Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

(1)

ANALISIS YURIDIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Putusan Nomor 51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DisusunOleh :

NIM : 090200046 REMINISIR HARITA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS ATAS PERTIMBANGAN HAKIM

DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

(Putusan Nomor 51/Pid.Sus/2013/Pn.Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

DisusunOleh :

NIM : 090200046 REMINISIR HARITA

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

NIP. 195703261986011001 Dr. M, Hamdan SH.,M.H.

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablisar SH.M.Hum.

NIP. 196104081986011002 NIP.197302202002120001

Dr, Mahmud Mulyadi SH. M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

ABSTRAK

Reminisir Harita*

Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum***

Putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri baik itu putusan yang bersifat pemidanaan, putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan. Hakim dapat menjatuhkan putusan tersebut dalam segala jenis perkara pidana termasuk korupsi. Sebab peradilan adalah wilayah multi tafsir, dimana tiap orang yang terlibat bisa untuk membangun realita didalamnya, apakah sebagai pelaku tindak pidana, korban, saksi, penyidik, penuntut maupun hakim yang masing-masing mempunyai peran dan kepentingan dalam proses pengadilan. Pengadilan dalam proses perkara pidana sebagai konstruksi sosial menggambarkan realitas pembentukan proses peradilan oleh aktor-aktor didalamnya.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas dalam prespektif hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum nnormatif, penelitian mengacu pada analisis norma hukum baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data skunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kaulitatif.

Bahwa putusan bebas yang dijatuhkan oleh hakim dalam kasus korupsi tersebut dipengaruhi oleh bebera hal yaitu tidak terpenuhinya unsur-unsur dalam pasal-pasal tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, fakta-fakta persidangan tidak membuktikan kesalahan terdakwa dan perbuatan terdakwa bukan merupakan perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Pertangggung jawaban pidana dapat dipertanggung jawabkan bagi subjek tindak pidana yaitu orang perorangan maupun badan hukum. Untuk itu dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan tindak dpidana korupsi perlu adanya sinergi para penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, KPK dan Hakim.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena Berkat dan rahmat-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul “ANALISIS HUKUM PIDANA ATAS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (PUTUSAN NOMOR 51/PID. SUS.K/2013/PN.MDN)”.

Penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi persyaratan-persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumetera Utara Departemen Hukum Pidana.

Pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua saya tercinta buat bimbingan yang diberikan kepada penulis, doa, perhatian, kasih sayang dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada abang-abang dan kakak-kakak saya beserta keluarga semuanya yang selalu memberikan dukungan dan doanya.

Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang tulus atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Rasa terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan kepada :

1. Prof. Dr, Runtung Sitepu, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(5)

3. Bapak Syafruddin, SH.,M.H. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Muhammad Husni, SH.,M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Bapak Dr. M. Hamdan, SH. M. Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana;

6. Ibu Liza Erwina, SH. M.Hum, selaku sekretaris Departemen Hukum Pidana dan sebagai Dosen Pembimbing Akademik saya;

7. Bapak Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum, selaku Dosem Pembimbing I yang memberikan bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini; 8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum, selaku Dosen Pembimbing II

yang memberikan bimbingan dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini; 9. Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf Pegawai Administrasi di Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

10.Untuk kakanda-kakanda stambuk 2006 yang memberikan sumbangsih pemikiran dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini;

11.Untuk Bung dan Sarinah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara “GMNI JAYA, MARHAEN MENANG”;

12.Untuk semua rekan-rekan seperjuangan stambuk 2009 yang menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

13.Sahabat-sahabat saya Eka Subrata dan Irwan Tauhid terima kasih atas persahabatan dan dukungannya dalam penyelesaian skripsi ini;


(6)

14.Kepada Bang Ubertus Manao SH, dan Hotmaarudur SH, yang menberikan masukan-masukan dalam penyelesaian skripsi ini;

15.Untuk Mas Catur LPMI dan semua pemuda GBI Sunggal yang peduli dan turut mendoakan penyelesaian skripsi ini;

16.Kepada semua teman-teman Ahmad Husen, Yunita, Sahat, Marthin, , Sastro, Apul, Agus, Daniel, Fahmi, Joel, Martina, Mahmudin, Darwin, Ruth, Anita, Agry, Vani dan kawan-kawan kos Lorsem 712 B yang tidak bisa disebutkan semuanya.

Dengan demikian besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan bagi kita semua.

Medan 10 Oktober 2013 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. LatarBelakang ... 1

B. RumusanPermasalahan ... 6

C. Tujuandan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 8

1. Definisi Tindak Pidana ... 8

2. Definisi Tindak Pidana Korupsi ... 14

3. Definisi Keputusan Hakim ... 18

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ... 24

1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi ... 24

2. Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi ... 34

B. Dassar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim ... 43

1. Pertimbangan Yuridis ... 44

2. Pertimbangan Non Yuridis ... 58

C. Bentuk Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Korupsi ... 61

1. Putusan Bebas (Vrisjpsraak)... 61

2. Putusan Bebas Dari Segala Tuntutan (Onslag Van Alle Rechtsvervolging) ... 64


(8)

BAB III KASUS DAN ANALISIS KASUS

A. Kasus ... 70

1. Kasus Posisi ... 70

2. Dakwaan ... 73

3. Fakta-Fakta Hukum ... 74

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum ... 90

5. Pembelaan Terdakwa ... 91

6. Putusan Pengadilan Negeri ... 94

B. Analisis Kasus ... 95

C. Analisis Putusan Tehadap Putusan Bebas Pengadilan Negeri (PN. Medan ... 108

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 111

B. Saran ... 112


(9)

ABSTRAK

Reminisir Harita*

Dr. Madiasa Ablisar, SH. M. Hum** Dr. Mahmud Mulyadi, SH. M. Hum***

Putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri baik itu putusan yang bersifat pemidanaan, putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan. Hakim dapat menjatuhkan putusan tersebut dalam segala jenis perkara pidana termasuk korupsi. Sebab peradilan adalah wilayah multi tafsir, dimana tiap orang yang terlibat bisa untuk membangun realita didalamnya, apakah sebagai pelaku tindak pidana, korban, saksi, penyidik, penuntut maupun hakim yang masing-masing mempunyai peran dan kepentingan dalam proses pengadilan. Pengadilan dalam proses perkara pidana sebagai konstruksi sosial menggambarkan realitas pembentukan proses peradilan oleh aktor-aktor didalamnya.

Berdasarkan pokok pemikiran diatas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu bagaimana pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi dan bagaimana analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas dalam prespektif hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan merupakan metode penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum nnormatif, penelitian mengacu pada analisis norma hukum baik yang tertulis dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses peradilan. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data skunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif teoritis dan analisis normatif-kaulitatif.

Bahwa putusan bebas yang dijatuhkan oleh hakim dalam kasus korupsi tersebut dipengaruhi oleh bebera hal yaitu tidak terpenuhinya unsur-unsur dalam pasal-pasal tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum, fakta-fakta persidangan tidak membuktikan kesalahan terdakwa dan perbuatan terdakwa bukan merupakan perbuatan yang dapat dipertanggung jawabkan secara pidana. Pertangggung jawaban pidana dapat dipertanggung jawabkan bagi subjek tindak pidana yaitu orang perorangan maupun badan hukum. Untuk itu dalam upaya penegakan hukum dan pemberantasan tindak dpidana korupsi perlu adanya sinergi para penegak hukum baik itu Polisi, Jaksa, KPK dan Hakim.


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau yang boleh dilakukan serta yang dilarang. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum, melainkan juga perbuatan yang juga mungkin akan terjadi, dan kepada alat kelengkapan negara agar bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu salah satu bentuk penegakan hukum.1

Hukum pidana materiil ataupun hukum pidana formal/acara hukum pidana sebagai bagian hukum publik dengan titik tolak mengatur kepentingan umum (algemen belangen) dan sifatnya apriori telah memaksa, jelaslah sudah bahwasanya tujuan dari hukum acara pidana itu adalah mencari, menemukan dan menggali “kebenaran materiil/maeriil waarheid” atau “kebenaran yang sesungguh-sungguhnya” atau “kebenaran hakiki”. Karena konsekuensi yang demikian, dalam hukum acara pidana tidaklah dikenal adanya “kebenaran formal/formeele waarheid” yang semata-mata ditujukan pada formalitas-formalitas hukum.2

1

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Ke-2 (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.

