ANALISIS PENYERTAAN MODAL KABUPATEN/KOTA DAN KEBIJAKAN PIMPINAN BUMD SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA BUMD (STUDI KASUS PADA 10 KABUPATEN/KOTA PROVINSI LAMPUNG)

(1)

i

ANALISIS PENYERTAAN MODAL KABUPATEN/KOTA DAN KEBIJAKAN PIMPINAN BUMD

SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA BUMD

(STUDI KASUS PADA 10 KABUPATEN/KOTA PROVINSI LAMPUNG) ABSTRAK

Oleh:

SUTARYONO HADIWIBOWO

Dalam upaya peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD, pemerintah daerah merealisasikan penyertaan modal dengan harapan kinerja BUMD tersebut akan meningkat sehingga pemerintah daerah dapat memperoleh bagi hasil sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) selain dari besarnya penyertaan modal, top manajemen BUMD juga sangat berpengaruh terhadap kinerja BUMD, karena para pimpinan tersebut yang mengambil kebijakan strategis dalam meningkatkan kinerja BUMD. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh bukti empiris bahwa penyertaan modal BUMD dan kebijakan pimpinan BUMD berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja BUMD

Penelitian ini dilakukan pada 20 BUMD di 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung, dengan menggunakan uji statistika analisis regresi untuk menguji pengaruh penyertaan modal (X1) dengan kinerja BUMD (Y). Uji

hipotesis dengan membandingkan nilai sig pada tiap variabel menunjukan nilai Sig ≤ α, Sedangkan hasil uji t menunjukkan bahwa t hitung sebesar 2.312 dan signifikansi t sebesar 0,00. Sedangkan uji analasis deskriptif digunakan untuk menguji pengaruh kebijakan pimpinan BUMD (X2) dengan kinerja BUMD (Y),

hasil pengujian menunjukkan indikator kebijakan pimpinan BUMD memiliki pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan fluktuasi kinerja BUMD dalam bentuk bagi hasil yang selalu meningkat dari tahun 2008 sampai dengan 2012.

Berdasarkan pengujian diatas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa penyertaan modal dan kebijakan pimpinan berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja BUMD, berarti bahwa semakin baik penyertaan modal dan kebijakan pimpinan maka kinerja BUMD semakin baik juga.


(2)

ii

ANALYSIS OF DISTRICT’S CAPITAL INVESTMENT AND REGIONAL-OWNED ENTERPRISES’S CHIEF EXECUTIVE POLICY AND ITS EFFECT

ON REGIONAL-OWNED ENTERPRISES’S PERFORMANCE (CASE STUDY ON THE 10 DISTRICTS IN PROVINCE LAMPUNG)

ABSTRACT By:

SUTARYONO HADIWIBOWO

In order to improve the performance of regional-owned enterprises, local governments enclose capital investment in order to increase the performance of public enterprises so that local governments can obtain the results as revenue (PAD) apart from its capital investment, the top management of enterprises is also very influential on performance of enterprises, as these leaders who took the strategic policy in improving the performance of enterprises. study aims to obtain empirical evidence that equity-owned enterprises and policy leaders significantly influence the performance of public enterprises.

This study was conducted in 20 regional-owned enterprises in 10 districts in Province Lampung, with the regression analysis using statistical tests to examine the effect of capital investments (X1) with the performance of public enterprises (Y). Test the hypothesis by comparing the value of each variable showed sig Sig value ≤ α, while the results of the t test showed that t of 2.312 and a significance of 0.00 t. While analasis descriptive test was used to test the effect of policy-led enterprises (X2) with the performance of public enterprises (Y), the test results show leadership policy indicators enterprises have a significant effect compared with the performance of public enterprises in the form of fluctuations in the results is increasing from 2008 to 2012 .

Based on the test, the researcher can conclude that the equity and policy leaders significant positive effect on the performance of enterprises, means that both the equity and policy leaders, the better the performance of public enterprises as well.


(3)

ANALISIS PENYERTAAN MODAL KABUPATEN/KOTA DAN KEBIJAKAN PIMPINAN BUMD

SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KINERJA BUMD

(STUDI KASUS PADA 10 KABUPATEN/KOTA PROVINSI LAMPUNG)

Oleh:

SUTARYONO HADIWIBOWO NPM. 1121011049

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER MANAJEMEN

Pada

Program Pascasarjana Magister Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis Tesis ini adalah Sutaryono Hadiwibowo, dilahirkan di Surakarta pada tanggal 20 September 1977. Penulis telah menikah dengan Erni Laily Murniasih dan telah memiliki dua orang anak laki – laki dan perempuan yang bernama Ayyash Fairussyah dan Shafira Aulia

Penulis memulai pendidikan dasar di SD Negeri 34 Purwodiningratan dan lulus pada Tahun 1990, kemudian melanjutkan sekolah di SMP Negeri 4 Surakarta dan lulus pada Tahun 1993, setelah itu melanjutkan ke SMU Negeri 1 Surakarta dan lulus pada Tahun 1996. Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Strata Satu (S1) di Universitas Padjadajran Bandung pada Fakultas Ekonomi, Jurusan Akuntansi pada Tahun 1996 dan lulus pada Tahun 2001.

Penulis menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia pada Tahun 2007 dan ditempatkan di Perwakilan Provinsi Lampung hingga sekarang.


(8)

iii

SAN WACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat rahmat dan hidayahnya sehingga penulisan tesis yang berjudul “Analisis Penyertaan Modal Kabupaten/Kota dan Kebijakan Pimpinan Bumd Serta Pengaruhnya Terhadap Kinerja BUMD (Studi Kasus Pada 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung)” ini dapat diselesaikan.

Penyusunan tesis ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada program Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Penulisan tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan semua pihak baik secara moril maupun materiil.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Hi. Toto Gunarto, SE, M.Si., selaku pembimbing utama atas kesediaanya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini

2. Bapak Rinaldi Bursan, S.E., M.Si., selaku pembimbing kedua atas kesediaanya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam penyelesaian tesis ini

3. Bapak Prof. Dr. H. Satria Bangsawan., M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung Bapak Irham selaku ketuap program

4. Istri tercinta, Erni Laily Murniasih, SE, Ak, anak-anak tercinta Ayyash Fairussyah dan ShafiraAulia


(9)

iv

6. Teman-teman Mahasiswa MM angkatan 2011 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Pascasarjana UNILA, yang sudah banyak membantu

7. Rekan-rekan kerja BPK Perwakilan Provinsi Lampung.

8. Serta semua pihak yang telah banyak membantu sampai terselesaikannya tesis ini.

Akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangsempurnaan. Namun demikian penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi pembaca serta dapat dipergunakan sebagai masukan untuk pengkajian lebih lanjut.

Bandar Lampung, Agustus 2014


(10)

ix DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….……….. i

ABSTRACT………... ii

HALAMAN PERSETUJUAN………... iii

HALAMAN PENGESAHAN……… iv

LEMBAR PERNYATAAN……… v

RIWAYAT HIDUP……… vi

KATA PENGANTAR……… vii

DAFTAR ISI……….. ix

DAFTAR TABEL……….. xiii

DAFTAR GAMBAR ……….. xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….. xvii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Kerangka Pemikiran ... 9

1.6. Hipotesis ... 13

II. TINJAUAN PUSTAKA... 14

2.1. Penyertaan Modal... 14


(11)

x

2.1.2. Jenis – jenis Penyertaan Modal ... 20

2.2. Kebijakan Pimpinan ... 22

2.3. Kinerja BUMD ... 29

2.3.1. Pengertian Kinerja ... 29

2.3.2. Standar Kinerja Perusahaan ... 35

2.3.3. Pengukuran Kinerja Perusahaan ... 40

2.3.4. Penilaian Kinerja Perusahaan ... 48

2.4. Pengaruh Penyertaan Modal Terhadap Kinerja BUMD ... 51

2.5. Pengaruh Kebijakan Pimpinan Terhadap Kinerja BUMD ... 53

III. METODE PENELITIAN... 56

3.1. Jenis Penelitian ... 56

3.2. Sumber Data ... 57

3.2.1. Data Primer ... 57

3.2.2. Data Skunder ... 57

3.3. Populasi ... 57

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 58

3.5. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 59

3.5.1. Variabel Bebas (X) ... 59

3.5.1.1. Penyertaan Modal (X1) ` ... 59

3.5.1.2. Kebijakan Pimpinan (X2) ` ... 60

3.5.2. Variabel Terikat (Y) ... 61

3.6. Alat Analisis Data ... 62

3.6.1. Analisis Regresi ... 63

3.6.1.1. Uji Kelayakan Model Regresi ... 63


(12)

xi

3.6.1.3. Uji Hipotesis ... 64

3.6.2. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian` 65 3.6.2.1. Uji Validitas ` ... 65

3.6.2.2. Uji Reliabilitas ` ... 66

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 68

4.1. Gambaran Umum Perusahaan ... 68

4.1.1. Profil Bank Lampung ... . 68

4.1.2. Profil Badan Usaha Milik Daerah Lampung (BUMD) .. 70

4.2. Analisis Data ... 72

4.2.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 72

4.2.1.1. Pengujian Validitas ... 72

4.2.1.2. Pengujian Reliabilitas ... 73

4.3. Deskripsi Umum Hasil Penelitian ... 74

4.3.1. Karakteristik Responden ... 74

4.3.1.1. Jenis Kelamin Responden ... 75

4.3.1.2. Pengalaman Kerja Responden ... 76

4.3.1.3 Tingkat Pendidikan Responden ... 76

4.3.1.4 Golongan/Pangkat Responden ... 77

4.3.2 Analisis Penyertaan Modal ... 78

4.3.3 Analisis Kebijakan Pimpinan BUMD ... 79

4.3.4 Analisis Kinerja BUMD ... 90

4.4. Hasil Perhitungan dan Pembahasan ... 91

4.4.1 Pengaruh Penyertaan modal (X1) Terhadap Kinerja BUMD (Y) ... 91


(13)

xii

4.4.1.1 Pembentukan Model ... 91

4.4.1.2 Uji Kelayakan dan Keberartian Model ... 91

4.4.1.3 Pengujian Hipotesis ... 95

4.4.2 Pengaruh Kebijakan pimpinan (X2) Terhadap Kinerja BUMD (Y) ... 96

V. SIMPULAN DAN SARAN... 99

5.1. Simpulan ... ... 99

5.2. Saran ... ... 99

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(14)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Penyertaan Modal pada Kabupaten/Kota Tahun 2008 s.d Tahun 2012

