Kajian Kearifan Lokal Pada Pekarangan Masyarakat Betawi Sebagai Basis Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Dki Jakarta

i

KAJIAN KEARIFAN LOKAL PADA PEKARANGAN
MASYARAKAT BETAWI SEBAGAI BASIS
PENGELOLAAN LANSKAP PERKAMPUNGAN
BUDAYA BETAWI SETU BABAKAN, DKI JAKARTA

PRANAWITA KARINA NURSYIRWAN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

iii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK
CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ―Kajian Kearifan
Lokal pada Pekarangan Masyarakat Betawi sebagai Basis Pengelolaan

Lanskap di Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, DKI Jakarta‖
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip baik dari karya yang diterbitkan maupun
yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2015

Pranawita Karina Nursyirwan
NIM A451114011

iv

RINGKASAN
PRANAWITA KARINA NURSYIRWAN. Kajian Kearifan Lokal pada
Pekarangan Masyarakat Betawi sebagai Basis Pengelolaan Lanskap
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, DKI Jakarta. Dibimbing oleh

WAHJU Q. MUGNISJAH dan NURHAYATI H.S. ARIFIN.
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan, Srengseng, Jakarta
Selatan, dirancang untuk melestarikan budaya Betawi dan sebagai tempat
untuk mengembangkan alam yang dikelilingi oleh keberadaan budaya
Betawi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji kearifan lokal
masyarakat Betawi melalui pekarangan dengan cara (1) mengidentifikasi
karakteristik pekarangan Betawi, (2) mengkaji kearifan lokal masyarakat
Betawi di pekarangan, dan (3) menyusun strategi pengelolaan lanskap
Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan agar kearifan lokal tetap
terjaga. Sumber data diperoleh dari hasil studi literatur, wawancara,
kuisioner, dan observasi lapang. Metode yang digunakan adalah metode
deskriptif kualitatif dan statistik nonparametris.
Hasil identifikasi pekarangan Betawi di Setu Babakan berdasarkan
pengelompokan luas pekarangan sampel menurut Arifin et al. (1998) adalah
sempit (1000 m2) 17%. Dari 46% pekarangan sempit, 20%
berada di RW 08, dan masing-masing 10% di RW 06 dan RW 07. Adanya
pekarangan sempit disebabkan oleh fragmentasi pekarangan akibat adanya
sistem pewarisan, pembagian rumah, dan jual beli lahan. Elemen yang
ditemukan pada pekarangan Betawi adalah elemen fisik berupa pagar,
tempat menjemur, bale, kandang ternak, lubang tabunan, air, dan tanaman.

Elemen lainnya berupa sistem mata pencaharian pemiliknya, yaitu petani,
ibu rumah tangga, wiraswastawan, dan pensiunan. Unsur seni yang masih
ditemukan di pekarangan Betawi adalah gigi balang dan langkan yang
memiliki pola khas Betawi. Aktivitas di pekarangan mencakup kepercayaan,
seni, ritual, bahasa, dan persepsi masyarakat terhadap lingkungannya. Faktor
yang membentuk pekarangan Betawi adalah tingkat kepentingan pertanian,
informasi teknik pertanian, dasar pemilihan tanaman, pembagian hasil
pekarangan, jumlah petani, sikap terhadap perubahan penggunaan lahan,
sumber air, dan pertanian organik.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Betawi mencakup
pengetahuan cara menentukan sumber air di pekarangan, mengolah tanaman
hasil pekarangan sebagai obat tradisonal, dan mengatur pola bertanam di
pekarangan. Adanya norma yang terkait dengan waktu penanaman dimiliki
oleh masyarakat Betawi. Masyarakat Betawi memiliki hari baik dan hari
buruk dalam melakukan kegiatan di pekarangan. Hasil studi menunjukkan
adanya simbol-simbol dalam upacara adat yang dilakukan di pekarangan
dan juga kebiasaan atau aktivitas orang Betawi yang menyebabkan
terbentuknya elemen di pekarangan Betawi seperti bale, tampungan air, dan
tabunan.
Hasil analisis nilai penting pekarangan Betawi di Setu Babakan

menunjukkan bahwa pekarangan Betawi memiliki nilai sejarah dengan

v

derajat tinggi, ilmu pengetahuan dengan derajat tinggi, budaya dengan
derajat tinggi, pendidikan dengan derajat sedang, dan agama dengan derajat
tinggi. Hasil analisis nilai penting tersebut menunjukkan pekarangan Betawi
di Setu Babakan memiliki potensi untuk dilindungi. Empat prioritas utama
dalam rencana pengelolaan pekarangan Betawi berdasarkan analisis SWOT
adalah memaksimalkan kekuatan yang dimiliki untuk mencapai peluang
yang ada, yaitu (1) memberikan insentif bagi warga Betawi Setu Babakan
yang masih melakukan aktivitas terkait dengan kearifan lokal Betawi di
pekarangan; (2) menjadikan aktivitas di pekarangan Betawi sebagai daya
tarik wisata budaya di Setu Babakan; (3) menjadikan kegiatan budaya
Betawi yang berada dalam pekarangan sebagai salah satu kearifan lokal
yang dimunculkan dan dilakukan kembali dalam Perkampungan Budaya
Betawi; (4) membuat media informasi mengenai adanya nilai-nilai penting
di pekarangan.
Kata kunci:


budaya Betawi, kearifan lokal, lanskap budaya, pekarangan,
pengelolaan pekarangan

vi

SUMMARY
PRANAWITA KARINA NURSYIRWAN. Study of Betawinese
Pekarangan as Basic Landscape Management of Betawi Cultural Village
Setu Babakan, DKI Jakarta. Supervised by WAHJU Q. MUGNISJAH and
NURHAYATI H.S. ARIFIN.
Betawi cultural village Setu Babakan, Srengseng, East Jakarta, designed
to preserve Betawi culture and as a place to develop nature surrounded by
existence of Betawi Culture. The objectives of this study was to assess local
wisdom through pekarangan by (1) identifying characteristic of Betawinese
pekarangan, (2) analyzing local wisdom in Betawinese pekarangan, and (3)
arrange strategy of landscape management for Betawi Cultural Village to
keep local wisdom well maintained. The data source gained from study
literature, interview, questionnaire, and field observation. This study use
qualitative descriptive and non parametric statistic as method.
The result of Betawinese pekarangan identification classified based on

pekarangan wide-scale according to Arifin et al. (1998) was small (1000 m2) 17%. Among 46% of small pekarangan, 20% located at
RW 08 and 10% each located at RW 06 and RW 07. The most number of
small pekarangan caused by fragmentation derived from inheritance system,
home division, and land selling. Element founded at Betawinese
pekarangan are physical elements as fence, sunning spot, bale, cattle pen,
tabunan holes, water, and plant. The others element are owner livelihood
system as farmer, housewives, self-employed, and retired. The art aspect
found at Betawinese pekarangan are gigi balang and langkan that has uniqe
character of Betawi culture. Activity at pekarangan are beliefs, art, rituals,
language, and public perception of their environment. Factor that formed
Betawinese pekarangan are the level of agriculture interest, information of
agriculture technic, basic selection of plant, allocation of pekarangan
products, number of farmer, response roward land use change, water
resource, and organic farming.
Betawinese local wisdom that found in pekarangan are knowledge of
finding water resource at pekarangan, using pekaragan plant as traditional
medicine, and arrange harvesting system at pekarangan. There is norm
related cultivation by Betawinese. Betawinese believe that there are good
day and bad day in doing activity at pekarangan. Study result showed that
there are symbols of traditional ceremonies at pekarangan. There also

