PENGARUH KONSENTRASI Lactobacillus acidophilus DAN TEPUNG SAGU TERHADAP UMUR SIMPAN DAN SIFAT SENSORI TEMPE KEDELAI

(1)

ABSTRAK

PENGARUH KONSENTRASI Lactobacillus acidophilus DAN TEPUNG SAGU TERHADAP UMUR SIMPAN DAN SIFAT SENSORI TEMPE

KEDELAI

Oleh

FEBRI HAMZAH

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi Lactobacillus acidophilus dan tepung sagu yang dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan sifat sensori tempe kedelai. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi Lactobacillus acidophilus yang terdiri dari 3 taraf (1%, 1,5% dan 2%) sedangkan faktor kedua adalah konsentrasi tepung sagu yang terdiri dari 4 taraf (0%, 0,4%, 0,8% dan 1,2%). Data dianalisis dengan sidik ragam dan uji lanjut dengan uji BNJ pada taraf nyata 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi Lactobacillus acidophilus sebesar 1,5% dan tepung sagu sebesar 0,4% memperpanjang umur simpan dan mempertahankan sifat sensori tempe kedelai. Umur simpan pada konsentrasi tersebut adalah 112 jam. Hal ini menunjukan bahwa tempe kedelai dengan penambahan Lactobacillus acidophilus sebesar 1,5% dan tepung sagu sebesar 0,4% mampu menambah umur simpan tempe kedelai sampai dengan 58 jam.


(2)

ABSTRACT

THE EFFECT CONCENTRATION OF Lactobacillus acidophilus and SAGO FLOUR TO SHELF LIFE AND SENSORY PROPERTIES OF SOY

TEMPEH

By

FEBRI HAMZAH

This study aimed to determine the concentration of Lactobacillus acidophilus and sago flour that extend shelf life and maintain the sensory properties of soy tempeh. This study used a Randomized Block Design Complete (RBDC) with two factors and three replications. The first factor is the concentration of Lactobacillus acidophilus which consists of 3 levels (1%, 1.5% and 2%), while the second factor is the concentration of sago flour which consists of 4 levels (0%, 0.4%, 0.8% and 1 , 2%). The data were analyzed by analysis of variance and further trials with HSD test at 5% significance level. The results showed that the concentration of Lactobacillus acidophilus by 1.5% and by 0.4% sago flour extend the shelf life and maintain the sensory properties of soy tempeh. Shelf life at these concentrations is 112 hours. This shows that the addition of soy tempeh Lactobacillus acidophilus by 1.5% and sago flour by 0.4% able to increase the shelf life of soy tempeh up to 58 hours.


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kacang kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi oleh kapang. Secara umum, tempe memiliki penampakan berwarna putih yang disebabkan oleh miselia kapang yang menghubungkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang kompak. Kapangyang tumbuh pada kedelai akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks pada kedelai menjadi senyawa-senyawa sederhana yang lebih mudah dicerna oleh manusia (Syarief et al.,1999).

Tempe mengandung berbagai nutrisi yang diperlukan oleh tubuh seperti protein, lemak, karbohidrat, dan mineral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa zat gizi tempe lebih mudah dicerna, diserap, dan dimanfaatkan tubuh. Hal ini dikarenakan kapang yang tumbuh pada kedelai menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana yang mudah dicerna oleh manusia (Kasmidjo, 1990). Kemala (2006) melaporkan selama fermentasi, kapang tempe menghasilkan enzim protease yang dapat menghidrolisis ikatan peptida pada protein dan senyawa-senyawa peptida lainnya menjadi asam-asam amino bebas. Terjadinya degradasi komponen-komponen kedelai oleh kapang selama fermentasi menyebabkan timbulnya flavortempe yang khas.


(8)

Tempe merupakan produk fermentasi yang mempunyai umur simpan yang singkat yaitu 48 jam dan setelah itu, tempe yang disimpan pada suhu ruang akan mengalami pembusukan sehingga tidak dapat dikonsumsi (Kasmidjo, 1990). Sarwono (2002) melaporkan bau busuk pada tempe disebabkan oleh enzim protease yang menguraikan protein menjadi peptida atau asam amino, yang selanjutnya oleh enzim deaminase diuraikan lebih lanjut menghasilkan H2S, amoniak, metil sulfida, amin, dan senyawa-senyawa lain berbau busuk.

Proses pembusukan tempe dapat ditandai dengan meningkatnya nilai pH. Untuk itu, penanganan yang baik perlu dilakukan untuk menghambat pembusukan tempe kedelai. Salah satu upaya penanganan yang dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya kenaikan pH pada tempe kedelai. Penanganan tersebut dilakukan dengan menambahkan bakteri asam laktat pada proses pembuatan tempe kedelai. Bakteri asam laktat yang ditambahkan akan menghasilkan asam laktat yang berfungsi untuk mempertahankan nilai pH tempe kedelai.

Bakteri asam laktat, pada umumnya menghasilkan sejumlah besar asam laktat dari fermentasi karbohidrat. Asam laktat yang dihasilkan dari metabolisme karbohidrat akan dapat menurunkan nilai pH lingkungan pertumbuhannya dan menimbulkan rasa asam (Winarno dan Fernandez, 2007). Bakteri asam laktat tidak hanya menurunkan pH media, tetapi juga menghasilkan antibakteri yang sering disebut sebagai bakteriosin, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Fardiaz, 1988).

Bakteri asam laktat yang digunakan untuk memperpanjang umur simpan tempe telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Dalam penelitian Pratomo (2000), bakteri


(9)

3

asam laktat Lactobacillus plantarum dengan media berupa tepung beras menghasilkan tempe yang memiliki masa simpan maksimal 96 jam (4 hari). Penambahan Lactobacillus plantarum tersebut memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH dan kadar air. Sedangkan dalam penelitian Aptesia (2013) bakteri asam laktat berupa Lactobacillus casei dengan media berupa tepung tapioka menghasilkan tempe yang memiliki masa simpan maksimal sampai 168 jam (7 hari). Konsentrasi tersebut didapat pada perlakuan dengan penambahan Lactobacillus casei sebanyak 2% dan tepung tapioka sebanyak 0,8%.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa umur simpan tempe kedelai dapat dipengaruhi oleh penambahan jenis bakteri asam laktat pada pembuatan tempe kedelai. Salah satu jenis bakteri asam laktat yang akan dicobakan pada penelitian ini adalah Lactobacillus acidophilus. Penambahan bakteri asam laktat Lactobacillus acidophilus dan media berupa tepung sagu diharapkan mampu memperpanjang umur simpan tempe kedelai dan mempertahankan sifat sensori tempe kedelai tersebut.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui konsentrasi Lactobacillus acidophilus dan tepung sagu yang dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan sifat sensori tempe kedelai serta mendeskripsikan sifat sensori dari perlakuan terbaik.


(10)

C. Kerangka Pemikiran

Tempe kedelai mempunyai masa simpan yang singkat yaitu 48 jam (Kasmidjo, 1990). Setelah 48 jam tempe kedelai akan mengalami pembusukan dan diikuti dengan penurunan nilai gizi dan mutu dari tempe kedelai tersebut. Untuk itu, penanganan lebih lanjut perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya pembusukan. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan menambahkan kultur bakteri asam laktat pada proses pembuatan tempe.

