EFEK FRAKSI KLOROFORM BATANG KECOMBRANG (Etlingera elatior)SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVA Aedes Aegypti INSTAR III

(1)

EFEK FRAKSI KLOROFORM BATANG KECOMBRANG(Etlingera elatior)SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVAAedes aegypti

INSTAR III

Skripsi

Oleh Dwi Permatasari

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

ABSTRACT

THE EFFECTS OF CHLOROFORM FRACTION KECOMBRANG STEM (Etlingera Elatior) AS LARVACIDES TOWARDSEDES AEGYPTI

INSTAR III LARVA By

Dwi Permatasari

A DHF incidence number increases each year in Bandar Lampung. Dengue is a dangerous disease caused by dengue virus through Aedes Aegypti Mosquito bite. Using Prevention of dengue vector control and chemical environment in long-term is dangerous. Therefore, an environmental friendly natural insecticide is used which is one of the kecombrang plants (Etlingera elatior) contain active compound in saponins form and flavonoids are larvacides.

This research aims to determine the effectiveness LC50 and LT50 chloroform fraction kecombrang stem (Etlingera elatior). This study was an experimental using randomized control trial method, divided into 6 concentrations chloroform fraction kecombrang stem (Etlingera elatior), which consists of a negative control (0%), 0.25%, 0.5%, 0.75%, 1% concentrations and positive control (Abate 1% ). This study used a sample of 480 larvaes, divided into 20 larvaes each group in 200 ml solution with various concentrations, and four repetitions. The data is analyze


(3)

used byone-way ANOVA(p <0.05),Post-hoc Bonferroni (p <0.05), probit test to calculate LC50and LT50.

The average number result of death larvaes are 36.25% at 0.25% concentration, 57.7% at 0.5% concentration, 77.5% at 0.75% concentration and 90% at 1% concentration. Based on these result the most effective concentration is at 1% concentration. LC50 value was 1.39% at 20 minute; 1.196% at 40 minute; 0.896% at 60 minute; 0.637% at 120 minute; 0.517% at 240 minute; 0.479% at 1440 minute: 0.422% at 2880 minute, and 0.369% at 4320 minute. LT50 value was 544.80 minute at 0.75% concentration and 51.85 minute at 1% concentration.


(4)

ABSTRAK

EFEK FRAKSI KLOROFORM BATANG KECOMBRANG(Etlingera elatior)SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVAAedes Aegypti

INSTAR III

O l e h Dwi Permatasari

Angka kejadian DBD meningkat tiap tahunnya, khususnya diwilayah Bandar Lampung. DBD merupakan penyakit berbahaya yang disebabkan oleh virus dengue melalui nyamuk gigitan Aedes aegypti. Pencegahan vektor DBD berupa pengendalian lingkungan dan kimiawi yang digunakan dalam jangka panjang dapat membahayakan tubuh. Oleh karena itu digunakanlah insektisida alami yang ramah lingkungan, salah satunya tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) yang mengandung senyawa aktif berupa saponin dan flavonoid yang bersifat larvasida.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas, LC50, LT50 dari fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior). Jenis penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan dibagi menjadi 6 konsentrasi fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior), yang terdiri dari kontrol negatif (0%), konsentrasi 0,25%, 0,5%, 0,75%, 1%, dan kontrol positif (Abate 1%). Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 480 larva, dibagi menjadi 20 larva pada tiap-tiap kelompok dalam 200ml larutan dengan berbagai konsentrasi, dan dilakukan 4 kali pengulangan. Uji yang digunakan adalah one-way anova (p<0,05) dan Post-hoc Bonferroni(p<0,05) serta uji probit untuk menghitung LC50dan LT50.

Dari hasil penelitian didapatkan rata-rata jumlah larva yang mati sebesar 36,25% pada konsentrasi 0,25%; 57,7% pada kosentrasi 0,5%; 77,5% pada konsentrasi 0,75% dan 90% pada konsentrasi 1%. Berdasarkan hasil tersebut konsentrasi yang paling efektif yaitu konsentrasi 1%. Nilai LC50 adalah 1,39% di menit 20; 1,196% di menit 40; 0,896% di menit 60; 0,637% di menit ke-120; 0,517% di menit ke-240; 0,479% menit ke-1440; 0,422% di menit ke-2880,


(5)

dan 0,369% pada menit ke-4320 . Nilai LT50 adalah 544,80 menit pada konsentrasi 0,75%, dan 51,85 menit pada konsentrasi 1%.


(6)

EFEK FRAKSI KLOROFORM BATANG KECOMBRANG

(Etlingera elatior)

SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVA

Aedes Aegypti

INSTAR III

Oleh Dwi Permatasari

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(7)

Judul Skripsi :

Nama Mahasiswa : Dwi Permatasari Nomor Pokok Mahasiswa : 0818011016

Fakultas : Kedokteran

MENYETUJUI 1. Komisi Pembimbing

dr. Betta Kurniawan, M.Kes dr. Intanri Kurniati NIP. 197810092005011001 NIP. 19801222200812002

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001

EFEK FRAKSI KLOROFORM

BATANGKECOMBRANG(Etlingera elatior) SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP


(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua :dr. Betta Kurniawan, M.Kes

Sekretaris :dr. Intanri Kurniati

Penguji

Bukan Pembimbing :dr. Evi Kurniawaty, M.Sc

2. Dekan Fakultas Kedokteran

Dr. Sutyarso, M. Biomed NIP. 195704241987031001


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Jaya pada taggal 22 November 1990, sebagai anak kedua dari dua bersaudara, pasangan Bapak Suraji dan Ibu Rahayu Kustini.

Pendidikan sekolah pertama ditempuh oleh penulis di Taman Kanak-kanak (TK) di TK Annur dan diselesaikan pada tahun 1996, menamatkan pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SDIT Insan Kamil pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama diselesaikan di SLTP AL-Kautsar Bandar Lampung pada tahun 2005, dan dinyatakan lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) AL-kautsar Bandar Lampung pada tahun 2008.

Tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur PMKA. Penyusunan skripsi merupakan tugas akhir sebelum penulis memperoleh gelar Sarjana Kedokteran dan melanjutkan Pendidikan Profesi.


(10)

....Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya

bersama kesulitan ada kemudahan. Maka apabila engkau telah selesai (dari

suatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya

kepada Allah SWT engkau berharap. (QS. Al-Insyirah: 5-8)

Sebuah persembahan sederhana

untuk Ayahku dan Ibundaku

Tersayang : )

yaRabb, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah

mendidik aku di waktu kecil . (QS. Al-Isra :24)


(11)

i SANWACANA

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayahNya lah skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam tidak lupa Penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Skripsi dengan judul “Efek Fraksi Kloroform Batang Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai Larvasida Terhadap Larva Aedes aegypti Instar III” ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Sutyarso, M. Biomed, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

2. dr. Betta Kurniawan, M. Kes, sebagai Pembimbing I, atas kesediaannya memberikan bimbingan, bantuan, ide dan motivasi kepada penulis dalam menyusun skripsi ini dari awal hingga selesai.

3. dr. Intanri Kurniati, sebagai Pembimbing II, atas kesediannya meluangkan waktu dan membimbing serta memberikan masukannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.


(12)

ii 4. dr. Evi Kurniawaty M.sc, sebagai Penguji Utama atas kesediaannya meluangkan waktu, memberikan masukan, kritik dan saran yang membangun dan bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, atas segala

ilmu pengetahuan baik teori maupun praktek dan yang telah diberikan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

6. Staf Tata Usaha di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung atas bantuannya sehingga memberikan kemudahan kepada penulis.

7. Staf Laboratorium MIPA KIMIA Universitas Lampung atas ketersediaannya dalam membantu dalam proses penelitian ini.

8. My Everything, Ayah dan Ibu tersayang yang telah mendidik dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang, memberikan bekal ilmu yang sangat bermanfaat untuk kehidupan mendatang. Terima kasih atas doa, motivasi, semangat yang telah diberikan.

9. Kakaku Ade oktaviyani, serta Keluarga besar yang slalu memberikan doa, semangat, dan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

10.My Script partner, Febriyan Edmi dan Raden Adityo yang telah bersama sama berjuang menyelesaikan skripsi ini.