Betawinese habit or activity that form element at pekarangan such as bale,
water source, and tabunan holes.
Betawinese pekarangan significance analysis showed that it had high
value of history, knowledge, culture, and religion. While education in
pekarangan have moderate value of significance. The significance analysis
result showed that Betawinese pekarangan have to be preserved. There are
four priorities in strategy of Betawinese pekarangan management plan
based on SWOT analysis. It has to maximize the strength in pekarangan to
achive opportunity by (1) giving insentive for Betawinese in Setu Babakan

vii

whom still doing activity related to Betawinese pekarangan local wisdom;
(2) making Betawinese pekarangan activity as main attration of cultural
tourism at Setu Babakan Cultural Village; (3) making cultural activity in
pekarangan as one of local wisdom that showed up in Betawi Cultural
Village; (4) making information media of significance value in Betawinese
pekarangan.
Keywords : Betawi culture, cultural landscape, local wisdom, pekarangan,
pekarangan management


viii

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan
tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

ix

KAJIAN KEARIFAN LOKAL PADA PEKARANGAN
MASYARAKAT BETAWI SEBAGAI BASIS PENGELOLAAN
LANSKAP DI PERKAMPUGAN BUDAYA BETAWI SETU
BABAKAN, DKI JAKARTA


PRANAWITA KARINA NURSYIRWAN

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektir Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

x

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Aris Munandar, MS

xi

xii


PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Swt., Tuhan Yang
Mahaesa yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga tesis
berjudul ―Kajian Kearifan Lokal pada Pekarangan Masyarakat Betawi
sebagai Basis Pengelolaan Lanskap di Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan, DKI Jakarta‖ dapat diselesaikan. Tesis ini dipilih karena terdorong
oleh keinginan penulis untuk dapat memberikan kontribusi terkait kearifan
lokal dengan mengidentifikasi kearifan lokal yang ada di Perkampungan
Budaya Betawi, Setu Babakan, Jakarta Selatan, serta memasukkan unsur
tersebut ke dalam pengelolaan lanskap di Setu Babakan.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Wahju Q.
Mugnisjah, M.Agr. dan Dr. Ir. Nurhayati H.S. Arifin, M.Sc. selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan arahan dalam penelitian dan penulisan
tesis ini. Di samping itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada
Dr. Ir. Aris Munandar, MS. selaku dosen penguji tesis atas kritik dan saran.
Selanjutnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan
mahasiswa Pascasarjana Arsitektur Lanskap 2012 yang tidak bisa
disebutkan satu persatu atas semangat dan dukungan tulus yang telah
diberikan untuk penulis; kepada keluarga pengelola Perkampungan Budaya

Setu Babakan atas bantuan dan kerja samanya; kepada tim UNIKA
Semarang dan Forum Jabodetabek 2015 yang telah menerbitkan jurnal
mengenai sebagian isi tesis ini; kepada Mama, Papa, Bubu, dan M. Rizky
Waskito Aribowo, ST, MT atas dukungan, kasih sayang serta kesabaran
yang tak terbatas. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Jakarta, Juni 2015

Pranawita Karina Nursyirwan

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

x

DAFTAR GAMBAR

x

DAFTAR LAMPIRAN

xi

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

Ruang Lingkup

2

2 TINJAUAN PUSTAKA

4

Lanskap Budaya

4

Lanskap Budaya Betawi

4

Kearifan Lokal

5

Etnik Betawi

6

Folklor Betawi

7

Pengertian dan Fungsi Pekarangan

8

Pengelolaan Berkelanjutan

8

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian

9
9

Identifikasi Karakteristik Pekarangan

11

Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Betawi di Pekarangan

14

Strategi Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

14
16

Kondisi Umum

16

Karakteristik Pekarangan Betawi

18

Identifikasi Pekarangan Betawi

22

Faktor Pembentuk Pekarangan Betawi

33

Signifikansi Pekarangan Betawi

37

Kearifan Lokal Masyarakat Betawi di Pekarangan

39

xiv

Strategi Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan
5 SIMPULAN DAN SARAN

42
49

Simpulan

49

Saran

49

DAFTAR PUSTAKA

51

LAMPIRAN

54

RIWAYAT HIDUP

58

xv

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Metode dalam mencapai tujuan penelitian
Daftar nama narasumber
Elemen kombinasi
Derajat signifikansi
Skala rating matriks IFE dan EFE
Alternatif strategi
Jumlah penduduk di Kawasan Setu Babakan
Jenis penggunaan lahan di PBB Setu Babakan
Distribusi elemen keras di pekarangan
Distribusi tanaman di pekarangan
Tingkat kepentingan faktor internal
Tingkat kepentingan faktor eksternal
Penilaian bobot faktor strategis internal
Penilaian bobot faktor strategis eksternal
Matriks IFE pekarangan Betawi
Matriks EFE pekarangan Betawi
Matriks strength-opportunity
Perankingan alternatif strategi

10
11
11
13
15
16
17
18
22
24
44
44
45
45
46
46
47
47

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19

Diagram kerangka pikir penelitian
Lokasi Penelitian
Diagram strategi analisis SWOT
RW yang termasuk dalam Perkampungan Budaya Betawi
Perubahan pola penggunaan lahan
Fragmentasi Lahan
Perkerasan dan pot yang digunakan pada pekarangan sempit
Distribusi luas pekarangan RW sampel
Gigi balang pada pekarangna sedang (a) dan tanaman pembatas dengan
jalan umum pada pekarangan sangat besar (b)
Elemen keras di pekarangan Betawi: tabunan (a), kandang (b),
dan bale-bale (c)
Elemen air di pekarangan Betawi: kolam empang (a), tampungan air
hujan (b), dan kolam buatan (c)
Pembibitan alpukat di pekarangan dan produksi alpukat Babakan
Bunga telang (a) dan tanaman sayur dalam polybag (b)
Ilustrasi distribusi elemen fisik di pekarangan sempit
Ilustrasi distribusi elemen fisik di pekarangan sedang
Ilustrasi distribusi elemen fisik di pekarangan besar
Ilustrasi distribusi elemen fisik di pekarangan sangat besar
Gigi balang di atap rumah Betawi (a) dan langkan (b)
Grafik hubungan jenis kelamin terhadap tingkat kepentingan pertanian

