Permasalahan Tindak Pidana Asal Predicat

(1)

PERMASALAHAN TINDAK PIDANA ASAL (PREDICATE OFFENCE) DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK

PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

Muhammad Rizal Rachman

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jember Jl. Gajah Mada IV No. 18/34 Jember.Telp. 0823 3001 8989

[email protected]

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Semakin berkembang teknologi, maka semakin berkembang pula jenis-jenis kejahatan. Dahulu kita hanya mengenal kejahatan tradisional seperti pencurian, pembunuhan dan lainnya yang telah dikriminalisasi dengan berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tapi sekarang kita mengenal sebuah fenomena kejahatan baru, seperti tindak pidana korupsi, perdagangan narkotika dan psikotropika, penyuapan, dan terorisme. Misalnya saja tindak pidana korupsi, kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat negara yang mempunyai jabatan pemerintahan ini sering juga disebut kejahatan krah putih (white collar crime). Kejahatan yang hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Tak tanggung-tanggung, para koruptor mencuri uang negara hingga milyaran atau bahkan triliunan rupiah. Uang yang tidak sedikit bila digunakan untuk bantuan sarana pendidikan, kesehatan dan perluasan lapangan pekerjaan.

Harta kekayaan yang berasal dari kejahatan atau tindak pidana tersebut biasanya tidak langsung dibelanjakan atau digunakan oleh para pelaku kejahatan karena apabila langsung digunakan, akan mudah dilacak oleh penegak hukum mengenai sumber diperolehnya harta kekayaan tersebut. Biasanya para pelaku kejahatan terlebih dahulu mengupayakan agar harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut masuk ke dalam sistem keuangan, terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan cara demikian, asal usul harta kekayaan tersebut diharapkan tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Apalagi didukung oleh pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan


(2)

tekhnologi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan dengan menawarkan mekanisme lalu lintas dana dalam skala nasional maupun internasional dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Keadaan demikian dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana yang diperoleh dari hasil illegal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.

Tindak pidana pencucian uang merupakan hasil tindak pidana yang berupa harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dan beberapa tindak pidana lainnya. Ini mengindikasikan bahwa tindak pidana pencucian uang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan tindak pidana yang lainnya termasuk di dalamnya korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate crime). Semua harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil kejahatan yang disembunyikan atau disamarkan merupakan pidana pencucian uang.

Baru-baru ini, masyarakat dihebohkan dengan kasus korupsi atau penyuapan mulai dari Ahmad Fathanah, Djoko Susilo dan kasus terbaru M. Akil Mochtar yang ternyata juga melakukan praktik pencucian uang. Modusnya beragam, mulai dari mentransfer ke rekening anggota keluarganya, membuat perusahaan gadungan, membeli mobil-mobil atau barang mewah, membagi-bagikan ke koleganya dan lain-lain. Dimana kejahatan pencucian uang itu tidak dapat berdiri sendiri, sebab praktik pencucian uang itu adalah kegiatan menyamarkan uang hasil kejahatan asalnya. Jadi tepat sekali pendapat bahwa tidak akan ada money laundering kalau tidak ada kejahatan yang menghasilkan uang/harta kekayaan (“no crime no money laundering”).

Tindak pidana asal dalam pencucian uang semakin diperluas kategorinya di dalam Undang-undang, sebab dengan modus-modus operandi yang berbeda-beda mengakibatkan aparat penegak hukum semakin sulit memberantas kejahatan yang merupakan nadi dari kejahatan terorganisir ini. Maka dari itu, berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik menulis sebuah makalah dengan judul “PERMASALAHAN TINDAK PIDANA ASAL (PREDICATE OFFENCE) DALAM UPAYA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)”.


(3)

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang?

2. Permasalahan apa saja yang terkait dengan tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang (money laundering)?

BAB II PEMBAHASAN

2.1.Pengertian dan Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

Hingga saat ini belum dirumuskan suatu defenisi universal dan komprehensif mengenai terminologi Pencucian uang (money laundering), meskipun demikian berbagai defenisi secara substansial tetap mengarah pada praktek penyamaran uang hasil berbagai tindakan kriminal (dirty money) melalui metode, modus, ataupun proses tertentu sehingga uang tersebut terkesan diperoleh secara legal.

Menurut Welling, pencucian uang adalah proses penyembunyian keberadaan, sumber tidak sah, atau aplikasi pendapatan tidak sah, sehingga pendapatan itu menjadi sah. Sedangkan menurut Fraser, pencucian uang adalah sebuah proses yang sungguh sederhana dimana uang kotor (dirty money) diproses atau dicuci melalui sumber yang sah dan bersih sehingga orang dapat menikmati keuntungan tidak halal itu dengan aman.

Secara yuridis pengertian dari pencucian uang diantaranya dari FATF (The Financial Action Task Force on Money Laundering): “Money Laundering is the processing of these criminal proceeds to disguiese their illegal origin” yaitu proses menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil kejahatan.1 Sedangkan di dalam UU No. 8 tahun 2010 tindak pidana pencucian uang didefinisikan sebagai perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, meng-hibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah/legal.

