2010
52
1. Patent subject matter merupakan wilayah-wilayah pengetahuan domain of
knowledge yang dapat dipatenkan, jika kriteria paten tentang hal-hal baru novelty, jelas nyata dan memiliki kegunaan usefulness ditemukan.
2. Patenting requirement merupakan tahap-tahap persyaratan dalam
permohonan paten sebelum diberikan kepada inovator.
3. The breadth of a patent merupakan suatu bentuk proteksi yang diberikan
kepada pemegang paten dalam menghadapi peniru imitator dan pengikut follow-on.
Serta faktor-faktor eksternal dari aspek ekonomi yang berpengaruh terhadap orientasi sebuah institusi untuk mendapatkan paten, seperti halnya:
1. Innovation is central to business strategy; Inovasi dan aktivitas litbang
sebagai sebuah sumber keunggulan kompetif menjadi sebuah pemahaman umum bagi pelaku-pelaku industri dari semua sektor.
2. Globalisation of innovation processes; Globalisasi membawa perubahan
pola investasi secara global. Hal ini juga berdampak pada berbagai aktivitas litbang yang mendekatkan diri ke lokasi pasar dan sumber-sumber iptek.
3. The expansion of ICT and the internet; Perkembangan information dan
communication technology ICT berkontribusi terhadap ketersediaan dan akses informasi terkait dengan sumber-sumber teknologi. Terkait dengan
inovasi-inovasi baru, informasi terkait produk-produk inovasi tersebut dapat dengan cepat di akses pasar. Pelaku industri yang inovatif
memerlukan sebuah instrumen untuk melindungi aktivitas mereka, dalam hal ini termasuk instrumen paten.
4. Greater collaboration. Semakin kompleksnya perkembangan teknologi
baik produk dan proses, meningkatnya peluang-peluang di area teknologi, pesatnya perubahan-perubahan teknologi, meningkatnya kompetisi,
tingginya biaya dan resiko dari aktivitas inovasi memaksa pelaku-pelaku industri untuk beraktivitas dalam lingkup jaringan kerja dan kolaborasi.
Di era globalisasi saat ini, kelima faktor tersebut lah yang berpengaruh dalam menstimulus aktivitas inovasi di level mikro.
METODOLOGI
Guna mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan, maka penelitian ini akan dilakukan dalam dua tahapan. Tahap pertama adalah melakukan analisa terhadap
kebijakan paten di Indonesia, dan tahap selanjutnya adalah melakukan identifikasi motif elemen SIN lembaga litbang, perguruan tinggi, dan industri dalam
mengapresiasi pemanfaatan paten dalam mendorong inovasi. Penjelasan tahapan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut Gambar 2:
1 Tahap pertama, analisa kebijakan paten di Indonesia. Penelitian akan
diawali dengan melakukan analisa terhadap kebijakan paten di Indonesia. Tahap ini ditujukan untuk menjawab tujuan pertama penelitian. Analisa
2010
53
terhadap kebijakan paten di Indonesia akan fokus mengkaji aspek-aspek kebijakan paten yang terkait dengan inovasi seperti yang diperlihatkan
Gambar 2. Analisa yang akan dilakukan bersumber pada kajian literatur dan diperkuat dengan data-data sekunder yang terkait dengan paten dan
inovasi di Indonesia. Guna memperdalam analisa, maka dilakukan juga analisa komparasi terhadap kebijakan paten di Indonesia dengan beberapa
negara lain yang kebijakan patennya tergolong sukses mendorong aktivitas inovasi. Tahap pertama ini akan menghasilkan gambaran mengenai
kebijakan paten yang ada di Indonesia, khususnya pada aspek-aspek yang masih masih menjadi kelemahan atau penghambat dibandingkan dengan
negara lain sehingga menyebabkan masih rendahnya produktivitas paten dan inovasi di Indonesia.
2 Tahap kedua, identifikasi motif elemen SIN lembaga litbang, perguruan tinggi, dan industri dalam mengapresiasi pemanfaatan
paten dalam mendorong inovasi. Tahap ini ditujukan untuk menjawab tujuan penelitian kedua. Pada tahap ini akan dilakukan studi kasus pada
ketiga pelaku SIN yaitu lembaga litbang, perguruan tinggi, dan industri. Studi kasus yang dilakukan ditujukan untuk mengidentifikasi motif elemen
SIN dalam mengapresiasi pemanfaatan paten dalam mendorong inovasi. selain akan memberikan gambaran apresiasi elemen SIN dalam
pemanfaatan paten untuk mendorong inovasinya, hasil dari tahap ini juga akan memberikan gambaran mengenai instrument lain selain paten yang
selama ini menjadi orientasi lembaga litbang, perguruan tinggi, dan industri dalam melakukan inovasi.
Hasil dari kedua tahapan tersebut selanjutnya akan dijadikan sebagai dasar penyusunan alternatif kebijakan paten di Indonesia guna meningkatkan inovasi.
Alternatif kebijakan akan disusun dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang belum ada atau masih lemah dalam kebijakan paten di Indonesia dibandingkan
dengan negara-negara yang tergolong sukses dalam kebijakan patennya sebagai benchmark. Alternatif kebijakan paten yang disusun juga akan mempertimbangkan
motif elemen SIN dalam mengapresiasi pemanfaatan paten yang teridentifikasi pada tahap dua. Dalam penyusunan alternatif kebijakan ini juga akan
mempertimbangkan instrumen selain paten yang selama ini menjadi orientasi dalam melakukan aktivitas inovasi. Dengan demikian, maka diharapkan alternatif
kebijakan paten yang akan dihasilkan dari penelitian ini akan menjadi saran kombinasi kebijakan yang tepat dan lebih baik guna meningkatkan peran paten
dalam mendorong aktivitas inovasi di Indonesia.
2010
54
Studi kasus di lembaga litbang, perguruan tinggi,
dan industri Kajian literatur
TAHAP 1: ANALISA KEBIJAKAN PATEN DI INDONESIA
Analisa komparasi antar negara
Analisa komparasi antara lembaga litbang,
perguruan tinggi, dan industri
PENYUSUNAN ALTERNATIF KEBIJAKAN PATEN DALAM MENDORONG AKTIVITAS
INOVASI DI INDONESIA TAHAP 2
IDENTIFIKASI MOTIF ELEMEN SIN DALAM MENGAPRESIASI PEMANFAATAN PATEN DALAM
MENDORONG INOVASI
Gambar 2. Tahapan Penelitian
Studi kasus dilakukan di lima elemen SIN lembaga litbang pemerintah, industri, dan perguruan tinggi untuk mengkaji aktivitas inovasi dan pandangan
masing-masing institusi tersebut terhadap paten dan instrumen appropriability lainnya. Institusi-institusi tersebut tersebut adalah PT. Sang Hyang Sri PT. SHS
dan PT. Biofarma dari elemen industri; Institut Teknologi Bandung ITB dan Institut Pertanian Bogor IPB dari elemen perguruan tinggi PT, serta Balai
Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Lembaga Riset Perkebunan Indonesia BPBPI, LRPI.
PEMBAHASAN Paten dan Aktivitas Inovasi di Industri Manufaktur di Indonesia
Terkait dengan hubungan aktivitas inovasi dan paten yang dihasilkan, suvei inovasi dilakukan Pappiptek di tahun 2009 terhadap 1500 industri manufaktur
berskala menengah dan besar yang mempunyai satu atau lebih produk inovatif dalam bentuk inovasi produk atau inovasi proses. Beberapa bagian dari hasil
survey tersebut antara lain ditunjukan dalam Gambar 1. Dari perusahaan yang di survei, 78,99 perusahaan memiliki mekanisme perlindungan terhadap aktivitas
dan produk inovasi yang dihasilkan, dan 21.01 perusahaan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki ataupun menerapkan mekanisme perlindungan terhadap
aktivitas inovasi yang dilakukan. Hasil ini survey ini menunjukkan bahwa sebagian perusahaan yang disurvei memahami berbagai bentuk instrument perlindungan
terhadap aktivitas inovasi.
2010
55
Sumber: Pappiptek, 2009
Gambar 3. Perbandingan Perusahan Manufaktur yang Memiliki Dengan Yang Tidak Memiliki Perlindungan Terhadap Produk Inovatifnya
Sementara itu, perbandingan penggunaan instrumen appropriability, formal maupun informal, menunjukkan bahwa penggunaan masing-masing instrumen
tersebut seimbang dari seluruh perusahaan yang disurvei Gambar 3. Penggunaan mekanisme formal paten, trademark, hak cipta, dan disain industri memiliki
komposisi 49.58 dari total perusahaan yang disurvei. Mekanisme informal seperti metode lead time, secrecy, dan complementary technology menempati porsi
50.42 dari seluruh perusahaan yang disurvei Gambar 4. Hal ini menunjukkan bervariasinya pemanfaatan instrumen perlindungan terhadap aktivitas inovasi
pada perusahaan-perusahaan yang disurvei.
Sumber: Pappiptek, 2009
Gambar 4. Perbandingan penggunaan mekanisme formal vs informal
2010
56
Sumber: Pappiptek, 2009
Gambar 5. Porsi penggunaan berbagai metode perlindungan
Porsi pengggunaan metode perlindungan terhadap inovasi dari 1500 perusahaan yang disurvei yang diperlihatkan Gambar 5 menunjukkan bahwa trade
mark dan secrecy memiliki porsi terbesar masing-masing 21. Instrumen paten hanya menempati urutan ke-tiga dengan 15. Metode informal seperti lead time,
complexity of design, dan confidentially agreement juga umum digunakan dan memiliki proporsi merata sebesar 9-15. Hal ini menunjukkan bahwa paten
bukan menjadi instrument utama dalam melindungi aktivitas inovasi di masing- masing perusahaan yang disurvei. Perusahaan akan melakukan pilihan instrumen
perlindungan terhadap inovasi sesuai dengan karakteristik bidang usaha dan produk perusahaan tersebut, serta merespon struktur, perilaku, dan pengaruh
pasar dalam konteks yang lebih besar.
Paten dan Inovasi: Studi Kasus di Enam Institusi Elemen SIN
Mengkaji kebijakan paten di Indonesia dengan kerangka yang dikembangkan OECD 2004 tersebut menghasilkan pemahaman bahwa Indonesia
memiliki kebijakan paten yang bagus seperti halnya yang terdapat di negara- negara maju dan mengakomodasi prinsip-prinsip internasional terkait dengan
pentingnya pengakuan dan perlindungan terhadap intellectual property right IPR. Kendala yang seringkali dihadapi oleh inventor relatif berkenaan dengan
elemen patenting requirement dimana proses administrasi paten masih dianggap memakan waktu. Elemen Patent Subject matter dan the Breadth of Patent tidak
menjadi sebuah permasalahan yang berpengaruh negatif terhadap aktivitas inovasi yang dilakukan pada masing-masing institusi. Namun demikian, terdapat
hal yang cukup penting untuk diperhatikan guna melakukan perbaikan dalam
2010
57
kebijakan paten di Indonesia yaitu masih terdapatnya beberapa kebijakan yang kontradiktif dengan kebijakan paten seperti dengan kebijakan penerimaan negara.
UU NO 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP dirasakan oleh lembaga riset dan perguruan tinggi negeri sangat tidak berpihak pada
semangat nasional untuk menggerakkan ekonomi dari inovasi. Peraturan tentang PNBP ini seakan-akan bernuansa ketidakpercayaan pengelolaan keuangan
pemerintah terhadap lembaga riset dan perguruan tinggi. Peraturan ini mengindikasikan kurang pedulinya pemerintah terhadap ide, proses, dan hasil
karya.
Sementara itu, dalam konteks kompetisi di era globalisasi, aktivitas inovasi pada elemen SIN di bidang bioteknologi tergolong cukup baik. Mereka telah
memahami benar pentingnya aktivitas litbang untuk menghasilkan inovasi yang akan menentukan posisi daya saing mereka di pasar global. Oleh sebab itu, para
elemen SIN tersebut telah melakukan berbagai upaya guna memperkuat aktivitas litbang dan kemampuannya dalam menghasilkan inovasi. Mereka pun telah secara
sadar untuk mengikuti perkembangan ICT yang terjadi saat ini guna mendukung aktivitas litbangnya. Guna memperkuat aktivitas litbang, mereka pun telah
berupaya untuk melakukan berbagai kolaborasi dan kerjasama dengan pihak eksternal. Para pelaku inovasi memahami benar pentingnya adanya kerjasama di
antara para elemen SIN untuk menghasilkan suatu inovasi yang bernilai ekonomi dan mempunyai manfaat bagi masyarakat luas. Sayangnya, keterkaitan antara
elemen SIN ini masih tergolong lemah. Salah satunya disebabkan oleh belum mampunya perguruan tinggi dalam memenuhi kebutuhan industri. Kerjasama
yang terjalin antara elemen SIN pun cenderung masih pada taraf nasional. Kondisi ini kontradiktif dengan tuntutan globalisasi yang mensyaratkan terjadinya
kolaborasi aktivitas litbang pada tingkat internasional.
Dengan demikian, bila dikaitkan dengan rendahnya paten di Indonesia, maka tidak dapat dikatakan bahwa hal tersebut terjadi karena masih rendahnya
aktivitas inovasi di level mikro. Studi kasus yang dilakukan cukup menjadi bukti bahwa para elemen SIN telah melalukan berbagai upaya untuk memperkuat
aktivitas litbang di institusi mereka. Hal ini mereka lakukan karena mereka memahami benar pentingnya inovasi bagi daya saing mereka di era globalisasi ini.
Dengan kata lain, rendahnya paten di Indonesia bukan disebabkan oleh masih rendahnya aktivitas inovasi di level mikro.
PENUTUP
Terlepas dari masih rendahnya permohonan paten di Indonesia, perkembangan UU Paten di Indonesia menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia
memahami pentingnya paten dan kebijakan paten dalam mendukung aktivitas ekonomi modern. UU paten di Indonesia sudah mengacu pada prinsip-prinsip
pengakuan IPR. Kekurangan memang masih dirasakan pada elemen Patenting Requirement dimana proses permohonan paten seringkali dirasakan memakan
waktu. Kebijakan paten di Indonesia juga masih dihadapkan dengan kebijakan lain yang kontradiktif seperti kebijakan Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP.
2010
58
Rendahnya permohonan dan patent granted Indonesia tidak dapat menjadi justifikasi bahwa aktivitas inovasi kita rendah. Paten hanya salah satu instrumen
dari berbagai instrumen appropriability baik formal maupun informal. Belajar dari pengalaman negara-negara maju, kebijakan paten merupakan salah satu kebijakan
dalam mendorong aktivitas litbang dan inovasi. Efektifitas kebijakan paten dalam mendorong inovasi di negara-negara maju didukung dengan harmonisasi
kebijakan paten dan kebijakan-kebijakan lain terkait dengan aktivitas litbang dalam perekonomian. Terkait dengan hal ini, ke depan pemerintah perlu
menjamin bekerjanya sistem inovasi nasional SIN dan elemen kebijakan paten menjadi salah satu pendukungnya.
Beberapa hal di bawah ini dirasakan perlu dilakukan untuk mengefektifkan kebijakan paten dalam mendukung SIN:
1 Pemerintah perlu melakukan pembenahan di manajemen pengelolaan paten di Indonesia. Proses administrasi paten yang ditangani oleh DJHKI,
yang merupakan sebuah lembaga pemerintah, perlu dilakukan pembenahan terutama terkait dengan tahapan dan jangka waktu proses administrasi
paten.
2 Perlunya perluasan aktivitas DJHKI sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam memberikan hak paten ke cakupan aktivitas yang lebih
luas meliputi aktivitas promosi dan komersialisasi paten kepada pihak industri. Selain sebagai lembaga yang memberikan sertifikasi dan hak paten
ke pemohon, DJHKI juga diharapkan menjadi sebuah lembaga yang mampu menjembatani pelaku-pelaku litbang dan perguruan tinggi ke pihak
industri.
3 Harmonisasi kebijakan paten dan kebijakan lain yang berpihak pada pelaku litbang dan perguruan tinggi perlu dilakukan. Kebijakan terkait PNBP perlu
diperbaharui dengan harapan kebijakan PNBP yang baru menjadi kebijakan PNBP yang berpihak pada pelaku litbang pemerintah dan perguruan tinggi.
Kebijakan PNBP yang mewadahi skema insentif sangat diperlukan dalam merangsang semangat dan intensitas aktivitas pelaku litbang pemerintah
dan perguruan tinggi untuk menghasilkan hasil-hasil riset yang memiliki nilai kemanfaatan yang tinggi bagi masyarakat dan perekonomian pada
umumnya.
Pembenahan kebijakan paten dengan melibatkan tiga hal tersebut di atas, diharapkan kebijakan paten di Indonesia benar-benar menjadi sebuah kebijakan
yang efektif dan mampu mendorong pertumbuhan aktivitas litbang dan inovasi di Indonesia.
2010
59
DAFTAR PUSTAKA
Aiman, S., Hakim, L., Simamora, M. April, 2004. National System Innovation of Indonesia: Journey and Challenges, the first ASIALIC International Conference
on Innovation
System and
Cluster, Bangkok.
[http:www.nstda.or.thnstcSeminarpaperpdf paper_
Syahrul 20Aimana.pdf]
Encaoua, D., D. Guellec and C. Martinez , The Economics of Patents: From
Natural Rights to Policy nstruments , Cahiers de la MSE, Collection EUREQua 2003.124.
Levin, R., Klevorik, A., Nelson, R.R. and Winter, S. 1987 Appropriating the Returns from Industrial Research and Development. Brookings Paper on Economic
Activity, 192, 783-831. Mowery, D. and Nelson, R. 1999 The Sources of Industrial Leadership. Cambridge:
Cambridge University Press. Nelson, R. 1994 The Coevolution of Technology, Industrial Structure and
Supporting Institutions. Industrial and Corporate Change, 31, 47 –63.
OECD 2004 Patents and Innovation: Trends and Policy Challenges, Organisation for Economic Co-operation and Development OECD.
Pavitt, K. 1984 Sectoral Patterns of Technical Change: Towards a Taxonomy and a Theory. Research Policy, 136, 343
–375. Porter, M. 1990 The Competitive Advantage of Nations, New York, Free Press.
Rosenberg, N. 1976 Perspectives on Technology. Cambridge University Press. Rosenberg, N. 1982 Inside the Black Box: Technology and Economics. Cambridge:
Cambridge University Press. Schumpeter, J. A. 1950. Capitalism, Socialism and Democracy. 3rd ed. New. York:
Harper. Shimp, T. A. 1991 Solow, R.M., 1957 Technical Change and the Aggregate Production Function. The
Review of Economics and Statistics, Vol. 39, No. 3. Aug., 1957, pp. 312-320. World Bank. 2007b World Development Indicators 2007.
2010
60
SAATNYA MENGGENJOT INOVASI DI INDUSTRI GULA NASIONAL
Trina Fizzanty, Erman Aminullah, Hadi Kardoyo, Sayim Dolant, Nur Laili, dan Purnama Alamsyah
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan studi pemodelan kestabilan dinamis penyediaan gula tebu sebagai salah satu pangan strategis. Penelitian ini dilakukan untuk
mendapatkan pemahaman yang menyeluruh tentang dinamika harga gula tebu di pasar domestik sehingga diperoleh hasil mengenai kompleksitas penyediaan dan
permintaan gula tebu di Indonesia serta dapat digunakan dalam menstrukturkan persoalan ketidakstabilan harga gula tebu di Indonesia dan memberikan
rekomendasi tindakan kebijakan policy action yang dapat menjamin kestabilan harga gula tebu di Indonesia dalam jangka panjang. Model generik awal
dibangun dari kerangka teori ekonomi dalam bentuk causal loops. Data awal yang terkumpul yakni 1995-2009 bersumber dari Dewan Gula Nasional mencakup
data produksi gula, konsumsi gula, stock, harga lelang gula. Dengan menggunakan data nasional gula tersebut telah dihasilkan model dinamis hasil
iterasi kedua. Model awal ini selanjutnya akan diverifikasi dengan: 1 menambahkan data gula nasional dengan series yang lebih panjang yakni dari
tahun 1969-2009; dan 2 menambahkan variabel-variabel utama lainnya kedalam model. Selain itu, lebih dari 25 informasi sekunder tentang industri gula
nasional telah terkumpul baik berupa jurnal nasional, proceeding, buku maupun thesis magister dan disertasi doktor di Indonesia maupun dari negara lain yang
berminat terhadap masalah gula nasional. Dalam penelitian ini dilakukan pula proses simulasi komputer dan kemudian validasi menggunakan metode
wawancara dan focus group discussion dengan sejumlah pemangku kepentingan terkait. Analisis kebijakan akan dibangun pada bagian akhir dari penelitian ini.