11. Sahabat terbaikku, innaya prabandari dan Febri amdayana yang selalu saling mendukung dan memberikan semangat.

12.Mohammad Taufik Perwira Wicaksono, Ellys Shinta Safitri, Novitha Adityani, Cintya Naya Danastri, Yusi Nurlianti Pratami, Gusti Ayu Sawitri Sari Dewi, Widya Emiliana plus M.Dzikrifisofa yang selalu memberikan


(13)

iii doa, semangat, motifasi, kritik, saran, dan telah banyak membantu dalam proses pembuatan skripsi ini.

13. Reisha ghassani, Mutiara Cita Rasely, Martia Rahmawati, dan teman-teman yang telah banyak membantu dalam kelancaran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

14. Seluruh teman-teman 2008 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk kebersamaan, kekeluargaan dan perjuangan kita dari tahun pertama hingga saat ini.

15. Kakak-kakak angkatan 2002, 2003, 2004, 2005, 2006, 2007 dan adik-adik angkatan 2009, 2010, 2011.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi masukan bagi pembacanya.

Bandar Lampung, juli 2012 Penulis


(14)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Kerangka Penelitian ... 7

F. Hipotesis... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Aedes aegypti... 9

1. Klasifikasi... 9

2. Morfologi ... 10

3. BionomikAedes aegypti... 14

4. Pengendalian Terhadap NyamukAedes aegypti... 15

5. Insektisida... 18

B. Demam Berdarah Dengue ... 19

C. Kecombrang(Etlingera elatior)... 22

1. Klasifikasi ... 22

2. Morfologi ... 22

3. Manfaat ... 25

4. Kandungan kimia tamanam kecombrang ... 26

D. Fraksinasi ... 28

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian ... 31

B. Waktu dan Tempat ... 31

C. Alat dan bahan penelitian... 31

D. Populasi dan sampel ... 33


(15)

v

F. Identifikasi variable dan definisi operasional variable... 38 G. Diagram Alir ... 41 H. Pengolahan dan Analisis Data... 42 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil ... 43 B. Pembahasan ... 47 V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... 53 B. Saran... 54 DAFTAR PUSTAKA


(16)

(17)

(18)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau istilah kata Dengue hemorrahagic Fever (DHF) pertama kali dikenal di Asia Tenggara dan digunakan di Filipina pada tahun 1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969 kemudian DBD berturut-turut dilaporkan di Bandung (1972) dan Yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung (IDAI, 2010).

Angka kejadian kasus DBD di Indonesia khususnya di Bandar Lampung mengalami peningkatan tiap tahunnya. Kejadian terbesar pada tahun 2007 dengan Incidence Rate (IR) 235,5 per 100.000 penduduk dan CFR 0,75%. Menurun pada tahun 2008 dan 2009, lalu kembali meningkat di tahun 2010 sebesar 90,80 per 100.000 penduduk (Dinkes Kota Bandar Lampung, 2011).

DBD adalah penyakit febril akut yang ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria. DBD merupakan penyakit menular yang ditularkan oleh serangga sebagai vektor yang masih menjadi


(19)

2

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, bahkan di dunia. DBD disebarkan kepada manusia oleh nyamuk Aedes aegypti betina dan disebabkan oleh virus dengue (Pustekom, 2005).

Peningkatan populasi Aedes Aegypti sebagai vektor DBD sangat erat hubungannya dengan sistem pengendalian air dan sistem sanitasi pada suatu pemukiman masyarakat. Pada daerah dengan sistem pengendalian air yang baik populasiAedes aegyptiakan lebih sedikit ditemukan, dibandingkan pada daerah yang sistem pengendalian air nya masih kurang baik. Selain itu, pemukiman yang sanitasinya kurang baik juga akan meningkatkan populasi Aedes aegyptisebagai vektor DBD (Ditjen PPM dan PL, 2001).

Pemberantasan Aedes aegypti sebagai vektor utama DBD dapat dilakukan dengan berbagai metode, salah satu di antaranya dengan memelihara sanitasi lingkungan yang bertujuan mengurangi populasi nyamuk. Sementara itu, pengendalian populasi vektor yang banyak dilakukan antara lain secara mekanis, kimiawi, dan biologis terhadap nyamuk pradewasa dan dewasa (Zulfiana, 2009). Penggunaan insektisida kimia dalam pengendalian vektor secara berulang-ulang terbukti telah menimbulkan masalah baru karena insektisida dapat meninggalkan residu yang mencemari lingkungan. Insektisida kimia sintetik bersifat toksik terhadap organisme non target karena mempunyai spesifisitas yang rendah dan sudah banyak terjadi kasus resistensi serangga terhadap insektisida kimia sintesis. Oleh karena itu perlu adanya insektisida yang ramah lingkungan seperti insektisida yang berasal dari senyawa bioaktif dari tumbuhan dan hewan (Dadang, 2008).


(20)

3

Berbagai jenis tumbuhan berfungsi sebagai sumber hayati yang penting bagi manusia, diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai insektisida (Susana dkk, 2003). Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui mengandung senyawa seperti fenilpropan, terpenoid, alkaloid, asetogenin, dan tanin yang bersifat sebagai larvasida atau insektisida (Dalimartha, 2006).

Kecombrang (Etlingera elatior) merupakan tanaman yang dapat dipergunakan sebagai insektisida alami. Kecombrang (Etlingera elatior) merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di Indonesia. Penggunaan Kecombrang (Etlingera eliator)sebagai bahan obat sangat banyak ragamnya. Kandungan kimia yang terdapat di daun, batang, bunga dan rimpang Kecombrang (Etlingera elatior) adalah minyak atsiri, saponin, polifenol dan flavonoid (Depkes, 2005).

Annonaceae muricata yang lebih dikenal dengan nama buah sirsak memiliki kandungan saponin, flavonoid, dan tanin yang memiliki efek sebagai larvasida, pernah diuji daunnya terhadap larva Aedes aegypti. Untuk membunuh 50% larva

Aedes aegypti diperlukan konsentrasi antara 0.03008%-0.03823% dan membunuh 90% larva Aedes aegypti diperlukan konsentrasi berkisar antara 0.05632%-0.8324%. Kematian rata-rata larvaAedes aegyptipada uji umur residu LC 90 pada konsentrasi ekstrak daun srikaya tua 0.06568% pada hari ke-1 Sampai dengan ke-8 berturut-turut sebesar 92, 86, 74, 61, 43, 26, 2.2 dan 0% (Noraida, 2000).

Berdasarkan penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh Novitha (2011) mengenai efektivitas ekstrak batang Kecombrang (Etlingera elatior) terhadap


(21)

4

larva instar III Aedes aegypti menyebutkan bahwa kandungan yang dimiliki oleh batang Kecombrang (Etlingera elatior) memiliki efek sebagai larvasida. Pada penelitian tersebut didapatkan rata-rata jumlah larva yang mati sebesar 27,5 % pada konsentrasi 0,25 %; 48,75 % pada kosentrasi 0,5 %; 100 % pada konsentrasi 0,75 % dan 100 % pada konsentrasi 1 %. Berdasarkan hasil tersebut konsentrasi yang paling efektif yaitu konsentrasi 1 % dikarenakan daya bunuhnya lebih cepat. Nilai LC50adalah 2,199 % di menit ke-20; 2,096% di menit ke-40; 1,401% di menit ke-60; 0,828 % di menit ke-120; 0,634 % di jam menit ke-240; 0,569 menit ke-480; 0,471 % di menit ke-1440; 0,406 % di menit ke-2880 dan 0,382 % pada menit ke-4320 . Nilai LT50 adalah 259,06 menit pada konsentrasi 0,75 % dan 158,34 menit pada konsentrasi 1 %.

B. Rumusan Masalah

Tindakan pengendalian terhadap Aedes aegypti ditujukan pada nyamuk dewasa atau pada larva. Tindakan yang ditujukan kepada larva dapat mencakup modifikasi habitat larva atau pengendalian habitat larva dengan pestisida (Boror dkk, 1992). Pestisida sintetik mengandung bahan kimia yang sulit teruraikan di alam sehingga dapat mencemari lingkungan. Melihat kerugian yang ditimbulkan oleh pestisida sintetik maka untuk mendapatkan suatu alternatif yang tidak mencemari lingkungan, salah satunya dengan menggunakan pestisida alami yang memiliki dampak lebih kecil terhadap lingkungan sehingga tidak berbahaya (Astrid, 2009).


(22)

5

Salah satu cara pengendalian Aedes aegyptiadalah dengan memberantas larva yang menjadi bagian dari siklus hidupnya dengan menggunakan larvasida alami, salah satu tanaman yang dapat digunakan adalah Kecombrang (Etlingera elatior). Kandungan yang terdapat di dalam tanaman Kecombrang (Etlingera elatior) adalah saponin dan flavonoid yang diduga memiliki efektivitas sebagai larvasida.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah terdapat efek fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera eliator)sebagai larvasida terhadap larvaAedes aegyptiinstar III?

