Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ditinjau dari UU No. 41 Tahun 1999 (Studi Putusan MA No. 68K/PID.SUS/2008)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 1999

(Studi Putusan MA No. 68K/PID.SUS/2008) ADELIN LIS

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas & Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

O L E H : JENNY ROTUA

060200004

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 1999

(Studi Putusan MA No. 68K/PID.SUS/2008) ADELIN LIS

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH : NAMA : JENNY ROTUA NIM : 060200004

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

NIP: 196107021989031001 H.Abul Khair,SH.M.Hum

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof.Dr.Alvi Syahrin,SH.M.S. Dr.Mahmud Mulyadi,SH.M.Hum NIP:19630331198703100 NIP:197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan karuniaNya sehingga penuilis dapat menyelesaikan penulisan skripsi untuk menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Skripsi ini disusun untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar sarjana Hukum di Universitas Sumatera Utara yang merupakan kewajiban bagi setiap Mahasiswa yang akan menyelesaikan perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan adalah “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ditinjau dari UU No.41 Tahun 1999 (Studi Putusan MA No. 68K/PID.SUS/2008)”. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin dan bekerja keras dalam menyusun skripsi ini. Namun penulis menyadari masih banyak kekurangan dari segi isi maupun penulisannya.

Melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

1. Bapak Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum, selaku Dekan fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof.Dr.Suhaidi, SH.M.Hum, Bapak Syariffudin Hasibuan SH.MH.DFM, Bpak Muhammad Husni, SH.M.Hum, yang masing-masing adalah selaku Pembantu Dekan I, Pembantu Dekan II, dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Abul Khair, SH.M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan maupun arahan kepada penulis, dan nkarena telah menunjukan Dosen Pembimbing yang sangat banyak berjasa selama proses penyelesaian skripsi ini.

4. Bapak Prof.Alvi Syahrin,SH.M.S, selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluanghkan waktu dalam membimbing, mengarahkan, dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi,SH.M.Hum, selaku dosen Pembimbing II dalam penuilian skripsi ini, yang juga telah berjerih lelah dalam memberikan waktunya untuk membimbing, mengarahkan ,dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

6. Bapak M.Husni,SH.M.Hum, selaku Dosen wali penulis yang selama penulis berada sebagai Mahasiswa di Fakultas Hukum senantiasa memantau dan memperhatikan perkembangan perkuliahan penulis.

7. Bapak/Ibu dosen dan kepada seluruh staff administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Bapakku tercinta (alm)T.simatupang dan mamakku tersayang M.Tambunan yang telah mengasuh dan membimbing serta memberikan segenap doa dan semangat serta dukungan yang sangat berarti pada penulis hingga saat ini.

9. Kakakku yang tersayang Debora sri Intan, maksih ya kak buat teladan yang selama ini jadi motivasi buat ku untuk lebih maju

10.Seluruh keluarga besar opung ku tercinta M.Tambunan(alm)/br. Panjaitan, yang telah memberikan segenap dukungan dan doa kepada penulis.


(5)

11.Buat sahabatku yang terkasih Adi,Debora,Imelda makasih buat persahabatan, dukungan, dan doa yang telah kalian berikan selama ini, tetaplah seperti itu,Sahabat Fitri Margareth yang selalu mendoakan ku disana. Juga ga lupa buat temen seperjuangan dalam penulisan skripsi ini Nomika.

12.Buat semua temen-temen stambuk 2006 Jimmi, Iuth, Katrok 1, Verawaty Manalu, Henny, Siska Pinem, Cecil, Fitri, Jhon,Archiman,Helen, Johanes dan teman-teman semua yang ga bisa disebutin satu persatu.

13.Buat semua anggota GMKI komisariat Fakultas Hukum makasih ya woi walau aku kurang bisa memberi yang terbaik

14.Buat abang/kakak dan teman-teman KDAS yang banyak memberikan pelajaran tentang nilai-nilai hidup dan perjuangan bagi kaum tertindas.Salam Veritas

15.Tak lupa juga buat Botak, makasih buat perhatian, dukungan, dan semangat yang udah diberikan, jangan berubah dan tetaplah seperti itu dalam kasih dan sukacita Tuhan memberkati kita.

16.Untuk semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Besar harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana, bagi penulis sendiri, dan bagi pembaca

Medan, February 2010


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... vii

ABSTRAKSI...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Maslah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 8

1. Tujuan Penulisan ... 8

2. Manfaat Penulisan ... 8

D. Keaslian Penulisan ... 9

E. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Hutan ... 10

2. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana ... 19

3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 27

F. Metode Penelitian ... 38

G. Sistematika Penulisan ... 41

BAB II PENGATURAN HUKUM PIDANA TENTANG TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN BERDASARKAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG NO.41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN A. Tindak Pidana dalam Bidang Kehutanan ... 42

B. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Kehutanan ... 56

1. Bentuk-bentuk Pertanggungjawaban Pidana ... 56

2. Perbuatan Turut Serta (Delneming) Dalam Huku m Pidana Indonesia ... 61

3. Perbuatan Berlanjut (Voorgezette Handeling) ... 64


(7)

BAB III ANALISIS HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DALAM BIDANG KEHUTANAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor 481/Pid.B/2006 dan Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid/2006)

A. Kasus Posisi……….. 81

1. Kronologis ... 81

2 Dakwaan ... 84

3. Fakta-Fakta Hukum ... 120

4. Putusan Pengadilan Negeri ... 298

5. Putusan Mahkamah Agung No.2642/K/Pid/2006 ... 299

B. Analisa Kasus ... 314

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 345

B. Saran ... 346


(8)

ABSTRAKSI

Masalah pertanggungjawaban korporasi masih merupakan hal yang baru dalam sejarah hukum di Indonesia khususnya terkait masalah Ilegal Logging yang dilakukan korporasi yang dalam kegiatan usahanya memanfaatkan penggunaan hutan. Pembalakan Liar (Illegal logging) jelas perbuatan yang membahayakan lingkungan hidup dan ekosistemnya serta dapat mengakibatkan kemelaratan bagi Bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida (carbon absorber) dalam upaya mengurangi dampak pemanasan global (global warming). Dengan demikian, perbuatan illegal logging juga membahayakan masyarakat dunia sehingga pelakunya pantas dihukum. Terlebih lagi bila perbuatan ilegal logging itu dilakukan oleh sebuah korporasi. Salah satu kasus Ilegal logging yang dilakukan oleh korporasi adalah PT.Keang Nam Development yang menyeret Adelin Lis Dirut Keuangan PT.KNDI sebagai pihak yang bertanggungjawaban atas kerusakan hutan yang terjadi.Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Tinjau Dari UU No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan”ini merupakan karya limiah penulis dalam memenuhi syarat-syarat dan tugas-tugas dalam memperoleh gelar sarjana Hukum di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana kehutanan dan bagaimanakah kajian hukum pidana dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi ditinjau dari UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah, pertama bahwa korporasi yang dalam kegiatannya melakukan tindak pidana kehutanan dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, baik secara langsung maupun dibebankan kepada perorangan yang bertanggungjawab, hal ini sabagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat(3) UU No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, serta dengan adanya pengakuan terhadap doktrin strick liability,vicarious liability, doktrin deligasi, doktrin identifikasi, yang mana keseluruhannya memberikan pembenaran bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.Kedua, bahwa terhadap dakwaan kesatu primer sebagaimana diatur


(9)

dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU R.I Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU R.I Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU R.I Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.dan dakwaan kedua primer sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (2) Jo. Pasal 78 ayat (1), ayat (14) UU Nomor : 41 Tahun 1999 Jo. UU Nomor : 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.Hasil analisa kasus berdasarkan fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa dakwaaan kesatu primer dan kedua primer terpenuhi sehingga digunakan UU korupsi untuk menjatuhakan pemidanaan oleh Majelis Hakim MA.Penulis sendiri berpendapat seharusnya yang paling tepat adalah penjeratan dengan UU Kehutanan.


(10)

ABSTRAKSI

Masalah pertanggungjawaban korporasi masih merupakan hal yang baru dalam sejarah hukum di Indonesia khususnya terkait masalah Ilegal Logging yang dilakukan korporasi yang dalam kegiatan usahanya memanfaatkan penggunaan hutan. Pembalakan Liar (Illegal logging) jelas perbuatan yang membahayakan lingkungan hidup dan ekosistemnya serta dapat mengakibatkan kemelaratan bagi Bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, hutan berfungsi sebagai penyerap karbon dioksida (carbon absorber) dalam upaya mengurangi dampak pemanasan global (global warming). Dengan demikian, perbuatan illegal logging juga membahayakan masyarakat dunia sehingga pelakunya pantas dihukum. Terlebih lagi bila perbuatan ilegal logging itu dilakukan oleh sebuah korporasi. Salah satu kasus Ilegal logging yang dilakukan oleh korporasi adalah PT.Keang Nam Development yang menyeret Adelin Lis Dirut Keuangan PT.KNDI sebagai pihak yang bertanggungjawaban atas kerusakan hutan yang terjadi.Skripsi yang berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Tinjau Dari UU No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan”ini merupakan karya limiah penulis dalam memenuhi syarat-syarat dan tugas-tugas dalam memperoleh gelar sarjana Hukum di fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun rumusan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana kehutanan dan bagaimanakah kajian hukum pidana dalam hal pertanggungjawaban pidana korporasi ditinjau dari UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan library research (penelitian kepustakaan) yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data dari berbagai sumber bacaan seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan internet yang dinilai relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