3

1.2 Kontribusi/Bagi Hasil BUMD pada Kabupaten/Kota 6 4.1 Uji Validitas Variabel Kebijakan Pimpinan 73 4.2 Uji Reliabilitas variabel Kebijakan Pimpinan 74

4.3 Jenis kelamin Responden 75

4.4 Pengalaman Kerja 76

4.5 Tingkat Pendidikan Responden 76

4.6 Golongan / Pangkat Responden 77

4.7 Penyertaan Modal BUMD 78

4.8 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap kebijakan pimpinan berdasarkan Indikator adanya tuntutan kebijakan dari swasta (Pernyataan 1)

80

4.9 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator adanya tuntutan kebijakan dari pemerintah (Pernyataan 2)

80

4.10 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator adanya tuntutan dari pihak stakeholder (Pernyataan 3)

81

4.11 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Keputusan dibuat berdasarkan kesepakatan bersama (Pernyataan 4)

82

4.12 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Keputusan menyangkut kepentingan bersama (Pernyataan 5)

82

4.13 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap

Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Keputusan didasarkan hasil kajian bersama (Pernyataan 6)


(15)

xiv

4.14 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Adanya pernyataan kebijakan dari pejabat pemerintah (Pernyataan 7)

84

4.15 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Pernyataan kebijakan berisi regulasi-regulasi (Pernyataan 8)

84

4.16 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Pernyataan kebijakan sesuai dengan visi dan misi yang ada (Pernyataan 9)

85

4.17 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Hasil kebijakan memiliki dampak positif bagi tumbuhnya investasi (Pernyataan 10)

86

4.18 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap

Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator hasil kebijakan sesuai dengan rencana (Pernyataan 11)

87

4.19 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator hasil kebijakan berkontribusi terhadap peningkatan APBD (Pernyataan 12)

87

4.20 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator adanya peningkatan pendapatan asli daerah (Pernyataan 13)

88

4.21 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap

Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Kepercayaan investor semakin meningkat (Pernyataan 14)

89

4.22 Distribusi Frekuensi Tanggapan Responden Terhadap Kebijakan Pimpinan berdasarkan Indikator Meningkatkan kegiatan perekonomian masyarakat (Pernyataan 15)

90

4.23 Kontribusi/Bagi Hasil BUMD pada Kabupaten/Kota 90

4.24 Uji Kelayakan Model 93

4.25 Uji Kelayakan Keseluruhan Model 94

4.26 Keberartian Hubungan Variabel Bebas Terhadap Vaiabel Terikat Dengan Tinkat Kepercayan 95 Persen

96


(16)

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuisioner

Lampiran 2 Penyertaan Modal 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung pada BUMD Tahun 2008 s.d Tahun

Lampiran 3 Data Hasil Kuisioner Kebijakan Pimpinan BUMD

Lampiran 4 2012Kontribusi/Bagi Hasil BUMD pada Kabupaten/Kota Tahun 2008 s.d Tahun 2012


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka Pemikiran... 12 3.1. Model Pengaruh Penyertaan Modal dan Kebijakan


(19)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pemberlakukan kebijakan pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah mendeksripsikan bahwa setiap pemerintah daerah baik pemerintah daerah propinsi maupun pemerintah daerah kabupaten dituntut untuk mampu membiayai berbagai pembangunan daerahnya. Hal tersebut menjelaskan bahwa setiap daerah diharuskan untuk memiliki kemampuan dalam upaya mengoptimalkan berbagai potensi sumberdaya yang dimilikinya baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.

Kemampuan untuk menganalisis berbagai potensi sumber daya daerah dan mengoptimalkan secara tepat akan menjadi sumber kekuatan daerah dalam melanjutkan roda pembangunan pada daeerah tersebut. Pada hubungan ini, sebagai sumber-sumber penerimaan daerah keseluruhannyadalam pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini adalah: (a) Pendapatan Asli Daerah; (b) Dana Perimbangan; (c) Pinjaman Daerah dan (d) Lain-lain Penerimaan yang sah. Adapun sumber PAD tersebut meliputi; (a) hasil pajak daerah; (b) hasil retribusi daerah; (c) hasil perusahaan milik daerah dan hasil kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan(d) lain-lain PAD yang sah.


(20)

2 Pada upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pemanfaatan potensi daerah, pemerintah daerah pada hakikatnya dapat mendirikan beberapa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat namun disisi lain Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dua peranan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ini sering menimbulkan permasalahan dalam pengelolaannya, hal ini karena jika Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) hanya mengejar fungsi sosial maka fungsi sebagai penyokong sumberdana pembangunan daerah akan menurun, namun disisi lain jika fungsi sebagai penyokong sumber pendapatan daerah ditingkatkan dikhawatirkan fungsi sosial Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak akan optimal.

Selanjutnya dalam upaya peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), pemerintah daerah melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dapat menganggarkan dan merealisasikan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Adapun pelaksanaan penyertaan modal pemerintah daerah kedalam Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah salah satu bentuk kegiatan/usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dinyatakan bahwa setiap penyertaan modal atau penambahan penyertaan modal kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) harus diatur dalam perda tersendiri tentang penyertaan atau penambahan modal. Perlu diingat bahwa penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran


(21)

3 berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah berkenaan. Penambahan penyertaan modal oleh Pemda bersumber dari APBD tahun anggaran berjalan pada saat penyertaan atau penambahan penyertaan modal tersebut dilakukan.

Pada sisi ini kebijakan penyertaan modal dewasa ini terus dilakukan di berbagai daerah termasuk di daerah dalam wilayah Provinsi Lampung. Tercatat terdapat kabupaten dan kota melakukan penyertaan modal pada BUMD. Ini memperlihatkan bahwa BUMD hampir setiap tahun diberikan penyertaan modal dalam menjalankan usahanya. Untuk lebih jelasnya berikut dibawah ini merupakan tabel yang menjelaskan penyertaan modal Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung:

Tabel 1.1

Penyertaan Modal pada Kabupaten/Kota Tahun 2008 s.d Tahun 2012

No Kabupaten/Kota Total

1 Kota Bandar Lampung 8.957.000.000,00

2 Kota Metro 4.000.000.000,00

3 Kab. Lampung Utara 19.299.613.165,00

4 Kab. Lampung Selatan 0,00

5 Kab. Lampung Barat 6.000.000.000,00

6 Kab. Lampung Timur 7.250.000.000,00

7 Kab. Lampung Tengah 3.000.000.000,00

8 Kab.Tanggamus 7.781.703.000,00

9 Kab.Tulangbawang 22.926.500.000,00

10 Kab. Way Kanan 6.500.000.000,00

Jumlah 85.714.816.165,00

Sumber : Laporan Hasil Pemeriksaan LKPD TA 2008 s.d 2012, BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung (audited)

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa terdapat kabupaten dan kota di provinsi lampung yang melakukan penyertaan modal kepada BUMD dengan total penyertaan modal tersebut mencapai Rp. 85.714.816.165,00. Besaran


(22)

4 nominal penyertaan modal tersebut memperlihatkan bahwa penyertaan modal dideskripsikan pada kebutuhan BUMD dalam meningkatkan kinerja perusahaan. Perlu ditekankan bahwa penyertaan modal yang dilakukan pada BUMD pada dasarnya adalah investasi yang tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan, tetapi untuk mendapatkan dividen dan/atau pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang dan/atau menjaga hubungan kelembagaan.

Permasalahan yang terjadi ketika pemberian penyertaan modal oleh pemerintah derah kabupaten dan kota di Porvinsi Lampung kurang dimanfaatkan secara optimal dalam memperkuat struktur permodalan perusahaan daerah sehingga kurang terjadi peningkatan kapasitas usaha. Permasalahan ini tentunya menggambarkan bahwa penyertaan modal pada realitasnya kurang mendorong BUMD setempat menjadi lebih maju dan kompetitif, bahkan yang terjadi ketika penyertaan modal tersebut memberikan ketergantungan terhadap BUMD dalam menjalankan roda usahanya.

Fenomena yang hampir sama terjadi juga pada segi kebijkaan pimpinan dalam kegiatan usaha BUMD. Permasalahan ini cukup dilematis ketika seorang pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin. Ketika kebijakan pemimpn tersebut tidak relvan dalam memperbaiki kondisi perushaaan, maka yang terjadi adalah penurunan kinerja dari BUMD. Secara umum kebijakan pimpinan merupakan serangkaian tindakan yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok pimpinan dalam rangka menciptakan suatu kondisi yang statis oleh karena suatu situasi yang ditandai dengan berbagai problem. Hal ini mengidikasikan bahwa


(23)

5 suatu kebijakan pemimpin bukan saja harus kontrukstif, melainkan juga harus prosedural, efektif dan efisien.

Berdasarkan observasi dapat diketahui bahwa tidak semua penetapan kebijakan dilakukan oleh manajemen puncak, tetapi yang pasti, makin tinggi kedudukan manajer dalam struktur organisasi, makin penting pula peranannya dalam penetapan kebijakan. Hal ini dapat dimengerti karena manager organisasi adalah pengambil kebijakan/keputusan yang tertinggi. Meskipun para manager tingkat bawah hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh atasan pada tingkat yang lebih tinggi, namun ada kalanya mereka juga membuat kebijakan sendiri sebagai pedoman mereka dan bawahan mereka.

Peran startegis dalam kebijakan pimpinan pada prinsipnya dapat mendukung dan menghambat kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), hal ini tentunya membutuhakan pimpina yang mengerti terhadap berbagai kebijakan yang akan diambil. Adapun kebijakan-kebijakan pimpinann yang bersifat strategis dan efektif tentu menjadi sebuah dorongan positif bagi kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam menyongsong kesuksesan. Namun konsep tersebut tidak ditemukan dalam menilain bagaimana kinerja BUMD khusunya mengenai kontribusi BUMD dalam memberikan peranan peningkatan Pendapatan Asli Daerah.

