ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP PERBUATAN ASUSILA MELALUI MEDIA SOSIAL

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP PERBUATAN ASUSILA MELALUI MEDIA

SOSIAL

Oleh

LIA APRILLIANA

Kejahatan media sosial seringkali terjadi dan rasanya sudah tidak menjadi sesuatu yang tabu lagi. Salah satunya pelecehan seksual yang terjadi di jejaring media sosial yang umumnya merupakan jenis pelecehan tertulis yang bisa menyebabkan terjadinya pelecehan-pelecehan seksual lainnya. Aparat penegak hukum dalam mencari bukti-bukti dan menentukan pelakunya harus dibutuhkan pengetahuan di bidang cybercrime. Kekurangpahaman aparat penyidik dalam bidang tindak pidana media sosial cybercrime membuat proses penyidikan menjadi lama dan sulit untuk menentukan siapa pelakunya. Berdasarkan hal tersebut maka permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah penegakan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

Pendekatan masalah untuk membahas permasalahan tersebut penulis melakukan penelitian dengan pendekatan yuridis empiris dan pendekatan yuridis normatif. Sumber data yang digunakan adalah data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lapangan, data sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Data tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder dengan materi penulisan yang berasal dari kamus hukum. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penegakan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial dilakukan dengan cara mencari saksi-saksi dan mencari barang bukti yang diatur dalam Pasal 1 angka 27 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kemudian menguatkan barang bukti tersebut melalui koordinasi dengan ahli ITE yang diatur dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP dan untuk selanjutnya diserahkan kepada jaksa untuk dilimpahkan ke pengadilan. Tindak pidana asusila melalui media sosial adalah perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diakesesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terhadap perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana


(2)

Lia Aprilliana

penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan kesimpulan tersebut, perlu adanya tindakan yang lebih konkrit dan pro aktif supaya penegakan hukum itu lebih maksimal. Perlunya peran aktif pemerintah dalam proses sosialisasi terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan tujuan masyarakat dapat mengerti dan memahami undang-undang tersebut.

Kata Kunci : Penegakan Hukum Pidana, Penyidikan, Perbuatan Asusila, Media Sosial


(3)

ANALISIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA PADA TAHAP PENYIDIKAN TERHADAP PERBUATAN ASUSILA MELALUI MEDIA SOSIAL

Oleh

Lia Aprilliana

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar

Sarjana Hukum

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung Tengah pada tanggal 3 April 1993, penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Marwoko dan Ibu Yatini. Penulis memulai pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Pertiwi lampung Tengah, Seputih Banyak pada tahun 1998-1999.

Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar di SDN 1 Seputih Banyak pada tahun 1999-2005. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Seputih Banyak pada tahun 2005-2008. Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas di SMAN 1 Seputih Banyak pada tahun 2008-2011.

Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, pada tahun 2013-2014 penulis menjadi anggota Pusat Study Bantuan Hukum (PSBH) Unila. Penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Cimarias, Kecamatan Bangun Rejo, Kabupaten Lampung Tengah.


(8)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT, zat yang Maha Kuasa dan maha Pengasih Lagi Maha

Penyayang ku persembahkan skripsi ini kepada: Ayahku terhormat Bapak Marwoko yang telah mengajarkanku untuk tetap kuat dan bersyukur dalam

segala hal.

Mamaku tercinta Yatini

Yang telah memberikan dukungan dan doa serta harapan demi keberhasilanku kelak. Perempuan Tercantik yang pernah ada di dalam hidupku, wanita Terindah yang selalu

ada dihatiku selama-lamanya. Kepada adikku yang ku kasihi

Laudrian Dwi Bayu Jhonata Marcelino yang selalu selalu ku sayang selama-lamanya

Serta Keluarga besar yang selalu berdoa dan berharap demi keberhasilanku dalam meraih cita-cita.

Almamamaterku tercinta Fakultas Hukum Angkatan 2011 Universitas Lampung


(9)

MOTO

Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang allah berikan kepadanya. Allah kelak akan

memberikan kelapangan sesudah kesempitan (Qs Ath Thalaaq:7)

Bekerja keraslah seperti akan hidup selamanya dan beribadahlah seperti akan mati besok


(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan

judul “Analisis Penegakan Pidana Hukum Pada Tahap Penyidikan Terhadap Perbuatan Asusila Melalui Media Sosial” sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan, petunjuk dan saran dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dari lubuk hati yang paling dalam kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak, Eko Raharjo, S.H., M.H. Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran, nasehat, masukan, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

4. Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah. S.H,M.H selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran, nasehat, masukan dan bantuan dalam proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(11)

5. Bapak Dr. Heni Siswanto, S.H., M.H. selaku Dosen Pembahas I yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

6. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H, M.H. selaku Dosen Pembahas II yang telah memberikan nasehat, kritikan, masukkan dan saran dalam penulisan skripsi ini.

7. Briptu Nanang Tianggono, S.H., Briptu Irene Mistiarty, S.H., dan Ibu Nikmah Rosidah, S.H., M.H. yang telah memberikan izin penelitian, dan membantu dalam penelitian serta penyediaan data untuk penyusunan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas lampung, penulis ucapkan banyak terima kasih.

9. Mbak Yanti, mbak Sri dan mbak Yani, Babeh Narto atas bantuan dan fasilitas selama kuliah dan penyusunan skripsi.

10. Guru-guruku selama menduduki bangku Sekolah, TK Pertiwi, SDN 1 Seputih Banyak, SMPN 1 Seputih Banyak, SMAN 1 Seputih Banyak. Penulis ucapkan terimakasih atas ilmu, doa, motivasi dan kebaikan yang telah ditanamkan.

11. Teristimewa untuk kedua orang tuaku tersayang Bapak Marwoko dan Mamaku Yatini untuk doa, kasih sayang, dukungan, motivasi, dan pengajaran yang telah kalian berikan dari aku kecil hingga saat ini, yang begitu berharga dan menjadi modal bagi kehidupanku.


(12)

12. Kepada adik kandungku Laudrian dwi Bayu Jhonata Marcelino yang selalu memberikan keceriaan buatku dan memberi dukungan moril, semangat, serta materil yang diberikan.

13. Keluarga besarku yang selalu berdoa untukku serta dukungan dan motivasinya.

14. Untuk temanku Natalia Khaterine S, Miranti Dwi Saputri, Bayu Andrian, Fitri Agista, Gesta Aldila, dan untuk UGE Maharani, Nurjanah, Laras, Prafika, Rachmi, Aulia, Desy yang telah memberikan kenangan indah di masa kuliah.

15. Untuk teman-teman angkatan 2011, Merri, Mona, Marlina, Nova, Ellisabet, Enaldo, M. Yayang, Rizky Arief, Kio, Destry, yang telah memberikan kenangan yang luar biasa.

16. Teman-temanku Asrama Kemala ajo Melisa, atu Anita, Encha, Melda, Apoy, Efi, Mei, Citra, Ressa, terima kasih untuk persahabatan serta dukungannya selama ini.

