BIAYA TETAP BIAYA TIDAK TETAP

Lampiran 28 Neraca bahan material separator berbasis bagas tebu Am = 50 Kg APS = 0,5 Kg MBAm = 2 Kg Bagas Tebu 122 Kg Pulp Bagas Tebu 102 Kg Selulosa Bagas Tebu 50 Kg Material Separator bentuk Gel Material Separator 100 Kg NaOH H 2 O 2 Pulping Delignification Grafting Crosslinking copolymerization Drying Sieving EtOH, MeOH, Aceton Homopolymer disposal ABSTRACT HENNY PURWANINGSIH. Biopolymer Engineering of Cellulose-Based Agricultural Waste Materials and Its Application for Separator. Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS’UD, and ANAS MIFTAH FAUZI. Natural biopolymers such as polysaccharides e.g. cellulose, is known to be used as polymer backbone in order to produce a separator material. Agricultural wastes such as sago waste, sugarcane bagasse, and rice straw are potential raw materials because they contain cellulose in large quantities. In addition to cheap and untapped, potential biopolymers of the three materials are very abundant in Indonesia. Use of local materials will be very economical and sustainable, while also address the environmental problems caused by poor waste management. To improve the properties owned by a natural polysaccharide of these three raw materials it needs to be engineered by graft copolymerization and cross-linking. The objective of this study is to obtain a molecular separator material through biopolymer engineering-based agricultural waste cellulose by graft copolymerization and cross-linking technique. This study consists of several stages. The first stage is the analysis of chemical components of raw materials. The second stage is the isolation and characterization of cellulosic isolate. The third stage is the determination of biopolymer engineering through graft copolymerization and cross-linking technique. The fourth stage is to evaluate the performance of the product as a molecular separator material. The next stage is to analyze the financial and value-added products. The results showed that the separator material from sugarcane bagasse is potential to be developed. This material is able to separate the active components in the extract of java turmeric with good resolution. Keywords: biopolymer, cellulose, grafting, crosslinking, separator PENDAHULUAN Latar Belakang Kajian bioprospeksi senyawa aktif dari bahan alam dan cara memperoleh senyawa aktif murni merupakan salah satu topik penelitian yang terus digali seiring dengan meningkatnya kebutuhan dan permintaan akan senyawa aktif murni dalam industri farmasi maupun kimia. Untuk menghasilkan senyawa aktif murni tersebut maka tahap isolasi, pemisahan, dan pemurnian menjadi langkah utama yang dibutuhkan dan terus dikembangkan sampai saat ini. Dari beberapa teknik pemisahan untuk menghasilkan senyawa aktif murni, kromatografi merupakan teknik yang paling banyak digunakan. Kromatografi merupakan teknik pemisahan yang cepat, mudah, dan tidak membutuhkan contoh yang banyak Sastrohamidjojo 1991. Pada prinsipnya, semua teknik kromatografi melibatkan dua fase, yaitu fase diam stationary phase dan fase gerak mobile phase. Klasifikasi utama metode kromatografi dilakukan berdasarkan fase geraknya, subklasifikasi lebih lanjut didasarkan pada fase diam dan interaksi antara analit dan fase diam Miller 1975. Fase diam dalam kromatografi dapat berupa zat padat atau zat cair, sedangkan fase gerak dapat berupa zat cair atau gas. Fase diam yang berbentuk zat padat pada teknik kromatografi untuk selanjutnya disebut material separator dalam penelitian ini. Pemilihan dan penggunaan material separator dalam kromatografi bergantung pada sifat dan jenis senyawa aktif yang akan dipisahkan Sastrohamidjojo 1991. Salah satu material separator yang dapat digunakan untuk pemisahan senyawa aktif adalah material separator yang berbasis senyawa polisakarida, seperti selulosa dan amilosa. Material separator jenis ini telah digunakan sebagai fase diam pada kolom HPLC high performance liquid chromatography dan dapat diperoleh secara komersial. Beberapa material separator berbasis polisakarida adalah kolom HPLC kromasil seperti AmyCoat yang berbasis amilosa dan CelluCoat yang berbasis selulosa, serta kolom HPLC Astec Cellulose DMP yang berbasis selulosa. Namun demikian, sampai