Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tentang Tidak Dapat Diterima Permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Pemalsuan Surat (Study Putusan No.1785/k/pid/2011)

(1)

ABSTRAK

Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tentang Tidak Dapat Diterima Permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum

Dalam Perkara Pidana Pemalsuan Surat (Study Putusan No.1785/k/pid/2011)

Oleh

Muhammad Haikal

Upaya Hukum Kasasi pada dasarnya tidak dapat dilakukan pada vonis bebas, hal ini di dasarkan pada ketentuan dari Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Pidan (KUHAP), yang berisi mengenai pelarangan upaya hukum kasasi dala vonis bebas, namun pada praktiknya ketentuan pasal ini di nafikkan “contra legem” dengan pertimbangan vonis bebas tersebut merupakan vonis bebas tidak murni. Permasalahan dalam penelitian ini yaitu Apa yang menjadi dasar hukum dari upaya hukum kasasi dapat dilakukan terhadap vonis bebas? Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara kasasi terhadap vonis bebas tidak diterima?

Pendekatan masalah dalam penelitian ini yaitu melalui pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematisasi, dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif, dan menarik kesimpulan secara deduktif.

Hasil penelitian dan pembahasan yaitu pada praktiknya vonis bebas dapat dilakukan upaya hukum kasasi hal ini didasarkan pertama kali pada putusan Mentri Kehakiman dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada doktrin. setelah adanya putusan dari menteri kehakiman tersebut Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang di jadikan yurisprudensi. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Yurisprudensi ini menerobos larangan kasasi atas vonis bebas.


(2)

memvonis bebas saudara Damrah Khair di nilai tidak cacat hukum, Kemudian Hakim Mahkamah Agung menilai bahwa jaksa penuntut umum yang melakukan upaya hukum kasasi tidak dapat membuktikan secara kuat terhadap alasan-alasan yang ia cantumkan kedalam memori kasasi, yaitu putusan Hakim Pengadilan Negeri tanjung karang adalah merupakan vonis bebas tidak murni, oleh karena itu permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum / Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dan menguatkan putusan pengadilan sebelumnya.

Saran yang dapat di sampaikan adalah 1).Perlu adanya perubahan di dalam ketentuan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), melihat dalam prakteknya,ketentuan yang ada di Pasal 244 KUHAP dirasa tidak sesuai dengan nilai-nilai keadilan, 2).Putusan Mahkamah Agung yang menolak upaya hukum kasasi oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pemalsuan surat dirasa sudah tepat karna berdasarkan ketentuan yang ada. Penulis menyarankan kepada hakim agung, pada saat menjalankan kewajibannya dalam mengadili hendaklah selalu cermat dalam menangani suatu perkara hukum, hakim harus lebih memprioritaskan kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi dan juga rasa keadilan harus selalu di junjung tinggi selamanya.

Kata Kunci: Pertimbangan Mahkamah Agung, upaya hukum kasasi, tindak pidana pemalsuan surat.


(3)

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG TENTANG TIDAK DAPAT DITERIMA PERMOHONAN KASASI OLEH JAKSA

PENUNTUT UMUM ATAS VONIS BEBAS DALAM PERKARA PIDANA PEMALSUAN SURAT

(Studi Putusan No.1785/k/Pid/2011)

Oleh

Muhammad Haikal Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(4)

ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM MAHKAMAH AGUNG TENTANG TIDAK DAPAT DITERIMA PERMOHONAN KASASI OLEH JAKSA

PENUNTUT UMUM ATAS VONIS BEBAS DALAM PERKARA PIDANA PEMALSUAN SURAT

(Studi Putusan No.1785/k/Pid/2011)

(Skripsi)

Oleh

Muhammad Haikal

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2014


(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi pada tanggal9 Juli 1992 sebagai anak kedua dari empat bersaudara, yang merupakan anak Laki-Laki pertama dari pasangan Ayahanda Faisol dan Ibunda Holda Wati. Jenjang pendidikan penulis dimulai pada SD Negeri 1 Kotabumi Lampung Utara pada tahun 1998 dan selesai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan jenjang pendidikan di SMP Negeri 1 Kotabumi Lampung Utara dan selesai pada tahun 2007. Setelah itu melanjutkan ke SMA Negeri 3 Kotabumi Lampung Utara diselesaikan pada tahun 2010.Pada tahun 2010, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) program pendidikan Strata 1 (S1) dan mengambil bagian Hukum Pidana. Penulis mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan di tingkat Fakultas. Seperti, BEM, MAHKAMAH, dan HIMA Pidana, penulis juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Hima Pidana Periode 2013/2014, pada tingkat Eksternal Penulis mengikuti organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Himpunan Mahasiswa Lampung Utara.


(7)

MOTO

“Kalah dan menang, berhasil dan gagal, bukanlah hal yang

subtansi dalam hidup, melainkan sebagai konsekunsi logis dalam

suatu ikhtiar kita‟‟.

(Penulis).

Bekerjalah bagaikan tak butuh uang. Mencintailah bagaikan tak

pernah disakiti. Menarilah bagaikan tak seorang pun sedang

menonton

.

( Mark Twain)

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan; jangan pula lihat

masa depan dengan ketakutan; tapi lihatlah sekitar anda dengan

penuh kesadaran

.

(James Thurber)

"Jenius adalah 1 % inspirasi dan 99 % keringat. Tidak ada yang

dapat menggantikan kerja keras

”.

Pengetahuan Tanpa Agama Adalah Lumpuh, Agama Tanpa

Pengetahuan Adalah Buta

.

(Albert Eistein)

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah

menciptakan manusia dari segunmpal darah. Bacalah, dan

Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar dengan

Qalam. Dialah yang mengajar manusia segala yang belum


(8)

PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati kupersembahkan karya kecilku ini kepada:

KeduaOrang Tuaku

Terimakasih Untuk Semua Kasih Sayang dan Pengorbanannya Sehingga Aku Bisa Menjadi Orang Yang Berhasil

Kakak dan Adikku

Tumbuh Bersama Dalam Suatu Ikatan Keluarga Membuatku Semakin Yakin Bahwa Merekalah Yang Akan Membantuku Di Saat Susah Maupun Senang

Seluruh Keluarga Besar dan Teman-Teman Yang

Selalu Memotivasi, Doa dan Perhatian Sehingga Aku Lebih Yakin Dalam Menjalani Hidup Ini

Dan khusus untuk kekasishku yang telah menemaniku dan memberikan semangat kepadaku

Almamater Universitas Lampung

Tempat Aku Menimba Ilmu, Disinilah Aku Mendapatkan Ilmu Dan Pengetahuan Yang Menjadi Bagian Jejak Langkahku Meraih Kesuksesan


(9)

SANWANCANA

Puji syukur kehadirat Alloh SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tentang Tidak Dapat Diterima Permohonan Kasasi Jaka Penuntut Umum Atas Vonis Bebas Dalam Perkara Pidana Pemalsuan Surat (Studi Putusan No.1785/k/Pid/2011)

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna mengingat keterbatasan penulis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung;

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung dan sebagai Pembimbing I penulis yang senantiasa membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 3. Ibu Firganefi, S.H., M.H., selaku Sekertaris Jurusan Hukum Pidana atas

kesediaannya meluangkan waktu, memberikan saran, serta kesabarannya dalam membimbing penulis menyelesaikan skripsi ini.;

4. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku pembimbing II penulis yang senantiasa mendampingi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.


(10)

6. Bapak Irzal Ferdiansyah, S.H., M.H., selaku Pembahas II yang senantiasa meluangkan waktu, memberikan saran, serta kesabarannya dalam membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini;

7. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung, terima kasih atas ilmu yang telah diberikan selama proses pendidikan dan bantuannya selama ini.

