Rumusan Masalah 1. MAKALAH TEMATIK INTEGRATIF

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Islam sebagai dinullah memiliki dua sumber utama yaitu alqur’an dan as- sunnah. Sumber yang di sebut terakhir sering pula dinamakan al-hadits, antara lain merupakan penjabaran dari sumber pertama, dan dalam kaitan ini fungsi al- hadits ternyata sangat strategis bagi kehidupan dan penghidupan umat. Dalam perkembangan kehidupan umat, ternyata posisi dan fungsi hadits ini tidak saja dipalsukan tetapi juga bahkan di ingkari oleh kalangan umat tertentu. Padahal mereka dalam menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji dan lainnya secara tidak disadari semua itu diperoleh dari rincian al- hadits. Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Bahkan Dari argumennya bahwa Nabi Muhammad tidak berhak sama sekali untuk menjelaskan alqurán kepada umatnya. Nabi Muhammad hanya bertugas untuk menerima wahyu dan menyampaikan wahyu itu kepada para pengikutnya, di luar hal tersebut nabi Muhammad tidak memiliki wewenang.

B. Rumusan Masalah 1.

Bagaimanakah pengertian ingkarus sunnah? 2. Bagaimanakah kedudukan sunnah dalam islam ? 3. Sejarah perkembangan pengingkar sunnah serta upaya pelestarian sunnah oleh para pembelanya? C.Tujuan Penulisan Makalah 1. Untuk menjelaskan dan mengetahui apa itu ingkarus sunnah 2. Untuk mengetahui kedudukan sunnah dalam islam 3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pengingkar sunnah 4 BAB II PEMBAHASAN A.Pengertian As-Sunnah Menurut Syari’at As-Sunnah menurut istilah syari’at ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dalam bentuk qaul ucapan, fi’il perbuatan, taqrir penetapan, sifat tubuh serta akhlak yang dimaksudkan dengannya sebagai tasyri’ pensyari’atan bagi ummat Islam. Adapun hadits menurut bahasa ialah sesuatu yang baru. Secara istilah sama dengan As-Sunnah menurut Jumhur Ulama. Ada ulama yang menerangkan makna asal secara bahasa bahwa: Sunnah itu untuk perbuatan dan taqrir, adapun hadits untuk ucapan. Akan tetapi ulama sudah banyak melupakan makna asal bahasa dan memakai istilah yang sudah lazim digunakan, yaitu bahwa As-Sunnah muradif sinonim dengan hadits. As-Sunnah menurut istilah ulama ushul fiqih ialah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi j selain dari Al-Qur-an, baik perbuatan, perkataan, taqrir penetapan yang baik untuk menjadi dalil bagi hukum syar’i. Ulama ushul fiqih membahas dari segala yang disyari’atkan kepada manusia sebagai undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi perundang-undangan tersebut. As-Sunnah menurut istilah ahli fiqih fuqaha’ ialah segala sesuatu yang sudah tetap dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan hukumnya tidak fardhu dan tidak wajib, yakni hukumnya sunnah. 4 As-Sunnah menurut ulama Salaf adalah petunjuk yang dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan para Shahabatnya, baik tentang ilmu, i’tiqaad keyakinan, perkataan maupun perbuatannya. Contoh-contoh dari definisi Sunnah yang dibawakan oleh ahli hadits antara lain: a. Hadits qauli Sunnah dalam bentuk ucapan ialah segala ucapan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang ada hubungannya dengan tasyri’, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam : ههيينهعييي لي امي ههكهريتي ءهريميليا مهليسيإه نهسيحه نيمه. “Di antara kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.” b. Hadits fi’li Sunnah yang berupa perbuatan ialah segala perbuatan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diberitakan oleh para Shahabatnya tentang wudhu’, shalat, haji, dan selainnya. Contoh: : ههتيييحيله لهللهخييه نياكي ميلليسيوي ههييليعي ههلليلا ىلليصييليبهنليلا نليأي نيافليعي نهبي نياميثيعه نيعي. “Dari ‘Utsman bin ‘Affan bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam apabila berwudhu’, beliau menyela-nyela jenggotnya.” [5] c. Hadits taqriri ialah segala perbuatan Shahabat yang diketahui oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan beliau membiarkannya sebagai tanda setuju dan tidak mengingkarinya. Contoh: : يفه ههتيليمهعي للميعي