2

Lilik Mulyadi, Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoritis dan Praktik, (Bandung, PT. Alumni, 2008), hlm. 43.

Dikaji dari prespektif pandangan doktrina hakikat fundamental hukum pidana dapat diklasifikasikan menjadi hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singular, ius special atau bijzonder strfrecht). Ketentuan pidana umum dimaksudkan berlaku secara umum seperti


(11)

termaktum dalam KUHP sedangangkan ketentuan hukum pidana khusus menurut Pompe, A. Nolten, Sudarto dan E.Y. Kanter diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus (bijzonderlijk).

Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur, Tindak Pidana Korupsi secara langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara.3 Korupsi berkaitan dengan kekuasaan karena kekuasaan itu dapat melakukan penyalahgunaan untuk kepentingan pribadi, keluarga atau kroninya.Dapat ditegaskan bahwa korupsi itu selalu bermula dan berkembang disektor pemerintahan (publik) dan perusahaan milik negara.Dengan bukti-bukti yang nyata dengan kekuasaan itulah pejabat publik dan perusahaan milik negara dapat menekan atau memeras para orang-orang yang memerlukan jasa pelayanan dari pemerintah maupun badan usaha milik negara.4

Vito Tanzi mengemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh perorangan disektor swasta atau pejabat publik,

3

Ibid. hlm. 153

4

Romli Atmasasmita, Sekitar Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Ineternasional (Bandung: CV. Mandar Maju, 2004), hlm. 1.


(12)

keputusan yang dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga akan menimbulkan korupsi,termasuk juga konflik kepentingan dan nepotisme.5

Bertitik tolak dari hal tersebut pemberantasan korupsi bukanlah perkara yang mudah diatasi, dibutuhkan kerja sama yang konkrit antara penegak hukum untuk tercapainya keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum di tengah-tengah masyarakat. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tipikor . Dalam bagian Penjelasan Umum UU No. 46 Tahun 2009 dinyatakan, Pengadilan Tipikor adalah pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum dan

Dalam suatu proses penegakan hukum termasuk masalah korupsi, selain dibutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan, dibutuhkan juga instrumen penggeraknya, yaitu institusi-institusi penegak hukum dan diimplementasikan melalui mekanisme kerja dalam sebuah sistem, yaitu sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka mekanisme kerja suatu sistem pidana meliputi instrument atau sub-sub sistem yaitu: (1) Sub sistem kepolisian (police) yang melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan; (2) Sub sistem kejaksaan (prosecution) dengan tugas bidang penuntutan; (3) Sub sistem pengadilan (court) yang bertugas memeriksa perkara pada persidangan dan menjatuhkan vonis; (4) Sub sistem lembaga permasyarakatan (correctional institution).

5

Chaerudin dkk, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Refika Aitama, 2008), hlm. 2.


(13)

pengadilan satu-satunya yang memiliki wewenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara Tipikor yang penuntutanya diajukan oleh penuntut umum. 6

Berkaitan tentang masalah putusan didalam sistem peradilan pemeriksaan perkara pidana, hal ini tidak terlepas dari tujuan hukum itu sendiri sebagai alat yang dipakai untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara. Sehingga bilamana suatu hukum atau Undang-undang tidak mempunyai tujuan, tentunya acara penegakan hukum dan hak-hak asasi manusiapun akan berjalan dengan suatu ketidak pastian. Oleh sebab itulah di dalam mencapai suatu tujuan tersebut kuncinya terletak pada aparat hukum itu sendiri.

Hakim Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa dan fakta-fakta persidangan. Selain itu keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Untuk menentukan bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang untuk diadili.

7

Pada hakikatnya putusan bebas (vrijspraak) mengacu pada ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang berbunyi sebagai berikut: Jika pengdilan berpendapat

6

Ibid. hlm. 158.

7

http:www//zulfanlaw.wordpress.com/2008/07/10/dasar-pertimbangan-hakim-dalam menjatuhkan-putusan-bebas-demi-hukum, Akses 22 Agustus 2013.


(14)

bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka tedakwa diputus bebas.8

Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses peradilan tidak lain adalah putusannya itu sendiri. Maksudnya ada tidaknya kebenaran itu ditentukan atau diterapkan lewat putusan. Dan didalam hubungan tersebut jelaslah apa yang ditegaskan bahwa untuk menemukan kepastian, kebenaran dan keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang diperankan oleh hakim dalam persidangan, sejak pemeriksaan sampai pada putusan pengadilan bahkan sampai eksekusinya.

Sejalan dengan tugas hakim seperti dijelaskan diatas yakni kemampuan untuk menumbuhkan putusan-putusan atau yang dapat diterima masyarakat. Apalagi terhadap penjatuhan putusan bebas yang memang banyak memerlukan argumentasi konkrit dan pasti, kiranya pantaslah status hakim sebagaimana ditentukan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan negara hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum dan keadilan berdasarkan hukum Indonesia.

9

8

Lihat Undang-Undang Hukum Acara Pidana

9

.Op.Cit.http:www//zulfanlaw.wordpress.com/2008/07/10/dasar-pertimbangan-hakim- dalam-menjatuhkan-putusan-bebas-demi-hukum, Akses 22 Agustus 2013.


(15)

pidana korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.10

Bertitik tolak dari uraian diatas H. Rahudman Harahap, MM. yang dituduh melakukan tindak pidana korupsi dan tidak terbukti secarah sah dan meyakinkan sehingga diputus bebas oleh Majelsi Hakim serta tidak ditemukan kerugian negara yang dilakukan Terdakwa seperti yang dituduhkan jaksa/penuntut umum dalam surat dakwaannya membuat penulis tertarik untuk menganalisis secara yuridis apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan bebas tersebut.11

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan batasan permasalahan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi ?

2. Bagaimanakah analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas (Putusan No. Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn) dalam prespektif hukum pidana ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah :

10

Lihat Penjelasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

11

Analisis Yuridis Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan No. 51/Pid. Sus/2013/Pn.Mdan)


(16)

1. Untuk mengetahui pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi.

2. Untuk Mengetahui analisis kasus tindak pidana korupsi yang diputus bebas (Putusan No. Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn) dalam prespektif hukum pidana.

Adapun manfaat yang diharapkan dan akan diperoleh dari penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan hukum pidana khususnya mengenai dasar pertimbangan yuridis hakim dalam menjatuhkan putusan yang berkenaan dengan perkara korupsi. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak ataupun yang ingin sedang mendalami pengetahuan tindak pidana korupsi baik itu mahasiswa, akademisi maupun masyarakat luas.

2. Manfaat praktis, diharapkan mampu memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama penegak hukum tentang analisis kasus tindak pidana korupsi dalam menjatuhkan putusan bebas, serta memberi masukan bagi para pengmbil kebijakan dibidang penegakan hukum terhadap delik korupsi dalam hal pembentukan dan penerapannya


(17)

D. Keaslian Penulisan

Penulis telah melakukan penelusuran daftar penulisan skripsi di Perpeustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ditemukan kesamaan judul ataupun permasalahan yang di angkat oleh Penulis yaitu “ANALISIS YURIDIS ATAS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (PUTUSAN NOMOR 51/PID.SUS.K/2013/PN.MDN)”.Tulisan ini merupakan karya asli yang disusun berdasarkan dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional dan ilmiah.

Skripsi ini merupakan karya asli dari pemikiran murni penulis dan tidak meniru kepunyaan orang lain. Apabila ada ditemukan kesamaan judul dan permasalahan skripsi ini dengan skripsi yang sebelumnya di Departemen Hukum Pidana maka penulis dapat mempertanggungjawabkannya.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Definisi Tindak Pidana

Peristiwa pidana yang juga disebut tindak pidana (delict) ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbutan yang dapat dikenakan hukum pidana. Suatu peristiwa hukum yang dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana kalau memenuhi unsur-unsur pidananya. Dan unsur-unsur itu terdiri dari :

1. Objektif

Yaitu suatu tindakan (atau perbutan yang bertentangan dengan hukum dan mengindahkan akibat yang oleh hukum dilarang dengan ancaman


(18)

hukum. Yang dijadikan titik utama dari objektif disini adalah tindakannya.