Siegel dan Shim (1994) memberikan batasan yang lebih rinci tentang kinerja, yaitu sebuah pernyataan yang menyajikan ukuran hasil yang sebenarnya dari beberapa kegiatan pribadi atau kesatuan pada periode waktu yang sama dan dibandingkan dengan anggaran atau ukuran standar yang diperoleh dengan


(24)

6 beberapa asumsi keadaan selama periode yang sama pula. Konsep ini memperlihatkan bahwa kinerja perusahaan merupakan tingkat pelaksanaan tugas (kemampuan kerja) yang bisa mencapai baik sebagian atau semua aktivitas yang ada dalam sebuah organisasi dengan menggunakan kemampuan yang ada dan batasan-batasan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan perusahaan BUMD khususnya dalam memberikan kontribusi yang maksimal terhadap PAD.

Peingkatan kontribusi BUMD terhadap Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung begitu rendah, ini memperlihatkan bahwa kinerja BUMD berlum memberikan implikasi yang signifikan terhadap perananya dalam Pendapatan Asli Daerah. Untuk lebih jelasnya berikut dibawah ini merupakan tabel yang menjelaskan kontribusi/bagi hasil BUMD pada Kabupaten/Kota Kabupaten dan Kota di Provinsi Lampung

Tabel 1.2

Kontribusi/Bagi Hasil BUMD pada Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota 2008 2009 2010 2011 2012

Kota Bandar Lampung 2.509.144.000,00 3.087.055.409,20 3.449.399.341,17 5.631.089.632,00 6.631.089.632,00 Kota Metro 520.452.000,00 665.120.737,49 937.823.489,86 1.576.543.753,00 2.056.949.123,00 Kab. Lampung Utara 863.028.000,00 1.065.993.974,10 1.362.316.168,64 2.203.677.148,04 2.923.139.536,05 Kab. Lampung Selatan 2.534.792.000,00 2.883.841.467,39 3.178.856.138,51 4.818.047.644,00 5.252.537.097,00 Kab. Lampung Barat 654.408.000,00 857.559.329,00 1.091.608.569,52 1.887.192.478,00 2.226.495.348,00 Kab. Lampung Timur 682.956.000,00 813.566.467,32 1.081.836.711,30 1.359.157.591,00 1.481.725.835,00 Kab. Lampung

Tengah 2.909.700.000,00 2.860.569.809,37 3.287.315.011,93 4.836.445.873,00 5.313.645.726,00 Kab.Tanggamus 1.377.216.000,00 1.543.260.026,91 1.604.455.696,36 2.447.487.648,00 2.668.201.026,00 Kab.Tulangbawang 661.840.000,00 821.103.259,23 1.186.991.843,57 2.752.787.729,00 2.063.854.607,00 Kab. Way Kanan 252.540.000,00 500.050.132,24 640.971.550,78 920.206.922,29 1.099.258.343,00 Jumlah 12.966.078.008,00 15.098.122.621,25 17.821.576.531,64 28.432.638.429,33 31.716.898.285,05

Sumber: Laporan Hasil Pemeriksaan LKPD TA 2008 sd TA 2011, BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung (audited)

Berdasarkan tabel 1.2 di atas maka terlihat bahwa kinerja BUMD 2008 sampai 2012 dalam bentuk kontribusi ke pemerintah daerah mengalami fluktuasi.


(25)

7 Selama periode tersebut BUMD di Provinsi Lampung menunjukkan peningkatan kinerjanya walaupun tidak signfikan. secara umum kinerja BUMD tersebut cukup memberikan kontribusi positif terhadap peningkatan pendapatan asli daerah kabupaten/kota di Provinsi Lampung.

Peningkatan pendapatan asli daerah tidak hanya dipengaruhi oleh kinerja BUMD akan tetapi dipengaruhi juga oleh kebijakan daerah yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan pendapatan asli daerah. Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang lebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah.

Pada kaitannya, dengan kebijakan pimpinan BUMD maka berdasarkan hasil observasi kebijakan daerah yang ditetapkan oleh BUMD kabupaten/kota di Provinsi Lampung belum cukup efektif dalam meningkatkan kinerja BUMD. Hal ini dikarenakan kebijakan Pimpinan BUMD tersebut masih tidak komperehensif


(26)

8 dan kurang mengikuti perkembangan pasar yang terus berkembang sehingga BUMD cednerung kurang memiliki peranaan yang strategis dalam hal menjalankan usaha pada suatu wilayah.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam dalam bentuk tesisi dengan judul “Analisis Penyertaan Modal Kabupaten/Kota dan Kebijakan Pimpinan BUMD serta Pengaruhnya Terhadap Kinerja BUMD (Studi Kasus Pada 10 Kabupaten/Kota Provinsi Lampung)”

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah penyertaan modal berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja BUMD?

2. Apakah kebijakan pimpinan BUMD berpengaruh signifikan terhadap kinerja BUMD?

1.3Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini, adalah :

1. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa penyertaan modal BUMD berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja BUMD.

2. Untuk memperoleh bukti empiris bahwa kebijakan pimpinan berpengaruh signifikan terhadap kinerja BUMD.


(27)

9 1.4Manfaat Penelitian

Secara rinci manfaat yang dapat diharapkan dari hasil penelitian adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam teori pengambilan keputusan dalam kegiatan manajemen organisasi.

2. Secara praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah terutama dalam penyertaan modal dan kebijakan keuangan daerah sehingga dimungkinkan dapat menignkatkan kinerja BUMD.

1.5Kerangka Penelitian

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah maka setiap pemerintah daerah baik pemerintah daerah propinsi maupun pemerintah daerah kabupaten dituntut untuk mampu membiayai pembangunan daerahnya. Untuk itu maka setiap daerah harus mampu mengoptimalkan potensi sumberdaya yang dimilikinya baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam. Kemampuan untuk menganalisis potensi daerah dan mengoptimalkan secara tepat akan menjadi sumber kekuatan daerah dalam melanjutkan roda pembangunan.


(28)

10 Pada upaya pemanfaatan potensi daerah, pemerintah daerah dapat mendirikan beberapa Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat namun disisi lain Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) juga bertujuan untuk memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dua peranan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ini sering menimbulkan permasalahan dalam pengelolaannya, hal ini karena jika Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) hanya mengejar fungsi sosial maka fungsi sebagai penyokong sumberdana pembangunan daerah akan menurun, namun disisi lain jika fungsi sebagai penyokong sumber pendapatan daerah ditingkatkan dikhawatirkan fungsi sosial Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) tidak akan optimal.

Selanjutnya dalam upaya peningkatan kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD, pemerintah daerah dapat menganggarkan dan merealisasikan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal. Penyertaan modal pemerintah daerah kedalam perusahaan daerah adalah salah satu bentuk kegiatan/usaha pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan daerah guna mensejahterakan masyarakat. Berdasarkan peraturan perundang-undangan dinyatakan bahwa setiap penyertaan modal atau penambahan penyertaan modal kepada perusahaan daerah harus diatur dalam perda tersendiri tentang penyertaan atau penambahan modal. Perlu diingat bahwa penyertaan modal pemerintah daerah dapat dilaksanakan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal daerah berkenaan. Penambahan penyertaan modal oleh Pemda bersumber dari APBD tahun anggaran


(29)

11 berjalan pada saat penyertaan atau penambahan penyertaan modal tersebut dilakukan.

Pada prinsipnya penyertaan modal yang dilakukan pada BUMD pada dasarnya adalah investasi yang tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan, tetapi untuk mendapatkan dividen dan/atau pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang dan/atau menjaga hubungan kelembagaan. Berdasarkan hasil penelitian Sudarno (2008) menjelaskan bahwa penyertaan modal dapat memberikan daya dorong tinggi terhadap kinerja. Ini membuktikan bahwa dengan dilakukannya penyertaan modal oleh pemerintah dearah dapat memungkinkan terjadinya peningkatan kinerja BUMD.

Selanjutnya pada sisi kebijakan pimpinan BUMD dimana pemimpin memiliki pernan yang strategis dalam mengupayakan peningkatan kinerja. Adapun pimpinan sebagaimana Fiedler (1964) menjelaskan bahwa pemimpin adalah seseorang di dalam kelompok yang memberi perintah dan mengkoordinasikan tugas-tugas yang berkaitan dengan aktivitas kelompok atau orang yang secara serentak mengerjakan fungsi-fungsi pemimpin didalam kelompok apabila pemimpin yang terpilih tidak hadir. Secara umum kebijakan pimpinan merupakan serangkaian tindakan yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok pimpinan dalam rangka menciptakan suatu kondisi yang statis oleh karena suatu situasi yang ditandai dengan berbagai problem.

Kontz et. Al. (1990) juga menjelaskan bahwa tidak semua penetapan kebijakan dilakukan oleh manajemen puncak, tetapi yang pasti, makin tinggi kedudukan manajer dalam struktur organisasi, makin penting pula peranannya


(30)

12 dalam penetapan kebijakan. Hal ini dapat dimengerti karena manager organisasi adalah pengambil kebijakan/keputusan yang tertinggi. Meskipun para manager tingkat bawah hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh atasan pada tingkat yang lebih tinggi, namun ada kalanya mereka juga membuat kebijakan sendiri sebagai pedoman mereka dan bawahan mereka.