ىجيريأيبه ينهثيدلهحي لهليبه ايي حهبيصلهلا ةهليصي دينيعه للليبهله ميلليسيوي ههييليعي ههلليلا ىلليصي يلهبهنليلا لياقي 4 : ريهليطيتيأي ميلي ينلهأي ييدهنيعه ىجيريأي للميعي تهليمهعي امي لياقي ،ةهنليجيليا يفه يليدييي نيييبي كيييليعيني فليدي تهعيمهسي ينلهإهفي مهليسيلهاي ييللهصيأه نيأي يله بيتهكه امي رهويههطلهلا كيلهذيبه تهييلليصي لليإه رلاهيني ويأي للييلي نيمه ةلعياسي يفه الرويههطه. “Nabi Shalkallahu alaihi wa sallam bersabda kepada Bilal setelah selesai shalat Shubuh, ‘Wahai Bilal, kabarkanlah kepadaku sebaik-baik amalan yang telah engkau kerjakan dalam Islam, karena aku telah mendengar suara terompahmu di dekatku di Surga?’ Ia menjawab, ‘Sebaik-baik amal yang aku kerjakan ialah, bahwa setiap kali aku berwudhu’ siang atau malam mesti dengan wudhu’ itu aku shalat sunnah beberapa raka’at yang dapat aku laksanakan.’” [6] Atau kisah dua Shahabat yang melakukan safar, keduanya tidak menemukan air untuk wudhu’ sedangkan waktu shalat sudah tiba, lalu keduanya bertayammum dan mengerjakan shalat, kemudian setelah selesai shalat mereka menemukan air sedang waktu shalat masih ada, maka salah seorang dari keduanya mengulangi wudhu’ dan shalatnya, kemudian keduanya mendatangi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian itu. Lalu beliau bersabda kepada Shahabat yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah berbuat sesuai dengan Sunnah.” Dan kepada yang lain Shahabat yang mengulangi shalatnya, beliau bersabda, “Engkau mendapatkan dua ganjaran.” [7] Di antara makna Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah sebagaimana yang difahami oleh para Shahabat dan Salafush Shalih Ridhwanullaah ‘alaihim ajma’iin adalah sebagai sumber kedua setelah Al-Qur-anul Karim Sering kita menyebut Kitabullaah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maksudnya adalah Sunnah sebagai sumber nilai tasyri’. Al-Qur-an menyifatkan As-Sunnah dengan makna hikmah. 4 Allah Subhanahu wa Taala berfirman: زهيزهعيليا تينأي كينليإه ميههيكلهزييهوي ةيميكيحهلياوي بياتيكهليا مهههمهللهعييهوي كيتهاييآ ميههييليعي ولهتييي ميههنيمله اللوسهري ميههيفه ثيعيبياوي انيبليري مهيكهحيليا “Ya Rabb kami, utuslah kepada mereka seorang Rasul di antara mereka yang akan membacakan ayat-ayat-Mu kepada mereka dan mengajarkan Al-Kitab dan Al- Hikmah kepada mereka dan mensucikan mereka dari kelakuan-kelakuan yang keji, sesungguhnya Engkau Mahamulia lagi Mahabijaksana.” [Al-Baqarah: 129] بياتيكهليا مهههمهللهعييهوي ميههيكلهزييهوي ههتهاييآ ميههييليعي ولهتييي ميههسهفهنأي نيمله اللوسهري ميههيفه ثيعيبي ذيإه نيينهمهؤيمهليا ىليعي ههلليلا نليمي ديقيلي نليبهمله للاليضي يفهلي لهبيقي نمه اونهاكي نإهوي ةيميكيحهلياوي “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia bagi orang-orang yang beriman, ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya dan membersihkan mereka dari sifat- sifat jahat, dan mengajarkan Al-Kitab Al-Qur-an dan Al-Hikmah As-Sunnah. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.” [Ali ‘Imran: 164] امليظهعي كيييليعي ههلليلا لهضيفي نياكيوي مهليعيتي نكهتي ميلي امي كيميلليعيوي ةيميكيحهلياوي بياتيكهليا كيييليعي ههلليلا ليزينأيوي “... Dan Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah dan mengajarkanmu apa-apa yang tidak kamu ketahui. Dan karunia Allah kepadamu amat besar.” [An-Nisaa’: 113] ارليبهخي افليطهلي نياكي هيلليلا نليإه ةهميكيحهلياوي ههلليلا تهاييآ نيمه نليكهتهويهبه يفه ىىليتييه امي نيريكهذياوي “Sebutlah apa-apa yang dibacakan dalam rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah, sesungguhnya Allah Mahalembut lagi Maha Mengetahui.” [Al-Ahzaab: 34] 4 نمه اونهاكي نإهوي ةيميكيحهلياوي بياتيكهليا مهههمهللهعييهوي ميههيكلهزييهوي ههتهاييآ ميههييليعي ولهتييي ميههنيمله اللوسهري نيييلهملهأهليا يفه ثيعيبي يذهلليا ويهه نليبهمله للاليضي يفهلي لهبيقي “Dialah yang mengutus kepada ummat yang ummi seorang Rasul dari antara mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya. Yang membersihkan mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Sesungguhnya mereka sebelum itu dalam kesesatan yang nyata.” [Al-Jumu’ah: 2] Maksud penyebutan Al-Kitab pada ayat-ayat di atas adalah Al-Qur-an. Dan yang dimaksud dengan Al-Hik-mah adalah As-Sunnah. Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah menyebut al-Kitab, yang dimaksud adalah Al-Qur-an dan menyebut Al-Hikmah. Aku mendengar di negeriku dari para ahli ilmu yang mengerti Al-Qur-an berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.”[8] Qatadah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Begitu pula penjelasan dari al-Hasan al-Bashri.[9] Allah Subhanahu wa Taala berfirman: ميكهنمه رهميأيليا يلهوأهوي ليوسهرليلا اوعهيطهأيوي هيلليلا اوعهيطهأي اونهميآ نييذهلليا اهييلهأي ايي “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu...” [An-Nisaa’: 59] Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah mengikuti dan As-Sunnah.” [10] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Banyak dari Salafush Shalih berkata bahwa Al-Hikmah adalah As-Sunnah.” Karena sesungguhnya yang 4 dibaca di rumah-rumah isteri Nabi نههنيعي ههللا ييضهري selain Al-Qur-an adalah Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda: ههعيمي ههليثيمهوي بياتيكهليا تهييتهويأه ينلهإه ليأي. “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab dan yang sepertinya bersamanya.” [11] Hasan bin Athiyyah rahimahullah berkata, “Jibril Alaihissallam turun kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membawa As-Sunnah sebagaimana Al-Qur-an. Mengajarkan As-Sunnah itu sebagaimana ia mengajarkan Al-Qur-an.” [12] Dan lihat pula kitab-kitab tafsir yang menafsirkan ayat ini Al-Ahzaab: 34 dalam Tafsir Ibnu Katsir dan lainnya dari tafsir Al-Qur-an bil ma’tsur. Para Salafush Shalih memberi makna As-Sunnah dengan agama dan syari’at yang dibawa oleh Rasul Shallallahu alaihi wa sallam secara mutlak dalam masalah ilmu dan amal, dan apa-apa yang diterima oleh para Shahabat, Tabi’in dan Salafush Shalih dalam bidang ‘aqidah maupun furu’. Abu Bakar Radhiyallahu anhu berkata, “Sunnah itu adalah tali Allah yang kuat.” [13] ‘Abdullah bin ad-Dailamy rahimahullah dari pembesar Tabi’in berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa awal hilangnya agama ini adalah karena manusia meninggalkan As-Sunnah.” [14] Imam al-Lalika-i membawakan penafsiran ayat: اهيعيبهتليافي رهميأيليا نيمله ةلعييرهشي ىىليعي كيانيليعيجي مليثه “Kemudian kami jadikan kamu di atas syari’at dari perintah, maka ikutilah...” [Al- Jaatsiyah: 18] 4 “Yakni engkau berada di atas Sunnah.” [15] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Sesungguhnya As-Sunnah itu adalah syari’at, yakni apa-apa yang disyari’atkan Allah Subhanahu wa Taala dan Rasul- Nya Shallallahu alaihi wa sallam dari agama ini.” [16] As-Sunnah adalah yang dimaksud dengan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih. B.KEDUDUKAN AS-SUNNAH DALAM ISLAM Dalam makalah ini penulis membahas tentang Kedudukan As-Sunnah dalam Syari’at Islam, karena adanya orang-orang yang berusaha untuk meragukan kedudukan As-Sunnah. Mereka ingin membatalkan Al-Qur’an dengan cara meragukan As-Sunnah. Karena apabila ummat Islam sudah meninggalkan kedua pedoman hidup ini, niscaya mereka pasti akan sesat. Mereka berusaha untuk memadamkan cahaya Islam, akan tetapi Allah akan tetap menyempurnakan cahaya-nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Mereka ingin memadamkan cahaya agama Allah dengan mulut ucapan- ucapan mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahayanya meskipun orang- orang kafir benci.” [Ash-Shaff: 8] Ummat Islam sejak zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meyakini bahwa As-Sunnah merupakan sumber ajaran Islam di samping Al-Qur’an. Bahkan As- Sunnah adalah wahyu sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Kitab Al-Qur’an dan yang sepertinya 4 bersamanya. Ketahuilah sesungguhnya aku diberi Al-Qur’an dan yang sepertinya bersamanya.” [1] Maksud dari kalimat: “Dan seperti itu bersamanya” adalah As-Sunnah. Al-Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, yang terkenal dengan Ibnu Hazm wafat th. 456 H berkata, “Sesungguhnya Allah telah berfirman: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” [Al-Hijr: : 9] Kandungan