Kata kunci: pemodelan, dinamika sistem, kestabilan penyediaan, kestabilan harga, ketahanan pangan, gula tebu, Indonesia
2010
61
PENDAHULUAN
Gula tebu merupakan salah satu komoditas strategis pangan di Indonesia dan telah diakui sebagai kategori komoditas khusus di perundingan WTO
bersama-sama dengan beras, jagung dan kedelai Arifin 2008. Gula merupakan sumber energi kedua tertinggi bagi rumah tangga di Indonesia setelah beras
Rusastra et al. 2008. Seiring dengan kemajuan industri gula nasional dan kebutuhan gula yang semakin tinggi, pemerintah telah menetapkan berbagai
target terkait upaya mencapai swasembada gula pada tahun 2010. Pemerintah berusaha menerapkan kebijakan yang sangat protektif terhadap produsen gula
nasional, meskipun berdasarkan data tertentu kinerja industri ini diakui relatif masih rendah. Lebih jauh, industri gula tebu nasional belum efisien dan belum
mampu bersaing dengan para pesaingnya dari negara produsen lainnya di dunia Indraningsih Malian, 2007. Sementara itu kebutuhan gula tebu baik untuk
konsumsi rumah tangga maupun industri makanan dan minuman terus meningkat dari tahun ke tahun seiring bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan
pendapatan. Ketimpangan antara konsumsi dan kemampuan produksi gula nasional telah mendorong peningkatan impor gula. Semakin tingginya
ketergantungan pada impor, pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas pangan dalam negeri.
Sebagai langkah perlindungan produksi gula nasional, pemerintah menerapkan proteksi yang cukup besar terhadap industri gula nasional dengan
menerapkan tarif impor yang cukup tinggi. Akan tetapi kebijakan protektif tersebut belum diikuti oleh peningkatan efisiensi produsen gula lokal baik BUMN
maupun swasta. Kondisi ini menyebabkan harga gula di pasar domestik menjadi tinggi, sehingga merugikan konsumen rumah tangga dan industri makanan dan
minuman nasional.
Banyaknya intervensi pemerintah dan insentif bagi produsen lokal serta lemahnya kapasitas pemerintah dalam mengelola impor Rusastra et al. 2008
telah berpengaruh terhadap lemahnya kemampuan produksi lokal. Di era liberalisasi sejak tahun 1998, Bulog tidak lagi bertindak sebagai importir tunggal,
dan pasar domestik semakin terbuka luas bagi produk impor. Pembatasan importir dan penetapan tarif impor kemudian dilakukan pemerintah, namun
kebijakan ini tidak cukup kuat untuk mendorong industri gula lokal. Kemudian pemerintah mengelola impor sejak tahun 2002 melalui kebijakan yang lebih detil
terkait kualitas, jadwal impor dan jaminan harga. Kebijakan ini berhasil mendukung pengembangan industri gula di Indonesia dan turunnya impor
Rusastra et al. 2008. Namun demikian, apakah perilaku produksi gula lokal yang mulai meningkat akhir-akhir ini bisa berlanjut sustain di masa depan? Apakah
kebijakan pengelolaan impor juga mampu mengelola fluktuasi harga gula di pasar domestik dan apakah kebijakan ini masih relevan di masa depan? Informasi
tentang hubungan antara kebijakan pemerintah, khususnya kebijakan teknologi, dan fluktuasi harga gula di pasar domestik belum banyak diketahui.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1 memahami kompleksitas pasar komoditas gula tebu di Indonesia dan peran iptek dalam kestabilan penyediaan
tersebut; 2 menstrukturkan persoalan ketidakstabilan penyediaan dan permintaan gula tebu di Indonesia; 3 memecahkan persoalan struktural dalam
2010
62
ketidakstabilan penyediaan dan permintaan gula tebu Indonesia; dan 4 merekomendasikan tindakan kebijakan policy action yang dapat menjamin
kestabilan penyediaan gula di Indonesia dalam jangka panjang.
Tahapan Studi, Keluaran dan Metode
Tabel 1 Tahapan studi, keluaran dan metode
Tahapan Studi Keluaran
Metode Peenstrukturan
Model Penggambaran
Model hipotesis Wawancara
Kajian literature Data historis,
penyediaansupply, pasokan stock,
permintaan harga dan inovasi teknologi
Mendifinisikan indikator dan ukuran setiap variabel
Pengumpulan data sekunder historis minimal 20 tahun
Pola perilaku masalah setiap variabel dan
antarvariabel Teknik analitik dinamika sistem diagram
sebab akibat atau umpan balik Memahami pola perilaku dengan
menafsirkan:
1 Pola dan kecenderungan perilaku variabel utama penyediaan gula
2 Urutan faktor pebabproses if-then
feedback loops 3 Menyatukan indikator yang sama
coupling multiple feedback loops. Keabsahan struktur
model Iterasi pengujian keabsahan struktur
model dengan simulasi komputer Powersim dan diskusi dengan
stakeholder, struktur logis, konsistensi dimensi, kecocokan data empirik
dengan data simulasi.
Intervensi ModelAnalisis
Kebijakan Intervensi terhadap
model efek peningkatan inovasi
teknologi terhadap kestabilan penyediaan
dan permintaan gula tebu dalam pasar.
Modelling Powersim terhadap: Intervensi fungsional parameter dan
kombinasi parameter Intercensi struktural, perubahan
unsur atau hubungan yang membentuk struktur model.
Strategi Kebijakan: Kebijakan fungsional
atau struktural dalam lingkungan
tetapberubah Simulasi Komputer dengan kondisi:
model tetap, parameter berubah; model diubah dengan parameter tententu
2010
63
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan industri gula di Indonesia berawal dari masa kolonialisme Belanda. Pada masa itu gula pasir menjadi salah satu produk unggulan ekspor yang
sangat penting bagi Belanda. Pada zaman penjajahan Belanda, industri gula Indonesia mengalami masa kejayaan yaitu pada tahun 1930 dengan jumlah pabrik
gula yang beroperasi sebanyak 179 pabrik, produktivitas sekitar 14.80 dan rendemen 11-13.80. Kejayaan industri gula pada masa itu dipengaruhi oleh
kuatnya kontrol kekuasaan. Perkebunan tebu pada masa itu dikembangkan di lahan sawah penduduk dengan sistim sewa yang ditentukan penjajah Belanda.
Sistim tanam paksa diterapkan untuk mendukung aktivitas perkebunan serta dilakukan sistim prioritas dan pemanfaatan sistim irigasi untuk perkebunan tebu.
Simatupang et al. 1999 dan Soentoro et al 1999 menyebutkan kebijakan industri dan perdagangan gula pada masa penjajahan Belanda dibagi dalam empat periode:
a Periode 1830-1870 tanam paksa; b Periode 1870-1900 Liberalisasi pasar; c Periode 1900-1930 Pengembangan sistim sindikat, dan d Periode 1931-1942
Sistim kartel.
Perubahan masa kolonialisme dari Belanda ke Jepang pada tahun 1942 berdampak buruk terhadap turunnya aktivitas industri gula di Indonesia. Pabrik-
pabrik gula yang didirikan oleh penjajah Belanda mengalami kehancuran sebagai akibat dari berubahnya orientasi ekonomi penjajah Jepang. Akibat negatif lebih
jauh yang ditimbulkan yaitu turunnya gula sebagai komoditas ekspor unggulan Indonesia. Setelah masa kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada berbagai
masalah untuk merehabilitasi industri gula nasional.
Setelah masa kemerdekaan, kebijakan industri dan perdagangan gula di Indonesia terbagi dalam dua periode besar Simatupang et al, 1999, Soentoro et
al 1999 yaitu a Periode 1945-1965 terdiri dari periode Nasionalisasi Industri Gula Nasional 1945-1959 dan sistim ekonomi terpimpin 1959-1965 dan b
periode 1966-sekarang, terdiri dari Liberasi pemasaran 1966-1971, stabilisasi 1972-1997, Adaptasi terhadap Sistim Perdagangan Bebas 1993-2001; dan
pengendalian impor 2002-sekarang. Tahap pertama periodisasi kebijakan industri gula menggambarkan kebijakan pemerintah untuk mengembalikan status
dan sistim industri gula dari yang pada awalnya merupakan kepentingan asing, Belanda dalam hal ini, ke industri nasional. Nasionalisasi perusahan-perusahaan
gula yang sudah ada dan berbagai penyesuaian sistim industri gula dilakukan untuk membangkitkan kembali industri gula Indonesia. Periode kebijakan gula
tahap dua cenderung terkait dengan penyesuaian-penyesuan terkait dengan pasar dan stabilisasi pasar. Periodisasi kebijakan tahap dua ini lebih mencerminkan
penyesuaian terkait dengan kondisi dan kemampuan industri gula nasional yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Kebijakan-kebijakan
industri gula tahap dua ini dilakukan dengan melibatkan faktor pasar internasional terkait dengan kendala di industri gula nasional.
Studi tentang gula di Indonesia baik dari aspek ekonomi, teknis maupun kebijakan telah banyak dilakukan. Dwiandary 2009, Siagian 1999, Abidin
2000, Susila dan Sinaga 2005, Hadi dan Nuryanti 2005, Azahari 1983, Ernawati 1997 dan Aryani 2009 melakukan studi gula menggunakan analisis
2010
64
ekonometrik dan statistic, sedangkan Novitasari dan Budisantoso 2010 dan Khumairoh dan Budisantoso 2010 menggunakan pendekatan system dynamics.
Studi gula di Indonesia pada umumnya mengkaji obyek, aspek dan metode penelitian, baik tentang produksi, ekspor, impor, konsumsi dan pasar gula di dalam
maupun di luar negeri. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi pertimbangan dalam penyusunan model bagi industri gula Indonesia yang menggunakan System
Dynamics. POLA PENYEDIAAN GULA DI INDONESIA
Periode Penjajahan Belanda
Pola penyediaan gula tebu di Indonesia tidak terlepas dari sejarah dan periodesasi kebijakan industri gula di Indonesia. Perkembangan komoditi gula
tebu di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kebijakan industri dan perdagangan gula pada masa penjajahan Belanda. Penekanan kebijakan pergulaan di periode
tersebut terletak pada kebijakan menempatkan komoditi gula sebagai komoditi strategis dan memenuhi kebutuhan ekspor. Perubahan bentuk kebijakan dari satu
periode ke periode yang lain merupakan bentuk antisipasi politik dagang, dengan tujuan untuk mengantisipasi pergerakan politik internasional maupun kondisi
yang terjadi di pergerakan politik lokal di Indonesia.
Perkembangan lebih lanjut dari sistem tanam paksa adalah sistem liberalisasi pasar. Sistem ini mampu mendorong perkembangan jumlah pabrik
gula dan luas lahan tebu. Pada tahun 1875 terdapat 139 pabrik gula dan kemudian meningkat menjadi 151 unit pada tahun 1880. Perkembangan politik kolonialisasi
dan politik etis di Indonesia banyak berpengaruh terhadap kebijakan industri dan perdagangan gula Belanda di Indonesia. Kebijakan liberalisasi yang diterapkan
mampu memacu investasi pengembangan lahan tebu dan pendirian pabrik-pabrik gula oleh pelaku industri selain pemodal dari pihak Belanda. Kebijakan ini mampu
mendorong persaingan produksi dan perdagangan gula antara perusahaan- perusahaan gula Belanda dan Cina. Perkembangan lebih lanjut berkaitan dengan
terjadinya depresi ekonomi dunia yang berpengaruh buruk terhadap industri dan perdagangan gula di Indonesia. Depresi ekonomi tersebut mengakibatkan
banyaknya pabrik gula mengalami kebangkrutan. Produksi gula turun dari 2.9 juta ton di tahun 1930 ke 492.6 ribu ton di tahun 1995. Namun setelah pulihnya
ekonomi dunia, industri dan perdagangan gula di Indonesia mulai tumbuh kembali.
Periode Setelah Masa Penjajahan Belanda
Periode industri dan perdagangan gula di Indonesia setelah masa kemerdekaan terbagi menjadi dua tahap yaitu: a Periode pertama 1945-1965
sebagai tahap Nasionalisasi Industri gula dan sistem ekonomi terpimpin, dan b Periode kedua meliputi Liberalisasi Pemasaran 1966-1971, Stabilisasi 1972-
1993, Adaptasi terhadap Perdagangan Bebas 1993-2001, dan Pengendalian Impor 2002-sampai sekarang.
2010
65
POLA PERMINTAAN GULA DI INDONESIA
Konsumsi gula nasional dan harga menentukan volume gula yang harus diproduksi. Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi berpengaruh
positif terhadap tumbuhnya konsumsi gula untuk konsumsi penduduk maupun kebutuhan industri. Konsumsi gula per kapitapada tahun 1976 sekitar 1,8
kgtahun dan terus mengalami kenaikan sampai tahun 1996 sekitar 2,7 kgtahun. Konsumsi gula per kapita ini diduga akan terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun demikian, produksi gula dalam negeri ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional. Kebijakan industri dan
perdagangan gula Indonesia pasca periode demokrasi terpimpin 1945-1965 ditujukan untuk mengantisipasi ketidakmampuan industri gula nasional dalam
memenuhi kebutuhan gula dalam negeri. Akibatnya impor menjadi alternatif untuk memenuhi kekurangan stok. Periode 1995-1997 index dependency ratio gula
Indonesia sebesar 31,78, artinya 31,78 kebutuhan konsumsi gula nasional sangat tergantung dari impor. Index dependency ratio gula nasional terus
meningkat hingga mendekati 50 pada periode 1998-2004 Rusastra, Napitupulu dan Burgeois 2008: hal.27.
Impor gula nasional diyakini sangat berfluktuasi. Hal ini Periode 1972-2008 impor gula berfluktuasi dengan tren positif. Tahun 1972 misalnya, impor gula
nasional tercatat sebesar 6.123 ton dan melonjak ke 1.099.306 ton pada tahun 1996, dan tercatat 2.972.788 ton pada tahun 2007. Walaupun impor gula
cenderung meningkat, namun sangat fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh kebijakan pengendalian impor oleh pemerintah dengan mempertimbangkan aspek stok dan
harga gula di dalam negeri. KECENDERUNGAN PENYEDIAAN GULA DI INDONESIA
Aktivitas industri dan produksi gula Indonesia telah mengalami perubahan orientasi pemenuhan kebutuhan. Pada masa kolonialisasi Belanda, industri gula
Indonesia dimaksimalkan untuk orientasi ekspor dan mendukung kepentingan ekonomi Belanda. Penurunan kemampuan industri gula setelah masa penjajahan
mengubah orientasi produksi dari ekspor menuju orientasi produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Membuka pasar dalam negeri untuk
masuknya gula impor merupakan pilihan kebijakan bagi pemerintah Indonesia untuk menutupi kekurangan stok gula dalam negeri.
Kecenderungan menurunnya luas areal perkebunan tebu selama sepuluh tahun terakhir dapat menjadi ancaman bagi kemampuan produksi gula nasional,
jika tidak ada terobosan dalam peningkatan produktivitas. Industri gula tidak dapat dipungkiri sangat tergantung dari ketersediaan lahan sebagai input dalam
proses produksi. Produktivitas industri gula nasional baik dilihat dari produktivitas lahan, produktivitas tebu, maupun produktivitas pabrik relatif masih
rendah, sehingga perlu mendapat perhatian serius dari pihak-pihak terkait. Bila dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda, tingkat rendemen tebu dan
produktivitas batang tebu berkisar 12 dan sepuluh tahun terakhir tingkat randemen tebu menurunrata-rata sebesar 6-7. Hal ini menunjukkan kurang
intensifnya perhatian pemerintah terhadap kemajuan industri gula saat ini.
2010
66
Kecenderungan ini menunjukkan semakin kurangnya tingkat inovasi, adopsi teknologi, dan manajemen industri nasional. Bila permasalahan di atas diabaikan,
maka kedepan akan mengganggu kesinambungan industri gula nasional.
Pola penyediaan gula di masa lampau dibagi ke dalam dua periode besar yaitu pada masa penjajahan Belanda dan pada masa setelah kemerdekaan. .
Kebijakan industri gula berorientasi ekspor pada masa penjajahan Belanda berpengaruh positif terhadap kemampuan industri gula masa itu dan menjadikan
Indonesia sebagai salah satu produsen gula di dunia. Menurunnya kemampuan industri gula Indonesia setelah masa kemerdekaan telah mengubah Indonesia
sebagai negara pengekspor gula menjadi negara pengimpor gula. Perubahan orientasi kebijakan tersebut mengacu pada pentingnya penyediaan gula untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Permintaan gula dalam negeri cenderung meningkat seiring pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Meningkatnya angka konsumsi gula per
kapita ini diduga akan terus meningkat selaras dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, hal ini akan berimbas terhadapterjadinya kenaikan harga
gula pada masa mendatang.
KONSEP DASAR DALAM STRUKTUR MODEL
Konsep dasar struktur model gula tebu menggunakan teori mekanisme pasar, dimana permintaan dan penyediaan mempengaruhi perilaku pasar.
Perubahan harga memiliki pengaruh yang berbeda terhadap permintaan demand dan penyediaan supply. Kurva permintaan demand curve menjelaskan adanya
penurunan harga menyebabkan kenaikan jumlah permintaan produk dan adanya kenaikan harga menyebabkan penurunan jumlah produk yang diminta. Sedangkan
dalam kurva penyediaan supply curve, adanya kenaikan harga akan berpengaruh terhadap kenaikan jumlah produk yang diproduksi dan penurunan harga
menyebabkan penurunan barang produksi. Pada dasarnya, kenaikan harga merupakan stimulus untuk meningkatkan penyediaan. Peningkatan permintaan
dapat terjadi pada kenaikan harga akibat pergeseran kurva permintaan misalnya melalui promosi dan peningkatan penyediaan dapat terjadi pada penurunan
harga akibat pergeseran kurva penyediaan misalnya melalui stok penyangga.
Interaksi penyediaan, permintaan dan harga gula tebu menjadi dasar untuk menjelaskan ketidakstabilan dinamis penyediaan dan harga gula tebu.
Ketidakstabilan dinamis penyediaan dan harga gula tebu dimodelkan berkaitan dengan siklus mekanisme pasar yang melibatkan penyediaan dan permintaan.
2010
67
Stok
Per mintaan
Harga Kemampuan stok
Penyediaan -
- +
+ +
-
- -
Gambar 1 Struktur Umum Model Ketidakstabilan Dinamis Harga dan Penyediaan Gula Tebu
Selanjutnya, kestabilan dinamis penyediaan dan harga gula tebu dalam pasar dikembangkan berdasarkan konsep kendali terhadap fluktuasi sisi
penyediaan dan stok. Kestabilan perilaku penyediaan dalam model dapat diuji dengan menambahkan konsep inovasi teknologi, sedangkan kestabilan stok dalam
model dapat diuji dengan menambahkan konsep impor. Konsep inovasi teknologi berupa peningkatan produktivitas perkebunan yang terdiri dari peningkatan
produktivitas lahan tebu dan peningkatan produktivitas pabrik gula. Konsep impor diwakili dengan adanya keterbukaan peluang untuk melakukan impor gula tebu ke
Indonesia.
Struktur umum model kendali ketidakstabilan dinamis harga ditunjukkan pada gambar 2 di bawah ini
Stok
Permintaan
Harga Kemampuan stok
Penyediaan -
- +
+ +
-
- -
Impor
Inovasi teknologi +
+
Gambar 2 Struktur Umum Model Kendali Ketidakstabilan Dinamis Harga
2010
68
KEABSAHAN MODEL GULA TEBU
Pengembangan model gula tebu Indonesia telah menghasilkan tiga luaran output yaitu: i struktur model diagram sebab-akibat; ii struktur model diagram
arusmodel matematik dan iii hasil simulasi model dinamika sistem dengan Powersim®. Model gula tebu telah diuji validitasnya dengan melihat: i kebenaran
struktur logis dari model sebab-akibat; ii konsistensi dimensi model diagram arus model matematik, dan iii kecocokan data aktual dengan data simulasi.