Peran startegis dalam kebijakan pimpinan pada prinsipnya dapat mendukung dan menghambat kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), hal ini tentunya membutuhakan pimpina yang mengerti terhadap berbagai kebijakan yang akan diambil. Adapun kebijakan-kebijakan pimpinann yang bersifat strategis dan efektif tentu menjadi sebuah dorongan positif bagi kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam menyongsong kesuksesan. Berdasarkan uraian sebelumnya telah mendeskripsikan kerangka pemikiran penelitian ini yang dapat di lihat pada skema berikut:

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran Penyertaan Modal

(X1)

Kebijakan Pimpinan (X2)

Kinerja BUMD (Y) H1


(31)

13 1.6Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut diatas, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

Hipotesis 1 Penyertaan modal BUMD berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja BUMD


(32)

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyertaan Modal

Menurut Balfas (2006) modal merupakan efek yang paling umum ditawarkan dalam suatu penawaran umum, dan karenanya merupakan instrumen yang paling umum dikenal dan diperdagangkan di pasar modal (bursa). Saham merupakan komponen dan wujud dari penyertaan modal dalam suatu usaha berbentuk Perseroan Terbatas. Sehingga untuk pembahasan atas masalah saham pengaturan utamanya akan harus merujuk kepada UUPT. Di dalam UUPT pembuat undang-undang sama sekali tidak membuat perumusan mengenai apa itu saham. Tetapi dengan melihat sifatnya maka saham itu dapat dirumuskan sebagai penyertaan. Saham dianggap sebagai penyertaan seseorang atau pihak tertentu di dalam modal Perseroan Terbatas karena saham merupakan komponen dari modal suatu Perseroan terbatas. Saham adalah penyertaan yaitu pemasukan modal dari pemegang saham ke dalam suatu badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas.

Sebagaimana yang telah dikemukakan, salah satu sifat utama dari saham ini adalah sekali dimasukkan/disetorkan oleh pemegang saham maka tidak dapat dilakukan penarikan kembali. Satu-satunya cara untuk mendapatkan pengembalian atas modal yang telah disetor, adalah dengan cara pemindahan hak atas saham-saham tersebut kepada pihak lain (penjualan), dan demikian mendapatkan pengembalian dari setoran yang telah dilakukan tersebut, atau dengan melakukan likuidasi sehingga pemegang saham akan menerima hasil dari


(33)

15 likuidasi. Untuk itulah maka diadakan bursa atau pasar sebagai sarana untuk memberikan kemudahan bagi pengalihan hak tersebut.

Menurut Darmadji (2011) saham (stock) dapat di defenisikan sebagai tanda penyertaan atau pemilikan seseorang atau badan dalam suatu perusahaan atau perseroan terbatas. Saham berwujud selembar kertas yang menerangkan bahwa pemilik kertas tersebut adalah pemilik perusahaan yang menerbitkan surat berharga. Porsi kepemilikan ditentukan oleh seberapa besar penyertaan yang ditanamkan pada suatu perseroan tersebut. Oleh karena saham merupakan penyertaan modal dari pemegang saham di dalam suatu perseroan terbatas, maka pemegang saham merupakan pemilik dari perseroan terbatas. Dengan demikian besarnya pemilikan seorang pemegang saham atas perseroan ditentukan besarnya penyertaan yang bersangkutan terhadap modal perseroan.

Penyertaan modal yang dilakukan juga berdasarkan oleh ketentuan-ketentuan umum yang ada mengenai penanaman saham. Ketentuan itu diatur dalam Undang No. 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan daerah, Undang-Undang No.13 Tahun 1962 Tentang Bank Pembangunan Daerah, Undang-Undang-Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional, Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang-Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Undang- Undang No. 25 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Kota sungai Penuh. Modal adalah uang yang dipakai untuk usaha (misalnya berdagang).Yuwono dan Abdullah (1994). Perseroan sebagai


(34)

16 lembaga penanaman saham adalah juga sebagai badan hukum yang memiliki modal dasar yang disebut juga authorized capital, yakni jumlah modal yang disebutkan atau dinyatakan dalam Akta Pendirian atau AD Perseroan. Harahap (2009).

Modal dasar tersebut, terdiri dan terbagi dalam saham atau sero (aandelen, share, stock). Modal yang terdiri dan dibagi atas saham itu, dimasukkan para pemegang saham dalam status mereka sebagai anggota perseroan dengan jalan membayar saham tersebut kepada Perseroan. Jadi, ada beberapa orang pemegang saham yang bersekutu mengumpulkan modal untuk melaksanakan kegiatan perusahaan yang dikelola Perseroan. Besarnya modal dasar Perseroan menurut pasal 31 ayat (1) UUPT 2007, terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Namun untuk modal bank umum tetap harus memiliki modal minimum, yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008 tanggal 24 September 2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 135; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4895).

Sebenarnya, persekutuan yang terjadi dalam Perseroan sebagai badan hukum, bukan hanya persekutuan modal, tetapi juga persekutuan para anggota yang terdiri dari pemegang saham (aandeelhouder, shareholder). Namun yang lebih menonjol adalah persekutuan modal dibanding dengan persekutuan orang atau anggotanya sebagaimana yang terdapat dalam Persekutuan yang diatur dalam pasal 1618 KUH Perdata Pada umumnya masyarakat menghubungkan otonomi daerah yang mengandung pelimpahan wewenang (dekonsentrasi) dan penyerahan


(35)

17 urusan (desentralisasi) kepada daerah, adalah dalam rangka demokratisasi (politik) dan peningkatan pembangunan nasional di daerah. Melibatkan aspirasi dan partisipasi rakyat di daerah, tentang bagaimana pembangunan dilaksanakan berdasarkan persepsi dan kehendak mereka (ekonomi-politik). Secara umum penyertaan modal yaitu suatu usaha usaha untuk memiliki perusahaan yang baru atau yang sudah berjalan, dengan melakukan setoran modal

Apabila Undang-Undang 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dicermati secara seksama, maka dapat dikatakan ada sesuatu yang kurang dalam undang-unadang ini, yakni pengertian tentang saham atau penyertaan modal tidak dapat ditemukan penjabarannya secara implisit. Dalam undang-undang ini hanya ditemukan modal dasar perseroan terdiri atas nilai nominal saham.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan beberapa pengertian saham anatara lain, dilihat dari sudut pandang ekonomis saham berarti surat bukti bagian modal perseroan terbatas yang memberi hak atas dividen dan lain-lain menurut besar kecilnya modal yang disetor, saham adalah hak yang dimiliki orang (pemegang saham) terhadap perusahaan berkat penyerahan bagian modal sehingga dianggap berbagi di pemilikan dan pengawasan. Dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae dikemukakan, aandeel (bld), saham (ind) adalah hak pada sebagian modal suatu perseroan atau perusahaan, bagian-bagian modal pada perusahaan yang telah dibagi-bagi pada akte pendirian. Saham merupakan wujud konkrit dari modal perseroan sebagaima dikatakan dalam pasal 24 ayat (1) Undang-undang Perseroan Terbatas, bahwa modal perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham. Saham ini, berbeda-beda menurut jenis perseroan. UUPT


(36)

18 tidak mengakui saham-saham yang dikeluarkan tanpa nilai nominal. 35 Rumusan yang lebih konkret tentang saham atau penyertaan modal ini dijabarkan juga dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 24/32/Kep/Dir, tertanggal 12 Agustus 1991 Tentang Kredit Kepada Perusahaan Sekuritas dan kredit dengan Agunan Saham. Dalam pasal 1 butir c disebutkan, saham adalah surat bukti pemilikan suatu perseroan terbatas, baik yang diperjual belikan di pasar modal maupun yang tidak.

Jika Perseroan Terbatas (PT) tersebut Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), maka terhadapnya berlaku pula berbagai aturan yang khusus mengatur tentang Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1962 Tentang Perusahaan Daerah telah diatur berbagai aturan tersebut. Dalam undang-undang ini yang dimaksudkan dengan Perusahaan Daerah ialah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang ini yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan Daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau berdasarkan Undang-undang.36 Apabila perseroan terbatas tersebut berupa perusahaan yang ada disertakan modal pemerintah daerah baik itu pemerintah Provinsi ataupun Kabupaten/Kota, maka beberapa Peraturan Daerah (Perda) tetap haru berlaku juga terhadap perusahaan-perusahaan daerah tersebut.

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) biasanya juga tersebar di berbagai sektor ekonomi yang penting terhadap daerahnya. Bank Jambi adalah salah satunya, yang merupakan usaha daerah pada bidang perbankan pada umumnya. Peran pemerintah daerah baik itu Provinsi ataupun Kabupaten/Kota dalam usaha


(37)

19 ini relatif sangat besar, minimal dengan menguasai mayoritas pemegang saham. Eksistensi dari BUMD ini juga termasuk sebagai konsekuensi di mana hal-hal yang penting atau cabang-cabang yang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikusai oleh Negara dalam hal ini daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Perseroan Terbatas (yang dimiliki oleh daerah atau BUMD) yang lebih diutamakan adalah untuk mendapatkan keuntungan dengan berusaha di bidang-bidang yang dapat mendorong perkembangan sektor swasta daerah. Dalam prakteknya perusahaan-perusahan milik daerah ini tidak ada bedanya dengan perusahaan swasta, kecuali eksistensi unsur pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang mayoritas di dalam suatu perusahaan tersebut.

Dalam penelitian ini penyertaan modal diukur berdasarkan perbandingan equity dengan total aset.

2.1.1 Syarat-syarat Penyertaan Modal

Keberadaan lembaga yang mengoordinasi penanaman investasi atau penyertaan modal di Indonesia mempunyai peranan yang sangat strategis karena dengan adanya lembaga tersebut akan menentukan tinggi rendahnya investasi yang diinvestasikan oleh investor, baik itu investor asing maupun investor dalam negeri. Semakin baik pelayan yang diberikan kepada investor, akan semakin banyak investor yang tertarik menanamkan investasinya di Indonesia. Selama ini terdengar berbagai keluhan dari investor bahwa pelayanan yang diberikan oleh lembaga yang berwenang adalah sangat berbelit-belit, birokrasi yang panjang, dan memerlukan biaya yang besar. Ini disebabkan adanya dua lembaga yang mengoordinasi penanaman investasi di Indonesia, yaitu BKPM (Badan


(38)

20 Koordinasi Penanaman Modal) dan BKPMD (Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah). Masing-masing lembagi ini memiliki kinerja yang berbeda.

