Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan, Jakarta Selatan

(1)

IDENTIFIKASI POLA PEKARANGAN PADA

PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI

SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

Oleh

Katarina Basaulina Rambe A34201044

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(2)

IDENTIFIKASI POLA PEKARANGAN PADA

PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI

SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Katarina Basaulina Rambe A34201044

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(3)

RINGKASAN

KATARINA BASAULINA RAMBE. Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan, Jakarta Selatan. (Dibimbing oleh NURHAYATI ANSHORI MATTJIK).

Pekarangan adalah areal yang mengitari tempat mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang berkenaan dengan pengelolaan lanjutan hasil pertanian seperti menjemur kayu bakar dan padi, menumbuk padi serta dapat pula berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak (Nasoetion, 1989). Sedangkan Kim (1998) mengemukakan bahwa pekarangan merupakan suatu batas fisik guna menjaga privasi yang secara keseluruhan diartikan sebagai simbol kesinambungan suatu keluarga.

Adanya suatu pekarangan atau halaman di depan rumah dapat menunjukkan identitas suatu budaya masyarakatnya, yang dilihat dari jenis vegetasi yang sering mereka pergunakan dan pola pembagian pekarangan atau halamannya. Hal ini dapat dilihat juga pada pola pekarangan permukiman budaya Betawi.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengidentifikasi pola pekarangan di daerah pemukiman tradisional budaya Betawi yaitu Perkampungan Budaya Betawi sehingga diketahui pola pekarangannya. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pekarangan dilihat dari jenis dan tata letak elemen pembentuk pekarangan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan metode historik. Metode historik untuk mengetahui awal dan sebab-sebab terbentuknya pekarangan. Semua data yang telah dikumpulkan, dianalisis untuk memperoleh pola pekarangan tradisional yang khas Betawi.

Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara dengan pemilik pekarangan melalui kuisioner. Pemilik dan pekarangan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu yaitu yang sudah mengetahui jenis-jenis tanaman yang ada di pekarangannya dan pembagian-pembagian ruangan pada lahan.

Responden dipilih 25 orang penduduk dari dua kelurahan yang terdapat di Situ Babakan yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Petani disini mencakup pengertian yang luas yaitu meliputi petani penggarap, buruh tani, dan petani pemilik. Penetapan jumlah responden berdasarkan pertimbangan bahwa responden memiliki pekarangan yang dapat mewakili pekarangan yang ada dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai rumah dan pekarangannya, serta bersedia dijadikan responden. Yang mewakili pekarangan adalah yang memiliki beragam vegetasi lokal, masih tradisional dan memiliki elemen non tanaman khas seperti empang, jamban, dan kandang ternak. Responden dipilih berdasarkan rekomendasi key person yaitu pengelola Perkampungan Budaya Betawi (Bapak Indra) dengan pertimbangan bahwa pengelola lebih mengetahui pekarangan mana saja yang dapat mewakili pekarangan Betawi. Pengetahuan tentang pekarangan tidak dibatasi berdasarkan tingkat pendidikan. Data sekunder didapatkan dari studi pustaka berbagai lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pekarangan dan adat istiadat Betawi.

Pemukiman asli Betawi, dalam tata letaknya dibedakan kelompok rumah-rumah yang berdiri “di bagian dalam” (agak jauh dari jalan besar), dan yang


(4)

berdiri “di bagian luar” (dekat atau menempel langsung pada jalan). Rumah-rumah penduduk pada umumnya terlihat mengelompok dengan kisaran jarak yang bervariasi (tidak tentu). Di antara rumah-rumah penduduk terdapat ruang terbuka hijau berupa kebun buah atau pekarangan ataupun tanah lapang yang digunakan sebagai tempat penduduk melakukan berbagai aktifitas sosial seperti berkumpul bermain, berolahraga, dan yang lainnya.

Walaupun pada perkampungan tradisional Betawi di daerah hinterland

pemilikan lahan telah bersifat individual, pembatas kepemilikan lahan cukup dengan menanam sejenis pohon seperti Petai Cina dan Jarak, Secang, dan sebagainya. Untuk pohon pembatas kebun, dipilih yang mudah tumbuh dan awet, tetapi bukan jenis pohon yang menghasilkan buah-buahan yang dapat dimakan supaya tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. Seperti juga dengan pembatas kebun, halaman rumah juga tidak dibatasi pagar, kecuali beberapa rumah yang sudah berasitektur modern. Untuk menciptakan privacy, pada bagian depan rumah tradisional Betawi dibuat langkan, yaitu pagar yang disebut jaro, terbuat dari bahan bambu atau kayu, sehingga pandangan dari luar rumah tidak menembus ke dalam rumah. Tetapi saat ini sudah jarang sekali yang memakai

jaro sebagai pengganti pagar rumahnya.

Untuk sekarang ini pembatasan lahan pada setiap rumah sudah berbeda-beda seperti pagar permanen dari beton, pagar bambu, pagar kayu, pagar tanaman, dan sebagian besar rumah memiliki batas lahan yang sudah jelas. Jarak antara jalan, pagar, dan batas depan rumah pada umumnya telah membentuk garis lurus yang sejajar dengan jalan.

Rumah-rumah Betawi tidak diorientasikan terhadap arah mata angin tertentu dalam peletakannya. Jika ada, orientasi rumah lebih ditentukan oleh alasan-alasan praktis saja seperti bentuk dan orientasi pekarangannya atau aksesibilitas (kemudahan mencapai jalan). Dari hasil kuisioner responden yang didapat, 28 % arah rumah menghadap Timur, 28 % menghadap arah Utara, 28 % menghadap arah Selatan dan 16 % menghadap arah Barat. Fungsi-fungsi yang berada diatas pekarangan tersebut sangat tergantung pada kebutuhan dari pemilik lahan, dan bersangkut paut dengan kegiatan keagamaan seperti yang dapat ditemukan dalam pola pekarangan masyarakat Bali (Pemda Tingkat I Bali, 1989).

Pembagian area pada rumah betawi terbagi empat yaitu area umum (public area), area pribadi (private area), area keluarga (family area), dan area pelayanan (service area). Hal ini berpengaruh kepada ruang di luar rumah yaitu pekarangan. Namun area pribadi dan area keluarga secara abstrak membaur. Area umum dapat dimasuki orang lain secara bebas, area pribadi sudah merupakan daerah yang dimasuki oleh pihak keluarga saja seperti ruang tidur. Untuk area pelayanan merupakan area untuk kegiatan seperti memasak, mencuci dan yang lainnya. Berdasarkan Lemtek FTUI dan Dinas Tata Kota DKI 2001, tidak adanya referensi tentang pola ruang luar yang merupakan ekspansi dari ruang dalam, maka ruang dalam dijadikan basis untuk penataan bentang alam kawasan Situ Babakan. Pola tata ruang dalam rumah betawi pada dasarnya terbagi tiga yaitu :

1. Bagian depan, yang sering disebut serambi depan karena bersifat terbuka. Di bagian ini seringkali terdapat tanaman hias untuk menyambut tamu atau orang luar. Tanaman yang terdapat di bagian depan cenderung memiliki batang tanaman yang pendek seperti kacapiring, kembang sepatu, kenanga, lidah buaya, dll.


(5)

2. Bagian tengah, yang merupakan bagian pokok dari rumah betawi. Tanaman yang sering ditemukan di samping rumah adalah jenis tanaman buah-buahan seperti belimbing, rambutan, sawo, jambu, dan yang lainnya.

3. Bagian belakang, disebut ruang belakang. Ruangan ini sering disebut rumah dapur/paseban karena digunakan untuk tempat memasak. Hal ini mempengaruhi jenis tanaman yang ditanam memiliki hubungan dengan masak memasak seperti tanaman bumbu dapur dan sayur-sayuran. Contohnya seperti tanaman melinjo, daun katuk, lengkuas, jahe, daun suji, dan yang lainnya. Untuk elemen non tanaman seperti jamban dan sumur juga ditemukan di bagian belakang karena lebih dekat dengan rumah dapur.

Jika dilihat dari tata letak ruangnya, pola atau konsep yang dimiliki oleh rumah-rumah betawi cenderung bersifat simetris, sehingga membentuk sumbu abstrak yang seimbang.

Di atas sebidang lahan, pada umumnya tapak rumah terpisah dari tapak kebun. Namun tapak rumah atau pekarangan rumah pada umumnya ditanami pohon buah-buahan juga. Di atas tapak rumah ini dapat terjadi kemungkinan berdiri beberapa rumah tinggal karena adanya pewarisan atau jual beli atas sebagian dari bidang lahan pemilik semula, yang kemudian sebagian lahannya dibangun rumah baru oleh pemilik yang baru. Kemudian ada terdapat kebiasaan jika seorang anak yang sudah menikah belum memiliki rumah, maka orangtuanya akan memberikan bagian rumah yaitu paseban (rumah dapur) dengan cara membongkar dan memindahkannya ke tempat lain. Hal ini menyebabkan terjadinya proses fragmentasi dan pemadatan pemilikan lahan pada pemukiman Betawi.

Di atas tapak yang sama, terdapat juga bangunan-bangunan yang berfungsi lain seperti kuburan, lapangan badminton, kandang ternak, empang dan yang lainnya. Tetapi semakin lama, kuburan tidak ditempatkan di lahan yang sama dengan rumah tinggal lagi sehingga dibuat lahan khusus untuk pemakaman. Selain itu letak kamar mandi/sumur dan W.C. biasanya ditempatkan di belakang rumah di sebelah kiri ataupun sebelah kanan.

Sumur tempat mandi dan mencuci pada umumnya terletak di bagian kiri belakang atau di samping kiri rumah tinggal. Sumur sebagai sumber air keluarga juga dipergunakan sebagai air untuk menyiram tanaman.

Berdasarkan tata ruang dan arsitektur rumah tradisional Betawi dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis bangunan/rumah :

1. Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang 2. Rumah Joglo, berdenah bujur sangkar

3. Rumah Bapang/Kebaya, berdenah empat persegi panjang

Mayoritas penduduk di Perkampungan Budaya Betawi adalah Islam (90,82 %) dan selebihnya beragama Kristen Protestan (3,17 %), Kristen Katolik (4,65 %), Hindu (0,75 %) dan Budha (0,62 %). Fasilitas peribadatan yang tersedia adalah Mesjid 4 buah, 10 Musholah dan 1 Gereja.

Identifikasi pola pekarangan pada pemukiman masyarakat budaya Betawi diharapkan dapat menjadi percontohan pola pekarangan yang baik bagi yang ingin menerapkan pola pekarangan budaya Betawi, dan dapat diharapkan untuk menjaga kesinambungan sejarah atau kelestarian bagi generasi mendatang.


(6)

Judul : IDENTIFIKASI POLA PEKARANGAN PADA PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

Nama : Katarina Basaulina Rambe

NRP : A34201044

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik, MS NIP. 130 367 074

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotamadya Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 20 Maret 1983. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, putri dari Bapak Hajopan Rambe dan Ibu Timayur Paulina Ritonga.

Pada tahun 1995, penulis lulus dari SD Xaverius Padangsidimpuan, kemudian menyelesaikan studi dari SLTP Kesuma Indah Padangsidimpuan pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis lulus dari SMUN 103 Jakarta Timur.

Tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sebagai mahasiswi Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Penulis aktif mengikuti kegiatan UKM PMK IPB dan menjadi asisten mata kuliah agama pada tahun ajaran 2004/2005.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur bagi Yesus Kristus yang bertahta di Kerajaan Surga untuk penyertaanNya dan juga kesabaran yang diberi dalam setiap langkah penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Penelitian ini berjudul Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi, Situ Babakan, Jakarta Selatan. Skripsi ini merupakan syarat utama untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan karena adanya keinginan untuk mengekspos kekayaan budaya melalui pekarangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis vegetasi, elemen pembentuk dan pembagian pekarangan yang akan mencirikan pola pekarangan budaya betawi, sehingga dapat dilestarikan kebudayaannya serta kesinambungan sejarah betawi bagi generasi yang akan datang.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis melakukan kegiatan penelitian dan penulisan skripsi. Kepada Dr. Ir. Nurhayati H. Susilo Arifin, MSc selaku dosen pembimbing akademik selama perkuliahan. Kepada pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian. Kepada orangtua yang telah memberi dukungan moril dan materiil, penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

Penulis berharap, hasil penelitian ini dapat berguna bagi kampus IPB, bagi Perkampungan Budaya Betawi sebagai masukan untuk kelestarian budaya betawi dan bagi semua orang yang membacanya.

