7Prinsip & Strategi Pembangunan Sosial & Politik

PRINSIP DAN STRATEGI PEMBANGUNAN SOSIAL DAN
POLITIK DALAM PRESPEKTIF MASYARAKAT MADANI
Oleh Drs. Bambang Santoso Haryono, MS

Secara etimologis “Madani” berasal dari kata madina, tidak hanya berarti Kota
atau Negara Kota, tetapi juga peradaban (tamaddun).
Sebuah kota atau negara kota di masa lalu memang menggambarkan suatu wujud
keterikatan kolektif, kota adalah sebuah bangunan kolektivitas yang terwujud dari
kesepakatan yang tertulis maupun tidak.
Di kota orang berkumpul dan berkomunikasi. Dan komunikasi yang itens
membutuhkan bahasa yang lebih kaya. Melalui bahasa, manusia berfikir. Karena itu
maka kota juga merupakan pusat manusia yang berfikir lebih keras. Di situ berkembang
simbol-simbol

sebagai

alat

komunikasi.

Berkembangnya


simbol-simbol

lebih

memeprlancar komunikasi. Memang simbol timbul karena kebutuhan komunikasi.
Dengan simbol manusia memecahkan masalah hubungan antar manusia. Makin rumit
sifat hubungan manusia makin banyak penciptaan simbol. Makin banyak simbol makin
luas sifat bahasa itu. Dari situlah lahir adab dan peradaban. Manusia penghuni kota
disebut juga civilian, orang-orang yang beradab. Mereka adalah orang-orang yang hidup
berdasarkan suatu standar moral tertentu, standar moral yang lebih tinggi atau lebih
kompleks. Itulah sebabnya maka orang yang terkesan kurang beradab sering pula disebut
sebagai “orang desa” atau “orang kampung”, sekalipun belum tentu orang kota itu lebih

1

beradab dari orang desa, bahkan sebaliknya, orang kota sering juga dipandang sebagai
kurang beradab oleh orang desa.
Peradaban adalah istilah Indonesia sebagai terjemahan dari civilization. Asal
katanya adalah a-dlb yang artinya adalah “kehalusan” (refinement), pembawaan yang

baik, tingkah laku yang baik, sopan santun, tata-susila, kemanusiaan atau kesasteraan.
Secara historis pembicaraan tentang peradaban tidak bisa lepas dari “peradaban
yang sedang dibangun di Madinah”. Strategi pembinaan peradaban yang dilakukan Nabi
Muhamamd SAW. Adalah : Landasan utamanya adalah kontrak sosial di antara warga
negara dalam Konstitusi Madinah. Pengakuan dan ketaatan terhadap kontrak sosial itu
akan membentuk kewarga-negaraan. Eksistensi sebuah negara-kota pada waktu itu
ditentukan oleh kewarga-negaraan (civic).
Langkah kedua yang dilakukan oleh Nabi SAW., adalah membangun masjid
umum, masjid Quba yang kemudian disebut sebagai Masjid Nabi. Pembangunan masjid
adalah simbol pembangunan akhlak dan pembangunan komunitas (jama’ah). Lewat
masjid, Nabi SAW., tidak hanya mengajak manusia untuk berkomunikasi secara bersama
dengan Tuhan, tetapi juga membina akhlak yang luhur. Akhlak itu merupakan fondasi
dari hubungan harmonis antar manusia.
Selanjutnya, Nabi SAW., membentuk hubungan persaudaraan, terutama antara
kaum Anshar dan kaum Muhajirin yang mewakili komunitas yang paling jauh berbeda.
Dari sini berkembang rukun tetangga (neighbourhood).

Pendekatan Alternatif Pembangunan Sosial.