Pada dasarnya praktek pencucian uang telah dilakukan sejak lama. Paling tidak hal itu sebagaimana dilakukan oleh para Bangsawan Perancis. Pada abad 1

Arief Amrullah, M., 2004.Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, Jember: Bayumedia


(4)

XVII membawa harta kekayaan ke Swiss, pihak Perancis menyatakan mereka membawa dana pelarian dan para Bangsawan termasuk para pedagang kemudian menyem-bunyikannya di Swiss dengan dibantu pihak Swiss dan selanjutnya dapat digunakan dengan aman. Demikian juga harta yang dibawa oleh bangsa Yahudi dari Jerman ke Swiss pada masa Adolf Hitler.

Terminologi “Pencucian Uang” itu sendiri menurut Billy Steel berasal dari bisnisLaundromats(mesin cuci otomatis) milik Mafia di Amerika Serikat. Para gangster di sana telah memperoleh penghasilan yang besar dari pemerasan, pelacuran, judi dan penyelundupan minuman keras.2 Mereka menginginkan agar uang yang mereka peroleh tersebut terlihat sebagai uang yang halal. Salah satu caranya adalah dengan membeli atau mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang bisnis halal dan mencampurkan uang hasil dari kejahatan mereka dengan uang hasil dari bisnis halal mereka tersebut. Laundromats dipilih oleh para gangster ini sebab usaha Laundromats dilakukan dengan menggunakan uang tunai dan pasti menguntungkan sebagaimana yang dilakukan oleh Al Capone.

Walaupun Al Capone telah dituntut dan dihukum dengan pidana penjara selama sebelas tahun di penjara Alcatraz pada bulan Oktober 1931, namun itu semua lebih karena ia dinyatakan bersalah telah melakukan penggelapan pajak daripada membuktikannya bersalah terhadap kejahatan asal (predicate crime) seperti pembunuhan, pemerasan, atau penjualan minuman keras tanpa izin yang telah menghasilkan banyak harta kekayaan tidak sah.

Orang yang paling berpengaruh terhadap kesuksesan Alcapone dalam mengorganisir kejahatannya adalah Meyer Lansky, yang lebih dikenal sebagai seorang pembunuh bayaran dan pendiri “Murder Incorporated”. Lansky juga merupakan konsultan keuangan Alcapone sehingga digelari “the Mob’s Accountant”. Lansky tahu benar bagaimana cara menata hubungan yang baik antara kejahatan terorganisir, perusahaan, dan politik. Salah satu mitra kerja Lansky adalah gangster Yahudi di Newyork bernama Arnold “The Big Bankroll” Rothstein. Lansky banyak belajar dari Rothstein yang memiliki kedekatan secara politik dengan berbagai pejabat pemerintahan yang korup dengan tujuan untuk melindungi kejahatan terorganisirnya. Dengan kondisi yang

2


(5)

mendukung tersebut, Lansky sengaja mendirikan perusahaan illegal (front company) yang sekaligus dijadikan sebagai sarana pencucian uang. Teman dekat Lansky yang lain adalah Benyamin “Bugsy” Siegel, terkenal dengan prestasinya mendirikan perjudian di Las Vegas dengan dukungan keuangan dari Lansky.

Meyer Lansky menyembunyikan uang hasil kejahatannya dengan meman-faatkan beberapa rekening di bank Swiss yang terkenal menganut sistem kerahasiaan bank yang sangat ketat. Dengan fasilitas Bank Swiss, Lansky bisa memanfaatkan ‘fasilitas perolehan kredit’ untuk menyamarkan uang haram miliknya sehingga seolah-olah merupakan ’perolehan kredit’ dari bank-bak asing yang diperlakukan sebagai ‘pendapatan’ jika perlu. Hal ini dilakukan untuk menghindari kewajiban pajak. Tujuan dari keseluruhan upaya yang dilakukan tersebut di atas adalah untuk mencuci uang senilai ratusan juta dollar. Kegiatan ini dilakukan Meyer Lansky selama hidupnya hingga akhirnya meninggal dunia pada tahun 1983. Dia terbebas dari tuntutan melakukan penggelapan pajak dan tindak pidana terkait lainnya, dan tidak pernah dipenjara atas tindakannya melakukan pencucian uang.3

Pada saat itu masyarakat internasional belum memiliki perangkat hukum internasional yang dapat dijadikan dasar untuk memerangi kejahatan money launderingsecara sporadis.

Seiring dengan kemajuan teknologi yang menunjang sistem transmisi keuangan dan perbankan, maka praktek pencucian uang semakin marak dan terorganisir hingga tingkat yang menghawatirkan.