17. Teman-temanku spesial Bayu prabu putra mangsanga, Tian Sasmita S.Kep, Livia, Ferly, Ryan, Jenni, Nina, Tri, Mawar, Septi, Ely, Resti, Dhian, Mba Mauli, Tri Hermansyah, Rezza Kurnia, Findo Harimurti, , Niko, Garnis, yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih untuk persahabatan serta kenangan yang terindah.

18. Teman-teman Mahasiswa Fakultas Hukum yang lain Enaldo, Iis,Ines, Ayi, Anisa, Ika, Zahra, Noni, Nico, Zaky, Gusti, Wayan, Aisyah, Syeh, Ivan Savero, Andika, Sefti, Tria, Jessika, Maya, Hindiana, Dian, Destry, Ririn, Aga, serta teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu


(13)

terimakasih untuk bantuan, kebersamaan, kekompakan, canda tawa selama mengerjakan tugas besar atau tugas harian, semoga selepas dari perkuliahan ini kita masih tetap jalin komunikasi yang baik, tetap semangat Viva Justicia Hukum Jaya.

19. Teman-teman di Kuliah Kerja Nyata (KKN), untuk Abi, Linda, Irham, Komang, Kholis, Irene, Jhoni, Ita, Jenni dan Desa Cimarias terima kasih untuk doa, dukungan, canda tawa, dan kebersamaan selama 40 hari.

20. Untuk Almamater Tercinta, Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah menjadi saksi bisu dari perjalanan ini hingga menuntunku menjadi orang yang lebih dewasa dalam berfikir dan bertindak. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Tuhan memberikan balasan atas bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan keilmuan bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya.

Bandar Lampung, April 2015

Penulis,


(14)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 16

1. Pengertian Tindak Pidana... . 16

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana... 18

B. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum ... 20

1. Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum Pidana ... 20

2. Faktor-Faktor Penegakan Hukum ... 22

C. Pengertian Penyidikan ... 25

D. Pengertian Tindak Pidana Asusila ... 26

E. Pengertian Media Sosial... . 29

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber dan Jenis Data ... 34

C. Penentuan Narasumber ... 35

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 36


(15)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Narasumber ... 38 B. Penegakan Hukum Pidana pada Tahap Penyidikan Terhadap Perbuatan

Asusila Melalui Media Sosial ... 39

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 59 B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan masyarakat modern telah menyebabkan perkembangan kejahatan yang mencakup jenis serta dimensi- dimensi yang sebelumnya tidak ada. Semakin modern suatu masyarakat, semakin modern pula metode, teknik dan cara-cara tindak kejahatan dilakukan oleh para pelakunya. Salah satunya adalah kejahatan teknologi informasi yang semakin menjalar yang membuat masyarakat menjadikannya sarana untuk melakukan tindak pidana atau pelanggaran. Kemajuan teknologi informasi yang diciptakan pada akhir abad ke-20 adalah internet. Teknologi internet membawa manusia pada peradaban baru, dimana terjadi perpindahan realitas kehidupan dari aktifitas nyata ke aktivitas maya

(virtual) yang disebut dengan istilah cyberspace.1

Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi telah melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melanggar hukum. Teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global, dan menyebabkan dunia menjadi tanpa batas

1


(17)

2

(borderless), serta menimbulkan perubahan di berbagai bidang kehidupan2.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan berbagai fasilitasnya, dalam hal ini internet merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi tersebut, yang memberi kemudahan dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung satu sama lain.

Kejahatan media sosial kerap kali terjadi dan rasanya sudah tidak menjadi sesuatu yang tabu lagi. Salah satunya pelecehan seksual yang terjadi di jejaring media sosial yang umumnya merupakan jenis pelecehan tertulis yang bisa menyebabkan terjadinya pelecehan-pelecehan seksual lainnya. Ada beberapa pelecehan seksual lainnya yang bisa saja terjadi dari perkenalan lewat jejaring media sosial, antara lain pelecehan fisik, pelecehan lisan, pelecehan isyarat, dan pelecehan emosional. Seorang perempuan bisa mengalami trauma berkepanjangan ketika ia mendapat pelecehan seksual di jejaring sosial media.

Menurut Wiryono Prodjodikoro,3 kesusilaan (zedelijkheid) pada umumnya mengenai adat istiadat atau kebiasaan yang baik dalam hubungan antara berbagai anggota masyarakat, tetapi khususnya yang sedikit banyak mengenai kelamin (sexs) seorang manusia. Dengan demikian, pidana mengenai delik kesusilaan hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-norma kesusilaan seksual yang tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan. Akan tetapi, menurut Roeslan Saleh4 pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan

2

Agus Raharjo, Cyber Crime Pemahaman Dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 34

3

http://www.pengertianahli.com/2013/05/pengertian-hukum-menurut-para-ahli.html Rabu, tanggal 5 November 2014

4


(18)

3

dalam bidang seksual saja, tetapi juga meliputi hal-hal lain yang termasuk dalam penguasaan norma-norma bertingkah laku dalam pergaulan masyarakat.5

Bangsa Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa hal masih tertinggal. Kondisi ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknlogi informasi dan komunikasi ini, termasuk kemampuan dalam menghadapi masalah hukum yang timbul. Salah satu dampak negatif yang timbul adalah tingginya tingkat kejahatan di berbagai bidang dengan beragam modus operandinya.6

Berbagai macam kasus yang berkaitan dengan tindak pidana kesusilaan yang dilakukan oleh masyarakat dari berbagai golongan usia muda maupun tua, pekerjaan dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa kejahatan seksual di dalam KUHP tertuang dalam Bab XIV tentang Kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur pada Pasal 284 sampai Pasal 296 KUHP, di dalamnya diatur tentang kejahatan seksual antara lain perbuatan zina, perkosaan dan perbuatan cabul.

Berikut ini salah satu contoh kejahatan kesusilaan melaui media sosial:

“Kasus Silvia Termiati (34) warga jln Pangeran Hidayat Irg Siswa RT.12 Kecamatan Kota baru kembali melaporkan perbuatan pencemaran nama baik melalui jejaring sosial facebook ke Mapolresta Jambi. Korban melapor atas dasar nama dan nomor Hpnya dimasukkan dalam jejaring sosial facebook oleh Wiwik yang merupakan tetangga korban dengan kata-kata porno. Saya melapor karena distatus facebook bertuliskan kata-kata-kata-kata porno jika ingin berhubungan intim hubungi no 08xxxxx yang terdapat di facebook wiwik, karena itu no Hp saya, banyak orang-orang nelpon yang mengajak chek-in, langsung saya marah, karena saya merasa tersinggung,

5

Burgin M.B. Sosiologi Media Konstruksi Sosial Teknologi Telematika Dan Perayaan Seks Di

Media Massa, Jakarta: Pernada Mendua,.2005. hlm 86

6


(19)