2


Salah satu determinan (penentu) yang paling kritis dari keberhasilan mencapai
tujuan pembangunan sosial terletak pada jenis pendekatan yang digunakan oleh suatu
negara. Tentu saja terdapat rentangan alternatif pendekatan pembangunan sosial yang
dapat dipilih oleh negara mana pun. Namun pendekatan pembangunan sosial apa pun
tampaknya jatuh pada suatu titik di antara kedua kutub sepanjang suatu kontinum
pendekatan. Di satu ujung kontinum terdapat pendekatan pembangunan “top-down”
terhadap pembangunan sosial bangunan sosial yang berdasar pengelolaan sumber yang
bertumpu pada komunitas.” Pembangunan sosial apa pun akan ditandai baik oleh salah
satu, atau gabungan dari dua pendekatan tersebut (Korten, 1980; Korten 1986).
1. Pendekatan Pembangunan Sosial Atas-Bawah, Cetak Biru (Top_Down, Blueprint
Approach to Sosial Development).
Pendekatan ini elitis sifatnya, seperti mimiliki ciri “charity strategy”. Pendekatan ini
berkaitan dengan konsep pembangunan sosial yang diinterpretasikan sebagai usaha
terencana untuk memberikan pelayanan dan fasilitas sosial yang lebih baik kepada
rakyat. Keputusan-keputusan tentang pelayanan dan fasilitas sosial yang diberikan,
siapa yang memberi, kapan, di mana serta bagaimana diberikan, sepenuhnya
merupakan kebijaksanaan birokrasi pemerintah. Kelompok sasarannya tidak
mempunyai bentuk pasti karena mereka ditentukan secara terpusat tanpa
mempertimbangkan kebutuhan subyektif mereka dan kemampuan mereka untuk

memberikan respons. Rakyat diharapkan menerima secara pasif apa pun pelayanan
sosial dan fasilitas sosial yang dipilih birokasi pemerintah untuk ditawarkan sesuai
dengan kebijaksanaannya. Pelayanan dan fasilitas sosial yang ditawarkan cenderung
sudah ditentukan dan seragam. Pendekatan ini berkaitan dengan meminjam pepatah

3

Honadle (1981),” memberi ikan kepada rakyat yang siap dimakan pada hari ini, dan
bukan mengajari mereka memancing sehingga mereka bisa memakannya setiap hari.”
Meskipun mekanisme menyalurkan pelayanan melalui pendekatan atas
bawah (top-down) tersebut dapat efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan
sosial dan fasilitas sosial kepada rakyat, namun terdapat beberapa kelamahan serius
yang inheren dalam pendekatan ini:
a. Pendekatan ini menghilangkan nilai kemanusiaan karena penerima manfaat itu
jarang memiliki peranan apa pun kecuali sebagai pemanfaat pelayanan dan
fasilitas sosial yang ditentukan secara sepihak oleh birokrasi pemerintahan.
b. Pendekatan tersebut sering melemahkan kemampuan kreatif rakyat untuk
tradisional telah mereka lakukan untuk diri mereka sendiri serta menggantinya
dengan campur tangan pemerintah dan penyediaan sumber. Hal ini pasti
menghilangkan keswaspadaan yang telah mereka miliki dan mengubah mereka

menjadi tergantung sepenuhnya pada pemerintah.
c. Kecenderungan pendekatan tersebut mengabaikan pembentukan kemampuan dan
proses pembinaan institusi sehingga akan membahayakan kemampuan proyek
untuk tumbuh dengan kekuatan sendiri. Proyek tersebut segera akan berakhir
setelah campur tangan pemerintah dan bantuan pemerintah berakhir.
d. Karena sumber pembangunan publik (pemerintah) selalu langka, maka tanpa
partisipasi rakyat jangkauan pelayanan pemerintah akan sangat terbatas.
Pendekatan yang mengabaikan potensialitas partisipasi dan kontribusi rakyat
terhadap pemberian pelayanan sosial dan fasilitas sosial akan membatasi

4

kemampuannya untuk menjangkau mereka yang ada pada lapisan bawah dari
piramida sosial.
e. Kecenderungan pendekatan cetak-biru dan atas-bawah untuk merumuskan proyek
yang bersifat stereotipe dan seragam di samping ketidak pekaan mereka terhadap
variasi-variasi daerah, mengurangi adaptabilitasnya terhadap situasi daerah.
Akibatnya, terdapat kecocokan yang sangat kecil antara kebutuhan subyektif dan
aspirasi masyarakat yang telah ada, dan sifat pelayanan yang diberikan
mengakibatkan


pemanfaatan

sumber

yang

kurang

serta

mengakibatkan

pemborosan sumber (Korten, 1981, pp. 182-183).