Pemikiran tentang berbahayanya praktik pencucian uang dan strategi pemberantasannya, sebetulnya diawali dengan kegagalan internasional dalam upaya pemberantasan peredaran gelap obat bius dengan segala jenisnya. Sebenarnya di sinilah merupakan awal ispirasi yang pada akhirnya melahirkan istilah money laundering pada tahun 1986 (USA) dan kemudian dipakai secara international. Namun sebenarnya istilah money laundering dalam artian hukum digunakan pertama kali oleh Pengadilan Amerika berkaitan dengan putusan tentang penyitaan atas hasil kejahatan narkotika yang dilakukan oleh warga Columbia Kekhawatiran internasional terhadap narkotika dan pencucian uang

3Ibid,


(6)

melahirkan suatu kesepakatan yang disebut sebagai International Legal Regime to Combat Money Launderingdan bahkan ada kecenderungan bahwa pencucian uang dilakukan dengan sangat rumit. Selanjutnya pencucian uang semakin berkembang dan bukan hanya yang berasal dari kejahatan obat bius saja tetapi juga berbagai kejahatan termasuk kejahatan terorganisasi (organized crimes). Dalam kaitannya bahwa pencucian uang merupakan tindak pidana dibidang ekonomi (economic crimes), yang pada intinya memberikan gambaran terdapat hubungan langsung bahwa gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu mempertimbangkan pula adanya fenomena bahwa kejahatan pencucian uang bukan permasalahan nasional semata tetapi berdimensi regional maupun internasional (transnasional), sehingga sangat penting untuk ditempatkan pada suatu sentral pengaturan. Hampir semua kejahatan ekonomi dilakukan dengan motivasi mendapatkan keuntungan, maka salah satu cara untuk membuat pelaku jera atau mengurangi tindak pidana yaitu dengan memburu hasil kejahatan agar pelaku tidak dapat menikmatinya dan akhirnya diharapkan motivasi untuk melakukan kejahatan juga sirna: “…this was ineffective and thus asset forfeiture was viewed as the key to combating such crime. If the criminal is prevented from enjoying the fruits of his labor than these motivations for committing a crime that also disappears.”

Berkembangnya modus dalam praktik pencucian uang serta meningkatnya jumlah uang yang diproses ilegal ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dalam segala aspek kehidupan. Globalisasi tidak saja memacu aktifitas ekonomi transnasional secara sah, tetapi juga memicu aktifitas ekonomi yang ilegal., uang tidak lagi dapat diraba tetapi hanya dapat dilihat dalam bentuk data.

Alasan mengapa pencucian uang harus diberantas antara lain dari aspek kerugian yang ditimbulkan dan dampaknya pada perkembangan organized crimes. Selain itu pada United Nations Congress on The Prevention of Crime and Treatmen of Offenders, Cairo 1995, jelas ditegaskan bahwa terdapat 17 kejahatan serius yang harus diwaspadai dan pencucian uang dikatagorikan sebagai yang paling berbahaya. Selain itu ditengarai adanya aliran dana sindikat kejahatan yang mempengaruhi perkembangan perbankan dan pasar modal internasional dalam satu dekade terakhir sehingga mendorong untuk


(7)

dilakukannya kebijakan internasional dalam pemberantasan pencucian uang. Kejahatan ini merupakan kejahatan keuangan yang bersifat lintas batas yang seringkali menggunakan teknologi tinggi yang mutakhir dan dampaknya sangat merugikan keuangan nasional maupun global.4 Bagi pelaku, praktik pencucian uang dipandang sebagai suatu aktifitas ekonomi ilegal dan sangat menguntungkan serta hanya melibatkan orang tertentu dan transaksi tertentu yang biasanya tidak meninggalkan bukti fisik serta tidak menimbulkan korban individu .

Pada akhirnya ditangkap suatu makna bahwa tidak mudah untuk memberantas kejahatan pencucian uang, karena ciri dari kejahatan ini yang sulit dilacak (untraceable crime), tidak ada bukti tertulis (paperless crime), tidak kasat mata (discernible crimes) selain itu dilakukan dengan cara yang rumit (inticrate crimes), karena didukung oleh teknologi yang canggih yang pada akhirnya menjadikan kejahatan pencucian uang bersifatsophisticated crimes.

2.2. Tindak Pidana Asal (Predicate Offence) dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

a. Pengertian dan Kriteria Tindak Pidana Asal (Predicate Offence) dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

Sejak RUU Tindak Pidana Pencucian Uang ini diseminarkan pada tahun 2000, muncul masalah asal-usul harta kekayaan yang dicuci, yaitu berasal dari semua jenis tindak pidana atau berasal dari tindak pidana tertentu. Jadi, sebenarnya ada masalah mengenai “Predicate Offence” (yaitu delik-delik yang menghasilkan “criminal proceeds” atau “hasil kejahatan”kemudian dicuci).5

Tindak pidana asal intinya adalah suatu tindak pidana tertentu yang hasilnya bermuara kepada tindak pidana pencucian uang. Karena telah diketahui bahwa pasal terhadap tindak pidana pencucian uang itu tidak dapat berdiri sendiri, karena harus ada kejahatan atau tindak pidana asal yang kemudian hasil kejahatan itu dicuci.