3
10
15
17
18
19
20
21
21
23
24
25
26
27
28
29
30
31

xvi

(a) dan grafik hubungan etnis terhadap tingkat kepentingan pertanian
(b)
20 Grafik hubungan etnis terhadap informasi pertanian dari majalah (a),
grafik hubungan pekerjaan terhadap informasi pertanian dari majalah
(b), grafik hubungan RW terhadap informasi pertanian lainnya (c), dan
grafik hubungan RW terhadap iformasi pertanian dari pengalaman
sendiri.
21 Grafik hubungan lama domisili terhadap sikap terhadap perubahan
penggunaan lahan
22 Grafik hubungan asal orang tua terhadap hasil pekarangan (a) dan
grafik hubungan status kependudukan dengan hasil pekarangan (b)
23 Grafik hubungan jenis kelamin terhadap jumlah petani (a) dan grafik
hubungan lama domisili terhadap sikap terhadap perubahan penggunaan
lahan (b)
24 Grafik hubungan RW terhadap sumber air (a) dan grafik hubungan
RW terhadap pertanian organik (b)
25 Diagram posisi analisis SWOT untuk strategi dan pengembangan
pekarangan Betawi di Setu Babakan

33

34
35
35

36
37
46

DAFTAR LAMPIRAN
1
2

Tabel hasil analisis Chi Square
Tabel jenis tanaman di pekarangan Betawi Setu Babakan

55
56

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setelah Jakarta menjadi ibu kota, pusat bisnis, politik, dan kebudayaan terjadi
pertambahan penduduk besar-besaran. Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta
mencatat bahwa pada tahun 2014 terdapat 10 073 300 orang pada malam hari dan 11 201
610 orang pada siang hari. Hasil sensus tahun 2000 mencatat perubahan komposisi etnis
Betawi di Jakarta sebesar 27.65% dari total penduduk di Jakarta, sebelumnya pada tahun
1930 terdapat 36.19% penduduk Betawi di Jakarta. Perkembangan kota dan jumlah
penduduk pendatang menimbulkan dampak yang kompleks, antara lain, perubahan
penggunaan lahan dan juga timbulnya ancaman terhadap keberadaan penduduk lokal,
yaitu masyarakat Betawi Pembangunan Jakarta sejak awal tahun 1970-an juga telah
menggusur perkampungan etnis Betawi ke pinggiran kota.
Keberadaan masyarakat Betawi di Setu Babakan, Srengseng Sawah, Jakarta Selatan,
termasuk dalam persebaran etnis Betawi di Jakarta dan sekitarnya yang mendiami
kantong-kantong persebarannya sekitar abad ke-19 (Wardiningsih 2005). Masyarakat
Betawi di Setu Babakan merupakan kelompok yang mendukung keberadaan Betawi dan
budaya Betawi secara turun-temurun. Pemeritah Provinsi DKI Jakarta menetapkan Setu
Babakan sebagai tempat pelestarian dan pengembangan Budaya Betawi. Perkampungan
tersebut menjadi objek wisata dengan kebudayaan Betawi yang masih kental.
Pembangunan kawasan perumahan, sarana dan prasarana kota yang baru, serta pendatang
dari luar Jakarta menyebabkan hilangnya karakter budaya Betawi di pekarangan. Padahal
pekarangan memiliki nilai yang mendukung untuk memenuhi aktivitas sosial, budaya, dan
ekonomi (Soemarwoto 1997).
Sering kali pengetahuan penduduk setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam
mengembangkan kehidupan di lingkungan permukimannya (Wardiningsih 2005). Dalam
beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu
kearifan yang berwujud pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan
peralatan sebagai hasil mengelola lingkungan. Dengan mengetahui makna kearifan lokal
yang terkait dengan pentingnya pelestarian dan pengelolaannya, studi ini bertujuan
mengkaji kearifan lokal di pekarangan masyarakat Betawi. Kajian tersebut selanjutnya
dapat dijadikan dasar dalam pengelolaan lanskap secara menyeluruh di Perkampungan
Budaya Betawi, Setu Babakan.

Perumusan Masalah
Dampak perkembangan Jakarta menjadi ibu kota menjadi salah satu ancaman terhadap
keberadaan masyarakat Betawi. Berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 92 Tahun
2000, Setu Babakan, Jakarta Selatan, ditetapkan sebagai Perkampungan Budaya Betawi.
Pekarangan di Setu Babakan belum mendapatkan perhatian khusus yang terkait dengan
pelestarian dan pengelolaan budaya Betawi. Berdasarkan hal tersebut disusun perumusan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik pekarangan masyarakat Betawi?
2. Adakah kearifan lokal terkait pekarangan Betawi?
3. Bagaimanamengintegrasikan kearifan lokal dalam pengelolaan lanskap
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan?

2

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1. mengidentifikasi karakteristik pekarangan Betawi;
2. mengkaji kearifan lokal masyarakat Betawi di pekarangan;
3. menyusun strategi pengelolaan lanskap perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan, agar kearifan lokal tetap terjaga.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah
1. sebagai informasi bagi penguatan eksistensi budaya Betawi di tengah keragaman
budaya di Jakarta saat ini; dan
2. sebagai dasar pertimbangan penentuan kebijakan dalam mengelola lanskap
perkampungan budaya Betawi.

Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang menjadi subtansi pembahasan penelitian ini adalah keberadaan
kearifan lokal masyarakat Betawi yang dilakukan di pekarangan. Pekarangan Betawi
diidentifikasi berdasarkan pola pekarangan, luas pekarangan, elemen fisik, dan aktivitas
yang masih ditemukan saat ini. Faktor pembentuk pekarangan dianalisis menggunakan
statististik nonparametris. Selanjutnya, diidentifikasi kearifan lokal di pekarangan.
Kearifan lokal yang dimaksud adalah pengetahuan atau ide, norma adat nilai budaya,
aktivitas, dan peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan (Suhartini 2009).
Untuk memperkuat komponen kearifan lokal di pekarangan, dilakukan analisis
signifikansi atau nilai penting. Hasil dari kajian tersebut digunakan sebagai dasar
penyusunan konsep pengelolaan lanskap di Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan
agar kearifan lokal yang ada di pekarangan Betawi tetap terjaga. Kerangka pikir dari
penelitian merujuk pada keberadaan pekarangan Betawi di Setu Babakan dapat tumbuh
dan berkembang dengan kearifan lokal yang terkait dengan pekarangan (Gambar 1).

3
Pekarangan Betawi
Setu Babakan

Identifikasi Karakteristik
Pekarangan

Analisis Faktor
Pembentuk

1. Elemen Fisik
2. Sistem Mata
Pencaharian
3. Kepercayaan
4. Seni
5. Ritual
6. Bahasa
7. Presepsi Masyarakat

Nilai Signifikan
Chi Square

Kajian Kearifan Lokal
Pekarangan

1.
2.
3.
4.
5.

