1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pada era sekarang ini remaja telah terkontaminasi dengan perkembangan jaman dan teknologi. Perkembangan teknologi tidak berarah keperubahan yang
positif malah menjadikan remaja menuju ke hal-hal yang negatif yang membentuk pribadi dan motivasi belajar yang kurang baik bagi remaja.
Dalam belajar sangat diperlukan motivasi. Menurut beberapa ahli psikologi, pada diri seseorang terdapat penentuan tingkah laku, yang bekerja untuk
memengaruhi tingkah laku itu. Faktor penentu tersebut adalah motivasi atau daya penggerak tingkah laku manusia. Misalnya, seseorang berkemauan keras atau kuat
dalam belajar karena adanya harapan penghargaan atas prestasinya. Menurut Walgito 2004, motivasi merupakan keadaan dalam diri individu
atau organisme yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Dengan demikian motivasi merupakan kekuatan tersembunyi di dalam diri kita yang mendorong kita
untuk berkelakuan dan bertindak dengan cara yang khas sehingga kegiatan lebih terarah karena seseorang akan berusaha lebih semangat dan giat dalam berbuat
sesuatu. Ada 2 macam motivasi dalam belajar, yaitu motivasi ekstrinsik dan
motivasi intrinsik. Menurut Santrock 2007, motivasi ekstrinsik adalah melakukan sesuatu untuk mendapatkan segala sesuatu dengan cara yang lain cara
untuk mencapai tujuan. Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh intensif eksternal seperti imbalan, misalnya individu ingin belajar jika nanti diberi hadiah
2 oleh orang tuanya. Kemudian motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk
melakukan sesuatu itu sendiri tujuan itu sendiri, misalnya tanpa diberi hadiah oleh orang tuanya, individu akan sadar dan pasti belajar.
Dari pendapat Santrock 2007 tersebut kiranya sudah sangat jelas bahwa motivasi belajar itu ada yang bersifat intrinsik atau timbul dari dalam diri individu
itu sendiri dan ada juga yang bersifat ekstrinsik atau muncul karena ada dorongan dari pihak lain atau dari luar diri individu.
Pada masa remaja motivasi belajar merupakan elemen yang penting yang dapat berperan sebagai penggerak kegiatan, pendorong, pengarah dan sebagai
penyeleksi perbuatan dalam belajar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa apabila remaja tidak memiliki motivasi belajar, maka tidak akan terjadi kegiatan
belajar pada diri remaja tersebut. Selanjutnya, motivasi belajar dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut
Sardiman 2004 terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi belajar yaitu sikap, kebutuhan, rangsanga, afeksi, kompetensi, dan penguatan.
Di dalam proses belajar, sikap yang bisa menentukan arah keberhasilan dalam belajar seseorang. Sikap bisa berubah dan berkembang karena hasil dari
proses belajar. Dalam pembentukan sikap perlu adanya konsep diri yang baik guna menunjang motivasi belajar lebih meningkat.
Menurut Sunaryo dalam Aditi, 2012, konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual,
sosial, dan spiritual termasuk di dalamnya adalah persepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimilikinya, interaksi individu dengan orang lain maupun
3 lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, serta
tujuan, harapan, dan keinginannya. Konsep diri ada dua jenis, yakni: konsep diri positif dan konsep diri negatif, Tim MGBK dalam Aditi, 2012. Individu yang
memiliki konsep diri negatif meyakini dan memandang bahwa dirinya lemah, tidak berdaya, tidak dapat berbuat apa-apa, tidak kompeten, gagal, malang, tidak
menarik, tidak disukai dan kehilangan daya tarik terhadap hidup. Sedangkan, individu yang memiliki konsep diri positif akan bersikap
optimis, percaya diri sendiri dan selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu, juga terhadap kegagalan yang dialami. Sebagai contoh, seorang siswa yang
percaya bahwa dirinya memiliki kemampuan yang diperlukan untuk melakukan suatu tugas, akan termotivasi untuk melakukan tugas tersebut begitu juga
sebaliknya, jika seorang siswa yang memiliki konsep diri negatif, dia akan menganggap dirinya tidak mampu untuk melakukan suatu tugas sehingga dia
tidak mau melakukan tugas tersebut. Menurut Wong dalam Aditi, 2012, konsep diri tidak ada saat lahir tetapi
berkembang perlahan-lahan sebagai hasil pengalaman unik dengan diri sendiri, dengan orang lain dan dengan sesuatu yang nyata di lingkungan. Umumnya
remaja dengan usia 15 sampai 18 sudah dapat mempertimbangkan nilai-nilai yang mereka miliki dalam menentukan karir. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
oleh Ginzberg, et al. dalam Aditi, 2012 remaja madya yang berusia 15 sampai 18 tahun berada pada tahap tentatif.
Selama masa ini, remaja sudah dapat memperluas pandangannya mengenai pekerjaan, mereka lebih sadar akan faktor-faktor yang terlibat dalam perencanaan
4 karir,dan mengembangkan konsep diri yang lebih jelas dan tepat. Adanya
kebutuhan untuk menentukan masa depan menjadi lebih terasa sehingga mendorong remaja menjadi lebih cenderung melihat kemasa depan dan
mengantisipasi gaya hidup yang akan mereka jalani dimasa yang akan datang, Marliyah dkk. 2004.