dari ayat ini adalah bagi orang yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari Akhir bahwasanya Allah menjamin terpeliharanya Al-Qur’an dan tidak akan hilang selamanya. Hal ini tidak diragukan sedikit pun oleh seorang muslim dan begitu pula sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semuanya adalah WAHYU, berdasarkan firman Allah: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu Al-Qur’an menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” [An-Najm: 3-4] Wahyu adalah Adz-Dzikr dengan kesepakatan seluruh ummat Islam, dan Adz- Dzikr terpelihara dengan nash Al-Qur’an, maka sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terpelihara dan pasti dijaga Allah Subhanahu wa Ta’ala.[2] Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Keterangan-keterangan mukjizat dan Kitab-Kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. Dan supaya mereka memikirkan.”[ An-Nahl: 44] 4 Ibnu Hazm rahimahullah berkata: “Dengan demikian, benarlah sabda Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyangkut urusan agama merupakan wahyu dari Allah Ta’ala. Para pakar bahasa Arab dan Ahli Fiqih tidak berselisih bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikra peringatan. Oleh karena itu, setiap wahyu adalah sesuatu yang pasti dipelihara oleh Allah Subhanhu wa Ta’ala dengan yakin. Semua yang dijamin oleh Allah dengan penjagaan-Nya, terjamin pula dari kepunahan dan tidak akan berubah satu pun darinya dan tidak ada yang membatalkannya. Jika wahyu tidak terjaga, niscaya firman Allah Ta’ala dan janji-Nya adalah sesuatu yang dusta dan jaminan-Nya sia- sia. Hal ini tidak mungkin terjadi dan tidak sedikit pun terlintas di benak orang yang berakal. Oleh karena itu, meru-pakan suatu kepastian bahwa segala sesuatu yang disam-paikan oleh Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkaitan dengan masalah agama adalah terpelihara terjaga dengan pemeliharaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan sebagaimana adanya kepada mereka selama-lamanya sampai hancurnya dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “… Dan al-Qur-an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an kepada- nya...” [Al-An’aam: 19] Jadi kita dapat mengetahui bahwa semua sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sesuatu yang terjaga sepanjang waktu, tidak mungkin ada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang hilang dalam masalah agama, dan tidak mungkin pula tersamar bercampur antara hadits yang palsu dan yang shahih. Kalau terjadi demikian berarti Adz-Dzikru tersebut tidak terjaga dan 4 firman Allah Ta’ala: Inna nahnu najjalnaa liddizkra wa innaa lahu lahafidhuun adalah bohong dan janji palsu. Hal ini tidak mungkin diucapkan oleh seorang muslim. Jika ada seseorang mengatakan bahwa yang dijamin oleh Allah terpelihara adalah Al-Qur-an saja dan bukan semua wahyu yang diturunkan selain Al-Qur’an, maka kami jawab, “Kami mohon taufiq dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tuduhan itu adalah bohong, tidak ada bukti sama sekali dan peng-khususan bahwa yang dimaksud Adz-Dzikra hanya Al-Qur’an saja, itupun tidak ada dalilnya. Maka dakwaan mereka itu adalah bathil.” “... Katakanlah: ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.’” [Al-Baqarah: 111] Oleh karena itu, orang yang tidak punya bukti atas dakwaannya, maka ia tidak benar dan tidak bisa dipercaya. Kalimat Adz-Dzikru mencakup semua yang diturun-kan Allah kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik berupa Al-Qur-an maupun As-Sunnah, karena As-Sunnah sebagian wahyu yang telah dijelaskan oleh Al-Qur-an: Wa anjalnaa ilaika ad-dzikra litubayyina linnaasi maa nunajjila ilaihim wa laallahum yatafakkaruun. Dalam ayat ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan oleh Allah untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada manusia. Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang bersifat mujmal global, kalau Sunnah ter-sebut tidak terjaga dan tidak terpelihara, niscaya ayat-ayat Al-Qur’an tidak bermanfaat, bahkan bisa menjadi batal sebagian besar dari kewajiban-kewajiban agama yang dibebankan kepada manusia? Jika demikian, maka kita tidak mampu 4 membedakan antara yang benar dari firman Allah dan yang salah dalam menafsirkannya atau orang yang sengaja berbohong. Semua ini mustahil terjadi pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. [3] Di antara dalil lain yang menegaskan keotentikan As-Sunnah sebagai sumber hukum, bahwasanya Allah Ta’ala telah menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup seluruh Nabi dan Rasul dan syari’atnya sebagai penutup syari’at sebelumnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan kepada manusia untuk beriman dan mengikuti segala ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga hari Kiamat. Allah telah menghapus segala syari’at yang ber-tentangan dengan syari’at beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semua ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai syari’at yang abadi dan terpelihara. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan bagi setiap muslim bila berselisih tentang sesuatu untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. “... Dan jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah Al-Qur’an dan Rasul Sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa: 59] Imam Mujahid, Qatadah, Maimun bin Mihran dan ulama Salaf lainnya ketika menafsirkan ayat ini: “Kembali kepada Allah, yaitu mengembalikan kepada Al- Qur’an dan kembali kepada Rasul yaitu mengembalikan persoalan yang diperselisihkan kepada As-Sunnah.[4] 4 Semua Sunnah yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah upaya untuk menjelaskan Al-Qur’an. Tidak ada satu pun yang samar atau tersembunyi dari semua penjelasan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan dunia dan akhirat, melainkan beliau telah jelaskan, ini menunjukkan bahwa agama Islam sudah sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…” [Al-Maa’idah: 3] Para Sahabat telah memberi kesaksian atas hal itu pada peristiwa Hajjatul Wada’ ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri meminta mereka memberikan kesaksian, bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyampaikan seluruh risalah. Tidak ada satu pun yang beliau tidak sampaikan. Semua sudah disampaikan, apa saja yang membawa manusia ke Surga sudah beliau jelaskan, dan apa saja yang membawa manusia ke Neraka sudah beliau jelaskan pula. Karena itu, hilangnya satu bagian dari Sunnah Rasul sama buruknya dengan hilangnya satu bagian dari Al-Qur’an. Sehingga ummat Islam sepanjang sejarah telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan memelihara As-Sunnah. Upaya-upaya para ulama Ahli Hadits dalam menjaga As-Sunnah dapat diringkas sebagai berikut: Pertama : Para Shahabat yang mulia langsung menerima hadits dari Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan yang tidak sempat hadir, mereka bertanya kepada yang hadir dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat untuk menyampaikan As-Sunnah. Beliau bersabda: 4 “Allah akan memberikan cahaya kepada wajah seseorang yang mendengarkan ucapanku, lalu ia menyam-paikannya sebagaimana yang ia dengar. Maka boleh jadi di antara yang disampaikan kepada mereka itu ada yang lebih mengerti daripada yang mendengarkan langsung dariku.” [5] Kedua : Kesungguhan para Shahabat dalam menyampaikan Sunnah Rasulullah di samping mereka langsung mengamalkan apa-apa yang datang dari al-Qur’an dan As-Sunnah. Ketiga : Ketelitian para Shahabat yang tinggi dalam menerima As-Sunnah, bahkan ada yang diminta untuk menjadi saksi. Keempat : Kesungguhan para ulama sepanjang sejarah dalam mengumpulkan As- Sunnah dan ketelitian mereka dalam menerimanya, serta hafalan mereka yang luar biasa matan dan sanadnya. Kelima : Pengetahuan mereka yang dalam tentang ihwal para perawi dan sikap kritis yang tinggi dalam menerima riwayat-riwayat mereka. Keenam : Penyusunan ilmu al-Jarh wat Ta’dil kriteria penerimaan dan penolakan hadits berdasarkan perawinya. Seperti al-Jarh wat Ta’dil oleh Ibnu Abi Hatim ar- Razy wafat th. 327 