4

Meliala, Adrianus,Menyingkap Kejahatan Krah Putih, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1995, hlm. 19

5

Nawawi Arief, Barda,Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: PT Citra Aditya Bakti. 2002 hlm. 176


(8)

Awalnya, UU No. 15 tahun 2002 ini mengambil sikap bahwa tindak pidana asal dalam undang-undang dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 2 Bab Ketentuan Umum yang terdiri dari 15 tindak pidana. Dengan dibatasinya kategori tindak pidana asal dalam undang-undang tersebut maka akan terjadi persoalan yaitu diantaranya adalah kriteria apa yang digunakan untuk menentukan tindak pidana asal itu? Perlu kita ingat kembali bahwa Indonesia berusaha untuk keluar dari NCCs (non-cooperative countries) harus segera membuat ketentuan yang mengatur tentang pencucian uang. Dengan desakan dari FATF (TheFinancial Action Task Force on Money Laundering), mungkin dengan tergesa-gesa membuat suatu aturan secara kilat yang mengkriminalisasikan tindak pidana pencucian uang tanpa melihat kriteria-kriteria apa yang seharusnya masuk sebagai kategori kejahatan asal dari tindak pidana pencucian uang. Bila Indonesia tidak segera melakukan formalisasi hukum (dan kriminalisasinya) guna mencegah praktik pencucian uang (money laudering), maka jangan heran bila Indonesia akan masuk kedalam deretan surga keuangan (money heaven).6

Dari berbagai sumber, memang terdapat bermacam-macam variasi “predicate offence”. Namun, untuk menentukan kebijakan sebaiknya ada kriteria atau rambu-rambu yang cukup rasional. Stephen R. Kroll misalnya pernah mengemukakan kriteria/rambu-rambu untuk menetapkan “money laundering predicate offenses” yaitu sebagai berikut:

1. Kejahatan (tindak pidana) adalah kejahatan yang menyebabkan timbulnya uang/dana itu.

2. Kejahatan (tindak pidana) itu berhubungan dengan perdagangan narkoba. 3. Kejahatan (tindak pidana) itu melibatkan pelanggaran-pelanggaran serius

terhadap tatanan internasional yang memerlukan transfer uang yang banyak (seperti perdagangan senjata dan terorisme).

4. Kejahatan berhubungan dengan “organized criminal enterprises/activities

6


(9)

5. Kejahatan itu menyerang secara serius kredibilitas bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.7

Kriteria diatas hanya sekedar contoh,. kriteria lain dapat misalkan diorientasikan pada:

1. Delik-delik yang bersifat transnasional/internasional;

2. Delik-delik yang sangat mengganggu sistem perekonomian/moneter, baik nasional maupun internasional; atau

3. Batas maksimum ancaman pidana untuk delik-delik serius tertentu.

Akhirnya, patut dikemukakan bahwa kebijakan menentukan kriteria itu pun tentunya sangat bergantung pada tujuan/strategi kebijakan kriminal dan kebijakan pembangunan nasional. Bahkan, terkait dengan kebijakan global karena ketidak-samaan “predicate offence” di antara berbagai negara dapat menghambat kerjasama internasional maupun regional dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai “transnational crime”.

Seiring berkembangnya waktu, kategori tindak pidana asal dalam pencucian uang semakin diperluas dengan berlakunya UU No. 25 tahun 2003 dan terakhir di berlaku-kannya UU No. 8 tahun 2010. Namun, masih juga banyak jenis atau kategori lainnya yang belum termasuk di dalam jenis tindak pidana asal, antara lain kejahatan transnasional lainnya, cyber crime, pembajakan kapal atau pesawat, dan perbuatan lain yang termasuk tindak pidana di Negara lain.

b. Perihal Pembuktian Tindak Pidana Asal dalam TPPU

Dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, perlu pemberantan pula dari tindak pidana asal karena keduanya saling berkaitan satu sama lainnya. Kalau memerhatikan unsur-unsur delik dalam pencucian uang, bahwa harus dibuktikan terdakwa mengetahuinya atau patut diduganya harta kekayaan itu merupakan hasil dari suatu kejahatan/tindak pidana. Jadi, yang harus dibuktikan adalah unsur subjektifnya (sikap batin jahat/kesalahannya) bukan unsur objektifnya yaitu bukan dengan membuktikan apakah kejahatan itu telah terjadi atau belum.

Dalam tindak pidana pencucian uang, jika sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana pencucian uang maka tidak perlu

7


(10)

membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal demikian sama dengan pembuktian dalam tindak pidana “Penadahan” (di dalam Pasal 480 KUHP juga mengandung unsur “yang diketahuinya atau patut di duganya bahwa diperoleh dari kejahatan).8

Sebagaimana kita ketahui, pengaturan terhadap pembuktian tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian telah diatur di dalam Pasal 69 UU No. 8 tahun 2010 yang menyatakan: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Menurut bapak Halif, S.H., M.H. Pasal 69 tersebut adalah pasal yang kontradiktif. Karena jika di dalam penuntutan dan persidangan ternyata tidak ditemukan tindak pidana asalnya, maka tidak dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana pencucian uang. Namun, dalam penyidikan dimungkinkan untuk tidak lebih dahulu tindak pidana asalnya yang dipertegas dengan adanya Pasal 75 UU No. 8 tahun 2010. Jika kita kembali lagi pada rumusan dari tindak pidana pencucian uang itu sendiri berdasarkan Pasal 1 ke-1 bahwa pengertian tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuia dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Berarti dalam pasal tersebut, tidak boleh menyidik atau menuntut atau bahkan memeriksa sebelum dibukikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Predicate Offence).