2. Berapakah konsentrasi fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera eliator) yang paling efektif dalam membunuh larva Aedes aegypti instar III?

3. Berapakah Lethal Consentration 50 (LC50) dari fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera eliator) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegyptiinstar III?

4. Berapakah Lethal Time 50 (LT50) dari fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera eliator) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegyptiinstar III?


(23)

6

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui efek fraksi kloroform batang Kecombrang(Etlingera eliator) efektif sebagai larvasida terhadap larvaAedes aegyptiinstar III.

2. Tujuan khusus

1. Mengetahui konsentrasi yang paling efektif dari fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai larvasida terhadap larva instar IIIAedes aegypti.

2. Mengetahui LC50dari fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai larvasida terhadap larva instar IIIAedes aegypti. 3. Mengetahui LT50dari fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera

elatior) sebagai larvasida terhadap larva instar IIIAedes aegypti.

D. Manfaat penelitian

Dari penelitian yang dilakukan diharapkan hasil yang diperoleh dapat bermanfaat. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Peneliti

Dapat menambah dan meningkatkan pengetahuan peneliti tentang efek fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai larvasida terhadap larvaAedes aegyptiinstar III.


(24)

7

2. Institusi Pendidikan

Diharapkan dapat menambah informasi ilmiah dan digunakan sebagai acuan penelitian selanjutnya.

3. Masyarakat

Menginformasikan ke masyarakat luas batang Kecombrang (Etlingera elatior) dapat digunakan sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti.

D. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

Kerangka teori penelitian ini adalah:

Gambar 1. Kerangka Teori

Saponin Flavonoid

1. Menurunkan tegangan permukaan selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga dinding traktus digetivus larva menjadi korosif

2. Menurunkan aktivitas enzim pencernaan dan penyerapan makanan

Menghambat makan serangga dan juga bersifat toksik.

Efek Larvasida

LarvaAedes aegyptimati Kecombrang (Etlingera elatior).


(25)

8

2. Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian ini adalah:

Gambar 2. Kerangka Konsep

E. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) memiliki efek sebagai larvasida terhadap larva instar III Aedes aegypti.

Jumlah larva yang mati Dosis IV

Dosis III Dosis II

Dosis I

Dosis V

Kelompok 1 (kontrol negatif)

Kelompok 2

Kelompok 5 Kelompok 4 Kelompok 3

Kelompok 6 (kontrol positif) Abate

Analisis Fraksi kloroform batang kecombrang


(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Aedes aegypti

1. Klasifikasi

Urutan klasifikasi dari nyamukAedes aegyptiadalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda Subphylum : Uniramia Kelas : Insekta Ordo : Diptera Subordo : Nematosera Familia : Culicidae Sub family : Culicinae Tribus : Culicini Genus : Aedes

Spesies :Aedes aegypti


(27)

10

2. Morfologi

Nyamuk Aedes egypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan ukuran nyamuk rumah (Culex quinquefasciatus), mempunyai warna dasar yang hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama pada bagian kakinya (Depkes RI, 2007).

Pada nyamuk betina proboscis digunakan sebagai alat untuk menghisap darah, sedangkan pada nyamuk jantan proboscis digunakan untuk menghisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan. Antena pada nyamuk jantan berambut lebat (plumose) dan pada nyamuk betina jarang (pilose). Sayap nyamuk panjang dan langsing, mempunyai vena yang permukaannya ditumbuhi sisik-sisik sayap (wing scales) yang letaknya mengikuti vena. Nyamuk mempunyai 3 pasang kaki (heksapoda) yang melekat pada toraks dan tiap kaki terdiri atas 1 ruas femur, 1 ruas tibia dan 5 ruas tarsus (Hoedojo, 2004).

a. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran sekitar 0,8mm, berbentuk oval yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih, atau menempel pada dinding tempat penampungan air (Ditjen PP dan PL, 2005). Seekor nyamuk betina rata-rata dapat menghasilkan 100 butir telur setiap kali bertelur dan akan menetas menjadi larva dalam waktu 2 hari dalam keadaan telur terendam air. Telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu yang lama pada keadaan kering. Hal tersebut dapat membantu


(28)

11

kelangsungan hidup spesies selama kondisi iklim yang tidak memungkinkan (Depkes RI, 2007).

Telur nyamuk ini dapat bertahan hidup dalam kondisi iklim yang tidak memungkinkan. Pada keadaan kering dengan suhu -20C sampai 420C telur nyamuk Aedes aegypti dapat bertahan selama berbulan-bulan (WHO, 2003).

Gambar 3. TelurAedes aegypti(sumber : Supartha, 2008)

b. Larva

Telur membutuhkan waktu sekitar 2-4 hari untuk menjadi larva. Larva terdiri atas 4 substadium (instar) dan mengambil makanan dari tempat perindukannya. Pertumbuhan larva instar I-IV berlangsung 6-8 hari pada Culex dan Aedes. Berdasarkan Ditjen PP & PL (2005), 4 substadium (instar) larva sesuai dengan pertumbuhan larva yaitu:

1. Larva instar I; berukuran 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernapasan padasiphonbelum jelas.


(29)

12

2. Larva instar II; berukuran 2,5-3,5 mm, duri-duri dada belum jelas, corong kepala mulai menghitam.

3. Larva instar III; berukuran 4-5 mm, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman.

4. Larva instar IV; berukuran 5-6 mm dengan warna kepala gelap.

Larva Aedes aegypti memiliki ciri-ciri sebagai berikut (Ditjen PP dan PL 2005):

1. Adanya corong udara pada segmen terakhir

2. Pada segmen abdomen tidak ditemukan adanya rambut-rambut berbentuk kipas(Palmatus hairs)

3. Pada corong udara berbentukpectin

4. Sepasang rambut serta jumbai akan dijumpai pada corong(siphon)

5. Pada setiap sisi abdomen segmen kedelapan terdapat comb scalesebanyak 8 -21 atau sejajar 1 sampai 3

6. Bentuk individu daricomb scaleseperti duri

7. Pada sisi thorax terdapat duri yang panjang dengan bentuk kurva dan adanya sepasang rambut dikepala.

Gambar 4. Larva instar IV nyamukAedes aegypti (Sumber : Supartha, 2008)


(30)

13

c. Pupa

Larva instar IV berkembang menjadi pupa, yang mana pada fase ini merupakan fase tidak makan, namun tetap bernafas dengan menggunakan corong dan dapat berubah manjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2 hari. Pada fase ini, tubuh pupa terbagi menjadi 2 bagian, yaitu caphalothorax dan abdomen. Tubuhnya membengkok seperti tanda koma (Faust dan Russll 1964: dalam Wijaya 2004). Pada bagian distal abdomen terdapat sepasang kaki pengayuh yang kurus dan runcing (paddle) (Borror dkk., 1999).

Gambar 5. PupaAedes aegypti(Sumber : Supartha, 2008)

d. Nyamuk dewasa

NyamukAedes aegyptiberukuran lebih kecil dibandingkan dengan spesies nyamuk lain. Badan, kaki, dan sayap nya berwarna dasar hitam dengan bintik-bintik putih. Jenis kelamin nyamuk Aedes aegypti dibedakan dengan memperhatikan jumlah probosis. Nyamuk betina memiliki


(31)

14

probosis tunggal, sedangkan nyamuk jantan mamiliki probosis ganda (Djakaria, 2000).

Aedes aegypti mempunyai warna dasar hitam dengan bintik putih pada bagian badannya terutama pada kakinya dan dikenal dari bentuk morfologinya yang khas sebagai nyamuk yaitu gambaran lira (lyre form) yang putih pada punggungnya (Depkes RI, 2007).

Gambar 6. NyamukAedes aegypti (Sumber : Supartha, 2008)

3. BionomikAedes aegypti

Bionomik vektor merupakan karakteristik nyamuk yang berhubungan dengan kesenangan tempat perkembangbiakan, waktu-waktu menggigit, kesengangan tempat hinggap istirahat dan jarak terbang (Nita, 2010). Tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti adalah penampungan air bersih di dalam rumah ataupun berdekatan dengan rumah, dan air bersih tersebut tidak bersentuhan langsung dengan tanah (Ditjen PPM dan PL, 2002).


