undang–undang perkawinan berarti tidak sah menurut perundangan, kalau tidak aturan hukum agama berarti tidak sah menurut agama, begitu pula kalau tidak menurut tata-tertib hukum adat tidaklah sah menurut hukum adat 10. Disimpulkan bahwa poligami yang tertutup dan syarat-syarat pembatalan lainnya dapat menjadi

9

Pasal 22 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

10


(16)

dasar pengajuan pembatalan perkawinan. Kesulitan baru timbul, jika ternyata ada permasalahan yang berkaitan dengan akibat dari pembatalan perkawinan.

G. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, metode penelitian yang digunakan adalah gabungan antara metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggabungkan antara metode penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam hal ini penelitian hukum normatif dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan skripsi ini. Sedangkan penelitian hukum empiris dilakukan untuk memperoleh data primer dengan melakukan wawancara.

2. Data

Data yang dikumpulkan oleh penulis dalam penyusunan skripsi ini dilakukan melalui pengumpulan data primer dan data sekunder. Metode pengumpulan data primer adalah melakukan wawancara terhadap pihak yang berhubungan dengan perkawinan. Sedangkan metode pengumpulan data sekunder terbagi atas 3 bagian, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer yaitu norma atau kaedah dasar seperti Pembukaan Undang Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan dan lain sebagainya.


(17)

b) Bahan Hukum Sekunder yaitu buku-buku yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer.

c) Bahan Hukum Tersier yaitu kamus, bahan dari internet dan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan 2 (dua) teknik pengumpulan data yaitu :

a) Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian ini adalah penelitian dengan mengumpulkan data dan meneliti melalui sumber bacaan, menganalisa peraturan perundang-undangan maupun dokumentasi lainnya seperti karya ilmiah, surat kabar, internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

b) Penelitian Lapangan

Kegiatan ini penulis lakukan dengan cara turun langsung ke lapangan. Pengumpulan bahan-bahan di lapangan untuk memperoleh data yang akurat, dilakukan dengan mencari informasi langsung dengan menggunakan wawancara (interview) terhadap instansi ataupun lembaga yang berhubungan dengan judul skripsi ini.

4. Teknik Analisis Data

Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh yang diperoleh


(18)

dari bahan bacaan atau buku-buku, peraturan perundang-undangan dan hasil wawancara langsung mengenai pembatalan perkawinan.

5. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi lokasi penelitian penulis adalah di Pengadilan Agama Medan.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi sistematika penulisan ke dalam lima bab, dan setiap bab terbagi dalam beberapa subbab yang lebih kecil. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan keseluruhan ke dalam garis besarnya yang dituangkan ke dalam tujuh sub bab yaitu latar belakang masalah, perumusan masalah, maksud dan tujuan penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan yang dalam garis besarnya dibagi atas Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan menurut Kompilasi Hukum Islam, Dasar hukum Pembatalan Perkawinan, Prosedur/ Tata Cara Pembatalan Perkawinan, Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan, Alasan-alasan Pembatalan Perkawinan, Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan.


(19)

BAB III KASUS PEMBATALAN PERKAWINAN (STUDI PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan mengenai contoh kasus yang menjadi bahan kajian penulis dalam melengkapi skripsi. Dimana kasus tersebut dapat dijadikan sarana dalam memahami kasus pembatalan perkawinan secara nyata.

BAB IV ANALISIS KASUS PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (STUDI PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

Dalam bab ini penulis mencoba menguraikan secara keseluruhan dalam garis besarnya yang dituangkan ke dalam tiga subbab yaitu : Faktor-faktor apakah yang menyebabkan pembatalan perkawinan, prosedur dari pelaksanaan pembatalan perkawinan serta akibat hukum dari pelaksanaan pembatalan perkawinan yang berkaitan pula dengan status anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang telah dibatalkan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan beberapa kesimpulan yang sekaligus sebagai jawaban permasalahan yang dikemukakan dalam penulisan ini. Selanjutnya penulis akan memberikan saran sebagai jalan keluar terhadap permasalahan yang ditimbulkan.


(20)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

A. Pengertian Pembatalan Perkawinan

A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkan akad nikah. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat (pasal 22-28 UU No. 1 tahun 1974), ini berarti bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana, maka perkawinan itu dapat dibatalkan.

Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Menurut Soedaryo Soimin : “Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang terjadi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat sesuai Undang-Undang”. “Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada”.11 Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pembatalan perkawinan lebih lanjut dimuat dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan: “Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan menurut

11

Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, Surakarta, Buana Cipta, 1986,hal.2.


(21)

hukum munakahad atau peraturan perundangundangan tentang perkawinan, Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan”. Dengan demikian suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan. Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No.l Tahun 1974 pengaturannya termuat dalam Bab VI, pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 dalam Bab VI Pasal 37 dan 38. Adapun Pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan yaitu: Pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Bagi mereka yang beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam di Pengadilan Negeri. Saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang No.l Tahun 1974 yang menyatakan bahwa: “Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”. Keputusan ini tidak ada upaya hukum lagi untuk naik banding atau kasasi. Akibatnya kembali ke posisi semula sebelum terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada.

Menurut Riduan Shahrani, sehubungan dengan pelaksanaan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan dalam Islam mungkin “putus demi hukum” artinya: “Apabila ada atau terjadi suatu kejadian, kejadian mana menurut hukum Islam mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu. Kejadian yang mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu, misalnya si suami atau isteri


(22)

murtad dari agama Islam dan kemudian memeluk agama atau kepercayaannya bukan kitabiyah. Maka perkawinannya putus demi hukum Islam”.12 Perkawinan yang putus demi hukum maksudnya karena perkawinan tersebut putus dengan sendirinya tetapi bukan dengan sendirinya seperti karena kematian yang sifatnya alamiah.

Di dalam pasal 22 UU No.1/1974 dinyatakan dengan tegas: “perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan”. Di dalam penjelasannya, kata “dapat” dalam pasal ini bisa diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masingmasing tidak menentukan lain. Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti nietig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolute nietig adalah pembatalan mutlak.13

Istilah dapat dibatalkan dalam undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relative nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu. Ada kesan pembatalan perkawinan ini terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari pihak keluarga atau pejabat berwenang perkawinan itu terlanjur terlaksana kendati setelah itu ditemukan pelanggaran terhadap undang-undang perkawinan atau hukum munakahat. Jika ini

12 Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978, Hal.42.

13

Amir Nuruddin dan A.A. Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan, Jakarta, Prenada Kencana, 2004, hal.54.


(23)

terjadi maka Pengadilan Agama dapat membatalkan perkawinan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan.

Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut. Sampai di sini suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama, misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Sedangkan yang kedua contohnya adalah perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami atau istri.