Penambahan kultur bakteri asam laktat diharapkan dapat memperpanjang umur simpan tempe kedelai. Pratomo (2000), melaporkan bakteri asam laktat Lactobacillus plantarum dengan media berupa tepung beras menghasilkan tempe yang memiliki masa simpan maksimal 96 jam (4 hari). Penambahan Lactobacillus plantarum tersebut memiliki pengaruh yang nyata pada nilai pH dan kadar air. Perlakuan Lactobacillus plantarum 0,5%, 1%, dan 1,5% memberikan pengaruh yang berbeda pada pH tempe dibandingkan tanpa perlakuan Lactobacillus plantarum. Semakin tinggi konsentrasi Lactobacillus plantarum yang diperlakukan, pH tempe akan semakin menurun. Pada pengamatan kadar air cenderung meningkat pada setiap peningkatan konsentrasi Lactobacillus plantarum dan bertambahnya umur penyimpanan. Rata-rata kadar air pada perlakuan Lactobacillus plantarum berkisar antara 53,65% sampai 63,60%, sedangkan perlakuan tanpa Lactobacillus plantarum berkisar antara 55,90% sampai 63,13%. Dalam penelitian Aptesia (2013), bakteri asam laktat berupa Lactobacillus casei dengan media berupa tepung tapioka menghasilkan tempe yang memiliki masa simpan maksimal sampai 168 jam (7 hari). Hasil tersebut


(11)

5

didapat pada perlakuan dengan penambahan Lactobacillus casei sebanyak 2% dan tepung tapioka sebanyak 0,8%. Pada kondisi tersebut sifat fisik dari tempe yaitu tekstur kompak padat, warna putih kekuningan, dan belum timbul bau amonia. Bakteri asam laktat yang memiliki kemampuan memanfaatkan pati sebagai substratnya dikenal sebagai bakteri asam laktat amilolitik (Marcon et al., 2006). Bakteri asam laktat dapat menghasilkan amilase ekstraseluler dan memfermentasi pati secara langsung menjadi asam laktat. Hal ini disebabkan fermentasi dengan bakteri asam laktat amilolitik akan menggabungkan dua proses yaitu hidrolisis enzimatis substrat karbohidrat (pati) dan sekaligus fermentasi yang memanfaatkan gula yang dihasilkan menjadi asam laktat (Reddy et al., 2008).

Bakteri asam laktat seperti Lactobacillus acidophilus mampu memproduksi asam organik, hidrogen peroksida dan antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Kanbe, 1992). Lactobacillus acidophilus memfermentasi pati sebagai sumber energi untuk pertumbuhannya. Salah satu jenis pati yaitu tepung sagu. Tepung sagu mengandung pati sekitar 80 % dengan kandungan amilosa sebesar 27% dan kandungan amilopektin sebesar 73% (Haryanto, 1992).

Informasi terkait penambahan Lactobacillus acidophilus pada produk tempe sampai saat ini belum ada. Jadi, dengan digunakannya Lactobacillus acidophilus pada produk tempe dapat memberikan informasi baru dalam industri pengolahan tempe. Selain itu, penggunaan bakteri asam laktat Lactobacillus acidophilus dan media berupa tepung sagu pada pembuatan tempe kedelai diharapkan mampu memperpanjang umur simpan tempe kedelai dan mempertahankan sifat sensori tempe kedelai tersebut.


(12)

D. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Konsentrasi Lactobacillus acidophilus 1%, 1,5% dan 2% dapat menghambat kerusakan dan memperpanjang umur simpan tempe kedelai.

2. Terdapat konsentrasi media berupa tepung sagu yang baik sebagai sumber energi Lactobacillus acidophilus.

3. Terdapat interaksi antara konsentrasi Lactobacillus acidophilus dan tepung sagu dalam memperpanjang umur simpan dan mempertahankan sifat sensori tempe kedelai.


(13)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kacang Kedelai

Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan salah satu tanaman palawija yang digolongkan ke dalam famili Leguminoceae, sub famili Papilionoideae (Suprapto, 1997). Tanaman kedelai berbentuk semak pendek setinggi 30-100 cm, kedelai yang telah dibudidayakan tersebut merupakan tanaman liar yang tumbuh merambat yang buahnya berbentuk polong dan bijinya bulat lonjong. Tanaman kedelai ini dibudidayakan di lahan sawah maupun lahan kering (ladang) (Suprapti, 2003).

Kedelai merupakan salah-satu jenis kacang-kacangan yang dapat digunakan sebagai sumber protein, lemak, vitamin, mineral dan serat. Kacang kedelai mengandung sumber protein nabati yang kadar proteinnya tinggi yaitu sebesar 35% bahkan pada varietas unggul dapat mencapai 40-44%. Selain itu juga mengandung asam lemak essensial, vitamin dan mineral yang cukup. Di samping protein, kacang kedelai mempunyai nilai hayati yang tinggi setelah diolah, karena kandungan susunan asam aminonya mendekati susunan asam amino pada protein hewani (Koswara, 1992).

Kedelai dapat diandalkan untuk mengatasi kekurangan protein dalam menu makanan rakyat Indonesia. Kedelai diproses menjadi bahan makanan yang dapat


(14)

dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya dengan penghancuran, perebusan, peragian, fermentasi dan pengasaman, sehingga menghasilkan produk tahu, kembang tahu, susu, kecap dan produk lainnya (Nugroho, 2007).

Kedelai mendapat perhatian besar di seluruh dunia karena berbagai keunggulan lain yang dimilikinya diantaranya memilki adaptibilitas agronomis yang tinggi, dapat hidup di daerah tropis dan subtropis, juga di daerah dengan tanah dan iklim yang memungkinkan tanaman pangan lainnya untuk tumbuhnya, serta memiliki kandungan gizi yang relatif tinggi dan lengkap sebagaimana terangkum dalam Tabel 1 (Suprapti, 2003).

Tabel 1. Kandungan gizi kacang kedelai

No Unsur Gizi Kadar/100 g bahan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Energi Air Protein Lemak Karbohidrat Mineral Kalsium Fosfor Zat besi Vitamin A Vitamin B 442 kal 7,5 g 34,9 g 38,1 g 34,8 g 4,7 g 227 mg 585 mg 8 mg 33 mcg 1,07 mg Sumber: Suprapti (2003)

Kedelai merupakan sumber gizi yang sangat penting. Komposisi gizi kedelai bervariasi tergantung varietas yang dikembangkan dan juga warna kulit maupun kotiledonnya. Kandungan protein dalam kedelai kuning bervariasi antara 31-48% sedangkan kandungan lemaknya bervariasi antara 11-21%. Antosianin kulit kedelai mampu menghambat oksidasi LDL kolesterol yang merupakan awal terbentuknya plak dalam pembuluh darah yang akan memicu berkembangnya


(15)

9

penyakit tekanan darah tinggi dan berkembangnya penyakit jantung koroner (Astuti, 2000).

B. Tempe

Tempe merupakan produk pangan tradisional Indonesia berbahan dasar kedelai (Glycine max) yang diolah melalui proses fermentasi. Tempe memiliki penampakan berwarna putih yang disebabkan oleh miselia kapang yang menghubungkan biji-biji kedelai sehingga terbentuk tekstur yang kompak. Kapang yang tumbuh pada kedelai akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks pada kedelai menjadi senyawa-senyawa sederhana yang lebih mudah dicerna oleh manusia (Syarief et al., 1999).

Tempe memiliki beberapa keunggulan dibandingkan kacang kedelai. Pada tempe, terdapat enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh kapang tempe selama proses fermentasi, sehingga protein, lemak dan karbohidrat menjadi lebih mudah dicerna. Kapang yang tumbuh pada tempe mampu menghasilkan enzim protease untuk menguraikan protein menjadi peptida dan asam amino bebas (Astawan, 2008). Enzim lipase menguraikan lemak menjadi lipid dan asam lemak, serta enzim amilase menguraikan karbohidrat menjadi gula sederhana (Hermana dan Karmini, 1999)

Tempe juga memiliki berbagai sifat unggul seperti mengandung lemak jenuh rendah, kadar vitamin B12 tinggi, mengandung antibiotik, dan berpengaruh baik pada pertumbuhan badan. Keberadaan vitamin B12 dalam tempe sangat istimewa. Vitamin B12 umumnya terdapat terdapat pada produk-produk hewani, tetapi tidak


(16)

dijumpai pada makanan nabati ( sayuran, buah-buahan dam biji-bijian ).Vitamin B12 sangat diperlukan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Kekurangan vitamin ini mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Gejala yang ditimbulkan gangguan ini adalah pucat, sakit perut dan berat badan menurun. Kekurangan vitamin B12 ini dapat menghambat pembentukan sel darah merah (Koswara, 1992). Berikut ini daftar komposisi kimia tempe yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi kimia tempe

Komposisi Jumlah

Air (wb) 61,2 %

Protein kasar (db) 41,5 %

Minyak kasar (db) 22,2 %

Karbohidrat (db) 29,6 %

Abu (db) 4,3 %

Serat kasar (db) 3,4 %

Nitrogen (db) 7,5 %

Sumber: Cahyadi (2006).