8. Dr. Zainudin. S.H.,M.Hum., Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data pendukung dalam penulisan skripsi ini;

9. Bambang Jokowinarno. S.H. Penitera Pengganti Mahkamah Agung selaku narasumber yang telah memberikan informasi dan data pendukung dalam penulisan skripsi ini;

10.Kakak dan Adikku, Indah Nosa Putri, Nur Atikah, dan Febrinauroh yang selalu memotivasi penulis untuk sukses;

11.Kekasihku, Hanna Ade Pertiwi yang selalu mendampingiku dan

memberikan do’a dan dukungannya kepadaku untuk menyelesaikan


(11)

Imam, Rymni, Desi, Bella, Nurul, Tiara, Hety, Ibnu, Dendri, Doni, Rama, Tommy ( alm), Jete, Terry, Ario, Ario item, Ryan kiting, Sekar, Zaskia, Reina, Yusuf, Watson, Yuri, Anak-anak Gerobak Pasir , Richard, dan teman- teman yang lain, yang tidak bisa disebutkan namanya, penulis ucapkan terimakasih banyak atas dukungannya.

13.Teman – teman Seperjuangan dalam Hijau Hitam, Bagus, Haves, Jana, Insan, Dian, Aldo, Jeffry, Jaya, Yepri, Alan, Alfin, Rindi, Zul,Taufik, Jali (Alm) dan lain-lain

14.Teruntuk Keluarga Tercinta, Papah dan Mamah, Atu, dan Adik-Adikku, dan seluruh keluarga besarku yang telah memberikan semangat dan do’a kepada penulis.

15.Teman-teman dari Hima Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung periode 2013-2014. Terima kasih atas kerjasamanya dalam setiap kegiatan. 16.Teman- teman semua yang mendukung dan memberikan motovasi kepada

penulis untuk tercapainya skripsi ini;

17.Almamaterku tercinta, Universitas Lampung.

18.Seluruh pihak yang telah memberikan bantuan, semangat dan dorongan dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis sangat berterima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini, penulis berdoa semoga semua bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Allah SWT.


(12)

Bandar Lampung, 12 Agustus 2014 Hormat Penulis,


(13)

DAFTAR ISI I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 9

1. Rumusan Masalah... 9

2. Ruang Lingkup ... 9

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 9

1. Tujuan Penelitian ... 10

2. Kegunaan Penelitian ... 10

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... ... ...10

1. Kerangka Teoritis... .. ...11

2. Konseptual... .... ...15

E. Sistematika Penulisan... .... ...17

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Putusan Hakim... 18

B. Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Memutuskan Perkara ... 24

C. Pengertian Upaya Hukum Kasasi dan Dasar Hukumnya ... 26

D. Pemalsuan Surat ... 31

1.Pengertian Pemalsuan Surat... ... ...31

2.Unsur-Unsur Pemalsuan Surat... ... ...35

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 37

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Populasi dan Sampel... 39

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39


(14)

B.Gambaran Umum Putusan Mahkamah Agung

Nomor : 1785/k/pi/2011...43 C.Dasar Hukum dari upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas

dalamPerkara pidana pemalsuan surat...49 D.Dasar Pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara

Kasasi terhadap vonis bebas...52

V. PENUTUP

A. Simpulan...59 B. Saran...61


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berbicara mengenai penegakan hukum pidana di Indonesia, tentunya berbicara mengenai 2 (dua) tonggaknya, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan secara khusus banyak diatur di peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di Indonesia, diatur secara umum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dan secara khusus ada yang diatur di Undang-undang yang mencantumkan ketentuan pidana.

Berpijak pada kedua aturan hukum positif di atas, penegakan hukum pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara bersamaan, yakni sistem penegakan hukum pidana secara diferensiasi fungsional dan Intregated Criminal Justice System. Mengapa demikian, karena pada strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah dan mempunyai tugas serta wewenangnya masing-masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan persidangan beserta putusan menjadi tanggung jawab dari hakim yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Hal tersebut yang menjadi sebab Indonesia dikatakan menganut sistem


(16)

diferensiasi fungsional. Namun apabila ditilik dari proses kerjanya, ternyata semua lembaga tersebut bekerja secara berkelanjutan dan berkesinambungan. antara kepolisian dan kejaksaan misalnya, ketika melakukan penyidikan kepolisian akan menyusun berita acara pemeriksaan yang nantinya menjadi dasar dari kejaksaan untuk menyusun surat dakwaan. Sementara itu, ada juga proses yang dinamakan pra penuntutan, yakni ketika berkas dari kepolisian dianggap belum lengkap untuk menyusun surat dakwaan oleh kejaksaan, maka berkas tersebut dikembalikan ke kepolisian untuk dilengkapi disertai dengan petunjuk dari jaksa yang bersangkutan. Dan antara kejaksaan dan kehakiman, apabila suatu putusan dari hakim dirasa kurang sesuai dengan ketentuan yang ada atau melebihi kewenangannya maka jaksa penuntut umum akan bereaksi dengan cara melakukan perlawanan yang berupa upaya hukum yang sesuai dengan ketentuan yang ada.

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim. Dalam teori dan praktek kita mengenal ada 2 (dua) macam upaya hukum yaitu, upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Perbedaan yang ada antara keduanya adalah bahwa pada azasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi (kecuali bila terhadap suatu putusan dikabulkan tuntutan serta mertanya), sedangkan upaya hukum luar biasa tidak menangguhkan eksekusi.

Upaya hukum biasa, dapat berupa :

1. Banding, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk diperiksa ulang pada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak puas atas putusan pengadilan negeri ( Pasal 67 jo Pasal 233 KUHAP ).


(17)

2. Kasasi, yaitu hak terdakwa atau penuntut umum untuk meminta pembatalan putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi karena:

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. c. Proses peradilan tidak dijalanka sesuai Undang-undang. Upaya hukum luar biasa ada dua sebagai berikut:

a. Upaya hukum kasasi

Demi kepentingan hukum yang mengajukan adalah Jaksa Agung. b. Upaya hukum peninjauan kembali

Peninjauan kembali yang mengajukan adalah terpidana. Baik kasasi demi kepentingan hukum maupun peninjauan kembali, keduaduanya tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan atau terdakwa atau terpidana.

Upaya hukum yang dilakukan untuk menanggapi putusan hakim pengadilan negeri adalah upaya hukum biasa, yaitu banding dan kasasi. Terhadap upaya hukum biasa yang berupa upaya hukum banding, tidak dapat dikenakan terhadap semua putusan hakim. Putusan hakim yang tidak dapat dikenakan upaya hukum banding yaitu terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67 KUHAP, bahwa terdakwa atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat. Namun pada prakteknya Putusan Bebas dapat dilakukan upaya hukum langsung ke kasasi. Terkait masalah kasasi, diatur dalam Pasal 244 KUHAP yang secara yuridiksi


(18)

normatif menutup kemungkinan penuntut umum mengajukan kasasi pada putusan bebas. Namun pada kenyataannya, pasal ini dinafikkan “contra legem” dengan adanya surat keputusan menteri kehakiman No. M.14-PW.07.03 tahun 1983 tentang tambahan pedoman pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.

Para pihak yang tidak puas dengan putusan yang tidak dapat diajukan banding, yang belum memenuhi rasa keadilan, langsung mengajukan upaya hukum kasasi. Pengajuan upaya hukum kasasi tanpa banding merupakan inisiatif dari jaksa penuntut umum dalam hal menanggapi putusan hakim yang berupa putusan bebas, mengingat Pasal 244 KUHAP yang menyebutkan bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain dari mahkamah agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kapada mahkamah agung, kecuali terhadap putusan bebas. Berdasarkan Pasal 244 KUHAP tersebut, dinyatakan bahwa tidak dapat dilakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas, sehingga dalam praktek peradilan, putusan bebas dapat dibedakan menjadi putusan bebas murni, dan putusan bebas tidak murni. Terhadap putusan bebas murni tidak dapat dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi, sedangkan terhadap putusan bebas tidak murni yang bisa disamakan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang terselubung hanya dapat dilakukan upaya hukum kasasi tanpa melalui banding terlebih dahulu.