4

saya saja facebook tidak mengerti kalau tidak ada temen yang bantu. Ungkap silvia saat di konfirmasi wartawan, Senin (15/07) usay melapor ke Unit PPA Polresta Jambi. Dan ia menambahkan sudah 3 (tiga) kali melapor ke Mapolresta Jambi namun tidak ditangani dengan alasan sibuk pengamanan Pemilukada Kota Jambi. Masalah ini sudah (tiga) kali saya laporka, pertama Januari, kedua pertengahan Februari, ketiga bulan Juni, lalu baru sekarang bisa diproses saya ingin kasus ini tetap lanjut karena mencemarkan nama baik saya dan keluarga saya, ungkapnya. Hanya saja pelaku pencemaran nama baik tersebut enggan berkomentar saat di konfirmasi wartawan memilih untuk nyelonong pergi dengan menggunakan sepeda motor usai dipanggil penyidik PPA Polresta Jambi.7 Hal ini sangat disayangkan mengingat zaman sekarang ini kecanggihan media sosial seperti candu bagi anak-anak, kaum remaja, sampai orang dewasa dan dengan adanya gambar-gambar, tulisan-tulisan yang bersifat kesusilaan yang disebarkan melalui media elektronik, maka dapat merusak moral, dan pikiran anak yang melihat gambar maupun kata-kata senonoh tersebut.

Fenomena-fenomena saat ini, baik dari kalangan artis, pegawai, anak sekolahan tidak mengangap tabu lagi memamerkan gambar-gambar dirinya atau kata-kata yang tidak sewajarnya dengan sengaja diunggah di media sosial mereka untuk menarik perhatian teman-teman di jejaring sosialnya agar mereka terlihat eksis dan menarik bagi lawan jenis. Mereka tidak seharusnya menyebarkan dan/atau mengungah foto-foto tersebut karena bisa menimbulkan banyak dampak negatifnya antara lain meusak moral anak bangsa, dan dapat mengundang kejahatan, yang mana kejahatan tersebut bisa berdampak kepada pemilik jejaring sosial, kejahatan tersebut bisa dijadiakan pencarian uang, dengan cara pemerasan kepada pihak pemilik akun tersebut.

7

http//jambidaily.com/v3/hukum/4085-lapor-karena-ucapan-tak-senonoh-di-fb Selasa, tanggal 4 November 2014 Pukul 10.05 wib


(20)

5

R Soesilo8 dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar- komentarnya lengkap pasal demi pasal dalam penjelasan

Pasal 310 KUHP, menerangkan bahwa, “menghina” adalah “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Yang diserang ini biasanya merasa malu

kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan dalam lapangan seksual, kehormatan yang dapat dicemarkan karena tersinggung anggota kemaluannya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis dimana hukum dapat berkembang sesuai dengan perkembangan yang terjadi dimasyarakat.

Salah satu perkembangan yang terjadi adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia maya untuk itu dibutuhkan peraturan yang dapat memberian kepastian hukum dunia maya di Indonesia oleh pemerintah diterbitkan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).

Kemajuan teknologi yang canggih, para pengguna internet atau pengguna sosial media diharapkan untuk dapat menjaga privasi akunnya, dengan tidak menyalahgunakan akun sosial media miliknya dan menggunakan jejaring sosial dengan sewajarnya saja, mengingat terdapat peraturan yang mengaturnya yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) yang di dalamnya mengatur berbagai aktivitas yang dilakukan dan terjadi di dunia maya (cyberspace), termasuk pelanggaran hukum yang terjadi. Salah satu pelanggaran hukum tersebut adalah setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau

8

R Soesilo, Kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHP), Bogor: Politea Bogor, 1991, hlm 47


(21)

6

mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, Kejahatan terhadap kesusilaan juga diatur di dalam KUHP (Pasal 281- Pasal 299) dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

Perkembangan teknologi informasi berdampak pada revolusi bentuk kejahatan yang konvensional menjadi lebih modern. Jenis kegiatannya mungkin sama, namun dengan media yang berbeda yaitu dalam hal ini internet, suatu kejahatan akan lebih sulit diusut, diproses, dan diadili. Aparat penegak hukum dalam mencari bukti-bukti dan menentukan pelakunya harus dibutuhkan pengetahuan di bidang cybercrime. Kekurangpahaman aparat penyidik dalam bidang tindak pidana media sosial (cybercrime) membuat proses penyidikan menjadi lama dan sulit untuk menentukan siapa pelakunya. Kejahatan yang sering kali berhubungan dengan internet salah satunya adalah penyebaran gambar-gambar asusila, pornografi, dan pencemaran nama baik melalui media sosial.

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan

judul “Analisis Penegakan Hukum Pidana Pada Tahap Penyidikan Terhadap


(22)

7

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:

a. Bagaimanakah penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian bidang hukum pidana pada umumnya dan khususnya mengenai analisis penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial. Penelitian ini akan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang dengan mewawancarai sejumlah narasumber yaitu penyidik Polda Lampung pada tanggal 12 Februari 2015.

C. Tujuan dan kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang di kemukakan di atas, maka tujuan dalam penelitian skripsi ini adalah untuk:

a. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dan penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis yaitu:


(23)

8

a. Secara Teoritis

Penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kontribusi pemikiran dan dapat memberikan manfaat untuk memperkaya ilmu hukum, dan tata cara memahami penegakan hukum pada tahap penyidikan sebagai sarana penanggulangan kejahatan terkhusus hukum pidana, yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana itu sendiri.

b. Secara Praktis

Penulisan ini diharapkan meningkatkan kemampuan meneliti serta sebagai sumbangan pemikiran dalam proses pengetahuan hukum baik secara akademis serta dalam proses penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka Teoritis digunakan dalam penelitian mengenai penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial, penulis mengutip penegakan hukum yang dikemukakan oleh para pakar hukum sebagai berikut:

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief9 pengertian penegakan hukum pidana dapat dikatakan fungsional hukum sebagai upaya untuk membuat hukum pidana itu dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkrit. Berlandaskan dari pengertian tersebut maka fungsionalisasi atau proses penegakan

9

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002, hlm 54


(24)

9

hukum pidana pada umumnya melibatkan minimal tiga faktor yang saling terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat atau penegak hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembagian ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem komponen sistem hukum, yaitu aspek substansi (legal), aspek struktur (legal actor), aspek budaya hukum (legal culture) maka suatu penegakan hukum sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut.

Sedangkan menurut Muladi10 penegakan hukum dapat diartikan dalam 3 (tiga) konsep yakni, konsep penegakan yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada dibelakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa terkecuali. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (full

enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan

hukum acara dan sebagainya demi perlindungan individu. Konsep penegakan hukum aktual (actual nenforment concept) yang muncul setelah diyakini adanya deskripsi dalam penegakan hukum, kualitas SDM, kualitas perundang-undangan dan kurangnya partisipasi masyarakat.

Menurut M. Friedman,11 aparatur penegak hukum dalam proses menegakkan hukum terdapat tiga element penting yang mempengaruhi, yaitu

1. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.

2. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya.

10

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Universitas Diponogoro. Semarang. 1995, hlm 73.

11

https://www.google.co,id/search.newwindow1&q+menurut+M+Fredman+tiga+element+penting +yang+mempengaruhi+penegakan+hukum7oq, di unduh pada pukul 13:00 WIB Tanggal 29 Agustus 2014


(25)

10

3. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya.

Menurut Andi Hamzah12 tujuan hukum acara pidana ialah menemukan kebenaran materil. Selain pengetahuan tentang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana, perlu pula penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan penasehat hukum mempunyai bekal pengetahuan lain yang dapat membantu dalam menemukan kebenaran materil. Masalah penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto13 terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada sisi faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Faktor perundang-undangan (substansi hukum); 2. Faktor aparat penegak hukum;

3. Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung; 4. Faktor masyarakat;

5. Faktor kebudayaan.

Penegak hukum dalam tingkat penyidikannya sebenarnya diatur dalam Pasal 1 Angka 2 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Sedangkan penyidik diatur dalam Pasal 1 Angka 1 KUHAP yang mengatur bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

12

Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu Di Dalam KUHP, Jakarta:, Sinar Grafika, 2009, Hlm 196

13

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Erdasa, 2007,hlm 5


(26)

11

Penyelidikan berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 5 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan penyelidik berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 4 KUHAP adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Menurut de Pinto, menyidik (opsporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum14. Kemudian terhadap penyidikan tindak pidana media sosial (cybercrime) selain berlaku ketentuan dalam KUHAP juga berlaku ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan di teliti.15

14

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002, hlm, 19.

15


(27)

12

Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini dapat diartikan sebagai berikut:

a. Analisis adalah sebuah proses menguraikan sebuah pokok masalah atas berbagai bagiannya, penelaahan juga dilakukan pada bagian tersebut dan hubungan antar bagian guna mendapatkan pemahaman yang benar serta pemahaman masalah secara menyeluruh.16

b. Penegakan Hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.17

c. Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.18

d. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya.19

e. Perbuatan adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, yang diancam dengan pidana. Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum apabila orang tersebut melanggar undang-undang yang ditetapkan oleh hukum. Tidak semua tindak pidana merupakan perbuatan melawan hukum karena ada alasan pembenar, berdasarkan Pasal 50, Pasal 51 KUHP.20

16

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 1987, Hlm, 40

17

http://www.jimly.com/makalah/namafile/56/Penegakan_Hukum.pdf, Selasa 17 Januari 2015, Pukul 19:30 WIB

18

Tri Andrisman. Hukum Pidana. Unila Bandar lampung. 2009. Hlm 8

19

Tri Adrisman, Hukum Acara Pidana, Unila Bandar Lampung, 2010, Hlm 19

20

http://dwiratnasari770.blogspot.com/2013/05/pengertian-dan-definisi-perbuatan-hukum.html Selasa, 17 Januari 2015. Pukul 19:15 WIB


(28)

13

f. Asusila adalah perbuatan atau tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma atau kaidah kesopanan yang saat ini cenderung banyak terjadi kalangan masyarakat, terutama remaja. Menurut pandangan agama (religious) tindakan asusila adalah perbuatan yang fatal yang mengakibatkan dosa dan rendahnya harga diri secara rohani (spiritualitas). Simons mengatakan perbuatan mengenai kehidupan seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu atau kesusilaan orang lain. Kesusilaan (zedelijkheid) adalah mengenai adat kebiasaan yang baik dalam hubungan antar berbagai anggota masyarakat, tetapi khusus yang sedikit banyak mengenai kelamin (seks) seorang manusia, sedangkan kesopanan (zeden) pada umumnya mengenai adat kebiasaan yang baik.21

Ketentuan tindak pidana kesusilaan dalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi 22:

1. Tindak pidana kesusilaan (berkaitan dengan seks) bentuk kejahatan diatur dalam Pasal 281-289 KUHP dan dalam bentuk pelanggaran diatur dalam Pasal 532-535 KUHAP.

2. Tindak pidana kesopanan, bentuk kejahatan diatur dalam Pasal 300-303 KUHP, dan bentuk pelanggaran diatur dalam Pasal 536-547 KUHAP. g. Media Sosial adalah saluran atau sarana pergaulan sosial secara online di dunia

maya (internet). Para pengguna (user) media sosial berkomunikasi,

22

http://mbaladewaline.blogspot.com/2013/02/pengertian-macam-macam-pasal-asusila.html. Selasa 17 Januari 2015 Pukul 20: 00 WIB


(29)

14

berinteraksi, saling kirim pesan, dan saling berbagi (sharing), dan membangun jaringan (networking).23

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam pemahaman dalam skripsi ini secara keseluruhan dan mudah dipahami, maka disajikan sistematika penulisan penelitian ini sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Pada bab ini berisikan tentang latar belakang penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini menguraikan tentang pengertian unsur-unsur tindak pidana, tinjauan umum mengenai penegakan hukum pidana, pengertian penyidikan, pengertian tindak pidana asusila, dan pengertian media sosial.

III. METODE PENELITIAN

Pada bab ini menjelaskan mengenai langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan narasumber, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.24

23


(30)

15

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini diuraikan tentang hasil-hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial

V. PENUTUP

Pada bab ini merupakan bab penutup dari penulisan penelitian yang berisikan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan, serta beberapa saran dan penulis sehubungan dengan masalah yang dibahas.

24


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana berasal dari suatu istilah dalam hukum Belanda yaitu strafbaar feit. Ada pula yang mengistilahkan menjadi delict yang berasal dari bahasa latin

delictum. Hukum pidana negara anglo saxon memakai istilah offense atau criminal

act. KUHP Indonesia bersumber pada wetbook van strafreht Belanda, maka memakai istilah aslinya pun sama yaitu strafbaar feit. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang mempunyai dua unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang ada pada dasarnya dapat dibagi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan unsur-unsur objektif:

1. Subyektif, yaitu berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya;

2. Objektif, yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku dilakukan.

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana (yuridis normatif). Kejahatan atau perbuatan jahat dapat diartikan secara yuridis atau kriminologis. Kejahatan atau perbuatan jahat dalam arti yuridis normatif adalah perbuatan seperti yang terwujud in-abstracto dalam peraturan pidana. Kajahatan


(32)

17

dalam arti kriminologis adalah perbuatan manusia yang menyalahi norma yang hidup dimasyarakat secara konkret.1 Moeljatno mengatakan “perbuatan pidana (tindak pidana) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa

melanggar larangan tersebut”.

Pompe mengatakan pengertian tindak pidana menjadi 2 (dua) definisi, yaitu:

1. Definisi menurut teori adalah suatu pelanggaran terhadap norma, yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar yang diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.

2. Definisi menurut hukum positif adalah suatu kejadian/feit yang oleh peraturan undang-undang dirumuskan sebagai perbuatanyang dapat dihukum.