Hasil penelitian sebagai jawaban atas permasalahan diatas adalah, pertama bahwa korporasi yang dalam kegiatannya melakukan tindak pidana kehutanan dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, baik secara langsung maupun dibebankan kepada perorangan yang bertanggungjawab, hal ini sabagaimana diatur dalam Pasal 50 ayat(3) UU No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan, serta dengan adanya pengakuan terhadap doktrin strick liability,vicarious liability, doktrin deligasi, doktrin identifikasi, yang mana keseluruhannya memberikan pembenaran bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi.Kedua, bahwa terhadap dakwaan kesatu primer sebagaimana diatur


(11)

dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 UU R.I Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU R.I Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU R.I Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke - 1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.dan dakwaan kedua primer sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (2) Jo. Pasal 78 ayat (1), ayat (14) UU Nomor : 41 Tahun 1999 Jo. UU Nomor : 19 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU Nomor : 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.Hasil analisa kasus berdasarkan fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa dakwaaan kesatu primer dan kedua primer terpenuhi sehingga digunakan UU korupsi untuk menjatuhakan pemidanaan oleh Majelis Hakim MA.Penulis sendiri berpendapat seharusnya yang paling tepat adalah penjeratan dengan UU Kehutanan.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pengabaian regulasi di bidang bisnis kehutanan Indonesia dengan mengabaikan regulasi yang ada merupakan perbuatan bisnis yang kotor. Tujuan meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dari penebangan hutan secara liar tanpa memperhatikan kerusakan lingkungan yang terjadi merupakan suatu manifestasi sebuah contoh sikap kriminal. Terlebih lagi dampak pembalakan liar ini dapat mengancam kehidupan manusia serta mengancam keseimbangan ekosistem yang ada di alam.

Penelitian yang dilakukan menunjukkan pelangganggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi sangat sulit ditemukan, diinvestigasi, atau untuk dikembangkan secara sukses sebagai kasus-kasus hukum oleh karena kompleksitas kerumitannya. Menilik sejenak dari penilaian dari masyarakat didapat bahwa ternyata kejahatan kerah putih (white collar crime) dan korporasi ternyata merupakan tindak pidana yang lebih serius dari pada tindak pidana lainnya seperti pembobolan (burglary) dan perampokan

(robbery).

Berbicara masalah korporasi terkait pula pada persoalan pertanggungjawabannya. Dalam hal pertanggungjawaban korporasi ini dimungkinkan melalui doktrin strict liability yang mana dalam ajaran ini pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku tindak pidana bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya


(13)

kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) para pelaku.Tetapi ditekankan kepada hal, akibat dari perbuatannya itu telah menimbulkan kerugian bagi masyarakat.Cukuplah apabila dibuktikan bahwa pelaku tindak pidana telah melakukan perbuatan yang dilarang ketentuan pidana atau tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan oleh ketentuan pidana

(offences of strick liability).1

Pengangkatan kasus ini sebagai bahan analisis dalam menguak pertanggungjawaban korporasi dilandasi oleh beberapa faktor diantaranya tertuduhnya Adelin Lis dalam melakukan pembalakan liar di hutan Mandailing Natal sehingga merugikan keuangan negara Rp 227 triliun, dan yang lebih menghebohkan lagi dalam persidangannnya ternyata hakim Pengadilan Negeri Medan mengeluarkan putusan membebaskan Adelin Lis dari segala tuntutan hukum yang menurut penulis sendiri putusan yang dikeluarkan itu sangat jauh dari rasa keadilan yang diharapkan, oleh karena fakta-fakta hukum yang diungkapkan oleh Jaksa Penuntut Umum pun dirasa penulis sangat meyakinkan dan singkron dengan tuntutan hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum,namun kendati demikian ternyata tidak mampu membawa Adelin Lis Berdasarkan uraian yang diatas maka pada penulisan karya ilmiah ini diangkat suatu contoh kasus yang bekaitan dengan masalah pertanggungjawaban korporasi yakni PT.Keang Nam Development Iddonesia (KNDI) yang merupakan salah satu group dari PT.Mujur Timber, yang mana dalam hal ini pembebanan pertanggungjawabannya dibebankan kepada Direktur Keuangan PT. KNDI ADELIN LIS.

1


(14)

dalam jerat hukum, hakim justru mengklasifikasiakan perbuatan itu sebagai pelanggaran aturan atau izin TPTI, jadi bukan perbuatan pidana sehingga ia tidak dipidana.

Terlepas dari keputusan majelis hakim PN Medan yang menyatakan Adelis Lis tidak bersalah, ternyata Keputusan Kasasi Majelis Hakim Mahkamah Agung, memidana Adelin Lis selama 10 tahun penjara serta uang pengganti Rp. 119,8 miliar dan dana reboisasi 2,938 juta dollar AS.Putusan kasasi Mahkamah agung inilah yang akan menjadi analisis penulis dalam penulisan karya ilmiah ini.

B. PERUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana kehutanan?

2. Bagaimana kajian Hukum Pidana dalam hal pertanggungjawaban Pidana Korporasi ditinjau dari UU Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan jo UU Nomor 19 Tahun 2004 (analisis putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008)?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

1. Tujuan

Dalam penulisan karya ilmiah ini ada tujuan yang menjadi sasaran pencapaian dari apa yang akan dipaparkan oleh penulis. Adapun tujuan yang akan dicapai dari karya ilmiah ini adalah sebagai berikut:


(15)

a. Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana kehutanan.

b. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana korporasi PT.Keang Nam Development ditinjau dari UU No.41 tahun 1999 jo UU Nomor 19 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU Kehutanan), melalui fakta-fakta dalam kasus tersebut dan analisis fakta dari kasus.

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaaat dari penulisan karya ilmiah ini :

1. Untuk memperkaya khasanah Ilmu Pengetahuan, manambah dan melengkapi perbendaharaan koleksi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran bagi perkembangan hukum kedepan terkhusus menyangkut pertanggungjawaban korporasi.

2. Untuk memberikan kontribusi dalam sosialisasi tentang Ilegal logging kepada masyarakat dan aparat penegak hukum serta memberikan pemahaman tentang efektivitas berbagai perundang-undangan agar lembaga yang berwenang dapat meningkatkan upaya penerapan Undang-undang tersebut untuk lebih efektif. D. KEASLIAN PENULISAN

Mengenai keaslian penulisan, karya ilmiah ini dibuat sendiri oleh penulis dengan melihat dasar-dasar yang telah ada baik melalui literatur maupun pengumpulan data-data yang dihimpun dari berbagai sumber seperti buku-buku juga melalui media elektronik seperti internet, sekaligus dari hasil pemikiran penulis sendiri.


(16)

Berdasarkan peninjauan yang dilakukan penulis di perpustakaan Fakultas Hukum Sumatera Utara belum pernah ada yang membuat karya ilmiah ini dan oleh karenanya karya ilmiah ini dapat saya pertanggungjawabkan secara moral. Bilamana dikemudian hari ternyata terdapat judul dan permasalahan yang sama saya bertanggungjawab sepenuhnya.

E. TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dengan hukum pidana Belanda yaitu strafbaar feit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda, dengan demikian juga Wvs Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Oleh karena itu, para ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu, sayangnya sampai kini belum ada keseragaman pendapat.2

1. Vas : menyatakan bahwa delik adalah feit yang dinyatakan dapat dihukm berdasarkan undang-undang.

Ada para sarjana yang menggunakan kata delik untuk istilah strafbaar feit,

mengenai delik dalam arti sraftbaar feit para pakar hukum pidana masing-masing memberikan definisi sebagai berikut.

2

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 67


(17)

2. Van Hamel : menyatakan bahwa delik adalah suatu serangan atau ancaman terhadap hak-hak orang lain.3

3. Simons : menyatakan bahwa delik adalah suatu tindakan melawan hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkian dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum.

Adapun alasan Simons apa sebabnya delik itu harus dirumuskan seperti yang disebutkan seperti yang disebutkan diatas karena :

1. Untuk adanya delik syaratnya harus terdapat suatu tindakan yang dilarang ataupun yang dieajibkan oleh undang-undang, dimana pelanggaran terhadap larangan atau keawajiban tersebut telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 2. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus memenuhi

semua unsur dalam delik sebagaimana yang dirumuskan dalam undang-undang. 3. Setiap delik sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban menurut

undang-undang itu, pada hakekatnya merupakan suatu tindakan melawan hukum.4

Didalam Ilmu pidana ada yang disebut dengan delik formil dan delik materil, adapun yang dimaksud delik formil adalah delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, sedangkan delik materil adalah delik yang perumusannya menitik beratkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang.

3 Laden Marpaung,

Asas-teori-praktek hukum pidana, Sinar grafika, Jakarta, 2005, hal.10 4

P.A.F.Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra aditya abadi, Bandung, 1997, hal 185


(18)

Sampai saat ini masih ditemukan adanya perbedaan pendapat mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam kajian hukum pidana antara sifat melawan hukum formil

(formiele wederrechtelijkheid) dan melawan hukum materil ("materiele wederrechtelijkheid).5

a) Sifat melawan hukum formiil.

Berikut ini akan dijelaskan lebih mendetail mengenai perbadaan keduanya

Suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara formil adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan ketentuan undang-undang (hukum tertulis). Berdasarkan pengertian ini, maka suatu perbuatan bersifat melawan hukum adalah apabila telah dipenuhi semua unsur yang disebut di dalam rumusan delik. Dengan demikian, jika semua unsur tersebut telah terpenuhi, maka tidak perlu lagi diselidiki apakah perbuatan itu menurut masyarakat dirasakan sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan.

Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh D. Schaffmeister bahwa sifat melawan hukum dalam arti formil bermakna bahwa suatu perbuatan telah memenuhi semua rumusan delik dari undang-undang. Dengan kata lain terdapatnya melawan hukum secara formil apabila semua bagian yang tertulis dari rumusan suatu tindak pidana itu telah terpenuhi.6

Para penganut ajaran ”sifat melawan hukum formil” menyatakan bahwa pada setiap pelanggaran delik, maka sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum. Dengan demikian bila suatu delik tidak tegas menyatakan bersifat melawan hukum

5 Roeslan Saleh,

Sifat Melawan Hukum Dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hal. 7.

6


(19)

sebagai unsur delik, maka sifat melawan hukumnya tidak perlu dibuktikan. Sedangkan pencantuman sifat melawan hukum secara tegas dalam suatu delik, maka sifat melawan hukumnya harus dibuktikan terlebih dahulu, barulah seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana. 7

b) Sifat melawan hukum materil

Sedangkan dalam pengertian melawan hukum secara materil, suatu perbuatan disebut sebagai perbuatan melawan hukum tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan ketentuan hukum tertulis saja. Di samping memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi semua unsur yang disebut dalam rumusan delik, perbuatan haruslah benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan. Dengan demikian suatu perbuatan dikatakan sebagai melawan hukum adalah apabila perbuatan tersebut dipandang tercela dalam suatu masyarakat.

Sifat melawan hukum materiil berarti suatu tindak pidana itu telah melanggar atau membahayakan kepentingan umum yang hendak dilindungi oleh pembentuk undang-undang dalam rumusan tindak pidana tertentu.8 Bersifat melawan hukum materiil bahwa tidak hanya bertentangan dengan hukum yang tertulis, tetapi juga bertentangan dengan hukum tidak tertulis.9

Ukuran untuk mengatakan suatu perbuatan melawan hukum secara materil sebagaimana dikatakan Loebby Logman, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya

7

S.R. Sianturi (1983). Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, 1983, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, hal. 146.

8

D. Schaffmeister et.al., op.cit, hal. 41

9

Roeslan Saleh, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Cetakan ke-5,1987, Aksara Baru,Jakarta, hal. 7.


(20)

ketentuan dalam suatu undang-undang, akan tetapi ditinjau dari nilai yang ada dalam masyarakat. Pandangan yang menitik beratkan melawan hukum secara formil cenderung melihatnya dari sisi objek atau perbuatan pelaku. Artinya, apabila perbuatannya telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tidaklah perlu diuji apakah perbuatan itu melawan hukum secara materil atau tidak. Sebaliknya secara materil, merupakan pandangan yang menitik beratkan melawan hukum dari segi subyek atau pelaku. Dari sisi ini, apabila perbuatan telah cocok dengan rumusan tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan selanjutnya adalah perlu dibuktikan ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum secara materil dari diri si pelaku.10

Ajaran melawan hukum secara materil hanya mempunyai arti dalam mengecualikan perbuatan-perbuatan yang meskipun termasuk dalam rumusan undang-undang dan karenanya dianggap sebagai tindak pidana. Dengan kata lain, suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dapat dikecualikan oleh aturan hukum tidak tertulis sehingga tidak menjadi tindak pidana. Hal ini disebut sebagai fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materil.

Parameter untuk mengatakan suatu perbuatan telah melawan hukum secara materil, bukan didasarkan pada ada atau tidaknya ketentuan dalam suatu perundang-undangan, melainkan ditinjau dari rasa kepantasan di dalam masyarakat. Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam hubungannnya melawan hukum materiil ini perlu diingat bahwa aturan-aturan hukum pidana Indonesia sebagian besar telah dimuat dalam KUHP dan undang-undang tertulis lainnya.

10

Loebby Loqman, Beberapa Ikwal di Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,1991, Datacom, Jakarta, hal. 25


(21)

Sedangkan fungsi positif ajaran sifat melawan hukum secara materil, yaitu walaupun suatu perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-undang, namun masyarakat memandangnya sebagai perbuatan tercela sehingga terkategori dalam tindak pidana. Fungsi positif dari ajaran melawan hukum formil ini tidak mungkin dilakukan mengingat Pasal 1 Ayat (1) KUHP yang memuat asas legalitas.

Banyak pakar sepakat bahwa dalam sistem hukum pidana Indonesia, penerapan ajaran melawan hukum materil ini dalam fungsi yang negatif, yaitu dalam hal pertanggung jawaban pidana. Seseorang bisa saja dilepaskan dari tuntutan pidana apabila perbuatannya tidak melawan hukum secara materil. Dengan kata lain, fungsi negatif dari ajaran melawan hukum materill ini digunakan sebagai alasan pembenar.

Berkaitan dengan sifat melawan hukum materil ini, maka perlu juga dikemukakan pendapat Indriyanto Seno Adji pada saat memberikan keterangan sehubungan kasus dugaan tindak pidana korupsi atas nama Soehardjo (mantan Dirjen Bea dan Cukai) berikut ini.11

Pengertian atau makna "perbuatan melawan hukum materiel" (Materiele Wederrechtelijk) dalam Hukum Pidana sebenarnya merupakan adopsi hukum dari makna perluasan perbuatan melawan (Onrechtmatige-Daad) dalam bidang Hukum Menurut Indriyanto Seno Adji bahwa sebelum memahami secara substansil ajaran "Perbuatan Melawan Hukum Materiel" berdasarkan Fungsi Positif, ada baiknya memahami pengertian perbuatan melawan hukum materiel itu sendiri.

11

O.C. Kaligis, Kumpulan Kasus Menarik Jilid 2, 2007,O.C. Kaligis & Associates Jakarta, hal. 85-87.


(22)

Perdata yang ditumbuhkan melalui Cohen - Lindenbaum Arrest tertanggal 31 Januari 1919.

Hoge Raad (Mahkamah Agung Belanda) telah mengabulkan gugatan (perdata) Lindenbaum sehingga perbuatan Cohen yang memberikan sejumlah uang atau hadiah maupun janjinya (kepada karyawan Lindenbaum) dipandang sebagai perbuatan melawan hukum. Pertimbangan akhir dari Hoge Raad tentang pengertian perbuatan melawan adalah sebagai berikut: "Dengan suatu perbuatan melanggar hukum diartikan setiap perbuatan atau kelalaian yang menimbulkan pelanggaran terhadap hak orang lain

atau bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau kesusilaan yang baik dan

kepatutan ada dalam masyarakat".

Perbuatan melawan hukum dalam arti luas dalam Hukum Perdata (Onrechtmatige-Daad) diartikan sebagai setiap perbuatan yang bertentangan atau melanggar kepatutan yang ada/hidup dalam masyarakat inilah yang kemudian diterima dalam lingkup Hukum Pidana berdasarkan pengertian perbuatan melawan hukum materiel (materiele wederrechtelijk) melalui arah Autonomie Van Het Materiele Strafrecht. Dalam Hukum Pidana, perbuatan melawan hukum materiel (materiele wederrechtelijk) itupun memiliki pengertian sebagai setiap perbuatan yang dipandang bertentangan dengan norma atau nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat atau segala perbuatan yang dipandang tercela oleh masyarakat.

Memang perbuatan melawan hukum formiel lebih menitikberatkan pada konsistensi dari asas legalitas dalam Hukum Pidana, sedangkan ajaran perbuatan melawan hukum materiel lebih mengarah kepada asas keadilan.


(23)

Permasalahannya, penerapan ajaran perbuatan melawan hukum materiel ini menjadi lebih polemistis mengingat pengakuan asas keadilan ini menjadi suatu akseptasi dari implementasi analogi yang tidak dikehendaki dalam Hukum Pidana, karenanya para ahli Hukum Pidana Belanda maupun Indonesia memberikan makna ini secara limitatif artinya perbuatan melawan hukum haruslah diartikan secara Negatif. Ini berarti bahwa meskipun perbuatan pelaku telah memenuhi rumusan delik (melawan hukum secara formiel), namun dilihat dari substansinya ternyata perbuatannya tidak melawan hukum secara materiel atau perbuatan tidak dipandang sebagai tercela (materiel wederrechtelijk) sehingga pelaku (terdakwa) dilepaskan dari tuntutan hukum. Mengingat ajaran perbuatan melawan hukum materiel ini dianggap bertentangan dengan Asas Legalitas sekaligus pengakuan Analogi yang terlarang dalam Hukum Pidana.

Yurisprudensi Belanda atas ajaran perbuatan melawan hukum materiel dalam fungsi negatif hanya ditemui melalui Arrest Dokter Hewan dari Hogeraad tanggal 20 Februari 1933. Dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, ajaran perbuatan melawan hukum materiel dengan fungsi negatif diterima sebagai penghargaan atas eksistensinya asas legalitas.

Sekarang apakah yang diartikan perbuatan melawan hukum yang di-implementasikan kearah fungsi positif?.

Fungsi Positif diartikan sebagai pemidanaan. Jadi, meskipun perbuatan pelaku (terdakwa) tidak memenuhi rumusan delik (formiel tidak melawan hukuml formeele


(24)

perbuatannya adalah wederrrechtelijk maka perbuatan pelaku (Terdakwa) dapat dijatuhi pemidanaan.

Apabila perbuatan pelaku (Terdakwa) formiel tidak wederrechtelijk, maka seharusnya yang bersangkutan harus dibebaskan dari segala tuduhan, artinya terhadap pelaku tidak dapat dikenakan pemidanaan dengan suatu pendekatan analogi.