2. Subjektif

Yaitu perbuatan seseorang yang berakibat tidak dikehendaki oleh undang-undang. Sifat unsur ini mengutamakan adanya pelaku (seseorang atau beberapa orang)

Dilihat dari unsur-unsur pidana ini, maka kalau ada suatu perbuatan yang dulakukan oleh seseorang harus memenuhi persyaratan supaya dapat dinyatakan sebagai peristiwa pidana. Dan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai suatu peristiwa pidana ialah :

1. Harus ada suatu perbuatan

2. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang ditentukan dalam ketentuan hukum

3. Harus terbukti adanya kesalahan yang dapat dipertanggung jawabkan 4. Harus berlawanan dengan hukum

5. Harus terdapat ancaman hukumannya12

Terwjudnya suatu tindak pidana tidak selalu dijatuhklan pidana terhadap pembuatnya Undang-undang telah memberikan dasar-dasar yang meniadakan pidana. Adanya aturan ini membuktikan bahwa Undang-undang memisahkan antara tindak pidana dengan sipembuatnya.13

12

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, cetakan ke-2 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 18-19.

13

Adami Chzawi, Pelajaran Hukum Pidana, cetakan ke-2 (Jakarta: RajaGrafindo Persda, 2002), hlm. 15.


(19)

menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan nama tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut.14Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa yang terjadi didalam hukum pidana.15

a. R. Tresna setelah mengemukakan bahwa sungguh tidak mudah memberikan suatu ketentuan atau definisi yang tepat, mengatakan bahwa : Peristiwa Pidana ialah sesuatu perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. Beliau menerangkan bahwa perumusan tersebut jauh daripada sempurna, karena dalam uraian beliau selanjutnya diutarakan bahwa sesuatu perbuatan itu baru dapat dipandang sebagai peristiwa pidana, apabila telah memenuhi persyaratan yang diperlukan.

Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.

Beberapa perumusan tindak pidana yang telah diperkenalkan oleh beberapa sarjana/ahli hukum sebagai berikut :

16

14

Evi Hartanti, Op.Cit. hlm. 5

15

Bambang Poernomo, Azas- Azas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Gahlia Indonesia, 1976), hlm. 124

16


(20)

b. Wirjono Prodjodikoro merumuskan, bahwa Tindak-pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.17

c. Moeljatno setelah memilih perbuatan-pidana sebagai terjemahan dari ‘‘Strafbaar Feit”,beliau memberi suatu perumusan (pembatasan) sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa melanggar larangan tersebut, dan perbuatan itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau menghambat akan tercapainya tata pergaulan didalam masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Makna perbuatan pidana, secara mutlak harus unsur formil, yaitu mencocoki rumusan undang-undang (Tatbestandmaszigkeit) dan unsur materil, yaitu sifat bertentangannya dengan cita-cita mengenai pergaulan masyarakat atau dengan pendek, sifat melawan hukum (Rechtswirdigkeit).18 d. Simons telah merumuskan “strabaar feit” sebagai suatu tindakan melanggar

hukum telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.19

Sungguhpun telah banyak diperkenalkan perumusan dari tindak pidana diatas, diantara sarjana itu ada yang merasa yakin atas kelengkapan dari

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: PT Eresco, ,1969), hlm. 27

18

Moelijatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1983), hlm. 17

19

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indnosia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 185.


(21)

perumusannya, ada yang mengakui ketidak-sempurnaannya.Seperti telah disinggung diatas, istilah Tindak Pidana adalah merupakan singkatan dari Tindakan atau Penindak. Artinya adanya orang yang melakukan suatu Tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan Petindak. Mungkin sesuatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetap dalam banyak hal sesuatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh seseorang dari suatu golongan jenis kelamin saja, atau seseorang dari suatu golongan yang bekerja pada Negara/ pemerintah, atau seseorang dari golongan lainnya yang hidup didalam masyarakat. Antara penindak dengan suatu tindakan yang terjadi harus ada hubungan kejiwaan (pshycologis), selain daripada penggunaan salah satu bagian tubuh, panca indra atau alat lainnya sehingga terwujudnya sesuatu tindakan. Hubungan kejiwaan itu adalah sedemikian rupa dimana petindak dapat menilai tindakannya, dapat menentukan apakah akan dilakukan atau dihindarinya, dapat pula menginsyafi ketercelaan atas tindakannya itu, atau setidak-tidaknya, oleh kepatutan dalam masyarakat memandang bahwa tindakan itu adalah tercela.

Bentuk hubungan kejiwaan itu (dalam istilah hukum-pidana) disebut kesengajaan atau kealpaan, selain daripada itu tiada terdapat dasar-dasar atau alasan peniadaan bentuk hubungan kejiwaan tersebut.20

Tindakan yang dilakukannya itu harus bersifat melawan hukum. Dan tidak ada terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan sifat melawan hukum dari tindakan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa ditinjau dari suatu kehendak (yang bebas) dari petindak, maka kesalahan itu adalah merupakan “kata hati”

20


(22)

(bagian terdalam) dari kehendak itu, sedangan sifat melawan hukum dari tindakan itu merupakan “pernyatan “ (bagian luar) dari kehendak itu.21

Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang langsung atau tidak langsung terkena dari tindakan tersebut. Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang merugikan kepentingan umum disamping kepentingan perseorangan, dikehendaki turun tangannya penguasa. Dan apabila penguasa tidak turun tangan maka tindakan-tindakan tersebut akan merupakan sumber kekacauan yang tak akan ada habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban, dan kesehjahteraan didalam masyarakat, perlu ditentukan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang dilarang atau diharuskan.22

21

Ibid. hlm. 29.

22

Ibid. hlm. 30.

Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan perorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu, dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi dari suatu tempat dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku; Dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluarsa); dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela.


(23)

Perlu diperhatikan pula, apabila masalah waktu, tempat, dan keadaan (WTK) ini dilihat dari sudut Hukum Pidana Formal, maka ia sangat penting. Karena tanpa kehadirannya dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah batal demi hukum. Jadi sama dengan unsur-unsur lainnya yang harus hadir/terbukti. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak-pidana sebagai : “Suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu”, yang dilarang (diharuskan ) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum serta dengan kesalahan oleh seseorang (yang mampu bertanggungjawab)”.23

2. Definisi Tindak Pidana Korupsi

Secara umum atau awam, korupsi merupakan: (a) suatu tindakan mengambil, menyelewengkan, menggelapkan uang Negara/rakyat untuk kepentingan pribadi/kelompok; (b) menerima gaji tanpa kerja (dengan sengaja meninggalkan tugas).24

H.A. Brazz berpendapat bahwa suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut: (a) kekuasaan yang dialihkan; (b) kekuasaan yang dialihkan tersebut dipakai berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu, atau berdasarkan kemampuan-kemampuan yang formal; (c) kekuasaan tersebut dipakai untuk merugikan tujuan-tujuan pemegang kekuasaan asli (d) kekuasaan tersebut dipakai untuk menguntungkan atau merugikan orang luar; (e) pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan

23

E.Y Kanter dan S.R. Sianturi.Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hlm. 21

24

Leden Marpaung, Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991), hlm. 3


(24)

dalih menurut hukum.25 Dalam literatur mengenai korupsi, terdapat definisi yang memberikan pengertian bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah:26

Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus. Selanjutnya disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari pula dari kata asal corrumpare, suatu kata latin yang lebih tua.

Behaviour which deviates from the formal dutiers of a public role because of private-regarding (personal, clise family, private clique) pecuniary or status-gains; or certain types of regarding behavior” yang dapat diterjemahkan sebagai: “perilaku menyimpang dari kewajiban formal suatu peran publik karena private regarding (kepribadian, keluarga dekat, persengkokolan pribadi) berkenaan dengan uang atau status – keuntungan; atau melanggar aturan yang bertentangan dengan perilaku yang terhormat”.

27

Arti harfiah dari kata tersebut ialah kebusukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti yang dibaca dalam The Lexicon Webster Dictionary:

Dari bahasa latin itupun turun ke banyak bahasa Eropa seperti: Corruption, corrupt (inggris), Corruption (perancis), dan Corruptie (korruptie) (Belanda). Sehingga dalam Bahasa Indonesia dapat diturtunkan sebagai “Korupsi”.

28

25

H. A. Brazz, Beberapa Catatan Mengenai Sosiologi Korupsi, dalam Mochtar Lubis dan James Scott. Ed. Bunga Rampai Korupsi, hlm.7.

26

Roberd Klitgard: Kontroling Coruption, page 23, dikutip dari Max Weber, The Protestant ethnics and Spirit of Capitalism, (1904-s), Printerd University of California Press Baekley and Los Angles, Califoprnia.

27

Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi di Tinjau dari Hukum Pidana, (Jakarta: Pusat Study Hukum Pidana Universitas Trisakti, 2002), hlm. 4.