Bogor, Mei 2006


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur saya ucapkan kepada Bapa di Surga untuk berkat dan perlindungan yang diberikan selama masa perkuliahan sampai saatnya lulus. Hanya oleh kehendak-Nya sajalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada :

1. Kedua orangtuaku Bapak dan Mama yang telah memberikan dukungan baik moril dan materiil. Skripsi ini kupersembahkan untuk Bapak dan Mama, aku sayang kalian.

2. Kakak Ratna dan Bang Parlin. Both of you are my inspiration in our lovely family. Luv ya sist and my bro….. Thanks for d everythin’.

3. Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik, MS selaku pembimbing skripsi, atas bantuan Ibu selama ini.

4. Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, MSc sebagai pembimbing akademik. Terima kasih nasihat-nasihat dan tanda tangannya selama ini ya Bu.

5. Ir. Maritje Wungkar Msi dan Ir. Qodarian Pramukanto, Msi selaku dosen penguji saya, untuk saran dan masukannya bagi perbaikan skripsi saya.

6. Bapak Indra, Bapak Romi dan rekannya sebagai Pengelola Perkampungan Budaya Betawi, dan masyarakat Betawi PBB.

7. Teman seperjuanganku dan sesama anak Mami, Muti dan Doe, finally diriku menyusul kalian, makasih ya buat dukungannya.

8. Tuir, Ana Liv_sib, en Rika Item yang udah banyak ngasih dukungan moril (materiilnya mana ?hehe..). Thanks a lot friends, kalian adalah sahabat yang mengerti gw. Benar kata Papa-J “Semua indah pada waktunya”. Luv yaaa.. 9. Opungku sayaang..(Joice), kita adalah pejuang yang sama-sama berjuang, P44

crew Ida, Eko, Sahat, Dodo, Esti, Enny, Jojo, Whelma, Gilda, Nita, Willy, Tari, Merry, Sius, Boris, Dika, Ai, Tian, Tifa, Ayu, Bambang, Roy, Bapak Bongot, Mey-mey, Feni, Fonti, Titin, Uci, Gilang, en anak baru yang belum gw hafal namanya. Thank’s for the support.

10.Anak Latigalapan, Inke, Acie, Asti, Mia, Eno, Hijrah, Qq, Davi, Gingin, Tata, Pimpim, Anie, Liza, Rinrin, Jupri, Iffa, Icha, Bessy, Nina, Nuning, Dian, Rika, Nina, Rida, Alun, Dina, Angga, Osie, Faika, Acil, Yayat, Sandi, Heri, Alma, Imam, Ami, Yuki.

11.Fatma, Erlin, Eno, Liza, Mega, Dyu, semua Lanskap 39 dan 40 yang udah kasih support. Thank’s guys.

12.Dan akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak saya tulis satu persatu, saya ucapkan terima kasih.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Lanskap ... 4

Lanskap Budaya ... 4

Pemukiman ... 6

Pekarangan ... 7

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pekarangan ... 8

Fungsi Pekarangan ... 9

Perkampungan Betawi ... 10

Orang Betawi ... 11

METODE ... 13

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

Metode Penelitian ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 15

Hasil Inventarisasi ... 15

Lokasi Daerah Penelitian ... 15

Aksesibilitas ... 16

Keadaan Iklim ... 17

Tanah ... 17


(11)

IDENTIFIKASI POLA PEKARANGAN PADA

PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI

SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

Oleh

Katarina Basaulina Rambe A34201044

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(12)

IDENTIFIKASI POLA PEKARANGAN PADA

PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI

SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Katarina Basaulina Rambe A34201044

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006


(13)

RINGKASAN

KATARINA BASAULINA RAMBE. Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi Situ Babakan, Jakarta Selatan. (Dibimbing oleh NURHAYATI ANSHORI MATTJIK).

Pekarangan adalah areal yang mengitari tempat mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang berkenaan dengan pengelolaan lanjutan hasil pertanian seperti menjemur kayu bakar dan padi, menumbuk padi serta dapat pula berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak (Nasoetion, 1989). Sedangkan Kim (1998) mengemukakan bahwa pekarangan merupakan suatu batas fisik guna menjaga privasi yang secara keseluruhan diartikan sebagai simbol kesinambungan suatu keluarga.

Adanya suatu pekarangan atau halaman di depan rumah dapat menunjukkan identitas suatu budaya masyarakatnya, yang dilihat dari jenis vegetasi yang sering mereka pergunakan dan pola pembagian pekarangan atau halamannya. Hal ini dapat dilihat juga pada pola pekarangan permukiman budaya Betawi.

Tujuan penelitian ini secara umum adalah mengidentifikasi pola pekarangan di daerah pemukiman tradisional budaya Betawi yaitu Perkampungan Budaya Betawi sehingga diketahui pola pekarangannya. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pekarangan dilihat dari jenis dan tata letak elemen pembentuk pekarangan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan metode historik. Metode historik untuk mengetahui awal dan sebab-sebab terbentuknya pekarangan. Semua data yang telah dikumpulkan, dianalisis untuk memperoleh pola pekarangan tradisional yang khas Betawi.

Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara dengan pemilik pekarangan melalui kuisioner. Pemilik dan pekarangan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu yaitu yang sudah mengetahui jenis-jenis tanaman yang ada di pekarangannya dan pembagian-pembagian ruangan pada lahan.

Responden dipilih 25 orang penduduk dari dua kelurahan yang terdapat di Situ Babakan yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Petani disini mencakup pengertian yang luas yaitu meliputi petani penggarap, buruh tani, dan petani pemilik. Penetapan jumlah responden berdasarkan pertimbangan bahwa responden memiliki pekarangan yang dapat mewakili pekarangan yang ada dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai rumah dan pekarangannya, serta bersedia dijadikan responden. Yang mewakili pekarangan adalah yang memiliki beragam vegetasi lokal, masih tradisional dan memiliki elemen non tanaman khas seperti empang, jamban, dan kandang ternak. Responden dipilih berdasarkan rekomendasi key person yaitu pengelola Perkampungan Budaya Betawi (Bapak Indra) dengan pertimbangan bahwa pengelola lebih mengetahui pekarangan mana saja yang dapat mewakili pekarangan Betawi. Pengetahuan tentang pekarangan tidak dibatasi berdasarkan tingkat pendidikan. Data sekunder didapatkan dari studi pustaka berbagai lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pekarangan dan adat istiadat Betawi.

Pemukiman asli Betawi, dalam tata letaknya dibedakan kelompok rumah-rumah yang berdiri “di bagian dalam” (agak jauh dari jalan besar), dan yang


(14)

berdiri “di bagian luar” (dekat atau menempel langsung pada jalan). Rumah-rumah penduduk pada umumnya terlihat mengelompok dengan kisaran jarak yang bervariasi (tidak tentu). Di antara rumah-rumah penduduk terdapat ruang terbuka hijau berupa kebun buah atau pekarangan ataupun tanah lapang yang digunakan sebagai tempat penduduk melakukan berbagai aktifitas sosial seperti berkumpul bermain, berolahraga, dan yang lainnya.

Walaupun pada perkampungan tradisional Betawi di daerah hinterland

pemilikan lahan telah bersifat individual, pembatas kepemilikan lahan cukup dengan menanam sejenis pohon seperti Petai Cina dan Jarak, Secang, dan sebagainya. Untuk pohon pembatas kebun, dipilih yang mudah tumbuh dan awet, tetapi bukan jenis pohon yang menghasilkan buah-buahan yang dapat dimakan supaya tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. Seperti juga dengan pembatas kebun, halaman rumah juga tidak dibatasi pagar, kecuali beberapa rumah yang sudah berasitektur modern. Untuk menciptakan privacy, pada bagian depan rumah tradisional Betawi dibuat langkan, yaitu pagar yang disebut jaro, terbuat dari bahan bambu atau kayu, sehingga pandangan dari luar rumah tidak menembus ke dalam rumah. Tetapi saat ini sudah jarang sekali yang memakai

jaro sebagai pengganti pagar rumahnya.

Untuk sekarang ini pembatasan lahan pada setiap rumah sudah berbeda-beda seperti pagar permanen dari beton, pagar bambu, pagar kayu, pagar tanaman, dan sebagian besar rumah memiliki batas lahan yang sudah jelas. Jarak antara jalan, pagar, dan batas depan rumah pada umumnya telah membentuk garis lurus yang sejajar dengan jalan.

Rumah-rumah Betawi tidak diorientasikan terhadap arah mata angin tertentu dalam peletakannya. Jika ada, orientasi rumah lebih ditentukan oleh alasan-alasan praktis saja seperti bentuk dan orientasi pekarangannya atau aksesibilitas (kemudahan mencapai jalan). Dari hasil kuisioner responden yang didapat, 28 % arah rumah menghadap Timur, 28 % menghadap arah Utara, 28 % menghadap arah Selatan dan 16 % menghadap arah Barat. Fungsi-fungsi yang berada diatas pekarangan tersebut sangat tergantung pada kebutuhan dari pemilik lahan, dan bersangkut paut dengan kegiatan keagamaan seperti yang dapat ditemukan dalam pola pekarangan masyarakat Bali (Pemda Tingkat I Bali, 1989).

Pembagian area pada rumah betawi terbagi empat yaitu area umum (public area), area pribadi (private area), area keluarga (family area), dan area pelayanan (service area). Hal ini berpengaruh kepada ruang di luar rumah yaitu pekarangan. Namun area pribadi dan area keluarga secara abstrak membaur. Area umum dapat dimasuki orang lain secara bebas, area pribadi sudah merupakan daerah yang dimasuki oleh pihak keluarga saja seperti ruang tidur. Untuk area pelayanan merupakan area untuk kegiatan seperti memasak, mencuci dan yang lainnya. Berdasarkan Lemtek FTUI dan Dinas Tata Kota DKI 2001, tidak adanya referensi tentang pola ruang luar yang merupakan ekspansi dari ruang dalam, maka ruang dalam dijadikan basis untuk penataan bentang alam kawasan Situ Babakan. Pola tata ruang dalam rumah betawi pada dasarnya terbagi tiga yaitu :

1. Bagian depan, yang sering disebut serambi depan karena bersifat terbuka. Di bagian ini seringkali terdapat tanaman hias untuk menyambut tamu atau orang luar. Tanaman yang terdapat di bagian depan cenderung memiliki batang tanaman yang pendek seperti kacapiring, kembang sepatu, kenanga, lidah buaya, dll.


(15)

2. Bagian tengah, yang merupakan bagian pokok dari rumah betawi. Tanaman yang sering ditemukan di samping rumah adalah jenis tanaman buah-buahan seperti belimbing, rambutan, sawo, jambu, dan yang lainnya.

3. Bagian belakang, disebut ruang belakang. Ruangan ini sering disebut rumah dapur/paseban karena digunakan untuk tempat memasak. Hal ini mempengaruhi jenis tanaman yang ditanam memiliki hubungan dengan masak memasak seperti tanaman bumbu dapur dan sayur-sayuran. Contohnya seperti tanaman melinjo, daun katuk, lengkuas, jahe, daun suji, dan yang lainnya. Untuk elemen non tanaman seperti jamban dan sumur juga ditemukan di bagian belakang karena lebih dekat dengan rumah dapur.