Pengetahuan atau ide
Norma adat
Nilai budaya
Aktivitas
Peralatan

Nilai Penting
Pekarangan Betawi

1.
2.
3.
4.
5.

Sejarah
Ilmu Pengetahuan
Pendidikan
Agama
Kebudayaan

Rekomendasi Pengelolaan
Lanskap di Setu Babakan

Gambar 1 Diagram kerangka pikir penelitian

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Lanskap Budaya
Lanskap budaya merupakan aspek berwujud dari budaya yang tidak dapat berhenti
dalam suatu waktu seperti struktur sejarah. Konsep tradisional dalam pelestarian sejarah
harus diperbaharui untuk memasukkan konsep budaya (Ingerson 1999). Menurut Mynors
(1984), lanskap budaya adalah kewenangan perencanaan lokal dari waktu ke waktu dalam
menentukan bagian mana dari wilayah masyarakat yang merupakan wilayah dengan
bangunan arsitektural khusus, karakter bersejarah atau penampakan yang ingin dijaga,
dikembangkan, dan dinyatakan sebagai wilayah konservasi.
Menurut Bimbaum (2001), lanskap budaya adalah suatu area geografis yang dilengkapi
dengan kebudayaan dan sumber daya alam serta kehidupan satwa di dalamnya yang
terkait dengan suatu peristiwa bersejarah dan aktivitas seseorang yang menunjukkan suatu
kebudayaan ataupun nilai keindahan. Lanskap budaya juga dapat dikatakan sebagai
cerminan interaksi dari manusia dan lingkungan yang alami melalui ruang dan waktu serta
merupakan suatu fenomena yang kompleks dengan identitas, baik yang dilihat maupun
yang disentuh. Lanskap budaya adalah istilah yang menunjukkan suatu kawasan lanskap
yang tersusun oleh budaya manusia dan dapat dikatakan juga sebagai konfigurasi secara
keseluruhan dari topografi, penutupan vegetasi, tata guna lahan, dan terdiri dari
pemukiman yang membatasi keterkaitan dari proses budaya, alam, serta aktivitasnya.
Banyaknya lanskap budaya yang hilang berarti manusia kurang mampu beradaptasi
terhadap kondisi lokal tertentu walaupun mereka mungkin mampu untuk lebih
berkontribusi dalam ekonomi global (McNeely dan Keeton 1995). Philips (1998)
mengungkapkan bahwa lanskap budaya dapat ditemukan di setiap bagian dunia yang
mempunyai populasi. Mereka mewakili berbagai bagian dari warisan leluhur yang kaya
dan tidak terbatas. Walaupun banyak terjadi perubahan dari bentuk alami mereka, lanskap
budaya penting untuk konservasi alam dan keanekaragaman hayati karena banyak dari
ekosistem yang berada di dalamnya dapat terus bertahan hidup melalui campur tangan
manusia.
Setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai budaya yang khas dan dapat membedakan jati
diri mereka dari kekhasan budaya yang lain. Perbedaan ini dapat dilihat dari gagasan, adat
istiadat, dan hasil karyanya yang dituangkan melalui interaksi antar individu atau
kelompok dengan alam sekitarnya. Menurut Tishler (1982), lanskap budaya adalah suatu
lanskap alami yang diperlihatkan oleh kelompok budayanya. Budaya sebagai agen, area
alami sebagai media, dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan lanskap
yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, kita akan kehilangan bagian
penting dari diri kita sendiri dan akar kita pada masa lampau (Tishler 1982).
Lanskap Budaya Betawi
Lanskap budaya Betawi terjadi karena aktivitas orang Belanda yang melahirkan bagian
kota dan mirip dengan kota di Belanda, di pihak lain tumbuh beberapa permukiman kaum
asli yang memiliki ciri-ciri pertumbuhannya sendiri. Di daerah pantai, permukiman
pribumi tersebut merupakan permukiman nelayan, dan di daerah hinterland (dalam)
merupakan permukiman yang bercirikan desa pertanian/perkebunan. Daerah pantai
kebanyakan dihuni oleh Jawa, Cina, dan pendatang lainnya, sedangkan daerah bagian
dalam dihuni oleh orang Sunda, Jawa, dan Betawi. Sejak saat itu dikenal istilah Kampung
Melayu, Kampung Bali dan sebagainya yang menandai latar belakang etnis masing-

5

masing permukimannya yang berkembang sejak abad ke-17 sampai saat kini. Pada tahun
1840, istilah ―kampung‖ (compound) digunakan untuk mengindikasikan ―permukiman
penduduk asli‖ yang dibedakan dari istilah ―kota‖ untuk permukiman Belanda.
Pertumbuhan kampung pada umumnya terdapat pada jalur komunikasi dan pusat
perdagangan yang dibangun Belanda saat itu. Bentukan kampung secara tipologi
diklasifikasikan menjadi tiga (Harun et al.1999):
1. kampung Kota, berada di daerah pusat-pusat kegiatan kota yang biasanya
berkepadatan sangat tinggi (Kampung Kebon Sirih);
2. kampung Pinggiran, berada pada daerah pinggiran kota tetapi masih dalam batas
wilayah dan kegiatan-kegiatan kota; berkepadatan rendah, tetapi kadang-kadang
ada juga yang berkepadatan tinggi (Kampung Budi Kemuliaan);
3. Kampung Perdesaan, berada di luar batas wilayah dan kegiatan perkotaan yang
berkepadatan rendah dan kebanyakan bertumpu pada kegiatan pertanian dan
perkebunan (Kampung Slipi).
Menurut Harun et al. (l999), pola tata ruang pekarangan secara tradisional, letak rumah
pada bagian dalam (hinterland) dibedakan menjadi tiga karakter pola tata ruang:
1. pola memusat di lokasi ‖bagian dalam‖ (agak jauh dari jalan besar) dengan
perkampungan yang memiliki pola terpencar karena rumah tersebut dibangun di
tengah-tengah kebun buah atau lahan- lahan yang kering;
2. pola di bagian luar (dekat atau langsung berada dekat pada jalan), dengan rumah
lebih bersifat mengelompok padat atau berjajar di sepanjang jalan dan hanya
dikelilingi oleh pekarangan yang sempit, tetapi hal tersebut bukan berati bahwa
pemilik rumah memiliki lahan yang sempit, karena seringkali kebun buah-buahan
atau lahan kering yang dimilikinya terdapat pada lokasi lain;
3. pola menyebar, dalam arti jarak rumah satu ke rumah yang lainnya terletak cukup
jauh, hanya dibatasi perkebunan atau persawahan dan dikaitkan dengan pola
kehidupan masyarakat setempat yang pada umumnya bercocok tanam dan
berdagang.
Pola ruang pada masyarakat Betawi umumnya mempunyai akses jalan penghubung
yang berupa jalan setapak dengan lebar jalan lebih kurang 1.5–2 meter. Menurut
Departemen Pendidikan Kebudayaan, Pengkajian, dan Pembinaan
Nilai-Nilai Budaya DKI (l997), pola pekarangan Betawi pada umumnya terbagi dalam
zonasi berikut:
1. zona hunian utama (rumah utama/ induk) yang dihuni oleh pemilik orang tua),
2. zona hunian pendukung, dihuni oleh anak yang sudah menikah, sanak saudara,
atau famili,
3. zona perkebunan (ditanami tanaman khas Betawi seperti pohon buah, sayuran, dan
tanaman obat), dan
4. zona pelengkap (pemakaman keluarga, empang/kolam, kandang ayam, tempat
pembakaran sampah, lapangan bulu tangkis, sumur, dan tempat menjemur
pakaian).

Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan
bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Kearifan lokal menunjuk pada lokalitas dan

6

komunitas tertentu. Menurut Akhmar dan Syarifudin (2007), kearifan lokal merupakan
tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan
tempat hidupnya secara arif. Oleh karena itu, kearifan lokal tidaklah sama pada tempat
dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan
alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda sehingga pengalamannya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan
dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan
lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, bergantung
pada tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat (Suhartini 2009).
Wahono (2005) mengungkapkan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategistrategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah
berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia.
Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma, tindakan, dan
tingkah laku sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang dapat memberi
pedoman manusia dalam bersikap dan bertindak baik dalam konteks kehidupan seharihari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.
Masyarakat memperoleh dan mengembangkan suatu kearifan yang berwujud
pengetahuan atau ide, norma adat nilai budaya, aktivitas, dan peralatan sebagai hasil
abstraksi mengelola lingkungan. Seringkali pengetahuan mereka tentang lingkungan
setempat dijadikan pedoman yang akurat dalam mengembangkan kehidupan di
lingkungan pemukimannya. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan
hidup dalam masyarakat Indonesia yang diwariskan secara turun temurun menjadi
pedoman dalam memanfaatkan sumber daya alam. Kesadaran masyarakat untuk
melestarikan lingkungan dapat ditumbuhkan secara efektif melalui pendekatan
kebudayaan. Jika kesadaran tersebut dapat ditingkatkan, hal itu akan menjadi kekuatan
yang sangat besar dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pendekatan kebudayaan ini,
penguatan modal sosial, seperti pranata sosial-budaya, kearifan lokal, dan norma-norma
yang terkait dengan pelestarian lingkungan hidup penting menjadi basis yang utama
(Suhartini 2009).

Etnik Betawi
Menurut Saidi (1994), Betawi merupakan masyarakat yang terdiri dari orang-orang
yang datang dari berbagai penjuru dunia dan suku bangsa di Indonesia (Jawa, Melayu,
Bali, Bugis, Makassar, dan Sunda). Berbagai suku bangsa ini telah banyak kehilangan ciri
asli nenek moyang mereka dan melalui pergaulan perdagangan dan perkawinan campur
telah menjadi satu etnik khusus yakni Betawi (Koentjaraningrat 1984). Etnik ini dikenal
sebagai masyarakat hasil dari peleburan berbagai suku di Indonesia.
Orang Betawi sebagai suatu rumpun keragaman etnisitas ini sudah terbentuk sejak
abad ke-16. Dari masyarakat ini lahir kebudayaan campuran dari pelbagai budaya seperti
Moro, Cina, Arab, dan Bali. Wilayah budaya Betawi dari segi penggunaan bahasa (dialek
Melayu Jakarta) meliputi daerah Jakarta dan sekitarnya (Jabotabek). Pembentukan
identitas Betawi diawali dengan pembangunan mesjid tua di Jakarta (Batavia) yang
berfungsi sebagai pusat pengembangan Islam. Mesjid-mesjid ini didirikan pada awal abad
ke-17 dan umumnya terletak di tepi pantai atau sungai. Ini memperlihatkan bahwa orang
Betawi di masa itu hidup dalam dua pola budaya, yakni budaya agraris dan budaya river
basin. Orang betawi mempunyai kebiasaan banyak berpergian yang memungkinkan
mereka bersentuhan dengan budaya mancanegara dan antaretnik di Indonesia. Bagi Saidi

7

(1994) kenyataan ini menunjukkan bahwa warga Betawi merupakan masyarakat yang
mempunyai sifat dinamis dan akomodatif terhadap perubahan atau pembaharuan,
termasuk pengaruh asing sejauh dianggap positif.
Masyarakat Betawi yang awalnya berpusat di Jakarta dari segi jumlah semakin
berkurang dan tergusur ke wilayah sekitar Jakarta, yakni Bogor-Tangerang-Bekasi
(Botabek) yang mengitari Jakarta. Hal ini dikarenakan pembangunan pusat Jakarta.
Kebanyakan orang Betawi memiliki sejumlah areal tanah karena warisan seperti
persawahan, pertanian dan perkebunan. Tanah-tanah itu yang semula mempunyai fungsi
ekonomi berubah menjadi wilayah pemukiman. Kenyataan ini mendorong masyarakat
Betawi mengalihkan mata pencaharian ke sektor informal, khususnya bidang jasa.
Berpindahnya masyarakat Betawi ke wilayah pinggiran karena terdesak oleh
pembangunan kota Jakarta, menjadikan Bogor, Tangerang, Bekasi sebagai wilayah baru
budaya Betawi.
Sistem nilai yang berlaku di kalangan etnik Betawi antara adalah: (1) rasa solidaritas
yang tinggi; nilai ini berhubungan dengan nilai gotong-royong yang berlaku di kalangan
petani; (2) kurang memiliki rasa cemburu dalam arti positif, sehingga kurang memacu diri
untuk bekerja keras mengejar ketinggalan terhadap lingkungan yang telah maju pesat; (3)
pasrah teradap nasib dan hidupnya merasa aman dan terjamin dalam lingkungan kerabat
dekat; (4) cenderung untuk mengambil keputusan yang merugikan masa depannya sendiri,
yakni karena tidak tahan terhadap kesulitan-kesulitan sementara (terutama dalam
ekonomi), jalan keluarnya adalah menjual tanah yang merupakan faktor produksi
terpenting bagi keluarga dan menggunakan hasil penjualan tersebut untuk kepentingan
yang tidak produktif (Saidi 1994).
Folklor Betawi
Kata folklor berasal dari dua kata dari bahasa Inggris, yaitu : folk dan lore. Menurut
Dundes dalam Budiaman et al. (2000), istilah folk berarti kelompok orang yang memiliki
ciri-ciri pengenal kebudayaan yang membedakannya dari kelompok lain, sedangkan yang
dimaksud dengan lore adalah tradisi folk yang diwariskan secara turun-temurun melalui
lisan atau tutur kata, ataupun melalui contoh yang disertai dengan perbuatan. Lebih lanjut,
Budiaman et al. (2000) mengungkapkan bahwa untuk mengenal kebudayaan masyarakat
tertentuk sangatlah penting untuk mempelajari folklornya karena fungsi yang terkandung
di dalamnya, yaitu sebagai sistem proyeksi yang dapat mencerminkan angan-angan
kelompok, alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak, alat
pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi, dan alat penghibur
ataupun penyalur perasaan yang terpendam.
Terdapat tiga jenis folklor Betawi yaitu folklor lisan, folklor setengah lisan, dan folklor
bukan lisan. Folklor lisan meliputi bahasa rakyat, ungkapan tradisional, ungkapan
tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita prosa rakyat dan nyanyian Betawi.
Folklor setengah lisan mencakup kepercayaan dan takhayul, permainan dan hiburan untuk
rakyat, drama rakyat tarian-tarian dan adat kebiasaan, upacara, dan pesta.
Folklor bukan lisan dibagi menjadi dua bagian. Folklor bukan lisan berupa material
seperti arsitektur rakyat, seni kerajinan tangan, pakaian dan perhiasan, obat-obatan rakyat,
makan dan minuman, alat-alat musik, peralatan dan senjata dan mainan. Bagian yang
kedua dari folklor bukan lisan berupa tanpa material seperti bahasa isyarat dan musik
Betawi. Masing-masing bentuk folklor tersebut merupakan unsur kebudayaan Betawi
masa kini yang mempunyai fungsi dalam kehidupan masyarakat Betawi. Pengetahuan
mengenai folklor dapat digunakan sebagai penunjang pembangunan dan tidak kurang