Tempe mengandung berbagai unsur yang bermanfaat, seperti protein, lemak, hidrat arang, serat, vitamin, enzim, daidzein, genestein serta komponen antibakteri dan zat antioksidan yang berkhasiat sebagai obat, diantaranya genestein, daidzein, fitosterol, asam fitat, asam fenolat, lesitin dan inhibitor protease. Zat antioksidan di dalam tempe berbentuk isoflavon. Zat ini merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Selain itu, isoflavon juga dapat menurunkan kolesterol LDL dan menaikkan kolesterol HDL dibandingkan dengan pemberian kasein (Cahyadi, 2006). Perbandingan komposisi kimia kedelai dan tempe dapat dilihat pada Tabel 3.


(17)

11

Tabel 3. Komposisi kimia kedelai dan tempe per 100 g bahan

Komposisi Kedelai Tempe Kedelai

Protein (g) 30,2 18,3

Lemak (g) 15,6 4,0

Karbohidrat (g) 30,1 12,7

Air (g) Abu (g) Energi (kal) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Zat besi (mg)

20,0 5,5 331 227 585 8 64,0 1,6 149 129 154 10 Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, (2004).

Pembuatan tempe kedelai menurut Sarwono (2002) meliputi: sortasi, perebusan I, perendaman, pengupasan kulit ari, perebusan II, penirisan dan pendinginan, peragian, pengemasan dan fermentasi. Tahapan-tahapan pembuatan tempe kedelai dijelaskan sebagai berikut yaitu biji kedelai dipilih dan dibersihkan dari kotoran, dicuci dengan air bersih. Biji kedelai yang bersih kemudian direbus selama 30 menit sebagai perebusan I, fungsinya untuk melunakkan kedelai. Kedelai yang telah direbus kemudian direndam selama 24 jam dengan air rebusan tadi. Proses selanjutnya kedelai direbus (perebusan II) untuk membunuh bakteri yang kemungkinan tumbuh selama perendaman. Setelah perebusan, kedelai dipisahkan antara kulit ari dan biji kedelai. Kedelai yang sudah dipisahkan kulit dan bijinya, selanjutnya ditiriskan dan didinginkan, dibiarkan dingin sampai permukaan kedelai kering dan airnya menetes habis. Proses selanjutnya pencampuran kedelai dengan penambahan ragi sebanyak 2%. Campuran kedelai yang sudah rata dimasukan ke dalam plastik atau di cetak pada daun dan difermentasi selama 24 jam, yang sebelumnya plastik dilubangi dengan jarak 1-2 cm, untuk memberikan udara supaya kapang yang tumbuh berwarna putih. Sesudah difermentasi 24 jam campuran kedelai telah menjadi tempe yang siap untuk dijual.


(18)

C. Bakteri Asam Laktat

Bakteri asam laktat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan sifat fermentasinya yaitu bakteri asam laktat homofermentatif dan bakteri asam laktat heterofermentatif. Selama fermentasi kedua golongan bakteri ini menghasilkan produk akhir yang berbeda dari metabolismenya. Bakteri asam laktat jenis homofermentatif mengkonversi glukosa menjadi asam laktat. Bakteri asam laktat homofermentatif sering digunakan dalam pengawetan makanan karena produksi asam laktat dalam jumlah tinggi di dalam makanan yang dapat menghambat bakteri pembusuk/yang tidak dinginkan. Sedangkan bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif selain menghasilkan asam laktat juga menghasilkan karbondioksida dan etanol atau asam asetat (Axelsson, 1990).

Bakteri homofermentatif dapat memecah glukosa menjadi asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhorf-Parnas (EMP) atau glikolisis. Enzim yang berperan dalam tahap glikolisis adalah enzim aldolase dan heksosa isomerase. Bakteri heterofermentatif mampu memecah glukosa menjadi asam laktat, asam asetat, asam propionat dan etanol melalui jalur oksidatif pentosa fosfat dengan bantuan enzim fosfoketolase. Bakteri heterofermentatif tidak mempunyai enzim fruktosadifosfat aldolase, transaldolase dan transketolase yang berperan dalam tahap glikolisis. Bakteri homofermentatif dapat menghasilkan energi sebesar dua kali energi yang dihasilkan oleh bakteri heterofermentatif dari sejumlah substrat yang sama (Fardiaz, 1988).

Bakteri asam laktat akan mengubah karbohidrat menjadi asam laktat dalam kondisi anaerob dan proses ini dapat dibagi menjadi tiga tahapan. Pada tahap


(19)

13

awal, zat pati dari sumber karbohidrat akan dihidrolisa menjadi maltosa oleh α -amylase dan β-amylase yang merupakan enzim ekstraseluler pada mikroorganisme. Kemudian molekul maltosa ini akan dipecah menjadi glukosa oleh maltase. Pada tahap terakhir bakteri asam laktat akan mengubah glukosa menjadi asam laktat dan sejumlah kecil bahan lain seperti asam asetat, asam propionat dan etanol. Senyawa karbohidrat yang biasa dipecah menjadi asam laktat ialah glukosa, sukrosa dan laktosa. Bakteri asam laktat tidak hanya menurunkan pH media, tetapi juga menghasilkan antibiotik yang sering disebut sebagai bakteriosin, sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri pembusuk (Fardiaz, 1988).

Lactobacillus merupakan salah satu anggota dari bakteri asam laktat, termasuk keluarga Lactobacillaceae, terdiri atas marga Streptococcus, Pediococcus, Lactobacillus, dan Leuconostoc. Bakteri asam laktat terutama Lactobacillus memproduksi OH- yang bersifat pembunuh mikroba pembusuk dan memproduksi senyawa antibiotik. Disamping itu beberapa spesies bakteri asam laktat yang menghasilkan senyawa antibakteri seperti bakteriosin, nisin dan reuterin. Asam organik yang dihasilkan selama fermentasi seperti asam asetat, propionat dan formiat kemungkinan memiliki daya antimikroba yang lebih kuat dibandingkan asam laktat. Produk fermentasi lain yaitu diasetil dalam kadar 200µg/ml atau lebih bersifat menghambat khamir dan bakteri Gram negatif (Fardiaz, 1992).

D. Lactobacillus acidophilus

Lactobacillus acidophilus merupakan bakteri berbentuk batang dari famili Lactobacillaceae yang termasuk golongan Gram positif, bersifat mesofilik dan


(20)

tidak dapat membentuk spora. Lactobacillus acidophilus bersifat homofermentatif dengan asam laktat sebagai produk utama fermentasi karbohidrat. Lactobacillus acidophilus banyak ditemukan pada bagian akhir usus kecil dan bagian awal usus besar. Bakteri ini memproduksi asam organik, hidrogen peroksida dan antibiotik untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen atau bakteri pembusuk. Hal ini menunjukkan sifat antimikroba bakteri Gram positif lebih kuat dari pada bakteri Gram negatif. Hal itu juga yang menunjukkan bahwa aktivitas antimikroba Lactobacillus acidophilus paling kuat dalam menghambat bakteri patogen. Lactobacillus acidophilus dalam saluran pencernaan dapat juga menghambat pertumbuhan bakteri patogen atau pembusuk yang menyebabkan gangguan pada usus, diare dan gangguan pencernaan serta berperan dalam menjaga kesehatan (Kanbe, 1992).

Karakteristik bakteri Lactobacillus acidophilus diantaranya: (1) tidak tumbuh pada suhu 15oC dan tidak dapat memfermentasi ribosa, (2) suhu optimum untuk pertumbuhannya berkisar antara 35 - 38oC dan pH optimum 5,5 - 6,0, (3) di dalam susu sapi, bakteri ini memproduksi 0,3 - 1,9% DL asam laktat; asam yang dihasilkan mempunyai kemampuan yang berbeda antar galur, (4) umumnya membutuhkan nutrisi berupa asetat, riboflavin, asam pantotenat, kalsium, niasin dan asam folat, (5) resisten terhadap asam empedu dan, (6) memproduksi threonine aldolase dan alcohol dehydrogenase yang mempengaruhi aroma (Kanbe, 1992).