A.2. Pembatalan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam kajian hukum islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum taklifi maupun hukum wad’I bisa bernilai sah dan bisa bernilai fasad (fasid) atau batal (batil). Fasad dan fasakh nikah pada hakikatnya adalah rusak dan putusnya akad perkawinan karena putusan pengadilan. Agak tipis perbedaan antara keduanya, sebab apa yang disebut fasakh oleh sebagian dianggap sebagai fasad oleh sebagian yang lain.14 Dalam hukum islam, pembatalan perkawinan disebut juga fasakh. Fasakh berarti mencabut atau menghapus. Karena berdasarkan pengamatan kami terhadap literatur fiqih, tidak kami temukan istilah pembatalan perkawinan. Hukum islam hanya mengatur poligami terbatas, tidak mengatur atau mengenal pembatalan atas perkawinan. Kalau ternyata di dalam

14


(24)

kehidupan suami istri tidak dapat dipertahankan lagi hubungan yang dibina, maka perceraianlah yang dilakukan.15

Dalam kajian hukum islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum taklifi maupun hukum wad’I bisa bernilai sah dan bisa bernilai fasad (fasid) atau batal (batil). Fasad dan fasakh nikah pada hakikatnya adalah rusak dan putusnya akad perkawinan karena putusan pengadilan. Agak tipis perbedaan antara keduanya, sebab apa yang disebut fasakh oleh sebagian dianggap sebagai fasad oleh sebagian yang lain.16 Dalam hukum islam, pembatalan perkawinan disebut juga fasakh. Fasakh berarti mencabut atau menghapus. Karena berdasarkan pengamatan kami terhadap literatur fiqih, tidak kami temukan istilah pembatalan perkawinan. Hukum islam hanya mengatur poligami terbatas, tidak mengatur atau mengenal pembatalan atas perkawinan. Kalau ternyata di dalam kehidupan suami istri tidak dapat dipertahankan lagi hubungan yang dibina, maka perceraianlah yang dilakukan.17

Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Ini berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.18 Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebabkan karena salah satu pihak menemui cela pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Pada asasnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalam pelaksanaan lebih banyak

15

Hilman Hadikusuma, Op.cit, hal.41.

16 Rahmat Hakim, Ibid. 17

Hilman Hadikusuma, Ibid. 18

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974), Yogyakarta, Liberty, 2004, hal. 113.


(25)

dilakukan oleh pihak istri dari pada pihak suami. Hal ini mungkin disebabkan karena suami telah mempunyai hak talak yang diberikan agama kepadanya.19

Adapun talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya, dan ini terjadi dalam talak ba’in. sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dan dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilangnya hak talak itu, yakni menjadi talak raj’i.20 Adapun fasakh, baik karena hal-hal yang terjadi belakangan ataupun karena adanya syarat-syarat yang tidak terpenuhi, ia mengakhiri ikatan perkawinan seketika itu. Selain itu, pisahnya suami istri karena talak dapat mengurangi bilangan talak. Jika suami mentalak istrinya dengan talak raj’I, lalu rujuk lagi semasa iddahnya, atau akad lagi sehabis iddahnya, dengan akad baru, maka perbuatannya dihitung satu kali talak, dan ia masih ada kesempatan melakukan talak dua kali lagi. Adapun pisahnya suami istri karena fasakh, maka hal ini tidak berarti mengurangi bilangan talak, sekalipun terjadinya fasakh karena khiyar baligh, kemudian kedua orang suami istri tersebut kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempatan tiga kali talak.21

Fasakh dalam arti bahasa adalah batal sedangkan dalam arti istilah adalah membatal dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian dan menyebabkan akad

19 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulang

Bintang, 1974, hal. 194.

20

Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003, hal.86.

21


(26)

perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan.22 Dalam arti terminologis ditemukan beberapa rumusan yang hampir bersamaan maksudnya, di antaranya yang terdapat dalam KBBI (kamus besar bahasa Indonesia), sebagai berikut : “Pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan”. Definisi tersebut di atas mengandung beberapa kata kunci yang menjelaskan hakikat dari fasakh itu, yaitu, Pertama: kata “pembatalan” mengadung arti bahwa fasakh mengakhiri berlakunya suatu yang terjadi sebelumnya. Kedua: kata “ikatan pernikahan” yang mengandung arti bahwa yang dinyatakan tidak boleh berlangsung untuk selanjutnya itu adalah ikatan perkawinan dan tidak terhadap yang lainnya. Ketiga: kata “Pengadilan Agama” mengandung arti pelaksanaan atau tempat dilakukannya pembatalan perkawinan itu adalah lembaga Peradilan yang dalam hal ini adalah Pengadilan Agama, bukan ditempat lain. Keempat: kata “berdasarkan tuntutan istri atau suami yang dapat dibenarkan oleh Pengadilan Agama atau karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan”.23 Ungkapan ini merupakan alasan terjadinya fasakh, yaitu pengaduan pihak istri atau suami yang dapat dibenarkan dan atau pernikahan yang telah berlangsung ketahuan kemudian hari tidak memenuhi ketentuan hukum pernikahan.

Fasid nikah merupakan suatu Putusan Pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hukum. Hal itu dibuktikan seperti tidak terpenuhinya persyaratan atau rukun perkawinan atau disebabkan dilanggarnya ketentuan yang mengharamkan

22

Abdul Azis Dahlan, Ensilopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru, 2003, hal. 217.

23

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Kencana, 2007, hal. 242.


(27)

perkawinan tersebut. Contoh: Pertama, karena persyaratan, missal keduanya dinikahkan tanpa wali atau wali tidak berhak menjadi wali. Kedua, karena ketentuan nikah tidak boleh dilaksanakan, misal menikahi wanita yang masuk dalam kelompok yang diharamkam untuk dinikahi. Kalau diketahui sebelum akad, hal itu berakibat terhalangnya perkawinan tersebut. Akan tetapi, kalau halangan tersebut baru diketahui setelah akad dilangsungkan, nikah tersebut difasid- kan. Sebagaimana firman allah swt, dalam surat an-nisa ayat 23:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anak perempuan,saudara-saudara perempuan, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudarasaudaraperempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu,ibu yang menyusukanmu, saudara perempuan yang sesusuan, ibu-ibu istrimu(mertua) anak-anak perempuan istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istriyang telah kamu tiduri. Tetapi jika kamu belum mencampurinya (dan sudahkamu ceraikan) maka tidak dosa kamu mengawininya dan (diharamkan bagimu)istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpun (dikawini bersama) duaorang perempuan bersaudara kecuali pernah terjadi di masa lalu, sesungguhnyaallah maha pengampung lagi maha penyayang”.24

Dalam praktek di Pengadilan Agama, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapat

24


(28)

disamakan dengan perceraian karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitupula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.

B. Dasar Hukum Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan mempunyai dasar hukum yang tegas dalam pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Suatu perkawinan dapat di batalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.25 Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 1 ayat (2) dan pasal 4.26

Hal tersebut menunjukkan kuatnya dasar hukum pembatalan perkawinan dalam undang-undang perkawinan yang berlaku di Indonesia, yaitu Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Selain dari Undang-undang-Undang-undang pembatalan perkawinan di dasari juga dengan hukum islam yang termuat di dalam kompilasi hukum islam.

Kompilasi hukum islam sebagai sebuah kitab hukum yang dijadikan pegangan hakim di Pengadilan Agama, juga mengcover permasalahan pembatalan perkawinan ini. Hal ini terlihat dalam bab XI tentang batalnya perkawinan pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci.

25

Pasal 22 UU No.1 Tahun 1974.