Tindak pidana asal dalam pencucian uang tidak terbatas pada wilayah dimana tindak pidana asal itu dilakukan. Pernyataan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf z UU No. 8 tahun 2010. Ketentuan demikian tertuang dalam Pasal 6 ayat (2) Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure, and Confiscation of the Proceeds from Crime yang menegaskan bahwa “tidak menjadi masalah apakah ‘predicate offence’ itu termasuk dalam yurisdiksi kriminal dari Negara/pihak yang bersang-kutan”. Demikian pula dalam “The

1991 European Communities Directive” ditegaskan bahwa tetap dianggap ada

money laundering sekalipun aktivitas kejahatan yang menyebabkan timbulnya harta kekayaan yang di cuci itu dilakukan di wilayah Negara lain. Dari ketentuan diatas maka timbul suatu pertanyaan, yaitu bagaimana jika suatu tindak pidana

8


(11)

asal itu dilegalkan oleh suatu negara? Seperti halnya di Las Vegas dan Macau

suatu judi itu dilegalkan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kembali kepada asas hukum pidana yaitu Asas Perlindungan atau Asas Nasional Aktif sesuai dengan Pasal 4 KUHP bahwa ketentuan peraturan perudang-undangan Indo-nesia berlaku bagi setiap orang (warga negara) yang melakukan diluar wilayah Indonesia. Hal ini berarti bahwa meskipun di dalam suatu Negara tindak pidana itu di-legalkan tapi di Indonesia di larang, maka orang atau Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tersebut dapat dipidana sesuai dengan aturan di Indonesia.

Masalah pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang sangatlah sulit. Dikarenakan kejahatan ini menggunakan suatu metode atau tahapan yang sulit dilacak. Tahapan tersebut antara lain Placement (penempatan) kemudian

Layering (pelapisan) dan kemudian Integration (penyatuan) yang dilakukan menggunakan sistem keuangan khususnya perbankan.9Maka dari itu, untuk alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang ditambah dengan alat bukti lain yaitu be-rupa informasi yang diucapkan, dikrimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik/alat yang serupa optik dan dokumen (Pasal 73 huruf b).

c. Perbandingan Perumusan Tindak Pidana Pencucian Uang di berbagai Negara

Berkembangnya teknologi membawa konsekuensi pada perkembangan kejahatan. Baik kejahatan biasa (ordinary crime) maupun kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan dapat didefinisikan berbeda antara Negara yang satu dengan Negara yang lainnya. Perbedaan itu terkait dengan nilai-nilai sosial yang berkembang pada suatu wilayah, aspek budaya yang sangat kental dengan identitas suatu masyarakat, dan faktor struktural yang berlaku pada suatu wilayah tertentu. Hal tersebut sangat cocok ketika meneliti kejahatan menggunakan pendekatan Sobural yang dikemukakan oleh Prof. Sahetapy. Perbedaan jenis-jenis tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang dari tiap negara dikarenakan pengambilan kebijakan yang berbeda dari tiap-tiap negara. Kebijakan formulasi “predicate offence” yang sangat limitatif dan

9


(12)

normatif menurut pasal 2 UU PPTPPU juga dijumpai di negara ASEAN lainnya (antara lain di Filipina, Myanmar, dan Malaysia) walaupun dengan formulasi yang berbeda-beda.10

Malaysia di dalam Undang-Undang Nomor 613 “Anti-Money Laundering Act 2001” khususnya Pasal 3 dan 4 Bab Aturan Umum (Part I “Preliminary) dinyatakan bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang berasal dari “unlawful activity” (setiap aktivitas yang berhubungan dengan “serious offence” atau “foreign serious offence”). Kejahatan asal (serious offence) dikategorikan sebanyak 119 tindak pidana yang ada di dalam “the second schedule”. Diancam dengan pidana denda maksimal 5 juta ringgit atau penjara maksimal 5 tahun ataupun kedua-duanya dapat diterapkan secara bersama-sama.

Contoh lainnya seperti Filipina (“Anti-Money Laundering Act of 2001, Number 9160”) yang di ubah denganRepublic Act Number 9194.Menurut pasal 4, tindak pidana pencucian uang berasal dari “unlawful activity”. “Unlawful activity” dijelaskan dalam pengertian/definisi pasal 3 (i) AMLA 2001 yaitu menunjuk pada 14 kelompok tindak pidana yang kemudian dirinci lagi dalam Rule 3.i. undang-undang pelaksanaannya (“Implementing Rules and Regulation Republic Act Number 9160 Anti-Money Laudering Act of 2001”) menjadi 114 macam tindak pidana. Dalam penjatuhan pidananya tergantung pada tiap sub pasal 4 dengan pidana terberat pidana penjara 7-14 tahun dan denda kurang lebih antara 3 juta Philippine Pesos.