Harus ditentukan kriteria yang menentukan alasan-alasan yang mendasari diimplementasikan ajaran perbuatan melawan hukum dengan fungsi Positif antara lain:

a) Perbuatan pelaku yang tidak termasuk atau tidak memenuhi rumusan delik, dipandang dengan kepentingan hukum, ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat atau negara, dibandingkan dengan keuntungan yang disebabkan oleh perbuatannya yang tidak melanggar peraturan perundang-undangan.

b) Menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/ negara adalah bahwa apabila seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara, meskipun tidak melakukan pelanggaran peraturan yang ada sanksi pidananya (formeele tidak wederrechtelijk), tetapi menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang (korporasi/badan hukum) dengan maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara itu menggunakan kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatannya secara berkelebihan atau menyimpang.

Perlu diketahui bahwa mengingat ajaran "Perbuatan Melawan Hukum Materiel" telah dianggap sebagai pelanggaran asas legalitas sekaligus akseptasi dari


(25)

analogi hukum yang TIDAK dikehendaki dalam Hukum Pidana, maka implementasi dengan Fungsi Negatif inilah yang mendapat toleransi dalam Hukum Pidana.

Bagi Fungsi Positif sebagai implementatif dari ajaran "Perbuatan Melawan Hukum Materiel" memerlukan syarat, alasan dan kriteria yang tegas serta dengan segala pertimbangan kondisitas, situatif dan kasuistis.

Beranjak dari uraian tindak pidana diatas kita juga harus mengetahui syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hal dapat dihukumnya suatu perbuatan pidana, yaitu harus terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana itu sendiri.Unsur-unsur tindak pidana ini terbagi atas dua macam yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Adapun yang termasuk kedalam unsur-unsur subjektif adalah :

1. Kesengajaan (dolus)

Dalam doktrin hukum pidana, dikenal ada tiga bentuk kesengajaan yaitu :

a. kesengajaan sebagai maksud/tujuan (opzet als oogmerk)

b. kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zekerheidsbewustzijn)

c. kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidsbewustzijn) disebut juga dengan dolus eventualis

2. Kelalaian (culpa).

Kalau dilihat dalam undang-undang tidak disebutkan arti dari kealpaan, dalam Ilmu pengetahuan hukum pidana kealpaan mempunyai ciri-ciri yaitu:

a. Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan ingatan/otaknya secra salah, seharusnya ia menggunakan ingatan dengan benar,


(26)

tetapi tidak digunakan, dengan kata lain ia telah melakukan tindakan dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan atau tidak berhati-hati.

b. Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya, sekiranya akibatnya dapat terjadi, tetapi ia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang akan menimbulkan akibat itu, tetapi tidak ia lakuykan sehingga merugikan orang lain.

c. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 KUHP.

d. Macam-macam maksud atau Oogmeek yang terdapat dalam kejahatan pencurian, penipuan, perampasan, dan lain-lain.

e. Merencanakan lebih dahulu seperti pada pembunuhan berencana f. Perasaan takut seperti yang terdapat dalam pasal 308 KUHP.12

Sedangkan yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur yang terdapat diluar diri sipelaku.Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

a. Perbuatan yang melanggar hukum

b. Akibat yang ditimbulakan dari perbuatan tersebut dapat membahayakan kepentingan orang lain

c. Keadaan-keadaan tertentu

d. Kausalitas atau hubungan sebab-akibat 2. Pengertian Pertanggungjawaban

12


(27)

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, mka tidak dapt dilepaskan dari tindak pidana. Walaupun dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menujuk kepada dilarangnya suatu perbuatan.

Tindak pidana tidak berdiri sendiri tetapi terjadi manakala terdapat pertanggungjawaban pidana, ini berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana

Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah pertanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas “tindak pidana tanpa adanya kesalahan” untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjwaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pyskis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena melakukan perbuatan pidana.

Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbuatan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut


(28)

kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Selanjutnya kapankah seseorang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukannya? J.E Jonkers menyebut ada 3 (tiga) syarat mengenai pertanggungjawaban pidana, yaitu:

a. kemungkinan untuk menentukan kehendaknya terhadap suatu perbuatan; b. mengetahui maksud yang sesungguhnya dari pada perbuatan itu;

c. keinsyafaan bahwa hal itu dilarang dalam masyarakat.

D.Simons menyatakan bahwa ciri-ciri psikis yang dimiliki oleh orang yang mampu bertanggungjawab pada umumnya adalah ciri-ciri yang dimiliki oleh orang yang sehat rohaninya, mempunyai pandangan normal, yang dapat diterima secara normal pandangan-pandangan yang dihadapinya, yang dibawah pengaruh pandangan tersebut ia dapat menentukan kehendaknya dengan cara yang normal pula.13

13

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.148

Moeljatno menarik kesimpulan tentang adanya kemampuan bertanggungjawab, ialah:

a. harus adanya kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum.

b. harus adanya kemempuan untuk menetukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi.


(29)

Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu :

1. Keadaan Jiwanya:

a. tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara.

b. tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu,idiot,gila,dan sebaginya)

c. tidak terganggu karena terkejut (hipnotisme,amarah yang meluap,dan sebagainya).

2. Kemampuan Jiwanya;

a. dapat menginsyafi hahihat dari perbuatannya.

b. dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak.

c. dapat mengetahui ketercelakaan dari tindakan tersebut.14

a. karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan

Semantara itu berkaitan dengan dengan masalah kemampuan bertanggungjawab dalam KUHP sendiri tidak memberikan batasan,KUHP hanya merumuskannya secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan menurut ketentuan Pasal 44 ayat (1) KUHP seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas suatu perbuatan karena dua alasan yaitu:

14

.E.Y.Kanter.S.R.sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM-PTHM, Jakarta, 2002,hal.249


(30)

b. jiwanya terganggu karena penyakit.

Orang dalam keadaan dimikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana.Berdasarkan keterangan diatas, maka dapat kita tarik kesimpulan mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana yaitu kemampuan seseorang baik secara mental maupun jasmani untuk menanggung konsekuensi dari perbuatan yang dilakukannnya sesuai dengan undang-undang.

3. Pengertian Korporasi

Istilah “korporasi” selaku subjek atau pelaku tindak pidana di Indonesia secara resmi baru muncul atau dipakai dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus tang diberlakukan di Indonesia, misalnya dalam UU No.5 tahun 1997 Tentang Psikotropika, UU No.15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 dan dalam beberapa UU Tindak pidana khusus lainnya

Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam Belanda disebut recht persoon atau dalam bahasa inggris dengan istilah legal person atau legal body.

Secara etimologis tentang kata korporasi (corporatie,belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), barasal dari kata “corporatio” dalam bahasa latin. Seperti halnya dengan kata-kata lain yang berakhir dengan “tio”, maka “corporatio” sebagai kata benda (substantivum), berasal dari kata kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (Indonesia = badan), yang berarti memberikan badan atau


(31)

memperbadankan. Dengan demikian maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil dari hasil pekerjaan membadankan, dengan perkataan lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.15

“Korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakan itu terdiri dari “corpus”, yaitu struktur fisiknya dan kedalamnya hukum memasukkan unsur “animus” yang membuat badan itu mempunyai kepribadian. Oleh karena badan hukum itu merupakan ciptaan hukum maka kecuali penciptaannya, kematiannyapun juga ditentukan oleh hukum.

Apabila suatu hukum memungkinkan perbuatan manusia untuk menjadikan badan hukum itu sisamping manusia, dengan manusia disamakan, mak itu berarti bahwa kepentingan masyarakat membutuhkannya, yakni untuk mencapai sesuatu yang oleh para individu tidak dapat dicapai atau amat susah untuk dicapai. Begitupun manusia itu mempergunakan “illuminasi”, bila lumen (cahaya) dari bintang dan bulan tidak menculupi atau tidak ada.

Berdasarakan uraian diatas, Satjipto Raharjo menyatakan bahwa :

16

15

Muladi,Pertanggungjawaban korporasi Dalam Hukum Pidana,19991,Sekulah Tinggi Hukum Bandung,Bandung,hal.12.

16

Dwidja Priyatno, Kebijakan Legilasi Tentang Sistem pertanggungjawaban Pidana Korporasi Indonesia, 2004,CV.Utomo, Bandung, hal.13.

Menurut Utrecht Korporasi ialah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai sebagai suatu subjek hukum tersendiri suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, tetapi mempunyai hak kewajiban sendiri terpisah dari hak kewajiban anggota masing-masing.


(32)

Menurut Wirjono prodjodikoro korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam korporasi biasanya yang mempunyai kepentingan adalah orang-orang manusia yang merupakan anmggota dari korporasi itu, anggota-anggota mana juga mempunyai kekuasaan dalam peraturan korporasi berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang tertinggi dalam peraturan korporasi

Menurut Yan Pramdya Puspa, korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan badan hukum; korporasi atau peseroan yang dimaksud adalah suatu kumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti manusia (persona). Yakni sebagai pengembang (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggunggat atau digugat dimuka pengadilan. Contoh badan hukum ialah PT (perseroaan terbatas), NV (Namloze Vennootschap) dan yayasan (Sticthing); bahkan Negara pun juga merupakan badan hukum17

Dalam Rancangan KUHP tahun 1987/1988, korporasi dalam Buku I pasal 120 diberikan pengertian korporasi yaitu kumpulan terorganisasi dari orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum atau pun bukan. Sedangkan dalam Rancangan KUHP 2004 memberikan pengertian korporasi sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 166 yaitu korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan

Rudhi Prasetya menyatakan , kata korporasi yang lazim dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa Belanda disebut rechtspersoon, atau yang dalam bahasa Inggris legal entities atau corporation.