(21)

15

Gambar 1. Lactobacillus acidophilus Sumber : (www.sciencephoto.com)

Lactobacillus acidophilus mensekresikan senyawa metabolit biosurfaktan, bakteriosin, asam organik dan H2O2 yang dapat menghambat pelekatan dan pertumbuhan bakteri patogen, serta molekul koagregasi yang menghambat penyebaran bakteri patogen. Lactobacillus acidophilus menghasilkan D(-) asam laktat yang berfungsi memperbaiki ketersediaan biologis mineral, sehingga memperbaiki penyerapan mineral, terutama kalsium, sebab kalsium lebih mudah diserap dalam kondisi asam (Surono, 2004).

E. Tepung Sagu

Tumbuhan sagu termasuk ke dalam tumbuhan monokotil, famili Palmae, genus Metroxylon dari ordo Spadiciflorae. Spesies yang penting secara komersial dan paling banyak tumbuh di Indonesia yaitu Metroxylon sagus dan Metroxylon rhumpii. Batang sagu merupakan bagian terpenting karena merupakan tempat penyimpanan pati atau karbohidrat. Batang sagu berbentuk silinder dengan diameter sekitar 50 cm, bahkan dapat mencapai 80-90 cm. Batang sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat pati (Haryanto, 1992).


(22)

Pati sagu memiliki kandungan amilosa sebanyak 27% yang memiliki rantai lurus

dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan amilopektin sebanyak 73% yang memiliki

rantai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glikosa. Kandungan amilopektin dalam tepung sagu berguna untuk mempertinggi mutu penampilan produk, tidak mudah menggumpal, dan memiliki daya perekat yang tinggi. Kandungan amilopektin dalam tepung sagu dapat mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi, semakin banyak kandungan amilopektin maka pati makin bersifat tidak kering dan lengket, sedangkan kandungan amilopektin yang semakin sedikit akan menyebabkan pati bersifat kering dan kurang lengket serta cenderung menyerap air lebih banyak. Amilosa dan amilopektin berbeda pada berbagai jenis tanaman, baik dalam proporsinya maupun dalam ukuran besarnya (Haryanto, 1992).

Pati sagu secara umum dapat dimanfaatkan baik untuk industri pangan maupun non pangan. Pati sagu untuk industri pangan, pengolahannya ditekankan pada diversifikasi pangan yang memiliki prospek untuk dikembangkan. Pati sagu dapat diolah menjadi tepung campuran dan tepung pati termodifikasi (dekstrin). Pada industri pengolahan pangan lainnya tepung sagu dimanfaatkan menjadi gula cair, alkohol, sorbitol, dan asam organik. Sedangkan untuk industri non pangan pati sagu diolah menjadi alkohol, plastik biodegradable, surfaktan deterjen, dan lain sebagainya (Djoefrie, 1999). Haryanto (1992) menambahkan, tepung sagu dapat digunakan sebagai pakan babi dan ayam. Tepung sagu yang dengan kadar serat lebih dari 12% cocok untuk makanan hewan ruminansia. Selain itu, tepung sagu juga digunakan untuk pengolahan makanan, kosmetika, industri kimia dan pengolahan kayu. Berikut ini komposisi kandungan sagu per 100 gram disajikan pada Tabel 4.


(23)

17

Tabel 4. Komposisi kandungan sagu per 100 gram.

Kandungan Jumlah

Kalori Karbohidrat Protein Lemak Serat Air Abu 357 kal 85 g 0,7 g 0,2 g 0,2 g 13,7 g 0,4 g

Sumber : Djoefrie (1999)

F. Hasil Penelitian Terkait Peningkatan Umur Simpan Tempe

Peningkatan umur simpan tempe telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Kemala (2006) mengkaji pengawetan tempe dengan menggunakan panas berupa pengeringan dengan batch fluidized solar dyer, pengeringan dengan oven, dan sterilisasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan tempe yang dikeringkan dengan batch fluidized solar dryer maupun oven sudah mengalami kerusakan pada hari ke-4. Kerusakan ini ditandai dengan timbulnya bau busuk pada tempe, tekstur tempe agak lunak, warna coklat pada tempe memudar, permukaan tempe ditumbuhi kapang-kapang putih dan agak lengket. Permukaan tempe yang lengket, tekstur yang agak lunak dan aroma tempe yang busuk merupakan hasil metabolisme kapang yang tumbuh selama masa penyimpanan tempe kering. Tempe dengan proses sterilisasi masih layak penampakan organoleptiknya setelah disimpan selama 14 hari. Proses sterilisasi dapat membunuh semua mikroorganisme pembusuk yang dapat tumbuh pada kondisi penyimpanan yang normal. Pada bahan pangan yang disterilisasi hanya bakteri pembentuk spora yang masih mungkin tumbuh. Spora bakteri tersebut akan berada dalam kondisi tidak mampu bergerminasi, tidak dapat tumbuh menjadi sel vegetatif, dan tidak dapat


(24)

membelah diri (Fardiaz, 1992). Warna tempe sterilisasi yang telah disimpan selama 14 hari agak menggelap, tetapi tekstur tempe masih cukup keras, penampakan tempe secara umum masih baik dan aromanya normal (khas tempe rebus) (Kemala, 2006).

Djanis dan Hanafi (2008), melaporkan bahwa tempe yang disimpan pada suhu dingin 15-200C mampu bertahan sampai umur 4 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan mutu gizi tempe pada kadar protein, lemak, karbohidrat, abu, dan air dibandingkan dengan standar Puslitbang Gizi Depkes RI. Kerusakan dan perubahan kadar protein dan lemak pada tempe terjadi secara signifikan setelah penyimpanan 24 jam (1 hari). Selain itu, secara umum jenis kemasan tidak mempengaruhi penurunan mutu gizi tempe selama penyimpanan 4 hari.

Pratomo (2000) dan Aptesia (2013) menggunakan bakteri asam laktat untuk memperpanjang umur simpan tempe kedelai. Masing-masing menggunakan Lactobacillus plantarum dan Lactobacillus casei. Hasil penelitian menunjukkan Lactobacillus plantarum mampu menambah umur simpan tempe maksimal menjadi 96 jam (4 hari), sedangkan Lactobacillus casei mampu menambah umur simpan tempe maksimal menjadi 168 jam (7 hari).


(25)

III. BAHAN DAN METODE

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada bulan September 2013 sampai November 2013.

B. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan meliputi kacang kedelai dan ragi tempe merek Prima yang didapatkan dari pusat produksi tempe di Gunung Sulah, tepung sagu merek Sagu tani, Lactobacillus acidophillus dalam bentuk kultur murni liofilisasi yang diperoleh dari Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, UGM Yogyakarta dan MRS Broth merek Oxoid.

Alat-alat yang digunakan terdiri dari tampah besar, sarung tangan plastik, panci, saringan, alumunium foil, timbangan, keranjang, pengaduk kayu, dandang, kompor (Rinnai), termometer, plastik pengemas, timbangan analitik (Shimadzu), pisau stainless steel, baskom, autoclave (Express), tabung reaksi, mikropipet (Thermo), pipet tip, kapas, tissue, gelas ukur, tanur, desikator, labu Kjedahl,


(26)

seperangkat alat destilasi, sokhlet, Erlenmeyer, hot plate (Thermo), kertas saring, dan alat-alat lain untuk analisis kimia dan alat-alat untuk uji organoleptik.

C. Metode Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua tahapan yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui umur simpan tempe kedelai tanpa penambahan BAL. Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan Lactobacillus acidophilus dan tepung sagu terhadap tempe yang memiliki umur simpan maksimal dan masih memiliki sifat sensori yang baik serta dilakukan uji deskripsi pada tempe perlakuan terbaik untuk mengumpulkan data dari panelis kemudian disusun kriteria sensorinya.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) yang disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah konsentrasi (v/b) biakan Lactobacillus acidophillus 1% (v/b) (L1), 1,5% (v/b) (L2) dan 2% (v/b) (L3) (White, 1980). Faktor kedua adalah konsentrasi tepung sagu (b/b) masing-masing 0% (b/b) (T0), 0.4% (b/b) (T1), 0.8% (b/b) (T2) dan 1.2% (b/b) (T3) (Pratomo, 2000). Faktor pertama terdiri dari 3 taraf dan faktor kedua terdiri dari 4 taraf dengan 3 kali ulangan. Kesamaan ragam data diuji dengan uji Bartlett dan kemenambahan data diuji dengan uji Tuckey. Data hasil pengamatan dianalisa sidik ragam untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan antar perlakuan. Data diolah lebih lanjut dengan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf nyata 5%. Penentuan umur simpan dilakukan dengan menggunakan metode deskripsi untuk mengamati sifat fisik tempe kedelai.