28


(25)

Corruption (l. Corruptio: the Act of corruption; or the state of being corrupt; putrefactive decomposition, putrid matter moral prevension; depravityperversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasment, as language; a debased from the world. 29

a. Barangsiapa dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang

lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diartikan sebagai tindak pidana korupsi adalah:

Pertama:

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain

atau suatu badan menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, 210, 387,

388, 415, 416, 419, 429, 423, 425, dan 435 KUHP.

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti

dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau

29


(26)

wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya itu. Seperti yang tersebut dalam Pasal 418, 419 dan 420 KUHP tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar dalam waktu yang sesingkatnya

setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya. Kedua:

Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c , d, e.

Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Pasal 1 ayat (3) menyatakan bahwa:

“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi”.

Sedangkan menurut Undang No. 31 tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat (1) pengertian korupsi adalah:

“setipa orang yang melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atar orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling singakt 4 (emapat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun”. 30

30

Sultan Zanti Arbi dan Wayan Ardana ,Rancangan Penelitian dan kebijakan sosial, (Jakarta: CV.Rajawali ,1997), hlm. 63


(27)

3. Definisi Putusan Hakim

Dalam menangani suatu perkara, Hakim diberikan kebebasan oleh undang-undang dan pihak lain tidak diperbolehkan campur tangan atau mempengaruhi Hakim. Disamping itu hakim harus diwajibkan jujur dan tidak memihak agar putusannya benar-benar memberikan keadilan.31

Perihal ‘Putusan Hakim’ atau “putusan pengadilan” merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Oleh karena dapatlah dikonklusikan lebih jauh bahwasanya “putusan hakim” disatu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum (rechtszekerheid) tentang “statusnya” dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya terhadap putusan tersebut dalam arti berupa menerima putusan ataupun melakukan upaya hukum verzet, banding atau kasasi, melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan dilain pihak, apabila ditelaah melalui visi hakim yang mengadili perkara, putusan Hakim merupakan “mahkota” sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai keadilan; kebenaran hakiki; hak asasi manusia; penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mempuni dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas dan moralitas dari hakim yang bersangkutan.32

Putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung RI 1985 adalah hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah

31

Gatot Supramono, Surat Dakwaan dan Putusan Hakim Yang Batal Demi Hukum, (Jakarta: Djambatan 1991), hlm. 51.

32

Lilik Muliadi, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia (Prespektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat dan Permasalhan),(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 129.


(28)

dipertimbangkan dan dinilai dengan semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan.33

Menurut Lilik Mulyadi34

F. Metode Penelitian

dalam bukunya putusan hakim dalam hukum acara Indonesia mengatakan bahwa “putusan hakim adalah putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatanya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses dan prosedural hukum acara pidana pada umunya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis dibuat dengan tujuan penyelesaian perkaranya.

1. Jenis Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.35

Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini merupakan metode penelitian hukum normatif.36

33

Evi Hartanti, hlm. 52.

34

Lilik Mulyadi, Op.Cit. hlm.131.

35

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 1.

36

Ibid., hlm. 13-14

Adapun tipe penelitian yang dilakukan, dari sudut bentuknya, merupakan penelitian deskriptif yang ditujukan


(29)

untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.37

Menurut Sumardi Suryabrata, secara harfiah, penelitian deskriptif adalah penelitian yang bermaksud untuk membuat Percandaan (deskripsi) mengenai suatu situasi suatu kejadian-kejadian. Dalam arti penelitian deskriptif itu adalah akumulasi data dasar dalam cara deskriptif semata –mata, tidak perlu mencari atau menerangkan saling hubungan, mentes hipotesis membuat ramalan atau mendapatkan makna dan implikasi, walaupun penelitian bertujuan untuk menemukan hal-hal tersebut dapat mencakup juga metode-metode deskriptif.38

Sebagai suatu penelitian hukum normatif, penelitian ini mengacu pada analisis norma hukum, dalam arti law as it is written in the books (hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan).39

2. Jenis Data

Dengan demikian objek yang dianalisis adalah norma hukum, yaitu mengkaji Peraturan Perundang-Undangan mengenai tindak pidana korupsi dan Peraturan Perundang-Undangan mengenai kebijakan hukum pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Penelitian hukum normatif merupakan penelitian yang menggunakan data sekunder40

37

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 10.

38

Soejono dan H. Abdurrahman, Merode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 22-23.

39

Ronald Dworkin, Legal Research (Daedalus: Spring, 1973), hlm. 250

40

Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Op. cit, hal. 13-14.

yang terdiri bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah Undang-Undang di bidang tindak pidana korupsi, Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana


(30)

Korupsi beserta Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, karya dari ahli hukum di bidang pemberantasan korupsi. Penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan sebagainya.41

Di samping sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, peneliti juga menggunakan bahan-bahan non hukum yang mempunyai relevansi dengan topik penelitian, misalnya berupa buku, hasil penelitian, dan jurnal-jurnal mengenai penegakan hukum dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi. Penggunaan bahan-bahan non hukum ini dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.42

3. Teknik pengumpulan data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini ialah melalui study dokumen atau study pustaka.43

41

Soerjono Soekanto, Op. cit, hlm. 52.

42

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 143, 163, dan 164.

43

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2006), hlm. 66. Study dokumen atau bahan pustaka dilakukan di beberapa tempat antara lain Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara maupun mengakses data melalui internet.


(31)

4. Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif yang menelaah data sekunder, maka biasanya penyajian data dilakukan sekaligus dengan analisanya44

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang

relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini. . Metode analisis data yang dilakukan penulis adalah analisa kualitatif, yaitu dengan:

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut

di atas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah dan menginterpretasikan data guna mendapatkan

kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan

kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang dipakai dalam melakukan penulisan skripsi. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam melakukan penulisan skripsi ini. Hal ini juga bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah pembaca untuk memahami dan mengerti isi dari skripsi ini. Keseluruhan skripsi ini meliputi 4 (empat) bab yang secara garis besar isi dari bab perbab diuraikan sebagai berikut :

44

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Depok: Universitas Indonesia Press, 1994), hlm. 69.


(32)

BAB I Bab ini merupakan pendahuluan yang memberikan ilustrasi guna memberikan informasi yang bersifat umum dan menyeluruh secara sistematis terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, metode penelitian, manfaat dan tujuan peneletian, keaslian penulisan dan menguraikan tentang definisi tindak pidana, tindak pidana korupsi dan definsis putusan hakim.

BAB II Bab ini akan membahas tentang dasar yuridis pertimbangan hakim dalam menjatukahkan putusan dalam perkara tindak pidana korupsi, korupsi menurut prespektif hukum dan putusan hakim yang berkenaan dengan tindak pidana korupsi.

BAB III Bab ini akan membahas tentang kasus posisi dalam perkara tindak pidana korupsi dalam Putusan No. 51/Pid.Sus.K/2013/Pn.Mdn dalam prespektif hukum pidana.

BAB IV Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi kesimpulan dan saran mengenai permasalahan yang dibahas.


(33)

BAB II

DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA

A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi

Kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruption.Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih tua. Dari bahasa Latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti corruption dan corrupt (Inggris), corruption (Perancis) dan crruptie (Belanda). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi. Secara harafiah, menurut Sudarto, kata korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. Adapun Henry Camplle Black mendefenisikan korupsi sebagai perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.45

Menurut Shed Husein Alatas, ciri-ciri korupsi antara lain sebagai berikut:46

a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.

45

Azis Syamsuddin, Op. Cit. hlm. 137

46


(34)

b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya.

c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik Kewajiban dan keuntungan yang dimaksud tidak selalu berupa uang. d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha

untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.

e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.

f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).

g. Setiap tindakan korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan. Berbagai upaya telah dilakukan dalam usaha memberantas tindak pidana korupsi, baik yang bersifat preventif maupun represif. Bahkan peraturan perundang-undangan korupsi sendiri telah mengalami beberapa kali perubahan, antara lain:47

a. Masa Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM-06/1957 tangga 9 April 1957

Perkembangan masyarakat dalam usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan

47


(35)

yang merugikan kekayaan dan perekonomian negara.Gejala seperti ini pada awalnya jelas kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru diproklamasikan.48

Kemudian ternyata bahwa peraturan penguasa militer ini dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan peraturan ini tentang pemilikan Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan terasa sangat mencemaskan. Sementara itu, ketentuan-ketentuan yang ada dalam hukum KUHP tidak dapat berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan korupsi itu dengan mengandalkan pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam KUHP saja untuk menanggulangi masalah korupsi, ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya banyak pelaku penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam KUHP.