26


(29)

Batalnya suatu perkawinan dapat terjadi baik ketika akad perkawinan dilakukan ataupun setelah terjadinya perkawinan yang kemudian para pihak mengajukan pembatalan terhadapnya. Sebagaimana yang telah di atur dalam kompilasi hukum Islam Pasal 70 mengenai perkawinan batal apabila :

1. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.

2. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah diliannya.

3. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.

4. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan. Dan batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan, seperti yang dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam Pasal 74 ditentukan sebagai berikut :

1. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan.


(30)

2. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

C. Prosedur/ Tata Cara Pembatalan Perkawinan

Pembatalan perkawinan dapat dimohonkan kepada Pengadilan Agama di wilayah hukum tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan. Perkawinan batal dimulai setelah putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan

Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan mengenai pemanggilan, pemeriksaan, dan putusannya dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. Diatur dalam ketentuan Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975, sepanjang dapat diterapkan dalam pembatalan perkawinan.

Prosedur yang harus dilakukan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain:

a. Pengajuan Gugatan.

Surat permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang meliputi:

1) Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan.

2) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal keduasuami isteri.


(31)

3) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman suami. 4) Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman isteri.

Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan, pemohon bisa datang sendiri atau diwakilkan kepada orang lain yang akan bertindak sebagai kuasanya. Surat permohonan yang telah dibuat oleh pemohon disertai lampiran yang terdiri dari:

1) Fotocopy tanda penduduk.

2) Surat keterangan atau pengantar dari kelurahan bahwa pemohon benar-benar penduduk setempat.

3) Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan pembatalan perkawinan dengan pihak Pemohon.

4) Kutipan akta nikah. b. Penerimaan Perkara.

Surat permohonan harus didaftar terlebih dahulu oleh panitera, SKUM atau Surat Kuasa untuk Membayar yang di dalamnya telah ditentukan berapa jumlah uang muka yang harus dibayar, lalu pemohon membayar panjar biaya perkara setelah itu pemohon menerima kuitansi asli. Surat permohonan yang telah dilampiri kuitansi dan surat-surat yang berhubungan dengan permohonan tersebut diproses dan dilakukan pencatatan dan diberi nomor perkara. Pemohon tinggal menunggu panggilan sidang.

c. Pemanggilan.

Panggilan sidang secara resmi disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan atau kuasa sahnya, bila tidak dijumpai disampaikan


(32)

melalui Lurah/Kepala Desa yang bersangkutan. Panggilan selambat-lambatnya sudah diterima oleh pemohon 3 (tiga) hari sebelum sidang dibuka. Dalam menetapkan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut perlu diperhatikan. Pemanggilan tersebut harus dilampiri salinan surat permohonan.

d. Persidangan.

Hakim harus sudah memeriksa permohonan pembatalan perkawinan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas/surat permohonan tersebut. Pengadilan Agama akan memutuskan unruk mengadakan sidang jika terdapat alasanalasan seperti yang tercantum dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Bab IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 27. Setelah dilakukan sidang, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya pembatalan perkawinan yang ditujukan kepada Pegawai Pencatat untuk mengadakan pencatatan pembatalan perkawinan.

D. Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan

Akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 75 dan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yangmempunyai rumusan berbeda. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.l Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap:


(33)

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 75 kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isterimurtad. b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa:

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Seharusnya di dalam perkawinan ini yang berhak menikahkan bertindak sebagai wali nikah merupakan abang kandung dari calon mempelai wanita.

E. Alasan-Alasan Pembatalan Perkawinan

Ketika menjalankan suatu bahtera perkawinan tidak terlepas dari permasalahan yang timbul bukan hanya dari pihak intern namun juga dapat berasal dari pihak ekstern yang dimungkinkan akan berakhir dalam suatu perceraian. Namun di samping dari berakhirnya perkawinan dengan jalan


(34)

perceraian, dikarenakan beberapa hal putusnya hubungan perkawinan juga dapat di sebabkan adanya pembatalan perkawinan. Baik di dalam hukum islam maupun hukum negara terjadinya suatu pembatalan perkawinan dibenarkan sebagai suatu bentuk berakhirnya hubungan antara suami-isteri. Terdapat beberapa alasan-alasan yang dibenarkan menurut hukum untuk melaksanakan suatu pembatalan perkawinan.termuat di dalam UU No.1 Tahun 1974 dalam pasal 26-27 adalah:

1. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai Pencatatan Perkawinan yang tidak berwenang.

2. Wali Nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah.

3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. 4. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri

suami atau isteri.

Bilamana ada salah satu pelanggaran perkawinan, maka perkawinannya merupakan perkawinan batal atau perkawinan difasidkan. Perkawinan yang batal dianggap tidak ada perkawinan dari permulaannya, yakni mulai akad nikah, sedangkan perkawinan fasid dianggap putus mulai hari diputus oleh pengadilan. Menurut Kompilasi hukum islam suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila :

a. suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama.

b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud


(35)

d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No.1 Tahun 1974.

e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak.

f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan Seorang.

Dalam hal pengajuan pembatalan perkawinan terdapat pula hal-hal yang membatalkannya/ gugur. Maksud gugurnya pembatalan ialah menghindari hak penuntutan kedua kalinya karena satu perbuatan juga.27 Hak mengajukan pembatalan gugur, disebabkan :

a. Dalam hal pelanggaran prosedural jika mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan mempelai dapat memperlihatkan akta perkawinan dibuat oleh pegawai pencatat pihak yan berwenang yang telah diperbaharui.

b. Dalam hal pelanggaran materiil jika ancaman telah berhenti atau jika salah sangka diantara suami isteri telah disadari keadaannya, tetapi dalam tempo 6 (enam) bulan setelah perkawinan itu ternyata masih tetap sebagai suami isteri.

F. Pernikahan Yang Dilarang Untuk Dapat Diajukan Pembatalan

Perspektif Fikih, UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Secara garis besar larangan perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita menurut syara’ terdiri dari dua halangan, yaitu halangan abadi dan halangan

27 Mr Martiman Prodjohamidjojo, Mr Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta, Indonesia Legal Center Publishing, 2001, hal. 39.


(36)

sementara yang mana di dalam hukum islam dan juga perundang-undangan perkawinan telah diatur di dalamnya, diantaranya sebagai berikut:

a. Pelanggaran larangan nikah mut’ah.28 b. Pelanggaran larangan nikah syighar.29 c. Pelanggaran larangan nikah muhrim.30

d. Nikah wanita yang sedang iddah, nikah seperti itu jika sempat berhubungan intim setelah masing-masing mengetahui bahwa nikahnya batal, maka perbuatannya dianggap zina.

e. Nikah wanita muslim dengan laki-laki non-muslim, wanita muslimah tidak halal menikah dengan laki-laki non-muslim.

f. Derajat mempelai laki-laki lebih rendah daripada derajat mempelai wanita.

g. Seorang suami yang telah beristeri empat nikah dengan istri kelima. h. Seorang isteri bersuami nikah lagi dengan laki-laki lain.

i. Oleh agama atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Bila salah satu dari larangan tersebut dilanggar, maka perkawinan batal sejak semula atau perkawinan fasid. Bilamana ada salah satu pelanggaran perkawinan, maka perkawinannya merupakan perkawinan batal atau perkawinan difasidkan. Perkawinan yang batal dianggap tidak ada perkawinan dari

28

Nikah Mut’ah ialah nikah kontrak sementara waktu sampai waktu yang ditentukan menurut kesepakatan. Adanya penegasan bahwa nikah itu sampai waktu tertentu, membuat akad nikah itu tidak sah karena bertentangan dengan tujuan syariat nikah.