(27)

21

D. Pelaksanaan Penelitian

a. Penelitian pendahuluan

Penelitian pendahuluan ini dilakukan untuk mengetahui umur simpan tempe kedelai tanpa perlakuan dengan mengamati perubahan fisik selama penyimpanan. Pengamatan dimulai dari 24 jam setelah tempe diragikan sampai tempe mengalami perubahan fisik seperti : berbau amonia/busuk, tekstur berair dan lembek, dan berwarna putih kekuningan. Pengamatan dilakukan dengan melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada tempe dimulai dari 24 jam dan 48 jam, dan selanjutnya dilakukan setiap 6 jam. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan waktu umur simpan tempe yang tepat. Setelah itu, nilai pH diukur pada setiap pengamatan untuk mengetahui perubahan nilai pH pada tempe yang mengalami perubahan fisik.

b. Penelitian Utama

Penelitian utama meliputi persiapan starter dan pembuatan tempe kedelai. 1. Pembuatan Starter

Pembuatan starter ini berdasarkan metode yang dilakukan oleh Aptesia (2013), yaitu sebanyak 1 ose kultur murni Lactobacillus acidophillus dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 10 ml media MRS Broth steril dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC. Setelah itu, sebanyak 5 ml kultur murni dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 50 mL MRS Broth steril dan diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C dan kultur siap digunakan. Proses persiapan starter dapat dilihat pada Gambar 2.


(28)

Gambar 2. Diagram alir persiapan starter Metode yang digunakan oleh Aptesia (2013). 2. Pembuatan Tempe Kedelai

Pembuatan tempe kedelai berdasarkan Aptesia (2013). Tahapan yang dilakukan meliputi: kedelai disortasi untuk dipilih biji kedelai yang baik dan padat, lalu dilakukan pencucian menggunakan air yang mengalir sampai kotoran yang melekat terlepas dari biji kedelai. Selanjutnya kedelai direbus pada suhu 1000C selama 30 menit dalam air yang mendidih sampai kulit ari mudah terkelupas. Biji kedelai direndam dalam air selama 24 jam. Kulit ari dikupas dari biji kedelai dan direbus lagi selama 30 menit, lalu ditiriskan dan didinginkan. Tahap peragian dilakukan dengan cara setiap 100 gram kedelai ditambahkan ragi tempe sebanyak 0,2 gram diaduk sampai rata dan ditambahkan Lactobacillus acidophillus (sesuai perlakuan)dan tepung sagu (sesuai perlakuan). Setelah tercampur rata, biji kedelai dimasukan dalam plastik pengemas yang telah dilubangi. Biji kedelai yang dimasukan tersebut masing-masing memiliki berat 20 gram dalam setiap bungkusnya dan diberi label agar tidak tertukar. Biji kedelai tersebut diletakan

Lactobacillus acidophilus

Diambil 1 ose. Dimasukkan ke dalam 10 mL MRS Broth steril (24 jam, 37OC) Diambil 5 mL. Dimasukkan ke dalam 50 mL MRS Broth steril dimasukan dalam erlenmeyer

dan diinkubasi (24 jam, 37oC) Kultur Lactobacillus acidophilus


(29)

23

tampah yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah itu tampah diletakan di atas rak yang terlindungi dari sinar/cahaya. Selanjutnya biji kedelai difermentasi pada suhu ruang yaitu sekitar 27oC, dan dilakukan pengamatan tempe. Proses pembuatan tempe yang telah dimodifikasi dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Diagram alir pembuatan tempe serta penambahan starter Sumber : Aptesia (2013) yang dimodifikasi

Kedelai

Sortasi dari biji yang cacat dan pilih biji padat dan berisi Pencucian 100 g kedelai

Perebusan selama 30 menit Perendaman selama 24 jam Pengupasan kulit ari dari biji kedelai

Pengukusan selama 30 menit Penirisan dan pendinginan

Peragian, Ragi tempe sebanyak 0,2 g dan starter

Lactobacillus acidophillus @sebanyak 1 mL, 1,5mL, 2 mL dan tepung sagu @sebanyak 0 g, 0,4 g, 0,8 g, 1,2 g.

Pengemasan dengan kemasan plastik Fermentasi tempe

Pengamatan tempe

Umur simpan : warna, aroma, dan tekstur Uji Sensori : uji skoring dan uji hedonik


(30)

E. Pengamatan

Pengamatan terhadap tempe kedelai terdiri atas pengamatan fisik dan uji sensori tempe kedelai. Pengamatan sifat fisik tempe kedelai dilakukan untuk mengetahui umur simpannya. Faktor yang diamati pada umur simpan meliputi warna, aroma dan tekstur. Faktor yang diamati pada uji sensori dilakukan pada tempe yang telah digoreng meliputi aroma, rasa, tekstur, warna dan penerimaan keseluruhan. Perlakuan terbaik yang diperoleh dari uji sensori selanjutnya diuji deskripsi sifat sensori dengan menggunakan metode free choice profiling. Perlakuan terbaik juga diuji kandungan kimianya berupa kadar air (AOAC, 1984), kadar lemak dengan metode sokhlet (Sudarmadji, 1984), kadar protein dengan metode Kjeldahl (Sudarmadji, 1984), kadar abu (AOAC, 1984), kadar karbohidrat dengan metode by different (Winarno, 1992) dan nilai pH (AOAC, 1984).

a. Penentuan Umur Simpan

Penentuan umur simpan tempe pada penelitian pendahuluan dilakukan dengan mengamati perubahan warna, aroma dan tekstur pada tempe kedelai tersebut. Pengamatan ini dimulai setiap hari dari umur 24 jam (setelah peragian), 48 jam, dan setelahnya diamati setiap 6 jam untuk mendapatkan waktu yang tepat ketika tempe tersebut telah menunjukkan perubahan fisik. Pengamatan dilakukan menggunakan panca indera dengan kriteria meliputi warna tempe normal putih, aroma normal tidak berbau busuk/amonia dan teksturnya padat dan kompak. Penentuan umur simpan pada penelitian utama dilakukan untuk mendapatkan tempe perlakuan dengan umur simpan terlama yang masih memiliki ciri-ciri fisik


(31)

25

tempe normal (tanpa penambahan BAL). Pengamatan dimulai setiap hari dari umur 24 jam, 48 jam, dan seterusnya setiap 24 jam sampai tempe mengalami perubahan fisik. Perubahan fisik diamati menggunakan panca indera secara deskriptif. Pengamatan dilakukan pada setiap atribut yang terdiri dari 3 ulangan. Data dari masing-masing ulangan kemudian dicatat dan dirata-ratakan untuk diambil nilai tengahnya, serta data disajikan dalam bentuk Tabel.

b. Pengujian Sensori

Pada pengujian sensori, tempe diuji cobakan kepada 20 orang panelis semi terlatih meliputi mahasiswa THP menggunakan uji skoring dan uji hedonik. Uji skoring digunakan untuk menilai warna, tekstur, rasa dan aroma. Uji hedonik digunakan untuk mengukur tingkat kesukaan/penerimaan panelis. Pengamatan uji sensori dilakukan pada umur simpan 48 jam. Sampel yang diuji sebelumnya digoreng terlebih dahulu. Teknis penggorengan dilakukan pada tempe kedelai yang telah dipotong-potong seperti dadu. Penggorengan dilakukan menggunakan minyak nabati yang telah mendidih selama 30 detik. Minyak yang digunakan diganti setiap setelah 4 kali penggorengan tempe kedelai. Setelah digoreng tempe disajikan dengan kode tertentu dan kepada para panelis diminta untuk memberikan skor yang sesuai dengan kuesioner yang disediakan (Gambar. 4). Pengujian free choice profiling ini dilakukan terhadap tempe perlakuan terbaik. Parameter yang diamati meliputi warna, aroma, teksur, dan rasa. Pada parameter warna, aroma, dan tekstur tempe disajikan dalam kondisi tidak digoreng, sedangkan pada parameter rasa tempe disajikan dalam kondisi digoreng. Menurut Nurkori (1997) metode ini digunakan untuk produk yang belum ada kriteria


(32)

sensorinya sehingga tujuannya adalah mengumpulkan data (informasi) dari deskripsi panelis terlatih kemudian disusun kriteria sensorinya. Pengujian free choice profiling ini menggunakan panelis tidak terlatih. Guy et al., (1989) menjelaskan bahwa hasil uji sensori free choice profiling dengan melibatkan panelis tidak terlatih ternyata memberikan kualitas yang sama dengan uji sensori dengan panelis terlatih.