Jika dilihat dari tata letak ruangnya, pola atau konsep yang dimiliki oleh rumah-rumah betawi cenderung bersifat simetris, sehingga membentuk sumbu abstrak yang seimbang.

Di atas sebidang lahan, pada umumnya tapak rumah terpisah dari tapak kebun. Namun tapak rumah atau pekarangan rumah pada umumnya ditanami pohon buah-buahan juga. Di atas tapak rumah ini dapat terjadi kemungkinan berdiri beberapa rumah tinggal karena adanya pewarisan atau jual beli atas sebagian dari bidang lahan pemilik semula, yang kemudian sebagian lahannya dibangun rumah baru oleh pemilik yang baru. Kemudian ada terdapat kebiasaan jika seorang anak yang sudah menikah belum memiliki rumah, maka orangtuanya akan memberikan bagian rumah yaitu paseban (rumah dapur) dengan cara membongkar dan memindahkannya ke tempat lain. Hal ini menyebabkan terjadinya proses fragmentasi dan pemadatan pemilikan lahan pada pemukiman Betawi.

Di atas tapak yang sama, terdapat juga bangunan-bangunan yang berfungsi lain seperti kuburan, lapangan badminton, kandang ternak, empang dan yang lainnya. Tetapi semakin lama, kuburan tidak ditempatkan di lahan yang sama dengan rumah tinggal lagi sehingga dibuat lahan khusus untuk pemakaman. Selain itu letak kamar mandi/sumur dan W.C. biasanya ditempatkan di belakang rumah di sebelah kiri ataupun sebelah kanan.

Sumur tempat mandi dan mencuci pada umumnya terletak di bagian kiri belakang atau di samping kiri rumah tinggal. Sumur sebagai sumber air keluarga juga dipergunakan sebagai air untuk menyiram tanaman.

Berdasarkan tata ruang dan arsitektur rumah tradisional Betawi dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis bangunan/rumah :

1. Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang 2. Rumah Joglo, berdenah bujur sangkar

3. Rumah Bapang/Kebaya, berdenah empat persegi panjang

Mayoritas penduduk di Perkampungan Budaya Betawi adalah Islam (90,82 %) dan selebihnya beragama Kristen Protestan (3,17 %), Kristen Katolik (4,65 %), Hindu (0,75 %) dan Budha (0,62 %). Fasilitas peribadatan yang tersedia adalah Mesjid 4 buah, 10 Musholah dan 1 Gereja.

Identifikasi pola pekarangan pada pemukiman masyarakat budaya Betawi diharapkan dapat menjadi percontohan pola pekarangan yang baik bagi yang ingin menerapkan pola pekarangan budaya Betawi, dan dapat diharapkan untuk menjaga kesinambungan sejarah atau kelestarian bagi generasi mendatang.


(16)

Judul : IDENTIFIKASI POLA PEKARANGAN PADA PERKAMPUNGAN BUDAYA BETAWI SITU BABAKAN, JAKARTA SELATAN

Nama : Katarina Basaulina Rambe

NRP : A34201044

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik, MS NIP. 130 367 074

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr NIP. 130 422 698


(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotamadya Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan, Propinsi Sumatera Utara pada tanggal 20 Maret 1983. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara, putri dari Bapak Hajopan Rambe dan Ibu Timayur Paulina Ritonga.

Pada tahun 1995, penulis lulus dari SD Xaverius Padangsidimpuan, kemudian menyelesaikan studi dari SLTP Kesuma Indah Padangsidimpuan pada tahun 1998. Pada tahun 2001, penulis lulus dari SMUN 103 Jakarta Timur.

Tahun 2001, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) sebagai mahasiswi Program Studi Arsitektur Lanskap, Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian. Penulis aktif mengikuti kegiatan UKM PMK IPB dan menjadi asisten mata kuliah agama pada tahun ajaran 2004/2005.


(18)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur bagi Yesus Kristus yang bertahta di Kerajaan Surga untuk penyertaanNya dan juga kesabaran yang diberi dalam setiap langkah penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan skripsi ini. Penelitian ini berjudul Identifikasi Pola Pekarangan pada Perkampungan Budaya Betawi, Situ Babakan, Jakarta Selatan. Skripsi ini merupakan syarat utama untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini dilakukan karena adanya keinginan untuk mengekspos kekayaan budaya melalui pekarangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis vegetasi, elemen pembentuk dan pembagian pekarangan yang akan mencirikan pola pekarangan budaya betawi, sehingga dapat dilestarikan kebudayaannya serta kesinambungan sejarah betawi bagi generasi yang akan datang.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis melakukan kegiatan penelitian dan penulisan skripsi. Kepada Dr. Ir. Nurhayati H. Susilo Arifin, MSc selaku dosen pembimbing akademik selama perkuliahan. Kepada pengelola Perkampungan Budaya Betawi yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian. Kepada orangtua yang telah memberi dukungan moril dan materiil, penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya skripsi ini.

Penulis berharap, hasil penelitian ini dapat berguna bagi kampus IPB, bagi Perkampungan Budaya Betawi sebagai masukan untuk kelestarian budaya betawi dan bagi semua orang yang membacanya.

Bogor, Mei 2006


(19)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan Syukur saya ucapkan kepada Bapa di Surga untuk berkat dan perlindungan yang diberikan selama masa perkuliahan sampai saatnya lulus. Hanya oleh kehendak-Nya sajalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada :

1. Kedua orangtuaku Bapak dan Mama yang telah memberikan dukungan baik moril dan materiil. Skripsi ini kupersembahkan untuk Bapak dan Mama, aku sayang kalian.

2. Kakak Ratna dan Bang Parlin. Both of you are my inspiration in our lovely family. Luv ya sist and my bro….. Thanks for d everythin’.

3. Prof. Dr. Ir. Nurhayati Anshori Mattjik, MS selaku pembimbing skripsi, atas bantuan Ibu selama ini.

4. Dr. Ir. Nurhayati Hadi Susilo Arifin, MSc sebagai pembimbing akademik. Terima kasih nasihat-nasihat dan tanda tangannya selama ini ya Bu.

5. Ir. Maritje Wungkar Msi dan Ir. Qodarian Pramukanto, Msi selaku dosen penguji saya, untuk saran dan masukannya bagi perbaikan skripsi saya.

6. Bapak Indra, Bapak Romi dan rekannya sebagai Pengelola Perkampungan Budaya Betawi, dan masyarakat Betawi PBB.

7. Teman seperjuanganku dan sesama anak Mami, Muti dan Doe, finally diriku menyusul kalian, makasih ya buat dukungannya.

8. Tuir, Ana Liv_sib, en Rika Item yang udah banyak ngasih dukungan moril (materiilnya mana ?hehe..). Thanks a lot friends, kalian adalah sahabat yang mengerti gw. Benar kata Papa-J “Semua indah pada waktunya”. Luv yaaa.. 9. Opungku sayaang..(Joice), kita adalah pejuang yang sama-sama berjuang, P44

crew Ida, Eko, Sahat, Dodo, Esti, Enny, Jojo, Whelma, Gilda, Nita, Willy, Tari, Merry, Sius, Boris, Dika, Ai, Tian, Tifa, Ayu, Bambang, Roy, Bapak Bongot, Mey-mey, Feni, Fonti, Titin, Uci, Gilang, en anak baru yang belum gw hafal namanya. Thank’s for the support.

10.Anak Latigalapan, Inke, Acie, Asti, Mia, Eno, Hijrah, Qq, Davi, Gingin, Tata, Pimpim, Anie, Liza, Rinrin, Jupri, Iffa, Icha, Bessy, Nina, Nuning, Dian, Rika, Nina, Rida, Alun, Dina, Angga, Osie, Faika, Acil, Yayat, Sandi, Heri, Alma, Imam, Ami, Yuki.

11.Fatma, Erlin, Eno, Liza, Mega, Dyu, semua Lanskap 39 dan 40 yang udah kasih support. Thank’s guys.

12.Dan akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak saya tulis satu persatu, saya ucapkan terima kasih.


(20)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Lanskap ... 4

Lanskap Budaya ... 4

Pemukiman ... 6

Pekarangan ... 7

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pekarangan ... 8

Fungsi Pekarangan ... 9

Perkampungan Betawi ... 10

Orang Betawi ... 11

METODE ... 13

Lokasi dan Waktu Penelitian ... 13

Metode Penelitian ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 15

Hasil Inventarisasi ... 15

Lokasi Daerah Penelitian ... 15

Aksesibilitas ... 16

Keadaan Iklim ... 17

Tanah ... 17


(21)

Hidrologi ... 18

Tanaman ... 18

Tanaman yang Terdapat di Pekarangan ... 22

Satwa ... 37

Pola Pemukiman ... 38

Rumah Betawi ... 40

Kependudukan ... 50

Pendidikan ... 53

Ekonomi ... 54

Adat Istiadat ... 55

KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

Kesimpulan ... 57

Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(22)

DAFTAR TABEL

Teks

No Halaman 1. Jenis Tanaman yang ada di Tapak ... 18 2. Jumlah Penduduk Tiap RW di Kelurahan Srengseng Sawah ... 50

Lampiran

No Halaman 1. Kuisioner Penelitian ... 63 2. Identitas Responden ... 64 3. Elemen Non Tanaman yang Terdapat di Pekarangan ... 65 4. Jenis Tanaman dan Peletakannya ... 66


(23)

DAFTAR GAMBAR

Teks

No Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian ... 13 2. Peta Perkampungan Budaya Betawi ... 16 3. Pintu Masuk I Bang Pitung ... 17 4. Pembatas Lahan ... 40 5. Jalan Setapak dalam Pekarangan ... 41 6. Rumah Betawi ... 41 7. Pembagian Area ... 41 8. Tanaman Pekarangan ... 43 9. Paseban ... 43 10.Fragmentasi Lahan ... 43 11.Kandang Ternak ... 44 12.Empang ... 44 13.Pembibitan Tanaman ... 44 14.Tempat Pembuangan Sampah ... 44 15.Jamban / Kakus ... 44 16.Denah Rumah Gudang ... 46 17.Denah Rumah Joglo ... 46 18.Denah Rumah Bapang ... 47 19.Penempatan Vegetasi dan Elemen non Vegetasi

pada Pekarangan Budaya Betawi ... 48 20.Pola Pekarangan Budaya Betawi

Perkampungan Budaya Betawi ... 49

Lampiran

No Halaman 1. Grafik Keadaan Iklim ... 69 2. Jenis dan Letak Pohon pada Sampel Pekarangan


(24)

(25)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gambaran terbaik tentang lanskap budaya (cultural landscapes) adalah “segala sesuatu yang berada di ruang luar yang dekat dan dapat dilihat.” Menurut definisi ini, lingkungan lanskap budaya adalah semua yang sudah mendapat campur tangan atau diubah oleh manusia. Dengan kata lain “semua lanskap manusia mempunyai pengertian budaya” (Nurisjah dan Pramukanto, 2001). Dari sudut pandang ini, berarti segala sesuatu di sekitar kita mempunyai arti yang penting. Menurut Tishler (1982), lanskap budaya adalah suatu lanskap alami yang diperlihatkan oleh kelompok budayanya. Budaya sebagai agen, area alami sebagai media, dan lanskap budaya sebagai hasilnya. Jika kita kehilangan lanskap yang menggambarkan tentang budaya dan tradisi kita, maka kita akan kehilangan bagian penting dari diri kita sendiri dan akar kita pada masa lampau (Tishler, 1982).

Setiap suku bangsa memiliki nilai-nilai budaya yang khas dan dapat membedakan jati diri mereka dari kekhasan budaya yang lain. Perbedaan ini dapat dilihat dari gagasan, adat istiadat, dan hasil karyanya yang dituangkan melalui interaksi antar individu atau kelompok dengan alam sekitarnya. Salah satu dari identitas ini dapat kita lihat dari arsitektur dan pola pekarangan yang ada di setiap pemukiman budaya tersebut.