17


(33)

badan hukum maupun bukan badan hukum. Dengan demikian secara umum korporasi mempunyai unsur-unsur antara lain:

a) kumpulan orang dan atau kekayaan; b) terorgonasir;

c) badan hukum; d) non badan hukum.

Selain pembahasan mengenai korporasi diatas perlu pula kita mengetahui mengenai bentu-bentuk kejahatan korporasi, yang mana bentuk-bentuk tersebut dapat diklasifikasilan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:

a) kejahatan korporasi dibidang ekonomi, antara lain berupa perbuatan tidak melaporkan keuntungan perusahaan yang sebenarnya, menghindari atau memperkecil pembayaran pajak dengan cara melaporkan data yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, persengkongloan dalam penentuan harga, memberikan sumbangan kampanye politik secara tidak sah

b) kejahatan korporasi dibidang sosial budaya, antara lain; kejahatan hak cipta, kejahatan terhadap buruh, kejahatan narkotika dan psikotropika; dan

c) kejahatan korporasi yang menyangkut masyarakat luas. Hal ini dapat terjadi pada lingkungan hidup, konsumen dan pemegang saham.18

Kejahatan terhadap lingkungan hidup berupa pencemaran dan atau perusakan kondisi tanah, air dan udara suatu wilayah. Dengan demikian, dalam kejahatan lingkungan hidup, dapat ditafsirkan lebih luas dalam konteks kerusakan yang berakibat

18


(34)

luas, mengakibat bencana dan merugikan umat manusia, seperti illegal logging atau pembalakan liar. Korporasi sebagai subjek hukum tidak hanya menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi (mencari keuntungan sebesar-besarnya) tetapi juga mempunyai kewajiban untuk mematuhi peraturan hukum dibidang ekonomi yang digunakan pemerintah guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.Beberapa peranan yang diharapkan terhadap korporasi didalam proses modernisasi atau pembangunan, diantaranya memperhatikan dan membina kelestarian kemampuan sumber daya alam dan lingkungan hidup.

4. Pengertian Pertanggungjawaban Korporasi

Perkembangan pertanggungjawaban pidana di Indonesia, ternyata yang dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi. Khusus mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, ternyata terdapat bermacam-macam cara perumusannya yang ditempuh oleh pembuat undang-undang. Berkenaan dengan pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi, terdapat 3 (tiga) sistem yaitu :

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab. 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggungjawab.

3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagiai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.19

19

Muladi,Pertanggungjawaban korporasi Dalam Hukum Pidana,1991,Sekolah Tinggi Hukum Bandung,Bandung,hal. 67


(35)

Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggungjawab, kepada pengurus koperasi dibebankan kewajiban-kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah adalah kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang menghapuskan pidana. Sedangkan dasar pemikirannya adalah: korporasi itu sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran, melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya penguruslah yang diancam pidana dan dipidana.

Sebagai dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku.

Dalam kebanyakan rumusan tindak pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.

Sengaja berarti juga adanya ‘kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu’. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwaperbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian ‘menghendaki dan mengetahui’ atau biasa disebut dengan ‘willens en wetens’. Yang dimaksudkan disini


(36)

adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah ‘menghendaki apa yang ia perbuat’ dan memenuhi unsur wettens atau haruslah ‘mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat’.

Disini dikaitkan dengan ‘teori kehendak’ yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan ‘sengaja’ adalah ‘kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu’ atau ‘akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu’.

Jika unsur ‘kehendak’ atau ‘menghendaki dan mengetahui’ dalam kaitannya dengan unsur ‘kesengajaan’ tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka pembuktian ‘adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku’ seringkali hanya dikaitkan dengan ‘keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum’ yang dituduhkan kepadanya tersebut. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa asas kesalahan merupakan asas yang mutlak ada dalam hukum pidana yaitu sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana. Yang menjadi permasalahannya ialah bagaimanakah pengaruh asas kesalahan apabila suatu korporasi dituntut untuk suatu tindak pidana? Sebab bagaimanapun juga badan hukum tidak terdapat dalam jiwa manusia (menselijke psyche) dan unsur-unsur psychis (de psychische bestanddelen) dapat dikatakan memiliki kesalahan.


(37)

Menurut Suprapto bahwa korporasi dapat memiliki kesalahan, seperti apa yang dikemukannya, yaitu badan-badan bisa didapat kesalahan, bila kesengajaan atau kelalaian terdapat pada orang-orang yang menjadi alat-alatnya. Kesalahan itu tidak bersifat individuil, karena itu mengenai badan sebagai suatu kolektivitet. Dapatlah kiranya kesalahan itu disebut kesalahan kolektif, yang dapat dibebankan kepada pengurusnya. Selain dari pada itu cukup alasan untuk menganggap badan mempunyai kesalahan dan karena itu harus menanggungnya dengan kekayaannya, karena ia misalnya menerima keuntungan yang terlarang. Hukuman denda yang setimpal dengan pelanggaran dan pencabutan keuntungan tidak wajar yang dijatuhkan pada pribadi seseorang, karena mungkin hal itu melampaui kemampuannya.

Berhubungan dengan kesalahan yang terdapat dalam korporasi ini Van Bammelan dan Remmelink menyatakan bahwa pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan bersyarat dan kesalahan dan kesengajaan ringan dari setiap orang yang bertindak untuk korporasi itu jika dikumpulakan akan dapat merupakan kesalahan besar dari korporasi itu sendiri.20

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana ini ada pandangan baru dari para ahli yang mengatakan bahwa dalam hal pertanggungjawaban badan hukum (korporasi) khususnya untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum asas kesalahan tidak mutlak berlaku. Sebenarnya apa yang dinyatakan sebagai “pandangan baru” diatas tidaklah asing di dalam doktrin tentang pertanggungjawaban pidana ialah keharusan

20


(38)

adanya kesalahan, yang dinegara-negara Anglo Saxon dikenal asas mens rea. Namun demikian syarat umum adanya kesalahan itu doktrin yang dianut di beberapa negara dikecualikan untuk tindak pidana tertentu, yaitu apa yang dikenal dengan “strict liability” dan “vicarious liability”.

Berdasarkan uraian tersebut diatas bahwa dalam masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, asas kesalahan masih tetap dipertahankan, tetapi dalam perkembangan bidang hukum, khususnya bidang hukum pidana yang menyangkut pertanggungjawaban pidana asas kesalahan atau “asas tiada pidana tanpa kesalahan” tidak mutlak berlaku. Pada pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasr untuk menuntut pertanggungjawaban pidana pada sipelaku sesuai dengan adigum “res apsa loquitur”, fakta sudah berbicara sendiri.

Sementara itu mengenai pembebanan pertanggungjawaban pidana korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang haruslah juga didasarkan pada syarat-syarat yang telah ditentukan. Adapun syarat-syarat atau pun unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam hal dibebankannya pertanggungjawaban pidana korporasi atas seseorang yaitu :

1. Tindak pidana tersebut dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi yang didalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi, yaitu personil yang memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tideak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya.


(39)

a. Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran dasar secara formal menjalankan kepengurusab korporasi, dan/atau

b. Dilakukan oleh mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat korporasi secara hukum berdasarkan:

1) Pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiridalam bats ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya bitu untik melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi, atau

2) Pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka sebagaimana disebut diatas untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi. c. Diperintahkan oleh mereka yang tersebut dalam huruf a dan b diatas, agar

dilakukan oleh orang lain.

2. Tindak pidana yang dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. Kerugian ntersebut berupa kerugian intravires yaitu kegiatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan dala anggaran dasarnya.

3. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku atau atas pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi.Artinya apabila apabila tindak pidana itu dilakukan tidak berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas pemberi perintah didalam korporasi tersebut, sehingga karena out personil tidak berwenang melakukan perbuatan yang mengikat korporasi, maka korporasi tidak dapat diharuskan untuk memikul pertanggungjawaban pidana.


(40)

4. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Manfaat dapat berupa keuntungan finansial atau nono finansial atau dapat menghindarkan/mengurangi kerugian fiskal maupun non finansial bagi korporasi. 5. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alsan pembenar atau alasan pemaaf

untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana.

6. Bagi tindak pidana yang mengharuskan adanya unsur perbuatan (actus reus) dan unsur kesalahan (mens rea), kedua unsur tersebut tidak harus terdapat pada satu orang saja. Artinya orang yang melakukan actus reus tidak perlu harus memiliki sendiri

mens rea yang mejadi dasar tujuan dilakukan actus reus tersebut, asalakan dalam hal orang itu melakukan actus reus yang dimaksud adalah menjalankan perintah atau suruhan orangn lain yang memiliki sikap kalbu yang mengkehendaki dilakukannya mens rea tersebut oleh orang yang disuruh. Dengan gabungan antara actus reus yang dilakukan oleh pelaku yang tidak memiliki mens rea (tidak memiliki sikap kalbu yang salah) dan mens rea yang dimiliki oleh orang yang memerintahkan atau menyuruh actus reus itu dilakukan, maka secara gabungan (agregasi) terpenuhi unsur-unsur (actus reus dan mens rea) yang diperlukan bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Hal ini memungkinkan pelaku actus reus melakukan perbuatannya hanya berdasarkan sikap kalbu untuk menjalankan perintah atasannya, tetapi tidak menyadari latar belakang yang sesungguhnya dari tindak pidana yang dilakukannya, dalam hal demikian, maka yang bersangkutan tidak harus memikul beban tanggungjawab pidana atas actus reus yang dilakukannya karena tidak memiliki mens rea yang dipersyaratkan. Akan tetapi, korporasi tetap harus bertanggungjawab atas tindak pidana yang diloakukan karena terpenuhi syarat adanya


(41)

actus reus dan adanya mens rea sebagi hasil agregasi (gabungan) dari beberapa orang (pelaku).21

Korporasi tidak dapat melakukan perbuatan sendiri, tetapi harus melalui manusia yang memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan itu atas nama korporasi.