Panelis yang digunakan pada metode ini sebanyak 30 orang panelis tidak terlatih. Panelis diminta menuliskan kesan warna, kesan tekstur, kesan aroma, dan kesan rasa dari produk tempe kedelai sebanyak-banyaknya dengan kata sendiri dan memberi tanda X pada garis sebagai besaran dari masing-masing kesan. Terhadap masing-masing atribut ditentukan intensitasnya pada skalar garis dengan skala 1-10. Angka 1 menunjukkan nilai terendah dan angka 10 menunjukkan nilai tertinggi (Noviyanti, 2012).


(33)

27

KUESIONER UJI ORGANOLEPTIK

Nama :

Tanggal :

Dihadapan Anda disajikan sampel tempe kedelai dengan kode berbeda. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap warna, tekstur, aroma, rasa, dan penerimaan keseluruhan dengan skor 1 sampai 5 sesuai dengan respon yang Anda rasakan dengan skala penilaian terlampir

Penilaian Kode Sampel

Warna

Aroma

Tekstur

Rasa

Penerimaan keseluruhan

Penilaian untuk seluruh parameter (warna, aroma, rasa, tekstur, dan penerimaan keseluruhan) :

Warna Aroma

5.Kuning kecoklatan 5.Sangat khas tempe dan tidak asam

4.Kuning 4.Khas tempe dan tidak asam

3.Agak kuning 3.Agak khas tempe dan agak asam 2.Putih kekuningan 2.Tidak khas tempe dan asam

1.Putih 1.Sangat tidak khas tempe dan asam

Rasa Tekstur

5. Sangat khas tempe 5. Sangat kompak dan padat 4. Khas tempe 4. Kompak dan padat

3. Agak khas tempe 3. Agak kompak dan agak padat 2. Tidak khas tempe 2. Tidak kompak dan tidak padat

1. Sangat tidak khas tempe 1. Sangat tidak kompak dan sangat tidak padat Penerimaan keseluruhan

5. Sangat suka 4. Suka 3. Agak suka 2. Tidak suka 1. Sangat tidak suka


(34)

Free Choice Profiling

Nama : Jenis Kelamin :

Tanggal Uji : Umur :

Tulislah kesan rasa, aroma, warna, dan tekstur tempe kedelai yang anda peroleh sebanyak-banyaknya dari masing-masing sampel menurut kata-kata anda sendiri dan berilah tanda “X” pada garis sebagai besaran kesan masing-masing parameter. Kode :

Kesan rasa

... 0 10 ... 0 10 Kesan aroma

... 0 10 ... 0 10 Kesan warna

... 0 10 ... 0 10 Kesan tekstur

... 0 10 ... 0 10 Gambar 5. Formulir kueisioner uji deskripsi (free choice profiling).

Sumber : Noviyanti (2012). c. Kadar Protein

Pengamatan kadar protein dilakukan pada perlakuan terbaik hasil uji sensori. Sampel yang digunakan adalah tempe segar umur 48 jam. Analisis ini menggunakan metode Gunning (Sudarmadji, 1984). Sampel sebanyak 0,5 gram dimasukkan ke dalam labu Kjedahl, ditambahkan 10 g K2S dan 10-15 ml H2SO4 pekat. Kemudian sampel didestruksi di atas pemanas listrik dalam lemari asam menggunakan api kecil dan setelah asap hilang api dibesarkan. Pemanasan


(35)

29

diakhiri setelah cairan menjadi jernih atau tak berwarna lagi. Setelah labu Kjedahl beserta cairannya menjadi dingin, ditambahkan 100 ml aquades serta larutan NaOH 45 % sampai cair dan bersifat basis. Labu Kjedahl dipasang segera pada alat distilasi. Labu tersebut dipanaskan sampai amonia menguap semua, destilat ditampung dalam Erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0,1N yang telah diberi indikator pp 1% beberapa tetes. Destilasi diakhiri dengan larutan NaOH 0,1N. Kemudian dibuat blanko seperti perlakuan di atas tanpa sample.

Kadar protein sampel dihitung dengan rumus:

% Protein = % N x Faktor koreksi

d. Kadar Lemak

Pengamatan kadar lemak dilakukan pada perlakuan terbaik hasil uji sensori. Sampel yang digunakan adalah tempe segar umur 48 jam. Pengukuran kadar lemak dilakukan berdasarkan motode sokhlet (Sudarmadji, 1984). Labu lemak dikeringkan di dalam oven dan ditimbang. Sampel sebanyak 2 gram dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam ekstraksi sokhlet. Kemudian alat dipasang. Petroleum benzene dituangkan ke dalam labu lemak dan diekstraksi selama 5 jam. Cairan yang ada di dalam labu lemak didistilasi dan pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak tersebut diuapkan dalam oven 105oC (15-20 menit). Kemudian sampel ditimbang sampai berat konstan.

Kadar lemak sampel dihitung dengan rumus:


(36)

e. Kadar Air

Pengamatan kadar air dilakukan pada perlakuan terbaik hasil uji sensori. Sampel yang digunakan adalah tempe segar umur 48 jam. Pengukuran kadar air dilakukan dengan metode AOAC (1984). Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 3 gram dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 100-105oC selama 3 jam. Sampel didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Selanjutnya sampel dipanaskan lagi dalam oven selama 30 menit dan didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Perlakuan ini diulang berturut-turut hingga berat konstan (selisih penimbangan berturut-turut kurang dari 0,2 mg). Pengurangan berat menunjukkan banyaknya air dalam sampel. Kadar air sampel dihitung dengan rumus:

Keterangan :

A = Bobot cawan (g)

B = Bobot cawan + sampel sebelum dikeringkan (g) C = Bobot cawan + sampel setelah dikeringkan (g) f. Kadar Abu

Pengamatan kadar abu dilakukan pada perlakuan terbaik hasil uji sensori. Sampel yang digunakan adalah tempe segar umur 48 jam. Pengukuran kadar abu ini dilakukan dengan metode AOAC (1984). Sampel yang telah dihaluskan ditimbang sebanyak 3 gram dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Sampel dibakar di atas kompor hingga tidak berasap. Kemudian sampel dipijarkan dalam


(37)

31

tanur pada suhu 600oC selama 4 jam (hingga diperoleh abu bewarna keputih-putihan). Kemudian cawan dan abu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Kadar abu sampel dihitung dengan rumus:

Keterangan :

A = Bobot contoh B = Bobot cawan + Abu C = Bobot cawan kosong g. Kadar karbohidrat

Pengamatan kadar karbohidrat dilakukan pada perlakuan terbaik hasil uji organoleptik. Sampel yang digunakan adalah tempe segar umur 48 jam. Kadar karbohidrat diukur dengan menggunakan metode by different (Winarno, 1992), yaitu:

% karbohidrat = 100% - % (protein + lemak + air + abu). h. Nilai pH

Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter menurut prosedur AOAC (1984). Nilai pH diukur pada suhu yang sama. Sebelum pengukuran, pH-meter distandarisasi dengan menggunakan buffer standar pH 4 dan pH 7. Pengukuran dilakukan dengan cara elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tisue. Sampel dimasukkan ke dalam gelas piala 100 ml kemudian elektroda dicelupkan hingga tenggelam pada larutan sampel dan dibiarkan kurang lebih satu menit hingga diperoleh angka yang stabil dan dicatat nilainya. Nilai pH diukur secara duplo.


(38)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Konsentrasi Lactobacillus acidophilus 1%, 1,5%, dan 2% dapat menghambat

kerusakan dan memperpanjang umur simpan antara 72 jam sampai 112 jam . 2. Konsentrasi tepung sagu 0,4% merupakan sumber energi yang terbaik bagi

pertumbuhan Lactobacillus acidophilus 1,5%.