Bertolak dari kenyataan tersebut di atas, diperlukan adanya keleluasaan bagi penguasa untuk bertindak terhadap para pelaku korupsi.Atas dasar itu pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staf Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan No.Prt/PM-06/1957.Pada bahagian konsideran Peraturan Penguasa Militer itu tergambar adanya kebutuhan mendesak untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi yang mengalami kemacetan.Peraturan penguasa militer ini dapat dianggap sebagai cikal bakal peraturan perundang-undangan pidana khusus tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

48


(36)

harta benda.Keinginan ini lebih lanjut dituangkan dalam Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957.Peraturan ini dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan negara dalam usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan.

Jika dalam harta benda tersebut ditemukan adanya harta benda yang mencurigakan, yang asal mulanya diperoleh dari perbuatan hukum, maka penguasa militer memandang perlu untuk melakukan penyitaan. Akan tetapi tindakan penyitaan tersebut tidak dapat dilakukan tanpa memiliki dasar hukum untuk itu. Oleh karena itu, disamping peraturan penguasa militer yang telah ada, maka sebagai dasar bagi penguasa militer untuk menyita dan merampas harta benda yang asal mulanya diperoleh secara mendadak dan sangat mencurigakan itu, penguasa militer pada tanggal 1 Juli 1957 mengeluarkan Peraturan Penguasa Militer No. Prt/PM 011/1957.49

b. Masa Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt/013/Perpu/013/ 1958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda

Berlakunya Undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April 1958, maka ketiga peraturan penguasa militer tadi diganti dengan Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 tentang

49


(37)

Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda.

Sudarto,50

c. Masa Perpu No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi

berpendapat bahwa peraturan tentang korupsi yang baru itu dilihat dari sudut sistematikanya lebih baik daripada ketiga peraturan yang ada sebelumnya, dan isinya merugikan perpaduan dari peraturan-peraturan terdahulu.Peraturan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat ini membedakan antara perbuatan korupsi Pidana dengan perbuatan korupsi lainnya.

Patut pula di kemukakan disini, bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Peperpu/013/1958 hanya berlaku di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Darat saja.Sementara di daerah-daerah yang dikuasai oleh Angkatan Laut dibuat pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April 1958, yang perumusannya sama dengan peraturan penguasa perang yang disebutkan pertama.

Kedua peraturan penguasa perang tersebut di atas dibuat dalam keadaan yang luar biasa.Keadaan ini tercermin dari maksud diadakannya peraturan tersebut, yakni agar dalam tempo yang singkat dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat merajalela akibat dari suasana seakan-akan pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan lagi.

Tindak pidana Korupsi yang dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Tahun 1960 ini tidak jauh berbeda dengan rumusan yang termuat dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat tadi. Undang-Undang No. 24 Prp Tahun

50


(38)

1960 dapat dikatakan telah menyerap ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat. Hanya saja terdapat sedikit perubahan redaksional pada unsur “karena melakukan perbuatan melawan hukum” diganti dengan unsur “melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran”, dan penggantian kata “perbuatan” dengan istilah “tindakan” pada rumusan korupsi kategori pertama. Di samping itu, undang-undang ini menarik lagi beberapa Pasal KUHP dari apa yang telah ditarik oleh peraturan penguasa perang tadi, sehingga semuanya meliputu Pasal-Pasal 209, 210, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425 dan 435 KUHP.

Sampai dengan berlakunya Undang-Undang Korupsi tahun 1960 ini saja sebenarnya sudah tergambar betapa hukum pidana Indonesia telah mengalami perkembangan sedemikian rupa.Fakta ini dapat dilihat sebagai manifestasi dinamika hukum pidana itu sendiri dalam menanggapi perkembangan perilaku manusia yang dinamika korupsi, namun pada sisi lain, justru dengan adanya penggantian peraturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan pengaturan seperti itu dapat menunjukkan betapa tidak berdayanya ketentuan hukum pidana yang ada dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bambang Poernomo51

51

Bambang Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 65.

dalam hubungan itu mengatakan bahwa pembaharuan yang diadakan dalam substansi Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku terselubung, dan mempunyai sasaran dibidang politik, ekonomi, keuangan dan sosial budaya. Meski telah


(39)

beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, namun selama kurun waktu antara tahun 1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat.Artinya, selama kurun waktu tersebut sistem peradilan pidana tidak dapat berbuat banyak untuk mengahdapi pada koruptor ke pengadilan.

Kebijakan untuk melakukan pembaharuan terhadap undang-undang mengenai tindak pidana korupsi erat pula kaitannya dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat tentang tindak pidana korupsi, yang oleh pembentuk undang-undang dianggap tidak mampu ditampung oleh Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.Artinya, berhubung dengan perkembangan masyarakat, pemeritah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.

Agar upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dapat dilakukan secara efektif dan efisien, perlu diadakan perluasan rumusan tindak pidana korupsi. Kemudian untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana korupsi perlu dilakukan pembaharuan terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam undang-undang korupsi.

d. Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Unsur melakukan kejahatan atau pelanggaran dalam undang-undang yang lama, diganti dengan unsur melawan hukum.Dengan adanya unsur melawan


(40)

hukum itu terkesan bahwa pembentuk undang-undang berusaha mengatasi kelemahan dan kesulitan pembuktian seperti ditunjukkan dalam penerapan undang-undang sebelumnya. Unsur melawan hukum dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU-PTPK 1971 tersebut memuat pengertian yang luas sebagai pengganti unsur melakuikan kejahatan atau pelanggaran.52

Kelemahan lain yang terdapat dalam UU-PTPK 1971 adalah mengenai sanksi pidana yang hanya menetapkan batas maksimum umum (duapuluh tahun)

Unsur melawan hukum pada undang-undang tindak pidana korupsi tahun 1971 mengandung pengertian formil dan materil.

Konsideran Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan latar belakang pemikiran pembuat undang untuk memposisikan undang-undang tersebut sebagai instrumen hukum pidana dalam penanggulangan masalah korupsi.Pembuat undang-undang memberikan penegasan bahwa perbuatan korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional, sementara undang-undang yang ada kurang mencukupi sebagai sarana untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dalam perkembangannya dirasakan memiliki beberapa kelemahan, sehingga perlu diganti.Disamping tidak adanya ketegasan mengenai sifat rumusan tindak pidana korupsi sebagai delik formil, tidak adanya ketentuan yang diterapkan terhadap korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi (corpotate criminal liability) tercatat sebagai salah satu kelemahan yang dimiliki oleh undang-unang No.Tahun 1971.

52

Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991), hlm. 78.


(41)

dan minimum umum (satu hari), sehingga Jaksa Penuntut Umum dan Hakim dapat bergerak secara leluasa dalam batas minimum umum dan maksimum umum itu. Kewenangan direksi dalam menentukan sanksi pidana ini dapat menyinggung rasa keadilan masyarakat, karena ternyata dalam praktek kasus korupsi yang hanya dijatuhi pidana dibawah ini satu tahun, padahal tindak pidana korupsi itu sendiri memiliki dampak yang luas terhadap kesejahteraan masyarakat.

Setelah Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikeluarkan.Namun, dalam perjalanannya, korupsi semakin bertambah parah dan berkembang luas. Pelopor Orde Baru yang semula berteriak paling lantang untuk memberantas korupsi pada akhirnya justru menjadi sumber tumbuh suburnya korupsi dengan berbagai kebijakan penyelenggaraan pemerintahan yang penuh dengan unsur korupsi, kolusi dan nepotisme, dan hal ini menunjukkan bahwa keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tersebut belum dapat memuaskan banyak pihak sehingga perlu diganti dengan undang-undang baru. Undang-undang-undang baru yang dimaksud yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

e. Masa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

Perjalanannya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 pun ternyata menimbulkan permasalahan karena tidak ada Pasal yang mengatur tentang peraturan peralihan, sehingga menimbulkan pro dan kontra mengenai keberadaan undang-undang tersebut. Akibat dari tidak adanya Pasal tentang peraturan peralihan, maka pelaku korupsi pada Orde Baru, sebelum Undang-Undang ini


(42)

berlaku tidak bisa dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.53Hal ini menimbulkan sangkaan bahwa Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merupakan konspirasi dari penguasa untuk melindungi pelaku korupsi di masa lalu. Karena kelemahan itu, maka Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 perlu untuk diubah hingga pada akhirnya keluar Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.54

Beragam pengertian dan tipe-tipe tindak pidana korupsi yang berkembang di Indonesia dimaksudkan disini semata-mata ditujukan kepada eksistensi UU PTPK sebagai hukum positif (ius constitutum/ius operatum) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Secara yuridis-formal pengertian tindak pidana korupsi terdapat dalam Bab II tentang tindak pidana korupsi, ketentuan pasal 2 sampai dengan pasal 20, Bab III tentang tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi sesuai dengan ketentuan pasal 21 sampai dengan 24 UU PTPK.55

2. Subjek Hukum Tindak Pidana korupsi

Subjek hukum dalam tindak pidana korupsi Indonesia pada dasarnya adalah orang pribadi sama seperti yang tercantum dalam hukum pidana umum. Hal ini tidak mengkin ditiadakan, namun ditetapkan pula suatu badan yang

53

Nyoman Serikat Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 2005), hlm. 75.