Arsitektur bangunan dikatakan “tradisional” apabila penciptaan struktur dan konstruksi, pengaturan tata letak ruang, penggunaan ragam hias, dan cara pembuatan bangunan tersebut diwariskan turun temurun dalam suatu kebudayaan atau lokalitas tertentu. Arsitektur bangunan dikatakan juga tradisional apabila fungsi yang dimilikinya adalah untuk mewadahi kegiatan-kegiatan maupun kebutuhan-kebutuhan yang muncul dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian arsitektur tradisional adalah bersifat khas (indigenous), yang hanya terdapat pada kebudayaan dan lokalitas tersebut (Harun, et. al. 1999).

Bentukan lanskap yang bernilai historis memiliki bentuk yang beragam seperti bentukan areal persawahan, bentukan areal perkebunan, bentukan lahan di daerah pemukiman sampai pada bentukan pekarangan di sekitar rumah. Penataan


(26)

pekarangan ini memiliki suatu pola tertentu dengan karakternya yang khusus yang merupakan pencerminan budaya masyarakat setempat.

Adanya suatu pekarangan atau halaman di depan rumah dapat menunjukkan identitas suatu budaya masyarakatnya, yang dilihat dari jenis vegetasi yang sering mereka pergunakan dan pola pembagian pekarangan atau halamannya. Hal ini dapat dilihat juga pada pola pekarangan pemukiman budaya Betawi.

Perkampungan Budaya Betawi adalah suatu tempat di Jakarta Selatan yang dapat ditemui dan dinikmati kehidupan bernuansa betawinya. Nuansa Betawi ini berupa komunitas Betawi, keasrian alam Betawi, tradisi Betawi, kebudayaan serta materi yang merupakan sumber informasi dan dokumentasi kebetawian. Hal ini dibuat dengan tujuan memberikan perlindungan dan pembinaan, guna melestarikan dan mengembangkan potensi lingkungan bagi peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, berupa obyek wisata budaya, wisata agro, dan wisata air (Imron, et. al. 2002).

Pada kebun atau pekarangan biasanya ditanami berbagai jenis tanaman khas Betawi yang produktif seperti pohon buah, sayuran dan tanaman obat. Pada pekarangan, pola penanamannya cenderung menyebar, sedangkan pada kebun yang produktif, pola penanamannya lebih teratur (Harun, et. al. 1999). Namun sekarang ini penampilan fisik-fisik dari rumah-rumah Betawi dan pola pekarangannya sudah tidak mencerminkan rumah adat tradisional Betawi lagi. Lebih lanjut Harun, et. al (1999) mengungkapkan, penyebab berkurangnya jumlah rumah yang bergaya tradisional ini diduga oleh karena masuknya warga pendatang yang merubah komposisi latar belakang yang ada. Secara fisik terjadi desakan terhadap daerah-daerah yang terdapat rumah-rumah dengan arsitektur Betawi dalam bentuk pembangunan kawasan perumahan baru, prasarana, dan sarana kota yang baru. Sedangkan menurut Khudori (1988), modernisasi disamping menimbulkan sejumlah harapan, ternyata menimbulkan sejumlah kecemasan. Diantaranya adalah kecemasan akan hilangnya atau makin terdesaknya nilai-nilai lama yang mencerminkan budaya masyarakat tersebut. Untuk itu studi ini mencoba mengungkapkan pola pekarangan pemukiman budaya Betawi yang dapat diidentifikasi dari vegetasi, satwa, dan pembagian ruangnya.


(27)

Tujuan Penelitian

Tujuan studi ini secara umum adalah mengidentifikasi pola pekarangan di daerah pemukiman tradisional budaya Betawi yaitu Perkampungan Budaya Betawi sehingga diketahui pola pekarangannya. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pekarangan dilihat dari jenis dan tata letak elemen pembentuk pekarangan.

Manfaat Penelitian

Melalui proses identifikasi ini, dapat diperoleh informasi tentang lanskap pekarangan dan pengaruhnya terhadap budaya yang ada. Hasil studi dalam identifikasi pola pekarangan pada pemukiman masyarakat budaya Betawi juga diharapkan dapat menunjang penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya dalam kaitannya dengan pemanfaatan pekarangan untuk meningkatkan gizi keluarga. Hasil studi juga diharapkan dapat menjadi percontohan pola pekarangan yang baik bagi yang ingin menerapkan pola pekarangan budaya Betawi, dan dapat diharapkan untuk menjaga kesinambungan sejarah bagi generasi mendatang, serta menjadi salah satu obyek pertanian wisata agro.


(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap

Lanskap merupakan wajah dan karakter lahan bagian dari muka bumi ini dengan segala kegiatan kehidupan dan apa saja yang ada di dalamnya. Hal ini dapat bersifat alami, non alami atau keduanya, yang merupakan bagian atau total lingkungan hidup manusia beserta mahluk lainnya. Sejauh mata memandang, sejauh segenap indera dapat menangkap dan sejauh imajinasi dapat membayangkan.

Lanskap menurut Simonds (1983), adalah suatu bentang alam yang memiliki karakteristik tertentu yang dapat dinikmati keberadaannya melalui seluruh indera yang dimiliki manusia. Lanskap merupakan suatu lahan yang memiliki elemen pembentuk, komposisi dan karakteristik tertentu sebagai pembedanya. Dikenal adanya lanskap alami (natural landscape) dan lanskap binaan (man made landscape) sebagai dua bentuk lanskap utama yang dipilih berdasarkan intensitas intervensi manusia ke dalam lanskap tersebut. Lanskap binaan merupakan satu bentukan lanskap yang menerima campur tangan, masukan, atau binaan, pengelolaan dari manusia, mulai dari tingkatan intensitas yang kecil sampai yang tinggi sekali.

Lanskap Budaya

Lanskap budaya (cultural landscape) merupakan suatu model atau bentuk dari lanskap binaan, yang dibentuk oleh suatu nilai budaya yang dimiliki suatu kelompok masyarakat, yang dikaitkan dengan sumberdaya alam dan lingkungan yang ada pada tempat tersebut. Lanskap tipe ini merupakan hasil interaksi antara manusia dan alam lingkungannya, yang merefleksikan adaptasi manusia dan juga perasaan serta ekspresinya dalam menggunakan dan mengelola sumberdaya alam dan lingkungan yang terkait erat dengan kehidupannya. Hal ini diekspresikan kelompok-kelompok masyarakat dalam bentuk dan pola pemukiman dan perkampungan, pola penggunaan lahan, sistem sirkulasi, arsitektur bangunan dan struktur serta lainnya (Simonds, 1983).


(29)

Plachter dan Rossler (1995) mengungkapkan bahwa lanskap budaya mencerminkan interaksi antara manusia dengan lingkungan alami mereka melalui ruang dan waktu yang merupakan suatu fenomena yang kompleks dengan identitas, baik dapat atau tidak dapat disentuh. Komponen yang tidak dapat disentuh muncul dari ide dan interaksi yang berdampak pada persepsi dan bentukan dari suatu lanskap. Contohnya adalah suatu kepercayaan yang dianggap suci atau keramat yang terkait sangat erat dengan lanskap.

Philips (dalam Malahayani, 2004) mengungkapkan bahwa lanskap budaya dapat ditemukan di setiap bagian dunia yang memiliki populasi. Mereka mewakili berbagai bagian dari warisan leluhur yang kaya dan tidak terbatas. Walaupun banyak terjadi perubahan dari bentuk alami mereka, lanskap budaya penting untuk konservasi alam dan keaneka-ragaman hayati karena banyak dari ekosistem yang berada di dalamnya dapat terus bertahan hidup melalui campur tangan manusia. Menurut McNeely dan Keeton (dalam Malahayani, 2004), banyaknya lanskap budaya yang hilang berarti manusia kurang mampu beradaptasi terhadap kondisi lokal tertentu, walaupun mereka mungkin mampu untuk lebih berkontribusi dalam ekonomi global. Sedangkan Tishler (1979) mendefinisikan lanskap budaya ini sebagai suatu kawasan geografis yang menampilkan ekspresi lanskap alami oleh suatu pola kebudayaan tertentu. Lanskap ini memiliki hubungan yang erat dengan aktivitas manusia, performa budaya, dan juga nilai serta tingkat estetika, termasuk kejadian-kejadian kesejarahan yang dimiliki oleh kelompok tersebut. Dinyatakannya bahwa kebudayaan merupakan agen atau perantara dalam proses pembentukannya, dan lanskap budaya merupakan hasil atau produknya yang dapat dilihat dan dinikmati keberadaannya baik secara fisik maupun psikis.

Lanskap budaya merupakan aspek berwujud dari budaya yang tidak dapat berhenti dalam suatu waktu seperti struktur sejarah (Ingerson, 1999). Konsep tradisional dalam pelestarian sejarah harus diperbaharui untuk memasukkan lanskap budaya. Menurut Mynors (1984), merupakan kewenangan perencanaan lokal dari waktu ke waktu dalam menentukan bagian mana dari wilayah mereka yang merupakan wilayah dengan bangunan arsitektural khusus, karakter bersejarah, atau penampakan yang diinginkan untuk dijaga, dikembangkan, dan dinyatakan sebagai wilayah konservasi.


(30)

Pemukiman

Pemukiman adalah kelompok unit kediaman orang-orang atau kelompok-kelompok manusia pada suatu wilayah termasuk kegiatan-kegiatan serta fasilitas-fasilitas sebagai akibat dari proses terbentuknya pemukiman ini (Wayong 1981). Menurut Ashihara (1986), ruang pada dasarnya terbentuk oleh perhubungan di antara suatu benda (objek) dan seorang manusia yang merasakan benda tersebut. Ruang arsitektural interior (ruang dalam) dibatasi oleh tiga buah bidang yaitu lantai, dinding dan langit-langit, sedangkan ruang eksterior (ruang luar) adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam hanya pada bidang alas dan dinding, sedang atapnya dapat dikatakan tidak terbatas. Berdasarkan tata ruang dan bentuk bangunannya, rumah tradisional Betawi dapat dikelompokkan ke dalam tiga jenis bangunan (khususnya Jakarta Selatan dan Timur) : Rumah Gudang, Rumah Joglo, dan Rumah Bapang.

Menurut Harun, et. al (1999), keadaan lingkungan tempat rumah-rumah tradisional Betawi berada, dapat dikelompokkan dalam dua bagian, yaitu pemukiman di bagian dalam (hinterland) dan pemukiman di bagian pesisir. Pemukiman di bagian dalam umumnya didominasi oleh kebun dan hunian dengan pekarangan yang ditumbuhi oleh pohon buah-buahan. Suasana pedesaan dengan pertanian kebun (agricultural-rural) terasa sekali di wilayah ini. Pemukiman di bagian pesisir memiliki suasana dan karakteristik pedesaan nelayan yang kuat. Hal ini tidak saja disebabkan oleh keadaan alamnya, tetapi juga oleh kegiatan masyarakatnya yang sebagian besar sebagai nelayan.

Harun, et. al (1999) mengemukakan bahwa di dalam tata letaknya, rumah-rumah yang berada di bagian hinterland dibedakan menjadi rumah yang berada agak jauh dari jalan (di bagian dalam) dan yang dekat atau yang langsung menempel pada jalan (di bagian luar). Pada bagian dalam, rumah-rumah yang dibangun berada di tengah kebun atau bidang lahan yang kering sehingga memiliki pola yang terpencar. Pada bagian luar, rumah-rumah memiliki pola yang mengelompok padat atau berjejer di sepanjang jalan dan hanya dikelilingi oleh pekarangan yang sempit. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa pemilik rumah memiliki lahan yang sempit, namun seringkali kebun buah-buahan atau lahan kering yang dimilikinya terdapat di lokasi lain.