8

pentingnya juga sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan pembinaan
dalam pengembangan kesenian (Budiaman et al. 2000).

Pengertian dan Fungsi Pekarangan
Soetomo (1992) mendefinisikan pekarangan sebagai sebidang tanah yang memiliki
batas-batas tertentu dengan bangunan tempat tinggal di atasnya dan mempunyai hubungan
fungsi ekonomi, biofisik, dan sosial budaya dengan penghuninya. Soemarwoto (1975)
beranggapan bahwa hewan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pekarangan.
Menurutnya pekarangan merupakan sebidang tanah sekitar rumah yang ditanami dengan
berbagai macam tanaman tidak terkecuali tumbuhan liar yang mampu hidup yang dapat
dimanfaatkan penduduk untuk sayur, obat, bahan makanan, atau keperluan lain. Kecuali
itu, menurutnya pekarangan dipandang sebagai suatu ekosistem dengan manusia dan
hewan merupakan bagian integral dari sistem itu.
Pekarangan memiliki fungsi ekonomis dan non ekonomis atau rohani. Fungsi
ekonomis dapat berarti hasil pekarangan dapat dimanfaatkan langsung untuk kebutuhan
manusia berupa hasil pembudidayaan. Sedangkan fungsi rohani atau ekonomis berupa
hasil pembudidayaan pekarangan yang dimanfaatkan manusia secara tidak langsung.
Fungsi ekonomis antara lain melindungi rumah dan keluarga dari angin, hujan, panas,
debu dan kebisingan. Sebagai penyerap karbon dan limbah rumah tanggga, penyejuk
ruangan dan sebagai tempat bersantai keluarga serta arena pendidikan dan arena bermain
(Kristyono 1983)
Penny dan Ginting (1984) mengemukakan keberadaan elemen dalam pekarangan
dipengaruhi oleh adat atau kebiasaan melakukan upacara-upacara yang berlaku di suatu
daerah. Elemen dalam pekarangan terdiri dari manusia sebagai pemilik, pengguna, dan
pengelola pekarangan, vegetasi sebagai tanaman dalam pekarangan, dan bangunan.
Fungsi pekarangan menurut Soetomo (1992) adalah sebagai berikut:
1. tempat melestarikan sumber daya alam, meningkatkan kesehatan lingkungan,
menjaga sumber kesuburan tanah, mencegah erosi, melindungi pekarangan secara
hidrologis, dan memperbaiki ekosistem dan paru-paru lingkungan;
2. sumber estetika, keindahan, kesejukan, dan kenyamanan;
3. sumber ekonomi, tambahan pendapatan, lumbung hidup, warung hidup, bank
hidup, dan apotik hidup;
4. pemasok kebutuhan sosial, budaya, dan agama;
5. areal pelestarian plasma nutfah.
Soemarwoto (1997) menjelaskan fungsi pekarangan sebagai integrasi kompleks dari
fungsi alam hutan untuk memenuhi kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi manusia.
Fungsi tersebut secara tidak langsung merupakan pencagaran sumber daya genetis,
hidrologi, efek iklim mikro, sosial, produksi, dan estetika.
Pengelolaan Berkelanjutan
Pengelolaan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengamankan dan menyelamatkan
suatu lanskap secara efisien dan terarah, dalam upaya pelestarian dan keberkelanjutannya,
meliputi sumber daya alam fisik dan biofisik, serta lingkungan binaan yang sesuai
dengan undang-undang yang berlaku.
Menurut Harvey dan Buggey (l999), seluruh kegiatan pelestarian bertujuan
mempertahankan dan melindungi suatu kawasan dan isinya, sedangkan menurut
Budiharjo dan Sujarto (l999), konsep pelestarian yang sesuai adalah adanya fungsi-fungsi

9

baru yang menguntungkan dilihat dari segi ekonomi- finansial dan pengembangannya.
Konsep strategi pengelolaan yang berkelanjutan, menurut Arancibia et al. (l999),
menggunakan keterkaitan positif antara efisiensi ekonomi dan perbaikan lingkungan, serta
ikut serta menciptakan tanda ekonomi yang baru dan mendorong semua kegiatan produksi
dan konsumsi yang mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan, yang apabila
kondisi lingkungan tidak dilindungi, nilai ekonomi dalam pembangunan secara utuh tidak
akan tercapai.
Pengelolaan adalah salah usaha kebijaksanaan untuk memelihara dan menyelamatkan
secara ekosistem. Konsep dasar dari pengelolaan secara ekologi dengan pendekatan
ekosistem, seperti danau, hutan, laut, tanaman pertanian, perkebunan dan padang rumput.
Menurut Jayadinata (1992), sumber daya manusia sangat menentukan dalam pengelolaan
kawasan.
Pengelolaan sumber daya manusia mencakup beberapa keadaan berikut:
1. keadaan penduduk (jumlah penduduk, kerapatan penduduk, penyebaran penduduk,
dan struktur penduduk);
2. proses penduduk, merupakan beberapa perubahan tertentu yang berurutan dalam
jangka waktu, dapat berlaku secara alamiah (kelahiran dan kematian) dan secara
buatan yang disebabkan oleh imigrasi;
3. lingkungan sosial penduduk, merupakan bagian kebudayaan penduduk, yaitu;
a. Pola kendali (pattern of control),
b. Pola kegiatan (pattern of activities),
c. Pola binaan (pattern of construction),
d. Pola jalan lingkungan.
Pengelolaan yang berkelanjutan adalah usaha manusia untuk mengubah, mengatur, dan
menata ekosistem agar manusia memperoleh manfaat yang maksimal dengan
mengusahakan kontinunitas keberadaannya yang dipengaruhi oleh faktor ruang, waktu,
dan energi.