3. Tempe dengan perlakuan konsentrasi lactobacillus acidophilus 1,5% dan tepung sagu 0,4% adalah tempe perlakuan terbaik yang memiliki sifat organoleptik terbaik dengan skor warna 3,86 (agak kuning kecoklatan), skor aroma 3,94 (khas tempe dan tidak asam), skor tekstur 3,70 (kompak dan padat), skor rasa 3,91 (khas tempe) dan skor penerimaan keseluruhan 3,94 (suka).

4. Deskripsi tempe perlakuan terbaik berdasarkan metode free choice profiling adalah warna putih, putih menyeluruh dan putih kekuningan; tekstur padat, kompak, empuk, keras, dan lembek; aroma khas tempe, agak khas tempe dan sedikit asam; rasa khas tempe, gurih, renyah, pahit, langu,dan agak asam.


(39)

60

B. Saran

Pembuatan starter Lactobacillus acidophilus dalam bentuk instan seperti ragi tempe perlu dilakukan agar dapat memudahkan pengrajin tempe kedelai dalam pengaplikasian. Penggunaan minyak goreng dalam proses penggorengan tempe kedelai perlu dikaji mengenai pengulangan penggorengan karena dapat mempengaruhi mutu dan sifat sensori tempe kedelai tersebut.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984.Official Methods of Analysis. Association of Official Agricultural Chemist. 14th ed. AOAC. Inc. Arlington. Virginia. 850 pp.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.

Aptesia, L.T. 2013. Pemanfaatan Lactobacillus Casei dan Tapioka Dalam Upaya Menghambat Kerusakan Tempe Kedelai. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Astawan, M., 2008. Sehat Dengan Tempe. Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan dengan Tempe. PT Dian Rakyat, Jakarta.

Astuti, N.P. 2000. Sifat Organoleptik Tempe Kedelai yang Dibungkus Plastik, Daun Pisang dan Daun Jati. Karya Tulis Ilmiah Program Studi Gizi Diploma III Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. 23 hlm.

Axelsson, L. 1990. Lactic Acid Bacteria: Classification and physiology. In Salminen, S and A.V. Wright. 1993. Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker, Inc. New York. 43-47 page.

Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3144:2009 Tempe Kedelai. BSN. Jakarta. 17-19 hal.

Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Bandung. 56 hal.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 2004. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Binatara Aksara. Jakarta. 58 hlm.

Djanis, R.L. dan Hanafi. 2008. Analisis Mutu Gizi Tempe Selama Penyimpanan Dingin. Warta Akab. Diakses tanggal 29 Oktober 2012. 19 hal.

Djoefrie, M. H. B. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(41)

62

Estiasih, T. dan K. Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta.

Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 320 hal.

Fellows. 1992. Food Processing Technology. Woodhead Publishing Limited. Cambridge.

Ferlina, F. 2009. Tempe. http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php. Diakses pada tanggal 2 Januari 2012. 4 hal.

Guy, C., Piggot, and Marie. 1989. Consumer Free Choice Profiling of whisky: In Distilled Beverage Flavour. Piggot, J.R and Peterson (eds) Ellies Horwood Ltd. Chicester. England.

Haryanto, B. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta : Kanisius.

Hermana dan M, Karmini,. 1999. The Development of Tempe Technology. Di dalam Agranoff, J (editor danpenerjemah), The Complete Handbook of Tempe: The Unique Fermented Soyfood of Indonesia, hlm. 80– 92.Singapura: The American Soybean Association. 23 page.

Hidayat. 2006. Analisis Perbandingan Teknologi Pembuatan Tempe. Laporan Penelitian Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Universitas Brawijaya. Jay, J.M. 1992. Modern Food Microbiology. Fourth Edition. Michigan publising.

New York.

Kanbe, M. 1992. Functions of Fermented Milk : Challenges for The Health Sciences ( Ed. Y. Nakazawa and A. Hosono), Elsevier Appl. Publ., London.

Kasmidjo. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. 147 hlm.

Kemala, S. 2006. Upaya Memperpanjang Umur Simpan Tempe Dengan Metode Pengeringan dan Sterilisasi. Departemen Teknologi Pangan Dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 5. Koswara. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bharata. Jakarta. 64


(42)

Marcon M.J.A., M.A Vieira., K. Santo., K.N De Simas., R.D.M.C Amboni., and E.R Amante. 2006. Dalam Putri, W.D.R., Haryadi., D.W. Marseno., dan M.N. Cahyanto. 2012. Isolasi dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat Amilolitik Selama Fermentasi Growol, Makanan Tradisional Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 13 No. 1. Hal 52-60.

Noviyanti, Y. 2012. Pengaruh Waktu Pemanasan dan Jenis Susu Terhadap Sifat Organoleptik Permen Karamel Susu. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Nugroho, A. I . 2007. Penentuan Proporsi Inokulum Tempe TIP Hasil Perbaikan Pada Proses Pembuatan Tempe Di UKM Tempe Sanan-Kota Malang. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Nurkori. 1997. Karakterisasi Aroma dan Rasa Tempe. Skripsi Departemen Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Oktafiani, N. 2001. Pengaruh Macam Varietas Kedelai terhadap Mutu Tempe Selama Penyimpanan Suhu Beku. Jur. THP-FTP.Unibraw. Malang. Pratomo, A. 2000. Pemanfaatan Lactobacillus plantarum dan Tepung Beras

Dalam Upaya Menghambat Kerusakan Tempe Kedelai. Thesis Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang.

Puryana, I.G.P.S. 2008. Pemanfataan Kedelai Dalam Pembuatan Bubur Sumsum Sebagai Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Jurnal Skala Husada 5(2): 91-97 hlm.

Putri, A.R. 2012. Pengaruh Kadar Air Terhadap Tekstur dan Warna Keripik Pisang Kepok. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Rahayu, W.P., S. Ma’oen, Suliantri, S. Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Ikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Reddy G., M.D Altaf., B.J Naveena., M. Ven-kateshwar., and E.V Kumar. 2008. Dalam Putri, W.D.R., Haryadi., D.W. Marseno., dan M.N. Cahyanto. 2012. Isolasi dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat Amilolitik Selama Fermentasi Growol, Makanan Tradisional Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 13 No. 1. Hal 52-60.

Sartika, N.D. 2007. Studi Pendahuluan Daya Antioksidan Ekstrak Metanol Tempe Segar dan Tempe "Busuk" Kota Malang Terhadap Radikal Bebas DPPH (1,1 -difenil-2-pikrilhidrazil). Skripsi. Universitas Negeri Malang.

Sarwono, B. 2002. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Shurtleff, W and A. Aoyogi. 1979. The Book of Tempeh. Harper Row. New York.


(43)

64

Sudarmadji, S. 1984. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ketiga. Liberty. Yogyakarta. 201-204 hal.

Sultanry, R dan B. Kaseger. 1985. Kimia Pangan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negri Indonesia Bagian Timur.

Suprapti, M.L. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta. 115 Hal. Suprapto. 1997. Bertanam Kedelai. Penebar swadaya. Jakarta.

Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT. Tri Cipta Karya, Jakarta.

Syarief, R., H, Joko., H, Purwiyatno., W, Sutedja., Suliantari., S, Dahrul., E, S, Nugraha., dan Y, S, Pieter. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala. Surabaya. 34 hal.

Tenney, D. 1996. Acidophilus. Woodland Publishing. Pleasant Grove.

Triastuti, I. 2013. Pengaruh Formulasi Minuman Sari Wortel Dengan Buah Pencampur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Winarno, F.G , Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta. 43 hal.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G. dan I.E. Fernandez, 2007. Susu dan Produk Fermentasi. M-brio

press. Bogor.

White, J. 1980. Technology of Fermentation. 2nd ed. The Avi Publishing Co. Inc. London. 486 page.


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Konsentrasi Lactobacillus acidophilus 1%, 1,5%, dan 2% dapat menghambat

kerusakan dan memperpanjang umur simpan antara 72 jam sampai 112 jam . 2. Konsentrasi tepung sagu 0,4% merupakan sumber energi yang terbaik bagi

pertumbuhan Lactobacillus acidophilus 1,5%.

3. Tempe dengan perlakuan konsentrasi lactobacillus acidophilus 1,5% dan tepung sagu 0,4% adalah tempe perlakuan terbaik yang memiliki sifat organoleptik terbaik dengan skor warna 3,86 (agak kuning kecoklatan), skor aroma 3,94 (khas tempe dan tidak asam), skor tekstur 3,70 (kompak dan padat), skor rasa 3,91 (khas tempe) dan skor penerimaan keseluruhan 3,94 (suka).