5. Pengertian Hutan

Kata hutan merupakan terjemahan dari kata bos (Belanda) dan forrest (inggris).

Forest merupakan dataran tanah yang bergelombang, dan dapat dikembangkan untuk kepentingan diluar kehutanan, seperti pariwisata. Didalam hukum Inggris Kuno, forrest

(hutan) adalah suatu daerah yang tanahnya ditumbuhi pepohonan, tempet hidup binatang buas dan burung-burung hutan. Dalam Blak’s Law Dictionary (Garner,1999), forrest

adalah “a track of land, not necessarilt wooded, reserved to the king or a grantee, for hunting deer and other game”, yang artinya suatu bidang daratan , berpohon-pohon yang dipesan oleh raja atau suatu penerima beasiswa, untuk berburu rusa dan permainan lain. 22

Mengutip dari beberapa litelatur hutan juga dapat diartikan sebagai sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator arus

Namun dalam perkembangan selanjutnya ciri khas ini menjadi hilang.Pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh pohon-pohon yang tumbuh tak beraturan atau suatu areal tetentu yang ditumbuhi pepohonan dan didiami berbagai jenis binatang.

21Alvi Syahrin,

Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Penerbit PT.Sofmedia, 2009, hal. 37

22


(42)

hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting.Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.Hutan merupakan suatu kumpulan tetumbuhan, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.

Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.

Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan

Pengertian hutan secara umum ini berbeda dengan pengertian hutan secara yuridis.Hutan menurut Dangler hutan adalah sejumlah epohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu, kelembaban,cahaya,angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannnya, akan tetapi dipengaruhi oleh


(43)

tumbuh-tumbuhan/pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat (horizontal dan vertikal). Menurut Dangler yang menjadi ciri hutan adalah:

1. adanya pepohonan yang tumbuh pada tanah yang luas (tidak termasuk savana dan kebun).

2. pepohonan tumbuh secara berkelompok23

Definisi yang dikemukan oleh Dangler diatas senada dengan yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 5 tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan yaitu bahwa hutan adalah suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon (yang ditumbuhi pepohonan) yang secar keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya, dan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai hutan.

Sedangkan pengertian hutan menurut ketentuan Undang-undang Kehutanan pada Pasal 1 ayat (2) menyebutkan pengertian hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

Ada 3 (empat) unsur yang terkandung dari definisi hutan diatas, yaitu:

1. Unsur lapangan yang cukup luas (minimal ¼ hektar), yang disebut tanah hutan; 2. Unsur pohon (kayu,bambu,palem),flora,fauna;

3. Unsur lingkungan;

4. Unsur penetapan pemerintah.

23


(44)

Unsur Pertama, kedua, dan ketiga membentuk persekutuan hidup yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnhya. Pengertian hutan disini menganut konsepsi hukum secara vertikal, karena antara lapangan (tanah), pohon, flora, dan fauna, beserta lingkungannya meryupakan saru kesatuan yang utuh.

Adanya penetapan pemerintah mengenai hutan mempunyai arti yang sanagat penting, karena dengan adanya Penetapan Pemerintah kedudukan yuridis hutan menjadi kuat. Ada dua arti penting Penetapan Pemerintah tersebut yaitu:

1. Agar setiap orang tidak dapat sewenang-wenang untuk membabat, meduduki, atau mengerjakan kawasan hutan,dan

2. Mewajibkan kepada pemerintah c.q.Menteri Kehutanan untuk mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan, dan penyediaan hutan sesui fungsinya, serta menjaga dan melindungi hutan. Tujuan perlindungan hutan adalah untuk menjaga kelestarian dan fungsi hutan, serta menjaga mutu, nilai, dan kegunaan hasil.24

Disamping pengertian hutan dikenal juga istilah”kehutanan”yang pada Pasal 1 angka 1 UU Kehutanan pengertian kehutanan :”sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu”.

Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dipahami bahwa ada dua kepentingan yang terkandung dalam hakikat hutan yaitu : Pertama, bahwa hutan berisi sumber daya alam hayati merypaka karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugrahkan kepada Bangsa Indonesia adalah kekayaan yang tak ternilai harganya, yang dapat dimanfaatkan sebagi modal pembangunan nasional (penjelasan umum UU Kehutanan). Kedua, bahwa hutan

24


(45)

merupakan suatu kesatuan ekosistem dalam persekututuan alam dan lingkungan yang tidak bisa dipindahkan satu dengan yang lainnya, disamping mempunyai manfaat hutan juga mempunyai fungsi-fungsi pokok yaitu fungsi ekologis,ekonomis, dan sosial. Karena fungsinya itu maka hutan perlu dilindungi.25

1. Fungsi Ekologis hutan

yaitu sebagai suatu sistem penyangga kehidupan antara lain sebagi pengatur tata air, menjaga kesuburan tanah,mencegah erosi, menjaga keseimbangan iklim mikro, penghasil udara bersih,menjaga siklus makanan, serta sebagi tempat pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemya.

2. Fungsi Ekonomis

yaitu sebagi sumber yang menghasilakn barang dan jasa baik yang terukur seperti hasil hutan berupa kayu dan non kayu, maupun yang tidak terukur seperti jasa ekoturisme.

3. Fungsi Sosial

yaitu sebagai sumber penghidupan dan lapangan kerja serta kesempatan berusaha bagi sebagian besar mesyarakat terutama yang hidup di dalam dan disekitar hutan, untuk

25


(46)

kepentingan pendidikan dan penelitian demi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.26

26

IGM.Nurdjanah,dkk, Korupsi dan Ilrgal logging, Pustaka Belajar, Yokyakarta, 2005, hal.36

F. METODE PENELITIAN

Dalam setiap penulisan karya ilmiah tentunya digunakan suatu metode pendekatan untuk lebih memudahkan dalam penulisannya maupun pemahamannya kepada pembaca , demikian pula dalam karya ilmiah ini penulis menggunkan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan melakukan analisis terhadap asas-asas hukum dengan mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul karya ilmiah ini yaitu: “Pertanggungjwaban Pidana Korporasi Ditinjau daru UU No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan” (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor 68 K/PID.SUS/2008).

Adapun pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan (Library research) yakni melakukan penelitian dengan menghimpun data dari berbagai sumber bacaan seperti buku-buku,majalah-majalah, pendapat sarjana, dan juga bahan-bahan kuliah maupun bahan bacaan lain dan juga menghimpun sejumlah informasi dari media internet yang sesuai dengan kebutuhan dalam penulisan karya ilmiah ini.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Penulisan Karya ilmiah ini secara garis besar terdiri dari VI (enam) Bab, dimana masing-masing berisikan tentang :


(47)

BAB I : Membicarakan tentang latar belakang, rumusan masalah,keaslian penulisan, manfaat,dan tujuan penelitian,tinjauan pustaka (yang terdiri dari pengertian tindak pidana, pengertian pertanggungjawaban, pengertian korporasi, pengertian pertanggungjawaban korporasi, dan pengertian hutan), metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : Membahas mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana kehutanan yang dikaitkan dengan UU No.41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang mana dalam Bab ini akan dibahas lebih rinci mengenai bentuk-bentuk tindak pidana di bidang kehutanan dan bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam bidang kehutanan.

BAB III : Pembahasan dan analisis pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap putusan MA (Mahkamah Agung) Nomor 68 K/PID.SUS/2008) mengenai pertanggungjawaban korporasi PT.Keang Nam Development yang dibebankan pada Dirut (Direktur Utama) Keuangan Adelin Lis.

BAB IV : Berisi mengenai kesimpulan dari permasalahan yang dibahas serta saran-saran yang dapat dijadikan acuan dalam penyelesain terhadap permasalahan yang timbul.


(48)

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM

TINDAK PIDANA KEHUTANAN

A. BENTUK-BENTUK TINDAK PIDANA DI BIDANG KEHUTANAN.

Sampai saat ini masih ada kerancuan pemahaman tentang tindak pidana kehutanan. Kerancuan pemahaman ini tidak hanya di kalangan awam tetapi juga terjadi di kalangan penegak hukum. Kasus Adelin Lis adalah salah satu contoh nyata betapa pemahaman antara Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim belum berada pada satu persepsi yang kompak. Bebasnya Adelin Lis di tingkat Pengadilan Negeri dan kemudian kembali divonis bersalah di tingkat kasasi semakin memperkuat pemahaman bahwa apa yang disimpulkan sebagai tindak pidana kehutanan oleh penyidik dan jaksa tetapi dalam pemahaman hakim pada satu tingkatan peradilan bisa berbeda. Begitu pula, pemahaman hakim pada tingkat pertama bisa juga berbeda dengan pemahaman hakim pada tingkatan berikutnya.

Salah satu yang masih menjadi perdebatan sampai saat ini adalah apakah penebangan di luar areal perizinan dan penebangan di luar rencana kerja tahunan (RKT) merupakan tindak pidana kehutanan atau masuk ke dalam ranah hukum administrasi. Bagi mereka yang setuju dengan pendapat kedua, mendasarkan argumennya kepada fakta bahwa secara formal si pelaku memiliki izin, artinya aktivitasnya bukanlah kegiatan ilegal. Sementara pihak yang setuju pendapat pertama mendasarkan argumennya kepada pemahaman bahwa sebuah izin pemanfaatan hutan diberikan terhadap areal tertentu. Maka kalau aktivitas penebangan dilakukan di luar areal tersebut artinya dia tak memiliki


(49)

izin untu melakukan kegiatan penebangan di luar areal yang diizinkan artinya kegiatannya adalah kegiatan ilegal.