Berdasarkan pengertian tindak pidana yang dikemukakan oleh para pakar diatas, dapat diketahui bahwa pada tataran teoritis tidak ada kesatuan pendapat di antara para pakar hukum dalam memberikan definisi tentang tindak pidana para pakar hukum terbagi dalam 2 (dua) pandangan/aliran yang saling bertolak belakang, yaitu:

1. Pandangan/Aliran Monistis, yaitu:

Pandangan/aliran yang tidak memisahkan antara pengertian perbuatan pidana dengan pertangungjawaban pidana.

2. Pandangan/Aliran Dualisme, yaitu:

Pandangan/aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan pidana

(criminal act atau actus retus) dan dapat dipertanggujawabkan si pembuat

1

Tri Adrisman., Hukum Pidana Asas-Asas Dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia., Unila Bandar Lampung,.2009, Hlm 69


(33)

18

(criminal responsibility atau mens rea). Dengan kata lain pandangan dualistis

memisahkan pengertian perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana. Dalam praktiknya peradilan pandangan dualistis yang sering diikuti dalam mengungkap suatu perkara pidana (tindak pidana), karena lebih memudahkan penegak hukum dalam menyusun suatu pembuktian perkara pidana.2

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pandangan ini membawa konsekuensi dalam memberikan pengertian tindak pidana. Aliran Monistis dalam merumuskan pengertian tindak pidana dilakukan

dengan melihat “keseluruhan syarat adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari pembuat”, sehingga dalam merumuskan pengertian tindak pidana ia tidak memisahkan unsur-unsur tindak pidana, mana yang merupakan unsur perbuatan pidana dan mana yang unsur pertanggungjawaban pidana. Aliran dualistis dalam memberikan pengertian tindak pidana memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.

Menurut Simons unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut:

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

2. Diancam dengan pidana; 3. Melawan hukum;

4. Dilakukan dengan kesalahan;

5. Orang yang mampu yang bertanggungjawaban.

Moeljatno merumuskan unsur-unsur perbuatan pidana/tindak pidana sebagai berikut:

2


(34)

19

1. Perbuatan (manusia);

2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan syarat formil);dan

3. Bersifat melawan hukum (ini merupakan syarat materil)3.

Orang yang melakukan tindak pidana (yang memenuhi unsur-unsur tersebut tidak diatas) harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana agar dapat dipidana. Jadi unsur pertanggungjawaban pidana ini melekat pada orangnya/pelaku tindak pidana. Adapun unsur-unsur pertannggungjawaban pidana meliputi :

1. Kesalahan;

2. Kemampuan bertanggungjawab.

Kedua aliran/pandangan tersebut tidak terdapat perbedaan yang mendasar/prinsipil. Perlu diperhatikan adalah bagi mereka yang menganut aliran yang satu, hendaknya memegang pendirian itu secara konsekuen, agar tidak ada

kekacauan pengertian. Dengan demikian dalam mempergunakan istilah “Tindak Pidana” haruslah pasti bagi orang lain. Apakah istilah yang dianut menurut

aliran/pandangan Monistis aturan Dualistis. Bagi orang yang menganut aliran monistis, seseorang yang melakukan tindak pidana itu sudah dapat dipidana, sedangkan bagi orang yang menganut pandangan dualistis, sama sekali belum mencukupi syarat pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.

Aliran/pandangan Dualistis lebih mudah untuk diterapkan, karena secara sistematis membedakan antara perbuatan pidana (tindak pidana) dengan pertanggungjawaban pidana. Sehingga memudahkan dalam penuntutan dan

3Ibid


(35)

20

pembuktian tindak pidana yang dilakukan.4 Dalam konsep KUHP 2008 pengertian

tindak pidana telah dirumuskan dalam Pasal 11 Ayat (1) sebagai berikut: “Tindak

pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

B. Tinjauan Umum Mengenai Penegakan Hukum Pidana 1. Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum Pidana

Penegakan hukum adalah badan yang berwenang dan berhubungan dengan masalah peradilan yang tugasnya menyelasaikan konflik atau perkara hukum. Hukum dapat tercipta bila masyarakat sadar akan hukum tanpa membuat kerugian pada orang lain. Penegakan hukum di Indonesia tidak terlepas dari peran para aparat penegak hukum. Menurut Pasal 1 Bab 1 KUHAP, yang dimaksud aparat penegak hukum oleh undang-undang ini sebagai berikut:

1. Penyidik ialah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberikan wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan.

2. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.

3. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan ketetapan hakim.

4


(36)

21

4. Hakim yaitu pejabat peradilan negara yang diberi kewengan oleh undang-undang untuk mengadili.

5. Penasehat hukum ialah seseorang yang memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk memberikan bantuan hukum.

Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat penegak hukum. Secara arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum, dimulai dari aksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim dan petugas sipil pemasyrakatan. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum, terdapat tiga element penting yang mempengaruhi, yaitu:

a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya.

b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya.

c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materinya maupun hukum acaranya.

Penegakan hukum adalah usaha yang untuk mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. Jadi, penegakan hukum pada hakikatnya adalah proses mewujudkan ide-ide. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku dalam lalu lintas atau


(37)

hubungan-22

hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Ditinjau dari sudut subyeknya:

a. Dalam arti luas, proses penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan antara normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakakan anturan hukum.

b. Dalam arti sempit, penegakan hukum hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa sesuatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya.

2. Ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya:

a. Dalam arti luas, penegakan hukum yang mencakup pada nilai-nilai keadilan yang di dalamnya terkandung bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang ada dalam bermasyarakat.

b. Dalam arti sempit, penegakkan hukum itu hanya menyangkut pengakan peraturan yang formal dan tertulis.

2. Faktor-Faktor Penegakan Hukum

Penegakan hukum di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena banyak sekali faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum di Indonesia. Berikut ini menurut Soerjono Soekanto faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sebagai berikut:


(38)

23

1. Faktor Undang-Undang

Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin baik memungkinkan penegakannya. Sebaliknya, semakin tidak baik suatu peraturan hukum akan semakin sukarlah menegakkan. Secara umum, peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum yang berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis.

2. Faktor Penegak Hukum

Secara sosiologis setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) atau peranan (role). Kedudukan sosial merupakan posisi tertentu dalam struktur masyarakat yang isinya adalah hak dan kewajiban. Penegakan hukum dalam mengambil keputusan diperlukan penilaian pribadi yang memegang peranan karena:

a. Tidak ada perundingan undang-undang yang sedemikian lengkap, sehingga dapat mengatur perilaku manusia.

b. Adanya hambatan untuk menyelesaikan perundang-undanagan perkembangan masyarakat sehingga menimbulkan ketidakpastian.

c. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan.

d. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan khusus.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya. Kalau hal-hal iti tidak terpenuhi maka mustahil penegak hukum akan mencapai tujuannya. Tanpa sarana atau fasilitas yang memadai,


(39)

24

penegak hukum tidak akan dapat berjalan lancar, dan penegak hukum tidak bisa berjalan dengan sempurna.

4. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untik mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Apabila warga masyarakat telah mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka maka mereka juga akan mengetahui aktifitas-aktifitas pengunaan upaya-upaya hukum untuk melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan yang ada. Hal itu semuanya biasanya disamakan kompetensi hukum yang tidak mungkin ada apabila warga masyarakat:

a. Tidak mengetahui atau tidak menyadari apabila hak-hak mereka dilanggar atau ditunggu.

b. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.

c. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik.

d. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya.

e. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan berbagai unsur kalangan hukum formal.


(40)

25

5. Faktor Kebudayaaan

Kebudayaan pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana yang merupakan konsepsi-konsepsi yang abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Maka, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau mendasari hukum adat yang berlaku, disamping itu berlaku pula hukum tertulis (perundang-undang), yang dibentuk oleh golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang untuk itu.

Pada hakikatnya penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law

enforcement saja, akan tetapi juga peace maintenance, karena penyelenggaraan

hukum sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Dengan demikian tidak berarti setiap permasalahan sosial hanya dapat diselesaikan oleh hukum yang tertulis karena tidak mungkin ada peraturan perundang-undangan yang mengatur seluruh tingkah laku manusia, yang isinya jelas bagi setiap warga masyarakat yang diaturnya dan serasi antara kebutuhan untuk mencapai peraturan dengan fasilitas yang mendukungnya.

C. Pengertian Penyidikan

Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna


(41)

26

menemukan tersangkanya.5 Sesungguhnya tujuan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana diharapkan dapat diperoleh keterangan–keterangan berupa:

a. Jenis dan kualitas tindak pidana yang terjadi b. Waktu tindak pidana dilakukan

c. Tempat terjadinya tindak pidana d. Dengan apa tindak pidana dilakukan e. Alasan dilakukannya tindak pidana f. Pelaku tindak pidana

Penyidikan terhadap tindak pidana media sosial (cybercrime) selain dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur mengenai penyidikan yang terdapat dalam KUHAP juga dilaksanakan berdasarkan ketentuan khusus mengenai penyidikan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hal ini dilakukan agar penyidikan dan hasilnya dapat diterima secara hukum.

D. Pengertian Tindak Pidana Asusila

Delik-delik pelanggaran kesusilaan diatur dalam Pasal 281-283 KUHP sekarang. Ketentuan ini mengatur persoalan pelanggaran kesusilaan yang berkaitan dengan tilisan, gambar, atau benda yang melanggar kesusilaan. Selain itu delik pelanggaran kesusilaan diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik). Ketentuan ini mengartur persoalan dengan sengaja dan tanpa mendistribusikan dan/atau mentransmisikan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanngar kesusilaan.

5


(42)

27

Delik asusila berarti tindak pidana berupa pelanggaran asusila. Pelanggaran asusila dalam pengertian disini adalah suatu tindakan yang melanggar kesusilaan yang jenis dan bentuk-bentuk pelanggaran juga sanksinya telah diatur dalam KUHP. Ketentuan-Ketentuan pidana yang diatur dalam KUHP tersebut dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk memberikan perlindungan terhadap tindakan-tindakan asusila atau ontruchte

handelingen dan terhadap perilaku-perilaku baik dalam bentuk kata-kata maupun

dalam bentuk perbuatan-perbuatan yang menyinggung rasa susila karena bertentangan dengan pandangan orang tentang keputusan-keputusan dibidang kehidupan seksual, baik ditinjau dari segi pandangan masyarakat setempat dimana kata-kata itu telah diucapkan atau dimana perbuatan itu telah dilakukan, maupun ditinjau dari segi kebiasaan masyarakat setempat dalam menjalankan kehidupan seksual mereka.6

Roeslan Saleh mengatakan pengertian kesusilaan hendaknya tidak dibatasi pada pengertian kesusilaan dalam bidang seksual, tetapi juga meliputi hal-hal yang termasuk dalam penguasaan norma-norma keputusan bertingkahlaku dalam pergaulan masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief mengatakan bahwa delik kesusilaan adalah delik yang berhubungan dengan (masalah) kesusilaan. Sedangkan pengertian dan batas-batas kesusilaan itu cukup luas dan dapat, berbeda-beda menurut pandanngan dengan nila-nilai yang berlaku di masyarakat. Pada dasarnya setiap delik atau tindak pidana mengandung pelanggaran terhadap nilai-nilai kesusilaan, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu sendiri

6


(43)

28

merupakan nilai-nilai kesusilaan yang minimal (das recht ist das ethische

minimum).7

Masyarakat secara umum menilai kesusilaan sebagai bentuk penyimpangan/ kejahatan, karena bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang hidup dimasyarakat. Perkataan, tulisan, gambar, dan perilaku serta produk atau media-media yang bermuatan asusila dipandang bertentangan dengan nilai moral dan rasa kesusilaan masyarakat. Sifat asusila yang hanya menampilkan sensualitas, seks dan eksploitasi tubuh manusia ini dinilai masih sangat tabu oleh masyarakat yang masih menjujung tinggi nilai moral. Menurut Simons kriterium eer

boarheid (kesusilaan) menuntut bahwa isi dan pertunjukan mengenai kehidupan

seksual dan oleh sifatnya yang tidak senonoh dapat menyinggung rasa malu kesusilaan orang lain.

Kejahatan terhadap kesusilaan meskipun jumlahnya relatif tidak banyak yang jika dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda (kekayaan) namun sejak dahulu sampai sekarang sering menimbulkan kekhawatiran, khusunya para orang tua. Delik kesusilaan menutut D. Simons orang yang telah kawin yang melakukan perzinahan dengan orang yang telah kawin pula, tidak dapat dihukum sebagai turut melakukan dalam perzinahan yang dilakukan oleh orang yang tersebut terakhir. Delik kesusilaan diatur dalam bab XIV buku II KUHP dengan judul

“kejahatan terhadap kesusilaan” yang dimulai dengan Pasal 281 KUHP sampai dengan Pasal 297 KUHP.