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian berlokasi di kawasan Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan,
Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan (Gambar 2).
Pengamatan dilakukan pada pekarangan di empat RW yang termasuk dalam wilayah
Perkampungan Budaya Betawi, Setu Babakan. Kelompok RW tersebut adalah RW 06,
RW 07, RW 08, dan RW 09. Penelitian dilakukan pada November 2013 sampai Mei
2014.
Pengumpulan Data
Metode penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Informasi mengenai
kearifan lokal masyarakat Betawi diperoleh dari hasil studi literatur, wawancara, dan
observasi lapang. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari
1 studi kepustakaan melalui buku, jurnal penelitian, dan internet;
2 observasi atau pengamatan langsung di lapangan, yaitu menggunakan pengamatan
atau pengindraan langsung terhadap objek yang diteliti, seperti kondisi, situasi,
atau proses;

10

3

4

wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab langsung dengan narasumber kunci
yang memiliki pengetahuan tentang pertanian seperti tokoh masyarakat, ketua
RW, dan Pengelola Perkampungan Budaya Betawi (Tabel 2);
kuisioner kepada 30 orang responden dengan teknik pengambilan sampel purposif
(Faisal 2008). Sampel diambil berdasarkan responden yang memiliki pengetahuan
atau pekarangan Betawi. RW 06 diambil sebanyak 5 responden, RW 07 sebanyak
6 responden, RW 08 12 responden, dan RW 09 sebanyak 7 responden.

Tabel 1 Metode dalam mencapai tujuan penelitian
Tujuan Penelitian

Sumber data

Analisis

Identifikasi karakteristik pekarangan
Betawi

Studi literatur, wawancara,
observasi lapang, dan kuisioner

Spasial dan deskriptif

Kajian kearifan lokal pekaragan Betawi

Observasi lapang, studi literatur,
dan wawancara mendalam

Strategi pengelolaan lanskap
pekarangan Betawi di Setu Babakan

Studi literatur, wawancara, dan
observasi lapang

Deskriptif kualitatif,
statistik
nonparametris
Deskriptif kualitatif

Sumber Peta : Fajriyah (2014)

Gambar 2 Lokasi Penelitian

11

Tabel 2 Daftar nama narasumber
No
1
2
4
5
6
7
8
9
10
11

Nama
Indra Sutisna
Muhammad Faizal
Syarif Hidayat
Etty
Riih
Hidayat
Shahroni
Saih
Tani
Susi

Keterangan
Pengelola Perkampungan Budaya Betawi
Ketua RW 06 Setu Babakan
Ketua RW 08 Setu Babakan
Kelompok Tani Setu Babakan
Tokoh masyarakat Setu Babakan
Pembibitan alpukat
Pengelola Setu Babakan
Tokoh masyarakat Setu Babakan
Petani yang masih aktif di Setu Babakan
Pemilik Sekolah di Setu Babakan

Identifikasi Karakteristik Pekarangan
Identifikasi karakteristik pekarangan mencakup informasi pola pekarangan, luas
pekarangan dan elemen kombinasi pekarangan. Pola pekarangan adalah bentuk kelompok
pekarangan yang ditemukan di Perkampungan Budaya Setu Babakan. Luas pekarangan di
Setu Babakan dikelompokkan menjadi sempit (1000 m2) (Arifin et al. 1998). Dengan
pengelompokkan berdasarkan luas dapat diketahui karakter pekarangan Setu Babakan.
Elemen kombinasi pekarangan disusun dari Juniarta et al. (2013), Alwasilah et al. (2009),
dan Moechtar et al. (2012) (Tabel 3). Data tersebut diperoleh dari studi literatur,
wawancara, observasi lapang dan kuisioner. Hasil dari analisis ini berupa deskripsi dan
gambaran pekarangan masyarakat Betawi di Setu Babakan.
Tabel 3 Referensi penyusunan elemen kombinasi pekarangan
Juniarta et al. (2013)
1.
2.
3.
4.
5.

a

Pola kegiatan
Bahasa
Kepercayaan
Ritual
Cara-cara hidup

Alwasilah et al.
(2009)
1.
2.
3.
4.

Fakta
Konsep
Keyakinan
Persepsi
masyarakat
terhadap
lingkungan

Moechtar et al.
(2012)
1. Elemen Fisik
2. Elemen
Ekonomi
3. Elemen Sosial
Budaya

Elemen Kombinasi Pekarangan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Elemen fisik bc
Sistem mata pencaharianabc
Kepercayaan abc
Senic
Rituala
Bahasaa
Persepsi masyarakat terhadap
lingkunganb

Juniarta et al. (2013), b Alwasilah et al. (2009), c Moechtar et al. (2012).

Juniarta et al. (2013) menggunakan pendekatan etnografi dalam menginterpertasikan
kearifan lokal, unsur tersebut adalah pola-pola kegiatan, bahasa, kepercayaan, ritual dan
cara-cara hidup. Sedangkan Alwasilah et al. (2009) menggunakan pendekatan
etnopedagogi dalam memandang kearifan lokal. Lebih lanjut, kearifan lokal didefinisikan
sebagai koleksi fakta, konsep, keyakinan, dan persepsi masyarakat terhadap lingkungan
mereka. Moechtar et al. (2012) mengungkapkan faktor pembentuk kearifan lokal di
pekarangan terdiri dari elemen fisik, elemen ekonomi, dan elemen sosial budaya.