(19)

Penerapan upaya hukum ini semata-mata demi terciptanya keadilan yang sesungguhnya dimana terhadap putusan hakim di rasa memiliki kecacatan hukum, karna hakim dalam memberikan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan yang ada atau melebihi wewenangnya sebagai seorang hakim. Kasasi terhadap putusan bebas merupakan terobosan hukum. Dan telah menjadi yurisprudensi, namun mengabulkan kasasi terhadap putusan bebas tidak bisa sembarangan. Syaratnya, jaksa harus membuktikan bahwa terdakwa bukan dinyatakan bebas murni oleh pengadilan negeri.

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum. Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-


(20)

peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

2. Tiap putusan pengadilan ditanda tangani oleh ketua serta hakim-hakim yang memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang.

3. Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang, pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera. Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan,

a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib b. Putusan Bebas

c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum

Sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :

1. Hak segera menerima atau segera menolak putusan

2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

3. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 169 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jo. Undang-Undang Grasi).

4. Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak


(21)

hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)

5. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a (menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).(Andi Hamzah, 2002:279).

Syarat sahnya suatu putusan hakim sangat penting artinya karena akan dilihat apakah suatu putusan memiliki kekuatan hukum atau tidak. Pasal 195 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana merumuskan bahwa:

“Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan dimuka sidang yang terbuka untuk umum.”

Dari hal itu dapat dilihat bahwa syarat sahnya suatu putusan hakim adalah : a. Memuat hal-hal yang diwajibkan

b. Diucapkan di sidang yang terbuka untuk umum Pasal 18 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.

Pada kasus yang terjadi perihal pemalsuan surat tanah dengan putusan pengadilan Negeri Tanjung Karang No:1785 K/Pid.B/2011/PN Tanjung Karang yang


(22)

menyataka Terdakwa H. M. Damrah Khair bin Khair Rais tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum, membebaskan terdakwa dari Segala tuntutan Jaksa Penuntut Umum, Jaksa penuntut umum merasa putusan hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang ini cacat hukum kemudian jaksa penuntut umum melakukan Upaya Hukum Kasasi ke Mahkamah Agung, dimana pada tingkat Mahkamah Agung, Kasasi Jaksa Penuntut Umum Ditolak Karna Mahkamah Agung berpendapat bahwa ternyata Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut. Di samping itu Mahkamah Agung berdasarkan wewenang pengawasannya juga tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dengan telah melampaui batas wewenangnya, oleh karena itu permohonan kasasi Jaksa/Penuntut Umum / Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung tentang tidak dapat diterimanya Permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Pemalsuan Surat. (Studi Putusan


(23)

B.Rumusan Masalah Dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah penulis kemukakan di atas, maka masalah yang di angkat atau diajukan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Apa yang menjadi dasar hukum dari upaya hukum kasasi dapat dilakukan terhadap vonis bebas?

b. Apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim mahkamah agung dalam memutuskan perkara kasasi terhadap vonis bebas tidak diterima?

2. Ruang Lingkup

Ruang Lingkup bidang ilmu berkaitan dengan hukum pidana dan Hukum Acara Pidana, yaitu menganalisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara ditingkat kasasi. Ruang Lingkup pembahasan masalah skripsi ini dibatasi pada ruang lingkup Penelitian Hukum Pidana, Guna mendapatan jawaban yang di inginkan Penulis melakukan penelitian atas dasar apa suatu upaya hukum dapat diterima dan ditolak, penelitian ini berdasarkan pada studi kasus dengan lingkup penelitian di wilayah Hukum Bandar Lampung dan di Mahkamah Agung.


(24)

C.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Permasalahan yangtelah penulis ungkapkan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk Mengetahui Dasar dari upaya hukum kasasi terhadapan vonis bebas. b. Untuk Mengetahui Dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam

memberikan Putusan pada tingkat Kasasi berdasarkan kasus yang telah penulis ungkapkan sebelumnya.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

Secara Teoritis kegunaan skripsi ini digunakan untuk menambah pengetahuan dalam pengkajian ilmu hukum dan memberikan sumbang pemikiran bagi khasanah ilmu hukum mengenai kebijakan hakim putusan yang telah di ikrar kan pada tingkat Kasasi.

Secara Praktis kegunaan skripsi ini diarapkan berguna untuk memberikan sumbang saran dan pemikiran pada penegakan hukum khususnya Putusan Hakim Harus berdasarkan pada keadilan yang didasarkan pada ketuhanan yang maha esa.


(25)

D.Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah Konsep-konsep yag sebenaranya merupakan abstrak dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.1

Putusan Pengadilan Berdasarkan pasal 1 butir 11 KUHAP adalah sebagai berikut:

“ Putusan Pengadilan adalah Pernyataan Hakim yang di ucapkan dalam

sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan, bebas, atau bebas lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurutcara yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana.”

Suatu putusan ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. Putusan bebas murni artinya sama sekali tidak terbukti tindak pidananya. Sebaliknya suatu putusan dikatakan bebas tidak murni apabila suatu putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan, atau bila dalam menjatuhkan putusan bebas tersebut, pengadilan terbukti melampaui wewenangnya.

Permasalahan yang rumit adalah berkenaan dengan putusan bebas. Berdasarkan Pasal 67 KUHP terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding dan menurut Pasal 244 KUHAP tidak dapat dimintakan kasasi. Berbeda dengan putusan lepas dari segala tuntutan Hukum yang tidak boleh dimintakan

1


(26)

pemeriksaan banding tapi di perkenankan mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi.

Penerobosan Pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari MA, melainkan dari Pemerintah (eksekutif). MA justeru menyambut positif kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Yahya Harahap menunjuk Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini diikuti dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut:

a. terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding;

b. tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan

keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi.

Berdasarkan yurisprudensi tersebut, apabila putusan pengadilan yang

membebaskan terdakwa merupakan pembebasan yang murni sifatnya, maka sesuai ketentuan Pasal 244 KUHAP, permohonan kasasi tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan bukan didasarkan pada tidak terbuktinya suatu unsur perbuatan yang didakwakan, atau apabila pembebasan itu sebenarnya adalah merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum, atau apabila dalam menjatuhkan putusan itu pengadilan telah melampaui batas kewenangannya, maka MA atas dasar


(27)

pendapatnya bahwa pembebasan itu bukan merupakan pembebasan yang murni

harus menerima permohonan kasasi tersebut.2

Kekuasaan kehakiman Merupakan badan yang menentukan isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusan-putusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tidak ada artinya, apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur negara hukum. Sebagai pelaksanaan dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam memberi isi dan kekuatan kepada norma-norma hukum dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.3

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang di jatuhkan kepadanya, dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integitas moral yang baik. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.4

2

Dr. Laden Marpaung 2010. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika Jakarta. Hal 173 3

Arbijoto, 2010, Kebebasan Hakim. Diadit media. hal 7 4

Ahmad Rifai, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Sinar Grafika. Hal 102-103


(28)

Hakim dalam menjatuhkan putusan pada suatu perkara Hukum harus berdasarkan pada surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam sidang pengadilan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 191 KUHAP. Dengan demikian surat dakwaan dari penuntut umum merupakan dasar hukum acara pidana, karena dengan berdasarkan pada dakwaan itulah pemeriksaan sidang pengadilan itu dilakukan.Hakim mempunyai diskresi bebas, perasaannya tentang apa yang benar dan apa yang salah merupakan pengarahan sesungguhnya untuk mencapai keadilan. Selanjutnya dikemukakan, ajaran hukum bebas (freirechtslehre) meberikan kepada Hakim kehendak bebas dalam pengambilan keputusan, yang artinya Hakim dalam menentukan putusannya tanpa harus terikat pada Undang-undang.5

Ada beberapa teori atau pendekatan yang dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1. Teori keseimbangan

Yang dimaksud teori ini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.