Pelaksanaan keuangan daerah dalam Provinsi tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pemerintah yang ditempuh, baik dari sisi efektivitas pengelolaan penerimaan dan pendapatan yang dijabarkan melalui target APBD dan realisasinya, maupun dilihat dari efisiensi dan efektivitas pengeluaran daerah melalui belanja langsung maupun belanja tidak langsung. Penanaman modal pemerintah daerah pada bank daerah adalah salah satu pengeluaran daerah dalam bentuk belanja tidak langsung.

Implementasi otonomi daerah telah membawa iklim baru pada semua Kabupaten dan Kota di Indonesia. Daerah diberi lebih banyak tanggung jawab untuk mengelola semua sumber daya lokal yang ada di daerahnya masing-masing. Pada dasarnya semua bidang usaha untuk melakukan penanaman modal modal daerah, dalam upaya daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terbuka bagi seluruh bidang ekonomi dan tidak hanya perbankan. Namun, hal ini harus tetap memperhatikan manfaat penyertaan modal ini bagi masyarakat daerah tersebut.

2.1.2 Jenis-jenis Penyertaan Modal

Investasi yang dilakukan oleh pemerintah dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk/jenis, yaitu :

1. Investasi surat berharga, adalah wadah dan pola pengelolaan dana bagi sekumpulan investor dalam instrument-instrumen investasi yang tersedia di


(39)

21 pasar dengan cara membeli unit penyertaan reksadana. Menurut Undang-undang Pasar Modal nomor 8 Tahun 1995 pasal 1, ayat (27). Reksadana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat Pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio Efek oleh Manajer Investasi.

2. Investasi langsung, adalah menempatkan uang secara langsung pada perusahaan, proyek, atau bisnis dengan harapan bisa memperoleh hasil yang diinginkan. Polanya bisa bermacam-macam, perusahaan yang menjalankan bisnis berbentuk perseroan terbatas atau CV, dana yang dihasilkan dapat ditukarkan pada perusahaan tersebut. Dengan kata lain dana menjadi equity

pada perusahaan. Dana yang sudah dalam bentuk equity biasanya akan dipakai sebagai modal tambahan. Hasil yang diperoleh berupa deviden akan dibagikan setiap akhir tahun. Model ini tidak berbeda dangan membeli saham di pasar modal. Hanya saja, saham di pasar modal dengan mudah bisa diperjualbelikan dan harganya bisa naik turun. Sementara, jika menempatkan dana sebagai saham di perusahaan yang belum go public, harganya lebis bersifat statis.


(40)

22 2.2 Kebijakan Pimpinan

Keberhasilan sebuah organisasi tidak lepas dari eksistensi pimpinan. Pimpinan merupakan seorang yang mempunyai tanggung jawab dalam menjalankan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang telah dibuat menjadi sebuah keputusan dalam organisasi. Ia mempunyai kekuasaan yang luas untuk menentukan kebijakan yang harus dijalankan dalam rangka pencapaian tujuan. Pimpinan mempunyai wewenang untuk mengarahkan kegiatan para anggotanya.Kepemimpinan dan manajemen yang kuat penting untuk keefektifan organisasi secara optimal. Pemimpin adalah seseorang di dalam kelompok yang member perintah dan mengkoordinasikan tugas-tugas yang berkaitan dengan aktivitas kelompok atau orang yang secara serentak mengerjakan fungsifungsi pemimpin didalam kelompok apabila pemimpin yang terpilih tidak hadir (Fiedler, 1964). Seorang pemimpin mempunyai kriteria sebagai berikut : 1) ditunjuk oleh organisasi; 2) dipilih oleh kelompoknya; 3) banyak berpengaruh terhadap tugas dalam hal tidak ada pemimpin yang ditunjuk. Sedangkan peran pemimpin menurut Model Quinn (cit. Daniel, 1995) ada 8 (delapan); 1) sebagai motivator; 2) sebagai perantara; 3) sebagai producer; 4) sebagai pengarah; 5) sebagai koordinator; 6) sebagai pengamat; 7) sebagai fasilitator; dan 8) sebagai penasehat.

Dalam suatu organisasi, kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi. Kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi. Kepemimpinan menunjukkan


(41)

23 posisi, tanggung jawab, kepribadian dan alat untuk mencapai tujuan, perilaku yang merupakan hasil dari interaksi.

Menurut Kontz (2001), kebijakan pimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menetapkan dan mengarahkan suatu gagasan menjadi sebuah keputusan dalam organisasi yang harus di jalankan dengan menerapkan secara maksimum kemampuan yang dimiliki dalam rangka pencapaian tujuan organisasi yang ditetapkan. Kontz (2001) menyatakan bahwa timbulnya kebijakan pimpinan dalam suatu organisasi dapat bersumber dari :

a. Manajer puncak yang menetapkannya sebagai pedoman bagi bawahan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka. Kebijakan seperti ini ruang lingkupnya luas, yang memungkinkan bawahan untuk menjabarkannya lebih lanjut. Kadar sentralisasi dan desentralisasi kebijakan tergantung pada kadar pemusatan atau penyebarluasan wewenang (otoritas).

b. Dalam praktek, barangkali hampir semua kebijakan tertentu berasal dari himbauan yang timbul dari kasus-kasus luar biasa yang dinaikkan kepada hirarki wewenang manajemen.

c. Kebijakan dapat timbul dari tindakan tindakan yang dipandang dan diyakini orang sebagai kebijakan, misalnya para karyawan akan segera memahami kebijakan yang sebenarnya kalau mereka bekerja dalam perusahaan yang telah menetapkan kebijakan memproduksi barang-barang berkualitas baik, menjaga kebersihan atau mempromosikan pegawai dari dalam.


(42)

24 d. Kebijakan dapat berasal dari luar (external imposed) misalnya dari pengaruh pemerintah, kebijakan yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, persyaratan perolehan bantuan, asosiasi lokal dan regional, kelompok sekolah dan organisasi sosial.

Menurut Kontz et. Al. (1990) tidak semua penetapan kebijakan dilakukan oleh manajemen puncak, tetapi yang pasti, makin tinggi kedudukan manajer dalam struktur organisasi, makin penting pula peranannya dalam penetapan kebijakan. Hal ini dapat dimengerti karena manager organisasi adalah pengambil kebijakan/keputusan yang tertinggi. Meskipun para manager tingkat bawah hanya melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh atasan pada tingkat yang lebih tinggi, namun ada kalanya mereka juga membuat kebijakan sendiri sebagai pedoman mereka dan bawahan mereka. Kontsz et.al (1990) menyatakan bahwa timbulnya kebijakan dalam suatu organisasi dapat bersumber dari :

a. Sumber kebijakan yang paling logis adalah manajer puncak yang menetapkannya sebagai pedoman bagi bawahan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka. Kebijakan seperti ini ruang lingkupnya luas, yang memungkinkan bawahan untuk menjabarkannya lebih lanjut. Kadar sentralisasi atau desentralisasi kebijakan tergantung pada kadar pemusatan atau penyebar luasan wewenang (otoritas).

b. Dalam praktek, barangkali hampir semua kebijakan tertentu berasal dari himbauan yang timbul dari kasus-kasus luar biasa yang dinaikkan kepada hirarki wewenang manajemen.


(43)

25 c. Kebijakan dapat timbul dari tindakan-tindakan yang dipandang dan

diyakini orang-orang sebagai kebijakan, misalnya para karyawan akan segera memahami kebijakan yang sebenarnya kalau mereka bekerja dalam perusahaan yang telah menetapkan kebijakan memproduksi barang-barang berkualitas baik, menjaga kebersihan atau mempromosikan pegawai dari dalam.

d. Kebijakan dapat berasal dari luar ( externally imposed), misalnya dari pengaruh Pemerintah, kebijakan yang dibatasi oleh peraturan perundang-undangan, persyaratan perolehan bantuan, asosiasi lokal dan regional, kelompok sekolah dan organisasi sosial.

Suatu kebijakan publik, tidak hanya berkaitan dengan satu disiplin ilmu saja, tetapi terkait dengan berbagai disiplin ilmu. Oleh karena itu pendekatannya melibatkan berbagai pihak dalam masyarakat, yang masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Kebijakan publik bersifat dinamis karena akan diterapkan kepada masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk berubah. Publik yang dimaksud di sini dapat sekelompok orang/masyarakat, lembaga maupun negara. Kerangka Balance score card memperluas perspektif yang dituju dalam perencanaan strategi, dari yang hanya ditujukan ke sasaran keuangan (financial objective) diperluas ke sasaran-sasaran lain yang menjadikan sasaran keuangan lebih berjangka panjang yaitu customer, sasaran proses bisnis intern dan sasaran pembelajaran dan pertumbuhan. Jadi empat perspektif yang dicakup dalam rencana strategik terdiri dari profit, product, process dan people Keempat perspektif tersebut harus dalam keadaan seimbang (Mulyadi, 1999).


(44)

26 Suatu kebijakan tidak hanya berkaitan dengan satu permasalahan saja. Oleh karena itu pendekatannya melibatkan berbagai pihak dalam lingkup suatu organisasi yang masing masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda -beda. Kebijakan ini bersifat dinamis karena akan diterapkan kepada pegawai dalam organisasi yang memiliki kecenderungan untuk berubah mengikuti perkembangan. Luthans (2006) mengatakan bahwa kepemimpinan di masa yang akan datang cenderung mengarah pada teaching organization yang dapat mengantisipasi perubahan dan keaneka ragaman knowledge, skill dan ability sumber daya manusia, sehingga meningkatkan kinerja perusahaan. Riyono dan Zulaifah (2001) mengatakan bahwa kepemimpinan berkaitan dengan kemampuan untuk memotivasi dan mempengaruhi bawahan. Seorang pemimpin sukses karena mampu bertindak sebagai pengarah dan pendorong yang kuat serta berorientasi pada tujuan yang ditetapkan.

Menurut Luthans (2006), pemimpin yang baik harus memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut :

1. Tanggung jawab yang seimbang. Keseimbangan di sini adalah antara tanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan tanggung jawab terhadap orang yang harus melaksanakan pekerjaan tersebut.

2. Model peranan yang positif. Peranan adalah tanggung jawab, perilaku atau prestasi yang diharapkan dari seseorang yang memiliki posisi khusus tertentu. Oleh karena itu pemimpin yang baik harus dapat dijadikan panutan dan contoh bawahannya.