saat ini material separator belum dapat diproduksi di Indonesia. Untuk penggunaannya diperoleh dengan cara mengimpor dan harganya relatif mahal. Sebagai ilustrasi untuk kolom HPLC Astec Cellulose DMP dengan panjang kolom 25 cm, diameter internal 2,1 mm, dan ukuran partikel sebesar 5 µm mempunyai harga 2.365 SGD dolar Singapura. Di dalam material separator berbasis senyawa polisakarida, salah satu polimer backbone yang dapat digunakan adalah selulosa. Selulosa merupakan senyawa penyusun utama hampir sebagian besar jaringan tanaman. Jumlahnya yang cukup banyak menjadikan selulosa sebagai bahan baku potensial yang dapat digunakan di berbagai industri. Selulosa dapat diisolasi dari kayu dan bahan organik lainnya. Limbah pertanian seperti ampas sagu atau ela sagu, ampas tebu atau bagas tebu, jerami padi, ampas tapioka, dan lain-lain dapat dijadikan sumber alternatif untuk mendapatkan selulosa. Di dalam penelitian ini, 3 jenis limbah pertanian, yaitu ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi digunakan sebagai bahan baku untuk menghasilkan polimer backbone pada material separator. Di Indonesia, potensi ela sagu sangat besar. Sampai saat ini, luas area tanaman sagu belum dapat diketahui dengan pasti. Namun, beberapa pakar memperkirakan luas lahan sagu mencapai 2.201.000 ha, dengan luas lahan terbesar berada di Papua Papilaya 2009. Satu hektar lahan sagu memiliki rerata masak tebang 20 pohon dengan tingkat produksi sekitar 4.400 kg tepung sagu. Sementara itu, nisbah antara tepung sagu dan ela sagu yang dihasilkan adalah 1:6 Rumalatu 1981 yang diacu Matitaputty dan Alfons 2006. Dengan demikian, ela sagu yang dapat dihasilkan dapat mencapai kira-kira 58 juta ton. Beberapa kajian potensi ela sagu telah dilaporkan, yaitu sebagai pakan ternak Horigome et al. 1990 yang diacu Bintoro 2008; Matitapputty dan Alfons 2006, sebagai pupuk dan media tumbuh tanaman Bintoro 2008, juga sebagai arang briket Papilaya 2009. Namun, pemanfaatan ela sagu belum maksimal dan jika limbah ini tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak pencemaran terhadap lingkungan karena menimbulkan bau yang kurang sedap. Selain itu, akan mencemari sungai terutama daerah aliran sungai di sekitar tempat pengolahan tepung sagu tersebut karena biasanya sungai menjadi tempat pembuangan ela sagu. Sampai saat ini, belum ditemukan kajian tentang pemanfaatan selulosa dari ela sagu sebagai polimer backbone untuk material separator. Selain ela sagu, ampas tebu juga berpotensi sebagai sumber alternatif selulosa. Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas bagasse adalah hasil samping dari proses ekstraksi pemerahan cairan tebu di pabrik gula. Pada tahun 2009, produksi tebu di Indonesia mencapai 2,7 juta ton per tahun dengan luas lahan ± 400 ribu ha Direktorat Jenderal Perkebunan 2010. Areal perkebunan tebu di Indonesia tersebar di Medan, Lampung, Semarang, Solo, dan Makassar. Ampas tebu yang dapat dihasilkan setiap pabrik gula sekitar 35-40 dari berat tebu yang digiling Husin 2007. Jumlah total tebu giling pada tahun 2009 sebesar 33,3 juta ton sehingga ampas tebu yang dihasilkan mencapai 9,9 juta ton. Sebanyak 60 dari ampas tebu yang dihasilkan tersebut dimanfaatkan oleh pabrik gula itu sendiri sebagai bahan bakar, sedangkan sisanya sekitar 3,96 juta ton ampas tebu per tahun belum dimanfaatkan secara maksimal. Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan penambahan lahan perkebunan tebu dan peningkatan produktivitas tanaman tebu yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam rangka menuju swasembada gula di tahun 2012. Kajian pemanfaatan bagas tebu selain sebagai bahan bakar adalah sebagai bahan baku industri kertas, bahan baku industri kanvas rem, pakan ternak Tarmidi 2004; Widodo 2006, membran Rodrigues et al. 2000, campuran pembuatan asbes Mubin Fitriadi 2005, produksi furfural Wijanarko et al. 2006, produksi bioetanol Samsuri et al. 2007, metilselulosa Viera et al. 2007, plastisizer Hamid et al. 2009, dan lain-lain. Bagas tebu juga telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan papan partikel serta bahan bakar. Sampai saat ini, belum diperoleh informasi mengenai pemanfaatan selulosa dari bagas tebu sebagai polimer backbone dalam material separator. Sumber