2. Teori Pendekatan Intuisi

5

Dr.H.Pontang Moerad. Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana. P.T. Alumni. 2005. Hal 50


(29)

Penjatuhan putusan oleh Hakim merupakan diskresi, dalam menjatuhkan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim.Pendekatan kailmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara,hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau insting sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan Hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus di putusnya.

4. Teori Pendekatan pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang di hadapinya setiap hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagai mana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban, maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemud ian mencari peraturan perundang-undangan yang lebih relevan dengan pokok perkara yang di sengketaka sebagai dasar hukum dalam


(30)

penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan.6

Pada tingkat kasasi, hakim agung dalam memberikan putusan harus berdasarkan nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup didalam masyarakat, putusan yang di berikan hakim agung pada tingkat kasasi berdasarkan atas penilaian alasan-alasan penuntut umum mengajukan kasasi, apabila penuntut umum tidak dapat membuktikan alasan-alasannya bahwa putusan hakim sebelumnya merupakan putusan bebas tidak murni maka hakim agung harus menolak upaya hukum kasasi oleh jaksa/penuntut umum. Pemeriksaan dalam tingkat Kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang dan atau Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 tahun 1981). Mahkamah Agung berdasarkan wewenang pengawasannya, jika tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dengan telah melampaui batas wewenangnya, maka permohonan Kasasi Jaksa/Penuntut Umum/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima dan menguatkan putusan hakim pada tingkat sebelumnya.

2. Konseptual

Penulis akan menjelaskan pengertian-pengertian pokok yang akan digunakan dalam penulisan dan penelitian ini sehingga mempunyai batasan-batasan yang

6


(31)

tepat tentang istilah-istilah dan maksudnya yang mempunyai tujuan untuk menghindari kesalah pahaman dalam penulisan ini.

a. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa karangan,perbuatan, dan sebagainya untuk menengetahui keadan yang sebenarnya, sebab musab,duduk perkaranya,dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

b. Pertimbangan adalah memikirkan baik-baik untuk menentukan (memutuskan, dan sebagainya), memintakan pertimbangan kepada, menyerahkan sesuatu supaya dipertimbangkan (Kamus Besar Bahasa Indonesia).

c. Putusan Pengadilan Adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 11 KUHAP)

d. Putusan Bebas adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan terdakwa yang didakwakan kepadanya jika terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP)

e. Upaya Hukum merupakan tindakan untuk melawan putusan pengadilan yang telah dijatuhkanoleh Hakim kepada terdakwa ( Tri Andrisman 2010: 72) f. Pemalsuan Surat merupakan Suatu perbuatan yang disengaja membuat surat

palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan hak, perikatan atau pembebasan utang atau yang diperuntukan sebagai bukti mengenai sesuatu hal dengan makud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian


(32)

tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. (Pasal 263 KUHP)

E.Sistematika Penulisan

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat latar belakang penulisan. Dari uraian latar belakang di tarik suatu pokok permasalahan dalam ruang lingkupnya, tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.

II.TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pengantar yang berisikan tentang pengertian-pengertian umum analisis, Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara, dasar hukum dari upaya hukum kasasi dan faktor-faktor diterima dan ditolaknya Upaya Hukum Kasasi.

III.METODE PENELITIAN

Bab ini memuat dan membahas tentang metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, langkah-langkah dalam penelitian, sumber dan jenis data yang digunakan, penentuan proposal dan sampel, pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang di anggap sebagai jantung dari penulisan skripsi, karena pada bab ini akan dibahas permasalahan-permasalahan yang ada, yaitu: mengenai pertimbangan Hakim Mahkamah


(33)

Agung terhadap ditolaknya permohonan kasasi oleh jaksa penuntut umum pada perkara pidana pemalsuan surat.

VI. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil akhir yang memuat kesimpulan dan saran penulis. Kesimpulan diambil berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh penulis. Sedangkan saran diberikan berdasarkan hasil penelitian yang merupakan tindak lanjut dalam pembenahan dan perbaikan.


(34)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Putusan Hakim

Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam persidangan, menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap. Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan maka putusan Hakim itu merupakan:

“Putusan yang di ucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan

perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara pidan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara.1

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum Pengertian lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan Disidang pengadilan. Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

1

Lilik Mulyadi. Kompilasi hukum pidana dalam perspektif teoritis dan prakter pradilan. Mandar Maju. 2007. hal 127


(35)

disebutkan bahwa Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.

Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

1. Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus menuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

2. Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim-hakim yang Memutuskan dan panitera yang ikut serta bersidang.

3. Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua dan panitera. Ada berbagai jenis Putusan Hakim dalam pengadilan sesuai dengan sudut pandang yang kita lihat. Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara putusan hakim adalah sebagai berikut :

a. Putusan Akhir

Putusan Akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan.

Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan, tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :


(36)

1. putusan gugur

2. putusan verstek yang tidak diajukan verzet 3. putusan tidak menerima

4. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang undang menentukan lain

.

b. Putusan Sela

Putusan sela merupakan putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan.putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap arah dan jalannya pemeriksaan.Putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah, melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja.

Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turut bersidang.Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir.

Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai dengan keyakinannya. Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sah dari putusan itu dengan biaya sendiri.


(37)

Kemudian putusan Hakim dalam acara pidana terbagi menjadi tiga macam putusan yaitu:

1. Putusan Bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP

Putusan Bebas merupakan Putusan Pengadilan yang di jatuhkan kepada terdakwa karena dari hasil pemeriksaan sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang di dakwakan kepadanya dinyatakan tidak terbukti sacara sah dan meyakinkan.

Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa yang

dimaksud dengan “ perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan ” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas

dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.

Dari ketentuan tersebut di atas, berarti putusan bebas ditinjau dari segi yuridis ialah putusan yang dinilai oleh majelis hakim tidak memenuhi asas pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif, artinya dari pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu. Selain itu juga tidak memenuhi memenuhi asas batas minimum pembuktian, artinya kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183 KUHAP, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.2

2


(38)

2. Putusan Lepas dari segala Tuntutan Hukum

Merupakan Putusan yang di jatuhkan kepada terdakwa yang setelah melalui pemeriksaan ternyata menurut pendapat pengadilan, perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan satu tindak pidana.(Pasal 191 ayat (2) KUHAP)

Jenis putusan ini dasar hukumnya dapat di temukan dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada

terdakwa terbukti,tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa di putus lepas dari segala tuntutan”.

3. Putusan yang mengandung pemidanaan

Merupakan putusan yang membebankan suatu pidana kepada terdakwa karena perbuatan yang didakwakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan itu.(Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

Dasar putusan ini adalah Pasal 193 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:

“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan

pidana”.

B.Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Dalam Memutuskan Perkara

Dasar pertimbangan berasal dari dua suku kata, yakni dasar dan timbang, kata

“dasar” dalam kamus besar Bahasa Indonesia berarti pokok atau pangkal. Kata “timbang” berarti tidak berat sebelah, sama berat, dan pertimbangan artinya


(39)

pendapat (baik atau buruk). Sedangkan kata hakim secara etimologis berasal dari bahasa Arab Hakam.Hakim yang berarti maha adil; maha bijaksana, sehingga secara fungsional diharapkan mampu memberikan keadilan dan kebijaksanaan dalam memutus sengketa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pengertian hakim adalah:

a. Orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah) b.Orang-orang pandai, budiman dan ahli: orang yang bijaksana.3

Kewenangan yang diberikan kepada Hakim untuk mengambil suatu kebijaksanaan dalam memutus perkara, diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menentukan

“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai

-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat”.