(32)

15

Aktivitas menggigit nyamuk berlainan. Ada yang menghisap darah pada waktu malam hari (night-biters), ada pula yang menghisap darah pada waktu siang hari (day-biters). Ada yang menggigit di dalam rumah (endofagik) dan ada juga yang menggigit di luar rumah (eksofagik). Nyamuk betina mempunyai jarak terbang lebih jauh daripada nyamuk jantan. Nyamuk Aedes aegypti mempunyai kebiasaan menggigit pada pagi hari yaitu beberapa jam setelah matahari terbit yaitu pukul 09.00 sampai pukul 13.00 dan sore hari beberapa jam sebelum gelap yaitu pukul 15.00 sampai pukul 17.00.

Setelah menghisap darah, nyamuk mencari tempat untuk beristirahat. Tempat tersebut digunakan nyamuk selama waktu menunggu proses perkembangan telur maupun untuk istirahat sementara, yaitu pada waktu nyamuk masih aktif mencari darah. Untuk tempat istirahat ada nyamuk yang memilih di dalam rumah (endofilik) yaitu dinding rumah, ada pula yang memilih di luar rumah (eksofilik) yaitu tanaman atau kandang binatang (Hoedojo, 2004).

4. Pengendalian nyamukAedes aegypti

Pengendalian terhadap nyamuk Aedes aegypti ini dapat dilakukan dengan berbagai cara sebagai berikut:


(33)

16

Menurut Kesumawati (2000) upaya-upaya pengendalian nyamuk secara fisik adalah:

1. Modifikasi lingkungan

Modifikasi lingkungan yaitu mengubah fisik lingkungan secara permanen yang bertujuan menghilangkan atau mengurangi tempat perindukan nyamuk. Contoh modifikasi lingkungan adalah kegiatan 3M (menguras, mengubur, dan menutup).

2. Modifikasi perilaku manusia

Modifikasi prilaku manusia adalah usaha merubah perilaku sehari-hari sehingga tidak menguntungkan bagi nyamuk, seperti mengurangi tidur siang pada waktu musim penghujan untuk mengurangi frekuensi kontak dengan nyamuk.

b. Pengendalian hayati

Pengendalian hayati dilakukan dengan cara menyebarkan predator dan patogen nyamuk di daerah endemis. Predator pemakan larva yang dapat digunakan untuk mengendalikan nyamuk adalah ikan Poecilia reticulata, Gambussia affians, ikan mas, ikan lele dan larva Toxorrhynchites. Pengendalian vektor menggunakan patogen contohnya adalah pemanfaatan bakteri bacillus thuringiensis.Bacillus thuringiensistoksik terhadap larva nyamuk dan hasilnya sangat efektif serta tidak menimbulkan kerugian pada manusia maupun hewan. Bacillus thuringiensis memproduksi toksin yang menghancurkan sel-sel epitel inang sehingga inang mati (Kesumawati, 2000).


(34)

17

c. Pengendalian kimiawi

Upaya pengandalian kimia dapat dilakukan dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Insektisida sintetik

Insektisida sintetik yang digunakan dalam pengendalian nyamuk adalah paration, malation, dan diklorvos (Kesumaati, 2000).

2. Insektisida nabati

Insektisida nabati adalah insektisida yang berasal dari tanaman. Tanaman sumber insektisida nabati yang telah digunakan antara lain buah lerak (S. Sarak), yang mengandung senyawa saponin (Aminah dkk, 2001).

3. Insektisida anorganik

Insektisida anorganik adalah insektisida yang berasal dari bahan-bahan anorganik. Insektisida anorganik yang banyak dipergunakan adalah minyak bumi dan kapur belerang (Kesumawati, 2000). d. Pengandalian genetik

Pengendalian genetik dilakukan dengan cara mensterilkan nyamuk jantan kemudian melepaskannya ke alam. Nyamuk betina hanya kawin sekali, oleh karena itu nyamuk betina yang kawin dengan nyamuk jantan steril tidak akan menghasilkan keturunan (Kesumawati , 2000).


(35)

18

5. Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida yang baik mempunyai sifat sebagai berikut :

1. Mempunyai daya bunuh yang besar dan cepat serta tidak berbahaya bagi binatang vertebrata termasuk manusia dan ternak

2. Murah harganya dan mudah didapat dalam jumlah yang besar 3. Mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar

4. Mudah digunakan dan dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut

5. Tidak berwarna dan tidak berbau yang menyenangkan

Beberapa istilah yang berhubungan dengan insektisida adalah : 1. Ovisida = insektisida untuk membunuh stadium telur

2. Larvasida = insektisida untuk membunuh stadium larva / nimfa 3. Adultisida = insektisida untuk membunuh stadium dewasa 4. Akarisida = insektisida untuk membunuh tungau

5. Pedikulisida = insektisida untuk membunuh tuma

Khasiat insektisida untuk membunuh serangga sangat bergantung pada bentuk, cara masuk ke dalam tubuh serangga, macam bahan kimia, konsentrasi dan jumlah (dosis) insektisida.

Menurut cara masuknya ke dalam badan serangga, insektisida dibagi dalam : 1. Racun kontak (contact poisons)


(36)

19

Insektisida masuk melalui eksoskelet ke dalam badan serangga dengan perantaraan tarsus (jari-jari kaki) pada waktu istirahat di permukaan yang mengandung residu insektisida. Pada umumya dipakai untuk memberantas serangga yang mempunyai bentuk mulut tusuk isap.

2. Racun perut (stomach poisons)

Insektisida masuk ke dalam badan serangga melalui mulut. Biasanya serangga yang diberantas dengan menggunakan insektisida ini mempunyai bentuk mulut untuk menggigit, lekat isap, kerat isap dan bentuk mengisap.

3. Racun pernapasan (fumigants)

Insektisida masuk melalui sistem pernapasan (spirakel) dan juga melalui permukaan badan serangga. Insektisida ini dapat digunakan untuk memberantas semua jenis serangga tanpa harus memperhatikan bentuk mulutnya. Penggunaan insektisida ini harus hati-hati sekali terutama bila digunakan untuk pemberantasan serangga di ruang tertutup (Hoedojo dan Zulhasril, 2004).

B. Demam Berdarah Dengue

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Seseorang dapat tertular virus dengue jika digigit nyamuk Aedes aegypti yang mengandung virus dengue. Di dalam tubuh nyamuk yang mengandung virus dengue, virus tersebut berkembang baik dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk.


(37)

20

Sebagian besar virus tersebut berada dalam kelenjar liur nyamuk. Dalam jangka waktu satu minggu, jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk di tularkan atau dipindahkan kepada orang lain (Suhendro, 2006).

Virus dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk ke dalam Arbovirus (Arthropod borne virus) grup B, terdiri dari 4 tipe yaitu virus dengue tipe 1, 2, 3 dan 4. Virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirusini berukuran diameter 40 nanometer dan dapat berkembang biak pada berbagai macam kultur jaringan.

Pada waktu nyamuk menggigit orang lain, maka setelah probosis nyamuk menemukan kapiler darah, sebelum darah orang tersebut dihisap, terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar liurnya agar darah yang dihisap tidak membeku. Dengan cara inilah, virus dengue dipindahkan keoada orang lain (Hadinegoro, 2002).

Melalui gigitan nyamuk, virus memasuki aliran darah manusia untuk kemudian bereplikasi (memperbanyak diri). Sebagai perlawanan tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan terbentuk antigen-antibodi. Kompleks antigen-atibodi tersebut akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah, yang disebut dengan proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditujukan dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Hal itu mengakibatkan bocornya sel-sel darah, antara lain trombosit dan eritrosit. Akibatnya tubuh akan mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai


(38)

21

perdarahan hebat pada kulit, saluran cerna, saluran pernapasan, dan organ vital yang sering menyebabkan kematian (Widoyono, 2008).

Demam berdarah dengue ditandai oleh demam tinggi yang terjadi tiba-tiba, manifestasi pendarahan, hepatomegali atau pembesaran hati dan kadang-kadang terjadi syok manifestasi perdarahan. Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan menjadi 4 tingkatan (Soedarto, 1995):

1) Derajat I: demam mendadak 2-7 hari disertai gejala klinik lain, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah tes torniquet yang positif.

2) Derajat II: gejala lebih berat daripada derajat I, disertai manifestasi pendarahan kulit, epistaksis, pendarahan gusi, hematemesis atau melena. Terdapat gangguan atau sirkulasi darah perifer yang ringan berupa kulit dingin dan lembab, ujung jari dan hidung dingin.

