MENGKRITISI UU NO 8 TAHUN 1999 TENTANG P

MENGKRITISI UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sejak UUPK disahkan pada tanggal 20 April 1999 dan diberlakukan efektif tanggal 20 April
2000, diperhatikan tidak banyak perubahan meski banyak kritikan sebagian kalangan yang
mempertanyakan tentang validitasnya karena mengandung banyak kekurangan dan dianggap masih
merugikan sebagian pihak, seperti di bidang kesehatan. Selain itu, sebagian masyarakat belum banyak
mengetahui, apalagi mengerti tentang UUPK itu.
Masih banyaknya perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum dengan memproduksi barangbarang komersial yang tidak mencantumkan label halal, tidak mempunyai standar produksi sebagaimana
diharapkan UUPK atau ketentuan dari BPOM RI seperti mengandung zat-zat pengawet (formalin) dan
zat-zat berbahaya lainnya merupakan dari rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap
hukum.
Rendahnya kesadaran masyarakat tehadap hukum ikut juga merugikan konsumen karena sering
menerima kekalahan di tingkat litigasi. Kondisi itu, merupakan faktor utama kelemahan konsumen, yaitu
tingkat kesadaran akan hak-haknya masih rendah, terutama pendidikan konsumen. Padahal UUPK
dimaksudkan agar menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan Lembaga Perlindungan
Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui
pembinaan dan pendidikan konsumen.
Selain itu, perlindungan konsumen sangat identik dengan permasalahan hukum yang sedang
dihadapi bangsa ini di tengah hiruk pikuk kemajuan ekonomi yang semakin mengglobal, karena
menyangkut hak, kewajian dan tanggung jawab seluruh anggota masyarakat, termasuk pemerintah dalam
kegiatan ekonomi. Konteks perlindungan konsumen bukan hanya dilihat dari aspek materi, melainkan
juga unsur spiritual.

UUPK terdiri dari 15 Bab yang diuraikan dalam 65 Pasal. Empat hal penting untuk diketahui,
yaitu pengaturan klausula baku bahwa kontrak/perjanjian ditentukan dua belah pihak, azas pembuktian
balik, berlakunya class action atau gugatan kelompok, dan tentang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK).
Secara keseluruhan UUPK tersebut tersusun dalam sistematika sebagai berikut:
Bab I tentang Ketentuan Umum terdiri dari satu Pasal;
Bab II tentang Asas dan Tujuan terdiri dari dua pasal (Pasal 2 dan Pasal 3);
Bab III tentang Hak dan Kewajiban Konsumen (Pasal 4; Pasal 5; Pasal 6; Pasal 7);

Bab IV tentang Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha (Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10; Pasal 11;
Pasal 12; Pasal 13; Pasal 15; Pasal 16; Pasal 17);
Bab V tentang ketentuan Pencantuman Klausula Baku (Pasal 18);
Bab VI tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Pasal 19; Pasal 20; Pasal 21; Pasal 22; Pasal 23;
Pasal 24; Pasal 25; Pasal 26; Pasal 27; Pasal 28);
Bab VII tentang Pembinaan dan Pengawasan (Pasal 29; Pasal 30);
Bab VIII tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) (Pasal 31; Pasal 32; Pasal 33;
Pasal 34 Pasal 35; Pasal 36; Pasal 37; Pasal 38; Pasal 39; Pasal 40; Pasal 41; Pasal 42; Pasal 43);
Bab IX tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) (Pasal 44);
Bab X tentang Penyelesaian Sengketa (Pasal 45; Pasal 46; Pasal 47 Pasal; 48);
Bab XI tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) (Pasal 59; Pasal 50; Pasal 51;

Pasal 52; Pasal 53; Pasal; 54; Pasal 55; Pasal; Pasal 56; Pasal 57; Pasal 58);
Bab XII tentang Penyidikan (Pasal 59); Bab XIII tentang Sanksi (Pasal 60; Pasal 61; Pasal 62;
Pasal 6) dan;
Bab XIV tentang Ketentuan Perlaihan (Pasal 64);
Bab XV tentang Ketentuan Penutup (Pasal 65).
Peninjauan dan pengkajian terhadap UUPK sangat penting dilakukan untuk perkembangan
selanjutnya, mengingat UUPK dibuat bukan untuk merugikan satu pihak, tetapi untuk menyeimbangkan
hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen.
Meski perkembangan dalam pengkajian terhadap UUPK pada tahap akademisi sudah ada, namun
hal itu semestinya merupakan bagian dari tugas seluruh komponen masyakarat untuk mengerjakannya.
Sampai saat ini, belum diketahui secara jelas perkembangan terakhir UUPK dilihat dari segi substansi,
baik dari ketentuan peralihan maupun perubahan.
Banyaknya pemberitaan mengenai beberapa makanan yang mengandaung zat pengawet seperti
formalin, borak dan sebagainya telah merisaukan masyarakat baik konsumen maupun beberapa
pedagang-pedagang terutama kelas kecil, khususnya di tingkat pengecer seperti pedagang bakso, mie,
tahu, ikan asin dan lain-lain. Belum lagi tingkat kelecakaan pada penumpang transportasi, seperti Kereta
Api yang kerap kali terjadi telah merugikan bukan saja materi, tetapi nyawa manusia dapat melayang.