(31)

Rumah tradisional Betawi, secara geografis, umumnya berada di lingkungan yang berdekatan dengan air, baik pantai ataupun daerah aliran sungai. Tata letak rumah Betawi tidak berorientasi terhadap arah mata angin tetapi lebih mengutamakan alasan-alasan praktis, seperti bentuk dan orientasi pekarangan serta fungsi-fungsinya (Ruchiat, et. al 2000). Tidak ada suatu kepercayaan tertentu yang harus diikuti dalam menentukan arah mata angin mana suatu rumah harus menghadap. Selain itu, tidak ada bangunan atau ruang tertentu yang menjadi pusat perkampungan yang berfungsi sebagai pusat orientasi rumah-rumah yang ada (Harun, et. al 1999).

Pekarangan

Pekarangan adalah areal yang mengitari tempat mengerjakan pekerjaan sehari-hari yang berkenaan dengan pengelolaan lanjutan hasil pertanian seperti menjemur kayu bakar dan padi, menumbuk padi serta dapat pula berfungsi sebagai tempat bermain anak-anak (Nasoetion, 1989). Sedangkan Kim (1998) mengemukakan bahwa pekarangan merupakan suatu batas fisik guna menjaga privasi yang secara keseluruhan diartikan sebagai simbol kesinambungan suatu keluarga.

Menurut Brownrigg (1984), pekarangan di Indonesia merupakan salah satu tipe taman Timur yang mempunyai ciri berlokasi di sekitar rumah. Selanjutnya dikemukakan bahwa pekarangan merupakan sumber sekitar 40 % dari total kalori, 30 % dari total protein dan 65 % dari total bahan bakar yang dibutuhkan oleh keluarga. Selain itu, pekarangan memberikan sumbangan pendapatan sekitar 7 sampai 44 % dan pada saat paceklik pekarangan menyediakan bahan makanan untuk konsumsi keluarga.

Pendapat ini didukung oleh Kim (1988) yang menyatakan pekarangan sebagai sumber sayur-sayuran atau lauk pauk. Selain itu Penny dan Ginting (1984), menguraikan fungsi pekarangan sebagai sumber kebutuhan sehari-hari dengan aneka ragam tanaman, ternak, ikan, air sumur dan yang lainnya. Pekarangan dengan ciri khas tersebut berguna dalam menjaga keseimbangan alami.


(32)

Brownrigg (1985) mengungkapkan ketentuan dari suatu pekarangan adalah besarnya jumlah tanaman tertentu serta dilengkapi dengan sistem daur ulang misalnya pembuatan kompos. Di pekarangan ini dapat pula dipelihara ternak seperti bebek, ayam, kambing, kuda, domba, dan ternak lainnya. Namun pada umumnya lahan yang langsung berada di depan rumah dalam keadaan bersih dan dilindungi pepohonan, dapat digunakan untuk bermain oleh anak-anak serta tempat berkumpul maupun untuk pengolahan lanjutan hasil pertanian, yang sering disebut sebagai halaman rumah. Selain itu Nasoetion (1989) mengungkapkan bahwa pekarangan di sekitar rumah umumnya ditanami pohon yang menghasilkan buah seperti manggis, rambutan, duku, durian, bisbul, gandaria, gowok, kecapi, lobi-lobi; pohon yang menjadi sumber sayuran teman nasi seperti nangka, keleuwih, dan melinjo; pohon yang menghasilkan rempah seperti pala dan cengkeh. Di bawah pepohonan tersebut ditanami perdu yang lebih pendek yang dapat menghasilkan buah seperti jeruk, jambu, nam-nam dan salak; perdu sebagai sumber rempah-rempah seperti jahe, lengkuas, kunir, sereh, dan lada serta pada lapisan terendah biasanya ditanami sayur-sayuran seperti cabai, pandan, bayam, bayam merah dan kangkung darat. Susunan jenis tumbuhan yang ditanam umumnya berbeda untuk setiap tempat tergantung dari kondisi iklim dan tanahnya.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pekarangan

Penny dan Ginting (1984) mengemukakan bahwa keberadaan elemen dalam pekarangan dipengaruhi oleh adat atau kebiasaan melakukan upacara-upacara yang berlaku di daerah tersebut. Elemen dalam pekarangan terdiri dari manusia sebagai pemilik, pengguna dan pengelola pekarangan, vegetasi sebagai tanaman dalam pekarangan dan bangunan. Contohnya bagi masyarakat Hindu di Bali, pekarangan merupakan bagian dari ruang terbuka pemukiman desa yang memiliki keindahan panorama alamiah karena diatur dalam pola ruang berdasarkan berbagai filosofi Hindu yang berorientasi keintiman dan interaksi sosial. Pekarangan di Bali berisi berbagai tanaman untuk upacara adat, tanaman buah-buahan, dan rempah-rempah (Pemerintah Daerah Tingkat I Bali, 1989).


(33)

Fungsi Pekarangan

Fungsi pekarangan dapat digolongkan menjadi dua bagian, yakni fungsi ekonomis dan fungsi non ekonomis atau rohani. Fungsi ekonomis berarti hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan langsung untuk memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan fungsi non ekonomis dimaksudkan bahwa hasil pembudidayaan pekarangan dapat dimanfaatkan secara tidak langsung. Menurut Kristyono (1983), masing-masing fungsi pekarangan adalah sebagai berikut : 1. Untuk dipetik hasilnya

Pekarangan dikenal terdiri dari berbagai macam tanaman dan hasilnya dapat dipetik setiap waktu sepanjang tahun sehingga pekarangan sering disebut “lumbung hidup” atau “taman gizi”. Selain itu pekarangan juga disebut “apotek hidup” jika tanamannya terdiri dari tanaman obat-obatan.

2. Melindungi rumah dan keluarga serta sebagai paru-paru

Dengan penanaman sistem bertingkat seperti di hutan, kerimbunan pekarangan oleh beberapa mahkota daun tanaman dapat diwujudkan. Pada siang hari, kerimbunan ini akan melindungi rumah dari kerusakan yang diakibatkan oleh terik matahari dan hujan angin.

Mahkota dedaunan tanaman pekarangan dapat berfungsi sebagai “paru-paru” karena menyerap kebisingan, debu, gas asam arang, dan gas beracun lainnya sedangkan sistem perakaran yang berada dalam tanah dapat menghancurkan sampah atau limbah rumah tangga.

3. Penyejuk pemandangan

Arti pekarangan untuk masyarakat desa tentunya berlainan dengan masyarakat kota. Di kota, pekarangan banyak ditujukan untuk memberikan keindahan, kesegaran dan kesejukan pemandangan. Kerimbunan pekarangan oleh mahkota dedaunan memberikan pemandangan yang menyejukkan.

4. Sebagai tempat bersantai keluarga

Fungsi non ekonomis lain dari pekarangan ialah sebagai tempat bersantai keluarga. Pekarangan dapat menjadi sebuah wadah untuk membina hubungan antara manusia dengan sesamanya dan antara manusia dengan alam.


(34)

5. Sebagai arena pendidikan dan bermain anak

Anak-anak dapat belajar mengenai alam melalui pekarangan seperti mengenal tumbuh-tumbuhan dan satwa yang ada di dalamnya. Selain itu telah menjadi naluri anak-anak untuk berinteraksi dengan sesamanya melalui permainan. Pekarangan sebagai wadah untuk permainan yang dapat memberikan dampak positif bagi anak-anak.

Menurut Soemarwoto (1991) pekarangan mempunyai fungsi : hidro-orologi, pencagaran sumber daya gen, efek iklim mikro, sosial, produksi, dan estetis. Fungsi hidro-orologi dapat terlihat dari sedikitnya erosi yang umumnya terjadi di pekarangan, karena keadaan pekarangan yang datar dan tajuk tanaman yang berlapis. Fungsi pencagaran sumber daya gen terwujud dengan adanya banyak jenis yang ditanam di pekarangan. Efek iklim mikro terjadi karena naungan kanopi pepohonan.

Soemarwoto (1991) mengungkapkan bahwa fungsi sosial terlihat karena pekarangan merupakan simbol status. Orang yang tidak memiliki pekarangan dan membuat rumahnya di pekarangan orang lain, dianggap mempunyai status yang rendah. Pekarangan banyak yang tidak berpagar. Jika berpagar, tidak tertutup rapat sekeliling, dengan demikian orang dapat dengan bebas melewati pekarangan orang lain. Hasil pekarangan juga mempunyai fungsi sosial, orang lain dengan tidak membayar dapat memperoleh bagian tanaman untuk keperluan obat atau upacara.

Fungsi produksi meliputi baik produksi subsisten, yaitu untuk keperluan sendiri, maupun keperluan komersial. Fungsi estetis pekarangan tampak dari tanaman hias dan hewan-hewan tertentu (Soemarwoto 1991).

Perkampungan Betawi

Secara historis perkampungan Betawi yang khas mulai tampak ketika pemerintah kolonial Belanda membangun kota Jakarta, yang mirip kota-kota di Belanda (Malahayani, 2004). Di sisi lain, pemerintah kolonial mulai melakukan pemetaan peruntukan lahan pemukiman dengan berbagai aturan. Salah satu peraturan tersebut adalah penduduk pribumi hanya diperkenankan membangun rumah di daerah pedalaman atau pesisir yang berjauhan dengan


(35)

rumah-rumah penjajah. Dengan adanya pembedaan ini, maka mulailah timbul istilah kampung dan kota. Perbedaan ini bukan hanya menunjukkan teritorial, tetapi juga corak dan kekhasan bangunan yang sangat berbeda satu dengan yang lainnya.

Malahayani (2004) mengungkapkan bahwa antara pemukiman pribumi tersebut, juga terdapat perbedaan yang mendasar dan cukup mencolok. Perbedaan ini didasarkan pada lingkungan sosial dan alam sekitar permukiman. Penduduk di sekitar pantai membangun rumahnya dengan bentuk rumah panggung untuk menghindari gempuran ombak sementara penduduk di pedalaman membangun pemukiman dengan mengandalkan fungsi halaman sebagai lahan perkebunan maupun untuk memanfaatkan kerindangan pepohonan sebagai peneduh.

Orang Betawi

Orang Betawi merupakan perpaduan biologis (asimilasi) dan akulturasi unsur-unsur budaya antar suku dan bangsa (Wangrea, et. al. 1985). Mereka merupakan masyarakat yang memiliki ciri-ciri adat istiadat yang khas dan sangat terikat pada adat istiadat tersebut dan etika agama Islam. Hal ini juga didukung oleh Harun, et. al. (1999) yang mengungkapkan bahwa penduduk asli Betawi adalah pemeluk agama Islam yang taat. Mereka menyukai kesenian yang bernafaskan Islam dan tampak pula dalam proses religi mendirikan bangunan. Menurut Budiaman, et. al. (2000), hampir seluruh adat masyarakat Betawi diwarnai oleh unsur agama Islam, sehingga sukar memisahkan antara tradisi yang menurut adat dan yang berdasarkan agama, karena keduanya telah berpadu dalam setiap aspek kehidupannya.

Menurut Biro Bina Penyusunan Program Propinsi DKI Jakarta (2001), berdasarkan wilayahnya, orang Betawi dapat dibedakan dalam beberapa tipe. Tipe-tipe tersebut adalah Betawi Tengah, Betawi Pinggir, dan Betawi Udik. Orang Betawi yang berada di Srengseng Sawah termasuk dalam kelompok masyarakat Betawi Pinggir dan Betawi Udik. Betawi Udik terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah masyarakat Betawi yang tinggal di daerah bagian utara Jakarta, bagian barat Jakarta, dan Tangerang, dan dipengaruhi oleh kebudayaan Cina. Kelompok kedua adalah masyarakat Betawi yang tinggal di sebelah timur


(36)

dan selatan Jakarta, Bekasi, dan Bogor yang sangat dipengaruhi kebudayaan Sunda.


(37)

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di kawasan Situ Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Pengamatan kondisi tapak dan pengumpulan data tapak serta pengolahan data dilakukan pada bulan September 2005 sampai Januari 2006.