Berdasarkan aturan hukum tersebut,terdapat norma hukum, mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Untuk memenuhi norma tersebut, maka hakim harus mengambil kebijaksanaan hukum. Penentuan atas tuntutan rasa keadilan yang harus di terapkan oleh hakim dalam memutus suatu perkara, secara teori para hakim akan melihat konsep-konsep keadilan yang telah baku, konsep keadilan tersebut sepanjang sejarah telah banyak macamnya, sejak zaman yunani kuno dan romawi keadilan dianggap sebagai salah satu dari kebajikan utama(cardinal virtue). Dalam konsep ini keadilan merupakan kewajiban moral yang mengikat para anggota masyarakat dalam hubungannya yang satu terhadap yang lainnya.

3


(40)

Konsep keadilan sebagai suatu kebajikan tertentu berasal dari filsuf yunani kuno, yaitu Plato (427-347 sebelum masehi) yang dalam bukunya Republic mengemukakan adanya 4 kebijakan pokok dari konsep keadilan, yakni kearifan (wisdom), Ketabahan (caurage), pengendalian diri (discipline) dan keadilan (justice).

Sedangkan Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung pada pemeriksaan dalam tingkat Kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya atau cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang dan atau Pengadilan telah melampaui batas wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 tahun 1981), bahwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa ternyata Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni karena Pemohon Kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut, Mahkamah Agung berdasarkan wewenang pengawasannya apabila tidak dapat melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dengan telah melampaui batas wewenangnya, maka permohonan Kasasi Jaksa/Penuntut Umum/Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No. 8 tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima dan menguatkan putusan sebelumnya.

Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi cenderung mengedepankan pertimbangan hukum normatif dengan mengabaikan nilai nilai


(41)

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan tersebut menimbulkan kontroversi paradigmatik pemikiran, formal dan substansial. Penalaran hukum hakim tingkat kasasi lebih mengedepankan pada kaidah normatif dan legalis formal. Akibatnya putusan hakim Mahkamah Agung menunjukkan tiga polarisasi pemikiran yang parsial, etis dan pragmatis Rekonstruksi dasar pertimbangan dan penalaran hukum hakim yang ditawarkan lebih dioreintasikan pada perubahan cara berfikir, sikap dan tanggungjawab yang berparadigma holistik- komprehensif.

Rekomendasi Diperlukan bagi perubahan yang sangat fundamental menyangkut pertimbangan dan penalaran hukum hakim. Perubahan tersebut harus diterjemahkan berbentuk revisi peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 11 UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Sehingga perubahan yuridis ini menjadi dasar pijakan untuk dilakukan transformasi yang mendalam. Perlunya penormaan tentang judicial liabilty, sehingga Hakim Agung punya pertanggungjawaban jelas atas putusannya. Mahkamah Agung perlu meningkatkan peran dan kapasitas eksaminasi ( legal anotation) yang dilakukan selama ini, supaya tidak sekedar memenuhi persyaratan formalitas kenaikan pangkat tetapi untuk menilai kualitas putusan yang memenuhi nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyrakat.

C. Pengertian Upaya Hukum Kasasi dan Dasar Hukumnya

Kasasi berasal dari kata casser yang artinya memecah. Lembaga Kasasi berawal di Prancis, ketika suatu putusan hakim dibatalkan demi untuk mencapai kesatuan


(42)

peradilan. Mulanya, kewenangan itu berada di tangan raja beserta dewannya yang disebut conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Prancis, dibentuklah suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum, jadi merupakan badan antara yang menjembatani pembuat undang – undang dan kekuasaan kehakiman.4

Lembaga kasasi tersebut lalu diaplikasikan di negeri Belanda yang kemudian masuk ke Indonesia. pada asasnya, kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan kehakimannya. Hadar Djenawi Tahir menyebutkan dalam bukunya bahwa kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi .5

Selama ini banyak orang keliru menafsirkan bahwa pemeriksaan kasasi adalah pemeriksaan tingkat tiga. Pemeriksaan tingkat kasasi itu sebenarnya bukanlah pemeriksaan tingkat ketiga. Kasasi adalah membatalkan atau memecah. Kasasi merupakan upaya hukum terhadap putusan–putusan yang diberikan tingkat tertinggi oleh pengadilan – pengadilan lain dalam perkara–perkara pidana maupun perdata, agar dicapai kesatuan dalam menjalankan peraturan – peraturan dan undang – undang6

Mahkamah Agung dalam Memeriksa Kasasi karen:

1. Hakim yang mengadili pada peradilan sebelumnya melebihi wewenangnya. 2. Salah menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku.

4

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 297. 5

Hadari Djenawi Tahir, Pokok – Pokok Pikiran dalam KUHAP, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 17. 6

M. Karjadi & R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana disertai dengan penjelasan resmi dan komentar, Politeia, Bogor, 1988, hlm 209.


(43)

3. Lalai memenuhi syarat yang diwajibkan oleh peraturan Undang-undang yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan

Namun pada putusan “bebas” tidak dapat di lakukan upaya hukum kasasi (Pasal 244 KUHAP)7. Siapa saja yang dapat mengajukan kasasi? Kasasi dapat diajukan oleh :

a. pihak–pihak, yaitu terdakwa atau penuntut umum, pihak - pihak ini mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung, maka pembatalan keputusan dalam tingkat kasasi mempengaruhi keputusan yang dimintakan kasasi itu;

b. Jaksa Agung demi kepentingan hukum. jaksa agung menyampaikan permohonan tertulis kepada Mahkamah Agung. Kasasi demi kepentingan hukum ini tidak membawa pengaruh terhadap putusan pengadilan yang telah dijatuhkan.

Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan dengan undang – undang atau keliru dalam menerapkan hukum.

menurut Yahya Harahap, ada beberapa tujuan utama upaya hukum kasasi, yaitu 1. koreksi terhadap kesalahan putusan pengadilan bawahan. Salah satu tujuan

kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar dilakukan menurut ketentuan undang – undang.

7


(44)

2. Menciptakan dan membentuk hukum baru. Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. 3. Pengawasan terciptanya keseragaman penerapan hukum. tujuan lain dari

pemeriksaan kasasi, adalah mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya.8

Tidak semua hal dapat dimintakan pemeriksaan kasasi. kasasi hanya dimungkinkan apabila mengetahui persoalan-persoalan hukum (rechtsvragen). Adapun persoalan-persoalan hukum itu adalah:

a. apabila satu aturan hukum tidak diperlakukan oleh hakim atau b. ada kekeliruan dalam memperlakukan satu aturan hukum atau c. apabila hakim melampaui batas kekuasaan.

d. apakah suatu hak itu mengenai persoalan hukum atau tidak diputus oleh Mahkamah Agung sendiri.9

Dalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar putusan itu, memuat pula pasal - pasal tertentu dari peraturan -

8

M. Yahya Harahap, Op.Cit. hal 539 - 542 9


(45)

peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Ini adalah dasar hukum yang sah bahwa suatu putusan hakim haruslah memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu. Dalam tahun 1947 dan 1974, Hoge Raad membatalkan putusan hakim yang lebih rendah karena alasan - alasan yang kurang cukup dan kelihatan di situ bahwa pidana yang dijatuhkan kurang seimbang dengan alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan pengadilan tersebut.