Kebenaran struktur logis dari model gula tebu telah sesuai dengan teori umum dalam ekonomi, yaitu keseimbangan penyediaan dan permintaan gula tebu
akan menentukan
harga pasar.
Ketidakstabilan penyediaan
berakibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penyediaan yang tercermin dalam
perubahan harga. Dimensi unsur-unsur dalam model diagram arus model matematik telah diuji dan terbukti konsisten. Kecocokan fitting kurva data aktual
dengan kurva hasil simulasi baik untuk stok maupun harga hasil simulasi adalah sebagai berikut: i secara visual kurva hasil simulasi sudah menirukan pola
patterns dan kecenderungan trends data aktual; ii penyimpangan deviasi rata-rata lima tahunan dari kurva hasil simulasi terhadap data aktual relatif kecil
berkisar 5-10 dan hasil uji statistik progresif menunjukkan model yang dibangun sudah absah. Dengan demikian struktur model sudah memenuhi syarat
logis dan empiris. Logis karena memiliki penjelasan nalar yang berdasarkan landasan teoritis, dan empiris karena memiliki kecocokan dengan data empiris.
Kurva perbandingan data aktual dan simulasi dapat dilihat pada gambar 3.
tahun
data stok ribu ton
1
stok ribu ton
2
data harga Rp
3
harga Rp
4
1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 1,000
2,000 3,000
4,000 5,000
1 2
3 4 1
2 3 4
1 2
3 4 1 2
3 4 1
2 3 4
1 2
3 4 1
2 3
4 1
2 3
4 1
2 3
4
1 2 3
4
1 2 3
4
1 2
3 4
1 2
3 4
1 2 3
4
Gambar 3 Keabsahan Model: Nilai Simulasi versus Data Aktual tahun 1981-2009
2010
69
ANALISIS KEBIJAKAN Skenario Penyediaan dan Fluktuasi Harga Gula Tebu Tahun 2010-2020
Analisis kebijakan dilakukan untuk menentukan alternative kebijakan apa yang tepat untuk menyelesaikan masalah penyediaan dan fluktuasi harga gula tebu
di Indonesia. Alternatif kebijakan yang mungkin dilakukan disimulasikan dengan melakukan intervensi terhadap model gula. Simulasi dilakukan untuk mengetahui
perkiraan apa yang akan terjadi pada penyediaan dan fluktuasi harga gula tebu bila dilakukan intervensi pada model dalam jangka waktu tahun 2010
– 2020. Intervensi dilakukan dengan mengubah nilai parameter-parameter tertentu dalam
model. Simulasi berdasarkan intervensi terhadap parameter model telah
menghasilkan tiga skenario utama berikut: i skenario normal, yaitu perpanjangan keadaan sekarang di mana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang
di capai melalui impor dan tingkat harga gula tebu akan berfluktuasi dalam jangka waktu ke depan; ii skenario membaik, yaitu intervensi sisi penyediaan gula tebu
dimana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang dicapai melalui peningkatan produksi, dan tingkat harga berdasarkan produksi akan berfluktuasi
cenderung stabil; dan iii skenario terbaik, yaitu intervensi sisi penyediaan dimana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka panjang dicapai melalui
peningkatan produksi gula tebu serta inovasi teknologi, sehingga harga bergantung pada peningkatan penyediaan yang akan stabil dalam jangka panjang.
Tiga skenario ini didukung oleh hasil simulasi di bawah ini. Beberapa kemungkinan kejadian berkaitan dengan parameter efek harga terhadap produksi,
impor, faktor produktivitas lahan, faktor produktivitas pabrik dan variabel impor ke depan, diperoleh dari simulasi intervensi model yang sudah divalidasi.
Intervensi telah dilakukan pada tahun 2010 terhadap parameter-parameter dan variabel tersebut. Analisis skenario dilihat dengan perbandingan antara efek
intervensi dengan tanpa intervensi.
Skenario gula tebu tanpa intervensi adalah kecenderungan variabel penyediaan, penyaluran dan harga pasar dengan angka parameter tetap yaitu nilai
parameter tahun terakhir tahun 2009. Skenario penyediaan dan penyaluran gula tebu tanpa intervensi ada dalam gambar di bawah ini.
2010
70
Gambar 4 Skenario penyediaan dan penyaluran gula tebu 2010 – 2020 tanpa
intervensi Gambar 5 menunjukkan hasil simulasi dengan intervensi terhadap
parameter faktor produktivitas lahan dan faktor produktivitas pabrik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan intervensi tersebut maka stok penyediaan
gula tebu akan mengalami peningkatan dan cenderung stabil mulai tahun 2010. Harga gula tebu di pasar bergantung pada stok gula tebu yang diperkirakan stabil
mulai tahun 2010 sampai tahun 2020. Hal ini menunjukkan bahwa faktor produktivitas pabrik merupakan faktor pengungkit leverage point bagi kestabilan
penyediaan dan kestabilan harga gula tebu. Di sini terlihat pentingnya inovasi teknologi yang berperan meningkatkan faktor produktivitas pabrik gula. Selain itu
juga terlihat bahwa intervensi terhadap faktor produktivitas pabrik juga merupakan intervensi yang efeknya dapat langsung terlihat tanpa memerlukan
waktu yang lama.
Gambar 5 Skenario penyediaan dan penyaluran gula tebu 2010 – 2020
dengan intervensi faktor produktivitas lahan faktor produktivitas pabrik
2010
71
Gambar 6 menunjukkan hasil simulasi dengan intervensi terhadap parameter faktor produktivitas pabrik dan impor. Hasil simulasi menunjukkan
bahwa dengan intervensi tersebut maka stok penyediaan gula tebu akan mengalami peningkatan dan cenderung stabil mulai tahun 2010. Di sisi lain, harga
gula tebu di pasar bergantung pada stok gula tebu yang diperkirakan akan stabil mulai tahun 2010 karena tercapainya kestabilan stok gula tebu di pasar antara
tahun 2010 sampai tahun 2020. Perilaku hasil simulasi ini serupa dengan hasil simulasi pada gambar 5.5 yaitu hasil intervensi parameter faktor produktivitas
lahan dan faktor produktivitas pabrik.
Gambar 6 Skenario penyediaan dan penyaluran gula tebu 2010 – 2020
dengan intervensi faktor produktivitas pabrik impor
POLA KEBIJAKAN INDUSTRI GULA DUNIA
Bagian ini mengulas analisis kebijakan pasar gula yang mengkaji perbandingan kebijakan antara Indonesia dengan negara-negara produsen utama
gula dunia. Kebijakan ini meliputi tiga area yakni: 1 kebijakan dari sisi pasokan; 2 kebijakan dari sisi permintaan; dan 3 kebijakan dari sisi pasar. Analisis
dilakukan dengan membandingkan tiga area kebijakan tersebut di beberapa negara produsen gula selama satu dekade terakhir, yang kemudian dibandingkan
dengan corak kebijakan gula Indonesia saat ini. Hasil analisis perbandingan mendukung isi pilihan kebijakan yang diinginkan dan layak untuk mencapai
skenario terbaik dalam mencapai kestabilan harga gula Indonesia kedepan.
Negara-negara produsen gula yang dibahas dalam studi ini adalah Brasil, Cina, India, Thailand dan Australia karena merupakan negara produsen utama; dan
bisa dijadikan masukan dalam pengembangan industri gula Indonesia. Kelima negara tersebut menyumbang sekitar 80 terhadap total produksi gula dunia,
sehingga akan sangat mempengaruhi dinamika pasar gula dunia.
2010
72
Berbagai kebijakan pemerintah Indonesia dalam pergulaan belum efektif mendorong kemajuan industri gula nasional Rasyid dkk, 2008, sementara
Indonesia berkeinginan untuk berswasembada gula pada akhir tahun 2014. Oleh karena itu, analisis perbandingan kebijakan Indonesia dengan negara lain ini
sangat penting dilakukan. Pada bagian awal dibahas kebijakan dari sisi pasokan, kemudian kebijakan dari sisi permintaan dan kebijakan dari sisi pasar atau
perdagangan.
Kebijakan dari sisi pasokan
Kebijakan meningkatkan pasokan gula umumnya dilakukan melalui peningkatan kemampuan produksi yang umumnya melalui perluasan lahan
maupun perbaikan teknologi. Kebijakan produksi gula Indonesia bergeser dari kontrol yang ketat dari pemerintah terhadap mekanisme penguasaan lahan
tebu, kemudian bergeser ke kebijakan perluasan lahan melalui penataan kelembagaan petani tebu.
Kebijakan dari Sisi Permintaan
Permintaan gula dunia terus meningkat seiring dengan pertambahan populasi dunia dan berkembangnya industry makanan dan minuman. Saat ini dan
kedepan, konsumen gula langsung semakin memperhatikan kualitas gula P3GI, 2008. Semakin tingginya tingkat pendidikan dan semakin terbukanya
informasi global, serta kesadaran akan kesehatan dan keamanan pangan semakian tinggi, telah mendorong konsumen untuk lebih memperhatikan
kualitas gula. Disamping pemenuhan kebutuhan konsumen gula rumahtangga, permintaan industri makanan dan minuman terhadap kebutuhan gula juga
menjadi perhatian pemerintah di beberapa negara.
Kebijakan dari Sisi Pasar perdagangan
Kebijakan perdagangan merupakan kebijakan paling populer diantara negara- negara produsen gula dunia. Akibatnya, harga gula dunia maupun di tingkat
lokal terdistorsi oleh kebijakan-kebijakan perdagangan dalam negeri dan luar negeri di masing-masing negara produsen gula. Kebijakan perdagangan gula di
tingkat domestik umumnya dilakukan dengan mengelola kestabilan harga dengan pengelolaan cadangan gula domestik. Kebijakan yang bersifat
memberikan jaminan harga masih tetap dilakukan. Sebagai contoh negara India menerapkan harga minimum atau harga dasar untuk pembelian gula tebu dari
petani oleh pabrik penggiling tebu. Kebijakan semacam ini pernah pula diterapkan oleh pemerintah Cina di masa lalu, namun saat ini kebijakan
semacam itu sudah mulai ditinggalkan dan mengarah pada mekanisme pasar. Pemerintah Cina, melalui Ministry of Commerce and Finance dan NDRC,
mengelola cadangan gula nasional untuk menyesuaikan pergerakan harga pasar.
PILIHAN KEBIJAKAN GULA KE DEPAN
Mengacu pada hasil simulasi kebijakan pada bagian sebelumnya mengenai skenario penyediaan dan fluktuasi harga gula tebu Tahun 2010-2020 maka
kebijakan gula Indonesia ke depan pada skenario membaik, yaitu jika intervensi sisi penyediaan gula tebu dimana kestabilan penyediaan gula tebu dalam jangka
panjang dicapai melalui peningkatan produktivitas lahan atau peningkatan
2010
73
produktivitas lahan dan impor atau peningkatan produktivitas lahan, pabrik dan impor. jika skenario membaik ini berlaku maka tingkat harga berdasarkan
produksi akan berfluktuasi cenderung stabil.
Skenario terbaik Gambar 5 dalam mendukung kestabilan penyediaan dan harga adalah meningkatkan produktivitas lahan dan produktivitas pabrik. Kedua
langkah peningkatan produktivitas pabrik dan peningkatan produktivitas lahan tidak dapat dipisahkan karena terkait satu sama lain. Peningkatan produktivitas
lahan tebu harus diikuti dengan peningkatan produktivitas pabrik gula, begitu pula sebaliknya peningkatan produktivitas pabrik gula juga harus diikuti dengan
peningkatan produktivitas lahan tebu. Langkah-langkah peningkatan produktivitas lahan ini relatif lebih rasional dalam kondisi keterbatasan lahan tebu di Indonesia.
Langkah-langkah semacam ini juga ditempuh Cina dalam pengembangan industri gula mereka.
Langkah-langkah untuk memacu produktivitas lahan adalah diantaranya dengan: 1 penggunaan varietas tebu unggul dan tahan terhadap perubahan iklim
yang ekstrim; 2 penggunaan sarana produksi yang ramah lingkungan; 3 pengairan yang efektif; 4 teknologi pengolahan tanah yang efisien; 5 inovasi
teknologi pemanenan dan pengolahan tebu; 6 insentif anggaran terhadap produsen tebu dalam mengadopsi teknologi unggul; 7 pendampingan bagi
produsen tebu dalam penerapan teknologi unggul; 8 dukungan riset yang handal dalam pengembangan inovasi teknologi gula.
KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN
Pasar gula Indonesia merupakan sistem yang kompleks, ditunjukkan oleh interaksi antar unsur-unsurnya yakni sisi penyediaan, sisi permintaan, harga dan
parameter didalam struktur model. Faktor inovasi teknologi ada dalam kestabilan harga gula melalui sisi penyediaan yakni faktor produktivitas lahan dan faktor
produktivitas pabrik dalam produksi gula lokal. Beberapa hal yang signifikan menentukan ketidakstabilan penyediaan dan
permintaan gula di Indonesia adalah: 1 faktor produktivitas lahan
2 faktor produktivitas pabrik Permasalahan produktivitas lahan dan produktivitas pabrik dalam struktur
pasar gula mempengaruhi permintaan, penyediaan dan harga.
SARAN
Skenario terbaik adalah saat kestabilan harga dan stok gula tebu dalam jangka panjang dapat dicapai melalui intervensi pada produktivitas lahan dan
produktivitas pabrik. Kebijakan peningkatan produktivitas pabrik dapat dilakukan sama seperti pada skenario membaik berupa dukungan adopsi teknologi industri
gula nasional dan revitalisasi pabrik gula nasional. Kebijakan pengendalian stok dengan tetap melakukan impor namun dengan kembali memfungsikan peran
Bulog yang akan memperhatikan produksi domestik dalam melakukan impor. Namun peran Bulog disini bukan lagi sebagai badan yang memonopoli impor gula
2010
74
namun sebagai penyeimbang kekuatan swasta maupun BUMN. Kebijakan ini perlu didukung kebijakan kelembagaan seperti pencadangan lahan dan penguatan
kelompok produsen gula nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2000. Dampak Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri Gula Indonesia: Suatu Analisis Kebijakan. Disertasi Doktor, Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor Amang, B.
. Kebijaksanaan Pemasaran Gula di ndonesia . PT. Dharma Karsa Utama, Jakarta
Aminullah Fizzanty, . Dinamika Penyediaan Kedelai:.Peran Penting
ptek ,LP Press, Jakarta. Arifin, B.
. Ekonomi Swasembada Gula ndonesia . Economic Review, No. 211. Maret 2008.
Aryani, Desi. 2009. Integrasi Pasar Beras dan Gula di Thailand, Filipina dan Indonesia. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Azahari, D,. . Perdagangan Gula nternasional . Pusat Penelitian Agro
Ekonomi, Badan Litbang Pertanian Deptan, Bogor Dwiandary, Asri. 2009. Analisis Ekonomi Gula Rafinasi Indonesia, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ernawati. 1997. Kajian Keragaan Gula Indonesia dan Simulasi Dampak Kebijakan
Liberalisasi Perdagangan Gula Dunia. Thesis S2, Program Pascasarjana, IPB, Bogor
adi, P.U. S. Nuryanti. . Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi
Gula ndonesia . Jurnal Agro Ekonomi vol. no. Mei : -99. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan LITBANG Pertanian DEPTAN, Bogor
Khudori. . Gula Rasa Nasionalisme: Pergumulan Empat Abad ndustri Gula .
Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta Khumairoh, Lilik Wirjodirdjo, Budisantoso. 2010. Analisis Keterkaitan Pelaku
Pergulaan Nasional: Suatu Penghampiran Model Dinamika Sistem. Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
Naingolan, Kaman. Makalah Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global: http:www.agrimedia.mb.ipb.ac.id, akses: 20 Oktober 2010
Novitasari, Ratna Wirjodirdjo, Budisantoso. 2010. Mampukah Kebijakan Pergulaan Nasional Meningkatkan Perolehan Pendapatan Petani Tebu:
Sebuah Penghampiran Sistem. Jurusan Teknik Industri, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
2010
75
Rusastra, IW , Napitupulu, TA Bourgeois, R
, The Impact of Support for Imports on Food Security in Indonesia
, United Nations ESCAP, Bogor, Indonesia.
Siagian, V. . Analisis Efisiensi Biaya Produksi Gula di ndonesia: Pendekatan
Fungsi Biaya Multi-Input Multi- Output . Thesis Magister pada PPS PB
Simatupang et al. 1999.Gula dalam Kebijaksanaan Pangan Nasional: Analisis Historis. Dalam M. Husein Sawit, dkk penyunting Ekonomi Gula di
Indonesia. Penerbit IPB. Bogor. Soentoro et al. 1999. Usaha Tani dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa. Dalam
Ekonomi Gula di Indonesia. Penerbit IPB, Bogor. Susila, W dan B. Sinaga.
. Analisis Kebijakan ndustri Gula ndonesia . Jurnal Agro Ekonomi Vol. 23 No.1, hlm 50-53. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian Deptan, Bogor. Wayan R. Susila, dkk, 2001. Pengembangan Model Industri Gula Dengan
Pendekatan Model Ekonomi Politik. Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta . Laporan Riset
Unggulan Terpadu VIII Tahun 2001
2010
76
KETERKAITAN LINKAGE ANTAR AKADEMISI, INDUSTRI DAN PEMERINTAH DARI PERSPEKTIF TEORI KOMPLEKSITAS
Dudi Hidayat, Prakoso Bhairawa Putera, Dini Oktaviyanti, Muhammad Zulhamdani, dan Sri Mulatsih
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
ABSTRAK
Unsur-unsur Akademisi Bussines Government ABG dalam Sistem Inovasi Daerah penting untuk dilihat dari keterkaitan linkages antar lembaga litbang, industri dan
perguruan tinggi. Sebagai bentuk pola keterkaitan dalam inovasi daerah, maka linkages unsur-unsur ABG di daerah menjadi pokok utama penelitian ini. Penelitian
ini melihat pada tataran daerah dengan pendekatan kompleksitas. Pendekatan kompleksitas dipilih karena pendekatan ini melihat sebuah sistem yang berkembang
secara dinamik sebagai hasil dari proses perkembangan yang bersifat
pengorganisasian-sendiri self-organization. Sistem terdiri dari aktor atau agen semi-otonom yang saling berinteraksi dengan cara yang tidak dapat diprediksi
sedemikian sehingga menghasilkan pola sistem menyeluruh. Pola dari tiap aktor dalam ABG di Medan Sumatera Utara menunjukkan interaksi antar Lembaga
Penelitian Universitas Sumatera Utara LP USU dengan sektor industri relatif lebih dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan, walaupun hanya untuk bidang
penelitian tertentu. Sedangkan jalinan antara LP USU dengan Balitbang Sumatera Utara lebih banyak interaksi dalam kegiatan perencanaan strategis bagi
pembangunan daerah, penyusunan dokumen tata ruang wilayah, dan penelitian terhadap daya dukung kewilayahan. Interaksi antara Balitbangda Sumatera Utara
dengan Industri belum terjalin sebagaimana mestinya. Pola linkages di Surabaya Jawa Timur menunjukkan keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun dengan
intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan industri serta pemerintah dan industri belum kuat. ITS
mengembangkan unit inkubator untuk menciptakan terjadinya sinergi keterkaitan antara akademisi, industri dan pemerintah. Salah satu lembaga yang mereka bentuk
adalah clearing house. Clearing house ini untuk menjembatani jalinan kerjasama dan interaksi ABG dapat berjalan maksimal. Bahkan untuk memantau adanya interaksi
antara ketiganya, lembaga ini memanfaatkan media sebagai pendukung terciptanya jaringan ini. Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas ataupun
magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama lain. Sementara di Surakarta Jawa Tengah menunjukkan bahwa keterkaitan ketiga aktor
telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan pemerintah belum kuat, namun
interaksi antara pemerintah dengan industri dan juga industri dengan universitas telah terjalin cukup kuat. Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas
ataupun magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama lain.