Satu lagi yaitu Myanmar (“The Control of Money Laundering Law” Number 6/2002”) teaptnya dalam pasal 3 tentang definisi dinyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang berasal dari delik-delik yang disebut di dalam pasal 5 sub (a) dan (b). Pasal 5 sub (a) menyebut secara limitatif 10 jenis/kelompok tindak pidanayang merupakan “predicate offence”. Pasal 5 sub (b) menyatakan bahwa undang-undang ini berlaku juga untuk “transnational offences” terhadap tindak pidana dalam sub (a).

Di Indonesia ketentuan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang (money laundering) terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 yang terdiri dari 25 jenis tindak pidana dan ditambah 1 aturan umum dari kejahatan

10


(13)

asal lainnya yaitu tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah NKRI atau diluar wilayah NKRI dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Namun permasalahan dalam perumusan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang itu adalah jenis-jenis tindak pidana asal yang bersifat limitatif. Karena ketentuan tindak pidana pencucian uang di Indonesia tidak mengatur secara spesifik mengenai kejahatan transnasional seperti pembajakan di laut/udara, penjarahan, cyber crime dan lain-lain. Inilah salah satu kelemahan dari UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU).

Yang cukup menarik dari formulasi di atas adalah perumusan limitatif yang fleksibel di Myanmar seperti terlihat dari perumusan Pasal 5 sub (a) ke-10 di atas. Dengan adanya ketentuan seperti itu, pemerintah dapat membuat peng-umuman dari waktu ke waktu untuk menetapkan atau menambah jenis-jenis “predicate offence” untuk tindak pidana pencucian uang.11 Dilihat dari kerjasama ASEAN dalam menghadapi tindak pidana pencucian uang, maka perumusan “predicate offence” di berbagai negara ASEAN yang limitatif (terbatas), tetapi “berbeda jenis tindak pidananya” itu dapat menimbulkan masalah.

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Tindak Pidana Pencucian Uang adalah kejahatan yang bersifat ganda dan lan-jutan (follow the crime). Sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai “predicate offence”, “core crime” ataupun “unlawful activity” yaitu kejahatan yang menghasilkan uang untuk kemudian diproses melalui pencucian. Oleh karena itu, tidak mungkin dikatakan tindak pidana pencucian uang jika tidak ada tindak pidana/kejahatan asalnya.

Tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia diatur di dalam pasal 2 Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pecucian Uang. Dimana perumusan kategori tindak pidana asal bersifat

11Ibid


(14)

limitatif (terbatas) karena hanya mengatur jenis pidana yang berasal dari tindak pidana yang dilakukan di dalam maupun diluar wilayah Indonesia, namun tidak mengatur secara spesifik jenis/kategori tindak pidana asal yang merupakan kejahatan internasional seperti pembajakan di laut/udara dan kejahatan baru seperticyber crime. Salah satu permasalahan yang perlu dikaji kembali sebagai masukan dalam upaya pencegahan maupun pemberantasan tindak pidana pencucian uang khususnya di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief Amrullah, M., Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), Jember: Bayumedia, 2004.

Nawawi Arief, Barda,Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: PT Citra Aditya Bakti, 2009.

Meliala, Adrianus,Menyingkap Kejahatan Krah Putih (“White Collar Crime”), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Darwin, Philips,Money Laundering, Jakarta: Sinar Ilmu, 2012.

Perundang-undangan:

UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

UU No. 25 Tahun 2003 Perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)


(1)

5. Kejahatan itu menyerang secara serius kredibilitas bank dan lembaga-lembaga keuangan lainnya.7

Kriteria diatas hanya sekedar contoh,. kriteria lain dapat misalkan diorientasikan pada:

1. Delik-delik yang bersifat transnasional/internasional;

2. Delik-delik yang sangat mengganggu sistem perekonomian/moneter, baik nasional maupun internasional; atau

3. Batas maksimum ancaman pidana untuk delik-delik serius tertentu.

Akhirnya, patut dikemukakan bahwa kebijakan menentukan kriteria itu pun tentunya sangat bergantung pada tujuan/strategi kebijakan kriminal dan kebijakan pembangunan nasional. Bahkan, terkait dengan kebijakan global karena ketidak-samaan “predicate offence” di antara berbagai negara dapat menghambat kerjasama internasional maupun regional dalam upaya pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai “transnational crime”.

Seiring berkembangnya waktu, kategori tindak pidana asal dalam pencucian uang semakin diperluas dengan berlakunya UU No. 25 tahun 2003 dan terakhir di berlaku-kannya UU No. 8 tahun 2010. Namun, masih juga banyak jenis atau kategori lainnya yang belum termasuk di dalam jenis tindak pidana asal, antara lain kejahatan transnasional lainnya, cyber crime, pembajakan kapal atau pesawat, dan perbuatan lain yang termasuk tindak pidana di Negara lain.

b. Perihal Pembuktian Tindak Pidana Asal dalam TPPU

Dalam rangka pemberantasan tindak pidana pencucian uang, perlu pemberantan pula dari tindak pidana asal karena keduanya saling berkaitan satu sama lainnya. Kalau memerhatikan unsur-unsur delik dalam pencucian uang, bahwa harus dibuktikan terdakwa mengetahuinya atau patut diduganya harta kekayaan itu merupakan hasil dari suatu kejahatan/tindak pidana. Jadi, yang harus dibuktikan adalah unsur subjektifnya (sikap batin jahat/kesalahannya) bukan unsur objektifnya yaitu bukan dengan membuktikan apakah kejahatan itu telah terjadi atau belum.