54

Nyoman Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), hal. 50.

55


(43)

menjadi subjek hukum tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 20 jo Pasal 1 dan Pasal 3 Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.56

1. Subjek Hukum Orang

Subjek hukum tindak pidana tidak terlepas dari system pembebasan tanggung jawab system yang dianut, yang dalam hukum pidana (sumber pokok KUH Pidana) adalah pribadi orang.Hanya orang yang menjadi subjek hukum pidana, sedangkan badan atau korporasi tidak.Pertanggung jawaban bersifat pribadi, artinya orang yang dibebani tanggung jawab pidana dan dipidana hanyalah orang atau pribadi si pembuatnya.Pertangung jawaban pribadi tidak dapat dibebankan kepada orang yang tidak berbuat atau subjek hukum yang lain (vicarious liability).Hukum pidana kita menganut asas concordantie dari hukum pidana Belanda menganut sistem pertanggung jawaban pribadi.Sangat jelas dari setiap rumusan tindak pidana dalam KUH Pidana dimulai dengan kata “barang siapa” (Hij Die), dalam hukum pidana khusus adalahnya menggunakan perkataan “setiap orang” yang maksudnya adalah orang pribadi misalnya Pasal 5 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

Pertanggung jawaban pidana sangat sesuai dengan kodrat manusia, sebab hanya manusia yang berpikir dan berakal serta berperasaan.Dari kemampuan pikir dan akal serta perasaan seseorang menetapkan kehendak untuk berbuat yang kemudian diwujudkan.Apabila perbuatan itu berupa perbuatan bersifat tercela atau

56

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formildi Indonesia, (Malang: Bayumedia Publising, 2005), hlm. 341.


(44)

bertentangan dengan hukum, maka orang itulah yang dipersalahkan dan bertanggung jawab atas perbuatannya.57Azas “tiada pidana tanpa kesalahannya” pada umumnya diakui sebagai prinsip umum diberbagai negara.Namun tidak banyak undang-undang hukum materil di berbagai negara yang merumuskan secara tegas azas ini dalam undang-undangnya.Biasanya perumusan azas ini terlihat dalam perumusan mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya yang berhubungan dengan masalah kesengajaan dan kealpaan.58

Tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, azas ini dapat ditemukan pada :

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman :

59

Dalam hukum pidana korupsi ini yang bersumber pada Undang-Undang Nomonr 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, subjek hukum orang ini ditetukan melalui 2 (dua) cara, yaitu :60

57

Ibid. hlm. 343.

58

Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994), hlm. 88.

59

Lihat Pasal 6 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

60


(45)

1. Cara yang pertama disebut subjek hukum orang pada umunya, aritnya tidak ditentukan kualitas pribadinya. Kata permulaan dalam kalimat rumusan tindak pidana yang menggambarkan atau menyebutkan subjek hukum tindak pidana orang pada umunya, yaitu in cassu tindak pidana korupsi disebutkan dengan perkataan “setiap orang” misalanya Pasal 2, 3, 21 dan 22 tetapi juga subjek hukum pidana yang diletakka ditengah rumusan misalnya Pasal 5 dan 6.

2. Sedangkan cara kedua menyebutkan kualitas pribadi dari subjek hukum orang tersebut, yaitu in cassu ada banyak kualitas pembuatnya antara lain :

1. Pegawai negeri; penyelenggara negara (misalanya Pasal 8, 9, 10, 11, 12 huruf a, b, e, f, g, h, i);

2. Pemborong ahli bangunan (Pasal 7 ayat (1) huruf a); 3. Hakim (Pasal 12 huruf c);

4. Advocat (Pasal 12 huruf d); 5. Saksi (Pasal 24); bahkan

6. Tersangka bisa juga menjadi subjek hukum (Pasal 20 jo Pasal 28).

Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberangtasan Tindak Pidana Korupsi, pegawai negeri adalah :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang kepegawaian;

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;


(46)

c. Orang yang menrima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; d. Uang yang menerima gaji atau suatu korporasi yang menerima bantuan

dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.61

Pasal 1 ayat (1) Undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian ditentukan bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah setiap warga Negara Republi Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 jo Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, bahwa pegawai negaeri tersebut terdiri atas :

1. Pegawai negeri sipil pusat dan pegawai negeri sipil daerah, 2. Angggota Tentara Nasional Indonesia, dan

3. Anggota Kepolisian Republik Indonesia.62

Dalam Pasal 92 KUH Pidana memberikan makna lebih luas tentang pegawai negeri yaitu :63

61

Lihat Undang-Undang Pemberantasa Tindak Pidana Korupsi.

62

R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 23.


(47)

Ayat (1) yang termasuk sebutan amtenar (pegaawai), yaitu sekalian orang dipilih menurut pilihan yang sudah diadakan menurut undang-undang umum, demikian pula sekalian yang bukan karena pemilihan menjadi angggota Dewan Pembuat Undang-Undang Pemerintahan atau perwakilan rakyat yang dibentuk oleh atau atas nama pemerintah, seterusnya sekalian dari anggota Dewan-Dewan daerah setempat dan sekalian kepala bangsa Indonesia dan asing, yang melakukan kekuasaan yang sah.

Ayat (2) yang masuk sebutan amtenar (hakim), termasuk pula ahli memutus perselisihan; yang termasuk sebutan hakim, yaitu mereka yang menjalankan kekuasaan hukum administratief, demikian juga ketua dan anggota dewan agama

Ayat (3) semua orang yang termasuk dalam angkatan bersenjata disebut amtenar (Pegawai).

2. Subjek Hukum Korporasi

Korporasi yang dapat menjadi subjek hukum diterangkan dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa “korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Berdasarkan pengertian korporasi yang dapat menjadi subjek hukum tindak pidana ini, maka jelaslah pengertian hukum pidana dalam tindak pidana korupsi jauh lebih luas dari pada pengertian rechts persoon yang umumnya diartikan sebagai badan hukum, atau suatu korporasi yang oleh suatu peraturan

63


(48)

undangan ditetapkan sebagai badan hukum yang didirikan dengan cara memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Sedangkan korporasi yang bukan badan hukum adalah setiap kumpulan orang yang terorgannisasi dengan baik dan teratur, biasanya ada perangkat aturan yang mengatur intern kumpulan tersebut dengan ditentukannya jabatan-jabatan tertentu yang menggerakkan roda organisasi dengan sedikit dan banyaknya kekayaan atau dana untuk membiayai kumpulan tersebut.64

Perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam menjalankan aktivitas usaha.Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun, dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerja sama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan untuk mengadakan kerja sama antara lain, terhimpunnya modal yang lebih banyak, tergabungnya ketrampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, dan mungkin pula atas pertimbangan dapat membagi risiko kerugian.65

Penyimpangan perilaku korporasi yang bersifat merugikan dan membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala luas.Dalam lingkup pembicaraan mengenal perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana, Rudhy Prasetya mengatakan bahwa timbulnya konsep badan

64

http//www/eprints.undip.ac.id/17989/1/Johny_Krisna.pdf diakses pada tanggal 23 September 2013.