Kata Kunci : Linkage, ABG, Kompleksitas, dan Self-Organization
2010
77
PENDAHULUAN
Pengalaman negara maju mengajarkan bahwa lembaga litbang memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu bangsa. Telah cukup banyak
kajian yang berupaya mengkaji bagaimana pengetahuan tersebut ditransfer ke pihak pengguna, terutama pihak industri. Meskipun tidak mudah menetapkan
secara kuantitatif besarnya manfaat ekonomi dari kegiatan lembaga litbang, banyak kajian yang memperkuat kesimpulan bahwa lembaga litbang pemerintah
telah memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui hasil penelitian yang diadopsi oleh sektor industri dan masyarakat.
Dudi Hidayat, dkk 2007 menjelaskan bahwa berbagai studi telah menunjukkan manfaat ekonomi dari kegiatan litbang dalam lembaga litbang
pemerintah adalah nyata dan signifikan. Manfaat ini melingkupi lima kategori: meningkatkan cadangan pengetahuan stock of knowledge, metodologi dan
instrumentasi baru, jaringan profesional, problem solving, dan penciptaan perusahaan baru.
Sejalan dengan konsep pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi iptek yang direncanakan di Indonesia dengan konsep ABG kompak. ABG
Academia, Bussiness dan Government merupakan kerjasama yang melibatkan Akademisi atau universitas, Bisnis atau industri dan pemerintah. Bentuk kerja
sama ini sering pula disebut sebagai triple helix.
Sebagai bentuk pola keterkaitan dalam inovasi daerah, maka linkages unsur-unsur ABG di daerah menjadi pokok utama penelitian ini. Hal ini didasarkan
pada adanya sejumlah penelitian yang berkesimpulan bahwa keterkaitan antar ABG
memiliki pola rendah intensitas kerjasama antar aktor, rendah keterkaitan dan tidak sinergistis sehingga tidak dapat berkontribusi signifikan pada
pertumbuhan ekonomi nasional . Penelitian ini sendiri melihat pada tataran daerah dengan pendekatan kompleksitas.
Pendekatan kompleksitas dipilih karena pendekatan ini melihat sebuah sistem yang berkembang secara dinamik sebagai hasil dari proses perkembangan
yang bersifat pengorganisasian-sendiri self-organization. Sistem terdiri dari aktor atau agen semi-otonom yang saling berinteraksi dengan cara yang tidak
dapat diprediksi sedemikian sehingga menghasilkan pola sistem menyeluruh.
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah keterkaitan linkages yang terjadi antar akademisi, industri
dan pemerintah dilihat dari teori kompleksitas. KERANGKA KONSEP
Keterkaitan linkages antar lembaga litbang, industri dan perguruan tinggi, atau yang sering disebut ABG Akademisi, Business dan Governement, dapat
dipandang sebagai sebuah sistem sosial yang terdiri dari berbagai aktor lembaga maupun individu yang saling berinteraksi menghasilkan pola pattern yang
membentuk atau menjadi karakteristik sistem. Pola dapat didefinisikan sebagai struktur koheren yang muncul sebagai hasil interaksi para aktor dalam sistem.
Dalam konteks ndonesia, keterkaitan antar ABG memiliki pola rendah intensitas
2010
78
kerjasama antar aktor, rendah keterkaitan dan tidak sinergistis sehingga tidak dapat berkontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi
nasional . Pendekatan Kompleksitas dalam Kajian Sistem
Dalam diskursus yang mengkaji sistem sosial atau sistem yang berkenaan dengan dan terdiri dari aktor manusia, baik di level organisasi maupun level inter-
organisasi, terdapat dua paradigma utama yang saling berbeda dalam memandang proses pembentukan dan perkembangan sebuah sistem sosial. Kedua paradigma
tersebut adalah paradigma mekanistik deterministik dan paradigma organistik dinamik McMillan, 2004; Olson dan Eoyang, 2001.
Dalam perkembangan berikutnya, sebagian ilmuwan sosial melihat bahwa sistem sosial adalah sebuah sistem yang kompleks complex, yang tidak tunduk
pada satu hukum yang jelas dan karenanya sulit untuk diprediksi perkembangannya. Sistem sosial sebagai sebuah sistem yang kompleks
digambarkan oleh Allen 2001 sebagaimana dikutip McMillan 2004 sebagai berikut: It is any system that has within itself a capacity to respond to its
environment in more than one way. This essentially means that it is not a mechanical system with a single trajectory, but has some internal possibilities of choice or
response that it can bring into play.
Sistem yang kompleks dicirikan oleh kemampuannya untuk merespon lingkungan melalui lebih dari satu cara. Dengan demikian, sistem yang kompleks
bukanlah sistem mekanik dengan hanya kemungkinan satu trayektori perkembangan yang ditentukan oleh satu hukum, tetapi merupakan sistem yang
memiliki kemampuan untuk memilih berbagai kemungkinan dalam merespon lingkungan. Pilihan sangat ditentukan oleh kondisi lokal dan pada saat itu yang
sangat sulit untuk diprediksi. Lebih jauh, Allen menegaskan bahwa hampir semua situasi merupakan sistem kompleks. Kelompok masyarakat, keluarga, organisasi
dan kota merupakan contoh dari sistem kompleks.
Secara lebih spesifik, kajia n ini menggunakan pendekatan Complex
Adaptive System . al ini dilakukan dengan argumentasi sebagai berikut.
Sistem sosial adalah sebuah sistem yang kompleks, yang tidak tunduk pada satu hukum yang jelas dan karenanya sulit untuk diprediksi perkembangannya.
Sistem sosial sebagai sebuah sistem yang kompleks digambarkan oleh Allen 2001 sebagaimana dikutip McMillan 2004 sebagai berikut : It is any system
that has within it self a capacity to respond to its environtment in more than one way. This essentially means that it is not a mechanical system with a single
trajectory, but has some internal possibilities of choice or response that in can bring into play
. Pada dasarnya complex adaptive systems merupakan pendekatan yang
berkaitan dengan pemahaman mengenai kompleksitas, kesulitan dan paradox yang dihadapi dalam dunia nyata. Ini merupakan dunia dari dynamic complex
systems yang terjadi secara spontan dan tidak terprediksi. Ini merupakan dunia dari sistem manusia, maka dari itulah dalam hal ini organisasi diartikan sebagai
sebuah sistem yang diartikan seperti awan badai yang berkumpul ataupun semut yang berkoloni.
2010
79
Dalam proses saling memengaruhi antara interaksi dengan pola sistem yang dihasilkannya seperti diuraikan di atas, terdapat dua konsep penting yang
membedakan pendekatan complex adaptive system dengan pendekatan deterministik: Pengorganisasian-sendiri self-organization dan Kemunculan
emergence.
Meskipun Complex Adaptive System CAS memiliki sifat dasar berupa pengorganisasian-sendiri, namun hal ini tidak berarti bahwa sistem tidak dapat
diintervensi. Baik sebagai pengamat maupun sebagai bagian dari sistem, kita dapat melakukan intervensi untuk mengarahkan agar interaksi antar aktor
menghasilkan pola yang koheren. Konsep Dasar dalam Pendekatan Kompleksitas
Salah satu kerangka pendekatan kompleksitas adalah sistem kompleks adaptif Complex adaptive system yang juga sering disingkat CAS. Sistem kompleks
adaptif adalah sebuah sistem yang berkembang secara dinamik sebagai hasil dari proses perkemba
ngan yang bersifat pengorganisasian-sendiri self-organization. Sistem terdiri dari aktor atau agen semi-otonom yang saling berinteraksi dengan
cara yang tidak dapat diprediksi sedemikian sehingga menghasilkan pola sistem menyeluruh.
Proses saling
mempengaruhi antara
interaksi dan
pola yang
ditimbulkannya yang bersifat timbal balik memutar dapat digambarkan sebagai berikut:
Agen atau
aktor semi-otonom
adalah komponen yang membangun sistem. Aktor
dari sistem dapat berupa individu, kelompok atau organisasi. Aktor bertindak dibawah
constraint tertentu, tapi cukup memiliki kebebasan
untuk menentukan
pilihan bagaimana mereka akan berinteraksi dengan
aktor lainnya atau dengan lingkungan. Aktor semi otonom
Oleh karena para aktor memiliki kebebasan untuk bertindak, perilaku mereka tidak dapat
diprediksi. Meskipun
kita dapat
mengantisipasi pola perilaku tertentu, tetapi kita tidak dapat menentukan dengan pasti
apa yang akan dilakukan oleh seorang aktor dalam situasi tertentu
Berinteraksi dengan cara yang tidak dapat diprediksi
2010
80 Interaksi
antar aktor
dalam sistem
menghasilkan pola yang menyeluruh dalam sistem. Ketika para aktor berinteraksi dengan
saling menghormati misalnya, maka kita akan melihat pola saling percaya dan
keterbukaan dalam mengeksplorasi ide baru.
... yang menghasilkan pola sistem Pola dalam sistem ini pada gilirannya
memengaruhi perilaku para aktor dalam sistem yang akan memperkuat pola sistem
atau membentuk pola baru. Misalnya, kalau pola yang muncul dalam sistem adalah pola
keterbukaan dan saling menghormati, maka hal ini memengaruhi cara interaksi para
aktor yang pada gilirannya interaksi ini akan memperkuat pola keterbukaan.
... kemudian pola ini memengaruhi interaksi antar aktor
Kerangka Model Untuk Mengintervensi CAS
Meskipun CAS memiliki sifat dasar berupa pengorganisasian-sendiri, namun hal ini tidak berarti bahwa sistem tidak dapat diintervensi. Baik sebagai
pengamat maupun sebagai bagian dari sistem, kita dapat melakukan intervensi untuk mengarahkan agar interaksi antar aktor menghasilkan pola yang koheren.
Meskipun kita tidak dapat mengontrol atau memprediksi proses pengorganisasian-diri yang terjadi dalam sistem, kita dapat mengintervensi sistem
dengan memahami kondisi yang menentukan arah, trayektori dan kecepatan proses pengorganisasian-diri. Menurut Olson dan Eoyang 2001, terdapat tiga hal
yang menentukan proses pengorganisasian-diri: wadah-pembatas Container, perbedaan signifikan Difference dan pertukaran yang mentransformasi
Transforming exchange.
Keberadaan ketiga kondisi ini mutlak diperlukan agar terjadi proses pengorganisasian-sendiri yang menghasilkan pola baru dalam sistem. Ketiganya
juga saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Kombinasi ketiga kondisi yang tepat dapat menghasilkan proses pengorganisasian-diri yang menghasilkan pola
yang koheren yang pada gilirannya akan menghasilkan kinerja sistem yang lebih baik. Kemungkinan hasil dari proses pengorganisasian-diri dapat digambarkan
dalam gambar berikut ini.
2010
81
Gambar 1 Proses Pengorganisasian Diri
METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini ialah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Penelitian kualitatif
berakar pada latar alamiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian, memanfaatkan metode kualitatif, mengandalkan analisis data secara
induktif, mengarahkan sasaran penelitiannya pada usaha menemukan teori dari dasar, bersifat deskriptif, lebih mementingkan proses daripada hasil, membatasi
studi dengan fokus, memiliki seperangkat kriteria untuk memeriksa keabsahan data, rancangan penelitiannya bersifat sementara, dan hasil penelitiannya
disepakati oleh kedua belah pihak: peneliti dan subjek penelitian Lexy J. Moleong, 1989:27.
Selanjutnya pada penelitian ini menggunakan pendekatan CAS dengan analisis Naratif. Narrative Methodology merupakan bentuk lain dari model
penelitian kualitatif. Dalam menjabarkan posisi penelitian naratif, beberapa artikel mengacu pada metodologi pengembangan narasi sebagai perluasan dari teori
sastra, atau yang timbul dari teori naratif, perluasan dari etnografi, atau bahkan berkembang dari psikoanalisis. Perbedaan teoritis ditarik dari pemikiran modernis
yang dibandingkan dengan dasar dan konsekuensi dari tren yang lebih baru Addleson, 2000. Beberapa penulis berpendapat bahwa baik pemikiran
postmodernis atau konstruksionisme sosial tidak hanya bertanggungjawab atas pemikiran modernis, tetapi juga untuk bentuk-bentuk dasar aplikasi dan
pemahamn naratif Gergen, 1998. Konstruksionisme social merupakan panggilan untuk landasan pengetahuan dalam konteks interaksi sosial. Dimana hal ini
menekankan pada sifat sosial dan wacana budaya narasi.
Dalam rangka mencapai tujuan dari penelitian ini, maka tahapan pengumpulan dan analisis data dijabarkan sebagai berikut. Tahap pertama dari
kegiatan penelitian ialah melakukan analisis teori kompleksitas. Tahap ini menginventarisir konsep dan kerangka model intervensi dari kompleksitas.
Penelusuran dokumen dan kajian literatur menjadi pokok dalam tahapan peneliitian ini. setelah itu pada tahap kedua, dilakukan pengkajian keterkaitan
antar lembaga litbang, industri, dan pemerintah. Data yang diperoleh dari tahapan
2010
82
ini adalah berbagai model keterkaitan antar lembaga litbang, industri, dan pemerintah yang diperoleh melalui pencarian dokumen dan data dari berbagai
literatur, penelusuran melalui internet, dan jurnal.
TAHAP 1
Analisis Teori Kompleksitas
Konsep Kompleksitas, Kerangka Model
Intervensi Kompleksitas
Pencarian dokumen dan data dari berbagai
literatur, internet, jurnal dll
Pada tahapan ini dilakukan pengkajian berbagai literatur tentang konsep
kompleksitas dan kerangka model intervensi kompleksitas.
TAHAP 2
Analisis keterkaitan lingkages antar
lembaga litbang, industri dan pemerintah
Model-model keterkaitan linkages
antar lembaga litbang, industri dan
pemerintah
Pencarian dokumen dan data dari berbagai
literatur, internet, jurnal dll
Tahapan ini telah mengkaji berbagai model- model keterkaitan linkages antar lembaga
litbang, industri dan pemerintah dengan pendekatan sistem inovasi daerah dari berbagai
literatur.
TAHAP 3
Kondisi riil implementasi keterkaitan linkages antar
lembaga litbang, industri dan pemerintah didaerah, Model
Keterkaitan linkages antar lembaga litbanga, industri dan
pemerintah Wawancara mendalam,
FGD, Data sekunder, Observasi
Analisis data pada tahapan ini dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan teori
kompleksitas terhadap keterkaitan linkages antar lembaga litbang, industri dan pemerintah.
DataInformasi yang Dibutuhkan
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
Gambar 2 Tahapan Kegiatan dan Alur Kerja Analisis Data Penelitian
Pemilihan atau penentuan sampel dalam penelitian ini lebih ditekankan dari unsur aktor dalam interaksi. Kelembagaan yang diteliti meliputi perguruan
tinggi, lembaga litbang pemerintah, dan industri.
PERGURUAN TINGGI Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara, Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Teknologi Surabaya, Inkubator Industri dan Bisnis Institut Teknologi Bandung Surabaya
Business Incubator Center - Institut Teknologi Surabaya,
LITBANG PEMERINTAH Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Sumatera Utara,
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Jawa Timur
INDUSTRI Kelompok Industri Penyedia Jasa Energi Listrik Sumatera Utara,
LOKASI Medan Sumatera Utara, Surakarta Jawa Tengah, Surabaya Jawa
Timur
HASIL PEMBAHASAN
Tiap-tiap lokasi penelitian, baik Medan Sumatera Utara, Surabaya Jawa Timur, dan Surakarta Jawa Tengah memiliki karakteristik yang berbeda satu
dengan yang lain. Karakteristik ini menjadi khasanah baru dalam memahami fenomena dari linkages di antara aktor-aktor pembangunan sistem inovasi.
Surakarta Jawa Tengah ialah daerah yang mulai bergeliat hubungan dan interaksi diantara pemerintah
– perguruan tinggi – industri. Hal ini berjalan seiringan dengan tumbuh berkembangnnya Solo Technopark atau yang disingkat
STP. Kehadiran STP tidak lepas dari komitmen yang kuat dari kepala daerah Kota
2010
83
Surakarta yang mengkedepankan iptek. Bahkan diakhir 2008 telah disusun Strategi Inovasi Daerah Kota Surakarta Tahun 2009
– 2013. Fenomena menarik juga terlihat di Medan Sumatera Utara, kehadiran
perkebunan terutama kelapa sawit banyak memberi andil dalam hubungan dan interaksi antar aktor. Namun, interaksi tersebut mengelompok disekitar pusat
penelitian kelapa sawit – industri kelapa sawit saja. Perguruan tinggi dan
pemerintah tidak terlalu memiliki pengaruh besar bahkan cenderung berjalan sendiri.
Kondisi lain juga terungkap dari lokasi Surabaya Jawa Timur. Kehadiran perguruan tinggi terkemuka di Indonesia memberikan dukungan bagi berjalannya
interaksi di antara aktor. Institut Teknologi Surabaya ITS di Jawa Timur berhasil menciptakan dan menghadirkan industri-industri baru melalui program Inkubator
Bisnis. Bahkan beberapa tenant telah tumbuh menjadi perusahaan berskala nasional.
Studi Kasus Medan Sumatera Utara
Hadirnya perkebunan di wilayah Sumatera Utara sejak zaman kolonial Belanda diawal 1900-an, membentuk daerah ini sebagai salah satu wilayah
komoditas unggulan perkebunan nusantara. Hal ini diindikasi dengan hadirnya Perusahaan Perkebunan Nasional atau yang lebih dikenal dengan PTPN.
Setidaknya ada dua perusahaan perkebunan nasional yang berpusat di Sumatera Utara yaitu PTPN III dan PTPN IV.
Pada sektor unggulan kelapa sawit berdasarkan penelitian M. Zoelhamdani, dkk 2009. Pelaku industri pada komoditi ini dibagi menjadi tiga kelompok yakni :
i sektor on farm perkebunan; ii sektor off farm. Sementara itu, lembaga penelitian dan pengembangan litbang kelapa sawit di Sumatra Utara dapat
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu i lembaga litbang milik pemerintah Pusat Penelitian Kelapa SawitPPKS dan Lembaga Riset Perkebunan IndonesiaLRPI,
ii lembaga litbang mandiri yang pada umumnya dimiliki oleh perusahaan perkebunan swasta asing, dan iii lembaga litbang yang merangkap sebagai
produsen bibit.
Dalam hal penyediaan bibit, wilayah Sumatra Utara memiliki lebih kurang sembilan produsen bibit sawit di antaranya adalah PPKS, PT Asian Agri, PT
Sucofindo, dan PT London Sumatra. Sedangkan untuk pemenuhan tenaga kerja terampil dan kerja sama kegiatan litbang, selain mengandalkan Universitas
Sumatra Utara USU, juga melibatkan beberapa perguruan tinggi unggulan yang berada di Pulau Jawa antara lain Institut Pertanian Bogor IPB, Insititut Teknologi
Bandung ITB, dan Universitas Negeri Sebelas Maret UNS.
2010
84
PPKS USU
IPB PTPN III
PTPN IV
: HUBUNGAN TIMBAL BALIK YANG CUKUP KUAT : HUBUNGAN TIMBAL BALIK YANG TIDAK TERLALU KUAT
: HUBUNGAN SEARAH YANG TIDAK KUAT
Sumber: M. Zulhamdani, 2009
Gambar 3. Gambaran Interaksi Antar Aktor dalam Penelitian Kelapa Sawit
Pada level selanjutnya, industri kelapa sawit di Sumatra Utara diperkuat beberapa institusi pendukung yang meliputi lembaga keuangan terutama bank,
lembaga pemerintah kantor pelabuhan, perpajakan, dll, dan asosiasi industri. Berdasarkan gambar 3 dapat dilihat bahwa diantara lima pelaku inovasi di
industri kelapa sawit Sumatera Utara telah terjadi suatu jalinan kerjasama inovasi. Pada level hubungan timbal balik yang kuat terjadi antara PPKS dengan PTPN IV.
Sedangkan hubungan timbal balik yang tidak terlalu kuat terjadi antara PTPN III dengan PTPN IV dan USU dan sebaliknya.