Dalam tindak pidana pencucian uang, jika sudah terdapat bukti permulaan yang cukup atas terjadinya tindak pidana pencucian uang maka tidak perlu


(2)

membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Hal demikian sama dengan pembuktian dalam tindak pidana “Penadahan” (di dalam Pasal 480 KUHP juga mengandung unsur “yang diketahuinya atau patut di duganya bahwa diperoleh dari kejahatan).8

Sebagaimana kita ketahui, pengaturan terhadap pembuktian tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian telah diatur di dalam Pasal 69 UU No. 8 tahun 2010 yang menyatakan: “untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya”. Menurut bapak Halif, S.H., M.H. Pasal 69 tersebut adalah pasal yang kontradiktif. Karena jika di dalam penuntutan dan persidangan ternyata tidak ditemukan tindak pidana asalnya, maka tidak dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana pencucian uang. Namun, dalam penyidikan dimungkinkan untuk tidak lebih dahulu tindak pidana asalnya yang dipertegas dengan adanya Pasal 75 UU No. 8 tahun 2010. Jika kita kembali lagi pada rumusan dari tindak pidana pencucian uang itu sendiri berdasarkan Pasal 1 ke-1 bahwa pengertian tindak pidana pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuia dengan ketentuan dalam Undang-undang ini. Berarti dalam pasal tersebut, tidak boleh menyidik atau menuntut atau bahkan memeriksa sebelum dibukikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (Predicate Offence).

Tindak pidana asal dalam pencucian uang tidak terbatas pada wilayah dimana tindak pidana asal itu dilakukan. Pernyataan ini sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf z UU No. 8 tahun 2010. Ketentuan demikian tertuang dalam Pasal 6 ayat (2) Council of Europe Convention on Laundering, Search, Seizure, and Confiscation of the Proceeds from Crime yang menegaskan bahwa “tidak menjadi masalah apakah ‘predicate offence’ itu termasuk dalam yurisdiksi kriminal dari Negara/pihak yang bersang-kutan”. Demikian pula dalam “The 1991 European Communities Directive” ditegaskan bahwa tetap dianggap ada money laundering sekalipun aktivitas kejahatan yang menyebabkan timbulnya harta kekayaan yang di cuci itu dilakukan di wilayah Negara lain. Dari ketentuan diatas maka timbul suatu pertanyaan, yaitu bagaimana jika suatu tindak pidana

8


(3)

asal itu dilegalkan oleh suatu negara? Seperti halnya di Las Vegas dan Macau suatu judi itu dilegalkan. Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu kembali kepada asas hukum pidana yaitu Asas Perlindungan atau Asas Nasional Aktif sesuai dengan Pasal 4 KUHP bahwa ketentuan peraturan perudang-undangan Indo-nesia berlaku bagi setiap orang (warga negara) yang melakukan diluar wilayah Indonesia. Hal ini berarti bahwa meskipun di dalam suatu Negara tindak pidana itu di-legalkan tapi di Indonesia di larang, maka orang atau Warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana tersebut dapat dipidana sesuai dengan aturan di Indonesia.

Masalah pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang sangatlah sulit. Dikarenakan kejahatan ini menggunakan suatu metode atau tahapan yang sulit dilacak. Tahapan tersebut antara lain Placement (penempatan) kemudian Layering (pelapisan) dan kemudian Integration (penyatuan) yang dilakukan menggunakan sistem keuangan khususnya perbankan.9Maka dari itu, untuk alat bukti dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang ditambah dengan alat bukti lain yaitu be-rupa informasi yang diucapkan, dikrimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik/alat yang serupa optik dan dokumen (Pasal 73 huruf b).

c. Perbandingan Perumusan Tindak Pidana Pencucian Uang di berbagai Negara

Berkembangnya teknologi membawa konsekuensi pada perkembangan kejahatan. Baik kejahatan biasa (ordinary crime) maupun kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan dapat didefinisikan berbeda antara Negara yang satu dengan Negara yang lainnya. Perbedaan itu terkait dengan nilai-nilai sosial yang berkembang pada suatu wilayah, aspek budaya yang sangat kental dengan identitas suatu masyarakat, dan faktor struktural yang berlaku pada suatu wilayah tertentu. Hal tersebut sangat cocok ketika meneliti kejahatan menggunakan pendekatan Sobural yang dikemukakan oleh Prof. Sahetapy. Perbedaan jenis-jenis tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang dari tiap negara dikarenakan pengambilan kebijakan yang berbeda dari tiap-tiap negara. Kebijakan formulasi “predicate offence” yang sangat limitatif dan


(4)

normatif menurut pasal 2 UU PPTPPU juga dijumpai di negara ASEAN lainnya (antara lain di Filipina, Myanmar, dan Malaysia) walaupun dengan formulasi yang berbeda-beda.10

Malaysia di dalam Undang-Undang Nomor 613 “Anti-Money Laundering Act 2001” khususnya Pasal 3 dan 4 Bab Aturan Umum (Part I “Preliminary) dinyatakan bahwa Tindak Pidana Pencucian Uang berasal dari “unlawful activity” (setiap aktivitas yang berhubungan dengan “serious offence” atau “foreign serious offence”). Kejahatan asal (serious offence) dikategorikan sebanyak 119 tindak pidana yang ada di dalam “the second schedule”. Diancam dengan pidana denda maksimal 5 juta ringgit atau penjara maksimal 5 tahun ataupun kedua-duanya dapat diterapkan secara bersama-sama.