65

Rudy Prasetya, “Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi”, Makalah


(49)

hukum sekedar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum) merupakan suatu ciptaan hukum,yakni pemberian status sebagai subjek hukum kepada suatubadan hukum di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah. Dengan demikian, badan hukum dianggap menjalankan atau melakukan suatu tindakan hukum.Pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan hukum tersebut dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan atau motivasi.Salah satualasan misalnya, untuk memudahkan menentukan siapa yang harus bertanggungjawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek yang harus bertanggungjawab. Oleh karena itu, dalam sejarah perkembangan eksistensi korporasi sebagai subjek hukum,diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata dan hukum administrasi negara serta hukum pidana.66

Dalam hukum pidana khusus (hukum pidana diluar KUH Pidana), yang sifatnya melengkap hukum pidana umum, sudah tidak berpegang teguh pada prinsip hukum pidana secara pribadi yang dianut dan dipertahankan sejak dibentuknya WvS Belanda 1882 (diberlakukan 1886). Dalam beberapa peraturan perundang-undangan tampak kita telah menganut sistem pertanggung jawaban strict liability (pembebanan tanggung jawab tanpa melihat kesalahan) dan vecarious liability (pembebanan tanggung jawab selain sipembuat dengan menarik badan atau korporasi kedalam pertanggung jawaban pidana).

66

Hamzah Hetrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum PidanaIndonesia, Cetakan Pertama,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1966), hlm. 29.


(50)

Dengan mengikuti apa yang disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa dalam perkembangan hukum pidana Indonesia ada 3 (tiga) sistem pertanggung jawaban pidana terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana, yaitu :67

1. Jika pengurus korporasi sebagai pembuat, maka yang pengurus korporasi yang bertanggung jawab.

2. Jika korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab. 3. Jika korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab.

Selain tiga sistem pertanggungjawaban korporasi yang telah disebutkan diatas, terdapat satu sistem pertanggungjawaban korporasi yang menurut Sutan Remy Sjahdeini harus ada dan diterapkan, yaitu pengurus dan korporasi keduanya sebagai pelaku tindak pidana dan keduanya pula harus memikul pertanggungjawaban pidana.

Karena apabila hanya pengurus yang dibebani pertanggungjawaban pidana, maka menjadi tidak adil bagi masyarakat yang telah menderita kerugian karena pengurus dalam melakukan perbuatannya itu adalah untuk dan atas nama korporasi serta dimaksudkan untuk mengurangi kerugian finansial bagi korporasi. Kedua, apabila yang dibebani pertanggungjawaban pidana hanya korporasi sedang pengurus tidak harus memikul tanggung jawab, maka sistem ini akan dapat memungkinkan pengurus bersikap “lempar batu sembunyi tangan”. Dan, ketiga, pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi hanya mungkin

67


(51)

dilakukan secara pengganti. Segala perbuatan hukum, dalam lapangan keperdataan maupun pidana, dilakukan oleh manusia yang menjalankan kepengurusan korporasi.68

1. Tersangka/terdaiwa

Jika melihat dalam Hukum Acara Pidana tidak semua orang yang dapat menjadi subjek hukum acara pidana, tetapi hanya orang-orang yang mempunyai kualifikasi tertentu saja.

Mereka itu ialah :

2. Polisi yang melakukan penyidikan 3. Jaksa yang melakukan penuntutan 4. Hakim yang mengadili

5. Panitera

6. Penasihat hukum 7. Saksi-sakasi

8. Pegawai lembaga permasyarakatan.69

B. Dasar-Dasar Penjatuhan Putusan Hakim

Een objective beoordeling van een objective positive, maksudanya segala-galanya harus diperhatiakan oleh hakim baik dari sudut kepentingan masyarakat maupun dari sudut kepentingan siterdakwa.70

68

Sultan Remy Sjahdeini, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi (Jakarta: Grafiti Pers,2006), hlm. 30.

69

Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hlm. 77.

70

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 3.


(52)

Pengambilan putusan oleh majelis hakim dilakukan setelah masing masing hakim anggota majelis mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan dalam suatu perkara lalu dilakukan musyawarah atau mufaklakat.Ketua majelis berusaha agar diperoleh permufakatan bulat (Pasal 187 ayat (2) KUHAP), jika permufakatan bulat tidak diperoleh, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dan jika para hakim berdeda pendapat atau pertimbangan sehingga suara terbanyak pun tidak dapat diperoleh, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa (Pasal 182 ayat (2) KUHAP)71

Lazimnya, dalam praktik peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan “yuridis” ini dibuktikan dan dipertimbangkan, hakim terlebih dahulu akan menarik “fakta-fakta dalam persidangan” yang timbul dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan dan diperiksa dipersidangan. Pada dasarnya “fakta-fakta dipersidangan” berorientasi pada dimensi tentang locus dan tempus delicti,modus operandi bagaimanakah tindak pidana tersebut dilkukan, penyebab atau latar belakang mengapa terdakwa sampai melakukan tindak pidana, kemudian bagaimana akibat langsung ataupun tidak langsung dari perbuatan terdakwa, barang bukti yang dipergunakan terdakwa dalam melakukan tindak pidana dan sebagainya.72

Dalam hal penjatuhan putusan, sebelumnya harus dilakukan pembuktian-pembuktian dalam sidang pengadilan perkara pidana merupakan suatu yang sangat penting.Pembuktian disidang pengadilan untuk dapat menjatuhkan pidana,

71

Evi Hartanti, Op. cit. hlm. 54.

72


(53)

sekurang-kurangnya harus ada paling sedikit dua alat bukti yang sah dan didukung oleh keyakinan hakim. Hal ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.73

Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang didakwakan merupakan konteks penting dalam putusan hakim.Karena hakikatnya pada pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestandelen) dari suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa oleh jaksa/penuntut umum. Dapat dikatakan lebih jauh bahwasanya pertimbangan-pertimbangan yuridis ini secara langsung akan berpengaruh besar terhadap amar/diktum putusan hakim dibandingkan dengan non yuridis74

1. Pertimbangan Yuridis

adapun pertimbangan hakim tersebut adalah:

a. Alat bukti

b. Surat dakwaan/catatan dakwaan c. Barang bukti

d. Pasal-pasal dalam Undang-undang

Ad.a. Alat bukti yang sah ialah :

Hukum pembuktian merupakan seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian, yaitu segala proses, dengan menggunakan alat-alat bukti

73

Evi hartanti, Op. Cit.hlm. 55.

74


(54)

yang sah dan dilakukan tindakan-tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta-fakta yuridis di persidangan, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima dan menilai suatu pembuktian. Suatu pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.75

Sistem pembuktian yang dianut KUHAP mencakup dubbelen gorndslag dengan adanya elemen keyakinan terhadap pembuktian berdasar Undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theori).76

KUHAP telah memberikan batasan pengertian saksi, ialah oarang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri dan alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuanya itu, Pasal 1 ayat (26). Sedangkan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar Alat bukti yang sah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut :

1. Keterangan saksi

75

Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, Edisi ke 2, (Jakrta: Raih Asa Sukses, 2012), hlm. 21.

76

Nikolas Simanjuntak, Acara Pidan Dalam Sirkus Hukum, (Jakarta: Galia Indonesia, 2009), hlm. 263.


(55)

sendiri, ia lihat sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuanya, Pasal 1 ayat (27).77

Pasal 160 ayat (3) KUHAP mewajibkan saksi sebelum memberikan keterangan untuk terlebih dahulu mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya, yang isinya sumpah atau janji bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Cara penyumpahan ini disebut dengan promisoris, artinya sanggup berkata yang benar. Akan tetapi, apabila pengadilan menganggap perlu penyampaian sumpah tidak dilakukan sebelum memberikan keterangan malainkan diberikan setelah saksi memberikan keterangan (Pasal 160 ayat 4). Cara penyumpahan yang kedua ini disebut asetoris.78

a) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain. Dapat tidaknya seorang saksi dipercayai, tergantung dari banyak hal yang harus diperhatikan oleh hakim. Dalam menilai keterangan saksi, hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan beberapa hal, yakni:

b) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain.

c) Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi memberikan keterangan tetentu.

77

Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni, 2008), hlm. 37.