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei dan metode historik. Metode historik untuk mengetahui awal dan sebab-sebab terbentuknya pekarangan. Semua data yang telah dikumpulkan, dianalisis untuk memperoleh pola pekarangan tradisional yang khas Betawi.

Data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui survei lapang dan wawancara dengan pemilik pekarangan.

MO HA

MM AD K

AH FI II

DE SA PU TR A

KEBEMBEM

RAYA

JAMBU

NONIN

KELURAHAN

SRENGSENG

SAWAH

SITU

SRENGSENG

SAWAH

PONDOK

SIBONCEL

KOMPLEK YON

ZIKON 14

RS. BUDI

MULIA

U

Tanpa Skala


(38)

Pemilik dan pekarangan dipilih berdasarkan pertimbangan tertentu yaitu yang sudah mengetahui jenis-jenis tanaman yang ada di pekarangannya dan pembagian-pembagian ruangan pada lahan.

Responden dipilih 25 orang penduduk dari dua kelurahan yang terdapat di Situ Babakan yang sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Petani disini mencakup pengertian yang luas yaitu meliputi petani penggarap, buruh tani, dan petani pemilik. Penetapan jumlah responden berdasarkan pertimbangan bahwa responden memiliki pekarangan yang dapat mewakili pekarangan yang ada dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai rumah dan pekarangannya, serta bersedia dijadikan responden. Yang mewakili pekarangan adalah yang memiliki beragam vegetasi lokal, masih tradisional dan memiliki elemen non tanaman khas seperti empang, jamban, dan kandang ternak. Responden dipilih berdasarkan rekomendasi key person yaitu pengelola Perkampungan Budaya Betawi (Bapak Indra) dengan pertimbangan bahwa pengelola lebih mengetahui pekarangan mana saja yang dapat mewakili pekarangan Betawi.

Responden diberikan kuisioner yang berisi pertanyaan-pertanyaan tentang jenis-jenis elemen yang ada di pekarangan responden. Pengetahuan tentang pekarangan tidak dibatasi berdasarkan tingkat pendidikan. Kemudian data yang diperoleh, dikumpulkan dan diolah untuk mendapatkan persentase peletakan elemen vegetasi pekarangan. Persentase peletakan elemen vegetasi maksudnya adalah peletakan jenis vegetasi yang lebih dari 50 % dari kuisioner akan mewakili peletakannya. Data sekunder berfungsi untuk menunjang data primer yang telah didapat. Data sekunder didapatkan dari studi pustaka berbagai lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pekarangan dan adat istiadat Betawi.


(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Perkampungan Budaya Betawi merupakan suatu tempat di Jakarta Selatan dimana dapat ditemui dan dinikmati kehidupan bernuansa Betawi berupa komunitas Betawi, keasrian alam Betawi, tradisi Betawi, kebudayaan serta materi yang merupakan sumber informasi dan dokumentasi kebetawian (Imron, 2002). Hal ini dapat dilihat dari arsitektur rumah Betawi, pekarangan Betawi, jenis-jenis tarian dan permainan yang masih dapat ditemui di beberapa Rukun Tetangga (RT). Perkampungan Budaya Betawi memiliki potensi lingkungan alam yang menarik yang sulit ditemukan ditengah hiruk pikuknya kota Jakarta. Dengan mudah dapat dijumpai aktifitas keseharian masyarakat Betawi berupa latihan pukul (silat), pesta nikah, akekah, injek tanah, ngarak nganten sunat, memancing, menjala dan budidaya ikan air tawar, bertani, berdagang sampai kegiatan memasak makanan khas Betawi yang masih berlanjut sampai sekarang.

Hasil Inventarisasi Lokasi Daerah Penelitian

Secara geografis, Perkampungan Budaya Betawi (PBB) terletak pada 106°49’50”BT dan 6°20’23”LS. Daerah penelitian secara administratif dimasukkan ke dalam Kampung Situ Babakan, Kelurahan Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Kotamadya Jakarta Selatan. Luas keseluruhan PBB 165 hektar, dengan luas Situ Babakan sekitar 35 hektar. (Lemtek FTUI dan Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 2001). Batas fisik kawasan yaitu dengan Jalan Moch. Kahfi II sebelah utara, Jalan Desa Putera dan Jalan Mangga Bolong Timur sebelah timur, Jalan Tanah Merah, Jalan Srengseng Sawah dan Jalan Puskesmas sebelah selatan, serta Jalan Moch. Kahfi II sebelah barat.


(40)

Gambar 2. Peta Perkampungan Budaya Betawi

Aksesibilitas

Lokasi studi terletak + 5 km dari stasiun Lenteng Agung. Jalan Raya Pasar Minggu dan lintasan Kereta Rel Listrik (KRL) Jakarta-Bogor merupakan akses utama menuju lokasi tapak. Secara makro, PBB dapat dicapai dari empat arah yaitu :

• Dari arah barat, mewakili daerah Ciganjur, Cinere, dan Pondok Labu sebagai konsentrasi tujuan dari lokasi dan ke lokasi melalui jalan warung silah.

• Dari arah timur melalui jalan Srengseng Sawah.

• Dari arah utara, dari jalan raya Lenteng Agung melalui jalan Mohammad Kahfi II atau jalan jeruk, dan

• Dari arah selatan mewakili daerah Lebak Bulus dan Depok, melalui jalan tanah baru (terusan Mohammad Kahfi II ke arah selatan) dari Lebak Bulus dan jalan Kukusan di Depok.

SDN DESA PUTRA SRENGSENG SAWAH KOMPLEK PANTI ASUHAN DESA PUTRA SLTP/SMU, SMK DESA PUTRA BALAI KESMAS DESA PUTRA

KEL. SRENGSENG SAWAH

KOMPLEK YON ZIKON 14

BONCEL SETU BABA

KAN

MI/MTS/MA SLTP/SMK DARUSSALAM

PDK . SIBON

CEL Gg. SET

IA BHA KTI

U


(41)

Gambar 3. Pintu Masuk I Bang Pitung

Keadaan Iklim

Suhu rata-rata bulanan di Kawasan Situ Babakan dan sekitarnya adalah 27,41°C dengan kisaran 26,52°-28,04°C. Suhu udara rata-rata masih berada dalam kisaran ideal untuk kenyamanan manusia yaitu 10-27°C berdasarkan Laurie (1986). Kelembaban rata-rata bulanan 79,70 %, dengan kisaran 72,54-86,55 %. Curah hujan rata-rata 191,42 mm/bulan, dengan kisaran 57,72-321,13 mm/bulan. Kecepatan angin rata-rata bulanan 4,9 km/jam, dengan kisaran 4-6,57 km/jam. Kecepatan angin berada dalam kisaran angin yang nyaman yaitu 1,0-6,0 km/jam (Kartasapoetra, 1989). Intensitas penyinaran matahari rata-rata bulanan 54,41 %, dengan kisaran 35,36-70,83 %. (Badan Meteorologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Pondok Betung, 1994-2004).

Tanah

Berdasarkan Peta Tanah Tinjau Propinsi Jawa Barat (1996), jenis tanah di kawasan PBB adalah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah, dengan bahan induk tuf volkan intermedier. Tanah latosol tidak memperlihatkan pembentukan tanah yang baru dan tidak dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Latosol bersifat asam dengan kandungan bahan organik yang rendah sehingga kesuburan juga rendah (Soepardi, 1983). Tanah ini berstruktur granular dan drainasenya baik sehingga tanah ini berbahaya jika dibiarkan terbuka. Laterit air tanah memiliki sifat masam hingga agak masam (pH


(42)

H2O 6,0-7,5), zat organiknya rendah (1-4 %), unsur hara dan permeabilitas jelek, dan kepekaan erosi kecil (Driessen dan Soepraptohardjo, 1974).

Topografi

Secara umum, keadaan topografi kawasan Situ Babakan datar sampai bergelombang. Pemukiman di sebelah barat terletak lebih tinggi dari permukaan jalan di sepanjang setu. Jalan di sepanjang situ relatif datar. Lahan yang datar umumnya bersifat monoton dan tidak memiliki titik fokus (focal point) (Simonds, 1983).

Hidrologi

Situ Babakan memiliki sistem hidrologi yang terbuka dengan adanya inlet

dan outlet air Setu. Berdasarkan keterangan warga PBB, pada Situ Babakan terdapat mata air alami yang terletak di dalam Situ. Inlet situ ada empat buah, yaitu dari Situ Mangga Bolong, Kali Baru, Kali Tengak, dan Situ ISTN (Institut Sains dan Teknologi), sedangkan outletnya menuju sungai Ciliwung (Bapedalda, 2004).

Tanaman

Tanaman yang terdapat di kawasan PBB, baik di area pekarangan ataupun di sekitar sempadan situ berfungsi sebagai tanaman peneduh ataupun estetis. Jenis-jenis tanaman khas yang ditemukan di PBB adalah :

Tabel 1. Jenis Tanaman yang ada di Tapak

No. Nama Lokal Spesies Tempat Penanaman Umumnya Pekarangan Kebun Batas

Lahan 1. Andong Cordilyn fruticosa linn 8 0 8 2.

Anting-anting

Acalypha australis L 2 2 0

3. Asem Tamarindus indica 4 4 0 4. Bangle Zingiber purpureum 8 (32%)● 6 0

5. Bambu Bambusa sp 4 4 4

6. Belimbing Wuluh


(43)

7. Belimbing Manis

Averhoa carambola L 8 16 (64%)● 2

8. Brotowali Tinospora crispa 8 (32%)● 2 2 9. Bunga Kenop Gomphrena globasa 0 0 2 (8%)● 10. Bunga

Teleng

Clitoria tematea 4 (16%)● 0 2

11. Buni Antidesma bunius 2 6 (24%)● 0 12. Buah Nona Annona reticulata 4 (16%)● 2 0 13. Bisbol Diospyros philipensis 2 2 0 14. Cabe Jawa Piper refrofractum

Vahl

4 (16%)● 2 0

15. Cakar Ayam Selaginella doederlinii 2 2 0 16. Calincing Oxalis corniculata 0 2 2 17. Cincau Cyclea barbata 4 (16%)● 2 2 18. Ciplukan Phisais peruviana L 0 10 (40%)● 0 19. Duku Condet Lansium domesticum

Var. Condet

4 6 (24%)● 0

20. Durian sitokong

Durio zibetinus Murr. Var. Sitokong

10 (40%)● 4 0

21. Daun dewa Gynura segetum 14 (56%)● 4 0 22. Daun jinten Coleus amboinicus

Lour

2 2 4 (16%)●

23. Daun katuk Sauropis anchoginus L 10 (40%)● 4 2 24. Daun

mangkokan

Nothopana pseutellarium

6 8 (32%)● 6

25. Daun pandan Pandanum amarylifolium

12 12 4

26. Daun reumatik

Plumbago zeylanica Linn

0 4 (16%)● 0

27. Daun salam Eugenia operculata 2 18 (72%)● 4 28. Daun sendok Plantago mayar 0 2 (8%)● 0 29. Daun suji Pleomele angustifolia 14 (56%)● 10 2 30. Daun wungu Graphtophyllum pictum 0 0 0 31. Daruju Acanthus ilicifolius

Linn

2 0 0


(44)