29

Nikah syighar ialah nikah dimana seseorang laki-laki menikahkan anak perempuannya kepada seseorang dengan syarat imbalan, ia harus dikawinkan dengan anak perempuan orang tersebut, dan keduanya tanpa mahar.

30

Nikah Muhrim ialah perkawinan yang dilaksanakan dimana kedua calon suami isteri atau salah satunya sedang keadaan ihram baik untuk melaksanakan haji, maupun melaksanakan umroh.


(37)

permulaannya, yakni mulai akad nikah, sedangkan perkawinan fasid dianggap putus mulai hari diputus oleh pengadilan.

G. Pihak Yang Berhak Melakukan Pembatalan Perkawinan

Dalam suatu proses pembatalan perkawinan yang dilaksanakan antara suami/isteri di atur oleh syarat-syarat yang secara tegas termuat di dalam undang-undang perkawinan dan kompilasi hukum Islam baik yang menyangkut pihak-pihak, kelengkapan administrasi, maupun prosedur pelaksanaannya.

Syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam. Persyaratan yang berkaitan dengan orang atau pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan yakni UU No. 1 Tahun 1974 sebagai berikut :

1. Para anggota keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau dari isteri.

2. Suami atau isteri itu sendiri.

3. Pejabat yang berwenang, tetapi hanya selama perkawinan belum putus. 4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang berkepentingan hukum

secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.


(38)

5. Mereka yang dirinya masih terikat perkawinan dengan salah satu dari kedua calon mempelai, tanpa mengurangi Hak Pengadilan untuk dapat memberi izin seorang suami beristeri lebih dari seorang dan tanpa mengurangi hak suami yang akan beristeri lebih dari seorang mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk kawin lagi (pasal 24 UU no.1 Tahun 1974)

Memiliki syarat, yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat atau menurut islam calon pengantin laki-laki/perempuan itu harus beragama islam.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pembatalan perkawinan tersebut akan diangap sah apabila pembatalan tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kompetensi di hadapan hukum untuk mengajukannya, yakni :

1 Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri.

2 Suami atau isteri.

3 Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang-undang.

4 Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.


(39)

BAB III

KASUS PEMBATALAN PERKAWINAN (STUDI PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

Peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang di atur dalam undang-undang ini.31

Terhadap permasalahan-permasalahan atas kelangsungan suatu pernikahan berikut pula sengketa-sengketa bidang perdata, negara memberikan wewenang penuh kepada pengadilan agama dalam hal ini untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama di antara orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, ekonomi syariah.

Dalam prakteknya Pengadilan Agama memiliki beberapa asas-asas berkaitan dengan hukum acara, yakni :

1. Asas Personalitas Keislaman

Orang yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama islam. Penganut agama lain di luar islam tidak tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama. Dalam asas personalitas keislaman yang melekat pada Undang-undang Peradilan Agama tersebut, dijumpai beberapa penegasan yang melekat membarengi asas yang dimaksud :

31


(40)

a Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama islam.

b Perkara perdata yang disengketakan harus mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah dan ekonomi syariah.

c Hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan hukum islam.

2. Asas Wajib Mendamaikan

Terutama dalam perkara perceraian asas kewajiban hakim untuk mendamaikan pihak-pihak yang berperkara, sangat sejalan dengan tuntutan dan ajaran islam. Sebaba bagaimanapun adilnya suatu putusan namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.

3. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya ringan

Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan 32Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif. Yang dimaksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat. Namun demikian dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

4. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum Kecuali Pemeriksaan Perkara Perceraian

32


(41)

Sidang pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain dan jika hakim dengan alasan-alasan penting yang dicatat dalam berita acara persidangan, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan sidang tertutup. Namun undang undang Peradilan Agama menentukan lain dimana pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tetutup.33

Lebih lanjut akan di bahas mengenai praktek pembatalan perkawinan yang merupakan salah satu perkara yang kewenangannya berada pada Pengadilan Agama.

A. Kasus Pembatalan Perkawinan Diakibatkan Praktek Poligami

Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah pembentukan keluarga bahagia dan kekal, perkawinan yang sah menurut masing-masing agamanya, pencatatan perkawinan, asas monogami terbuka, prinsip calon suami atau isteri sudah masak jiwa raganya, batas umur perkawinan, perceraian dipersulit, kedudukan suami dan isteri seimbang.34 Mengenai asas monogami terbuka diartikan bahwa terdapat kemungkinan melakukan perkawinan lebih dari satu antara seorang pria yang telah berstatus sebagai suami dan wanita yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang harus dilengkapi dengan persetujuan dari pengadilan yang didasari atas kesadaran dan penerimaan isteri.

33

UU No. 4 Tahun 2004

34


(42)

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan.35 Berikut terdapat beberapa syarat-syarat pengajuan permohonan melakukan poligami menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 41, yakni :

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:

 bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;  bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan;

 Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.

c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin

keperluan hidup suami-isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan:

 surat keterangan mengenai penghasilan suami yang di tandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

 surat keterangan pajak penghasilan; atau

 suarat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;

d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janjidari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

35


(43)

Syarat-syarat atas pengajuan di atas pada Pengadilan pada akhirnya akan memberikan putusan dalam bentuk pemberian izin melakukan poligami maupun menolak pelaksanaan poligami. Terhadap perkawinan lebih dari satu yang tidak mengajukan izin pada Pengadilan perkawinan tersebut di anggap tidak sah menurut hukum yang berlaku di Indonesia. Berikut terdapat kasus pembatalan perkawinan yang terjadi akibat adanya praktek poligami, Identitas Para Pihak :

DJAMILAH binti S.ATNO, perempuan, umur 66 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga, agama islam, warganegara Indonesia, alamat Jalan Jemadi Gang Bahagia II/8, Kelurahan Pulo Brayan Darat, Kecamatan Medan Barat, Kota Medan, disebut sebagai Penggugat.

MELAWAN

1.Dra. SRIANA DEWI binti WARDANI, umur 43 tahun, agama Islam, pekerjaan ibu rumah tangga, warganegara Indonesia, pendidikan Strata-1 (S-1), alamat Jalan Rahmadsyah No. 156 A/192, Kelurahan Kota Matsum I, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, disebut sebagai Tergugat.

2. Kepala Kantor Urusan Agama, Kecamatan Deli Tua, Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara, disebut sebagai Turut Tergugat.


(44)

Bahwa Djamilah binti S Atno telah mengajukan gugatan pembatalan nikah ke Pengadilan Agama Medan, dimana gugatan telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan dengan Registrasi Nomor 560/Pdt.G/2012/PA. Mdn, tanggal 5 April 2012 yang selanjutnya di sebut sebagai penggugat.