(45)

27 3. Memiliki ketrampilan komunikasi yang baik. Pemimpin yang baik harus dapat menyampaikan ide- idenya secara ringkas dan jelas, serta dengan cara yang tepat.

4. Memiliki pengaruh positif. Pemimpin yang baik memiliki pengaruh yang baik terhadap pegawainya dan menggunakan pengaruh tersebut untuk hal yang positif. Pengaruh adalah seni menggunakan kekhususan untuk menggerakkan atau mengubah pandangan orang lain ke arah suatu tujuan atau sudut pandang tertentu.

5. Mempunyai kemampuan untuk menyakinkan orang lain. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang dapat menggunakan ketrampilan komunikasi dan pengaruhnya untuk menyakinkan orang lain akan sudut pandangnya serta mengarahkan mereka pada tanggung jawab, tidak terhadap sudut pandang tersebut.

Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memobilisasi, menyelaraskan, memimpin kelompok, dan menjelaskan gagasan yang dihasilkan agar dapat diterima dan dilaksanakan oleh anggota organisasi. Pemimpin penting dalam mempengaruhi perubahan, bertanggung jawab untuk menggerakkan setiap usaha dan hambatan untuk menjamin kejelasan visi. Pemimpin harus dapat menciptakan iklim organisasi dimana pegawai merasa bebas tapi penuh tanggung jawab.

Kesuksesan sebuah organisasi di kompetensi global ditentukan oleh kecepatan organisasi untuk berubah sesuai dengan lingkungan bisnisnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian di atas adalah kepemimpinan


(46)

28 mempunyai efek yang penting terhadap upaya organisasi mendapatkan daya saing dan keuntungan di era globalisasi.

Pemimpin bertanggungjawab untuk mengerakkan setiap usaha dan hambatan untuk menjamin kejelasan visi. Pemimpin harus dapat menciptakan iklim organisasi dimana pegawai merasa bebas tapi penuh tanggungjawab. Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja antara satu pegawai dengan pegawai lainnya yang berada di bawah pengawasannya. Walaupun pegawai-pegawai bekerja pada tempat yang sama namun kinerja mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja ini disebabkan oleh dua faktor yaitu : faktor individu dan situasi kerja.

Perubahan situasi bawahan dan kondisi sosial, politik,ekonomi dan kebijakan yang mendukung harus dicermati dalam rangka menentukan perilaku kepemimpinannya agar dapat berhasil dalam mengelola organisasi yang dipimpinnya, karena kebijakan itu sangat mempengaruhi penerapan manajemen organisasi. Anggota organisasi memberikan kontribusi dalam menentukan kedudukan kepemimpinan, membuat proses kepemimpinan berjalan sesuai dengan misi dan mereka juga mempunyai kontribusi terhadap pembentukan kualitas kepemimpinan.

Perilaku pemimpin yang efektif antara lain tergantung pada tindakan para pengikutnya, apakah menerima baik atau menolak pimpinannya tanpa mempedulikan apa yang menjadi kebijakannya. Ada hubungan yang signifikan antara pola perilaku kepemimpinan dengan kinerja kelompok/anggota organisasi. Seorang pimpinan harus memahami strategi peningkatan kinerja dan


(47)

29 implementasi kinerja yang mampu menegakaan disiplin pada hal-hal yang sudah menjadi komitmen bersama. Seorang yang ingin berhasil dalam kepemimpinannya harus mampu memberikan pencerahan atau sebagai pertimbangan dalam memperilakukan bawahannya atau menentukan alternatif kebijakan yang tepat sesuai dengan tujuan.

2.3 Kinerja BUMD

2.3.1 Pengertian Kinerja

Kinerja dapat dipandang sebagai proses maupun hasil pekerjaan. Kinerja merupakan suatu proses tentang bagaimana pekerjaan berlangsung dalam suatu organisasi untuk mencapai hasil kerja dengan menggunakan sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Sedangkan hasil pekerjaan itu sendiri menunjukkan kinerja yang berhasil dicapai.

Kinerja didalam suatu organisasi dilakukan oleh seluruh sumber daya manusia dalam organisasi, baik unsur pimpinan maupun pekerja. Banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi sumber daya manusia dalam menjalankan kinerjanya. Faktor tersebut dapat berasal dari dalam diri sumber daya manusia sendiri maupun dari luar atau lingkungan.

Kinerja merupakan terjemahan dan performance (Bahasa Inggris) yang artinya pertunjukan, perbuatan, pelaksanaan, penyelenggaraan. Istilah kinerja hampir populer digunakan hampir pada semua bidang, baik yang mengarah pada tingkatan organisasi maupun secara individual suatu lembaga baik lembaga pemerintah maupun lembaga swasta dalam mencapai tujuan yang ditetapkan harus


(48)

30 melalui sarana dalam bentuk organisasi yang digerakan oleh sekelompok orang yang berperan aktif sebagai pelaku. Tercapainya tujuan lembaga dimungkinkan karena upaya para pelaku yang terdapat dalam organisasi. Dalam hal ini sebenamya terdapat hubungan yang erat antara kinerja lembaga dengan kinerja perorangan.

Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance). Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang) yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Lebih lanjut Mangkunegara (2005:75) menyatakan bahwa pada umumnya kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan kinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja kelompok.

Kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama (Rivai & Basri, 2005:14). Menurut Hersey and Blanchard, kinerja adalah suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan


(49)

31 keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. (Rivai dan Basri, 2005: 15).

Kemudian kinerja mereflesikan kesuksesan sebuah organisasi dan tingkat dimana pegawai menyelesaikan pekerjaan yang ditetapkan. Sementara para ahli Manajemen Sumber Daya Manusia dan perilaku organisasi menjelaskan konsep kinerja dengan menggunakan ungkapan bahasa dan tinjauan dari sudut pandang berbeda namun makna yang terkandung pada hakekatnya sama adalah catatan outcome yang dihasilkan dari suatu pekerjaan atau kegiatan tertentu selama suatu periode waktu tertentu, pernyataan ini sejalan dengan pendapat dari Bernardin dan Russel (2010:239) hal ini diperjelas bahwa kinerja adalah tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas dan kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Kinerja merupakan perilaku serta hasil kerja seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan. Kinerja merupakan suatu fungsi dan kemapuan dan motivasi untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya.Verthzal Rivai (2004 : 309).

Di sisi lain, istilah kinerja sering juga dikaitkan dengan istilah kinerja. Tangen (2000) menyatakan bahwa banyak orang yang mengklaim bahwa


(50)

32 sesungguhnya kinerja itu merupakan subjek yang lebih luas dari kinerja. Apabila kinerja itu merupakan konsep spesifik yang berkaitan dengan rasio antara output dan input kinerja itu merupakan suatu istilah yang melibatkan hampir semua tujuan kompetisi dan keunggulan manufaktur seperti biaya, fleksibilitas, kecepatan, ketergantungan, dan kualitas. Namun, berbagai tujuan kinerja itu bisa memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja dalam suatu operasi.

Kinerja merupakan akumulasi dari hasil aktivitas yang dilakukan dalam perusahaan itu sendiri. Ventrakaman and Ramanujam (2006: 37) menjelaskan

kinerja sebagai “Refleksi dari pencapaian keberhasilan perusahaan yang dapat

dijadikan sebagai hasil yang telah dicapai dari berbagai aktivitas yang dilakukan.”

Sedangkan Waterhaouse and Svendsen (2008: 59) mendefinisikan kinerja sebagai

“Tindakan-tindakan atau kegiatan yang dapat diukur. Selanjutnya kinerja merupakan refleksi dari pencapaian kuantitas dan kualitas pekerjaan yang

dihasilkan individu, kelompok, atau organisasi dan dapat diukur.”

Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Wells and Spinks (2006: 16)

bahwa “Kinerja menunjukkan hasil-hasil perilaku yang bernilai dengan kriteria

atau standar mutu.” Menurut Fuad Mas’ud (2004: 29) memberikan pengertian terhadap kinerja sebagai:

"Hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing. Dalam rangka mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika"

Kinerja menurut Tim Studi Pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah BPKP (2000: 7) diartikan sebagai:


(51)

33 "Prestasi yang dapat dicapai organisasi dalam suatu periode tertentu. Prestasi yang dimaksud adalah efektifitas operasional baik dari segi manajerial maupun ekonomis operasional. Prestasi organisasi merupakan tampilan wajah organisasi dalam menjalankan kegiatannya. Dengan kinerja, organisasi dapat mengetahui sampai peringkat keberapa prestasi keberhasilan atau bahkan mungkin kegagalannya dalam menjalankan amanah yang diterimanya".

Menurut Vroom dalam Asa’ad (2008:50) kinerja adalah:

“Tingkat sejauh mana keberhasilan seseorang didalam melakukan tugas

pekerjaanya, sehingga kegiatan yang lazim dinilai dalam suatu organisasi adalah kinerja pegawai yakni bagaimana ia melakukan segala sesuatu yang berhubungan dengan suatu pekerjaan, jabatan atau peran dalam

organisasi.”

Bernardin & Russel (2010: 379) mendefinisikan kinerja sebagai “A set of outcomes produced on a specified job function or activity during a specified time of periode. (Yakni hasil yang diperoleh berdasarkan tugas/fungsi tertentu dalam

periode tertentu).” Sedangkan Milkovich & Boudreau dalam Nurhadi (2009: 78) berpendapat: “The degree to which employees accomplish work requirements,

atau tingkat/derajat penyelesaian pekerjaan sesuai dengan yang dipersyaratkan.”

Lebih luas Schermerhorn Jr, et al. dalam Nurhadi (2009: 79) mengartikan kinerja sama dengan produktivitas, yang menyatakan:

Is a summary measure of quantity & quality of contributuin made bay an individual or group to the production purposes of the work unit & the organization (sejumlah ukuran kuantitas dan kualitas yang diberikan oleh seseorang atau kelompok dalam rangka tujuan pemenuhan produksi unit

kerja atau organisasi).”