LP USU INDUSTRI
A n
al is
is A
m d
al
BALITBANG DRD
SUMUT
Proyek transmigrasi Proyek Asahan 1, 2, 3
PLTA Renun PLTUG Belawan
Jaringan Listrik NAD - SUMUT Indosat
Perkebunan Swasta Pertamina
Mobil Oil Peningkatan Nilai Tambah
Komoditi Produk Agribisnis
PEMDA SUMUT
Penyusunan tata ruang Perencanaan pembangunan
Daya dukung kewilayahan Rencana Strategis
Pengembangan SIDA 2011
KADIN
Gambar 4. Jalinan Linkages ABG Mas di Sumatera Utara
2010
85
LP USU INDUSTRI
Analisis Amdal
Peningkatan Nilai Tambah Komoditi Produk Agribisnis
LP USU INDUSTRI
An a
li si
s Am d
a l
Proyek transmigrasi Proyek Asahan 1, 2, 3
PLTA Renun PLTUG Belawan
Jaringan Listrik NAD - SUMUT Indosat
Perkebunan Swasta Pertamina
Mobil Oil
Peningkatan Nilai Tambah Komoditi Produk Agribisnis
Tahap Awal Interaksi
Jalinan Interaksi Saat Ini
Forum Komunikasi
Kelitbangan
Daerah
Dewan Riset Daerah
Gambar 4 Pola Interaksi Industri – Akademisi di Medan Sumatera Utara
Interaksi linkages tidak hanya terjalin pada sektor perkebunan saja. Pemerintah daerah melalui Balitbangda Sumatera Utara mengkoordinasikan setiap
penelitian baik yang dilakukan lembaga penelitian setingkat perguruan tinggi, maupun pusat penelitian perkebunan seperti Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Koordinasi tersebut terjalin dalam sebuah forum yang dinamakan Forum Komunikasi Kelitbangan Daerah.
LP USU
BALITBANG
LP USU
BALITBANG
Tahap Awal Interaksi Jalinan Interaksi Saat Ini
Forum Komunikasi
Kelitbangan
Daerah
Dewan Riset Daerah
Penyusunan tata ruang Perencanaan pembangunan
Daya dukung kewilayahan Rencana Strategis
Perencanaan pembangunan Rencana Strategis
PEMDA SUMUT
Gambar 5. Pola Interaksi Akademisi – Pemerintah di Medan Sumatera Utara
2010
86
Gambar 4 menunjukkan adanya pola dari tiap aktor dalam ABG. Interaksi antar Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara LP USU dengan sektor
industri relatif lebih dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan, walaupun hubungan ini hanya untuk bidang penelitian tertentu.
INDUSTRI BALITBANG
INDUSTRI BALITBANG
Tahap Awal Interaksi
Jalinan Interaksi Saat Ini
Forum Komunikasi
Kelitbangan
Daerah
Dewan Riset Daerah
PEMDA SUMUT
Pengembangan SIDA 2011
Gambar 6. Pola Interaksi Pemerintah - Industri di Medan Sumatera Utara
Studi Kasus Surabaya Jawa Timur Keterkaitan antara pemerintah dan universitas, pemerintah dan industri
serta universitas dan industri telah berkembang menjadi sebuah segitiga perhubungan diantara mereka. Linkages antara akademisi, industri dan
pemerintah telah tumbuh dari berbagai institusi yang berbeda-beda. Penjelasan berikut merupakan salah satu linkages antara akademisi, industri dan pemerintah
dengan lingkup pemerintah lokal yakni pemerintah provinsi Jawa Timur.
Keterkaitan atau linkages antara akademisi, bisnis dan pemerintah ABG yang terjadi di Jawa Timur terjadi melalui serangkaian proses hubungan antar
masing-masing aktor. Analisis terhadap interaksi antara ketiga aktor dijabarkan melalui interaksi bilateral antar aktor terlebih dahulu.
Interaksi bilateral antara pemerintah dan universitas di Jawa Timur terjadi melalui perantara Balitbang Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Keterkaitan kedua
aktor ini terjadi pada saat Badan Penelitian dan Pengembangan Pemprov Jatim mengadakan kegiatan penelitian yang bersifat teknis. Badan litbang mengadakan
kerjasama dengan pihak universitas terutama dalam hal kegiatan yang bersifat teknis. Sedangkan jika penelitian bersifat sosial dan kependudukan, kegiatan
penelitian hanya ditangani oleh badan litbang saja.
2010
87
Keterkaitan antara badan litbang dan universitas ITS dilakukan melalui proses pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah setempat. Salah satu hal yang
menjadi hubungan ini menjadi kuat adalah ketersediaan sumber daya uang yang dimiliki oleh pemerintah dan besarnya arus informasi dari universitas. Dari
penjabaran diatas dapat ditentukan bahwa pola interaksi yang terjadi antara pemerintah dan universitas terjadi dalam bentuk hubungan yang digambarkan
pada gambar berikut.
Badan Litbang Universitas
PEMPROV JATIM
Gambar 7. Pola Interaksi Pemerintah Badan Litbang dan ITS
Pola keterkaitan antara badan litbang dan industri dapat dilihat pada gambar 5.6 Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa belum ada kerjasama
yang terjadi antara badan litbang dengan industri, dengan kata lain kerjasama antara badan litbang dengan industri tidak terjalin. Namun badan litbang sendiri
sedang mengupayakan adanya kerjasama yang dapat dijalin dengan pihak industri.
Pemprov JATIM
Badan Litbang Industri
Gambar 8. Pola Interaksi Pemerintah Balitbang dan Industri
Pola interaksi dua aktor ini dapat digambarkan bahwa masih lemah, sebagaimana garis yang terlihat pada pola. Pola ini memberikan gambaran bahawa
unit inkubator menjadi fasilitator untuk menjembatani keterkaitan antara universitas dengan industri namun berfungsi lemah. Industri juga hanya merespon
unit inkubator sebagai tempat berusaha, tidak untuk mengembangkan dirinya.
2010
88 UNIT INKUBATOR
Universitas Industri
Gambar 9. Pola Interaksi Universitas ITS - Industri
Runtutan kejadian
pola interaksi
ketiga aktor
menggambarkan pembentukan pola interaksi atau keterkaitan akademisi, industri dan pemerintah.
Banyak hal yang mempengaruhi pembentukan keterkaitan antara ketiganya. Jalinan interaksi antara ketiga aktor dapat digambarkan dalam bagan alir berikut.
Pemprov Jatim
Badan Penelitian dan Pengembangan
Universitas Industri
Inkubator Bisnis ITS
Clearing House MEDIA
Gambar 10. Keterkaitan atau linkages antara Akademisi, Universitas dan Pemerintah di Jawa Timur
Gambar di atas menjelaskan bahwa keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada belum
menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan industri serta pemerintah dan industri belum kuat. Institut Teknologi Surabaya mengembangkan unit
inkubator untuk menciptakan terjadinya sinergi keterkaitan antara akademisi, industri dan pemerintah. Salah satu lembaga yang mereka bentuk adalah clearing
house. Clearing house ini untuk menjembatani jalinan kerjasama dan interaksi ABG
2010
89
dapat berjalan maksimal. Bahkan untuk memantau adanya interaksi antara ketiganya, lembaga ini memanfaatkan media sebagai pendukung terciptanya
jaringan ini.
Studi Kasus Surakarta Jawa Tengah
Keterkaitan antara akademisi, bisnis industri, dan government pemerintah telah berkembang menjadi suatu sinergi didalam penelitian dan
pengembangan. Linkages antara akademisi, industri dan pemerintah telah tumbuh dari berbagai institusi yang berbeda-beda. Linkeges tersebut menimbulkan efek
yang berbeda pada setiap unsure ABG yang ada dan juga lingkungan di sekitar ketiga unsur tersebut. Dalam penjelasan di bawah ini merupakan gambaran salah
satu linkages antara akademisi, industri dan pemerintah dengan lingkup pemerintah lokal yakni pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan pola
interaksi masing-masing aktor yang terjadi di Solo muncul berbagai dampak yang berakibat pada pola pengembangan industry dan juga lembaga litbang yang ada di
Solo. Jika disoroti ada berbagai permasalahan yang mendasar, diantaranya adalah jumlah lembaga litbang yang semakin berkurang.
Permasalahan lainnya yang menyebabkan lembaga penelitian di daerah Jawa Tengah menjadi sulit berkembang adalah berkurangnya dana yang
disediakan untuk penelitian, sedangkan dana pengembangan yang ditingkatkan. Dan terkadang yang menyulitkan adalah ketika outputnya harus model.
Kajian hubungan antara aktor melalui pendekatan complex adaptive system meliputi wadah pembatas, pembeda dan sarana transformasi. Jika dilihat
lebih dalam bahwa wadah pembatas dalam hubungan antar aktor ini adalah kebutuhan kegiatan penelitian, dan juga institusi masing-masing aktor yang
memiliki kesamaan identitas. Kesamaan identitas yakni memiliki sumber daya yang mempunyai kemampuan untuk melakukan kegiatan penelitian. Bapeda dan
universitas merupakan sebuah lembaga institusi yang kuat dalam menjalankan tugas dan fungsi mereka sebagai pengembangan ilmu pengetahuan, sedangkan
industry sebagai penghasil produk.
Keterkaitan antara BAPPEDA ataupun badan litbang dan universitas UMS dan UNS masih belum optimal. Antara universitas dan pemerintah masih
mempunyai batasan ataupun tembok yang sangat kuat. Pemerintah dengan tembok birokrasi yang cukup tebal terkadang membuat informasi antar
universitas dan pemerintah menjadi berjalan tidak efektif, dengan kata lain komunikasi yang berjalan tidak dua arah, bentuk hubungan yang ada digambarkan
pada gambar berikut.
UNIVERSITAS PEMERINTAH
2010
90
Gambar 11. Pola Interaksi Pemerintah dan Universitas
Pola keterkaitan antara badan litbang dan industri dapat dilihat pada gambar 12 Pada gambar tersebut memperlihatkan bahwa pemerintah telah
berusaha untuk berinteraksi dengan industri, dan umpan balik yang diterima pun sudah cukup baik.
Gambar 12 Pola Interaksi Pemerintah dan Industri
Pola interaksi lain yang terbentuk sebelum menuju adanya keterkaitan atau linkages akademisi, bisnis dan pemerintah, adalah pola hubungan antara
universitas dan industri. Pola interaksi antara keduanya di gambarkan cukup menarik.
INDUSTRI AKADEMISI
Jalinan Interaksi Kuat dan Saling Membutuhkan
Gambar 13 Pola Interaksi Universitas - Industri
Runtutan kejadian
pola interaksi
ketiga aktor
menggambarkan pembentukan pola interaksi akademisi, industri dan pemerintah. Banyak hal yang
mempengaruhi pembentukan keterkaitan antara ketiganya. Jalinan interaksi antara ketiga aktor digambarkan dalam bagan berikut.
2010
91
INDUSTRI AKADEMISI
PEMPROV JAWA TENGAH
BALITBANG JATENG
BAPEDA
SOLO TECHOPARK
Gambar 14. Keterkaitan atau linkages antara Akademisi, Universitas dan Pemerintah di Jawa Tengah
Gambar di atas menjelaskan bahwa keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada belum menunjukkan
bahwa interaksi antara universitas dan pemerintah belum kuat, namun interaksi antara pemerintah dengan industri dan juga industri dengan universitas telah
terjalin cukup kuat. PENUTUP
Pola dari tiap aktor dalam ABG di Medan Sumatera Utara menunjukkan interaksi antar Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara LP USU dengan
sektor industri relatif lebih dinamis dan bergerak membentuk pola keberlanjutan, walaupun hubungan ini hanya untuk bidang penelitian tertentu
– khususnya pada analisis dampak lingkungan amdal bagi perusahaan dan peningkatan nilai
tambah komoditi produk agribisnis. Sedangkan jalinan antara LP USU dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Balitbangda Sumatera Utara lebih
banyak interaksi dalam kegiatan perencanaan strategis bagi pembangunan daerah, penyusunan dokumen tata ruang wilayah, dan penelitian terhadap daya dukung
kewilayahan. Interaksi antara Balitbangda Sumatera Utara dengan Industri belum terjalin sebagaimana mestinya.
Pola linkages di Surabaya Jawa Timur menunjukkan keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan yang ada
belum menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan industri serta pemerintah dan industri belum kuat. Institut Teknologi Surabaya mengembangkan
unit inkubator untuk menciptakan terjadinya sinergi keterkaitan antara akademisi, industri dan pemerintah. Salah satu lembaga yang mereka bentuk adalah clearing
house. Clearing house ini untuk menjembatani jalinan kerjasama dan interaksi ABG dapat berjalan maksimal. Bahkan untuk memantau adanya interaksi antara
ketiganya, lembaga ini memanfaatkan media sebagai pendukung terciptanya jaringan ini.
2010
92
Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas ataupun magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama lain.
Kegiatan penelitian yang dilakukan belum menjadi daya tarik bagi industri untuk menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan industri.
Kegiatan penelitian diciptakan berdasarkan keinginan masing-masing aktor di lembaga penelitian tidak berdasarkan keinginan ataupun kemauan industri.
Sebaliknya industri tidak mempunyai kemauan untuk mendapatkan hasil litbang.
Sementara di Surakarta Jawa Tengah menunjukkan bahwa keterkaitan ketiga aktor telah terjalin namun dengan intensitas yang berbeda-beda. Jaringan
yang ada belum menunjukkan bahwa interaksi antara universitas dan pemerintah belum kuat, namun interaksi antara pemerintah dengan industri dan juga industry
dengan universitas telah terjalin cukup kuat.
Pola keterkaitan disebabkan tidak adanya wadah pembatas ataupun magnet yang menyebabkan masing-masing aktor saling membutuhkan satu sama
lain. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh universitas belum mendapat respon positif dari pemerintah dikarenakan komunikasi yang ada belum berjalan efektif.
Sinergi yang baik atau rantai kinerja harus terjadi antara perguruan tinggi yang menghasilkan sumber daya manusia dan teknologi, pengusaha atau
industriawan yang memberdayakan secara optimal sumberdaya manusia dan teknologi, pemerintah yang memfasilitasi dengan perundangan, peraturan serta
infrastrukturnya, masyarakat yang kreatif dan dengan komitmen yang tinggi terhadap kemajuan industri sendiri. Dengan sinergi semacam itu yang disebut
dengan sinergi ABG sangat patut dikembangkan secara solid untuk mengatur ketertinggalan dengan bangsa lain. Dengan terbentuknya sinergi tersebut maka
industri yang berbasis riset dan sumberdaya yang tangguh akan terbentuk dan memiliki keunggulan komparatif.
Konsep ekonomi dan inovasi harus menjadi satu kesatuan sehingga dapat bersinergi, hal ini penting bagi daerah. Ada baiknya wadah yang muncul bukan
hanya wadah yang ada sekarang, tetapi ada wadah lain yang memang disesuaikan dengan kepentingan. Peran penting dari lembaga-lembaga riset pun menjadi salah
satu faktor yang bisa dipakai untuk mengintervensi munculnya wadah-wadah baru di daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Blaikie, N. 2000. Designing Social Research. Blackwell Publisher Inc. Hidayat, Dudi dkk. 2007. Studi Faktor Pendorong dan Penghambat Kerjasama Lembaga
Litbang dan Industri Menurut Perspektif Industri. LIPI : Jakarta. Olson, E.E. dan Eoyang, G.H. 2001. Facilitating Organization Change: Lessons from
Complexity Science. San Francisco: Jossey-Bass. Mitchell, M and Egudo, M. 2003. A Review of Narrative Methodology. Australia : Defence
Science and Technology Organisation
2010
93 McMillan, E. 2004. Complexity, Organizations and Change. New York: Routledge.
Taufik, Tatang, A, 2005. Pengembangan Sistem Inovasi Daerah : Perspektif Kebijakan, Pusat Pengkajian Kebijakan
Teknologi Pengembangan Unggulan Daerah
dan Peningkatan Kapasitas Masyarakat, Deputi Bidang Pengkajian Kebijakan
Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, bekerjasama dengan Deputi Pengembangan Sipteknas, Kementrian Riset dan Teknologi, Jakarta
Catatan : Makalah ini disusun untuk kepentingan desimenasi hasil penelitian dengan judul
Analisis Keterkaitan Linkage Antar Akademisi, Industri dan Pemerintah: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Dari Perspekstif Teori Kompleksitas . Penelitian ini merupakan insentif riset terapan
dari bidang fokus Dinamika Sosial dari Program Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI Tahun 2010.
2010
94
PROSES INOVASI DAN MEKANISME INSENTIF DI INDUSTRI KREATIF: STUDI KASUS DI BEBERAPA PERUSAHAAN
PIRANTI LUNAK
Trina Fizzanty, Radot Manalu, Nur Laili, Agus Santoso
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
ABSTRAK
Kontribusi Industri piranti lunak terhadap perekonomian nasional relatif masih rendah, sebesar rata-rata 0,1, dibandingkan kelompok industri lainnya
seperti Kerajinan 1,9 dan Fesyen 3,7. Namun demikian, dalam kurun waktu 2003-2008 pertumbuhan PDB dan penyerapan tenaga kerja industri ini
menunjukkan peningkatan dan tertinggi dibandingkan dengan subsektor industri kreatif lainnya yaitu pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sebesar
rata-rata 5,6 dan pertumbuhan PDBnya sebesar rata-rata 16,9. dan industri ini dapat menjadi teknologi pengungkit enabling technology, sehingga industri
lain dapat berkembang lebih pesat. Penelitian dilakukan di perusahahan piranti lunak berskala mikro, kecil, dan menengah UMKM yang berbadan hukum dan
dibatasi pada industri kreatif piranti lunak yang berada di Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk a Menganalisis karakteristik
dan proses inovasi di perusahaan piranti lunak lokal; b Mengkaji jenis-jenis insentif yang dapat mendorong interaksi perusahaan dengan pengguna untuk
menghasilkan inovasi piranti lunak. Dalam proses inovasi piranti lunak, difokuskan terhadap a Bagaimana karakteristik dan proses inovasi di
perusahaan pengembang piranti lunak lokal? b Jenis insentif apa ekonomi maupun non ekonomi yang mendorong munculnya inovasi di perusahaan
piranti lunak lokal?. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan menggunakan pendekatan Complex Adaptive Systems CAS. Analisis data secara
historis menggunakan pendekatan naratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1 Proses inovasi di dalam perusahaan piranti lunak merupakan hasil
interaksi internal, yakni pelaku dalam perusahaan pengembang yang terdiri dari beragam keahlian dan talenta dengan pelaku eksternal, khususnya
pengguna dan komunitas pengembang piranti lunak. Tingkat intensitas hubungan ini dalam berinovasi relatif kuat ketika perusahaan dalam tahap
perusahaan pemula start-up companies dan semakin berkurang intensitasnya dengan semakin meningkatnya kapasitas penyerapan absorptive capacity dan
akumulasi knowledge serta kompetensi perusahaan pengembang. Karakteristik pengguna mendorong tingkat keragaman inovasi yang dihasilkan. Inovasi akan
lebih beragam ketika perusahaan melayani klien dari organisasi yang dinamis dan sangat memperhatikan efisiensi dan efektivitas penggunaan. Sebaliknya,
inovasi akan semakin kurang beragam ketika perusahaan melayani organisasi yang kurang dinamis, kurang fleksibel, relatif dominan, dan kurang
memperhatikan efisiensi dan efektivitas produk terhadap kebutuhannya. 2 Insentif inovasi di perusahaan pengembang lokal sangat dinamis, tergantung
2010
95 pada tingkat kemapanan perusahaan dan interaksi antara perusahaan
pengembang dengan pengguna. Insentif inovasi dirasakan oleh persahaan pengembang maupun pengguna piranti lunak. Saling percaya trust adalah
insentif utama bagi perusahaan pengembang dan pengguna untuk berinteraksi. Insentif bagi pengguna piranti lunak diantaranya efisiensi harga, produk sesuai
kebutuhan, pelayanan, referensi proyek, dan pelatihan dari pengembang. Jenis Insentif internal perusahaan adalah sama untuk semua tahap perkembangan
berupa profesional bonus, kesempatan pelatihan, referensi proyek, dan penghargaan dari pelanggan. Sedangkan insentif eksternal dari luar perusahaan
berbeda untuk tiap kelompok perusahaan. Jenis insentif eksternal yang khusus pada industri pemula berupa perlindungan HKI, administrasi paten dan
kesempatan magang internship di organisasi pemerintah. Jenis insentif eksternal yang khusus pada industri dengan dukungan mitra adalah jaminan
pembiayaan, insentif pajak, pengukuran aset oleh bank, penghargaan dari mitra bisnis. Jenis insentif eksternal yang khusus pada industri dengan jaringan global
yaitu insentif pajak dan dukungan promosi dari pemerintah.