Penggugat telah melakukan pernikahan secara sah dengan Hanipuddin bin H.M Nurdin (almarhum) sesuai dengan Akta Duplikat Kutipan Akta Nikah No. KK.02.02.01/PW.01/94/2011 di Padang Sidempuan. Perkawinan tersebut telah melahirkan 3 (tiga) orang anak yakni :1.Syahrani 2. Khalid khaisar, 3. Laura Syahfitri. Kemudian setelah suami dari penggugat yang bernama Hanipuddin bin H.M. Nurdin meninggal dunia baru diketahui bahwa yang bersangkutan telah melakukan suatu pernikahan yang dicatatkan pada buku besar akta nikah No. 210/27/XI/1994 tertanggal 15 Nopember dengan seorang wanita yang diketahui bernama Dra. Sriana Dewi binti Wardani yang disebut sebagai Tergugat I. Pernikahan yang dilakukan tersebut dilaksanakan tanpa seizin dari Penggugat sebagai isteri yang sah dan tidak melalui prosedur sebagaimana UU No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan jo. RI No.9/1975 jo.KHI BAB IX Tentang beristeri lebih dari seorang. Dalam pengajuan pernikahan pada Kantor Urusan Agama almarhum Hanipuddin bin H.M Nurdin melakukan pemalsuan status jejaka yang merupakan suatu perbuatan melawan hukum.

Berdasarkan uraian dan alasan di atas, Maka selanjutnya Penggugat sebagai isteri yang sah mengajukan beberapa permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama Medan, guna mengadili perkara ini yang amar putusannya sebagai berikut:


(45)

2. Membatalkan akta pernikahan Tergugat dengan almarhum Hanipuddin bin H.M Nurdin yang diterbitkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang tanggal 15 Nopember 1994 akta nikah nomor 210/27/XI/1994.

3. Menyatakan pernikahan Tergugat dengan almarhum Hanipuddin bin H.M Nurdin dengan akta nikah no. 210/27/XI/1994 tertanggal 15 Nopember 1994 cacat hukum dan tidak sah.

4. Menyatakan kutipan akta nikah no. 210/27/XI/1994 tertanggal 15 Nopember 1994 yang diterbitkan oleh KUA Deli Tua Kabupaten Deli Serdang tidak berkekuatan hukum.

5. Menyatakan surat-surat untuk kepentingan penerbit akta nikah no. 210/27/XI/1994 tertanggal 15 Nopember 1994 yang diterbitkan oleh KUA Deli Tua Kabupaten Deli Serdang cacat hukum dan tidak sah.

Tentang Hukumnya

1. Menimbang, bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah bahwa Penggugat menggugat agar Pengadlan Agama Medan membatalkan pernikahan Tergugat I dengan almarhum Hanipuddin bin H.M Nurdin yang dilaksanakan pada tanggal 15 Nopember 1994 di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang dan menyatakan bahwa kutipan Akta Nikah Nomor : 210/27/XI/1994/ atas nama Tergugat dan Hanipuddin bin H.M.Nurdin yang telah dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang tidak berkekuatan hukum


(46)

dengan alasan karena pernikahan tersebut tanpa prosedur yang benar sebagaimana terurai dalam dududk perkara.

2. Menimbang bahwa dasar hukum yang dijadikan alasan oleh Penggugat dalam gugatannya adalah sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan rumusan muatan pasal 4 ayat (1) dan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1974 jo. Pasal 58 ayat (1)huruf a Kompilasi hukum Islam, yaitu tidak mengajukan permohonan izin poligami ke Pengadilan Agama dan tidak adanya Persetujuan dari isteri baik tertulis maupun lisan dan pasal 71 huruf a jo. Pasal 56 ayat (3) Kompilasi Hukum Islamynag menentukan bahwa “Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua (poligami) tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum”

3. Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir di persidangan, maka perdamaian melalui proses mediasi terhadap perkara ini sebagaimana diatur oleh Peraturan Mahkamah Agung R.I No.1 Tahun 2008 tidak dapat dijalankan.

Putusan :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat;

2. Membatalkan perkawinan Tergugat (Dra. Sriana Dewi binti Wardani) dengan Hanipuddin bin H.M Nurdin, yang dilaksanakan pada tanggal 15 Nopember 1994 di Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang;


(47)

3. Menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor: 210/27/XI/1994, tanggal 15 Nopember 1994 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang, tidak mempunyai kekuatan hukum; 4. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp. 1.591.000,-(satu juta lima ratus sembilan puluh satu rupiah);

B. Kasus Pembatalan Perkawinan Yang Diakibatkan Wali Yang Tidak

Sah

Pernikahan yang terjadi haruslah memenuhi beberapa rukun nikah yang telah di tentukan menurut syariat islam, yakni :

1. Adanya dua calon mempelai laki-laki dan perempuan 2. Adanya Wali pengantin perempuan

3. Adanya dua orang saksi pria dewasa 4. Adanya Mahar

5. Adanya ijab dan qabul

Berkenaan dengan syarat pernikahan ini memiliki pandangan yang beragam dari beberapa alim ulama namun secara umum sifatnya sama hanya terdapat perbedaan dari segi urutan.

Adanya wali merupakan syarat wajib dari suatu pernikahan wajib disini berarti jika tidak memenuhi syarat tersebut maka pernikahan tersebut tidaklah sah menurut syariat islam maupun hukum perkawinan negara yang berlaku saat ini.


(48)

Adapun mengenai Wali nikah termuat di dalam Kompilasi Hukum Islam, wali nikah dalam dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.36

Kata wali sendiri menurut bahasa berasal dari bahasa arab yang artinya saudara atau penolong. Sedangkan menurut istilah wali mengandung pengertian orang yang menurut hukum (agama, adat) mewakilkan penganti perempuan pada waktu menikah yaitu (yang melakukan janji pernikahan dengan pengantin pria).Dari pengertian di atas maka dapat disimpulakan mengenai definisi wali nikah yakni orang yang melakukan akad nikah, dan akd nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan tidak sah.

Wali ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus, yang umum berkaitan dengan orang banyak dalam satu wilayah atau negara dan yang khusus berkenaan dengan seseorang dan harta benda. Seorang wali dalam pernikahan atau biasa disebut wali nikah merupakan bentuk dari wali yang bersifat khusus.

Syarat-syarat bagi seorang wali nikah dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah yakni :

1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. Tidak dipaksa 5. Terang laki-lakinya 6. Adil

7. Tidak sedang ihram atau umroh

8. Tidak rusak pikirannya karena tua atau sebagainya

36


(49)

Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 menyatakan bahwa yang bertindak sebagai wali nikah adalah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum islam, muslim, akil dan baligh.37Wali nikah terdiri dari; wali nasab dan wali hakim.38

Wali Nasab merupakan orang-orang yang terdiri dari keluarga calon mempelai wanita, dan berhak menjadi wali. Urutan dari Wali Nasab ialah :

1. Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas 2. Saudara laki-laki kandung (seibu-sebapak)

3. Saudara laki-laki sebapak

4. Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung

5. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak seterusnya ke bawah 6. Paman (saudara dari bapak kandung)

7. Anak laki-laki dari paman kandung

8. Anak laki-laki paman sebapak dan seteusnya ke bawah39 Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 21 :

1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

- Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

- Kedua, kelompok kerabat saudara laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki-laki-laki mereka.

37

Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 (1)

38

Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 (2)

39

M.Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mahzab, Jakarta,Hidakarya Agung, 1996, hal.55.