33. Gendolo Bosella rubra Linn 0 4 (16%)● 0 34. Jahe merah Zingiber oficinale 10 (40%)● 4 0 35. Jeruk nipis Citrus aurantifolia 4 6 (24%)● 0 36. Jamblang Eugenia cuminii 0 2 (8%)● 0 37. Jambu

mawar

Eugenia jambos 2 6 (24%)● 0

38. Jambu biji Psidium guajava 8 14 (56%)● 2 39. Jambu bol Eugenia malaccencis L 6 14 (56%)● 0 40. Jarak Jatropha multifida 4 2 10 (40%)● 41. Jengkol Pithecolobium jiringa 2 4 4 42. Kawista batu Feronia limonia 0 2 (8%)● 0 43. Kara wedus Lablab purpureus L 2 0 2 44. Kaca piring Gardenia sp 10 (40%)● 2 2 45. Kembang

sepatu

Hibiscus rosasinensis 8 (32%)● 4 2

46. Kembang pukul empat

Mirabilis jalapa 0 2 2

47. Kemuning Murraya paniculata 14 (56%)● 6 2 48. Kencur Kaempferia galanga

Linn

8 (32%)● 6 0

49. Ki tolod Isotoma longiflora 2 2 0 50. Kenanga Canangium odoratum 4 (16%)● 2 2 51. Kumis

kucing

Orthociphor aristatus 8 (32%)● 2 2

52. Karet kebo Ficus elastica Roxb 0 4 (16%)● 0 53. Keji beling Strobilantes crispus 0 0 4 (16%)● 54. Kembang

coklat

Zephyranthes candida 0 0 2 (8%)●

55. Kweni Mangifera odorata 2 8 (32%)● 2 56. Kecapi Sandoricum loetjape 2 10 (40%)● 2

57. Lada Piper albi 4 4 0

58. Lempuyang Zingiber americans 6 6 0 59. Lidah buaya Aloe vera 18 (72%)● 2 2 60. Lengkuas Alpina galanga 16 (64%)● 8 0 61. Lidah mertua Sansiviera trifasciata 14 (56%)● 4 2 62. Melinjo Gnetum gnemon 8 16 (64%)● 4 63. Menteng Baccauria rasemosa 0 4 (16%)● 0


(45)

64. Matoa Pometia pinnata 2 4 (16%)● 0 65. Mengkudu Morinda citrifolia 4 18 (72%)● 2 66. Melati Jasmimum sambac 14 (56%)● 2 2 67. Miana Coleus scutellaricides 12 (48%)● 4 2 68. Mondo kaki Ertafamia diffaricata 0 0 0 69. Nona makan

sirih

Clerodendrum thomsonai

2 4 (16%)● 0 70. Nangka Anthocarpus

heterophillus

8 18 (72%)● 0 71. Pangkas

kuning

Duranta repens 6 2 6

72. Pepaya Carica papaya 6 12 (48%)● 2 73. Pisang Musa sp 6 22 (88%)● 0 74. Poselen Thalium triangulare 0 0 0 75. Puring Codieaum variegatum 10 (40%)● 6 2 76. Rambutan Nephelium lappaceum

L

6 25 (100%)● 0 77. Rukem Falcourtia rukam 2 6 (24%)● 0 78. Sosor bebek Kalanchoe pinnata 16 (64%)● 2 2 79. Sawo duren Chrysophilum cainato 2 6 (24%)● 0 80. Sawo kecik Manilkara kauki 2 6 (24%)● 0 81. Sirih Piper bitle 20 (80%)● 4 2 82. Saga Abius precatorius 12 (48%)● 6 4 83. Salam Syzgium polyanthum 6 10 (40%)● 0 84. Sambung

dara

Excoecaria cochinicinensis

2 4 (16%)● 0 85. Sambiloto Androganthis

paniculata

8 (32%)● 4 0 86. Sambung

nyawa

Stachytarpheta mutabilis

8 (32%)● 2 0 87. Sereh Cimbopogan nardus 6 16 (64%)● 2 88. Seledri Apium grafeolens 2 2 0 89. Tapak dara Cantharanthus roseus 4 (16%)● 0 0 90. Temukunci Boesenvergia

pandurata

4 8 (32%)● 0 91. Temulawak Curcuma xanthorriza 6 8(32%)● 0


(46)

Tanaman yang Terdapat di Pekarangan

• Andong (Cordilyn fruticosa linn)

Sosoknya berupa tanaman tegak dengan daun-daun panjang lebar seperti dasi. Memiliki daun hijau polos, tetapi Andong merah memiliki dua macam warna, yaitu sisi atas berwarna hijau dan sisi bawah berwarna merah. Sepintas tanaman ini mirip dengan Dracaena.

Habitatnya cocok di lingkungan yang terang dan merata supaya warna daunnya cemerlang. Tanah yang ada di dalam pot harus lembab tetapi pada musim hujan harus dicegah supaya jangan sampai terlalu basah.

• Belimbing (Averrhoa carambola)

Buahnya berair, agak manis tajam, bentuk penampangnya seperti bintang, dapat dimakan segar dan digunakan sebagai lalapan mentah atau minuman. Termasuk ke dalam famili Oxalidaceae.

Pohon ini dapat tumbuh 5 hingga 12 m tingginya. Setiap tangkai memiliki 7-11 anak daun, buahnya berwarna kuning muda kehijauan, bijinya coklat tua, panjangnya sekitar 1 cm, terbungkus dalam daging di tengah-tengah buah. Tanaman ini dapat ditanam dari biji dalam kotak atau kantung plastik, disambung, ditempel atau dicangkok. Tanaman ini dapat tumbuh alami di daratan Asia tropis lembab, pada ketinggian kurang dari 500 mdpl dan pada tanah-tanah yang solumnya tebal dan drainasenya baik.

Banyak kultivar belimbing manis dan masam ditanam orang. Kecambah bibit dapat ditanam setelah tingginya 30-50 cm dengan jarak tanam 5-7 m. Pupuk perlu diberikan untuk mendapatkan hasil yang baik. Buah pertama muncul setelah umur 4-5 tahun dan dapat berbuah sepanjang tahun. Penyiangan di bawah lingkaran tajuk diperlukan untuk mematikan gulma. Hama yang penting adalah lalat buah, dapat dikontrol dengan membungkus buah, membuang buah yang terserang, dan membongkar tanah untuk membunuh pupanya.

• Belimbing Wuluh (Averrhoa bilimbi)

Buahnya seperti timun kecil, sangat masam dan digunakan untuk cuka, obat dan penyamak kulit. Tanaman ini termasuk ke dalam famili Oxalidaceae. Pohon ini tumbuh hingga setinggi 15 m dengan 11-12 anak daun pada tiap tangkai daun.


(47)

Bunganya merah tua muncul dari batang atau cabang ranting. Teknik budidayanya serupa dengan belimbing besar.

• Brotowali (Tinospora crispa)

Tanaman ini merupakan perdu memanjat, tingginya mencapai 2,5 m, batang berduri semu yang lunak serupa bintil-bintil, daun tunggal, bertangkai, bentuknya mirip jantung dan ujungnya mendekati lancip. Bunga berukuran kecil, warna hijau dan memiliki tandan semu. Buah berbentuk dalam tandan yang warnanya merah muda. Asal tanaman ini diduga dari Asia Tenggara dan dapat ditemui tumbuh liar di hutan atau ladang namun sekarang ditanam di pekarangan. Penyebaran terutama di daerah berkawasan tropik karena tanaman ini menyukai tempat yang panas. Diperbanyak dengan stek batang dan lebih baik batang yang sudah tua.

• Durian (Durio zibethinus)

Buah ini terkenal di kawasan Asia Tenggara karena baunya yang khas dan rasanya yang enak. Daging buah di sekeliling biji dimakan secara segar atau untuk penyedap. Tanaman ini termasuk ke dalam famili Bombacaceae.

Durian merupakan pohon tinggi yang dapat mencapai hingga 40 m, pohon penempelan biasanya lebih pendek + 12 m. Buahnya besar-besar, hijau olive, dan berduri keras, mengandung banyak biji yang terbungkus dengan daging buah yang lunak, daunnya kecil-kecil dan berwarna hijau perak.

Durian diduga berasal dari Malaysia, sekarang ditanam di sebagian besar kawasan Asia Tenggara. Memerlukan iklim lembab panas, tanah subur dan ketinggian di bawah 800 mdpl. Penyiangan di bawah lingkaran tajuk dilakukan secara teratur dengan tangan atau menggunakan herbisida. Jamur Phytophthora palmivora dapat menyebabkan gangguan serius yang disebut kanker kulit. Hama yang terpenting adalah penggerek buah.

• Cabe Jawa (Piper refrofractum Vahl)

Merupakan tanaman asli Indonesia yang banyak terdapat di Jawa, Madura dan Sumatera Selatan. Tumbuh pada ketinggian tempat dekat pantai, daerah datar sampai 600 m di atas permukaan laut. Tanaman ini dapat tumbuh dan menghasilkan dengan baik di semua jenis lahan kering atau semua jenis tanah di Pulau Jawa.


(48)

Belum banyak dibudidayakan oleh masyarakat. Beberapa daerah yang sedang dan pernah mengusahakannya adalah Jawa Tengah, Jawa Timur (khususnya kabupaten Lamongan) dan Banjarmasin. Dapat diusahakan di pekarangan sebagai tanaman yang merambat di pagar, maupun sebagai tanaman pengisi lahan yang ternaungi pohon di pekarangan, sehingga dapat meningkatkan produktifitas pekarangan.

Tumbuh dengan batang memanjat, melilit atau melata. Daun berbentuk bundar telur sampai lonjong, pangkal daun berbentuk jantung atau memundar, ujung daun lancip. Pembungaan berupa bulir yang tegak atau sedikit merunduk. Buah berbentuk bulat, lonjong, warna merah cerah, biji berukuran 2-3 mm.

• Jahe Merah (Zingiber oficinale)

Tumbuh hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Herba menahun yang tumbuh liar di ladang-ladang berkadar tanah lembab dan memperoleh banyak sinar matahari. Ditanam pada dataran rendah sampai tinggi pada ketinggian 1.500 m di atas permukaan laut.

Batang tegak berakar serabut dan berumbi dengan rimpang mendatar. Tumbuhan semak berbatang semu ini tingginya 30-100 cm. Rimpang berkulit agak tebal membungkus daging umbi yang berserat dan berwarna coklat beraroma khas. Bentuk daun bulat panjang dan tidak lebar. Daun tunggal, berbentuk lanset dengan panjang antara 15-28 mm. Bunganya memiliki dua kelamin dengan satu benang sari dan tiga putik bunga. Bunga muncul pada ketiak daun dengan posisi duduk.

• Jambu Biji (Psidium guajava)

Buahnya dapat dimakan segar atau dikalengkan. Dapat digunakan untuk membuat bubur buah (jelly dan jam) dan sari buah. Mengandung vitamin C 2-5 kali lebih banyak daripada jeruk orange segar. Termasuk ke dalam famili Myrtaceae.

Tanaman ini tumbuh alami di daerah tropis Amerika, tetapi pada saat ini dijumpai diseluruh daerah tropis dan sub tropis. Penanaman biasanya dilakukan di pekarangan rumah. Di Selandia Baru dan kepulauan pasifik, tanaman ini dianggap sebagai gulma.


(49)

• Jeruk nipis (Citrus aurantifolia)

Pohonnya berukuran kecil, memiliki duri tajam dan banyak cabang-cabang kecil, daun berbentuk bulat telur, agak kaku, panjang 4-6 cm, pada bagian tepi berlekuk ke atas, tangkai daunnya kecil dan sempit. Bunga berwarna putih dan harum. Buah berbentuk agak bulat, ujungnya sedikit menguncup. Saat masih muda berwarna hijau, semakin tua semakin hijau muda atau kekuningan, rasanya asam segar.

Tanaman ini menyukai tempat terbuka dengan sirkulasi udara yang baik. Untuk memperbanyak tanaman ini dipilih hasil semaian dari biji atau bibit cangkokan.

• Kacapiring (Gardenia augusta Merr.)

Tumbuhannya berbentuk perdu yang tingginya antara 1-2 m. Bunganya putih bersih, berukuran relatif besar bila dibandingkan pohonnya. Bila dilihat seperti bulatan-bulatan besar dengan daun yang hijau tua melatarbelakanginya, dan bau bunganya semerbak harum.

Sebenarnya tumbuhan ini bukan merupakan tumbuhan asli Indonesia tetapi berasal dari Cina dan Jepang. Kacapiring dapat diperbanyak dengan stek. Potongan batang yang mempunyai 3 atau 4 ruas baik untuk keperluan ini.