2. Pendekatan Pengelolaan Sumber yang Bertumpu pada Masyarakat terhadap
Pembangunan Sosial.
Pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada masyarakat terhadap
pembangunan sosial, menempati ujung yang lain dari kontinum tersebut. Pendekatan
ini mencoba mengembangkan rasa keefektivan politis yang akan mengubah penerima

pasif dan reaktif menjadi peserta aktif yang memberikan kontribusinya dalam proses
pembangunan, warga yang aktif dan berkembang yang dapat turut serta dalam
memilih isyu kemasyarakatan (Thomas, tanpa tahun). Kendatipun pendekatan
pembangunan sosial ini memadai untuk meraih tujuan-tujuan sosial seperti
dipaparkan dalam kategori kedua dan ketiga dari pengertian pembangunan sosial,
namun juga dapat diterapkan pada kategori pertama pengertian pembangunan sosial
seperti dibahas sebelumnya.
Ciri pokok pendekatan ini ialah (Korten, 1986):

5

a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan rakyat dibuat di tingkat lokal,
yang didalamnya rakyat memiliki identitas dan peranan yang dilakukan sebagai
partisipan yang dihargai;
b. Fokus utamanya adalah memperkuat kemampuan rakyat miskin dalam mengawasi
dan mengarahkan aset-aset untuk memenuhi kebutuhan yang khas manurut daerah
mereka sendiri.
c. Pendekatan ini mempunyai toleransi terhadap perbedaan dan karenanya mengakui
arti penting pilihan nilai individual dan pembuatan keputusan yang terdistribusi.
d. Pendekatan ini mencapai tujuan pembangunan sosial melalui proses belajar sosial

(social learning) yang dalam proses tersebut individu berinteraksi satu sama lain
menembus batas-batas organisatoris, dan tuntutan oleh kesadaran kritis individual.
e. Budaya kelembagaan ditandai adanya organisasi yang mengatur diri sendiri dan
lebih terdistribusi, yeng menandai unit-unit lokal yang mengelola diri sendiri,
yang berinteraksi satu sama lain guna memberikan umpan balik pelaksanaan yang
cepat dan kaya kepada semua tingkat organisasi yang membantu tindakan koreksi
diri. Dengan demikian keseimbangan yang lebih baik antara struktur vertikal dan
horisontal dapat diwujudkan.
f. Jaringan koalisi dan komunikasi pelaku (aktor) lokal dan unit-unit lokal yang
mengelola diri sendiri, yang mencakup kelompok-kelompok penerima manfaat
lokal, organisasi pelayanan daerah, pemerintah daerah, bank-bank pedesaan dan
lain-lain akan menjadi basis tindakan-tindakan lokal yang diarahkan untuk
memperkuat pengawasan lokal yang mempunyai dasar yang luas atas sumbersumber dan kemampuan lokal untuk mengelola sumber mereka.

6

3. Pendekatan Pembangunan Sosial dengan Melibatkan NGO (Non Governmental
Organization).
Pendekatan ini mempertimbangkan keterlibatan struktur pembangunan daerah
nonpemerintah dalam proses mencapai tujuan pembangunan sosial. Dengan demikian

pendekatan ini telah mengintegrasikan satu ciri penting pendekatan pengelolaan
sumber bertumpu pada masyarakat dalam pembangunan sosial. Namun, prinsip
timbal balik yang memadai pendekatan pengelolaan sumber yang bertumpu pada
masyarakat itu terlambat oleh peranan pemerintah yang dominan. Ciri utama
pendekatan ini ialah:
a. NGO diberi kesempatan untuk melaksanakan rencana pembangunan sosial.
Dalam proses pelaksanaan proyek tersebut, mereka mendorong rakyat untuk ikut
serta dalam semua tahapan pelaksanaan, dari identifikasi masalah, perumusan dan
pelaksanaan proyek juga pemeliharaan terus menerus proyek tersebut.
b. Rakyat yang ada dalam komunitas tersebut menjadi penggerak utama pelaksanaan
proyek. Dengan melibatkan rakyat di dalam setiap tahapan aksi pembangunan,
mereka akan terlibat dan bertanggung jawab demi kelangsungan proyek tersebut.
c. Di dalam pendekatan ini peranan pemerintah adalah:
1. Memperkanankan NGO melaksanakan proyek.
2. Menugasi NGO untuk bekerja di suatu proyek atau di kawasan yang belum
dijangkau pemerintah. Sekali NGO itu diperkenankan, seterusnya dapat
menjalankan proyek itu tanpa terlalu banyak campur tangan pemerintah.
d. Kerja sama antara pemerintah dan NGO-NGO dapat dilembagakan dengan
mengundang wakil-wakil NGO menjadi anggota badan provinsi atau subprovinsi.