Berdasarkan alasan-alasan atau pertimbangan-pertimbangan yang ditentukan oleh undang- undang yang menjadi dasar suatu putusan yang kurang jelas, dapat diajukan kasasi melalui jalur kelalaian dalam acara (vormverzuim) itu. Dalam putusan pengadilan negeri atau pengadilan tinggi kadang-kadang tidak disertai dengan pertimbangan yang dikehendaki oleh undang-undang (dalam hal ini khususnya yang tercantum pada Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman). Tidak kurang adanya pertimbangan atau alasan-alasan atau pun alasan-alasan yang kurang jelas, sukar dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain, dapat menimbulkan suatu kelalaian dalam acara, oleh karena itu dapat menimbulkan batalnya putusan pengadilan negeri/tinggi oleh Mahkamah Agung dalam putusan kasasi.10

Pasal 253 ayat (1) KUHAP dimuat beberapa alasan mengajukan kasasi, yaitu; a. apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak

sebagaimana mestinya;

10


(46)

b. apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang- undang;

c. apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.

Permohonan pemeriksaan tingkat kasasi harus dilakukan menurut tenggang -tenggang waktu tertentu, yaitu 14 hari setelah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa atau penuntut umum, dan kemudian harus disusul dengan mengajukan memori kasasi yang memuat alas an-alasan permohonan kasasi, dalam tempo 14 hari setelah mengajukan permohonan tersebut (Pasal 245 dan 248). Jika tenggang waktu sebagaimana dimaksudkan di atas dilampaui, hak mengajukan permohonan kasasi dan hak menyerahkan memori menjadi gugur dengan sendirinya (Pasal 246 ayat (2) dan Pasal 248 ayat (4) KUHP).

Cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang,misalnya pengadilan dilakukan di belakang pintu tertutup tanpa alasan menurut undang-undang.

D. Pemalsuan Surat

1. Pengertian Pemalsuan Surat a. Pemalsuan

Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap kebenaran dan keterpercayaan, dengan tujuan memperoleh keuntungan bagi diri sendiri atau orang lain. Suatu pergaulan hidup yang teratur di dalam masyarakat yang maju teratur tidak dapat berlangsung tanpa adanya jaminan kebenaran atas beberapa


(47)

bukti surat dan dokumen-dokumen lainnya. Karenanya perbuatan pemalsuan dapat merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup dari masyarakat tersebut.

Manusia telah diciptakan untuk hidup bermasyarakat, dalam suasana hidup bermasyarakat itulah ada perasaan saling ketergantungan satu sama lain. Di dalamnya terdapat tuntutan kebiasaan, aspirasi, norma, nilai kebutuhan dan sebagainya. Kesemuanya ini dapat berjalan sebagaimana mestinya jika ada keseimbangan pemahaman kondisi sosial tiap pribadi. Tetapi keseimbangan tersebut dapat goyah bilamana dalam masyarakat tersebut ancaman yang salah satunya berupa tindak kejahatan pemalsuan.

Menurut Adami Chazawi mengemukakan bahwa :

Pemalsuan surat adalah berupa kejahatan yang di dalam mengandung unsur keadaan ketidak benaran atau palsu atas sesuatu (objek), yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya.

Menurut Topo Santoso, mengemukakan bahwa:

Suatu perbuatan pemalsuan niat dapat dihukum apabila perkosa terhadap jaminan atau kepercayaan dalam hal mana :

1. Pelaku mempunyai niat atau maksud untuk mempergunakan suatu barang yang tidak benar dengan menggambarkan keadaan barang yang tidak benar itu seolah-olah asli, hingga orang lain percaya bahwa barang orang lain terperdaya.

2. Unsur niat atau maksud tidak perlu mengikuti unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain (sebaliknya dari berbagai jenis perbuatan penipuan)


(48)

3. Tetapi perbuatan tersebut harus menimbulkan suatu bahaya umum yang khusus dalam pemalsuan tulisan atau surat dan sebagainya dirumuskan

dengan mensyaratkan “kemungkinan kerugian” dihubungkan dengan sifat

dari pada tulisan atau surat tersebut.11

b. Surat

Surat adalah segala macam tulisan, baik yang ditulis dengan tangan maupun diketik atau yang dicetak dan menggunakan arti (makna). Meskipun KUHPidana tidak memberikan definisi secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan surat, tetapi dengan memperhatikan rumusan Pasal 263 (1) KUHPidana, maka dapatlah diketahui pengertian surat.

Adapun rumusan Pasal 263 (1) KUHP sebagai berikut:

Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat, yang dapat menerbitkan sesuatu hak, suatu perjanjian (kewajiban) atau sesuatu pembebasan utang, atau yang boleh dipergunakan sebagai keterangan bagi sesuatu perbuatan, dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat-surat itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, maka kalau mempergunakannya dapat mendatangkan sesuatu kerugian dihukum karena pemalsuan surat, dengan hukuman penjara selama-lamanya enam tahun.12

Berdasarkan Pasal tersebut di atas, maka yang dimaksudkan dengan surat ialah sebagai berikut:

11

Topo Santoso, 2001, Kreminologi. Rajawali Pers, hal 77 12


(49)

1. Yang dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tdanda masuk, surat andil,dll).

2. Yang dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian sewa, perjanjian jual beli).

3. Yang dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (misalnya kwitansi atau surat semacam itu).

Dalam KUHPidana tersebut tidak dijelaskan apakah surat itu tertulis di atas kertas, kain atau batu, yang dijelaskan hanyalah macam tulisannya yaitu surat tersebut ditulis dengan tangan atau dicetak menggunakan mesin cetak. Tetapi dengan menyimak dari contoh-contoh yang dikemukakan oleh R.Soesilo di dalam KUHP, seperti: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, surat perjanjian piutang, perjanjian sewa, perjanjian jual beli, kwitansi atau surat semacam itu, akte lahir, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi, dapatlah disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan surat dalam mempunyai tujuan yang dapat menimbulkan dan menghilangkan hak.

Menurut Lamintang, mengemukakan bahwa:

“Surat adalah sehelai kertas atau lebih di gunakan untuk mengadakan komunikasi secara tertulis.Adapun isi surat dapat berupa: Penyataan, keterangan, pemberitahuan, laporan, permintaan, sanggahan, tuntutan, gugatan dan lain sebagai.”


(50)

c. Pemalsuan Surat

Pemalsuan surat dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang mempunyai tujuan untuk meniru, menciptakan suatu benda yang sifatnya tidak asli lagi atau membuat suatu benda kehilangan keabsahannya. Sama halnya dengan membuat surat palsu, pemalsuan surat dapat terjadi terhadap sebagian atau seluruh isi surat, juga pada tanda tangan pada si pembuat surat.

Menurut Soenarto Soerodibro, mengemukakan bahwa, barangsiapa di bawah suatu tulisan mebubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan orang tersebut telah memalsukan tulisan itu. Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsu surat, adalah bahwa membuat surat/ membuat palsu surat, sebelum perbuatan dilakukan, belum ada surat,kemudian dibuat suatu surat yang isinya sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu. Seluruh tulisan dalam surat itu dihasilkan oleh perbuatan membuat surat palsu. Surat yang demikian disebut dengan surat palsu atau surat tidak asli.

2. Unsur-unsur Pemalsuan Surat

Pemalsuan surat diatur dalam Bab XII buku II KUHP, dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 276 KUHP, yang dapat dibedakan menjadi 7 macam kejahatan pemalsuan surat, yakni:

a. Pemalsuan surat pada umumnya ( Pasal 263 KUHP); b. Pemalsuan surat yang diperberat (Pasal 263 KUHP);


(51)

c. Menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam akte otentik (Pasal 266 KUHP):

d. Pemalsuan surat keterangan dokter (Pasal 267, 268 KUHP);

e. Pemalsuan surat surat-surat tertentu (Pasal 269, 270, dan 271 KUHP); f. Pemalsuan surat keterangan Pejabat tentang hak milik (Pasal 274 KUHP); g. Menyimpan bahan atau benda untuk pemalsuan surat (Pasal 275 KUHP).