4. Deskripsi tempe perlakuan terbaik berdasarkan metode free choice profiling adalah warna putih, putih menyeluruh dan putih kekuningan; tekstur padat, kompak, empuk, keras, dan lembek; aroma khas tempe, agak khas tempe dan sedikit asam; rasa khas tempe, gurih, renyah, pahit, langu,dan agak asam.


(2)

60

B. Saran

Pembuatan starter Lactobacillus acidophilus dalam bentuk instan seperti ragi tempe perlu dilakukan agar dapat memudahkan pengrajin tempe kedelai dalam pengaplikasian. Penggunaan minyak goreng dalam proses penggorengan tempe kedelai perlu dikaji mengenai pengulangan penggorengan karena dapat mempengaruhi mutu dan sifat sensori tempe kedelai tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

AOAC. 1984.Official Methods of Analysis. Association of Official Agricultural Chemist. 14th ed. AOAC. Inc. Arlington. Virginia. 850 pp.

Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Analisis Pangan. IPB Press. Bogor.

Aptesia, L.T. 2013. Pemanfaatan Lactobacillus Casei dan Tapioka Dalam Upaya Menghambat Kerusakan Tempe Kedelai. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Astawan, M., 2008. Sehat Dengan Tempe. Panduan Lengkap Menjaga Kesehatan dengan Tempe. PT Dian Rakyat, Jakarta.

Astuti, N.P. 2000. Sifat Organoleptik Tempe Kedelai yang Dibungkus Plastik, Daun Pisang dan Daun Jati. Karya Tulis Ilmiah Program Studi Gizi Diploma III Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta. 23 hlm.

Axelsson, L. 1990. Lactic Acid Bacteria: Classification and physiology. In Salminen, S and A.V. Wright. 1993. Lactic Acid Bacteria. Marcel Dekker, Inc. New York. 43-47 page.

Badan Standardisasi Nasional. 2009. SNI 3144:2009 Tempe Kedelai. BSN. Jakarta. 17-19 hal.

Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bumi Aksara. Bandung. 56 hal.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI. 2004. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Binatara Aksara. Jakarta. 58 hlm.

Djanis, R.L. dan Hanafi. 2008. Analisis Mutu Gizi Tempe Selama Penyimpanan Dingin. Warta Akab. Diakses tanggal 29 Oktober 2012. 19 hal.

Djoefrie, M. H. B. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Orasi Ilmiah. Institut Pertanian Bogor, Bogor.


(4)

62

Estiasih, T. dan K. Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. Bumi Aksara. Jakarta.

Fardiaz, S. 1988. Fisiologi Fermentasi. Bogor: Pusat Antar Universitas Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 320 hal.

Fellows. 1992. Food Processing Technology. Woodhead Publishing Limited. Cambridge.

Ferlina, F. 2009. Tempe. http://www.adln.lib.unair.ac.id/go.php. Diakses pada tanggal 2 Januari 2012. 4 hal.

Guy, C., Piggot, and Marie. 1989. Consumer Free Choice Profiling of whisky: In Distilled Beverage Flavour. Piggot, J.R and Peterson (eds) Ellies Horwood Ltd. Chicester. England.

Haryanto, B. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta : Kanisius.

Hermana dan M, Karmini,. 1999. The Development of Tempe Technology. Di dalam Agranoff, J (editor danpenerjemah), The Complete Handbook of Tempe: The Unique Fermented Soyfood of Indonesia, hlm. 80– 92.Singapura: The American Soybean Association. 23 page.

Hidayat. 2006. Analisis Perbandingan Teknologi Pembuatan Tempe. Laporan Penelitian Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Universitas Brawijaya. Jay, J.M. 1992. Modern Food Microbiology. Fourth Edition. Michigan publising.

New York.

Kanbe, M. 1992. Functions of Fermented Milk : Challenges for The Health Sciences ( Ed. Y. Nakazawa and A. Hosono), Elsevier Appl. Publ., London.

Kasmidjo. 1990. Tempe Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM. Yogyakarta. 147 hlm.

Kemala, S. 2006. Upaya Memperpanjang Umur Simpan Tempe Dengan Metode Pengeringan dan Sterilisasi. Departemen Teknologi Pangan Dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal 5. Koswara. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bharata. Jakarta. 64


(5)

Marcon M.J.A., M.A Vieira., K. Santo., K.N De Simas., R.D.M.C Amboni., and E.R Amante. 2006. Dalam Putri, W.D.R., Haryadi., D.W. Marseno., dan M.N. Cahyanto. 2012. Isolasi dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat Amilolitik Selama Fermentasi Growol, Makanan Tradisional Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 13 No. 1. Hal 52-60.

Noviyanti, Y. 2012. Pengaruh Waktu Pemanasan dan Jenis Susu Terhadap Sifat Organoleptik Permen Karamel Susu. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Nugroho, A. I . 2007. Penentuan Proporsi Inokulum Tempe TIP Hasil Perbaikan Pada Proses Pembuatan Tempe Di UKM Tempe Sanan-Kota Malang. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.

Nurkori. 1997. Karakterisasi Aroma dan Rasa Tempe. Skripsi Departemen Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Oktafiani, N. 2001. Pengaruh Macam Varietas Kedelai terhadap Mutu Tempe Selama Penyimpanan Suhu Beku. Jur. THP-FTP.Unibraw. Malang. Pratomo, A. 2000. Pemanfaatan Lactobacillus plantarum dan Tepung Beras

Dalam Upaya Menghambat Kerusakan Tempe Kedelai. Thesis Pasca Sarjana. Universitas Brawijaya. Malang.

Puryana, I.G.P.S. 2008. Pemanfataan Kedelai Dalam Pembuatan Bubur Sumsum Sebagai Makanan Pendamping ASI (MP-ASI). Jurnal Skala Husada 5(2): 91-97 hlm.

Putri, A.R. 2012. Pengaruh Kadar Air Terhadap Tekstur dan Warna Keripik Pisang Kepok. Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makasar.

Rahayu, W.P., S. Ma’oen, Suliantri, S. Fardiaz. 1992. Teknologi Fermentasi Produk Ikan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Reddy G., M.D Altaf., B.J Naveena., M. Ven-kateshwar., and E.V Kumar. 2008. Dalam Putri, W.D.R., Haryadi., D.W. Marseno., dan M.N. Cahyanto. 2012. Isolasi dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat Amilolitik Selama Fermentasi Growol, Makanan Tradisional Indonesia. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 13 No. 1. Hal 52-60.

Sartika, N.D. 2007. Studi Pendahuluan Daya Antioksidan Ekstrak Metanol Tempe Segar dan Tempe "Busuk" Kota Malang Terhadap Radikal Bebas DPPH (1,1 -difenil-2-pikrilhidrazil). Skripsi. Universitas Negeri Malang.

Sarwono, B. 2002. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta. Shurtleff, W and A. Aoyogi. 1979. The Book of Tempeh. Harper Row. New York.


(6)

64

Sudarmadji, S. 1984. Prosedur Analisis untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ketiga. Liberty. Yogyakarta. 201-204 hal.

Sultanry, R dan B. Kaseger. 1985. Kimia Pangan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negri Indonesia Bagian Timur.

Suprapti, M.L. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta. 115 Hal. Suprapto. 1997. Bertanam Kedelai. Penebar swadaya. Jakarta.

Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. PT. Tri Cipta Karya, Jakarta.

Syarief, R., H, Joko., H, Purwiyatno., W, Sutedja., Suliantari., S, Dahrul., E, S, Nugraha., dan Y, S, Pieter. 1999. Wacana Tempe Indonesia. Universitas Katolik Widya Mandala. Surabaya. 34 hal.

Tenney, D. 1996. Acidophilus. Woodland Publishing. Pleasant Grove.

Triastuti, I. 2013. Pengaruh Formulasi Minuman Sari Wortel Dengan Buah Pencampur. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Winarno, F.G , Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia. Jakarta. 43 hal.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winarno, F.G. dan I.E. Fernandez, 2007. Susu dan Produk Fermentasi. M-brio

press. Bogor.

White, J. 1980. Technology of Fermentation. 2nd ed. The Avi Publishing Co. Inc. London. 486 page.