Kata Kunci: Industri Kreatif, Industri Piranti Lunak, Proses Inovasi, Karakteristik, Insentif Inovasi, Complex Adaptive Systems
CAS.
PENDAHULUAN
Pengembangan industri kreatif diyakini berpotensi cukup besar menjadi salah satu peluang usaha untuk mendukung pertumbuhan perekonomian nasional
dalam lingkungan teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang pesat.
Kontribusi industri kreatif terhadap PDB cukup signifikan terhadap pendapatan nasional maupun penyerapan tenaga kerja. Selama kurun waktu 2002-
2008 walaupun sumbangan PDB industri ini menunjukkan sedikit penurunan, namun rata-rata kontribusi PDB industri kreatif masih diatas 7 persen, yakni 7,80
per tahun terhadap PDB nasional. Kecenderungan peningkatan yang positif ini juga tampak dari penyerapan tenaga kerjanya. Pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja industri kreatif rata-rata sebesar 7,7 per tahun.
Khususnya kontribusi Industri piranti lunak terhadap perekonomian nasional relatif masih rendah, namun demikian industri ini dapat menjadi
teknologi pengungkit enabling technology, kreativitas dan efisiensi sektor lainnya, sehingga industri lain dapat berkembang lebih pesat. Dalam kurun waktu
2002-2008 kontribusi industri piranti lunak terhadap PDB nasional relatif rendah yaitu hanya sebesar rata-rata 0,1, dibandingkan kelompok industri lainnya
seperti Kerajinan 1,9 dan Fesyen 3,7. Demikian juga kontribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja nasional hanya rata-rata 0,02. Namun
demikian, selama kurun waktu 2003-2008 pertumbuhan PDB dan penyerapan tenaga kerja industri ini menunjukkan peningkatan dan tertinggi dibandingkan
dengan subsektor industri kreatif lainnya yaitu pertumbuhan penyerapan tenaga kerja sebesar rata-rata 5,6 dan pertumbuhan PDBnya sebesar rata-rata 16,9.
2010
96
Penelitian dilakukan di perusahahan piranti lunak berskala kecil, menengah dan mikro yang berbadan hukum dan di batasi pada industri kreatif piranti lunak
yang berada di Jawa Barat, Jakarta dan sekitarnya. Penelitian ini bertujuan untuk a Menganalisis karakteristik dan proses inovasi di perusahaan piranti lunak
lokal; b Mengkaji jenis-jenis insentif yang dapat mendorong interaksi perusahaan dengan pengguna untuk menghasilkan inovasi piranti lunak. Dalam proses inovasi
piranti lunak, difokuskan terhadap a Bagaimana karakteristik dan proses inovasi di perusahaan pengembang piranti lunak lokal? b Jenis insentif apa ekonomi
maupun non ekonomi yang mendorong munculnya inovasi di perusahaan piranti lunak lokal?.
KERANGKA BERPIKIR
Studi tentang bagaimana industri piranti lunak ini melakukan inovasi menjadi sesuatu yang strategis untuk dipahami lebih mendalam hingga
memberikan rekomendasi kebijakan yang lebih efektif bagi industri kreatif piranti lunak di Indonesia. Studi tentang proses inovasi industri kreatif di negara maju
telah banyak dilakukan Potts and Morrison 2009; Potts 2009; Potts et,al 2008; Potts 2007; Tether 2003 dan ditemukan bahwa inovasi di industri kreatif
merupakan interaksi antar perusahaan dengan jejaring sosialnya.
Menurut Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai 2004, inovasi dapat dianggap sebagai sebuah Complex Adaptive Systems CAS karena adanya kesamaan antara
proses inovasi dengan proses biologi. Berdasarkan hal tersebut, Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai 2004 mengajukan konsep benih inovasi innovation seed
yang merupakan ide yang belum matang atau dalam bentuk teknologi pada tahap awal menuju inovasi seperti ditunjukkan di tabel 2.1 berikut ini.
Tabel-2.1 Tipe-tipe Innovation Seed
Tipe Deskripsi
Sifat Faktor lingkungan penstimulus
Reproduksi Produk dari interaksi antara
knowledge Dapat diprediksi
hingga tingkat tertentu
1 Lingkungan diskusi yang bebas 2 organisasi yang flat
3 Latar belakang budaya dan akademik yang berbeda dari
pekerja 4 Mobilisasi sumberdaya manusia
Mutasi 1.Accidental
discorey 2.Unintentional
outcomes Tidak dapat
diprediksi 1 Toleransi terhadap kegagalan
2 Gaya eksekusi trial error 3 Pendekatan heuristic
Sumber: Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai 2004
Berdasarkan tiga karakteristik utama Complex Adaptive Systems CAS yakni variation, interaction, dan selection Axelrod, 2000 serta konsep innovation seed,
dapat digambarkan model proses penciptaan inovasi seperti diperlihatkan pada Gambar-2.1.
2010
97 Gambar-2.1 Model Proses Penciptaan Inovasi Ishimatsu, Sukagawa, dan Sakurai, 2004
Model tersebut menunjukkan bahwa dalam sebuah perusahaan, orang- orang yang memiliki innovation seeds saling berinteraksi satu dengan yang
lainnya,dari hasil interaksi tersebut, terciptalah innovation seeds lainnya. CAS menghasilkan perilaku non linier yang dihasilkan dari interaksi antar agen
dan interaksi antara agen dengan lingkungan sesuai dengan rules yang dimilikinya Garcia, 2005, yang biasanya sedikit dan sederhana Lewin Regine, 2000.
Menurut Gell-Mann 1994, interaksi agen dalam suatu organisasi mengikuti schemata, yang terdiri dari rules, rencana, latihan dan tujuan serta tekanan
kompetitif. Cara CAS mengembangkan schemata dan bagaimana menggunakannya untuk mengubah perilaku dijelaskan dalam gambar berikut Gambar 2.2.
Gambar-2.2 Perilaku CAS
Act
Discovery
Choice
Act
Discovery
Act Act
Choice
Discovery
Choice
X Y
Z
Individual Schema: operation
evaluation Individual Schema:
operation evaluation
Individual Schema: Operation
Evaluation
Shared Schemata: Culture, etc
2010
98
METODE PENELITIAN Pendekatan Studi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan Complex Adaptive Systems CAS untuk memahami industri piranti lunak, maka yang
menjadi perhatian studi ini adalah pada pola-pola interaksi yang komunikatif communicative
interaction antara
individual yang
saling bergantung
interdependent, pola-pola yang bersifat inklusif dan ekslusif dalam hubungan manusia yang tampak. Pemetaan pola-pola tersebut dimulai dengan menganalisis
Actor, Function, Rules and Condition, seperti yang juga telah dilakukan Fizzanty 2009 dalam studinya tentang proses pembentukan dan rusaknya suatu
kerjasama bisnis. Secara spesifik, studi ini akan mengumpukan informasi secara historis yang terkait dengan: a Aktor-aktor yang terlibat secara langsung dan
tidak langsung didalam perusahaan maupun diluar perusahaan dalam kemunculan suatu inovasi; b Peran atau fungsi masing-masing aktor dalam kemunculan suatu
inovasi; c Hal-hal yang mendasari keputusan aktor dalam berinteraksi dengan aktor lain untuk memunculkan suatu inovasi. Hal-hal ini dapat berkaitan dengan
aturan formal tertulis maupun informal tidak tertulis yang muncul dalam interaksi selama proses inovasi d Kondisi serta perubahan-perubahan yang
terjadi selama proses inovasi berlangsung.
Pendekatan studi kasus Yin 2003 dilakukan untuk memahami fenonema inovasi di tingkat perusahaan. Pendekatan studi kasus dipilih karena merupakan
pendekatan yang sesuai untuk jenis pertanyaan penelitian tentang bagaimana know-how inovasi di industri piranti lunak bisa terjadi. Selain itu, pendekatan
studi kasus ini juga sesuai untuk mempelajari fenomena sosial yang kompleks Yin, 1994. Berdasarkan studi kasus ini kemudian diformulasikan sistem insentif yang
efektif dalam mendorong inovasi perusahaan piranti lunak. Laporan ini bertujuan untuk menyajikan temuan hasil penelitian mencakup dua aspek, yaitu: 1 Proses
inovasi yang terjadi di industri piranti lunak; dan 2 Bentuk-bentuk insentif untuk mendorong inovasi pengembang piranti lunak. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif, pengetahuan dihasilkan dari dialog dan diskusi mendalam antar peneliti dengan partisipan dalam penelitian. Interaksi antara dinamika
kemampuan absorbsi perusahaan pengembang dengan lingkungan industri piranti lunak merupakan fokus dari penelitian ini. Lebih jauh pendekatan CAS digunakan
untuk memahami perilaku perusahaan pengembang piranti lunak ini dalam berinovasi. CAS mempunyai elemen-elemen berikut, yakni: aktor-aktor, peranan
aktor, dan strategi atau aturan schemata atau rules serta dinamika lingkungannya. Pendekatan yang sama juga telah digunakan oleh beberapa studi
industri kreatif.
Data lapang dikumpulkan dengan melakukan wawancara dan observasi lapang yang terdokumentasi, serta mengumpulkan archival document. Diskusi
kelompok terfokus FGD digunakan untuk memvalidasi model konseptual yang dihasilkan dan menyusun alternatif kebijakan mendorong inovasi di perusahaan
piranti lunak lokal. Studi kasus dilakukan di lima perusahaan pengembang piranti lunak dan sebelas pengguna piranti lunak yang mewakili organisasi pemerintah,
perusahaan bisnis, dan organisasi pendidikan. Data kualitatif diolah dengan
2010
99
melakukan reduksi dan pengelompokan ide yang kemudian bersama-sama dengan data kuantitatif dimasukan kedalam matriks. Jenis data yang dikumpulkan adalah
data historis sejak perusahaan berdiri hingga saat ini merujuk pada elemen- elemen dalam CAS tersebut. Analisis data secara historis digunakan pendekatan
naratif dan inferensi dalam bentuk model konseptual dibangun dari analisis dalam kasus itu sendiri within case.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahap, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.1.
Identifikasi informasi dan proses aktor, fungsi dan rule aktor dalam berinteraksi
dan perubahan kondisi lingkungan
Kondisi dan hambatan proses inovasi
Pemodelan proses inovasi di industri perangkat lunak
Model proses inovasi di industri perangkat lunak
Penyusunan alternatif kebijakan insentif untuk pengembangan industri kreatif
Gambar 3.1. Tahapan Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses Inovasi Piranti Lunak
Hasil studi kasus di lima perusahaan piranti lunak menunjukkan bahwa secara umum proses inovasi piranti lunak merupakan suatu proses pembelajaran
yang direncanakan planned learning, dan adanya kemampuan menyerap absorptive capacity informasi dari beragam pengguna tentang kebutuhan
mereka. Proses ini kemudian meningkatkan kemampuan perusahaan dalam mengintegrasikan kompetensi internal dan eksternal yang dimilikinya untuk
menghasilkan sesuatu dalam menghadapi perubahan lingkungan yang cepat dan tidak pasti dengan melakukan perubahan pada proses manajerial dalam
organisasi.
2010
100
Inovasi di perusahaan piranti lunak merupakan hasil penciptaan bersama co-creations antara pengembang dan pengguna piranti lunak, bukan dari hasil
kekuatan penentu inovasi dari salah satu pihak tersebut. Pendapat yang menyatakan bahwa proses ini harus dipahami dengan power theory’ karena
pengguna sebagai satu- satunya penentu ide dan inovasi piranti lunak sementara
pengembang hanyalah pengikut ide , tidaklah dapat dibenarkan pada kondisi tertentu. Oleh karena itu, pembahasan terhadap karakteristik dan proses inovasi
piranti lunak di perusahaan pengembang dikelompokkan menjadi tiga tahap, yakni perusahaan pemula, perusahaan dengan dukungan mitra, dan perusahaan dengan
jaringan global Tabel 1.
Tabel 1 Proses Inovasi Piranti Lunak Menurut Tahapan Perusahaan
Perusahaan Pemula Studi Kasus: S dan C
Bandung Perusahaan dengan
Dukungan Mitra Studi Kasus: A Bogor dan M
Jakarta Perusahaan dengan Jaringan
Global Studi Kasus: P Jakarta
-Belum ada nitra bisnis tetap -Usaha skala kecil
-Struktur organisasi yang longgar dan informal
-Belum ada spesialisasi pekerjaan
-Usaha kecil hingga menengah
-Menjadi mitra dari perusahaan internasional dan
lokal -Organisasi perusahaan semi
formal struktur yang lebih tegas
-Spesialisasi pekerjaan mulai terbentuk
-Usaha menengah hingga besar
-Mitra dengan banyak negara -Struktur organisasi yang
lebih formal -Pekerjaan lebih
terspesialisasi
Produk berbasis projeck -Berbasis riset pasar
-Customisasi -Berbasis riset pasar terus
menerus -Inovasi oleh inovator lepas
open innovation
Inovasi produk -Inovasi produk
-Inovasi pemasaran dan jasa -Inovasi produk
-Inovasi pemasaran dan jasa
Tingkat keterlibatan pengguna piranti lunak dalam proses inovasi itu beragam bergantung pada karakteristik inovasi dan tingkat akumulasi
pengetahuan di perusahaan pengembang. Hasil studi kasus menunjukkan bahwa tingkat keterlibatan power’ dari pengguna dalam mempengaruhi inovasi akan
semakin berkurang dengan semakin meningkatnya akumulasi pengetahuan dari pengembang.
Perusahaan Pemula
Perusahaan pengembang pemula start-up companies umumnya adalah perusahaan yang baru saja memulai usahanya dan kurang dari tahun masa usaha,
atau mempunyai tenaga kurang dari sepuluh orang, atau mempunyai omset
2010
101
kurang dari satu milyar rupiah
1
. Struktur organisasi perusahaan umumnya tanpa hierarki dan lebih bersifat pertemanan, sehingga belum ada spesialisasi yang tegas
dalam alokasi pekerjaan. Mengingat perusahaan ini baru tumbuh maka belum ada atau sedikit sekali keterlibatan mitra bisnis tetap apalagi mitra bisnis internasional
dalam proses inovasi mereka. Studi kasus di perusahaan S dan C merupakan dua contoh kasus dalam kelompok perusahaan ini.
Sebagian besar perusahaan pemula menghasilkan inovasi produk ketimbang jasa. Inovasi terjadi dari interaksi para pengembang pemula dengan
pengguna dalam beragam proyek pengembangan sistem dan aplikasi. Ide-ide pengembangan inovasi cenderung lebih bias pada pengguna, dimana pengguna
sebagai penentu The Power of User. Inovasi awalnya bersumber dari pengalaman magang internship danatau kerjasama antara beberapa tenaga muda dalam
memberikan solusi kepada pengguna Solution based Innovation. Pengalaman ini mendorong tenaga-tenaga muda tersebut menjadi pebisnis piranti lunak baru
New Enterprenuers. Kemudian mengembangkan inovasinya dengan bekerjasama untuk membentuk perusahaan baru start-up companies. Pengalaman dari
mengerjakan berbagai proyek skala kecil project based innovation meningkatkan kompetensi pengembang pemula ini melalui proses akumulasi pengetahuan.
Proses ini sebagai modal atau investasi mereka untuk kemudian menghasilkan inovasi produk piranti lunak tertentu specialized software. Dengan tingkat
persaingan yang tinggi di kalangan perusahaan piranti lunak lokal dan belum terbentuknya jejaring bisnis yang kuat, maka perusahaan berupaya bertahan
hidup survive dengan menggunakan aturan main atau schemata sebagai berikut:
Dengan menggunakan aturan main tersebut, maka interaksi perusahaan dengan pengguna lebih banyak ditujukan untuk melayani apa yang pengguna
butuhkan akan produk piranti lunak mereka. Tingkat keterlibatan pengguna dalam menentukan inovasi yang akan dihasilkan relatif lebih tinggi, dan kondisi
inilah yang dinyatakan sebagai bentuk hubungan yang dibangun atas dasar kekuatan power’ pengguna atas pengembangan produk piranti lunak.
Perusahaan dengan Dukungan Mitra
Perusahaan pada kelompok ini umumnya adalah perusahaan nasional dengan skala usaha kecil hingga menengah. Berbeda dengan perusahaan
sebelumnya, perkembangan perusahaan ini banyak didukung tidak hanya oleh kegiatan proyek namun juga dukungan mitra bisnis internasional secara langsung
maupun tidak langsung dalam kegiatan bisnis mereka. Dukungan bisnis secara langsung dalam bentuk kemitraan tetap, sedangkan dukungan tidak langsung
1
Sumber : BPS Rule-1:
Apa yang anda inginkan, kami kerjakan
2010
102
adalah pemanfaatan jaringan bisnis mitra internasional oleh perusahaan pengembang lokal. Organisasi perusahaan ini cenderung lebih terstruktur
dibandingkan perusahaan kelompok pemula, tanpa membuat hubungan yang kaku dan formal antar pelaku dalam perusahaan. Dengan demikian pekerjaan-
pekerjaan dilakukan secara fleksibel namun sudah mulai ada spesialisasi pekerjaan yang lebih tegas. Studi kasus di perusahaan SMI dan M merupakan dua
contoh kasus dalam kelompok perusahaan ini.
Dengan terbukanya peluang bisnis melalui berbagai projeck Project based innovation, baik proyek pemerintah maupun swasta yang sudah terbina
sebelumnya meningkatkan akumulasi kapasitas atau kompetensi perusahaan. Hal ini akan mendorong perusahaan bergerak kearah inovasi untuk menghasilkan
produk piranti lunak tertentu yang lebih terspesialiasi Specialized Software.
Ketika kondisi jejaring bisnis lokal sudah cukup kuat, maka interaksi antara perusahaan pengembang dengan penggunanya berkembang dari hanya yang
bersifat Tailor-Made menjadi Customization’, yang muncul dari aturan main sebagai berikut:
Dengan aturan main demikian, maka perusahaan tidak lagi sekedar mengerjakan apa yang dibutuhkan pengguna tailor made, namun juga
menawarkan solusi tertentu yang telah mereka kembangkan sendiri dalam perusahaan. Kemampuan ini muncul dengan semakin tingginya tingkat
kemampuan absorpsi pengembang piranti lunak.
Perusahaan dengan Jaringan Global
Perusahaan yang masuk pada kelompok jejaring global ini umumnya merupakan perusahaan nasional dengan skala usaha besar dan sedang, karena
melibatkan jumlah pengembang yang cukup besar. Perusahaan mempunyai struktur yang organisasi yang lebih tegas dan distribusi pekerjaan yang lebih
terspesialisasi. Meskipun demikian, perusahaan ini tetap mendukung lingkungan kerja yang informal untuk tetap mendorong proses kreativitas. Setiap orang dalam
setiap tahap pekerjaan berkontribusi terhadap penciptaan nilai tambah kreativitas terhadap hasil inovasi.
Proses inovasi di perusahan ini bersifat terbuka. Inovasi dihasilkan tidak hanya dari interaksi internal perusahaan, namun juga hasil interaksi perusahaan
Rule-2: Kami punya ini, apakah sesuai dengan yang Anda
butuhkan?
2010
103
dengan aktor di luar perusahaan, baik pengguna maupun inovator-inovator lepas. Dalam berinteraksi untuk menghasilkan inovasi, perusahaan mengembangkan rule
atau schemata sebagai berikut.
Inovasi merupakan hasil proses pemahaman akan kondisi bisnis saat ini dan kecenderungan kedepan. Akumulasi pengetahuan dan kompetensi yang
terbangun merupakan dasar framework bagi pengembangan inovasi selanjutnya. Interaksi di dalam dan di luar perusahaan piranti lunak dengan pengguna maupun
inovator lepas, memperkaya inovasi enriching yang dikenal sebagai open innovation. Kegiatan yang bersifat riset dan pengembangan RD terus menerus
dilakukan bersama-sama dengan pola interaksi demikian, serta didukung oleh kepakaran tenaga ahli tertentu untuk mendukung proses inovasi. Proses
keterlibatan langsung pengguna pada perusahaan ini semakin berkurang, dengan semakin meningkatkan kemampuan absorpsi pengembang terhadap kebutuhan
pengguna.
Seperti halnya perusahaan pengembang pada tahap kedua, perusahaan yang mengembangkan inovasi secara terbuka ini juga melakukan
inovasi pemasaran.