3) Derajat III: kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.

4) Derajat IV: penderita syok berat, tensi tidak terukur dan nadi tidak teraba.

Menurut WHO 1997, kriteria diagnosis DBD adalah sebagai berikut: a. Kriteria Klinis

1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.

2. Terdapat manifestasi perdarahan 3. Pembesaran hati


(39)

22

4. Syok

b. Kriteria laboratorik

1. Trombositopenia (<100.000/mm3) 2. Hemokonsentrasi (Ht meningkat>20%) C. Kecombrang (Etlingera elatior)

1. Klasifikasi

Untuk klasifikasi tanaman Kecombrang adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Subkingdom : Tracheobionta Super Divisi : Spermatophyta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Sub Kelas : Commelinidae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Etlingera

Spesies :Etlingera elatior(Jack)

(Tjitrosoepomo, 2005)

2. Morfologi Kecombrang (Etlingera elatior)

Tumbuhan kecombrang (Etlingera eliator) merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di Indonesia. PenggunaanEtlingera eliatorsebagai bahan


(40)

23

obat sangat banyak ragamnya. Tumbuhan ini digunakan sebagai bahan pangan dan juga dapat digunakan untuk pengobatan (Antoro, 1995).

Tanaman kecombrang merupakan tanaman tahunan yang berbentuk semak dengan tinggi 1-3 m. Tanaman ini mempunyai batang semu, tegak, berpelepah, membentuk rimpang dan berwarna hijau. Daunnya tunggal, lanset, ujung dan pangkal runcing tetapi rata, panjang daun sekitar 20-30 cm dan lebar 5-15 cm, pertulangan daun menyirip dan berwarna hijau. Bunga kecombrang berbentuk bonggol dengan panjang tangkai 40-80 cm. Panjang benang sari ± 7,5 cm dan berwarna kuning. Putiknya kecil dan putih. Mahkota bunganya bertaju, berbulu jarang dan warnanya merah jambu. Biji kecombrang berbentuk kotak atau bulat telur dengan warna putih atau merah jambu. Buahnya kecil dan berwarna coklat. Akarnya berbentuk serabut dan berwarna kuning gelap (Syamsuhidayat, 1991).

Gambar 7. Kecombrang(Etlingera elatior) (Sumber: Syamsuhidayat, 1991)

Pada dasarnya, yang disebut dengan bunga kecombrang adalah suatu karangan bunga yang terdiri atas bagian bunga, daun pelindung, daun gagang, daun gantilan, kelopak, mahkota, putik dan buah. Bunga


(41)

24

kecombrang adalah bunga majemuk yang terdiri atas bunga-bunga kecil dan muncul pada saat bunga sudah tua (Soedarsono, 1994).

Batang semu bulat gilig, membesar di pangkalnya; tumbuh tegak dan banyak, berdekat-dekatan, membentuk rumpun jarang, keluar dari rimpang yang menjalar di bawah tanah. Rimpangnya tebal, berwarna krem, kemerah-jambuan ketika masih muda. Daun 15-30 helai tersusun dalam dua baris, berseling, di batang semu; helaian daun jorong lonjong, 20-90 cm × 10-20 cm, dengan pangkal membulat atau bentuk jantung, tepi bergelombang, dan ujung meruncing pendek, gundul namun dengan bintik-bintik halus dan rapat, hijau mengkilap, sering dengan sisi bawah yang keunguan ketika muda (Ibrahim, 1999).

Bunga dalam karangan berbentuk gasing, bertangkai panjang 0,5-2,5 m × 1,5-2,5 cm, dengan daun pelindung bentuk jorong, 7-18 cm × 1-7 cm, merah jambu hingga merah terang, berdaging, melengkung membalik jika mekar. Kelopak bentuk tabung, panjang 3-3,5 cm, bertaju 3, terbelah. Mahkota bentuk tabung, merah jambu, hingga 4 cm. Labellum serupa sudip, sekitar 4 cm panjangnya, merah terang dengan tepian putih atau kuning (Ibrahim, 1999).

Buah berjejalan dalam bongkol hampir bulat berdiameter 10-20 cm; masing-masing butir 2-2,5 cm besarnya, berambut halus pendek di luarnya, hijau dan menjadi merah ketika masak. Berbiji banyak, coklat kehitaman, diselubungi salut biji (arilus) putih bening atau kemerahan yang berasa masam (Ibrahim, 1999)


(42)

25

Gambar 8. Bunga Kecombrang(Etlingera elatior) (Sumber: Syamsuhidayat, 1991)

3. Manfaat Tanaman Kecombrang(Etlingera elatior)

Tumbuhan kecombrang (Etlingera eliator) merupakan tumbuhan yang tersebar cukup luas di Indonesia. Penggunaan Etlingera eliator sebagai bahan obat sangat banyak ragamnya. Tumbuhan ini digunakan sebagai bahan pangan dan juga dapat digunakan untuk pengobatan (Antoro, 1995).

Honje nama lain kecombrang juga dapat dimanfaatkan sebagai sabun dengan dua cara yaitu mengosokkan langsung batang pohon honje ke tubuh dan wajah atau dengan mememarkan pelepah batang daun honje hingga keluar busa yang harum yang dapat langsung digunakan sebagai sabun. Tumbuhan ini juga dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit yang berhubungan dengan kulit, termasuk campak. Bunga pokok yang berwarna merah muda banyak digunakan sebagai gubahan hiasan manakala tunas bunga ini dijadikan bahan memasak dalam masakan Melayu seperti laksa.


(43)

26

Tumbuhan ini mengandung banyak bahan antioksidan yang amat baik untuk kesehatan (Ardita, 2009).

4. Kandungan kimia tanaman Kecombrang (Etlingera elatior)

Kandungan bahan aktif yang terdapat dalam tanaman adalah saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri (Warta, 2008).

1. Saponin

Saponin mengandung gugus gula terutama glukosa, galaktosa, xylosa, rhamnosa atau methilpentosa yang berikatan dengan suatu aglikon hidrofobik berupa triterpenoid, steroid atau steroid alkaloid. Ikatan triterpenoid saponin dapat mengandung satu atau lebih ikatan C-C tak jenuh (Suparjo, 2008). Rantai oligosakarida umumnya terikat pada posisi C3, tetapi beberapa saponin mempunyai gugus gula tambahan pada C26 atau C28.

Saponin tersebar luas di antara tanaman tinggi, keberadaan saponin sangat mudah ditandai dengan pembentukan larutan koloidal dengan air yang apabila dikocok menimbulkan buih yang stabil. Saponin merupakan senyawa berasa pahit menusuk dan dapat menyebabkan bersin dan bersifat racun bagi hewan berdarah dingin, banyak di antaranya digunakan sebagai racun ikan (Gunawan dan Mulyani, 2004).

Menurut Sparg dkk (2004) saponin memiliki aksi sebagai insektida dan larvasida. Saponin dapat menurunkan tegangan permukaan


(44)

27

selaput mukosa traktus digestivus larva sehinga dinding traktus digetivus larva menjadi korosif (Aminah dkk, 2001).

Gambar 9: Rumus bangun saponin (WHO, 1999) 2. Flavonoid

Flavonoid merupakan termasuk senyawa fenolik alam yang potensial sebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman hijau, kecuali alga.

Flavonoid sering terdapat di sel epidermis. Sebagian besar flavonoid terhimpun di vakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya ada di luar vakuola (Yunilda, 2011). Beberapa fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah pengaturan tumbuh, pengaturan fotosintesis, bekerja sebagai antimikroba dan antivirus, pertahanan tumbuhan terhadap serangga, fitoaleksin merupakan komponen abnormal yang hanya dibentuk sebagai tanggapan terhadap infeksi atau luka.


(45)

28

flavonoid merupakan senyawa pertahanan tumbuhan yang dapat bersifat menghambat makan serangga dan juga bersifat tokis (Dinata, 2009).

D. Fraksinasi

Metode fraksinasi merupakan suatu proses yang menghasilkan asam laurat dengan cara pemisahan asam lemak menjadi komponen-komponen asam lemak ringan yang kemudian akan dipisahkan lagi untuk mendapatkan hasil akhir.