12

Komponen kombinasi untuk mengidentifikasi karakteristik pekarangan yaitu elemen
fisik, sistem mata pencaharian, kepercayaan, seni, bahasa, dan presepsi masyarakat
terhadap lingkungan. Komponen tersebut disusun untuk mewakili seluruh elemen
kearifan lokal dari ketiga sumber tersebut.
1. Elemen fisik mewakili elemen fisik pada Moechtar et al. (2012) dan fakta oleh
Alwasilah et al. (2009). Elemen tersebut adalah elemen keras dan elemen lunak
yang ditemukan untuk mengidentifikasi pekarangan sampel.
2. Sistem mata pencaharian mencakup elemen ekonomi (Moechtar et al. 2012),
konsep (Alwasilah et al. 2009), pola kegiatan dan cara hidup (Juniarta et al.
2013). Identifikasi menggunakan sistem mata pencaharian yang ditemukan pada
pekarangan sampel.
3. Kepercayaan diperoleh dari Juniarta et al. (2013), keyakinan (Alwasilah et al.
2009) dan elemen sosial budaya (Moechtar et al. 2012). Kepercayaan merupakan
hal yang diyakini oleh individu berasal dari dalam dirinya. Kepercayaan yang
ditemukan pada pekarangan menjadi elemen karakter pekarangan sampel.
4. Seni mewakili elemen sosial budaya (Moectar et al. 2012). Benda atau kegiatan
yang mencakup seni dipekarangan sampel diidentifikasi sehingga menjadi salah
satu elemen yang yang menyusun karakter pekarangan.
5. Ritual (Juniarta et al. 2013) adalah hal yang dilakukan berdasarkan adat atau
kebiasaaan pada suatu pekarangan sehingga membentuk karakter yang khas.
6. Bahasa (Juniarta et al. 2013) merupakan sistem lambang bunyi yang digunakan
oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan dirinya di pekarangan.
7. Persepsi masyarakat terhadap lingkungan (Alwasilah et al. 2009) adalah proses
masyarakat dalam mengetahui lingkungannya serta tanggapan langsung dari
lingkungan sekitarnya. Persepsi tersebut menjadi hal yang digunakan dalam
membentuk karakter suatu pekarangan.
.
Analisis Faktor Pembentuk
Analisis ini digunakan untuk mencari penyebab terbentuknya pekarangan Betawi.
Guna analisis ini bila pada waktu-waktu tertentu tidak ditemui hal yang diperoleh dari
wawancara dan observasi dilakukan menggunakan kuisioner. Faktor-faktor yang
dianalisis antara lain jenis pekarangan, lingkungan pertanian, dan jenis tanaman di
pekarangan yang kemungkinan tidak ditemui saat analisis pola penggunaan lahan karena
kegiatan atau elemen itu hanya ada pada waktu tertentu. Hasil kuisioner ini dianalisis
dengan bantuan chi square. Chi square digunakan untuk menguji (1) apakah frekuensi
yang diobservasi signifikan berbeda dengan frekuensi yang diharapkan dan (2) apakah
variabel yang diteliti bebas atau berhubungan (Faisal 2008). Rumus untuk mencari chisquare adalah

dengan
X2
O
E

∑[
= Chi-square;
= frekuensi hasil observasi;
= frekuensi yang diharapkan.

]

13

Analisis Nilai Penting
Signifikansi dianalisis dengan cara menentukan derajat nilai penting (Syahadat et al.
2014) pekarangan Setu Babakan yang didasari oleh Undang-Undang Cagar Budaya Tahun
2010. Tujuan dari analisis tersebut untuk mendapatkan nilai penting yang dimiliki oleh
pekarangan Betawi. Nilai penting pada Bab 1 pasal 1 poin pertama yang menjelaskan
tentang cagar budaya adalah warisan bersifat kebendaan berupa benda cagar budaya,
bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan kawasan cagar
budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki
nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan pendidikan agama dan/atau kebudayaan
melalui proses penetapan. Hasil signifikansi tersebut dijabarkan secara deskriptif (Putra et
al. 2014) untuk mengetahui nilai penting yang dimiliki pekarangan Betawi.
Tabel 4 Derajat nilai penting
Nilai Pentinga
Sejarah

Rendah
Nilai penting
sumberdaya sejarah
tidak langka, tidak
unik, tidak memiliki
memoir pada
mayoritas mayarakat

Derajatb
Sedang
Bukan satu-satunya
tetapi jarang
ditemukan, tidak
begitu tua namun
memiliki memoir bagi
sebagian masyarakat

Ilmu Pengetahuan

Tidak terkandung
nilai penting ilmu
pengetahuan dalam
lanskap sejarah
maupun objek

Terkandung nilai
penting ilmu
pengetahuan dalam
lanskap sejarah
maupun objek, bukan
satu-satunya tapi
jarang ditemukan

Budaya

Nilai penting
sumberdaya budaya
tidak langka, tidak tua
dan tidak unik

Sumberdaya
meskipun bukan satusatunya tetapi jarang
ditemukan, tidak tua,
tapi tidak juga muda

Pendidikan

Tidak terkandung
nilai penting
pendidikan dalam
lanskap sejarah
maupun objek

Terkandung nilai
penting pendidikan
dalam lanskap sejarah
maupun objek, bukan
satu-satunya tapi
jarang ditemukan

Agama

Nilai penting tidak
langka dan tidak
penting bagi
mayoritas
masyarakat.

Bukan satu-satunya
tetapi jarang
ditemukan, tidak
begitu sakral namun
memiliki memoir bagi
sebagian masyarakat

Tinggi
Bersifat langka,
terutama jika hanya
satu, sangat tua,
mempunyai berbagai
lapisan sejarah serta
mempunyai keunikan
yang khas serta
menjadi memoir bagi
hampir seluruh
masyarakat
Bersifat langka,
terutama jika hanya
satu, sangat tua,
mempunyai berbagai
lapisan ilmu,
pengetahuan, serta
mempunyai keunikan
yang khas
Sumberdaya budaya
bersifat langka,
terutama jika hanya
satu, sangat tua,
mempunyai berbagai
lapisan budaya serta
mempunyai keunikan
yang khas
Terdapat nilai penting
pendidikan, langka
dan hanya satusatunya

Nilai penting
merupakan satusatunya dan sangat
penting bagi
mayoritas masyarakat

Sumber : aUU Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010, bSyahadat et al. 2014.

14

Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Betawi di Pekarangan
Setelah didapatkan karakteristik pekarangan Betawi di Setu Babakan, maka dilakukan
kajian kearifan lokal di pekarangan Betawi. Pekarangan sebagai medium untuk aktivitas
dan elemen budaya yang terkait dengan kearifan lokal masyarakat Betawi. Kearifan lokal
yang akan dianalisis berupa pengetahuan atau ide, norma adat, nilai budaya, aktivitas, dan
peralatan sebagai hasil abstraksi mengelola lingkungan (Suhartini 2009). Hasil dari kajian
ini yaitu didapatkan gambaran bagaimana kearifan lokal masyarakat Betawi berlangsung
di pekarangan saat ini, sehingga kearifan lokal yang ada saat ini dapat dikelola dan
dilestarikan keberadaannya.
Strategi Pengelolaan Lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan
Untuk merumuskan strategi pengelolaan lanskap Perkampungan Budaya Betawi Setu
Babakan digunakan analisis SWOT. Analisis tersebut didasari dengan memaksimalkan
kekuatan (strength), peluang (opportunities) serta meminimalkan kelemahan (weakness)
dan ancaman (threat). Faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman dibandingkan dengan
faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan. Kekuatan (strength) adalah unsur yang
dimiliki pekarangan Betawi yang bisa membantu masyarakat Betawi mencapai
keberhasilan. Kelemahan (weakness) adalah unsur yang dimiliki oleh pekarangan Betawi
menjadi buruk atau menghambat dalam mencapai keberhasi