Super dalam Marliyah, 2004 menyatakan bahwa konsep diri individu memainkan peranan yang sangat penting dalam pemilihan karir. Super percaya
bahwa sejumlah perubahan pengembangan dalam konsep diri terjadi pada masa remaja dan pada masa perkembangan menuju dewasa. Kemudian Super dalam
Marliyah, 2004 menyatakan bahwa pilihan pekerjaan adalah suatu implementasi konsep diri seseorang.
Ketika seorang individu mengekspresikan pilihan kerja, ia percaya bahwa mereka dapat menempatkan jenis orang yang mereka rasa sebagai diri mereka
sendiri pada terminologi pekerjaan. Pekerjaan yang terpilih berdasarkan konsep diri pekerjaan memainkan peran yang tepat atas konsep diri dan memungkinkan
seseorang mencapai aktualisasi diri, Marliyah dkk. 2004. Konsep diri yang dimiliki remaja tergantung pada cara remaja tersebut memandang dirinya.
Remaja yang memiliki konsep diri positif mempersepsikan, menilai, dan merasakan dirinya sendiri positif, sedangkan remaja yang memiliki konsep diri
negatif mempersepsikan, menilai, dan merasakan dirinya sendiri buruk, sebagai contoh, di lapangan sering ditemukan, seorang siswa mengatakan “saya tidak
mampu mengikuti pelajaran matematika karena saya bodoh” atau “saya tidak akan mendapatkan nilai baik untuk pelajaran bahasa Inggris”. Sebetulnya ia tidak
5 sedang membicarakan dirinya sendiri. Kata-kata yang diucapkan siswa tersebut
menunjukkan bahwa ia menilai dirinya tidak mempunyai cukup kemampuan karena ia bodoh, Syidiq dalam Aditi, 2012.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lutfi 2009 tentang Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Belajar pada Mahasantrimahad Sunan
Ampel Al-Aly UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan
motivasi belajar dengan kontribusi hubungan sebesar 46,3. Sahputra 2009 tentang Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Belajar
pada Mahasiswa S1 Keperawatan Semester III Kelas Ekstensi PSIK FK USU Medan, hasil penelitian menunjukkan bahwa antara konsep diri dengan motivasi
belajar terdapat hubungan yang bermakna dengan r=0,384 dan p=0,006. Aditi 2012 tentang Hubungan Konsep Diri Dengan Motivasi Belajar
Siswa Kelas XI Di SMA Negeri 7 Padang Tahun 2012, hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep diri yang yang dimiliki siswa kelas XI di SMA
Negeri 7 Padang adalah lebih dari separuh siswa memiliki konsep diri positif 55,7 dan sebagian besar siswa memiliki motivasi belajar yang tinggi 88,1.
Disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsep diri dengan motivasi belajar siswa dengan nilai p=0,000 p0,05.
Namun hasil penelitian Khikmah 2008 tentang Hubungan Antara Motivasi Belajar Dan Konsep Diri Akademik Pada Santri Pondok Pesantren
Sunan Pandan Aran Yogyakarta didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi belajar dan konsep diri akademik pada santri dengan
6 nilai r=0,193 dan p=0,534. Berarti di dalam penelitian ini aspek dari motivasi
belajar tidak memberikan peran terhadap konsep diri akademik. Untuk mendapatkan informasi yang lebih lanjut pada bulan Februari 2013
penulis melakukan penelitian awal pada siswa secara acak di SMK Saraswati Salatiga dengan menyebarkan skala konsep diri yang diadaptasikan oleh Dian, S.
Sari 2005 yang berdasarkan teori Calhoun Acocella 1990 dan angket motivasi belajar yang diadaptasi dari Kholifatuz Zahroh 2010 yang berdasarkan
dari teori Walgito 2004 dengan perubahan-perubahan. Adapun hasilnya dapat dilihat pada Tabel 1.1 dan Tabel 1.2.
Tabel 1.1 Distribusi Frekuensi Konsep Diri Siswa SMK Saraswati Salatiga
Tabel 1.2 Distribusi Frekuensi Motivasi Belajar Siswa SMK Saraswati Salatiga
Dalam hasil penelitian dapat di lihat pada Tabel 1.1 mendapatkan hasil konsep diri pada kategori sedang sebesar 40,5, dan pada tabel 1.2 mendapatkan
hasil bahwa siswa dalam motivasi belajar termasuk dalam kategori tinggi dengan
Kategori Interval
Frekuensi Persentase
Sangat tinggi 142 — 155
8 21,6
Tinggi 126 — 141
11 29,8
Sedang 110 — 125
15 40,5
Rendah 94 — 109
1 2,7
Sangat Rendah 78 — 93
2 5,4
Jumlah 37
100
Kategori Interval
Frekuensi Persentase
Sangat tinggi 100 — 108
3 8,1
Tinggi 93 — 99
11 29,8
Sedang 86 — 92
4 10,8
Rendah 79 — 85
9 24,3
Sangat Rendah 72 — 78
10 27,0
Jumlah 37
100
7 persentase 29,8. Dan setelah dilakukan analisis korelasi mempunyai hubungan
yang signifikan antara konsep diri dan motivasi belajar, untuk memastikan ada tidaknya hubungan yang signifikan perlu dilakukan penelitian dengan populasi
yang lebih luas pada siswa kelas X Teknik Kendaraan Ringan SMK Saraswati Salatiga. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan
judul “Hubungan Antara Konsep Diri Dan Motivasi Belajar Siswa Kelas X Teknik Kendaraan Ringan di SMK Saraswati Salatiga”.
1.2 Rumusan Masalah