• Katuk (Sauropus androginus L)

Perdu ini tumbuh menahun, berkesan ramping sehingga sering ditanam beberapa batang sekaligus sebagai tanaman pagar, tinggi sekitar 1-2 m, batang tumbuh tegak, saat masih muda berwarna hijau, setelah tua jadi kelabu keputihan, berkayu dan percabangannya jarang. Daun majemuk genap, bunganya berbentuk unik, kelopaknya keras, berwarna putih semu kemerahan. Buah berbentuk bulat, berukuran kecil-kecil seperti kancing, berwarna putih dan biji beruang empat.

Tanaman tumbuh di dataran rendah hingga 1200 m dpl, menyukai tempat terbuka maupun sedikit terlindung dengan struktur tanah yang ringan. Banyak ditanam di kebun, ladang ataupun pekarangan.

Dapat diperbanyak melalui stek batang yang belum terlalu tua. Penanaman dapat diatur di pekarangan sebagai pagar hidup. Bila produksi daun sudah sedikit, tanaman katuk dapat diremajakan dengan pemangkasan batang utama.


(50)

• Kenanga (Cananga odorata)

Berupa pohon yang tingginya dapat mencapai 30 m. Daun mahkota dan kelopaknya berwarna serupa. Dikenal beberapa macam kenanga. Yang pohonnya berukuran pendek, digemari oleh orang kota karena tempat yang diperlukan untuk tumbuhnya tidak banyak. Yang pohonnya tinggi sering dijumpai di pekarangan pedesaan. Baik yang pendek maupun yang tinggi, berbunga sepanjang tahun.

Secara alami, kenanga tersebar di Semenanjung Malaya, kepulauan Indonesia dan Filipina. Untuk perbanyakannya, umumnya digunakan cangkok. Secara alami, kenanga membiakkan diri melalui bijinya.

• Kencur (Kaempferia galanga)

Rhizome dan akar digunakan untuk bumbu masakan atau penyedap nasi. Kadang-kadang dicampur dengan beras dan ditumbuk untuk membuat semacam minuman dan bedak wanita. Daun-daun muda dapat digunakan sayuran setelah dimasak. Termasuk ke dalam famili Zingiberaceae

Tanaman herba ini tidak berbatang, mempunyai rhizome yang bercabang-cabang, sehingga ia dapat hidup secara perenial. Perakarannya di beberapa tempat menjadi umbi yang berwarna putih kekuningan, membulat atau memanjang dan aromatis. Helai daunnya berdaging dan tersembunyi dalam tanah. Helai daunnya tumbuh mendatar di permukaan tanah, besar-eliptis atau bulat memanjang. Tandan bunganya tumbuh di pucuk di antara helai daun, terdiri dari 4-12 bunga yang berwarna putih dengan garis violet. Tanaman ini diduga berasal dari daerah tropis Asia. Sekarang banyak ditanam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, tumbuh baik pada tanah berpasir yang subur.

Bibit yang ditanam adalah potongan-potongan rhizome yang bermata tunas, jarak tanam (40-60 cm) x (20-60 cm). Pengolahan tanah dilakukan dengan cangkul atau bajak, untuk menyiapkan guludan dan bedengan yang gembur. Bibit dibenamkan sedalam 5-7½ cm, penanaman pada awal musim hujan. Pada awal musim kemarau berikutnya daun-daun mengering dan umbi atau rhizomenya dapat dipanen atau dibongkar. Penggunaan pupuk kandang sangat dianjurkan pada saat pengolahan tanah, sehingga pemupukan N dan K diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman dan pembentukan rhizome serta umbi. Penyiangan gulma sangat diperlukan.


(51)

• Kumis Kucing (Orthosiphon stamineus Benth)

Terna ini meskipun tumbuh tegak namun cenderung menyemak atau rimbun. Batangnya berwarna coklat keunguan/kemerahan dan berbentuk persegi. Daun berbentuk belah ketupat, tepi bergerigi, kedua permukaan daun berbintik-bintik. Bunga berupa tandan yang keluar dari ujung cabang dan benang sari lebih panjang dari tabung bunga. Umumnya berwarna putih, tetapi ada juga yang berwarna kebiruan. Tanaman ini tumbuh di dataran rendah sampai dataran sedang (menengah). Untuk memperbanyak dengan stek batang, harus dipilih batang yang sudah tua dan dipotong sepanjang 15 – 20 cm.

• Lengkuas (Alpina galanga)

Rhizome mudanya digunakan untuk penyedap (bumbu) masakan dan pengawet makanan. Batang yang sangat muda dan tunas-tunas bunga dimakan sebagai sayuran. Rhizomenya mengandung kaemferide, glagin, dan minyak-minyak esensial kuning kehijauan. Termasuk ke dalam famili Zingiberaceae

Tanaman herba ini tumbuh tegap, tingginya mencapai 2 m. Rhizomenya merayap, berdaging, aromatik, berwarna putih dan ada yang kemerahan. Tanda bunganya tumbuh di pucuk tanaman, terdiri atas banyak bunga yang berwarna putih. Tanaman ini tumbuh alami di daerah tropika Afrika. Di kawasan tropis Asia dan Jawa tumbuh liar di antara hutan jati dataran rendah hingga dataran tinggi 1200 m dpl.

Tanaman dapat diperbanyak dengan rhizome atau biji, namun biasanya lebih mudah diperbanyak dengan rhizome. Bagian ujung rhizome lebih baik untuk bibit. Pengolahan tanah diperlukan untuk menggemburkan tanah dan menyiapkan guludan. Penggunaan pupuk kandang, pupuk buatan, penyiangan gulma dan pembumbunan perlu dilakukan. Panen dapat dilakukan pada umur 2½-3 bulan setelah tanam. Kalau tanaman dipanen terlalu tua, rhizome akan berserat.

• Lidah Mertua (Sansiviera trifasciata)

Tanaman ini memiliki daun tegak kaku dan berdaging. Warna daun putih atau kuning, penuh belang-belang hitam seperti gambaran kulit ular, sehingga sering disebut Snake plant dan Mother in law’s tounge. Tanaman ini tahan terhadap kekeringan sehingga tidak perlu disiram setiap hari dan tumbuh di naungan ataupun tempat yang terang benderang.


(52)

• Melati (Jasminum sambac)

Perdu ini tumbuh menyemak, tinggi 0,3 – 3 m, daun berbentuk jorong hingga bulat dengan tulang daun yang jelas, berwarna hijau terang hingga hijau kelabu. Bunganya berwarna putih, mungil dan berbau wangi. Saat masih kuncup, bunga membulat dan setelah mekar seperti terompet kecil. Memiliki akar serabut, liat dan sulit dipatahkan. Tanaman ini berasal dari daratan Asia.

Tumbuh dan berbunga dengan baik di dataran rendah hingga dataran sedang. Dapat diperbanyak dengan stek batang / anakan yang tumbuh dari akar. Anakan dari akar tidak langsung dipotong tetapi dipotong sedikit demi sedikit selama beberapa hari. Setelah dirasa kuat, anakan diambil berikut tanah yang membalut perakarannya.

• Melinjo (Gnetum gnemon L)

Melinjo berbentuk pohon, batangnya lurus dan tajuknya berbentuk kerucut dan tingginya dapat mencapai 20 m. Buahnya berwarna hijau sewaktu muda, kemudian setelah masak berwarna kuning dan akhirnya menjadi merah.

Pusat penyebarannya meliputi daerah Asam sampai ke Fiji. Varitas gnemon adalah yang sengaja ditanam. Yang tumbuh liar termasuk varitas ovalifolium. Tanaman ini menyukai dataran rendah, tetapi dapat juga tumbuh di daerah pegunungan sampai dengan ketinggian 1200 m dpl. Di Indonesia banyak dijumpai di pulau Jawa, yang ditanam untuk daunnya ataupun bijinya.

Biji yang tua disamping untuk sayur, dapat dibuat kerupuk yang dikenal dengan nama emping. Sekarang banyak dibuat emping yang dicampur dengan udang, grinting dan gula. Jenis melinjo mempunyai kegunaan lain yaitu batangnya dapat dibuat tali. Tali tersebut kuat dan biasanya digunakan untuk tali jala, pengikat kapal dan untuk tali panjat. Kayunya dapat digunakan untuk bahan pembuat kertas yang bermutu baik.

Melinjo dapat diperbanyak dengan bijinya yang disemaikan terlebih dahulu, tetapi biasanya diperbanyak dengan tunas akar. Sesudah pohon mulai menghasilkan buah terus menerus, jenis ini mudah dibudidayakan dan tidak banyak memerlukan pemeliharaan.


(53)

• Mengkudu (Morinda citrifolia) Tumbuh hampir di seluruh wilayah kepulauan Indonesia, umumnya tanaman ini tumbuh liar di pantai, ladang, hutan atau sengaja di tanam di pekarangan.

Berupa pohon dengan tinggi 4-8 m. Batang berkayu, bulat, dahan kaku dan kasar dengan daun yang berwarna hijau mengkilap, tebal dan berbentuk seperti tandan. Bunga majemuk, bentuk bongkol, bertangkai, diketiak daun. Buah bongkol, permukaan buahnya bertutul-tutul. Mula-mula buah berwarna hijau, kemudian menjadi kuning.

• Nangka (Artocarpus heterophyllus)

Buah nangka banyak yang dijual, baik yang masih muda maupun yang sudah masak. Umumnya ditanam di pekarangan rumah, terutama untuk keperluan keluarga akan buah. Diduga tanaman ini berasal dari daerah India. Sekarang tersebar ke seluruh dunia, terutama ke daerah-daerah yang beriklim tropika. Dapat tumbuh sampai pada ketinggian 1600 m dpl dan dapat tumbuh baik pada tanah subur, cukup air serta mempunyai drainase yang baik.

Umumnya nangka diperbanyak dengan biji. Biji-biji tersebut ditanam dipersemaian terlebih dahulu. Setelah berumur 10 sampai 11 bulan, baru dipindahkan ke pekarangan atau ke kebun. Perbanyakan cara lain yaitu dengan cangkokan atau penempelan tunas. Dengan cara ini mutu buah yang dihasilkan akan sama dengan induknya. Juga waktu berbuah akan lebih awal daripada yang berasal dari biji.

Kegunaan nangka yang utama adalah buahnya. Buah muda sering digunakan untuk sayuran. Sedang buah yang masak biasa dijadikan buah meja, kolak, campuran pembuat dodol atau minuman. Biji nangka setelah direbus atau dibakar dapat dimakan. Daunnya sangat disukai ternak kambing. Getahnya dapat dimanfaatkan untuk penangkap burung. Kayu nangka ulet dan warnanya menarik. Banyak digunakan untuk bahan bangunan dan alat-alat rumah tangga. Di samping kegunaan di atas, campuran abu daun nangka, jagung dan tempurung kelapa dapat dipakai untuk mengobati luka.

• Pepaya (Carica papaya)

Pohon pepaya ukurannya termasuk kecil, mencapai ketinggian sekitar 15 m dan umumnya menghasilkan satu batang tak bercabang, berserabut lunak yang


(1)

Gambar Lampiran 3. Jenis-jenis Tanaman yang ada di Pekarangan Betawi

Andong Anting-anting Asem Jawa

Bangle Belimbing Wuluh Belimbing Manis

Brotowali Buah Nona Bunga Kenop


(2)

Calincing Ciplukan Cincau

Daruju Daun Jinten Daun Wungu

Daun Dewa Duku Condet Durian Sitokong


(3)

Jamblang Jambu Mawar Jambu Biji

Jarak Jeruk Nipis Kacapiring

Kawista Kembang Coklat Kecapi


(4)

Kenanga Kencur Kepundung

Ki Tolod Kembang Pukul Empat Kumis Kucing

Kunyit Lada Lengkuas


(5)

Mondokaki Nona_makan_sirih Pepaya

Pepaya Poslen Rambutan

Ganda Rukem Saga Salam


(6)

Sambung Nyawa Sawo Secang

Seledri Sereh Sirih