H. Ketujuh : Pengumpulan dan penyusunan ‘illat-‘illat cacat hadits dengan pembahasan yang lengkap. Seperti kitab ‘Ilal Imam ad-Daraquthni dan Imam at- Tirmidzi. Kedelapan : Penyusunan kitab-kitab untuk membe-dakan hadits-hadits maqbul yang dapat diterima dengan hadits mardud ditolak. Kesembilan : Penyusunan kaidah-kaidah yang menjelaskan kriteria penerimaan 4 atau penolakan suatu hadits dari berbagai segi. Kesepuluh : Penyusunan biografi para perawi hadits dengan pembahasan lengkap tentang berbagai hal yang berkaitan dengan kesamaran atau perbedaan atau persa- maan dalam nama dan kun-yah. Seperti kitab: 1. Tahdzibul Kamal fi Asma-ir Rijal oleh al-Hafizh Ja-maluddin Abul Hajjaj Yusuf bin ‘Abdirrahman al-Mizzi wafat th. 742 H 2. Tahdziib Tahdzibul Kamal oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi wafat 748 H 3. Mizanul I’tidaal 4 jilid oleh al-Hafizh Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahabi. 4. Tahdzibut Tahdzib 12 jilid oleh al-Hafizh Syihabud-din Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqa-lany wafat th. 752 H 5. Taqribut Tahdzib 2 jilid oleh al-Hafizh Syihabuddin Abul Fadhl Ahmad bin ‘Ali bin Hajar al-‘Asqalany 6. Al-Kuna wal Asma’ oleh Abu Bisyr Muhammad bin Ahmad bin Hammad bin Sa’d al-Anshary ad-Daulaby wafat th. 320 H, dan kitab-kitab lain, ratusan jilid kitab yang membahas tentang hal ihwal rawi. Dengan penjelasan di atas, kita tahu bahwa As-Sunnah yang berada di tangan kita telah dikumpulkan, dikodifikasi, disusun dan dipelihara keabsahannya dan keotentikannya oleh para ulama Islam hingga hari Kiamat, sebagaimana pertama kali mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Salah satu faktor terkuat yang memelihara keabsahan As-Sunnah adalah metode sanad dan kritik sanad. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi ummat ini 4 yang tidak ditemukan pada ummat-ummat lain. Kata ‘Abdullah Ibnul Mubarak wafat th. 181 H berkata: ó“Sanad itu merupakan bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, niscaya siapa saja akan berkata me-nurut apa yang dikehendakinya.” [6] Imam an-Nawawi wafat th. 676 H mengomentari perkataan di atas, bahwa bila sanad hadits itu dapat di-terima, bila tidak shahih maka harus ditinggalkan. Di- nyatakan hubungan hadits dengan sanadnya seperti an-tara hubungan hewan dengan kakinya.[7] Dalam buku ini, penulis terangkan kedudukan As-Sunnah sebagai pembelaan terhadap As-Sunnah yang selalu dirongrong oleh musuh-musuh Islam dan orang- orang kafir, munafik, ahlul bid’ah, orientalis, dan para pengekornya. Mudah- mudahan penjelasan dalam buku ini dapat difahami, diamalkan, dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga tulisan ini menjadi timbangan amal kebaikan penulis pada hari Kiamat. Semoga shalawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , keluarga, para Shahabatnya serta para pengikut beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tetap ittiba’ mengikuti Sunnahnya, hingga akhir zaman. 4 C.FUNGSI AS-SUNNAH DALAM ISLAM Dalam hubungannya dengan alqur’an, Hadits berfungsi sebagai penafsir pensyarah, dan penjelas dari ayat-ayat alqur’an tersebut. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadits dalam hubungan dengan Al qurán adalah sebagai berikut: 1. Bayan at-Tafsir, 2. Bayan at-Taqrir, 3. Bayan an-Nash. Bayan At-Tafsir adalah menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal, dan mustarak. Fungsi hadits dalam hal ini adalah memberikan perincian tafshil dan penafsiran terhadap ayat-ayat al qurán yang masih mujmal, memberikan taqyid ayat-ayat yang masih mutlaq dan memberikan takhshish ayat-ayat yang masih umum. Bayan At-taqrir atau sering juga disebut bayan at-Ta’kid dan bayan al isbat adalah hadits yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan al’quran. Dalam hal ini hadits hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan al qurán. Bayan An-nasakh dalam hal ini dapat dipahami bahwa hadits sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi al-qur’an yang datang kemudian. [7] 4

D. Sejarah Perkembangan Pengingkar Sunnah