7

Kebijakan dan Strategi Bidang Politik.
Bertitik tolak dari pemikiran tentang masyarakat madani maka hubungan bidang
politik harus mengarah pada pemciptaan masyarakat yang demokratis.
Yang paling menarik dalam karya-karya mengenai demokratisasi akhir-akhir ini
adalah bahwa mayoritas ilmuwan itu menghasilkan kesimpulan yang sama. Yaitu bahwa
variabel yang paling penting dalam menjelaskan transisi ke demokrasi sejak 1970-an
adalah perilaku elit.
Linz dan Stepan mencoba menjelaskan kejatuhan dan kebangkitan kembali
demokrasi tidak dengan menelaah variabel-variabel konflik kelas atau kendala ekonomi,
tetapi dengan mencurahkan perhatian pada perilaku elit atau kepemimpinan mereka.
Walaupun keudanya tidak mengatakan bahwa kendala struktural tidak penting.
Mereka yakin bahwa kalau terdapat lingkungan struktural yang sangat tidak
menguntungkan

bagi

demokratisasi,


seringkali

itu

terjadi

sebagian

karena

ketidakmampuan para politisi untuk menghasilkan reformasi ekonomi dan inovasi
pelembagaan yang diperlukan bagi tumbuhnya demokrasi.
Para ilmuwan ini sangat menekankan pentingnya komitmen para pemimpin
politik yang kuat terhadap demokrasi. Pemimpin yang setia pada demokrasi menolak
penerapan kekerasan dan sarana yang ilegal dan tidak konstitusional untuk mengejar
kekuasaan. Pemimpin demikian juga tidak mentolerir tindak anti-demokratis oleh
partisipan lain.
Penekanan pada variabel politik diatas memungkinkan analis untuk menelaah
pengalaman demokratisasi dalam masyarakat yang tidak memiliki kualitas ekonomi,
sosial dan kultural yang digambarkan dalam model Barat. Dalam keadaan tidak ada

8

kondisi itupun masih ada harapan untuk demokratisasi. Yang sangat krusial adalah
“human action”, bukan variabel-variabel kondisional itu. Dengan kata lain, transisi
menuju demokrasi adalah “a matter of political crafting”. Karena itu persoalan strategi
dan taktik menjadi sangat relevan.
Strategi dan taktik apa yang dianggap tepat untuk menjalankan demokratisasi?
Diamond, Linz, Lipset, O’Donnell, Schmitter dan beberapa ilmuwan lain yang
menakankan variabel perilaku elit itu juga sepakat untuk mengikuti jalan yang dirintis
oleh Dahl, yang yakin bahwa gradualisme, moderasi dan kompromi adalah kunci menuju
keberhasilan transisi ke arah demokrasi. Ini dianggap tindakan politik yang bijaksana
untuk mendemokratiskan kembali pemerintahan yang otoriter.
Namun beberapa ilmuwan lain yang mengajukan argumen berbeda. Pengalaman
berbagai masyarakat yang melakukan demokratisasi dalam lingkungan otoriterisme sejak
akhir 1970-an menunjukkan bahwa umumnya transisi itu berlangsung dalam suasana
mobilisasi dan ketidaksabaran. Bahkan tidak jarang disertai dengan tindak kekerasan.
Untuk memahami ini Share mengajukan sebuah tipologi yang menarik. Ilmuwan ini
menelaah pola-pola transisi menuju demokrasi berdasar dua kriteria, yaitu keterlibatan
pemerintah yang sedang berkuasa dan jangka waktu. Dua pertanyaan yang diajukan
adalah: (1) Apakah transisi itu dilakukan dengan partisipasi atau persetujuan para
pemimpin rezim otoriter yang berkuasa, atau tidak?; dan (2) Apakah transisi itu
berlangsung secara bertahap, melewati masa lebih dari satu generasi, atau berjalan cepat?
Hasilnya adalah tipologi berikut.