(50)

- Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

- Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Kedudukan Wall Nikah sangatlah penting, dalam sebuah perkawinan di Indonesia, karena wali nikah adalah rukun syahnya perkawinan, syarat utama untuk syahnya suatu perkawinan, syarat maupun rukun perkawinan yang lain yang sudah ditentukan terkadang diabaikan, sehingga tidak tertutup kemungkinan perkawinan dibatalkan. Hal ini terbukti dengan adanya kasus pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Medan yang berawal dari adanya salah satu unsur rukun nikah tidak terpenuhi, dan manipulasi yang dilakukan oleh salah satu calon yang akan menikah hingga ahirnya perkawinan dibatalkan oleh Pengadilan Agama Medan sebagai akibat perkawinan tidak memenuhi rukun perkawinan dan adanya manipulasi yang dilakukan oleh pihak yang mengajukan permohonan perkawinan dalam bab ini penulis akan menyajikan kasus mengenai pembatalan perkawinan dirnana kasus tersebut telah diputuskan oleh Pengadilan Agama Medan Kasus tersebut digunakan sebagai bahan untuk mengetahui pelaksanaan pembatalan perkawinan yang dihubungkan dengan teori dan praktek di lapangan. Di dalam kasus tersebut Pengadilan Agama Medan yang mengadili perkara perdata dalam persidangan telah menjatuhkan putusannya dengan nomor: 1009/Pdt.G/2009/PA.Mdn.

Berikut terdapat kasus pembatalan perkawinan akibat dari wali nikah yang tidak sah. Identitas Para Pihak:


(51)

ZULPARMAN, MA., umur 39 tahun, agama Islam, Warganegara Indonesia, Pekerjaan Kepala kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, beralamat Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Petisah di jalan Iskandar Muda No. 270 B, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Petisah, Kota Medan, Selanjutnya disebut Penggugat.

MELAWAN

1. ARYA PANGESTU bin M. ERAL, umur 27 tahun, Agama Islam,

Warganegara Indonesia, Pekerjaan Wiraswasta, Tempat Kediaman Jalan Pendidikan No.50 Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, selanjutnya disebut Tergugat I;

2. HALIMATUSSA’DIYAH binti AHMADSYAH NUR, umur 19 tahun, Agama Islam, Warganegara Indonesia, Pekerjaan Wiraswasta, Tempat Kediaman Jalan Pendidikan No.50 Kelurahan Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli , Kota Medan Deli, Kota Medan, Selanjutnya disebut Tergugat II Halimatussa’diyah.

Materi Kasus :

Bahwa Penggugat telah mengajukan gugatan Pembatalan Nikah dengan surat tanggal 29 September 2009, yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan dengan Register Nomor 1009/Pdt.G/2009/PA-Mdn. Di awali


(52)

dengan melangsungkan pernikahan pada tanggal 23 Mei 2009 di Kecamatan Medan Petisah dengan Akta Nikah Nomor 143/23/V/2009 Tanggal 28 Mei 2009; yang dilakukan oleh Arya Pangestu sebagai Tergugat I dengan Halimatussa’diyah selanjutnya disebut sebagai Tergugat II.

Setelah terjadinya pernikahan antara kedua belah pihak maka Tergugat I dan Tergugat II hidup bersama sebagaimana layaknya suami isteri, namun belum dikaruniai anak;

Dalam Pernikahan yang dilangsungkan tersebut yang bertindak sebagai wali nikah adalah Saudara Amir Muslian yang menurut Tergugat II merupakan pakciknya atau abang kandung dari ayah Tergugat II;

Kemudian pada tanggal 28 September 2009 Pembantu Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Petisah Bernama Nazrial Amin menemui Para Tergugat perihal pemberitahuan telah datang keluarga Tergugat I yang meras keberatan dengan pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II dengan menyatakan bahwa pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II harus dibatalkan karena yang bertindak wali tidak sah, sebab Tergugat II masih mempunyai wali nasab yaitu abang kandung Tergugat II sendiri;

Amir Muslian yang bertindak sebagai wali nikah dengan pengakuan sebagai pakcik dari Tergugat II dianggap tidak sah mewakili dalam pernikahan tersebut dikarenakan saudara tersebut tidak memiliki hubungan darah dengan Tergugat II

Setelah Zulparman sebagai Penggugat mengetahui pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II cacat menurut hukum karena pernikahan tersebut dilaksanakan dengan wali yang tidak sah maka sangat keberatan, karena Penggugat merasa Tergugat II telah memberikan keterangan palsu dengan menyatkan Amir Muslian


(53)

sebagai pakcik TergugatI. Terhadap perbuatan tersebut Penggugat merasa sangat keberatan dan karenanya Penggugat mohon agar Ketua Pengadilan Agama Medan dapat membatalkan pernikahan Tergugat I dengan Tergugat II dan selanjutnya Penggugat mohon agar Buku Kutipan Akta Nikah Nomor 143/23/V/2009.tanggal 28 Mei 2009 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Petisah Kota Medan dinyatakan tidak berkekuatan hukum.

Tentang Hukumnya :

1. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana di uraikan tersebut di atas;

2. Menimbang, bahwa penggugat, Tergugat I dan Tergugat II telah dipanggil secara resmi dan patut untuk menghadap di persidangan, sebagaimana ketentuan dalam pasal 26 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, dimana penggugat inperson telah menghadap di persidangan pada hari yang telah ditetapkan, sedang Tergugat I dan Tergugat II tidak menghadap di persidangan dan tidak ada mengutus orang lain sebagai kuasanya, sedang ketidak hadiran Tergugat I dan Tergugat II tersebut tanpa alasan yang sah, maka pemeriksaan perkara ini dapat dilaksanakan dan diputus secara Verstek (Pasal 149 ayat 1 Rbg);

3. Menimbang, bahwa untuk memenuhi maksud pasal 26 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Majelis Hakim telah berusaha menasehati penggugat di persidangan agar Penggugat memperbaharui perkawinan tersebut, akan tetapi tidak berhasil, karena Tergugat I dan Tergugat II tidak pernah menghubungi penggugat untuk maksud tersebut;


(54)

4. Menimbang bahwa Tergugat I dan Tergugat II tidak pernah menghadap di persidangan, sehingga tidak dapat dilakukan proses mediasi dalam perkara ini, sebagaimana ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008;

5. Menimbang, bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah penggugat mengajukan gugaan pembatalan nikah antara Tergugat I dan Tergugat II, dengan alasan telah terjadi perkawinan antara Tergugat I dan Tergugat II, yang dilaksanakan dengan wali yang tidak berhak;

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Penggugat memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Medan guna mengadili perkara ini yang amar putusannya sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat.

2. Menyatakan batal pernikahan Tergugat I (Arya Pangestu bin M. Eral) dengan Tergugat II (Halimatussa’diyah binti Ahmadsyah Nur) yang dilangsungkan pada hari Sabtu tanggal 23 Mei 2009 di Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan, tidak berkekuatan hokum.

3. Menyatakan Buku Kutipan Akta Nikah Nomor 143/23/V/2009. tanggal 28 Mei 2009 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Petisah Kota Medan, tidak berkekuatan hukum.