Mengenai istilah Tindak Pidana (sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu) diambil dari istilah strafbaarfeit yang terdapat dalam Hukum Pidana Belanda. Sekalipun demikian tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud strafbaarfeit itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda (Wetbook van Strafrecht – WvS), yang kemudian sebagian besar materinya menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) dengan UU No. 1 tahun 1981. 27

Para ahli hukum nampaknya belum memiliki kesamaan pandangan tentang pengertian strafbaarfeit. Paling tidak ada 7 (tujuh) istilah untuk mengartikan kata tersebut, diantaranya tindak pidana, perbuatan pidana, perbuatan yang dapat dihukum, delik dan lain-lain28

27 Adami Chazawi,

Pelajaran Hukum Pidana I,2001,PT.Raja Grafindo Perswada,Jakarta, hal.67. 28

Ibid,hal..68

Namun dalam peraturan perundang-undangan istilah yang lebih sering digunakan adalah Tindak Pidana. Secara sederhana Tindak Pidana dapat diartikan segala tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang diatur secara tegas oleh Undang-Undang. Segala tindakan yang dimaksud tidak hanya dalam artian aktif tetapi juga dalam pengertian pasif. Tidak melakukan sesuatupun dimana hal tersebut dilarang oleh Undang-Undang, termasuk dalam pengertian ini. Mengenai pengaturan oleh UU sangat penting disebutkan karena dalam hukum pidana berlaku asas legalitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa tiada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas kekuatan ketentuan dalam


(50)

perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi. Secara umum dalam KUHP (UU No. 1 tahun 1981) tindak pidana atau perbuatan pidana digolongkan dalam dua kelompok yaitu Kejahatan dan Pelanggaran. Tindakan-tindakan yang termasuk Kejahatan diatur dalam pasal 104 – pasal 488 KUHP. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang digolongkan sebagai Pelanggaran diatur dalam Pasal 489 – Pasal 569 KUHP. Mengenai pengaturan perundangan tentang dimana terdapat aturan perbuatan yang dilarang itu ,secara umum dikategorikan dalam 2 (dua) bagian, yaitu: 29

1. Tindak Pidana Umum

Dimana secara umum aturan mengenai perbuatan yang dilarang itu diatur dalam KUHP yang terdiri dari 3 buku,49 Bab, serta 569 Pasal-Pasal yang tercantum dalam KUHP.

2. Tindak Pidana Khusus

Tindak Pidana khusus ini adalah tindak pidana yang pengaturannya telah dibuat secara khusus diluar ketentuan KUHP, seperti :

a. UU Kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 41 tahun 1999

b. UU Tindak Pidana Korupsi yang ditur dalam UU Nomor 39 tahun 1999 jo. UU Nomor 21 tahun 2000.

Adapun yang menjadi dasar hukum diaturnya beberapa tindak pidana secara khusus diluar KUHP adalah sebagimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 103

29

Abdul Khakim,Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah, 2005. Penerbit PT.Citra Adytia Bakti, hal.162


(51)

KUHP yang berbunyai :”Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang-undang-undang (Wet) tindakan Umum Pemerintahan Algemene maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.

Hal selanjutnya yang perlu kita perhatikan adalah bahwasanya dalam semua pasal yang ada dalam KUHP, kita tidak akan menemukan secara khusus tentang tentang tindak pidana kehutanan. Tindak pidana kehutanan dapat dikatakan sebagai perkembangan baru dalam hukum pidana Indonesia yang kemudian diatur dalam beberapa UU yang dibuat kemudian, diantaranya:

a. UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. (Selanjutnya UU Konservasi sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya)

b. UU No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

c. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

d. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (pengganti UU No. 4 tahun 1982).

Dapat dikatakan ketentuan pidana dalam UU tersebut adalah peraturan-peraturan khusus terkait Tindak Pidana Kehutanan yang tidak diatur dalam Undang-Undang Pidana Umum (KUHP – UU No. 1 tahun 1981). Bila kita cermati dalam UU Kehutanan, dalam bagian ketentuan umum yang memuat beberapa pengertian tidak termuat defenisi tindak pidana kehutanan. Hanya dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan pengertian kehutanan sebagai sebuah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan


(52)

hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Berikutnya dalam ayat (2) disebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam.

Kalau kita sepakat dengan pengertian Tindak Pidana sebagaimana yang disebutkan di atas maka dapat kita gabungkan bahwa Tindak Pidana Kehutanan adalah segala bentuk tindakan/perbuatan yang dapat dipidana/dikenakan hukuman yang berkaitan dengan pengurusan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. Kaitan yang dimaksud di sini tentunya dalam artian memberi dampak negatif terhadap sistem pengurusan hutan dan menyebabkan kerusakan terhadap hutan sebagai sebuah ekosistem

penyangga kehidupan. Berbicara mengenai

tindak pidana kehutanan sangat eratlah kajiannya dengan kerusakan hutan . Dalam berbagai peraturan perundangan di bidang kehutanan istilah “kerusakan hutan”ini mengandung pengertian yang bersifat dualisme. Disatu sisi, perusakan utan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melawan hukum. Di sisi lain, perusakan hutan yang berdampak negatif (merugikan)adalah suatu tindakan nyat melawan hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan/tanpa adanya persetujuan pemerintah.

Kerusakan hutan dapat menimbulkan dampak yang bersifat positif dan negatif didalam pembangunan yang berwawasan lingkungan. Diantara sifat negatifnya digolongkan sebagai tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan undang-undang.


(53)

a. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kesengajaan subjek hukum meliputi, manusia dan atau badan hukum.

b. Kerusakan hutan dapat terjadi akibat perbuatan karena kelalaian subjek hukum meliputi, manusia dan/atau badan hukum.

c. Kerusakan hutan dapat terjadi karena ternak dan daya-daya alam (misalnya gempa bumi,letusan gunung, banjir, dan sebagainya).

d. Kerusakan hutan dapat terjadi karena serangan hama dan penyakit pohon.

Dari keseluruhan makna kerusakan hutan maka istilah perusakan hutan yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana adalah :

a. Suatu bentuk perbuatan yang dilakukan manusia dan/atau badan yang bertentangan dengan aturan didalam hukum perundang-undangan yang berlaku;

b. Tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan subjek hukum sebelumnya telah dirumuskan didalam undang-undang yang mengandung ketentuan pidana khusus. Antara lain ditegaskan bahwa pelakunya dapat dipidana.

Dalam Pasal 50 UU kehutanan dicantumkan berbagai perbuatan yang dilarang dilakukan oleh setiap orang atau orang-orang tertentu yang berkaitan dengan kehutanan. Artinya kalau perbuatan tersebut tetap dilakukan dapat diartikan orang tersebut telah melakukan tindak pidana di bidang kehutanan. Termasuk juga pada Pasal 38 ayat 4 disebutkan tentang larangan melakukan penambangan dalam kawasan hutan lindung secara terbuka. Lebih tegas disebutkan dalam pasal 78 UU Kehutanan tentang ancaman hukuman pidana yang dapat dikenakan terhadap orang-orang yang terbukti melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang sebagaimana disebut dalam Pasal 50 dan Pasal 38


(54)

ayat (4) UU Kehutanan. Dalam Pasal 19 ayat (1), Pasal 21 dan Pasal 33 UU Konservasi Sumber daya Alam hayati dan Ekosistemnya juga dicantumkan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan setiap orang. Selanjutnya dalam Pasal 40 ditegaskan tentang ancaman hukuman terhadap setiap orang yang diduga melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut. Secara tegas dalam Pasal 40 ayat (5) disebutkan istilah tindak pidana. Lengkapnya disebutkan bahwa Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) adalah pelanggaran. Dengan demikian tindak pidana di bidang kehutanan juga dapat dikelompokkan sebagai kejahatan dan pelanggaran sebagaimana tindak pidana di bidang lainnya.

Dalam UU No. 23 tahun 1997 Tindak Pidana Kehutanan termasuk dalam pengertian Tindak Pidana Lingkungan yang secara umum terbagi dalam dua bentuk yaitu tindakan perusakan dan pencemaran. Dalam beberapa Pasal menyangkut Ketentuan Pidana, UU No. 23 tahun 1997 secara tegas juga menyebutkan istilah tindak pidana untuk menyebut perusakan dan atau pencemaran, diantaranya Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 46 ayat (1) dan (2). Lebih tegas lagi dalam pasal 48 disebutkan Tindak Pidana yang diatur dalam Bab Kentuan Pidana digolongkan sebagai kejahatan.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa penulisan karya ilmiah ini lebih difokuskan pada persoalan kehutanan yang terkait masalah Ilegal Logging olek karenanya pada bagian ini akan dibahas mengenai hal-hal yang erat kaitannya dengan pelanggaran yang sering terjadi dalam bidang kehutanan antara lain :


(55)

b. masalah surat perizinan dimana untuk memperoleh kayu hasil hutan tersebut harus disertai dengan surat perizinan yang dikeluarkan oleh wewenang pemerintah yang bersangkutan

c. mengenai masalah Surat Keterangan Hasil Hutan dimana setiap kayu hasil hutan yang akan dipergunakan untuk kepentingan dari yang bersangkutan haruslah memperoleh atau memiliki surat keterangan hasil hutan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah setempat.