9

TIPE-TIPE TRANSISI DARI OTORITERISME KE DEMOKRASI

Demokratisasi Melibatkan Para Pemimpin Rezim?
YA (Konsensual)
Bertahap

TIDAK (Non-Konsensual)

Demokratisasi inkremental

Transisi melalui perjuangan
revolusioner berkepanjangan

Transisi melalui transaksi

Transisi melalui perpecahan:
(a) revolusi
(b) kudeta
(c) keruntuhan
(d) “extrication”

Kecapatan

Cepat

Sumber: Donald Share, “Transition to Democracy and Transition Through Transaction”,
Comparative Political Studies, vol.19, No.4 (January 1987), h.530.

Secara logika, hanya transisi melalui transaksi yang menjadikan bentuk
demokratisasi secara damai dan cepat. Hanya sayangnya, transisi melalui transaksi
menuntut serangkaian syarat khusus yang meungkin sulit dipenuhi di sebagian besar
rezim otoriter masakini. Barangkali yang paling sulit adalah prasyarat adanya kehendak
rezim otoriter untuk mengambil inisiatif ke arah transisi menuju demokrasi. Banyak
pihak penyangsikan ini. Kalau perubahan itu hanya akan menimbulkan resiko yang
merugikan dirinya sendiri, apa yang menarik bagi pemimpin rezim otoriter untuk
mengambil inisiatif itu.
Karenanya, akan lebih tepat kita mengajukan strategi demokratisasi lewat
penguatan (empowerment) terhadap civil-society.
Lewat strategi gradual transformatif demikian, kata Havel, rakyat sebagai warga negara
mampu “belajar tentang aturan-aturan main lewat dialog demokratis dan penciptaan

10

bersama batang tubuh politik partisipatoris yang murni.” Gerakan penguatan civil society
sama sekali bukan diarahkan sebagai strategi destruktif total bagai tatanan yang ada. Ia
adalah, “gerakan untuk merekontruksi ikatansolidaritas dalam masyarakat yang telah
hancur” akibat kekuasaan yang monolitik. Secara normatif-politis, inti strategi ini adalah
upaya “memulihkan kembali pemahaman asasi bahwa rakyat sebagai warga negara
memiliki hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada para penguasa atas apa yang
mereka lakukan atas nama bangsa.”
Proses penguatan civil society, jadinya, adalah sebuah upaya multivalen. Ia bisa
terwujud dalam penyebaran ide-ide demokratis dan bisa pula dalam bentuk kiprah
menciptakan dan mempertahankan lembaga-lembaga otonom dalam masyarakat dan
negara. Ia mengambil sumber inspirasinya baik dari dunia penghayatan (lifeword)
tradisional maupun dari nilai-nilai modern hasil dari “proyek Pencerahan”, sambil tetap
kritis atas distorsi-distorsi mereka.
Tak heran apabila di negara-negara Eropa Timur dan Tengah, penguatan
menampilkan dirinya dalam spektrum yang luas: serikat kerja otonom, asosiasi profesi
independen, lembaga-lembaga keagamaan mandiri, gerakan-gerakan lingkungan dan anti
kekerasan serta feminis, serta berbagai bentuk gerakan masyarakat yang pada intinya
ingin menyelamatkan kemandirian individu dan sosial dari cengkeraman negara totaliter.
Sebagai sebuah proses, tentulah perjuangan demokrasi lewat penguatan ini tidak
berpretensi menawarkan jawaban paripurna. Sukses menumbangkan rezim totaliter dan
membangun sistem politik demokratik di beberapa negara, misalnya, bisa saja dinodai
oleh godaan partikularisme, rasialisme dan sektarianisme di negara lain seperti kita
saksikan di Bosnia, Serbia, Jerman, dan negara-negara bagian mantan Soviet. Bahkan