Diskusi : Proses Inovasi di Perusahaan Piranti Lunak
Studi di lima perusahaan pengembang piranti lunak menunjukkan bahwa proses inovasi tersebut merupakan hasil penciptaan bersama co-creation yang
terus berkembang co-evolution dari pelaku-pelaku di dalam perusahaan pengembang maupun dengan pelaku-pelaku di luar perusahaan, khususnya
pengguna piranti lunak. Pentingnya peranan pengguna dalam proses inovasi juga diperkuat oleh temuan Miles dan Green 2008 di industri kreatif. Oleh karena itu,
menurut mereka, riset yang diperlukan oleh industri kreatif adalah riset pelanggan dan kecenderungan pasar.
Lingkungan industri teknologi informasi dan bisnis yang sangat dinamis mendorong perusahaan piranti lunak untuk terus melakukan perubahan terhadap
karakteristik inovasi. Proses inovasi piranti lunak terus berkembang co-evolve dari inovasi dengan dominasi pengguna power based inovation ke sistem yang
lebih didasarkan pada kepercayaan pengguna trust based innovation, seperti ditunjukkan pada gambar 5.1 berikut ini.
Rule-3: Kami punya ini, mari kita perkaya
2010
104
Gambar 5.1 Model Co-evolving Proses Inovasi di Industri Piranti Lunak Indonesia
Model proses inovasi yang ditemukan ini gambar 5.1 menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat akumulasi pengetahuan dan kemampuan absorpsi
pengembang piranti lunak, maka akan semakin berkurang tingkat keterlibatan dominasi atau power pengguna atas pengembang dalam menentukan ide
inovasi. Sebaliknya, akan semakin meningkat jenis inovasi yang didasarkan atas kepercayaan trust pengguna atas pengembang.
Insentif Inovasi Piranti Lunak : Kondisi Internal dan Eksternal
Kondisi internal dan eksternal digambarkan sebagai wadah bagi terbentuknya inovasi. Sehingga kondisi internal dan eksternal sangat menentukan
keberhasilan inovasi di industri piranti lunak. Kondisi yang merupakan kondisi internal merupakan kondisi yang bersifat intrinsik dalam perusahaan dan
berpengaruh langsung terhadap inovasi. Kondisi eksternal merupakan kondisi di luar perusahaan namun juga berpengaruh terhadap proses inovasi.
Hasil studi kasus menunjukkan bahwa perusahaan yang telah menjadi mitra dari perusahaan besar mendapat peluang tidak hanya jejaring bisnis yang
sudah kuat juga pembangunan kapasitas dan kompetensi pengembang software lokal. Menjadikan inovasi sebagai salah satu unsur indikator kinerja kunci key
performance index dalam mengukur kinerja karyawan di perusahaan software.
2010
105
Penerapan kebijakan ini akan meningkatkan motivasi karyawan untuk menghasilkan ide-ide kreatif yang mendorong munculnya inovasi di perusahaan
piranti lunak.
Model Konseptual Sistem Insentif Industri Piranti Lunak
Lima perusahaan yang menjadi partisipan dalam studi kasus ini telah dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu kelompok perusahaan pemula,
perusahaan dengan dukungan mitra dan perusahaan dengan jaringan global. Hasil analisis terhadap temuan studi kasus menunjukkan bahwa insentif untuk industri
pengembang piranti lunak tidak bersifat general untuk ketiga kelompok perusahaan piranti lunak, artinya insentif bagi perusahaan pemula belum tentu
menjadi insentif bagi perusahaan dengan dukungan mitra serta belum tentu juga menjadi insentif bagi perusahaan dengan jaringan global, begitu juga sebaliknya.
Model konseptual insentif yang efektif untuk kelompok perusahaan pemula dapat dilihat pada gambar 7.1.
Gambar 7.1. Model konseptual insentif bagi perusahaan pemula
Pada model konseptual insentif untuk kelompok perusahaan pemula yaitu hubungan pengembang dan pengguna masih dalam tahap awal, proses inovasi
relatif lebih banyak didorong oleh insentif yang bersifat ekstrinsik dari lingkungannya. Penghargaan dari perlombaan TI, serta penghargaan dari mitra
bisnis masih menjadi insentif bagi perusahaan pemula. Keterlibatan perusahaan dalam suatu komunitas juga masih merupakan insentif bagi perusahaan karena
perusahaan pemula masih berada pada fase pembentukan jaringan.
P e n g h a r g a a n m itr a b is n is
S D M b e r k o m itm e n S D M k o m p e te n
K o m u n ik a s i y g e fe k tif T e a m w o r k
K n o w le d g e Mg t R e fe r e n s i P r o y e k
T R
U S
T
Efisiensi Harga Produk sesuai kebutuhan
Pelayanan Penghargaan dari
pelanggan Referensi Proyek
Pelatihan dari pengembang P e n g h a r g a a n
In o v a to r
A d m in is tr a s i p a te n P e r lin d u n g a n H A K I
K e s e m p a ta n m a g a n g
P e m a n fa a ta n S o ftw a r e
K e b e r p ih a k a n P e m e r in ta h
e -g o v d ll Penghargaan dari
pelanggan P r o fe s io n a l b o n u s
B u d a y a o r g a n is a s i k r e a tif R e s is te n s i P e n g g u n a
K a p a s ita s T I P e n g g u n a K u r ik u lu m
K e w ir a u s a h a a n d i s e k o la h T I
KELOMPOK 1
Ekonomi
Non Ekonomi
Komunikasi dalam Komunitas TI
Perusahaan Pengguna
P e la tih a n
2010
106
Model konseptual insentif yang efektif untuk kelompok perusahaan dengan dukungan mitra dapat dilihat pada gambar 7.2.
Pada model konseptual insentif untuk kelompok kedua yaitu perusahaan dengan dukungan mitra, insentif yang dibutuhkan relatif berupa insentif intrinsik
yang berasal dari eksternal perusahaan khususnya kebijakan dari pemerintah. Perusahaan dengan dukungan mitra sudah memiliki proses bisnis internal yang
baik sehingga insentif yang diperlukan sudah berupa insentif eksternal. Dukungan dari pemerintah yang berupa keberpihakan pemerintah terhadap software lokal,
dukungan finansial perbankan serta ketersediaan kurikulum TI merupakan insentif bagi perusahaan ini.
Model konseptual insentif yang efektif untuk kelompok perusahaan dengan jaringan global dapat dilihat pada gambar 7.3.
Gambar 7.2. Model konseptual insentif bagi perusahaan dengan dukungan mitra
P e n g h a r g a a n m itr a b is n is
T R
U S
T
Efisiensi Harga Produk sesuai kebutuhan
Pelayanan Penghargaan dari
pelanggan Referensi Proyek
Keamanan data P e n g h a r g a a n In o v a to r
K e b e r p ih a k a n p e m e r in ta h
Komunikasi dalam Komunitas TI
In s e n tif P a ja k Ja m in a n P e m b ia y a a n
Ja r in g a n b is n is U k u r a n P e n ila ia n
A s s e t o le h b a n k
K u r ik u lu m D is a in D i s e k o la h T I
T e n a g a S MK -T I P e la tih a n S D M
P r o g r a m O p e n S o u r c e
S D M b e r k o m itm e n
T e a m w o r k
K n o w le d g e Mg t R e fe r e n s i P r o y e k
S D M k o m p e te n
B u d a y a o r g a n is a s i p e n g g u n a P r o fe s io n a l B o n u s
KELOMPOK 2
Non Ekonomi
Ekonomi
Perusahaan Pengguna
2010
107
Gambar 7.3. Model konseptual insentif bagi perusahaan dengan jaringan global
Pada model konseptual insentif bagi perusahaan dengan jaringan global, mekanisme insentifnya hampir sama dengan kelompok 2, namun tidak
menekankan pada kebutuhan pemenuhan SDM karena kelompok perusahaan ini mengembangkan open innovation. Perusahaan yang mengembangkan open
innovation memperoleh ide-ide kreatif dari para innovator lepas maupun dari pakar.
Pilihan Kebijakan yang Memberikan Insentif bagi Industri Piranti Lunak Kedepan
Pada pembahasan di atas dikemukakan bahwa pengguna dan pengembang sama-sama punya motivasi untuk berinteraksi dalam menghasilkan inovasi
tertentu. Insentif itu dapat pula berasal dari sisi internal pengembang maupun dari luar pengembang, sebagai contoh adalah kebijakan pemerintah. Inovasi dapat
muncul jika pemerintah mendorong kebijakan berikut ini
2
:
2
Hasil Diskusi Kelompok Terfokus para Pemangku Kepentingan Industri Piranti Lunak di Pappiptek-LIPI November 2010 di Jakarta
P e n g h a r g a a n m itr a b is n is
T R
U S
T
Harga software Produk sesuai kebutuhan
Pelayanan Penghargaan dari
pelanggan Referensi Proyek
P e n g h a r g a a n In o v a tor
K e b e r p ih a k a n p e m e r in ta h
In s e n tif P a ja k Ja r in g a n b is n is
D u k u n g a n p r o m o s i D a r i p e m e r in ta h
P e la tih a n S D M S D M b e r k o m itm e n
T e a m w o r k K n o w le d g e Mg t
R e fe r e n s i P r o y e k S D M k o m p e te n
B u d a y a o r g a n is a s i p e n g g u n a P r o fe s io n a l B o n u s
KELOMPOK 3
Ekonomi
Non Ekonomi
Pengguna Perusahaan
2010
108
1 Sistem yang mendukung inovasi tanpa henti supporting system for conducting continuous innovation.
2 Diperlukan kebijakan yang dapat mendorong penciptaan kondisi sehingga industri software dapat terus bertahan serta berinovasi, khususnya bagi
perusahaan pemula start-up company. Inovasi tanpa henti tersebut perlu didorong dengan kebijakan atau aturan pemerintah yang bersifat
mendukung inovasi tanpa henti tersebut dan mendukung kemitraan partnership antara perusahaan piranti lunak skala besar dengan
perusahaan piranti lunak lokal skala kecil. Kemitraan semacam ini telah terbukti memberikan kesempatan bagi pelaku lokal skala kecil untuk
memperoleh pengetahuan tentang perkembangan teknologi software terbaru, serta akan memberikan kesempatan pelaku skala kecil untuk
mendapatkan akses pasar order. Pihak yang paling berwenang dalam hal ini adalah Kementrian Komunikasi dan Informasi Kemkominfo untuk
mendorong pengembangan industri software lokal.
3 Apresiasi dari pemerintah. Salah satu insentif yang mendorong perkembangan industri Teknologi Informasi TI adalah adanya apresiasi
atau penghargaan dari pengguna. Apresiasi pengguna yaitu pemanfaatan secara optimal software yang dikembangkan industri TI. Apresiasi
semacam ini belum dirasakan oleh industri TI apabila pengguna mereka dari pemerintah. Permasalahan yang sama juga terungkap dari penelitian
ini, bahwa efisiensi penggunaan software oleh pemerintah relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan pengguna yang lain misalnya kalangan
bisnis dan akademisi. Pemanfaatan software secara maksimal oleh pemerintah tentunya juga akan meningkatkan efisiensi pekerjaan di
pemerintah.
4 Insentif Pajak bagi Mitra Internasional. Indonesia merupakan salah satu negara pengguna TI terbesar di dunia. Hal ini mendorong mitra
internasional, baik perusahaan TI maupun pengguna TI dari negara lain, untuk melakukan kemitraan dengan pelaku industri TI nasional. Kemitraan
semacam ini, menurut peraturan dari Kementerian Keuangan, akan dibebani dengan berbagai macam pajak yang cenderung dis-insentif
terhadap kemitraan itu sendiri. Dalam mengatasi hal ini, maka pemerintah sebaiknya melakukan intervensi dengan memberikan insentif pajak bagi
perusahaan TI internasional yang bermitra dengan industri TI nasional. Kebijakan insentif pajak ini cukup rasional mengingat dengan masuknya
mitra internasional terbukti banyak mendorong perkembangan industri TI nasional.
5 Pengembangan kurikulum IT di SMK. Kementrian Diknas telah mengembangkan kurikulum IT di SMK. Pengembangan kurikulum IT
bertujuan agar lulusan SMK menjadi lulusan yang siap kerja. Dalam studi kasus yang dilakukan memang telah terbukti bahwa lulusan SMK IT
berpotensi bagi perusahaan IT serta secara kemampuan tidak kalah dengan lulusan S1 IT. Hal yang harus diperhatikan yaitu pengembangan kurikulum
IT di SMK harus diikuti dengan pengembangan kompetensi gurupengajar di SMK, salah satunya bisa dilakukan dengan pelatihan.
2010
109
6 Kebutuhan akan modal awal seed capital untuk berlanjut ke level selanjutnya. Fenomena yang umum terjadi di industri TI Indonesia adalah
banyaknya inovasi yang berakhir di tahap inisiasi saja. Sebagai contoh, begitu banyak pemenang lomba TI yang kemudian tidak dapat
mengembangkan inovasi produknya karena ketiadaan modal awal seed capital, padahal bibit inovasi yang mereka miliki cukup potensial.
7 Mekanisme pembiayaan inovasi software house dengan asuransi oleh pemerintah. Kebijakan ini berkaitan dengan pembiayaan inovasi software
yang belum memperoleh dukungan dari perbankan. Perbankan belum bisa melakukan penilaian tentang nilai dari industri piranti lunak, sehingga
pemerintah perlu melakukan penjaminan pembiayaan inovasi piranti lunak berupa asuransi. Hal ini diperlukan untuk meyakinkan pihak perbankan
bahwa mereka tidak akan mengalami kerugian bila memberikan pembiayaan kepada industri piranti lunak.
8 Repository software Open Source pemerintah. Pemerintah dalam melakukan pengembangan piranti lunak belum memperhatikan aspek akumulasi
pengalaman. Dilihat dari substansinya, terdapat kesesuaian antara piranti lunak yang digunakan di satu pemerintah daerah dengan pemerintah
daerah lain. Sebenarnya bila dibuat suatu repository piranti lunak pemerintah, maka piranti lunak yang dibuat oleh pemerintah daerah di
seluruh Indonesia dapat diakumulasikan dalam repository tersebut. Pengembangan industri piranti lunak dapat dilihat dari repository tersebut.
Manfaat yang diperoleh yaitu tidak adanya pengulangan pembuatan software yang sama sehingga dana pengembangan dapat digunakan untuk
pengembangan lebih lanjut dari software yang ada di repository tersebut.
9 Aturan lisensi penggunaan Open Source. Kebijakan dalam aturan lisensi berkaitan dengan perlindungan Hak Kekayaan Intelektual HAKI.
Penggunaan Open Source OS walaupun bersifat bebas namun harus mencantumkan software asalnya. Lisensi atau aturan penggunaan OS ini
belum ada sehingga dirasa perlu mengingat industri software sudah banyak yang mengembangkan produknya dengan menggunakan OS.
10 Badan auditverifikasi TI untuk teknologi khusus software Indonesia yang digunakan untuk sertifikasi dan memudahkan masuk ke struktur
pemerintah mendukung standarisasi software Indonesia.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data, maka disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Proses inovasi merupakan hasil penciptaan bersama co-creation yang terus berkembang co-evolution dari pelaku-pelaku di dalam perusahaan
pengembang maupun dengan pelaku-pelaku di luar perusahaan, dengan beragam keahlian dan talenta khususnya system analyst dengan pelaku-
pelaku di luar perusahaan, khususnya pengguna piranti lunak maupun komunitas serta jejaring bisnis yang dapat bertindak sebagai sumber ide
kreatif dan marketing agent.
2010
110
2. Proses inovasi piranti lunak terus berkembang co-evolve dari inovasi
dengan dominasi pengguna power based inovation ke sistem yang lebih didasarkan pada kepercayaan pengguna trust based innovation dan
jejaring pelaku bisnis dan inovator lepas ke sistem yang lebih didasarkan pada hubungan atas dasar kepercayaan trust based innovation.
3. Perbedaan karakteristik pengguna tidak menghasilkan proses inovasi yang
berbeda, namun mempengaruhi tingkat pemanfaatan inovasi. Tingkat utilitas fungsi-fungsi produk piranti lunak oleh organisasi pemerintah lebih
rendah inefiesiensi dari pada pemanfaatan produk piranti lunak oleh perusahaan swasta dan kalangan akademik.
4. Saling percaya trust merupakan insentif utama untuk berinteraksi bagi
perusahaan, sedangkan jenis insentif bagi pengguna yaitu: efisiensi harga, produk sesuai kebutuhan, pelayanan, referensi project, dan pelatihan dari
pengembang. Jenis insentif ini sama untuk semua tahap perkembangan perusahaan.
5. Jenis insentif internal yaitu: profesional bonus, kesempatan peltihan,
referensi project, dan penghargaan dari pelanggan. Jenis insentif ini juga sama untuk semua tahap perkembangan perusahaan.
6. Jenis insentif eksternal yaitu: mendapatkan kesempatan yang sama
terhadap program Pemerintah dan pengghargaan inovator. Jenis insentif khusus pada perusahaan pemula yaitu: perlindungan HKI, administrasi
paten, dan kesempatan magang intership di intansi pemerintah. Jenis insentif eksternal khusus pada perusahaan dukungan mitra yaitu: jaminan
pembiayaan, insentif pajak, pengukuran asset oleh bank, penghargaan dari mitra bisnis dan jenis insentif eksternal khusus pada perusahaan dengan
jaringan global yaitu: insentif pajak dan dukungan promosi ke luar negeri dari pemerintah.
SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa industri kreatif piranti lunak maka terdapat beberapa hal yang menjadi saran dari hasil penelitian
ini yaitu : 1. Agar kebijakan pemerintah dapat efektif dalam mendorong inovasi di
perusahaan piranti lunak, perlu mempertimbangkan tahap perkembangan perusahaan baik pemula, perusahaan dukungan mitra serta perusahaan
dengan jaringan global.
2. Disamping insentif untuk perusahaan, insentif bagi pengguna produk piranti lunak perlu dikembangkan.
3. Pengembangan sistem yang berbasis kepercayaan salah satunya melalui pembentukan suatu badan akreditasi yang berperan sebagai badan
sertifikasi hasil inovasi piranti lunak. Penelitian ini belum menggali lebih jauh peran network terutama pada pengembang piranti lunak individu
tidak berbadan hukum.
4. Pemerintah sebaiknya melakukan intervensi dengan memberikan insentif pajak bagi perusahaan TI internasional yang bermitra dengan industri TI
nasional. Kebijakan insentif pajak ini cukup rasional mengingat dengan
2010
111
masuknya mitra internasional terbukti banyak mendorong perkembangan industri TI nasional. Insentif pajak dimaksud tidak harus berarti
pembebasan dari pajak, tetapi keringanan pajak dari pemerintah cukup membantu pengembang industri piranti lunak di Indonesia.
5. Sebaiknya Pemerintah membuat kebijakan yang spesifik terhadap industri piranti lunak, karena industri ini membutuhkan kebijakan sesuai dengan
kebutuhan tergantung tahap perkembangan perusahaan pemula, dukungan mitra, jaringan global.
DAFTAR PUSTAKA
Flasch Frank, Roy Le Frederick, and Yami Said 2007 Critical growth factors of ICT start-ups, Management Decision Journal Vol. 45, No.1
Goldtein J ntroduction: Complexity science applied to innovation-Theory
meets praxis The Public Sector Innovation Journal 133 article 1. Gwee, J
nnovation and the creative industries cluster: A case studi of Singapore s creative industries Innovation: Management, Policy Practice 11
2: 240-252 Inkpen, A.C and S.C. Currall 2004
The Coevolution of Trust, Control and Learning in Joint Ventures: Organization Science 15 5: 586-599
shimatsu, ., Sugasawa, Y., and Sakurai, K Understanding nnovation as a
Complex Adaptive System: Case Studies from Shimadzu and NEC. Pacific Economic Review 9 4: 371-376
Jaaniste, L. Placing the creative sector within innovation: the full gamut
Innovation: Management, Policy Practice 11 2: 215-229 Miles, and L. Green
idden innovation in teh creative industries , NESTA research report July 2008. London: NESTA
Muller, K; C. Rammer and J. Truby The role of creative industries in
industrial innovation Innovation: Management, Policy Practice 11 2: 148- 168
Nelson R and Sampat B Making sense of institutions as a factor shaping
economic performance Journal of Economic Behavior and Organization 44: 31
–54. Potts, J. 2009. Introduction: Creative industries and innovation policy.