Fraksinasi adalah suatu proses pemisahan senyawasenyawa berdasarkan tingkat kepolaran. Jumlah dan senyawa yang dapat dipisahkan menjadi fraksi berbeda – beda tergantung pada jenis tumbuhan. Pada prakteknya dalam melakukan fraksinasi digunakan dua metode yaitu dengan menggunakan corong pisah dan kromatografi kolom. salah satu fase berupa larutan air dan yang lainnya berupa pelarut organik lipofilik seperti eter, MTBE, diklorometana, kloroform, atau pun etil asetat (Hafil, 2011).

Macammacam proses fraksinasi:

a) Proses Fraksinasi Kering(Winterization)

Fraksinasi kering adalah suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada berat molekul dan komposisi dari suatu material. Proses ini lebih murah dibandingkan dengan proses yang lain, namun hasil kemurnian fraksinasinya rendah.


(46)

29

b) Proses Fraksinasi Basah (Wet Fractination)

Fraksinasi basah adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan zat pembasah (Wetting Agent) atau disebut juga proses Hydrophilization atau detergentproses. Hasil fraksi dari proses ini sama dengan proses fraksinasi kering.

c) Proses Fraksinasi dengan menggunakan Solvent (pelarut)/ Solvent Fractionation

Ini adalah suatu proses fraksinasi dengan menggunakan pelarut. Dimana pelarut yang digunakan adalah aseton. Proses fraksinasi ini lebih mahal dibandingkan dengan proses fraksinasi lainnya karena menggunakan bahan pelarut.

d) Proses Fraksinasi dengan Pengembunan (Fractional Condentation)

Proses fraksinasi ini merupakan suatu proses fraksinasi yang didasarkan pada titik didih dari suatu zat / bahan sehingga dihasilkan suatu produk dengan kemurnian yang tinggi. Fraksinasi pengembunan ini membutuhkan biaya yang cukup tinggi namun proses produksi lebih cepat dan kemurniannya lebih tinggi.


(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian efek fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) sebagai larvasida terhadap larva Aedes aegypti instar III dilaksanakan pada bulan Mei 2012. Pembuatan fraksi kloroform dilaksanakan di Laboratorium MIPA Kimia Universitas Lampung, dan pelaksanaan uji efektivitas di laksanakan di Laboratorium Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

C. Alat dan Bahan Penelitian

1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Alat untuk Preparasi Bahan Uji


(48)

31

1) Nampan plastik ukuran 30 x 15 cm untuk tempat memelihara larva 2) Kain kasa untuk memisahkan larva dengan air

3) Gelas plastik ukuran + 400 ml untuk tempat meletakkan larva uji 4) Sangkar nyamuk untuk meletakkan gelas tersebut pada waktu

dilakukan uji

b. Alat untuk Pembuatan Ekstraksi batang Kecombrang

1) Timbangan untuk menimbang batang Kecombrang yang diperlukan 2) Blender untuk menghaluskan batang Kecombrang

3) Baskom plastik sebagai tempat atau wadah ekstrak batang Kecombrang

4) Saringan untuk memisahkan ekstrak batang Kecombrang dengan ampasnya

5) Pipet tetes untuk mengambil ekstrak batang Kecombrang c. Alat untuk Pembuatan larutan Fraksi Kloroform Batang Kecombrang

1). Alat kromatografi cair vakum (KCV)

2). Alat penguap vakum putar/rotary evaporator(Buchi) 3). Autoklaf

4). Cawan penguap dan cawan petri ( pyrex ) 5). Erlenmeyer

6). Lampu UV 254 dan 366 nm (Camag UV-Betrachter) 7). Timbangan analitik (Mettler Toledo)

d. Alat untuk Uji Efektifitas

1) Gelas ukur 250ml untuk mengukur jumlah air yang diperlukan 2) Batang pengaduk untuk mengetahui jumlah larva yang mati


(49)

32

3) Pipet larva untuk mengambil larva

4) Pipet tetes untuk mengambil larutan fraksi kloroform batang kecombrang

5) Kasa nilon untuk menutup gelas pertumbuhan larva

6) Gelas plastik atau kontainer untuk larutan fraksi kloroform batang kecombrang

2. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah batang Kecombrang (Etlingera elatior) yang telah dihaluskan sebanyak 20 g, ethanol 96% sebagai pelarut saat pembuatan stock ekstrak, aquades 20 ml sebagai pengencer stock ekstrak untuk mendapatkan konsentrasi yang diinginkan, kloroform untuk sebagai pelarut saat pembuatan fraksi kloroform. Penelitian ini juga memerlukan pelet kelinci dalam bentuk padat sebagai makanan larva. Pakan berupa pelet kelinci digunakan untuk menghindari terjadinya kekeruhan pada tempat pertumbuhan larva.

D. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva instar III Aedes aegypti. Telur nyamuk ini diperoleh dari Loka Litbang P2B2 Ciamis dalam bentuk kering dengan media kertas saring.


(50)

33

2. Sampel

a. Kriteria Inklusi

1) LarvaAedes aegypti yang telah mencapai instar III. 2) Larva bergerak aktif.

b. Kriteria Eksklusi

1) Larva bukan berasal dari alam bebas c. Besar Sampel

Berdasarkan acuan WHO (2005), maka pada penelitian ini dibutuhkan total larva sebanyak 480 larva dengan rincian sebagai berikut.

Tabel 1. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian Perlakuan Jumlah larva x jumlah

pengulangan

Total Kontrol (-) : 0% 20 larva x 4 80 larva Perlakuan I : 0,25% 20 larva x 4 80 larva Perlakuan II : 0,5% 20 larva x 4 80 larva Perlakuan III : 0,75% 20 larva x 4 80 larva Perlakuan IV : 1% 20 larva x 4 80 larva Kontrol (+) : Abate 20 larva x 4 80 larva

Jumlah total larva yang dipakai dalam penelitian

480 larva

E. Prosedur Penelitian

1. Preparasi bahan uji

Telur Aedes aegypti yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Ruang Insektarium Loka Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan


(51)

34

Penyakit Bersumber Binatang Ciamis, Pangandaran, Jawa Barat. Telur Aedes aegypti kemudian diletakkan di dalam nampan plastik yang berisi air untuk pemeliharaan larva. Telur akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Larva akan berkembang dari stadium I sampai stadium III selama 45 hari. Dalam masa perkembangannya larva diberi makan berupa pelet. Pada saat larva sudah mencapai instar III, larva tersebut dipindahkan kedalam gelas plastik yang berisi fraksi kloroform batang Kecombrang(Etlingera elatior)dengan menggunakan pipet larva.

2. Pembuatan Larutan Uji a.Ekstraksi

Pembuatan larutan uji yang berupa ekstrak batang Kecombrang(Etlingera elatior) ini menggunakan batang Kecombrang (Etlingera elatior). Pelarut dalam pembuatan larutan uji ini berupa etanol 96%. Batang Kecombrang (Etlingera elatior)sebanyak 20 g yang telah didapat kemudian dibersihkan dengan menggunakan air kemudian dicacah halus atau diblender kering (tanpa air). Setelah diblender potongan batang Kecombrang (Etlingera elatior) ditimbang terlebih dahulu baru kemudian dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Setelah kering, potongan batang Kecombrang (Etlingera elatior) direndam selama 24 jam di dalam ethanol 96% sebanyak 20 ml. Setelah direndam selanjutnya bahan tersebut disaring sehingga diperoleh hasil akhirnya berupa ekstrak Kecombrang dengan konsentrasi 100%.


(52)

35

b. Fraksinasi

Ekstraksi dilanjutkan untuk memisahkan senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya dengan menggunakan pelarut kloroform. Sebanyak 20 gram ekstrak etanol dilarutkan dalam 500 mL pelarut etanol, lalu dimasukkan ke dalam gelas separasi. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan pelarut kloroform sebanyak 500 mL. Setelah itu, campuran larutan tersebut dikocok hingga tercampur sempurna, lalu didiamkan beberapa menit sampai terjadi pemisahan antara kedua larutan yaitu larutan kloroform pada bagian atas dan larutan etanol pada bagian bawah. Kedua larutan tersebut dikeluarkan dan ditempatkan pada gelas erlenmeyer yang berbeda. Pencampuran dan pengocokan dilakukan berulang hingga larutan yang menggunakan pelarut kloroform tampak jernih. Filtrat yang didapat merupakan larutan ekstrak etanol yang telah bebas senyawa nonpolarnya dan larutan fraksi kloroform. Kedua larutan yang diperoleh kemudian dievaporasi sehingga diperoleh fraksi etanol yang telah bebas dari senyawa nonpolarnya dan fraksi kloroform dalam bentuk kental.