Tindak pidana pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat dalam Pasal 263, rumusannya adalah sebagai berikut :

Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak palsu, dipidana, jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 bulan dan Dipidana dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang di palsukan seolah-olah asli, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.


(52)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang penulis gunakan dalam Skirpsi ini adalah Pendekatan yuridis normatif dan Pendekatan yuridis empiris.Pendekatan yuridis normatif merupakan penelitian yang di lakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan,teori-teori, dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang di ambil secara operasional penelitian yuridis normatif adalah studi pustaka.

Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan berdasarkan pada fakta objektif yang didapatkan dalam penelitian lapangan baik berupa hasil wawancara dengan responden, hasil kuisione atau alat bukti yang lain yag diperoleh dari nara sumber.1

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data penelitian ini berasal dari data lapangan dan data kepustakaan, sedangkan jenis data terdiri atas data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

1


(53)

Adalah data yang diperoleh dari hasil studi dan penelitian di lapangan melalui wawancara dengan responden, dalam hal ini adalah pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan masalah dalam penulisan skripsi ini.

2. Data Sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan pustaka yaitu seperti menelusuri literatur-literatur maupun peraturan-peraturan dan norma-norma yang berhubungan dengan masalah yang akan di bahas dalam skripsi ini.2

Data sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Bahan Hukum Primer yaitu Bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri atas:

1). Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2). Kitap Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

3). Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Hakim.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur, buku-buku, dan makalah yang menunjang dan berhubungan dengan Tindak Pidana Pemalsuan Surat.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.Sebagai bahan hukum tersier pada penelitian ini salah satunya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia.

2


(54)

C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Penentuan Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia,benda-benda,hewan, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik di dalam suatu penelitian.

2. Penentuan Sampel

Penentuan Sampel dalam penulisan skripsi ini menggunakan pengambilan sampel berupa Proportional Purposive Sampling, yaitu dalam menentukan sampel sesuai dengan wewenang atau kedudukan sampel yang di anggap telah mewakili dengan masalah yang hendak di teliti.

Adapun Responden dalam Penelitian ini adalah:

a. Hakim Mahkamah Agung Republik Indonesia :1 orang b. Dosen di Fakultas Hukum Universitas Lampung :2 orang +

Jumlah : 3 orang

D.Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

a. Studi Pustaka

Untuk memperoleh data sekunder, dengan cara membaca dan mencatat atau mengutip dari dokumen-dokumen, dan peraturan-peraturan terkait.


(55)

b. Studi Lapangan

Untuk memperoleh data primer, studi lapangan di lakukan dengan cara melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan pada skripsi ini.

2. Prosedur Pengolahan data

Setelah semua data yang penulis butuhkan untuk membuat skripsi, maka akan di lakukan pengolahan data melalui tahap-tahap berikut:

a. Seleksi data

Seleksi data dilakukan untuk mengetahui apakah data yang diperlukan sudah mencakup atau belum dan data tersebut berhubungan atau tidak berhubungan dengan pokok permasalahan skripsi ini.

b. Klasifikasi data

Klasifikasi data yang telah diperoleh disusun menurut klasifikasi yang telah di tentukan.

c. Penyusunan data

Penyusunan data di maksudkan untuk mendapat data dalam susunan yang sistematis dan logis serta berdasarkan kerangka pikir.Dalam tiap tahap dapat dimasukan kedalam table apabila di perlukan.

E.Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan dan telah di olah secara sistematis, kemudian perlu di analisis secara deskriftif kualitatif yaitu dengan cara menguraikan data dalam kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis sehingga akan memudahkan dalam


(56)

melakukan suatu penarikan kesimpulan. Metode penarikan kesimpulan adalah metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum sehingga kesimpulan tersebut dapat memberikan saran.


(57)

V. PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor: 1785/K/Pid/2011 yaitu Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tentang Tidak Dapat Diterimanya Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Pemalsuan surat:

1. Pada dasarnya upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas dilarang, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP yang mengatur tentang tidak dapat di lakukan upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas namun dalam prakteknya ketentuan ini di langgar, dengan berdasarkan pada doktrin dan yurisprudensi sebagai dasar hukumnya, yaitu putusan Mentri Kehakiman dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 yang berisi penegasan yaitu terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang di jadikan yurisprudensi. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983. Yurisprudensi ini menerobos larangan kasasi atas vonis bebas.


(58)

2. Dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan tidak dapat diterima upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas oleh jaksa penuntut umum, telah sesuai dengan teori-teori putusan hakim yang ada yaitu teori keseimbangan yang menyeimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan berkaitan dengan perkara, teori pendekatan keilmuan adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, dan teori ratio decidendi, teori ini mendasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang lebih relevan dengan pokok perkara yang di sengketaka sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan. Hakim agung mempertimbangkan beberapa hal yaitu mempertimbangkan putusan pengadilan sebelumnya yaitu Pengadilan Negeri Tanjung Karang di nilai tidak cacat hukum.

Hakim Mahkamah Agung menilai bahwa jaksa penuntut umum yang melakukan upaya hukum kasasi tidak dapat membuktikan secara kuat terhadap alasan-alasan yang ia cantumkan kedalam memori kasasi, yaitu putusan Hakim Pengadilan Negeri tanjung karang adalah merupakan vonis bebas tidak murni, oleh karena itu permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum / Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dan menguatkan putusan pengadilan sebelumnya, yaitu putusan pengadilan Negeri Tanjung karang yang menyatakan saudara Prof. Damrah Khair tidak terbukti bersalah dan di vonis bebas.


(59)

B.Saran

Setelah melakukan pembahasan dan penulis memperoleh keimpulan dalam sekripsi ini, maka saran yang dapat penulis berikan adalah :

1. Perlu adanya perubahan di dalam ketentuan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), melihat dalam prakteknya, ketentuan yang ada di Pasal 244 KUHAP ini tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang di dalam Pasal ini, jika melihat dari fungsi suatu Undang-Undang ialah melayani masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu. Dan tiap-tiap undang-undang itu ada norma-normanya. Fungsi yang akan dijalankannya, itulah yang menjadi sebab untuk melahirkan Undang-undang itu dan yang mendorong untuk mengundangkannya. Walaupun perundang-undangan itu bermacam-macam, tetapi semuanya harus bertujuan untuk melayani masyarakat dan membahagiakannya. Oleh karena itu Pasal 244 KUHAP di rasa ini tidak cocok atau belum sesuai dengan kehidupan masyarakat di Indonesia, sehingga penulis merasa Pasal 244 KUHAP ini harus di ubah agar menjamin kepastian hukum dan keadilan didalam masyarakat.

2. Putusan Mahkamah Agung yang menolak upaya hukum kasasi oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pemalsuan surat dirasa sudah tepat karna berdasarkan ketentuan yang ada. Penulis menyarankan kepada hakim agung, pada saat menjalankan kewajibannya dalam mengadili hendaklah selalu cermat dalam menangani suatu perkara hukum, hakim harus lebih memprioritaskan kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi dan juga rasa keadilan harus selalu di junjung tinggi selamanya.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Arbijoto, 2010, Kebebasan Hakim. Bogor: Diadit media. hal 7

Djenawi Tahir, Hadari,1981, Pokok – Pokok Pikiran dalam KUHA., Bandung: Alumni. hlm. 17.

Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 297.

Harahap, M Yahya, 2005, Pembahasan dan Peenrapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. hal 358

Karjadi, M & Soesilo,R, 1988, Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana disertai dengan penjelasan resmi dan komentar, Bogor: Politeia, hal 209.