11

kita saksikan sekarang pun negara-negara seperti Ceko dan Polandia masih belum stabil
secara sosial dan ekonomi di bawah rezim demokratis.
Kesadaran bahwa transformasi ke arah masyarakat demokratis adalah proses
terbuka dan berkesinambungan inilah justru yang membedakan strategi ini dari strategi
revolusioner ala Marxis dan strategi teknokratis kaum modernis. Kedua strategi
belakangan dilandasi oleh pandangan yang kurang menghargai kemampuan manusia
sebagai individu untuk melakukan transformasi lewat kemampuan sendiri. Dalam visi
Marxian, individu ditundukkan oleh hubungan dan kekuatan produksi yang dominan
dalam masyarakat, sementara kaum modernis cenderung menyerahkan pemecahan sosial,
ekonomi, dan politik lewat rekayasa teknokratik. Keduanya bersikap elitis dan tertutup,
berlawanan dengan sifat alami proses kemasyarakatan yang menuntut keterbukaan, walau
bukan berarti tanpa tujuan.
Keyakinan atas kemandirian dan kemampuan individu inilah yang mendasari
kiprah manusia yang oleh Hannah Arendt disebut vita activa. Hanya ketika manusia
mampu mandiri saja, menurut Arendt (1958), demokrasi bisa jalan karena pada saat itu
pula mereka menjadi warga negara (citizens) yang sebenarnya. Manusia mendiri adalah
mereka yang tidak lagi terhimpit pada dunia tuntutan dasar (the realm of necessity) dan
pada saat yang sama mampu berperan serta dalam proses wacana dalam ruang publik
yang bebas.
Pandangan Arendt itulah yang antara lain menjadi dasar normatif pendekatan civil
society. Karenanya, tiga prasyarat di atas, yaitu otonomi, kebebasan dari tuntutan dasar
dan kemampuan

berwacana dalam ruang publik, merupakan landasan bagi bangunan

masyarakat demokratis dan komponen itulah yang ingin diraih lewat penguatan civil

12

society. Dari asas itu pula kita bisa mencari berbagai strategi perjuangan yang pas dan
pengejawantahannya dalam realitas sosial yang ada.
Perjuangan meraih otonomi bisa dilakukan lewat setiap kiprah yang bertujuan
pembebasan dari kungkungan sistem politik-ekonomi dan higemoni budaya yang
ujungnya melenyapkan kapasitas inspiratif, kreatif, dan partisipatoris individu maupun
kelompok. Upaya-upaya membentuk serikat buruh yang mandiri, aksi-aksi penyadaran
dan pembelaan hak-hak dasar oleh LSM, perbaikan aturan main dalam politik untuk
meningkatkan partisipasi warga negara dan kontrol terhadap lembaga-lembaga negara,
pembelaan atas kaum tertindas dan minoritas, dst. Merupakan berbagai agenda yang
tercakup di dalamnya.
Pembebasan manusia dari himpitan keperluan (ekonomi) dasar menyiratkan
sebuah tuntutan bagi perluasan dan penyeimbangan distribusi sumber daya ekonomi dan
hasil-hasil pembangunan, pengentasan kemiskinan, dan kritik atas wacana dan praktek
ekonomi kapitalis yang secara nyata maupun tersembunyi dipraktekkan. Upaya untuk
mengurangi dan mengeliminir oligopoli, monopoli, dan kolusi antara penguasa dan
pengusaha yang menjadi patologi sistem ekonomi kita, menjadi agenda utama di sini.
Kesemua kiprah tersebut memerlukan ruang publik yang semakin bebas dan luas. Ini
menyiratkan bukan saja tuntutan bagi jaminan kebebasan berpendapat, tetapi juga
kualitas tinggi wacana yang ada dalam publik itu sendiri.

13

DAFTAR PUSTAKA

Sumber: Donald Share, “Transition to Democracy and Transition Through Transaction”,
Comparative Political Studies, vol.19, No.4 (January 1987), h.530.
Risalah Ensiklopedia Al-Qur’an : Madinah No.5 Vol IV Tahun 1993
Cernea, Michael M., “Social Structures for Sustained Development”, paper presented in
Combined Expert Group Meeting on Social Development and Third Training
Seminar on Local Social DevelopmentPlanning Held in Nagoya, 20-29 October
1986.
Doh Joon Chie, “People Development”: The Missing Link in Development,
(mimeograph, n.d).
Korten, David C., “People-Contered Development: Reflections on Development Theory
and Method”, Manila: mimeograph, 1983.

14