Masalah Ilegal Logging atau lebih dikenal dengan penebangan hutan secara liar yang dilakukan tanpa ijin dari instansi/pejabat kehutanan, digolongkan sebagai tindakan yang melawan hukum. Termasuk, perbuatan penebangan liar dilakukan subjek hukum yang telah memperoleh ijin menebang namun melampaui batas/target yang diberikan instansi/pejabat kehutanan.30

Pengertian Ilegal Logging dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahas inggris. Dalam The Contemporary English Indonesia Dictionary, illegal artinya tidak sah, dilarang, atau bertentangan dengan hukum atau haram. Dalam black’s Laws Dictionary illegal artinya “forbidden by law;unlawful” artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. “Log” dalam bahasa Inggris artinya menebang kayu dan membawa ketempat gergajian.31

30

Alam Setia Zain,Hukum Lingkungan Konservasi Hutan,1994,Penerbit Rineka Cipta,Jakarta, hal.45-46

31

IGM Nurdjana,Korupsi dan Ilegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi,2005,Penerbit Pustaka Belajar,Yokyakarta,hal.13


(56)

Dalam inpres RI No.5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu

Ilegal (Ilegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Lauser dan Taman Nasional Tanjung Putting, istilah Illegal Logging disamakan dengan istilah penebangan kayu illegal, istilah iilegal logging disinonimkan dengan penebangan kayu ilegal..

Ilegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh

Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest watch (GFW) yaitu untuk menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemenenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Lebih lanjut FWI ilegal logging menjadi dua yaitu:

Pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam ijin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.32

Gambaran ilegal logging menurut pendapat ini menunjukkan adanya rangkaian suatu kegiatan yang merupakan suatu rantai yang saling terkait, mulai dari sumber atau Luasnya jaringan kejahatan ilegal logging yang mencerminkan luasnya pengertian dari ilegal logging itu sendiri menurut Haba, ilegal logging digambarkan bahwa:

Penebangan liar “…occur right through the chain from source to costumer, from illegal extraction, ilegal transport and processing throught to ileggl export and sale, where timber is often laundered before entering the legal market”.

32


(1)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari pembahasan skripsi ini adalah :

1. Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana kehutanan dapat dibebankan secara langsung kepada korporasi maupun terhadap para pelaku yang bertanggungjawab terhadap pengrusakan hutan.Dibenarkannya pertanggungjawaban pidana terhadap suatu korporasi ini didasarkan pada doktrin doktrin strick liability,vicarious liability, doktrin deligasi, doktrin identifikasi,yang pada intinya memberikan ruang yang sangat memungkinkan untuk dapat dipidananya suatu korporasi, sehingga penjatuhan pidana dapat dijatuhkan sepanjang perbuatan yang dilakukan oleh korporasi tersebut telah menimbulkan dampak dan kerugian bagi masyarakat banyak. Jadi tidak lagi mutlak harus terpenuhi unsur ada tidaknya suatu “kesalahan”.

2. Putusan majelis Hakim Kasasi baik Dakwaan Kesatu ataupun Kedua Jaksa Penuntut Umum yang menggunakan Pasal 2 ayat (1) UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KESATU) dan Pasal 50 ayat (2) jo Pasal 78 ayat (1) dan ayat (14) UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, sama-sama terbukti, namun Majelis Hakim Kasasi menerapkan sistem absorbsi dan concursus idealis, sehingga dipilih aturan dengan ancaman pidana terberat, yaitu Dakwaan KESATU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan kalau kita


(2)

cermati Dakwaan Kesatu ini tidak tepat digunakan dalam menjerat kasus Ilegal Logging seperti yang dilakukan oleh PT.KNDI, karena hal ini bertentangan dengan asas lex specialis systematic derograt lex generali, yang didalamnya terkandung arti bahwa UU No.41 Tahun 1999 merupakan UU khusus yang mengatur tentang pelanggaran di bidang kehutanan dan berada pada rezim hukum adminnistratif sedangkan UU No.31 Tahun 1999 adalah UU khusus dari Tindak pidana khusus yang kedudukannya berada pada rezim hukum pidana, sehingga terlihat jelas letak perbedaan kedudukan kedua undang-undang tersebut. Selain itu pula dalam Pasal 14 UU No.31 Tahun 1999 bila ditarik penafsiran secara acontrario ditegaskan bahwa selama di dalam undang-undang lain selain UU No.31 Tahun 1999, tidak ditgaskan bahwa pelanggaran atas ketentuan pidana dalam undang-undang lain merupakan tindak pidana korupsi maka UU No.31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi ini tidak dapat diterapkan/diberlakukan. Akibat ketidakcermatan Majelis Hakim Kasasi dalam menggunakandua aturan hukum yang berbeda untuk menjerat satu perbuatan ini justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan bagi masyarakat danbagi perkembangan hukum nasional Indonesia khususnya bagi hukum pidana, oleh karena UU korupsi bukanlah Lex specialist dari UU Kehutanan.

B.SARAN

Adapun saran yang ingin penulis sampaikan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perlunya pemahaman yang dalam yang harus dimiliki oleh seorang hakim dalam menganalisis setiap kasus dengan mengaitkannya dengan asas-asas dan peraturan


(3)

hukum yang berlaku, sehingga dalam menerapkan hukum dapat diperoleh keadilan dan kepatian hukum bagi masyarakat.

2. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat terkait masalah hukum dan peraturan perundangan yang berlaku, sehingga masyarakat dapat aktif berperan serta dalam pengawasan penegakan hukum di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA


(4)

Arifin,Bistanul.Ph.D.(2001).Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Erlangga;Jakarta

Arief, Baarda Nawawi. (1996). Batas – batas kemampuan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung.

Atmasasmita , Romli. Perbandingan Hukum Pidana. CV.Mandar Maju.

Chazawi ,Adami.(2002).Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta .

Hamzah, Andi.(1994). Asas – Asas Huku m Pidana. PT.Rineka Cipta Jakarta . Hatrik , Hamzah.(1996). Asas – Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam

Hukum Pidana Indonesia. PT.Raja Grafindo Persada : Jakarta .

H.S,Salim.(2005). Dasar- Dasar Hukum Kehutanan Indonesia. PT.Citra Adiyta Bakti : Bandung.

Husin,Sukanda.S.H.,LL.M.(2008). Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika;Jakarta

KartaNegara , Satochid. Kumpulan Kuliah & Pendapat Para Ahli Hukum Terkemuka Bagian Kedua. PT.Balai Lektur Mahasiswa. Jakarta.

Mulyadi, Lilik.(2007).Tindak Pidana Korupsi di Indonesia ( Normatif , Teoritis , Praktik & Masalahnya ). PT.Alumni : Bandung.

Khakim , Abdul.(2005). Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia. PT.Citra Aditya bakti : Bandung.

Marpaung , Leden . (1997). Tindak Pidana Lingkungan Hidup , Masalah & Prevensinya.PT. Sinar Grafika : Jakarta.

Moeljatno. 1983.Asas – Asas Hukum Pidana. PT.Sinar Grafika : Jakarta. Muladi . (1992).Teori – teori Kebijakan Pidana. PT.Alumni : Bandung.

Prasetyo,Rudhy.(1991). Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi. Unpad Press : Bandung.

Prijatna , Dwipa & Muladi. (1991).Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. PT.Bandung Press : Bandung.


(5)

Prodjodikoro,Wirjono. (1969). Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. PT.Eresco : Bandung.

Satia Alam, Zein. (1997). Hukum Lingkunngan Konversasi Hutan. PT. Ardi Mahasatya : Jakarta.

Sholehuddin.(2002). Sistem sanski dalam Hukum Pidana ( Ide dasar Double Track System & Implementasinya) . PT.Rajawali Press : Jakarta .

Syahrin,Prof.Alfi.S.H.,(2008).M.S. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepemidanaan.PT.Sofmedia.

Salim,H.S,S.H.,M.S.(2003). Dasar-dasar Hukum Kehutanan.Edisi Revisi.Sinar Grafika; Jakarta

Syariah , Rabiatul. (2009).Tanggung Jawab Korpoasi dalam Melestarikan Hutan Kayu. PT. Pustaka Bangsa Press : Medan.

Sjahdeini,Prof.Sutan Remy. S.H.(2006). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Grafiti Pers;Jakarta

Setiyono,H.SH.MH.(2002).Kejahatan Korporasi.Averroes Press;Malang.

Zain,Alam setia. S.H.(1998). Hukum Lingkungan Konservasi Hutan.Rineka Cipta;Jakarta

Waluyadi,S.H.(2003). Hukum Pidana Indonesia.Djambatan:Jakarta.

2. Undang -Undang :


(6)

Undang - Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Undang -Undang No. 31 Tahun 1999 jo.Undang-Undang No.20 Tahun 2001. 3. Peraturan Pemerintah :

Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1970 Tentang Perencanaan Hutan. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1985 Tentang Perlindungan Hutan. 4. Kitab – Kitab :

KUHP( Kitab Undang – Undag Hukum Pidana ) karangan R.Soesilo.

KUHP Khusus ( Kompilasi Ketentuan Pidana dalam Undang – Undang Pidana Khusus ) karangan Ermansjah Djaja. PT.Sinar Grafika : Jakarta. 2009.

Kamus Umum Bahasa Indonesia. PT.Balai Pustaka : Jakarta karangan , W.J.S. Poerwardarminta.

5. Putusan – Putusan :

Putusan No. 2240/Pid.B/2007/PN.MDN

Putusan Mahkamah Agung No. 68K/PID.SUS/2008 6. Keputusan

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.805/Kpts-VI/1999 7. Internet :

www.google.com

http://komisi yudisial.go.id