Contoh lainnya seperti Filipina (“Anti-Money Laundering Act of 2001,

Number 9160”) yang di ubah denganRepublic Act Number 9194.Menurut pasal 4, tindak pidana pencucian uang berasal dari “unlawful activity”. “Unlawful activity” dijelaskan dalam pengertian/definisi pasal 3 (i) AMLA 2001 yaitu menunjuk pada 14 kelompok tindak pidana yang kemudian dirinci lagi dalam Rule 3.i. undang-undang pelaksanaannya (“Implementing Rules and Regulation Republic Act Number 9160 Anti-Money Laudering Act of 2001”) menjadi 114 macam tindak pidana. Dalam penjatuhan pidananya tergantung pada tiap sub pasal 4 dengan pidana terberat pidana penjara 7-14 tahun dan denda kurang lebih antara 3 juta Philippine Pesos.

Satu lagi yaitu Myanmar (“The Control of Money Laundering Law” Number

6/2002”) teaptnya dalam pasal 3 tentang definisi dinyatakan bahwa tindak pidana pencucian uang berasal dari delik-delik yang disebut di dalam pasal 5 sub (a) dan (b). Pasal 5 sub (a) menyebut secara limitatif 10 jenis/kelompok tindak pidanayang merupakan “predicate offence”. Pasal 5 sub (b) menyatakan bahwa undang-undang ini berlaku juga untuk “transnational offences” terhadap tindak pidana dalam sub (a).

Di Indonesia ketentuan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang (money laundering) terdapat dalam pasal 2 ayat (1) UU No. 8 tahun 2010 yang terdiri dari 25 jenis tindak pidana dan ditambah 1 aturan umum dari kejahatan

10


(5)

asal lainnya yaitu tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah NKRI atau diluar wilayah NKRI dan tindak pidana tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Namun permasalahan dalam perumusan tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang itu adalah jenis-jenis tindak pidana asal yang bersifat limitatif. Karena ketentuan tindak pidana pencucian uang di Indonesia tidak mengatur secara spesifik mengenai kejahatan transnasional seperti pembajakan di laut/udara, penjarahan, cyber crime dan lain-lain. Inilah salah satu kelemahan dari UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU).

Yang cukup menarik dari formulasi di atas adalah perumusan limitatif yang fleksibel di Myanmar seperti terlihat dari perumusan Pasal 5 sub (a) ke-10 di atas. Dengan adanya ketentuan seperti itu, pemerintah dapat membuat peng-umuman dari waktu ke waktu untuk menetapkan atau menambah jenis-jenis “predicate offence” untuk tindak pidana pencucian uang.11 Dilihat dari kerjasama ASEAN dalam menghadapi tindak pidana pencucian uang, maka perumusan “predicate offence” di berbagai negara ASEAN yang limitatif (terbatas), tetapi “berbeda jenis tindak pidananya” itu dapat menimbulkan masalah.

BAB III PENUTUP Kesimpulan

Tindak Pidana Pencucian Uang adalah kejahatan yang bersifat ganda dan lan-jutan (follow the crime). Sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai “predicate offence”, “core crime” ataupun “unlawful activity” yaitu kejahatan yang menghasilkan uang untuk kemudian diproses melalui pencucian. Oleh karena itu, tidak mungkin dikatakan tindak pidana pencucian uang jika tidak ada tindak pidana/kejahatan asalnya.

Tindak pidana asal dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia diatur di dalam pasal 2 Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pecucian Uang. Dimana perumusan kategori tindak pidana asal bersifat


(6)

limitatif (terbatas) karena hanya mengatur jenis pidana yang berasal dari tindak pidana yang dilakukan di dalam maupun diluar wilayah Indonesia, namun tidak mengatur secara spesifik jenis/kategori tindak pidana asal yang merupakan kejahatan internasional seperti pembajakan di laut/udara dan kejahatan baru seperticyber crime. Salah satu permasalahan yang perlu dikaji kembali sebagai masukan dalam upaya pencegahan maupun pemberantasan tindak pidana pencucian uang khususnya di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Arief Amrullah, M., Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), Jember: Bayumedia, 2004.

Nawawi Arief, Barda,Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: PT Citra Aditya Bakti, 2009.

Meliala, Adrianus,Menyingkap Kejahatan Krah Putih (“White Collar Crime”), Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995.

Darwin, Philips,Money Laundering, Jakarta: Sinar Ilmu, 2012.

Perundang-undangan:

UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

UU No. 25 Tahun 2003 Perubahan terhadap UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PPTPPU)