Dengan mempelajari kasus-kasus yang pernah terjadi itu, tentu dapat dijadikan pelajaran pada
seluruh masyarkat terutama bagi para pelaku usaha maupun pemerintah dalam menanggulangi sejauh

mana permasalahan-permasalahan tersebut muncul. Untuk mencegah munculnya pelanggaranpelanggaran tersebut, diperlukan misalnya daya paksa yang kuat sehingga setiap pelanggarnya
mengetahui secara sadar bahwa tindakannya itu merupakan pelanggaran merugikan orang lain serta
perbuatan dosa dengan dijatuhi sanksi dan hukuman. Undang-undang Perlindungan Konsumen selain
mencantumkan hak dan kewajiban, perbuatan-perbuatan yang dilarang, juga ditentukan tentang tanggung
jawab pelaku usaha.
Kelebihan yang dimiliki oleh Undang-Undang ini adalah meningkatkan posisi tawar konsumen
yang sebelumnya selalu berada di posisi lemah jika berhadapan dengan pelaku usaha. Misalnya, dalam
salah satu pasalnya yaitu pasal 22 pihak konsumen yang merasa telah dirugikan boleh menggugat pelaku
usaha dan pihak yang dibebankan untuk membuktikan ada atau tidaknya kesalahan adalah pelaku usaha.
Selain itu Undang-Undang ini mempertegas bagi pihak pelaku usaha agar mereka dapat menjalankan
usahanya secara baik dan memenuhi kepuasan masyarakat sebagai pihak konsumen sekaligus sumber
pendapatan mereka. Mulai banyaknya lembaga-lembaga pengawas perlindungan konsumen pemerintah
maupun independen di daerah-daerah turut membantu menciptakan iklim usaha yang kondusif karena
setiap pelanggaran oleh pelaku usaha dapat dilaporkan dan segera ditindaklanjuti.
Kekurangan dari Undang-Undang ini adalah sosialisasi kepada masyarakat yang tidak berjalan
maksimal sehingga sebagai konsumen masih banyak diantara mereka yang sebenarnya memiliki hak
untuk menggugat namun tidak mereka gunakan karena alasan ketidaktahuan. Akibat hal ini pelaku usaha
merasa tenang-tenang saja meskipun sebenarnya mereka melakukan pelanggaran. Kelemahan selanjutnya
adalah jika Undang-Undang ini diterapkan secara penuh maka di satu sisi akan menguntungkan
konsumen, namun di sisi lainnya akan banyak pelaku usaha (terutama pengusaha kecil menengah) yang

harus gulung tikar karena terjerat sanksi pelanggaran. Hal ini juga dikarenakan tidak semua pelaku usaha
mengetahui aturan dalam Undang-Undang ini dan iklim usaha di masyarakat kita saat ini masih belum
kondusif untuk penerapan penuh. Contoh paling mudah dan sering kita temui adalah proses jual beli
dengan tawar menawar (dimana informasi harga tidak transparan) yang dapat merugikan konsumen.
KESIMPULAN
UUPK ini sudah cukup bagus untuk diterapkan tapi masih perlu dilakukan revisi terhadap
undang-undang ini dikarenakan masih merugikan salah satu pihak. Ke depannya undang-undang ini harus
menyeimbangkan hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak agar tidak merugikan dan berpihak di
salah satunya. Kemudian sosialisasi untuk undang-undang ini harus lebih sering dilakukan kepada
masyarakat pedalaman karena rata-rata pelaku usaha kecil-kecilan di Indonesia rata-rata berasal dari

masyarakat pedesaan agar ke depannya banyak masyarakat yang sadar akan undang-undang yang telah
diberlakukan sejak tahun 1999.