Menurut Rue dan Byars yang dalam Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian (2004: 45) mengemukakan bahwa :

“Kinerja dapat didefinisikan sebagai pencapaian hasil atau the degree of accomplishment tingkat pencapaian organisasi. Selanjutnya, hasil kerja seseorang dapat dinilai dengan standar yang telah ditentukan, sehingga


(52)

34 akan dapat diketahui sejauhmana tingkat kinerjanya dengan membandingkan antara hasil yangdicapai dengan standar yang ada.”

Kinerja merupakan suatu alat manajemen untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Hal ini membutuhkan artikulasi yang jelas mengenai misi suatu organisasi khususnya tujuan sasaran yang dapat diukur. Kinerja berhubungan dengan hasil program, kinerja juga dipergunakan manajemen untuk melakukan penilaian secara periodik mengenai efektivitas operasional suatu organisasi, bagian organisasi dan karyawan berdasarkan sasaran, standar, dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Kinerja perusahaan merupakan sesuatu yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dalam periode tertentu dengan mengacu pada standar yang ditetapkan. Kinerja perusahaan hendaknya merupakan hasil yang dapat diukur dan menggambarkan kondisi empirik suatu perusahaan dari berbagai ukuran yang disepakati. Kinerja suatu perusahaan merupakan hasil dari suatu proses dengan mengorbankan berbagai sumber daya. Salah satu parameter kinerja tersebut adalah laba. Laba bagi perusahaan sangat diperlukan karena untuk kelangsungan hidup perusahaan. Untuk memperoleh laba, perusahaan harus melakukan kegiatan operasional. Kegiatan operasional ini dapat terlaksana jika perusahaan mempunyai sumber daya. Laba dapat memberikan sinyal yang positif mengenai prospek perusahaan di masa depan tentang kinerja perusahaan. Dengan adanya pertumbuhan laba yang terus meningkat dari tahun ke tahun, akan memberikan sinyal yang positif mengenai kinerja perusahaan. Pertumbuhan laba perusahaan yang baik mencerminkan bahwa kinerja perusahaan juga baik. Karena laba


(53)

35 merupakan ukuran kinerja dari suatu perusahaan, maka semakin tinggi laba yang dicapai perusahaan, mengindikasikan semakin baik kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan diwujudkan dalam berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan perusahaan karena setiap kegiatan tersebut memerlukan sumber daya, maka kinerja perusahaan akan tercermin dari penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan perusahaan. Pentingnya laporan keuangan sebagai informasi dalam menilai kinerja perusahaan, mensyaratkan laporan keuangan haruslah mencerminkan keadaan perusahaan yang sebenarnya pada kurun waktu tertentu. Sehingga pengambilan keputusan yang berkaitan dengan perusahaan akan menjadi tepat, dengan demikian pemegang saham dapat menjadikan laporan keuangan sebagai informasi yang berguna dalam pengambilan keputusannya sebagai pemegang saham perusahaan.

2.3.2 Standar Kinerja Perusahaan

Standar kinerja merupakan elemen penting dan sering dilupakan dalam proses review kinerja. Standar kinerja menjelaskan apa yang diharapkan manajer dari pekerja sehingga harus dipahami pekerja. Klarifikasi tentang apa yang diharapkan merupakan hal yang penting untuk memberi pedoman perilaku pekerja dan dipergunakan sebagai dasar untuk penilaian. Standar kinerja merupakan tolak ukur terhadap mana kinerja diukur agar efektif. Standar kinerja harus dihubungkan dengan hasil yang diinginkan dari setiap pekerjaan.

Terdapat perbedaan pendapat dari para ahli tentang arti sebenarnya standar kinerja. Beberapa menggunakan definisi sebagai kondisi yang akan terjadi ketika segmen pekerjaan dikerjakan dengan baik. Sementara lainnya menggunakan


(54)

36 definisi kondisi yang akan terjadi ketiga segmen pekerjaan dikerjakan dengan cara yang dapat diterima. Ada dua tujuan diperlukannya standar kinerja, yaitu :

1. Membimbing perilaku pekerja untuk menyelesaikan standar yang telah dibangun. Apabila manajer menciptakan standar kinerja dengan pekerja dan memperjelas apa yang diharapkan, hal tersebut dapat dijadikan sebagai latihan yang berharga.

2. Menyediakan dasar bagi kinerja pekerja untuk dapat dinilai secara efektif dan jujur. Sebelum standar kinerja dibuat, penilaian kinerja pekerja sering bias terhadap perasaan dan evaluasi bersifat subjektif. Berdasarkan hal itu, maka standar kinerja merupakan cara yang terbaik untuk digunakan dalam penilaian kinerja pekerja.

Idealnya penilaian kinerja setiap pekerja harus didasarkan pada kinerja aktual yang diidentifikasi melalui analisis pekerjaan dibandingkan dengan standar kinerja yang telah ditentukan.

Dengan demikian standar kinerja merupakan pernyataan tentang situasi yang terjadi ketika sebuah pekerjaan dilakukan secara efektif. Standar kinerja dipakai apabila tidak mungkin menetapkan target berdasarkan waktu. Pekerja juga harus tahu seperti apa wujud atau hasil kinerja yang baik sesuai dengan yang telah ditentukan. Selain itu, standar kinerja membantu manajer pekerja agar lebih mudah memonitor kinerja dan digunakan sebagai dasar evaluasi. Sebuah organisasi harus mempunyai standar kinerja yang jelas dan dapat diukur oleh seluruh pekerjanya.


(55)

37 Standar kinerja yang efektif didasarkan pada pekerjaan yang tersedia, dipahami, disetujui, spesifik dan terukur, berorientasi waktu, tertulis, dan terbuka untuk berubah. Bila standar kinerja dapat ditentukan dengan baik dan pekerja termotivasi untuk mencapai atau melebihinya. Untuk itu, pekerja harus dilibatkan dalam menentukan standar. Standar yang baik disusun berdasarkan kesepakatan bersama sehingga menjadi kontrak kerja yang efektif. Dalam hal terdapat ketidak sepakatan, manajer harus membuat keputusan akhir.

Tidak ada jumlah standar minimum atau maksimum untuk satu pekerjaan. Dengan mempunyai banyak standar, akan membentuk pekerja memahami lebih jelas apa yang diharapkan dan juga membantu manajer menunjukan kekuatan spesifik dan bidang yang perlu diperbaiki. Manajer dan pekerja harus menentukan jumlah standar kinerja yang cocok dan praktis sehingga pelaksanaannya menjadi efektif.

Terdapat delapan karakteristik yang membuat suatu standar kinerja efektif yaitu (Kirkpatrick, 2006:39) :

1. Standar didasarkan pada pekerjaan

Standar kinerja harus dibuat untuk pekerjaan itu sendiri tanpa memandang siapa yang menduduki pekerjaan. Pekerjaan analisis pemasaran atau mandor produksi merupakan pekerjaan yang dilakukan sejumlah orang. Oleh karena itu, harus ada satu set standar untuk suatu jenis pekerjaan tertentu, bukan satu set untuk setiap orang yang melakukan pekerjaan tertentu.

Standar kinerja berbeda dengan sasaran.Sasaran harus ditetapkan untuk setiap individu dalam melakukan pekerjaan. Karakteristik sasaran atau tujuan


(56)

38 harus menantang sehingga memungkinkan pekerja memberikan prestasi terbaiknya.

Oleh karena itu, manajer yang mempunyai beberapa orang pekerja yang mengerjakan pekerjaan yang sama akan mempunyai satu set standar pekerjaan yang sama, tetapi mempunyai sasaran yang berbeda untuk setiap orang, berdasarkan pengalaman, keterampilan dan kinerja masa lalu.

2. Standar dapat dicapai

Secara praktis semua pekerja dalam pekerjaan harus dapat mencapai standar yang ditentukan. Kebanyakan standar produksi ditetapkan secara praktis sehingga setiap orang dapat mencapai standar dan banyak pekerja dapat mencapai 125 % dari standar. Standar harus ditetapak lebih tinggi sebagai tantangan bagi pekerja untuk memberikan prestasi terbaiknya. Namun tidak boleh ditetapkan terlalu tinggi sehingga pekerja tidak pernah dapat mencapainya. Standar yang ditentukan terlalu rendah akan dipandang sebagai mudah untuk dicapai sehingga tidak memotivasi pekerja untuk meningkatkan kinerjanya.

3. Standar dapat dipahami

Standar harus jelas baik bagi manajer maupun pekerja. Sering terjadi kebinggungan antara kedua pihak tentang arti sebenarnya dari standar. Standar harus dapat dengan mudah dipahami oleh manajer maupun pekerja. Dengan demikian dapat dihindari perbedaan interpretasi diantara manajer dan pekerja. Perbedaan interpretasi dapat menimbulkan penilaian yang dirasakan kurang adil.


(57)

39 4. Standar disepakati

Baik manajer maupun pekerja harus sepakat bahwa standarnya ditentukan dengan jujur. Hal ini sangat penting untuk memotivasi pekerja. Kesepakatan tersebut menjadi penting karena menjadi dasar untuk evaluasi. Standar yang menjadi kesepakatan dituangkan sebagai personal contract yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk penilaian. Standar tinggi yang ditetapkan manajer, namun tidak disepakati pekerja akan menyebabkan pekerja merasa tidak turut bertanggung jawab atas tidak tercapainya standar kinerja tersebut. 5. Standar itu sepesifik dan sedapat mungkin terukur

Orang merasa bahwa standar harus spesifik dan dapat diukur. Selain itu standar harus dinyatakan dalam angka, prosentase, satuan uang atau bentuk lain yang dapat diukur secara kuantitatif. Setiap usaha harus dibuat untuk melakukannya, tetapi apabila tidak bisa standar harus dinyatakan sespesifik mungkin, bahkan apabila pertimbangan subjektif harus dipergunakan untuk mengevaluasi kinerja terhadapnya.

Mungkin pada awalnya sulit menyatakan standar secara terukur. Dengan praktek dan pengalaman, mungkin saja dapat membuat secara spesifik pada semua atau hampir semua standar.