(55)

BAB IV

ANALISIS KASUS PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM

(STUDI PADA PENGADILAN AGAMA MEDAN)

A. Analisis Kasus Tentang Faktor-faktor Yang Menyebabkan

Terjadinya Pembatalan Perkawinan Di Pengadilan Agama Medan.

Hal-hal yang menjadi faktor dari pembatalan perkawinan adalah :

6. Perkawinan yang dilangsungkan di hadapan pegawai Pencatatan Perkawinan yang tidak berwenang.

7. Wali Nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah.

8. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi. 9. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 10. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri

suami atau isteri.

Kasus I :

Kasus pembatalan perkawinan akibat dari salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

 Didasarkan atas kasus diatas pendapat penulis perkawinan yang dilakukan oleh Tergugat I dengan saudara Hanipuddin bin H.M. Nurdin, yang dilaksanakan pada tanggal 15 Nopember 1994 di Kecamatan Deli Tua


(56)

Kabupaten Deli Serdang dilakukan dengan pemalsuan identitas saudara Hanipuddin yang mencantumkan status jejaka pada pengajuan perkawinan pada Kantor Urusan Agama tersebut.

 Tidak terdapat bukti yang menunjukkan Penggugat yang merupakan isteri sah saudara Hanipuddin memberikan izin dalam hal melakukan perkawinan dengan saudara Dra. Sriana Dewi binti Wardani)

 Tidak terdapat pula bukti yang menunjukkan saudara Hanipuddin mengajukan permohonan pelaksanaan poligami di Pengadilan Agama Medan.

 Sehingga dinilai patut Pengadilan Agama menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor : 210/27/XI/1994, tanggal 15 Nopember 1994 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Deli Tua Kabupaten Deli Serdang, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kasus II :

Kasus pembatalan perkawinan akibat dari wali nikah yang melakukan perkawinan adalah tidak sah

 Berdasarkan kasus diatas menurut hemat penulis perkawinan yang dilakukan oleh Tergugat I dan Tergugat II adalah tidak sah dikarenakan terdapat syarat perkawinan yang tidak terpenuhi dimana pihak calon mempelai wanita melakukan manipulasi terhadap wali yang berhak menikahkan. Seharusnya di dalam perkawinan ini yang berhak menikahkan merupakan abang kandung dari mempelai wanita yang merupakan wali nasab nya


(57)

 Adanya kejanggalan dari perkawinan tersebut diketahui oleh pihak Kantor Urusan Agama setelah memperoleh pengaduan dari pihak keluarga dari Tergugat dapat diliat tidak ada itikad baik dari pihak tergugat II untuk memperbaiki kekeliruan yang ia lakukan.

 Dengan adanya praktek manipulasi diatas, maka perkawinan yang telah dilaksanakan pada tanggal 23 Mei 2009 dengan akta nikah nomor: 143/23/V/2009 tanggal 28 Mei 2009 yang dikeluarkan Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Petisah Kota Medan yang dilakukan secara islam tidak berkekuatan hukum yang menyebabkan perkawinan mereka menjadi cacat hukum yaitu dengan tidak adanya wali nikah yang sah.  Tidak diceknya kembali perlengkapan dan kebenaran data oleh Pegawai

Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Medan Petisah, Kota Medan karena hanya dialah yang mempunyai kewenangan penuh untuk melaksanakan jalannya perkawinan sudah semestinya mengecek kembali perlengkapan dan kebenaran data yang ada pastilah akan diketahui kejanggalan dan tidak akan menyetujui terjadinya perkawinan antara Tergugat dan Penggugat sehingga pembatalan ini berlanjut dan merugikan banyak pihak.

 Bahwa menurut Penulis putusan yang di keluarkan oleh Pengadilan Agama Medan telah tepat, bahwa pembatalan perkawinan ytersebut telah sesuai dengan alasan-alasan pembatalan perkawinan menurut undang-undang yang diatur dalam Pasal 24, 26 ayat 1 dan Pasal 1 tahun 1974 bila kebutuhan hukum agamanya tidak menentukan lain.


(58)

B. Prosedur Pembatalan Perkawinan di Pengadilan Agama Medan

Prosedur pengajuan pembatalan perkawinan yang harus di lakukan dipengadilan Agama Kendal secara lengkap ada beberapa tahapan yang harus dijalankan, yaitu:

1. Pengajuan Gugatan

Pemohon membuat dan mengajukan surat permohonan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama. Pemohon bisa datang sendiri atau diwakilkan kepada orang lain yang akan bertindak sebagai kuasanya. Surat permohonan yang telah dibuat oleh pemohon disertai lampiran yang terdiri dari :

a. Fotocopy tanda penduduk.

b. Surat pengantar dari Kelurahan bahwa pemohon benar-benar penduduk setempat.

c. Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan pembatalan perkawinan dengan pihak pemohon.

d. Kutipan akta nikah.Agama meliputi :

 Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan.  Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal kedua suami isteri.  Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman suami.

 Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman isteri.

Petugas Pengadilan Agama sebelumnya minta kepada pemohon untuk menyerahkan beberapa rangkap surat permohonan untuk keperluan pemeriksaan. Beberapa rangkap surat permohonan tersebut digunakan selain lampiran untuk


(59)

keperluan pemanggilan termohon juga untuk keperluan apabila ada permohonan banding.

2. Prosedur Penerimaan Perkara.

Tata cara dalam penerimaan perkara di Pengadilan Agama Medan terdiri dari: a. Meja Pertama.

1) Menerima gugatan, permohonan perlawanan, pernyataan banding, kasasi, permohonan peninjauan kembali, penjelasan dan penafsiran biaya perkara. 2) Membuat surat kuasa untuk membayar (SKUM) dalam rangkap tiga dan

menyerahkan SKUM tersebut kepada calon pemohon.

3) Menyerahkan kembali surat permohonan kepada calon pemohon. b. Kas.

1) Menerima pembayaran uang panjar biaya perkara (PBP) dan biaya eksekusi dari pihak calon pemohon berdasarkan SKUM.

2) Membukukan penerimaan uang panjar biaya perkara dan biaya eksekusi dalam jurnal penerimaan uang.

3) Mengembalikan asli serta tindasan pertama SKUM kepada pihak calon pemohon setelah dibubuhi cap atau tanda lunas.

4) Menyerahkan biaya perkara dan biaya eksekusi yang diterimanya kepada bendaharawan perkara dan dibukukan dalam buku jurnal.

c. Meja Kedua.

1) Menerima surat gugatan atau perlawanan dari calon Penggugat atau Pelawan dalam rangkap sebanyak jumlah Tergugat atau terlawan ditambah sekurang-kurangnya 4 rangkap untuk keperluan masing-masing Hakim.


(60)

2) Menerima surat permohonan dari colon pemohon sekurang-kurangnya sebanyak 2 rangkap.

3) Menerima tindasan pertama SKUM dari calon pemohon.

4) Mendaftarkan atau mencatat surat permohonan dalam registrasi yang bersangkutan serta memberikan nomor registrasi pada surat permohonan tersebut.

5) Menyerahkan kembali satu rangkap surat permohonan yang telah diberi nomor registrasi kepada pemohon.