EtOH 13 L Evaporasi

kloroform 500ml Evaporasi

Gambar 10. Diagram Alir Prosedur fraksinasi batang kecombrang Batang kecombrang kering

Ekstrak etanol (E-EtOH)


(53)

36

3. Penentuan Dosis Ekstrak batang Kecombrang(Etlingera elatior)

Untuk membuat berbagai konsentrasi yang diperlukan dapat digunakan rumus V M = V₂M₂.

Keterangan:

V₁= Volume larutan yang akan diencerkan (ml)

M₁= Konsentrasi fraksi kloroform batang Kecombrang yang tersedia (%) V₂ = Volume larutan (air + fraksi kloroform batang kecombrang) yang diinginkan (ml)

M₂ = Konsentrasi fraksi kloroform batang Kecombrang yang akan dibuat (%)

Tabel 2. Jumlah fraksi kloroform Batang Kecombrang yang Dibutuhkan

M₁ V₂ M₂ V₁= V₂. M₂

M₁

Pengulangan (V₁x 4)

100 % 200 ml 1 % 2 ml 8 ml

100 % 200 ml 0,75 % 1,5 ml 6 ml

100 % 200 ml 0,5 % 1 ml 4 ml

100 % 200 ml 0,25 % 0,5 ml 2 ml

Total 20 ml

4. Uji Efektivitas fraksi kloroform batang kecombrang(Etlingera elatior) Larutan uji berupa fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) dengan konsentrasi 0% (kontrol negatif), abate 1% (kontrol positif), 0,25%, 0,50%, 0,75%, dan 1% sebagai perlakuan yang


(54)

37

ditambahkan pada masing-masing gelas uji berisi larva Aedes aegypti instar III. Pada penelitian ini kontrol negatif yang digunakan adalah aquades, untuk pemberian makan larva digunakan pelet dalam jumlah tertentu.

Larutan fraksi kloroform Batang Kecombrang (Etlingera elatior) yang sudah ditempatkan didalam gelas plastik tersebut dibagi berdasarkan konsentrasinya masing-masing. Larva diletakkan ke dalam gelas plastik yang berisi berbagai konsetrasi larutan fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) dengan menggunakan pipet larva, kemudian gelas pastik tersebut diberi tutupan kain nilon agar terhindar dari kotoran.

Perlakuan fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) hanya diberikan pada kelompok eksperimen sebanyak 250 ml aquades yang berisi konsentrasi dari larutan fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) pada tiap ulangan, sedangkan pada kelompok kontrol diberikan perlakuan mengunakan air sumur dengan volume 250 ml pada tiap ulangan. Pada masing-masing perlakuan berisi 20 larva Aedes aegypti instar III, berdasarkan WHO Guidline For Laboratory and Field Testing For Larvacidejumlah pengulangan sebanyak 4 kali.

Pengukuran pada kelompok-kelompok sampel dilakukan dalam 24 jam menurut WHO (2005) dan peneliti membagi pencatatan waktu selama perlakuan yaitu dengan interval waktu 5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480,


(55)

38

1440, 2880 menit. Pengukuran berakhir pada menit ke 2880 dengan cara menghitung larva yang mati.

5. Menentukan Nilai LC50dan LT50

Kelompok perlakuan terdiri dari 1 kontrol negatif, 4 konsentrasi batang Kecombrang (Etlingera elatior) dan 1 kontrol positif. Tiap kelompok perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali dan diamati pada menit ke-5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440 dan 2880. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah larva yang mati kemudian dicatat dan dihitung hingga diperoleh nilai LC50dan LT50.

F. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 1. Identifikasi Variabel

Variabel pada penelitian ini terdiri atas: a. Variabel Terikat

LarvaAedes aegyptiinstar III yang mati. b. Variabel Bebas

Berbagai konsentrasi larutan fraksi kloroform batang Kecombrang (Etlingera elatior) dengan lima taraf konsentrasi yaitu 0%, 0,25%, 0,5%, 0,75% dan 1%.

2. Definisi Operasional Variabel

Untuk memudahkan pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas maka dibuat definisi operasional sebagai berikut:


(56)

39

Tabel 3. Definisi Operasional

Variabel Definsi

Fraksi kloroform batang Kecombrang(Etlingera elatior)

Batang Kecombrang (Etlingera elatior) yang telah dicuci dan dipotong kecil-kecil, lalu diangin-anginkan diblender dan direndam selama 1x24 dengan pelarut ethanol 96% sehingga diperoleh 100% batang Kecombrang (Etlingera elatior), kemudian dilakukan fraksinasi dengan menggunakan larutan kloroform. LarvaAedes aegyptiyang mati Larva yang tidak bergerak saat

disentuh dengan jarum di daerah siphon atau lehernya. Larva yang hampir mati juga dikategorikan kedalam larva yang mati dimana ciri-ciri larva yang hampir mati adalah larva terebut tidak dapat meraih permukaan air atau tidak bergerak ketika air digerakkan (WHOguideline, 2005).

Larva instar IIIAedes aegypti Larva instar III berukuran 4-5 mm berumur tiga sampai empat


(57)

40

hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman (Sikka, 2009)

Berbagai konsentrasi larutan fraksi kloroform batang Kecombrang(Etlingera elatior)

Batang Kecombrang (Etlingera elatior) dinyatakan dalam persen (%). Pada penelitian ini dipakai konsentrasi 0,25%, 0,50%, 0,75%, 1% dan kontrol 0% yang kemudian akan dicari dosis subletalnya yaitu LC50 yang akan dihitung dengan analisis probit.


(58)

41

G. Diagram Alir

Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses penelitian, maka dibuat diagram alir seperti di bawah ini:

Gambar 11. Diagram Alir Uji Efek Fraksi Kloroform batang Kecombrang (Etlingera elaitor)sebagai Larvasida

Tiap kelompok dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali

Diamati setiap menit

ke-5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880, dan 4320.

Analisis Hitung jumlah larva

yang mati

Fraksi kloroform batang kecombrang 100%

Konsentrasi 0% Konsentrasi 0,25% Konsentrasi 0,5% Konsentrasi 0,75% Konsentrasi 1% Abate 1% Kelompok 1 (kontrol -) Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6 (kontrol +)


(59)

42

H. Pengolahan dan analisis data 1. One Way Anova

Untuk menghitung data yang diperoleh dari penelitian ini menggunakan analisis one way anova karena data yang dihasilkan merupakan data komparatif numerik tidak berpasangan > 2 kelompok, apabila sebaran data normal dan varians data sama. Namun, apabila sebaran data tidak normal atau varians tidak sama, uji yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis. Bila pada ujiOne Way Anova atau ujiKruskal-Wallisdiperoleh hasil yang bermakna, maka setelah itu dilakukan analisis post-hocuntuk mengetahui kelompok mana yang bermakna. Analisis post-hoc untuk mengetahui one way anova adalah Bonferroni sedangkan untuk uji Kruskal-Wallis adalah Mann Whitney.

2. Analisis Probit

Untuk menilai toksisitas suatu pestisida dapat digunakan analisis probit. Lethal consentration merupakan suatu ukuran untuk mengukur daya racun dari jenis pestisida sedangkan lethal time merupakan waktu yang dibutuhkan suatu zat untuk menimbulkan 50% kematian pada jumlah populasi. Pada uji efektifitas ditunjukan LC50 atau persen konsentrasi yang dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan dan LT50 atau menunjukkan berapa waktu konsentrasi suatu zat untuk membunuh 50% dari hewan percobaan. Nilai subletal ditentukan dengan analisis probit. Analisis probit ini diolah dengan menggunakan program SPSS 17.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, N.S., Sigit, S., Partosoedjono, Chairul. 2001. S.Lerak, D. Metel dan E. Prostata sebagai Larvasida Aedes aegypti.Cermin Dunia Kedokteran No. 131

Astrid, E. 2009. Pengaruh Ekstrak Daun Tekelan (Eupatorium Riparium) Terhadap Mortalitas dan Perkembangan larva Aedes Aegypti. Jurnal BIOMAJuni 2009 Vol.11: 17. ISSN 1410-8801

Borror, D. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi keenam. Alih bahasa : Soetiyono Partosoedjono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 673 hlm.

Depkes. 2005.Nicolaia Speciosa Horan. www.iptek.apjii.or.id. Diakse tanggal 29 September 2011

Dharmalitha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta. 160 hlm.

Djakaria, S. 2004.Pendahuluan Entomologi.Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 343 hlm.