6. Standar berorientasi pada waktu

Standar kinerja menunjukan berapa lama suatu pekerjaan harus dapat diselesaikan atau kapan suatu pekerjaan harus diselesaikan dengan menunjukan tanggal yang pasti. Standar waktu dapat ditentukan untuk pencapaian tujuan akhir maupun progres setiap tahapan pekerjaan. Monitoring


(58)

40 atas jadwal waktu menurut tahapan diperlukan untuk mengetahui lebih dini apabila terdapat deviasi progres antara standar dan realitas.

7. Standar harus tertulis

Baik manajer maupun pekerja harus mempunyai salinan tertulis dari standar yang disetujui. Dalam hal ini tidak boleh berdasarkan pada ingatan dan standar dapat menjadi pengingat yang tetap bagi kedua belah pihak. Standar harus dituangkan sebagai dokumen tertulis karena akan dipergunakan sebagai ukuran dalam menilai kinerja orang, tim atau organisasi.

8. Standar dapat berubah

Karena standar harus dapat dicapai dan disepakati, secara periodik harus dievaluasi dan diubah apabila perlu. Kebutuhan mengubah mungkin dalam metode baru, peralatan baru, bahan baru atau perubahan dalam faktor pekerjaan penting lainnya. Akan tetapi, standar tidak boleh diubah hanya karena pekerja tidak memenuhi standar. Standar harus ditetapkan cukup menantang, namun masih dalam batas kemungkinan untuk terjangkau, bukan suatu hal yang tidak mungkin tercapai.

2.3.3 Pengukuran Kinerja Perusahaan

Pengukuran terhadap kinerja perlu dilakukan untuk mengetahui apakah selama pelaksanaan kinerja terdapat deviasi dari rencana yang telah ditentukan, atau apakah kinerja dapat dilakukan sesuai jadwal waktu yang ditentukan, atau apakah hasil kinerja telah tercapai sesuai dengan yang diharapkan.


(1)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Hasil pengujian dan analisa antar variabel dalam penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penyertaan modal berpengaruh positif signifikan terhadap Kinerja BUMD. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin baik penyertaan modal maka semakin baik juga kinerja BUMD.

2. Kebijakan pimpinan berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja BUMD. Hasil ini menunjukkan bahwa semakin baik kebijakan pimpinan maka kinerja BUMD semakin baik juga.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil kesimpulan tersebut, saran-saran yang dapat diajukan kepada BUMD Lampung, sebagai berikut :

1. Untuk lebih meningkatkan kinerja BUMD maka diperlukan langkah-langkah melalui kebijakan pimpinan BUMD sebagai contoh pemberian wewenang dan pendelegasian kebijakan yang lebih besar dan luas oleh pimpinan daerah kepada BUMD dalam operasionalnya, mengatasi kelemahan internal dengan penetapan kembali core bisnis, likuidasi unit usaha yang selalu merugi, memperbaiki sistem manajemen dengan cara memperluas pangsa pasar dengan mempertahankan


(2)

pasar lama dan mencari pasar baru, mengadopsi teknik produksi baru yang lebih efesien dan efektif. Dan, yang terakhir memperbaiki koordinasi antar BUMD dalam industri hulu dan hilir. Memaksimumkan peluang eksternal berupa upaya kerja sama yang saling menguntungkan dengan perusahaan sejenis atau yang ada keterkaitan.

2. Hendaknya kebijakan pimpinan yang diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Lampung bisa menciptakan iklim investasi yang baik bagi para investor sehingga dapat mendorong dalam penyertaan modal bagi BUMD

3. Untuk lebih meningkatkan pengambilan keputusan penyertaan modal BUMD maka BUMD perlu mensosialisasikan kepada masyarakat potensi dan keuntungan yang dapat diperoleh jika berinvestasi pada BUMD.

4. Dikarenakan penelitian ini hanya meneliti faktor penyertaan modal BUMD dan kebijakan daerah terhadap kinerja BUMD maka disarankan kepada peneliti-peneliti selanjutnya agar mengadakan peneliti-penelitian-peneliti-penelitian, guna mengetahui hubungan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kinerja BUMD diluar faktor yang diteliti dalam penelitian ini.

5. Kepada para akademisi. Terutama yang berkompeten dalam bidang ilmu manajemen keuangan daerah, disarankan agar mengadakan penelitian-penelitian yang bersifat eksperimen untuk mencari metode-metode baru sehingga dapat memunculkan pandangan baru mengenai kinerja BUMD dan kebijakan daerah yang dapat memberikan kontribusi bagi keefektifan pencapaian tujuan organisasi yang ada saat ini.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin, 1997. Evaluasi kebijakan Publik. Penerbit FIA UNIBRAW dan IKIP Malang.

_______________________. 2008. Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Agustino Leo. 2008. Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta

Aji, F. dan Sirait, M. 1982. PDE Perencanaan dan Evaluasi: Suatu System Untuk Proyek Pembangunan. Jakarta: Bina Aksara.

Anderson James E, 1984. Public Policy Making, New York, Holt, Rinehart and Wiston.

Anwar Prabu Mangkunegara. 2005. Sumber Daya Manusia perusahaan. Remaja Rosdakarya: Bandung.

Asa’ad, Mohamad, 2008 Seri Ilmu Sumber Daya Manusia: Psikologi Industri, Edisi Keempat, Cetakan Kesepuluh, Liberty, Yogyakarta.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kota Bandar Lampung, Bandar Lampung.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kota Metro, Bandar Lampung.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kabupaten Lampung Utara, Bandar Lampung.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kabupaten Lampung Selatan, Bandar Lampung.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kabupaten Lampung Barat, Bandar Lampung.


(4)

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kabupaten Lampung Timur, Bandar Lampung.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kabupaten Lampung Tengah, Bandar Lampung.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kabupaten Tanggamus, Bandar Lampung.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kabupaten Tulang Bawang, Bandar Lampung.

Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Lampung, 2008 – 20012, Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Kabupaten Way Kanan, Bandar Lampung.

Balfas, Hamud M.,2006. Hukum Pasar Modal Indonesia, Jakarta:Tatanusa.

Bambang Wahyudi. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Ketiga. Sulita. Bandung.

Bernardin dan Russel, 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia. Diterjemakan oleh Bambang Sukoco. Bandung: PT. Armico.

Darmadji, Tjiptono., dan Fakhruddin, Hendy M. 2011. Pasar Modal di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.

Dess, G.G. and G.T. Lumpkin. 2003. Strategic management: Creating competitive advantages. McGraw-Hill Higher Education.

Dharma, Surya. 2011. Manajemen Kinerja. Edisi ketiga. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Dye, Thomas R, 2005, Understanding Public Policy, Eleventh Edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Edward III, George C dan Ira Sharkansky, 1978, The Policy Predicament Making and Implementing Public Policy, San Fransisco : W.H Freeman and Company.

Edy Suandi Hamid dan Sobirin Malian. 2004. Memperkokoh Otonomi Daerah Kebijakan Evaluasi dan Saran. Yogyakarta : UII Press.


(5)

Hansen dan Mowen. 1997. Management Accounting (Akuntansi manajemen). Jakarta: Salemba Empat. Buku 7.Edisi 1

Hasnawati, Sri. 2005. “Dampak Set Peluang Investasi terhadap Nilai Perusahaan Publik di Bursa Efek Jakarta”. Journal Accounting and Auditing Indonesia vol.27. No.2:117-126

Indahningrum, R.P. & Handayani, R. 2009. Pengaruh Kepemilikan Manajerial, Kepemilikan Institusional, Dividen, Pertumbuhan Perusahaan, Free Cash Flow dan Profitabilitas terhadap Kebijakan Utang Perusahaan. Jurnal Bisnis dan Akuntansi, 11(3): 189-207

Isfenti Sadalia & Nurul Sari Syafitri Saragih, 2008. Pengaruh Profitability dan Investment Oppurtunity Set terhadap Dividen Tunai pada Perusahaan Terbuka di BEJ. Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1 (Nomor 3), 103-108. Islamy, M. Irfan. 1988. Materi Pokok Kebijakan Publik. Jakarta; Universitas

Terbuka.

Kaplan, R. S. and D. P. Norton. 1996. The Balanced Scorecard: Translating Strategyinto Action Boston: Harvard Business School Press.

Kaplan, Steven N. and Zingales, Luigi 1997, Do Financing Constraints Explain Why Investment is Correlated with Cash Flow? Quarterly Journal of Economics, 112: pp. 169-215.

Kirkpatrick, Donald L. 2006, Evaluating Training Programs-Second Edition, Berrett Kohler Publisher Inc, San Fransisco.

Kreitner, Robert and Angelo Kinicki, 2001. Organizational Behavior. Fifth Edition. Irwin McGraw-Hill.

Lingle,J.H. and W. A. Schiemann. 1996. From Balanced Scorecard to Strategic Gauges:IisMeasurement Worth It?. Management Review, 85 : 56-62. Luthans, Fred. 2008. Perilaku Organisasi. Diterjemahkan oleh Vivin Andika

Yuwono dkk. Edisi Pertama, Penerbit Andi, Yogyakarta.

McShane, Steven L. dan Von Glinow, Mary Ann. 2005. Organizational Behavior. 3th edition. New York : McGraw-Hill.

Robert Heller, 2005. Essential managers : achieving excellence Diterjemagkan oleh Christian Iskandar.Jakarta: Dian Rakyat


(6)

Tangkilisan, Hesel Nogi. 2002. Implementasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: Lukman Offset & YPAPI.

Waterhouse, J. and A. Svendsen, 2008. Strategic Performance Monitoring and Management: Using Non Financial Measures to Improve Corporate Governance, Quebec: The Canadian Institute of Chartered Accountant. Veithzal Rivai. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan.

Cetakan Pertama. PT. Raja Grafindo. Jakarta.

Wells, B. and N. Spinks, 2006. Ethics Must be Communicated from The Top Down, Career Development International, Vol.1, No.7, pp.28-33.

Ventrakaman N., Ramanujam, V. 2006. Measurement of business performance in strategy research: A comparison approaches. Academy of Management Review, 1(4), 801-814.

Perundang-undang:

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom

Undang-Undang 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Daerah