Marpaung, Dr. Laden, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. hal 173

Mulyadi, Lilik,2001, Kompilasi hukum pidana dalam perspektif teoritis dan prakter pradilan. Jakarta: Mandar Maju. hal 127

Pangaribuan, Luhut M.P, Hukum acara Pidana. Medan: Djambatan. 2002. hal 77 Santoso, Topo, 2001, Kreminologi. Jakarta: Rajawali Pers. hal 77

Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hal 102-103

Soekanto,Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, hal 123

Soesilo,R, 1991, kitab Undang Undang Hukum Pidana KUHP, Bogor: Politelia, hal 195

Sunggono, Bambang, 1998, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Raja Grafindo Press, hal 42


(61)

Sudirman Antonius, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Citra Aditya Bakti, hal 66-67.

Undang-Undang :

Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


(1)

melakukan suatu penarikan kesimpulan. Metode penarikan kesimpulan adalah metode induktif, yaitu suatu cara berfikir yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus yang kemudian diambil kesimpulan secara umum sehingga kesimpulan tersebut dapat memberikan saran.


(2)

59

V. PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian penulis terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor: 1785/K/Pid/2011 yaitu Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tentang Tidak Dapat Diterimanya Upaya Hukum Kasasi Oleh Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Pemalsuan surat:

1. Pada dasarnya upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas dilarang, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 244 KUHAP yang mengatur tentang tidak dapat di lakukan upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas namun dalam prakteknya ketentuan ini di langgar, dengan berdasarkan pada doktrin dan yurisprudensi sebagai dasar hukumnya, yaitu putusan Mentri Kehakiman dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 yang berisi penegasan yaitu terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding, tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Kemudian Mahkamah Agung mengeluarkan putusan yang di jadikan yurisprudensi. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983. Yurisprudensi ini menerobos larangan kasasi atas vonis bebas.


(3)

2. Dasar pertimbangan Hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan tidak dapat diterima upaya hukum kasasi terhadap vonis bebas oleh jaksa penuntut umum, telah sesuai dengan teori-teori putusan hakim yang ada yaitu teori keseimbangan yang menyeimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan berkaitan dengan perkara, teori pendekatan keilmuan adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian, dan teori ratio decidendi, teori ini mendasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang lebih relevan dengan pokok perkara yang di sengketaka sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan. Hakim agung mempertimbangkan beberapa hal yaitu mempertimbangkan putusan pengadilan sebelumnya yaitu Pengadilan Negeri Tanjung Karang di nilai tidak cacat hukum.

Hakim Mahkamah Agung menilai bahwa jaksa penuntut umum yang melakukan upaya hukum kasasi tidak dapat membuktikan secara kuat terhadap alasan-alasan yang ia cantumkan kedalam memori kasasi, yaitu putusan Hakim Pengadilan Negeri tanjung karang adalah merupakan vonis bebas tidak murni, oleh karena itu permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum / Pemohon Kasasi berdasarkan Pasal 244 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 (KUHAP) harus dinyatakan tidak dapat diterima. Dan menguatkan putusan pengadilan sebelumnya, yaitu putusan pengadilan Negeri Tanjung karang yang menyatakan saudara Prof. Damrah Khair tidak terbukti bersalah dan di vonis bebas.


(4)

61

B.Saran

Setelah melakukan pembahasan dan penulis memperoleh keimpulan dalam sekripsi ini, maka saran yang dapat penulis berikan adalah :

1. Perlu adanya perubahan di dalam ketentuan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), melihat dalam prakteknya, ketentuan yang ada di Pasal 244 KUHAP ini tidak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang di dalam Pasal ini, jika melihat dari fungsi suatu Undang-Undang ialah melayani masyarakat dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu. Dan tiap-tiap undang-undang itu ada norma-normanya. Fungsi yang akan dijalankannya, itulah yang menjadi sebab untuk melahirkan Undang-undang itu dan yang mendorong untuk mengundangkannya. Walaupun perundang-undangan itu bermacam-macam, tetapi semuanya harus bertujuan untuk melayani masyarakat dan membahagiakannya.Oleh karena itu Pasal 244 KUHAP di rasa ini tidak cocok atau belum sesuai dengan kehidupan masyarakat di Indonesia, sehingga penulis merasa Pasal 244 KUHAP ini harus di ubah agar menjamin kepastian hukum dan keadilan didalam masyarakat.

2. Putusan Mahkamah Agung yang menolak upaya hukum kasasi oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pemalsuan surat dirasa sudah tepat karna berdasarkan ketentuan yang ada. Penulis menyarankan kepada hakim agung, pada saat menjalankan kewajibannya dalam mengadili hendaklah selalu cermat dalam menangani suatu perkara hukum, hakim harus lebih memprioritaskan kepentingan rakyat bukan kepentingan pribadi dan juga rasa keadilan harus selalu di junjung tinggi selamanya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arbijoto, 2010, Kebebasan Hakim. Bogor: Diadit media. hal 7

Djenawi Tahir, Hadari,1981, Pokok – Pokok Pikiran dalam KUHA., Bandung: Alumni. hlm. 17.

Hamzah, Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 297.

Harahap, M Yahya, 2005, Pembahasan dan Peenrapan KUHAP. Jakarta: Sinar Grafika. hal 358

Karjadi, M & Soesilo,R, 1988, Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana disertai dengan penjelasan resmi dan komentar, Bogor: Politeia, hal 209.

Marpaung, Dr. Laden, 2010, Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. hal 173

Mulyadi, Lilik,2001, Kompilasi hukum pidana dalam perspektif teoritis dan prakter pradilan. Jakarta: Mandar Maju. hal 127

Pangaribuan, Luhut M.P, Hukum acara Pidana. Medan: Djambatan. 2002. hal 77 Santoso, Topo, 2001, Kreminologi. Jakarta: Rajawali Pers. hal 77

Rifai, Ahmad, 2011, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. hal 102-103

Soekanto,Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia Press, hal 123

Soesilo,R, 1991, kitab Undang Undang Hukum Pidana KUHP, Bogor: Politelia, hal 195

Sunggono, Bambang, 1998, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Raja Grafindo Press, hal 42


(6)

Soejono K, 1979, Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum, UNDIP Semarang, hal.27.

Sudirman Antonius, 2007, Hati Nurani Hakim dan Putusannya, Citra Aditya Bakti, hal 66-67.

Undang-Undang :

Pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 62 92

Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

5 112 126

Analisis Hukum Terhadap Dakwaan Tindak Pidana Korupsi Oleh Jaksa Penuntut Umum (Putusan Mahkamah Agung No.2642 K/Pid/2006)

0 37 127

Analisis Kasasi Jaksa Penuntut Umum Terhadap Putusan Bebas Judex Facti Yang Mengadili Tidak Sesuai Ketentuan Kuhap.(Putusan MA Ri No. 1112.K/Pid /2001)

0 21 85

Analisis Yuridis Putusan Bebas (Niet Suivera Vrijspraak) Sebagai Alasan Permohonan Upaya Hukum Kasasi Jaksa Penuntut Umum Pada Tindak Pidana Kekerasan dalam rumah tangga (Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 02/K/Pid.Sus/2008)

0 6 12

Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1568 K/Pid/2008)

0 22 0

Putusan Hakim Pidana Di Bawah Jaksa Penuntut Umum Dihubungkan Dengan Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

0 17 92

Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tentang Tidak Dapat Diterima Permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Pemalsuan Surat (Study Putusan No.1785/k/pid/2011)

0 10 61

Analisis Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung Tentang Tidak Dapat Diterima Permohonan Kasasi Jaksa Penuntut Umum Dalam Perkara Pidana Pemalsuan Surat (Study Putusan No.1785/k/pid/2011)

2 39 62

Pertimbangan Hakim Menolak Kasasi Dalam Kasus Narkotika (Studi Kasus Putusan No. 2338/K.Pid.Sus/2013 Mahkamah Agung Republik Indonesia)

0 0 18