6) Asli surat permohonan dimasukkan dalam sebuah map khusus dengan melampirkan tindasan pertama SKUM dan surat-surat yang berhubungan dengan permohonan, disampaikan kepada WakilPanitera untuk selanjutnya berkas permohonan tersebut disampaikan kepada Ketua Pengadilan melalui Panitera.

d. Meja Ketiga.

1) Menyerahkan putusan Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah Agung kepada yang berkepentingan.

2) Menyerahkan salinan penetapan Pengadilan Agama kepada pihak yang berkepentingan.

3) Menerima memori atau contra memori banding, memori/contra memori kasasi jawaban/tanggapan dan lain-lain.

4) Menyusun atau mempersiapkan berkas.


(1)

keputusan penyelesaian mengenai harta bersama diserahkan pada suami isteri untuk membagi secara adil dimana di dalam Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 disebutkan bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Dalam penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.

3. Terhadap Pihak Ketiga.

Baik pada kasus pertama maupun kedua dimungkinkan selama masa perkawinan para pihak yang bersangkutan melakukan suatu perjanjian dengan pihak ketiga, bila Penggugat dan Tergugat melakukan ikatan perjanjian dengan Pihak Ketiga, mereka harus tetap menyelesaikan kewajiban mereka, walaupun perkawinan telah putus. Sebab untuk pihak ketiga dalam hal ini tetap mendapatkan perlindungan hukum dengan segala perbuatan perdata dan perikatan yang dibuat bersama suami isteri tersebut sebelum terjadinya pembatalan perkawinan adalah tetap berlaku, sehingga ikatan-ikatan perjanjian yang sah tetap dapat dilaksanakan dan suami isteri tersebut harus tetap melaksanakan isi dari perikatan tersebut dengan pihak ketiga di atas. Sebagai contoh: Apabila Penggugat dan Tergugat membeli peralatan rumah tangga yang dibayar secara kredit kepada pihak ketiga, sedangkan perjanjiannya pembayaran harus diangsur 25 x dan dibayar mingguan, tetapi baru mendapat 3 x angsuran sehingga masih kurang 22 angsuran sedangkan pernikahan mereka telah putus, walaupun begitu pembayaran harus tetap dilunasi karena itu merupakan hak bagi pihak ketiga.


(2)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan yang bersumber pada teori atau pun yang bersumber dari data-data yang penulis kumpulkan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya pembatalan perkawinan diputuskan dan dikabulkan oleh Pengadilan Agama Medan, yaitu:

a. Salah satu Rukun Nikah tidak terpenuhi.

b. Memanipulasi identitas petugas atau penyalahgunaan wewenang.

2. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan yang diputuskan dan ditetapkan oleh Pengadilan Agama Medan hanya menyangkut status suami isteri yang melakukan perkawinan tersebut, karena pernikahan dianggap tidak pernah ada sehingga kedua belah pihak kembali keposisi semula, namun untuk akibat-akibat lain yang ditimbulkan sudah ada karena pernikahan tersebut telah dikaruniai seorang anak.

3. Prosedur dari pelaksanaan pembatalan perkawinan dilaksanakan sesuai dengan aturan yang telah di tentukan oleh Pengadilan Agama Medan dengan persyaratan pengajuan gugatan pembatalan perkawinan yang harus dipenuhi. Pengajuan


(3)

B. Saran

1. Terhadap pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan hendaknya mempersiapkan diri dengan baik, mengetahui dengan jelas latar belakang calon suami atau calon isterinya, sehingga tidak mudah tertipu dan tidak Akan menyesal di kemudian hari.

2. Terhadap pejabat yang berwenang dan / atau pihak Pegawai Pencatat Perkawinan yang mengawasi pelaksanaan perkawinan dalam melaksanakan tugasnya agar lebih teliti dan lebih cermat, untuk menghindari adanya kasus penipuan tentang identitas dari petugas dan yang mengatas namakan wali nikah dengan melakukan pemeriksaan mengenai kebenaran status mempelai dan surat-surat sebelum perkawinan dilaksanakan.

3 Mengoptimalkan Petugas Pembantu Pencatat Nikah (P3N) dengan selalu aktif. Hal ini dilakukan guna memperoleh data yang akurat mengenai pihak-pihak yang akan melangsungkan perkawinan dengan bekerjasama dengan pemerintah setempat. Dengan demikian manipulasi data, karena salah satu rukun nikah tidak terpenuhi bisa dihindarkan penulisan skripsi ini.

4. Regulasi yang ada mengenai pembatalan perkawinan dinilai sangat longgar, dimana banyak sebenarnya perkawinan yang dinilai batal dan dapat dilakukan tindakan pembatalan perkawinan atasnya namun hal


(4)

tersebut acap tidak dihiraukan masyarakat, bahkan mungkin diperlukan suatu sanksi pemidanaan sebagai bentuk efek jera bagi para pihak.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Azis Dahlan Abdul,Ensilopedi Hukum Islam, Jakarta,Ikhtiar Baru, 2003.

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978.

Ghazaly Abdurrahman, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003

Nuruddin Amirdan A.A. Tarigan. Hukum Perdata Islam Di Indonesia Studi Kritis Perkembangan, Jakarta, Prenada Kencana, 2004.

Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta, Prenada Kencana, 2007. Bachtiar, Menikahlah, Maka Engkau Akan Bahagia !, Yogyakarta, Saujana,

2004.

Burhanuddin S, Nikah Siri, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2010.

Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 2007.

Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, Alumni, 1977. Muchtar Kamal, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulang

Bintang, 1974.

Wantjik Saleh.K, Hukum perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1976.

Marwan Muchlis dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, Surakarta, Buana Cipta, 1986.


(6)

Prodjohamidjojo Martiman, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Indonesia Legal Center Publishing, 2001

Yunus.M, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mahzab, Jakarta, Hida karya Agung, 1996.

Hakim Rahmat.Hukum Perkawinan Islam, Bandung : PustakaSetia, 2000. Syahrani Riduan, Seluk beluk dan asas-asas hukum perdata, Bandung, Alumni,

2006.

Sayid Sabiq, Fikih Sunnah 8, Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1996.

Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1974),Yogyakarta, Liberty, 2004.

Peraturan Per-Undang-undangan Undang-undang No.1 Tahun 1974. Undang-undang No.4 Tahun 2004. Kompilasi Hukum Islam

Sumber Internet

http://menikahsunnah.wordpress.com/2007/06/02

Sumber-Sumber Lain


Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 85 104

Akibat Pembatalan Perkawinan Karena Adanya Pemalsuan Identitas dan Kaitannya Dengan Kedudukan Anak Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Studi Pada Pengadilan Agama Medan Kelas-IA)

3 26 124

PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM FAKTOR PENYEBAB SERTA AKIBAT HUKUMNYA (Studi Kasus di Pengadilan Agama Klaten ).

0 0 18

PERBANDINGAN HUKUM TENTANG AKIBAT PEMBATALAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.

0 0 12

Perkawinan Anak Dibawah Umur Tanpa Izin Orang Tua Menurut Fiqih Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

0 0 14

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 - Pelaksanaa

0 0 42

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 8

Aspek Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Perspektif Undang- Undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam

0 0 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 - Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawina

0 0 19

Kedudukan Perkawinan Beda Agama Berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan - UNS Institutional Repository

0 0 11