78


(56)

d) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umunya dapat mempengaruhi dapat/tidaknya keterangan saksi itu dipercaya.79

Ada 2 (dua) syarat yang menyangkut keterangan saksi dimuka sidang yang tidak bisah dipisahkan, agar keterangan itu bernilai dan berharga pembuktian, yang dapat dipertimbangkan untuk membentuk keyakinan hakim, ialah:

a. Sumber pengetahuan saksi dari apa yang menjadi isi yang diterangakan; dan

b. Subtansi isinya keterangan80

Hakim tidak boleh menjatuhakan putusan kepada terdakwa hanya didasarkan pada satu saksi saja, oleh karena itu satu saksi kurang mencukupi asas minimum alat bukti yang kurang cukup.Artinya kekuatan pembuktian dengan satu saksi saja tidak dianggap sempurna oleh hakim.Ketentuan Pasal 185 ayat (2) ini dianggap tidak berlaku, apabila disertai dengan suatu alat bukti sah lainnya (Pasal 185 ayat 5).81

Keterangan ahli disebut sebagai alat bukti dalam pada urutan ke dua oleh Pasal 183 KUHAP. Berbeda dengan HIR dahalu yang tidak mencatumkan keterangan ahli sebagai alat bukti.Dalam Pasal 343 Ned. Sv. misalanya diberikan

2. Keterangi ahli

79

Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 118.

80

Adam Chazawi, Op. Cit. hlm. 43.

81


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas tentang analisis yuridis atas pertimbangan hakim terhadap putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi (korupsi) putusan Pengadilan Negeri Medan maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan dalam suatu perkara tindak pidana baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus didasarkan atas surat dakwaan Jaksa, alat-alat bukti, pasal-pasal dalam Undang-undang, barang-barang bukti serta fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Penjatuhan putusan bagi pelaku tindak pidana dapat berupa putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan dan putusan pemidanaan. Dari bentuk-bentuk putusan tersebut Hakim dalam mengadili suatu perkara tindak pidana umum maupun khusus dapat menjatuhkan jenis putusan tersebut sesuai dengan fakta persidangan dan keyakinan Hakim itu sendiri. 2. Hukum pidana menentukan perbuatan mana yang dapat dipidana dan

siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan dari suatu perbuatan itu. Bilamana perbuatan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan maka seseorang harus diberikan putusan yang seadil-adilnya oleh Hakim. Dalam analisis kasus ini bahwa Terdakwa yang dituduh secara bersama-sama melakukan atau turut melakukan suatu tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara sesuai dengan fakta persidangan tidak dapat


(2)

dibuktikan adanya perbutan korupsi tersebut. Dengan tidak terbuktinya kesalahan yang dituduhkan kepada terdakwa oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas bagi H. Drs. Rahudman Harahap, MM. B. Saran

1. Perlu diupayakan peningkatan kualitas aparat penegak hukum yang menangani masalah-masalah tentang tindak pidana korupsi, baik itu hakim, jaksa, polisi, KPK maupun pengacara dengan cara mengikuti pendidikan dan pelatihan serta mengikuti semina-seminar hukum.

2. Kiranya dalam mengadili kasus korupsi ditangani oleh hakim-hakim yang jujur dan berani menegakkan hukum dengan yang sebenar-benarnya dengan tidak diskrimatif sehingga menghasilkan suatu putusan yang memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Hartanti Evi,2008, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta,SinarGrafika.

Mulyadi, LIlik, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Prespektif, Teoritis dan

Praktik, Bandung, PT. Alumni.

2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana

Indonesia (Prespektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuatdan

Permasalhan), Bandung, PT. Citra AdityaBakti.

Atmasasmita, Romli, 2004, Sekitar Korupsi Aspek Nasional dan Aspek

Ineternasional, Bandung, CV. Mandar Maju.

Chaerudindkk, 2008, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum Tindak Pidana

Korupsi, Bandung, PT. Refika Aditama.

Poernomo, Bambang, 1976,Azas- Azas Hukum Pidana, Yogyakarta, Gahlia Indonesia.

Prasetyo,Teguh, 2001Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2011. Sianturi, Sr, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Storia Grafika.

Prodjodikoro, Wirjono,1969, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta, PT Eresco.

1983, Hukum Acara Pidana Indonesia, Bandung, Sumur Bandung.

Moelijatno,1983, Perbuatan Pidanadan Pertanggungan Jawab dalam Hukum

Pidana, Yogyakarta, Bina Aksara.

Lamintang, P.A.F. 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indnosia, Bandung, PT. Citra AdityaBakti.

E.Y Kanterdan S.R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidanadi Indonesia dan

Penerapannya, Jakarta, Alumni AHM-PTHM.


(4)

Roberd Klitgard: Kontroling Coruption, page 23, dikutipdari Max Weber, The Protestant ethnics and Spirit of Capitalism, (1904-s), Printerd University of California Press Baekley and Los Angles, Califoprnia.

Hamzah, Andi, 2002, Pemberantasan Korupsi di Tinjau dari Hukum Pidana, Jakarta, Pusat Study Hukum Pidana Universitas Trisakti.

2010, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakrta, Sinar Grafika.

Singgih, 2002, Duniapun Memerangi Korupsi (Beberapa Catatandari International Anti Corruption Conerence I – X dan Dokumen PBB tentang

Pemberantasa nKorupsi, Jakarta, Pusat Study Hukum Bisnis Universitas

Pelita Harapan.

Zanti, Arbi Sultan dan Ardana, 1997, Wayan, Rancangan Penelitian dan

kebijakansosial, Jakarta, CV. Rajawali.

Soekanto, Soerjono dan Mahmudji, Sri, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,

2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press.

1994, Pengantar Penelitian Hukum, Depok,Universitas Indonesia Press. Soekanto, Soerjono dan Mahmudji, 2001, Sri Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan SingkatJakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Soejono dan H. Abdurrahman, 2003 Metode Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003.

Dworkin, Ronald, 1973 Legal Research, Daedalus,Spring.

Mahmud, Marzuki Peter, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana. Sudarto, 1981, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni.

Poernomo, Bambang, 1984, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar

Kodifikasi Hukum Pidana, Jakarta,Bina Aksara.

Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2005,Tindak Pidana Korupsi, Kolusidan Nepotisme


(5)

2008, Nyoman, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice

System), Semarang, Program Magister Ilmu Hukum.

Chazawi, Adami, 2005, Hukum Pidana Materil dan Hukum Pidana Formil di

Indonesia, (Malang: Bayumedia Publising.

2002, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta, Raja Grafindo Persda.

2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, PT. Alumni. NawawiArief, Barda, 1994, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Pers. Wiyono, R, 2005, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi,

Jakarta,Sinar Grafika.

Remy Sjahdeini, Sultan,2006, Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Jakarta, Grafiti Pers.

Sasangka, Hari,dan Rosita, Lily,2003, Hukum Pembuktian Dalam Perkara

Pidana, Bandung,Manda Maju.

Prodjohamidjojo, .Martiman, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik

Korupsi, Bandung,Mandar Maju.

Muhammad, Rusli, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

2007, Hukum Acara Pidana Kontemporer, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Surachmin danCahaya,2001, Suhandi Strategidan Teknik Korupsi, Jakarta, Sinar

Grafika.

Pope, Jeremy, 2003, Strategi Memberantas Korupsi Elemen SistemI ntegritas

Nasional, Jakarta,Yayasan Obor Indonesia.

Alatas, 1987, KorupsiSifat, Sebab dan Fungsi.Jakarta, LP3ES.

Simanjuntakn, Nicolas, 2009, Acara Hukum Pidana Dalam Sirkus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia.


(6)

Perundang-Undangan

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman

Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Internet

http:www//zulfanlaw.wordpress.com/2008/07/10/dasar-pertimbangan-hakimdalammenjatuhkan-putusan-bebas-demi-hukum, Akses 22 Agustus 2013 http//www/eprints.undip.ac.id/17989/1/Johny_Krisna.pdf diaksespadatanggal 23 September 2013.

Lain-lain


Dokumen yang terkait

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

2 118 103

Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

5 112 126

Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Bebas (vrijspraak) terhadap Terdakwa dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Medan No.51/Pid.Sus.K/2013/PN.Mdn)

2 101 101

Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Bersyarat (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 5.089/Pid.B/2006/PN.Medan)

2 139 75

Tinjauan Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Wewenang Dalam Jabatan (Studi Putusan No.465/PID.SUS/2010/PN.Psp)

0 68 154

Analisis Yuridis Putusan Bebas (Vrijspraak) Dalam Tindak Pidana Narkotika (Putusan Nomor 279/PID.B/2011/PN.PLG)

1 10 9

Analisis Yuridis Putusan Hakim Kasasi dalam Tindak Pidana Penganiayaan (Putusan Nomor 2183/K.Pid/2011)

0 3 11

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

0 0 19

BAB II DIMENSI PUTUSAN HAKIM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERTIMBANGANYA A. Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia 1. Perkembangan Landasan Hukum Tindak Pidana Korupsi - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan

0 0 47

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

0 0 23