7

M.artikata.com/arti-360410-perbuatan.html. Senin, tanggal 10 November 2014,. Pukul 21:15 WIB


(44)

29

Merusak kesusilaan di depan umum, menurut Mr. J.M Van Bemmelen,

mengatakan “pelanggaran kehormatan kesusilaan di muka umum adalah terjemahan dari “outtrange public a la pudeur” dalam Pasal 330 Code Penal. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai “ tidak ada kesopanan di bidang seksual”. Jadi sopan ialah tindakan atau tingkah laku untuk apa seseorang tidak usah malu apabila orang lain melihatntya atau sampai mengetahuinya dan juga oleh karenanya orang lain umumnya tidak akan terperanjat apabila melihat atau sampai mengetahuinya.8

E. Pengertian Media Sosial

Pesatnya perkembangan media sosial kini dikarenakan semua orang biasa memiliki media sendiri. Jika untuk memiliki media tradisioanal seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, maka hal lainya dengan media. Seorang pengguna media sosial bisa mengakses menggunakan media sosial dengan jaringan internet bahkan yang aksesnya lambat sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal, dan dilakukan sendiri tanpa karyawan. pengguan media sosial dengan bebas mengedit, menambahkan, memodifikasikan, baik tulisan maupun gambar, video, grafis, dan berbagai model

content lainya.9

Istilah lain media sosial adalah “jejaring sosial” (social network), yakni jaringan dan jalinan hubungan secara online di internet karenanya menurut wikipedia, media sosial adalah sebuah media online, dengan mudah berpartisipasi, berbagi

8

Laden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan, dan Masalah Prevensinya, Sinar Grafika, Jakarta:2008.hlm 32

9


(45)

30

(sharing), dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum, dan

dunia virtual. Blog, jejaring sosial, dan wiki merupakan bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronik data inetrachange (EDI), surat electronik (electronik mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenis huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau profesi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya dan menurut Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/ atau media elektronik lainnya.

Barda Nawawi Arief menunjuk pada kerangka (sistematik) Draft Convention on

Cyber Crime dari Dewan Eropa (Draft No. 25, Desember 2000). Beliau

menyamakan peristilahan antara keduanya dengan memberikan definisi

cybercrime sebagai “crime related to technology, computers, and the internet”

atau secara sederhana berarti kejahatan yang berhubungan dengan teknologi, komputer dan internet.10

Kejahatan yang berhubungan erat dengan penggunaan teknologi yang berbasis komputer dan jaringan telekomunikasi dalam beberapa literatur dan praktiknya dikelompokkan dalam beberapa bentuk, antara lain:

10

Maskun, Kejahatan Siber (Cyber Crime) Suatu Pengantar, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013, hlm. 51


(46)

31

1. Unauthorized access to computer system and service, yaitu kejahatan yang

dilakukan kedalam suatu sistem jaringan komputer secara tidak sah, tanpa izin, atau tanpa pengetahuan dari pemilik sistem jaringan komputer yang dimasukinya. Biasanya pelaku kejahatan (hacker) melakukannya dengan maksud sabotase atau pun mencuri informasi penting dan rahasia. Namun begitu, ada juga yang melakukannya hanya karena merasa tertantang untuk mencoba keahliannya menembus suatu sistem yang memiliki tingkat proteksi tinggi. Kejahatan ini semakin marak dengan berkembangnya teknologi internet.

2. Infringements of privacy, yaitu kejahtan yang ditujukan terhadap informasi

seseorang yang merupakan hal yang sangat pribadi dan rahasia. Kejahatan ini biasanya ditujukan terhadap keterangan pribadi seseorang yang tersimpan pada formulir data pribadi yang tersimpan secara komputerisasi, yang apabila diketahui oleh orang lain, maka dapat merugikan orang secara material maupun immaterial, seperti nomor kartu kredit, nomor PIN ATM, keterangan tentang cacat atau penyakit tersembunyi, dan sebagainya.

3. Illegal contens, yaitu kejahatan dengan memasukan data atau informasi ke

internet tentang sesuatu hal yang tidak benar, tidak etis, dan dianggap melanggar hukum atau mengganggu ketertiban umum. Sebagai contohnya adalah:

a. Pemuatan suatu berita bohong atau fitnah yang akan menghancurkan martabat atau harga diri pihak lain.


(47)

32

c. Pemuatan suatu informasi yang merupakan rahasia negara, agitasi, dan propaganda untuk melawan pemerintah yang sah dan sebagainya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut Undang-Undang ITE) yang di dalamnya mengatur berbagai aktivitas yang dilakukan dan terjadi di dunia maya (cyberspace), termasuk pelanggaran hukum yang terjadi. Salah satu pelanggaran hukum tersebut adalah setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi eletronik dan/atau dokumen eletronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan Pasal 27 Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE dan setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentramisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik Pasal 27 Ayat (3) Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.


(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1 Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris guna memperoleh hasil penelitian yang benar dan objektif.

Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, menelaah, dan mengkaji bahan-bahan sekunder berupa hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, konsepsi, pandangan, dan doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum, dan sistem hukum yang berkaiatan dengan pokok bahasan yang diteliti. Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan cara penelitian lapangan, yaitu dengan mempelajari hukum dalam kenyataan melihat fakta-fakta yang ada dengan yang berkaitan dengan analisis penegakkan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

1


(49)

34

B. Sumber dan Jenis Data

Jenis data dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data tersebut yaitu:

1. Data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. Data tersebut penulis diharapkan dapat diperoleh dari masyarakat atau instansi terkait langsung dengan permasalahan dalam skripsi, dalam analisis penegakan hukum pidana pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang tidak diperoleh langsung dilapangan, tetapi data yang diperoleh dengan melakukan studi kepustakaan yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat meliputi:

1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP)

3) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik


(50)

35

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku, internet, hasil penelitian, serta hasil wawancara kepada dosen, jaksa dan hakim mengenai analisis penegakkan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa pendapat para sarjana, literatur-literatur, kliping-kliping, koran, artikel-artikel di internet dan hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dan diteliti dalam skripsi ini.

C. Penentuan Narasumber

Penentuan narasumber penelitian ini adalah para aparat penegak hukum seperti polisi, kemudian dosen bagian hukum pidana yang mengerti mengenai masalah kriminalisasi terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

Adapun responden dalam penelitian ini sebanyak 3 (empat orang) :

1. Penyidik Direktorat Reskrimsus Polda Lampung = 2 orang 2. Akademisi Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum

Universitas Lampung = 1 orang +


(51)

36

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan mengunakan dua cara sebagai berikut:

a. Studi lapangan (Field Research)

Sumber data lapangan yang dilakukan dengan wawancara (Interview) dengan mengajukan pertanyaan lisan atau tertulis sebagai salah satu pertimbangan hukum dari penegak hukum yang berkaitan dengan penegakkan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

b. Studi kepustakaan (Library Research)

Sumber data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa literatur dan sumber bacaan lainnya mendukung penulisan ini dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai litelatur, perundang-undangan dan bahan tertulis yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa lagi kelengkapan, kejelasan, dan relevensi dengan

penelitian.

b. Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(52)

37

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis mempermudah interprestasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder dianalisis dengan analisis secara kualitatif artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik simpulan mengenai penegakan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial. Dari hasil analisis dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan dapat diajukan saran.


(53)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis penegakan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial maka dapat diambil kesimpulan:

Penegakan hukum pidana terhadap perbuatan asusila melalui media sosial melanggar rumusan hukum pidana diatur dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (1), (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Tindak pidana asusila melalui media sosial adalah perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terhadap perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).