Innovation: management, policy practice 2009 11: 138
–147. Potts J forthcoming Why the creative industries matter to economic evolution
Economics ofnnovation and New Technology Potts J and Cunningham S
Four models of the creative industries International Journal of Cultural Policy 143: 233
–49.
2010
112
Potts J, Hartley J, Banks J, Burgess J, Cobcroft R, Cunningham S and Montgomery L a Consumer co-creation and situated creativity Industry Innovation
155: 459 –74.
Potts J and Morrison K a Nudging innovation: fifth generation innovation,
behavioural constraints and the role of creative business , NESTA working
paper. London: NESTA Potts J and Morrison K
b Toward behavioural innovation economics: euristics and biases in choice under novelty School of Economics
Discussion Paper No. 379, University of Queensland, Australia. Potts J
Art and innovation: An evolutionary view of the creative industries UNESCO
Observatory e-journal.
11. http:www.abp.unimelb.edu.auunescoejournal
QUT CIRAC and CutlerCo 2003 Research and Innovation Systems in the production of Digital
Silberstang, J and J.K. azy Toward a micro-enactment theory of leadership
and the emergence of innovation The Innovation Journal: The Public Sector
Innovation Journal 13 3,article 5 Tether B
The sources and aims of innovation in services: variety within and
between sector Economics of Innovation and New Technology 124: 481
–505. Tilebein, M
A complex adaptive systems approach to efficiency and innovation Kybernetics 35 78: 1087–1099.
2010
113
INOVASI TEKNOLOGI ENERGI TERBARUKAN DI LEMBAGA LITBANG PEMERINTAH KASUS PLTMH PLTB
Saut H. Siahaan, Sayim Dolant, Tri Agus Murwanto
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
ABSTRAK
Prakiraan kebutuhan energi listrik nasional pada tahun 2020 berdasarkan pertumbuhan ekonomi sepuluh tahun terakhir mencapai kurang lebih 1000
Kwhorang atau terjadi kenaikan sebesar kurang lebih 57 dari tahun 2010. Selanjutnya, tinjauan terhadap kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan
masyarakat yang belum memperoleh manfaat energi listrik menunjukkan tingkat yang relatif rendah, karena sebagian besar dari mereka berada di daerah
terpencil dan bermata pencarian dalam bidang pertanian dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya tamat SD. Pada sisi yang lain kegiatan inovasi di
lembaga litbang pemerintah masih ditemukan berbagai hambatan dalam membangun kegiatan inovasi, baik di dalam intern maupun di luar ekstern
lembaga litbang. Salah satunya adalah perencanaan yang tidak konsisten, kerjasama kelembagaan yang belum terjalin, dsb. Untuk menjawab permasalahan
ini dilakukan penelitian dengan metode kualitatif. Kerangka analitik penelitian ini dibangun dari berbagai teori, yaitu mulai dari definisi inovasi sampai pada
pemahaman rantai inovasi serta hambatan dalam proses inovasi. Dalam kasus ini pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi tak
terstruktur dan wawancara mendalam dengan pengelola lembaga litbang Kapuskabid, industri dan LSM pimpinan institusi. Hasil wawancara
kemudian dinarasikan dan dikategorikan sebagai bahan analisis. Analisis data ini bersifat induktif, yaitu mencari hubungan diantara kategori domain data. Pada
akhirnya direkomendasikan beberapa hal penting yaitu perlunya kesiapan perencanaan dan pelaksanaan yang didukung oleh kebijakan yang mampu
mendorong peneliti menghasilkan teknologi yang berdaya guna. Orientasi peneliti bukan lagi bagaimana menghasilkan prototipe, makalah ilmiah dan
paten, tetapi lebih berorientasi pada bagaimana teknologi didifusikan ke masyarakat untuk peningkatan nilai tambah. Selanjutnya perlu dibangun
kerjasama kelembagaan antar pelaku inovasi, diantaranya dengan Industri terkait, Pemda, LSM dan Koperasi dalam kerangka pembangunan masyarakat.
Dalam kasus ini kerjasama dengan industri dilandasi pada kompetensi kelembagaan, litbang pemerintah menyediakan rancangan teknologi PLTMH
PLTB sesuai kebutuhan pengguna dan industri mendukung dalam infrastruktur manufakturnya. Kerjasama dengan Pemda terkait pada pembangunan
masyarakat di daerah, lembaga litbang menyediakan perangkat teknologi alat dan informasi melalui industri dan pemda menyiapkan dana dan infrastruktur
lain sebagai pendukung koordinasi dengan dinas terkait seperti pengairan, pertanian, dsb.. Sementara kerjasama dengan LSM dan koperasi sifatnya teknis,
yaitu pembinaan pengelolaan teknologi yang didifusikan.
Kata Kunci : energi, energi terbarukan, inovasi, litbang, PLTMH, PLTB, mikrohidro, bayu
2010
114
PENDAHULUAN
Potensi sumber daya air yang tersebar di daerah, pedesaan atau bahkan daerah terpencil di seluruh kepulauan Indonesia, dan adanya kebutuhan
masyarakat akan listrik belum terjangkau listrik PLN, merupakan peluang yang cukup besar bagi pemanfaatan PLTMH maupun PLTB. Pemanfaatan sumber daya
air dan angin pada gilirannya mampu mengurangi tingkat konsumsi energi fosil atau bahan bakar minyak BBM yang semakin terbatas jumlahnya dan cenderung
semakin mahal. Analisis yang dikemukakan B.J. Habibie 2009 berkenaan dengan hal ini menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan kebutuhan energi listrik
nasional dapat mencapai 999,9 Kwhorang pada tahun 2020 dari 637,7 Kwhorang pada tahun 2010 atau terjadi kenaikan sebesar 56,8. Berdasarkan
data Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi, pemanfaatan energi baru dan terbarukan hanya mencapai 4,4, sedangkan minyak bumi mencapai 43,9,
batubara 30,7, dan gas alam 21 PT. Indonesia Power, 2010.
Selanjutnya, tinjauan terhadap kondisi ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat yang belum mendapat manfaat energi listrik menunjukkan tingkat
yang relatif rendah, karena sebagian besar dari mereka berada di daerah terpencil dan bermata pencarian dalam bidang pertanian dengan tingkat pendidikan rata-
rata hanya tamat SD. Sebagai contoh, kelompok tani teh di daerah Kabupaten Tasikmalaya, kecamatan Pager Ageung desa Cibunar. Penghasilan mereka dari
hasil kebun teh hanya cukup untuk kebutuhan hidup, sementara pemeliharaan kebun kadang tidak terpenuhi. Hal ini juga sesuai dengan data statistik luas
perkebunan teh rakyat yang semakin sempit akibat tidak adanya biaya pemeliharaan Bisnis Indonesia, 2010. Secara umum berdasarkan analisis Gatot
Arianto Kompas, 2010 menyebutkan bahwa 75 tingkat pendidikan petani indonesia tidak tamat dan tamat SD, 24 lulus SMP dan SMA, dan hanya 1 lulus
perguruan tinggi. Tinjauan lebih jauh terhadap penghasilan mereka menunjukkan bahwa 56 petani memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar, yang berarti mempunyai
pendapatan kurang dari Rp 8 jutatahun. Kemandirian petani dalam pengelolaan usahanya juga masih relatif rendah. Petani masih sangat bergantung pada
penyediaan bibit, pestisida, dan pupuk, yang kadang harus di import. Sementara itu, berdasarkan Permen ESDM No. 72010 harga tarif dasar listrik umum
keperluan rumah tangga Rp 415,- kwh. Harga listrik per kwh ini masih relatif tinggi bagi masyarakat.
Teknologi PLTMH pada prinsipnya relatif sederhana dan ramah lingkungan dengan investasi yang dapat terjangkau oleh pemerintah provinsi. Komponen-
komponennya relatif dapat dibuat oleh bengkel perorangan dan Perguruan Tinggi dengan umur operasional diharapkan mencapai 25 tahun. Walaupun demikian
tidak pula dapat dipungkiri bahwa masih banyak didapati instalasi PLTMH yang sudah terpasang tidak dapat digunakan atau dioperasikan Statistik ESDM, 2008.
Berbagai aspek perlu dipahami terkait hal ini, mulai dari sisi kebijakan, tekno- ekonomi, sosial masyarakat, dan proses implementasi atau difusi teknologi ke
masyarakat yang secara keseluruhan merupakan rantai inovasi serta melibatkan berbagai pelaku inovasi.
2010
115
Kegiatan inovasi di lembaga litbang pemerintah dalam kerangka penelitian menunjukkan berbagai fakor penghambat kegiatan inovasi. Faktor perencanaan
penelitian merupakan salah satu hambatan utama yang berimplikasi pada rangkaian kegiatan dan hasil akhir penelitian. Kemampuan membangun kerjasama
lembaga litbang dengan para pelaku inovasi terkesan dibangun oleh peneliti secara individu dan tidak dalam kerangka kelembagaan yang harmonis. Kerjasama
dengan pemda yang dibungkus dalam kerjasama MOU terkesan merupakan jembatan bagi lembaga litbang untuk menerapkan teknologinya. Implikasinya,
ketika pasca proyek program kegiatan litbang implementasi di daerah terkendala dalam kegiatan evaluasimonitoring akan berujung pada tidak diadopsinya produk
litbang.
KERANGKA ANALITIK
Kerangka analitik penelitian ini dibangun dari berbagai teori, yaitu mulai dari definisi inovasi sampai pada pemahaman rantai inovasi serta hambatan dalam
proses inovasi. Secara teoritis, inovasi dipahami sebagai suatu proses pemanfaatan pengetahuan, keterampilan termasuk keterampilan teknologi dan pengalaman
untuk penciptaan memperbaiki produk barang dan atau jasa, proses, dan atau sistem yang baru, yang memberikan nilai berarti, atau proses di mana gagasan,
temuan tentang produk atau proses diciptakan, dikembangkan dan berhasil disampaikan ke pasar Saut dkk, 2006. Sejalan dengan pendefinisian dari OECD
1999 yang mengungkapkan bahwa inovasi cenderung pada pengembangan secara kreatif dan interaktif bertumpu pada kemajuan ilmu pengetahuan, juga
dapat diartikan sebagai produk barang dan jasa yang sarat dengan pengetahuan . Perkembangan yang kompleks dari inovasi menuntut perlunya tinjauan inovasi
tidak terbatas pada lingkup produsen dan litbang semata, akan tetapi perlu dipandang sebagai suatu sistem yang terpadu. Hal mana memunculkan
pendekatan sistem inovasi untuk mencapai suatu tujuan.
Selanjutnya menurut Zhou 2007, inovasi dipandang dari sisi makro sebagai inovasi nasional terkait pada sektor industri dan klaster, inovasi juga dapat
dipandang dari sisi mikro, yaitu pada tingkat perusahaan, terkait pada pemilihan strategi dan struktural kegiatan inovasi, atau pada sisi kelompok inovasi terkait
pada perencanaan maupun pengelolaan proses inovasi. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa kegiatan inovasi selalu bersinggungan dengan berbagai pihak
berkepentingan yang secara sederhana digambarkan pada gambar 1. Dalam hal ini maka peran organisasi dalam mendorong kegiatan inovasi dapat di jabarkan secara
sederhana dalam tahapan rantai proses kegiatan inovasi, mulai dari penelitian dasar sampai dengan difusi teknologinya ke masyarakat. Dalam kasus ini maka
proses inovasi dibangun dari empat elemen yang masing masing dinyatakan sebagai: Generating posibilities, yaitu bagaimana membangaun ide untuk inovasi;
Incubating Prototyping, yaitu menentukan mekanisme pengembangan idea dan mengelola resiko kegagalan; Replication and Scaling up, yaitu bagaimana
mempromosikan dan mendifusikan teknologi menuju inovasi yang berhasil; dan Analysing and learning, yaitu bagaimana evaluasi untuk promosi dan
pengembangan produk yang berkelanjutan. Proses inovasi ini tidaklah linier akan
2010
116
tetapi kompleks karena sangat tergantung pada perilaku organisasi, individu, dan pengaruh lingkungan. Hal mana menunjukkan bahwa prosesnya adalah interaktif
dan sosial, melibatkan para pelaku yang beragam dalam keahlian dan sumbernya.
Incubating and Prototyping
Generating Possibilities
Replication and Scaling Up
Analysing and Learning
Sumber: Geof Mulgan dan David Albury, 2007
Gambar 1. Proses Inovasi
Menurut Mulgan dan Albury hambatan dalam mekanisme inovasi di lembaga litbang pemerintah adalah: keengganan menutup program yang gagal;
budaya menghindari resiko; ketergantungan yang terlampau tinggi pada unjuk kerja performance sebagai sumber inovasi; beban administrasi dan birokrasi;
teknologi tersedia tetapi menghambat budaya; anggaran jangka pendek dan perencanaan horisontal; tidak adanya insentif untuk berinovasi maupun yang
mengadopsi inovasi; pengelola yang tidak terampil.
Berdasarkan berbagai teori tersebut di atas maka pada prinsipnya, iptek baru yang berguna secara komersial produk inovasi merupakan hasil dari
interaksi dan proses pembelajaran diantara berbagai pelaku inovasi, seperti: lembaga litbang pemerintah atau industri, otoritas publik pemda, dan para
pengguna masyarakat. Penyelarasan faktor lingkungan eksternal dalam proses inovasi PLMTH PLTB memerlukan kerjasama yang saling menguntungkan
diantara para pelaku, yaitu dengan:
1. Kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah sebagai pendorong investasi kegiatan inovasi di lembaga
litbang baik dari sumber pendanaan publik maupun swasta. Kebijakan lintas sektor menjadi sangat penting untuk mengaitkan hasil litbang PLMTH
2010
117
PLTB, industri-industri yang terkait dalam suatu rantai produksi dan inovasi, dan untuk menghindari duplikasi investasi.
2. Pembelajaran teknologi dan kapabilitas teknologi merupakan faktor internal yang penting bagi peningkatan inovasi.
3. Faktor geografis dalam inovasi perlu merefleksikan peluang kapasitas inovasi daerah dan peluang pertumbuhan ekonomi daerah yang berbasis
pada keunggulan lokal, baik berdasar ketersediaan sumber daya alam, sumber energi mapun keunggulan dan keahlian khas manusianya. Hal ini
menjadi penting, untuk mendorong fleksibilitas birokrasi.
METODOLOGI
Untuk menjawab permasalahan penelitian digunakan metodologi kualitatif. Metode kualitatif secara spesifik digunakan untuk memperoleh gambaran
sistematis pengelolaan inovasi teknologi energi terbarukan. Dalam kasus ini pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi, observasi tak
terstruktur dan wawancara mendalam dengan pengelola lembaga litbang Kapuskabid, industri dan LSM pimpinan institusi. Hasil wawancara kemudian
dinarasikan dan dikategorikan sebagai bahan analisis. Analisis data ini bersifat induktif, yaitu mencari hubungan diantara kategori domain data. Sementara itu
faktor penghambat dan pendorong kegiatan inovasi ditunjukkan dari hasil wawancara mendalam dengan para pelaku inovasi, yaitu pengelola dan peneliti di
lembaga litbang, atau pimpinan industriLSM, dan Pemda serta para pengguna teknologi energi terbarukan Masyarakat pengguna menggunakan instrumen
panduan wawancara. Selanjutnya validasi data dilakukan dengan teknik triangulasi atau membandingkan dari perolehan data berdasarkan teknik
pengumpulan yang berlainan dokumentasi, observasi dan wawancara mendalam atau sumber yang berlainan para pelaku inovasi. Hasil analisis data, baik dari
lembaga litbang maupun industri dan LSM kemudian dikomparasikan untuk menyimpulkan penguatan kelembagaan litbang dari para pelaku inovasi untuk
mendorong percepatan pembangunan daerah dengan tersedianya sumberdaya energi listrik. Secara skematis tahapan penelitian ditunjukkan pada Gambar 2 di
bawah ini.
2010
118
Teknik Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui survei dengan secara sengaja purposif sampling dari sejumlah responden
menggunakan panduan wawancara sebagai alat untuk menghimpun data. Kriteria Responden, dipilih dari para pelaku dalam kegiatan inovasi teknologi energi
PLTMH PLTB, menggunakan metode purposive sampling dari pimpinan organisasi personil pelaku, yaitu dari LIPI, BPPT, LAPAN; Bapeda Bantul
– Jogyakarta; LSM: Paguyuban Kalimaron
–Jatim Koperasi Tani-Tasikmalaya Data Indepth interview ditranskripkan kemudian dipilah, dan dikategorikan
agar dapat diperlakukan sebagai data. Proses pengaturan urutan data, organisasi data dilakukan dengan suatu pola menurut kategori dan unit analisis Sugiyono,
2006. Selanjutnya data ini perlu dipetakan dan dibandingkan antara satu responden dengan responden dari kelembagaan lainnya proses triangulasi
sehingga diperoleh data kualitatif yang valid karena bersumber dari kelompok responden yang berbeda. Proses triangulasi juga dilakukan dengan pemeriksaan
silang antara data dokumerntasi dengan data indepth interview. Sementara metode analisis kualitatif melalui penyusunan data secara induktif dan
menginterpretasikannya, akan menunjukkan gambaran skematis kegiatan inovasi teknologi energi PLTMH PLTB. Secara skematis analisis data kualitatif
ditunjukkan pada gambar 3. di bawah ini. Analisis dilanjutkan dengan membandingkan kegiatan inovasi di lembaga litbang dengan inovasi di lembaga
Gambar 2. AlurTahapan Penelitian
Identifikasi Faktor-Faktor Kegiatan Inovasi di lembaga
Litbang
Faktor-faktor Penghambat dan Pendorong inovasi Energi
PLTMH PLTB Penguatan
Kelembagaan Litbang Para Pelaku Inovasi
Perilaku organisasi
Perilaku individu
Pengaruh lingkungan
FGD Peneliti Pengelola
Lembaga Litbang Analisis kualitatif
Induktif dan komparatif dokumentasi
Pengumpulan Data sekunder
Indept interview observasi tak terstruktur
Validasi Data Triangulasi
2010
119
swadaya masyarakat LSM maupun dengan inovasi di industri. Selanjutnya berdasarkan analisis ini ditentukan alternatif penguatan pengelolan inovasi energi
PLTMH PLTB untuk mendukung percepatan pembangunan daerah. Analisis penguatan dalam pengelolaan inovasi energi PLTMH PLTB akan lebih
dipertajam berdasarkan hasil FGD. Dalam kasus ini proses diskusi kelompok diarahkan berdasarkan hasil temuan dalam wawancara mendalam yang telah
dilakukan.
HASIL DAN BAHASAN
Inovasi teknologi PLTMH PLTB di lembaga litbang pemerintah maupun di industri swasta menunjukkan adanya kegiatan litbang untuk mendapatkan sesuatu
yang baru dan menerapkannya ke masyarakat pengguna. Kegiatan ini tentunya tidak dapat dilepaskan
dari rantai inovasi yang meliputi kegiatan litbang, demonstrasisosialisasi, komersialisasi dan difusi yang kesemuanya berinteraksi
dengan pengguna. Dalam interaksinya kepada masyarakat, ditemukan berbagai kendala dan hambatan yang sebenarnya merupakan masukan berharga bagi
lembaga litbang pemerintah dalam pengembangan sistem PLTMH PLTB. Pergeseran sistem PLTMH PLTB, baik yang terkait dengan sistem komponen
maupun sistem secara keseluruhan sesuai kebutuhan masyarakat pengguna. Bentuk kerjasama yang dibangun lembaga litbang pemerintah dengan stakeholder
seperti pihak industri pelaku inovasi, pemerintah daerah, LSMKoperasi merupakan interaksi dinamis dalam pengembangan PLTMH PLTB guna
memberikan nilai manfaat ekonomi, dan memberikan pemahamanan kepada masyarakat tentang arti penting penguasaan teknologi PLTMH PLTB.
Hasil litbang PLTMH yang dikembangkan Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatronika
–LIPI diantaranya adalah sebagai berikut :
Sumber: Model Miles Huberman dalam Sugiyono, 2006
Gambar 3. Model Analisis Data Kualitatif
2010
120
1. Turbin Air terdapat empat hasil penelitian PLTMH, antara lain: a Turbin