Dinata,A. 2009. Mengatasi DBD dengan Kulit Jengkol. www. miqraindonesia. blogspot.com. Diakses tanggal 16 September

Dirjen PPM-PL Depkes RI.2004. Kebijaksanaan Program P2-DBD dan Situasi Terkin DBD di Indonesia. Diakses tanggal 16 September 2011. www.dinkes-sulse.go.id


(61)

Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Survey Entomologi Demam Berdarah. Depkes RI. Jakarta. 24 hlm.

Ditjen PP dan PL. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia.Depkes RI. Jakarta. 120 hlm.

Depkes RI. 2007. INSIDE (Inspirasi dan Ide) Litbangkes P2B2 vol II : Aedes aegypti Vampir Mini yang Mematikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

Gunawan, D., Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta

Hafil, 2011.Fitkom-Fraksinasi. www.usu.ac.id . Diakses 07 november 2011

Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Institut Teksnologi Bandung. Bandung

Hoedojo, R. dan Zulhasril. 2004. Insektisida dan Resistensi. Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 343 hlm.

Poorwo, S. 2010. Infeksi virus dengue.Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua.Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta. 155 hlm.

Pustekom. 2005. Penyebab DBD. Tuft U 24 februari 2010. www.e-dukasi.net.

Sparg, S. 2004. Biological activities and distribution of plant saponin. Jurnal Ethopharmacol. ISSN 219-243. Diakses tanggal 29 September 2011

Sikka,A. 2009. Uji Efek Larvasida Daun Mimba Terhadap Larva Aedes aegypti. www.eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 29 September 2011

Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta. 40 hlm.


(62)

Soedarto.1995.Penyakit-Penyakit Infeksi Di Indonesia.Surabaya:Widya Medika.

Syamsuhidayat,S. 1991.Inventarisasi Tanaman Obat Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI. Jakarta

Soedarsono.1994.Revisi Marga Nicolaia (Zingiberaceae). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga. Jakarta

World Health Organization. 2005. Guidelines For Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.13.

Yunilda,D. 2011. Analisa Zat Berkhasiat Daun Selasih. www. kimia.unp.ac.id. Diakses tanggal 2 Oktober 2011


(1)

40

hari setelah telur menetas, duri-duri dada mulai jelas dan corong pernapasan berwarna coklat kehitaman (Sikka, 2009)

Berbagai konsentrasi larutan fraksi kloroform batang Kecombrang(Etlingera elatior)

Batang Kecombrang (Etlingera elatior) dinyatakan dalam persen (%). Pada penelitian ini dipakai konsentrasi 0,25%, 0,50%, 0,75%, 1% dan kontrol 0% yang kemudian akan dicari dosis subletalnya yaitu LC50 yang akan


(2)

41

G. Diagram Alir

Untuk memudahkan peneliti dalam melakukan proses penelitian, maka dibuat diagram alir seperti di bawah ini:

Gambar 11. Diagram Alir Uji Efek Fraksi Kloroform batang Kecombrang (Etlingera elaitor)sebagai Larvasida

Tiap kelompok dilakukan pengulangan sebanyak 4 kali

Diamati setiap menit

ke-5, 10, 20, 40, 60, 120, 240, 480, 1440, 2880, dan 4320.

Analisis Hitung jumlah larva

yang mati

Fraksi kloroform batang kecombrang 100%

Konsentrasi 0% Konsentrasi 0,25% Konsentrasi 0,5% Konsentrasi 0,75% Konsentrasi 1% Abate 1% Kelompok 1 (kontrol -) Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Kelompok 6 (kontrol +)


(3)

42

H. Pengolahan dan analisis data

1. One Way Anova

Untuk menghitung data yang diperoleh dari penelitian ini menggunakan analisis one way anova karena data yang dihasilkan merupakan data komparatif numerik tidak berpasangan > 2 kelompok, apabila sebaran data normal dan varians data sama. Namun, apabila sebaran data tidak normal atau varians tidak sama, uji yang digunakan adalah uji Kruskal-Wallis. Bila pada ujiOne Way Anova atau ujiKruskal-Wallisdiperoleh hasil yang bermakna, maka setelah itu dilakukan analisis post-hocuntuk mengetahui kelompok mana yang bermakna. Analisis post-hoc untuk mengetahui one way anova adalah Bonferroni sedangkan untuk uji Kruskal-Wallis adalah Mann Whitney.

2. Analisis Probit

Untuk menilai toksisitas suatu pestisida dapat digunakan analisis probit. Lethal consentration merupakan suatu ukuran untuk mengukur daya racun dari jenis pestisida sedangkan lethal time merupakan waktu yang dibutuhkan suatu zat untuk menimbulkan 50% kematian pada jumlah populasi. Pada uji efektifitas ditunjukan LC50 atau persen konsentrasi yang

dapat menyebabkan kematian 50% dari hewan percobaan dan LT50 atau

menunjukkan berapa waktu konsentrasi suatu zat untuk membunuh 50% dari hewan percobaan. Nilai subletal ditentukan dengan analisis probit. Analisis probit ini diolah dengan menggunakan program SPSS 17.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, N.S., Sigit, S., Partosoedjono, Chairul. 2001. S.Lerak, D. Metel dan E. Prostata sebagai Larvasida Aedes aegypti.Cermin Dunia Kedokteran No. 131

Astrid, E. 2009. Pengaruh Ekstrak Daun Tekelan (Eupatorium Riparium) Terhadap Mortalitas dan Perkembangan larva Aedes Aegypti. Jurnal BIOMAJuni 2009 Vol.11: 17. ISSN 1410-8801

Borror, D. 1992. Pengenalan Pelajaran Serangga. Edisi keenam. Alih bahasa : Soetiyono Partosoedjono. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 673 hlm.

Depkes. 2005.Nicolaia Speciosa Horan. www.iptek.apjii.or.id. Diakse tanggal 29 September 2011

Dharmalitha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 5. Pustaka Bunda. Jakarta. 160 hlm.

Djakaria, S. 2004.Pendahuluan Entomologi.Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 343 hlm.

Dinata,A. 2009. Mengatasi DBD dengan Kulit Jengkol. www. miqraindonesia. blogspot.com. Diakses tanggal 16 September

Dirjen PPM-PL Depkes RI.2004. Kebijaksanaan Program P2-DBD dan Situasi Terkin DBD di Indonesia. Diakses tanggal 16 September 2011. www.dinkes-sulse.go.id


(5)

Ditjen PPM dan PL. 2002. Pedoman Survey Entomologi Demam Berdarah. Depkes RI. Jakarta. 24 hlm.

Ditjen PP dan PL. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di Indonesia.Depkes RI. Jakarta. 120 hlm.

Depkes RI. 2007. INSIDE (Inspirasi dan Ide) Litbangkes P2B2 vol II : Aedes aegypti Vampir Mini yang Mematikan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Jakarta.

Gunawan, D., Mulyani, S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi). Jilid Pertama. Penebar Swadaya. Jakarta

Hafil, 2011.Fitkom-Fraksinasi. www.usu.ac.id . Diakses 07 november 2011 Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis

Tumbuhan. Institut Teksnologi Bandung. Bandung

Hoedojo, R. dan Zulhasril. 2004. Insektisida dan Resistensi. Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 343 hlm.

Poorwo, S. 2010. Infeksi virus dengue.Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi Kedua.Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta. 155 hlm.

Pustekom. 2005. Penyebab DBD. Tuft U 24 februari 2010. www.e-dukasi.net. Sparg, S. 2004. Biological activities and distribution of plant saponin. Jurnal

Ethopharmacol. ISSN 219-243. Diakses tanggal 29 September 2011

Sikka,A. 2009. Uji Efek Larvasida Daun Mimba Terhadap Larva Aedes aegypti. www.eprints.undip.ac.id. Diakses tanggal 29 September 2011

Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta. 40 hlm.


(6)

Soedarto.1995.Penyakit-Penyakit Infeksi Di Indonesia.Surabaya:Widya Medika. Syamsuhidayat,S. 1991.Inventarisasi Tanaman Obat Indonesia. Badan Penelitian

dan Pengembangan Depkes RI. Jakarta

Soedarsono.1994.Revisi Marga Nicolaia (Zingiberaceae). Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Erlangga. Jakarta

World Health Organization. 2005. Guidelines For Laboratory and Field Testing of Mosquito Larvicides. WHO/CDS/WHOPES/GCDPP/2005.13.

Yunilda,D. 2011. Analisa Zat Berkhasiat Daun Selasih. www. kimia.unp.ac.id. Diakses tanggal 2 Oktober 2011