(54)

60

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai alternatif pemecahan masalah di masa yang akan datang yaitu agar aparat penegak hukum pidana perlu adanya tindakan yang lebih konkrit dan pro aktif supaya penegakan hukum itu lebih maksimal. Jika nilainya baik, maka akan baik pula penegakan hukum pidana demikian sebaliknya. Hal ini menujukkan betapa pentingnya kedudukan nilai dalam mewujudkan dalam penegakan hukum pidana yang baik. Pemerintah dalam hal ini juga berperan penting terutama dalam kebijakan kriminalisasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang harus memperhatikan aspek-aspek lain diluar aspek hukum agar Undang-Undang tersebut berjalan dengan efektif untuk mendukung pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan jangka panjang yang seutuhnya.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

A. Litelatur

Andrisman, Tri. 2011. Delik Tertentu dalam KUHP. Bandar Lampung: Universitas Lampung

---. 2011. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.

Bandar Lampung: Universitas Lampung.

---. 2009. Delik Khusus dalam KUHP. Bandar Lampung .Universitas Lampung

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1987.Metode Penelitian Survey. Ghalia Indonesia. Jakarta

---. 1987.Metode Penelitian Survey. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Marpaung, Leden. 2008. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Jakarta: Sinar Grafika ---. 1992. Proses penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Sunggono,Bambang. 2007.Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Nawawi Arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung

Sudarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit

Unversitas Diponogoro. Semarang

Marpaung, Leden. 2008.Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Sinar Grafika. Jakarta Andi, 2008, Kamus Lengkap Dunia Komputer, Wahana Komputer, Yogyakarta.


(56)

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transasksi Elektronik

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan

C. Website

http://hukumpidana.blogspot.com/2013/04/pengertian-tindak-pidana-kesusilaan.html

http://www.hukumonline.com/klinik/detailcl15960/landasan-hukum-penanganan-cyber-crime-di-indonesia

http//jambidaily.com/v3/hukum/4085-lapor-karena-ucapan-tak-senonoh-di-fb

http://mbaladewaline.blogspot.com/2013/02/pengertian-macam-macam-pasal-asusila.html

http:/www.google.co.id/search?newwindow=I&q=menurut+M+Friedman+ele ment+penting+yang+mempengaruhi+penegakan+Hukum&oq=menurut+M +Friedman+tiga+element+penting+yang+mempengaruhi+penegakan+huku m&gs

1=serp+serp.3...43522.81364.813264.0.81732.92.67.2.00.2.2214.8830.3 -5j2j4j2j9-1.14.0....0....0...1c.1.52.serp..78.14.7835.-92-fVhYm7zmTW


(1)

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data 1. Prosedur Pengumpulan

Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan mengunakan dua cara sebagai berikut:

a. Studi lapangan (Field Research)

Sumber data lapangan yang dilakukan dengan wawancara (Interview) dengan mengajukan pertanyaan lisan atau tertulis sebagai salah satu pertimbangan hukum dari penegak hukum yang berkaitan dengan penegakkan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial.

b. Studi kepustakaan (Library Research)

Sumber data yang diperoleh dari hasil penelaahan beberapa literatur dan sumber bacaan lainnya mendukung penulisan ini dengan cara membaca, mencatat, dan mengutip dari berbagai litelatur, perundang-undangan dan bahan tertulis yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan.

2. Pengolahan Data

Setelah data terkumpul baik studi kepustakaan maupun studi lapangan, maka data diproses melalui pengolahan data dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa lagi kelengkapan, kejelasan, dan relevensi dengan penelitian.

b. Klasifikasi data, yaitu mengklasifikasikan mengelompokan data yang diperoleh menurut jenisnya untuk memudahkan dalam menganalisis data.


(2)

37

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada setiap pokok secara sistematis mempermudah interprestasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder dianalisis dengan analisis secara kualitatif artinya hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat-kalimat yang mudah dibaca dan dimengerti untuk diinterpretasikan dan ditarik simpulan mengenai penegakan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial. Dari hasil analisis dilanjutkan dengan menarik kesimpulan secara induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan dapat diajukan saran.


(3)

A.Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai analisis penegakan hukum pada tahap penyidikan terhadap perbuatan asusila melalui media sosial maka dapat diambil kesimpulan:

Penegakan hukum pidana terhadap perbuatan asusila melalui media sosial melanggar rumusan hukum pidana diatur dalam ketentuan Pasal 27 Ayat (1), (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Tindak pidana asusila melalui media sosial adalah perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Terhadap perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu miliar rupiah).


(4)

60

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai alternatif pemecahan masalah di masa yang akan datang yaitu agar aparat penegak hukum pidana perlu adanya tindakan yang lebih konkrit dan pro aktif supaya penegakan hukum itu lebih maksimal. Jika nilainya baik, maka akan baik pula penegakan hukum pidana demikian sebaliknya. Hal ini menujukkan betapa pentingnya kedudukan nilai dalam mewujudkan dalam penegakan hukum pidana yang baik. Pemerintah dalam hal ini juga berperan penting terutama dalam kebijakan kriminalisasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang harus memperhatikan aspek-aspek lain diluar aspek hukum agar Undang-Undang tersebut berjalan dengan efektif untuk mendukung pembangunan manusia Indonesia dan pembangunan jangka panjang yang seutuhnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Litelatur

Andrisman, Tri. 2011. Delik Tertentu dalam KUHP. Bandar Lampung: Universitas Lampung

---. 2011. Asas-asas dan Dasar Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.

Bandar Lampung: Universitas Lampung.

---. 2009. Delik Khusus dalam KUHP. Bandar Lampung .Universitas Lampung

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1987.Metode Penelitian Survey. Ghalia Indonesia. Jakarta

---. 1987.Metode Penelitian Survey. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Marpaung, Leden. 2008. Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Jakarta: Sinar Grafika ---. 1992. Proses penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta

Sunggono,Bambang. 2007.Metode Penelitian Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Nawawi Arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung

Sudarto.1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. Jakarta Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit

Unversitas Diponogoro. Semarang

Marpaung, Leden. 2008.Kejahatan Terhadap Kesusilaan. Sinar Grafika. Jakarta Andi, 2008, Kamus Lengkap Dunia Komputer, Wahana Komputer, Yogyakarta.


(6)

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transasksi Elektronik

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan

C. Website

http://hukumpidana.blogspot.com/2013/04/pengertian-tindak-pidana-kesusilaan.html

http://www.hukumonline.com/klinik/detailcl15960/landasan-hukum-penanganan-cyber-crime-di-indonesia

http//jambidaily.com/v3/hukum/4085-lapor-karena-ucapan-tak-senonoh-di-fb

http://mbaladewaline.blogspot.com/2013/02/pengertian-macam-macam-pasal-asusila.html

http:/www.google.co.id/search?newwindow=I&q=menurut+M+Friedman+ele ment+penting+yang+mempengaruhi+penegakan+Hukum&oq=menurut+M +Friedman+tiga+element+penting+yang+mempengaruhi+penegakan+huku m&gs

1=serp+serp.3...43522.81364.813264.0.81732.92.67.2.00.2.2214.8830.3 -5j2j4j2j9-1.14.0....0....0...1c.1.52.serp..78.14.7835.-92-fVhYm7zmTW