alternatif selulosa lainnya adalah jerami padi. Di Indonesia, limbah pertanian berupa jerami padi ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Perkiraan total produksi padi pada tahun 2011 adalah 67,31 juta ton BPS 2011. Menurut Kim dan Dale 2004, nisbah jerami padi terhadap padi yang dipanen adalah 1,4. Jadi, untuk menghasilkan 1 ton padi akan diperoleh 1,4 ton jerami padi. Jadi, total potensi jerami padi di Indonesia pada tahun 2011 adalah 94,23 juta ton. Beberapa kajian tentang pemanfaatan jerami padi telah dilaporkan, di antaranya sebagai bahan baku pembuat kertas Sun et al. 2000, bahan untuk pupuk kompos Zayed dan Abdel-Motaal 2005, bahan baku untuk pakan ternak van Soest 2006, karbon aktif Basta et al. 2009; Fierro et al. 2010, adsorben Gong et al. 2008, bahan bakar gas hidrogen Huang et al. 2010 , papan partikel Li et al. 2011. Sampai saat ini, belum diperoleh informasi mengenai pemanfaatan selulosa dari jerami padi sebagai polimer backbone dalam material separator. Untuk memperbaikimeningkatkan sifat fisik dan kimia biopolimer yang dihasilkan dari limbah pertanian berbasis selulosa seperti ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi, maka perlu dilakukan kajian untuk merekayasa biopolimer tersebut melalui teknik pencangkokan grafting dan taut silang crosslinking. Berbagai jenis polimer dapat dicangkokkan ke rantai selulosa melalui gugus hidroksil pada posisi C2, C3, dan C6 Enomoto-Rogers et al. 2009. Dengan memilih monomer yang tepat, maka kekuatan mekanik dan stabilitas termal material berbasis selulosa yang direkayasadimodifikasi dengan teknik pencangkokan dan taut silang juga dapat ditingkatkan Princi 2005. Selain itu, produk yang dihasilkan akan memiliki struktur makromolekular seperti gel atau hidrogel, resin polimer, membran atau material komposit yang dapat diaplikasikan untuk teknologi pemisahan Crini 2005. Berdasarkan analisis peluang dan permasalahan tersebut di atas, maka masih perlu dilakukan penelitian mengenai rekayasa biopolimer dari limbah pertanian berbasis selulosa dan mengevaluasi kinerja produk hasil rekayasa dengan cara mengaplikasikannya sebagai material separator untuk pemisahan senyawa aktif dari bahan alam pada skala laboratorium. Pada penelitian ini, biopolimer berupa selulosa diisolasi dari 3 jenis limbah pertanian, yaitu ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Isolat selulosa selanjutnya akan digunakan sebagai backbone pada tahap rekayasa dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang untuk menghasilkan material separator. Isolat selulosa dari ketiga limbah pertanian memiliki karakteristik khusus dan berbeda, sesuai dengan jenis limbahnya sehingga material separator yang dihasilkan juga akan memiliki karakteristik yang berbeda untuk setiap jenis backbone selulosa yang digunakan. Uji kinerja material separator dievaluasi sebagai kolom pemisahan pada teknik kromatografi untuk memisahkan senyawa aktif xantorizol pada ekstrak kasar temu lawak. Rekayasa biopolimer dari limbah pertanian berbasis selulosa untuk diaplikasikan sebagai material separator seperti yang dilakukan pada penelitian ini dapat menjadi solusi permasalahan dalam teknologi separasi dan juga permasalahan yang ditimbulkan akibat pemanfaatan limbah pertanian yang belum optimal. Selain itu, akan mendorong kemandirian nasional dalam memenuhi kebutuhan material separator dan penyediaan senyawa aktif xantorizol ekstrak kasar temu lawak untuk kebutuhan industri farmasi. Perumusan Masalah Berbagai limbah pertanian seperti ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi diketahui mengandung selulosa Awg-Adeni et al. 2010; Samsuri et al. 2007; Jiang et al. 2011. Selulosa yang diperoleh dari tanaman berbeda akan memiliki karakteristik yang berbeda pula, sehingga melalui tahapan isolasi dan pencirian selulosa akan diperoleh informasi karakteristik selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Selanjutnya, selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi akan dijadikan sebagai backbone pada tahap rekayasa untuk menghasilkan material separator. Selulosa merupakan polimer hidrofilik dengan tiga gugus hidroksil reaktif di tiap unit hidroglukosa, tersusun atas ribuan gugus anhidroglukosa yang tersambung melalui ikatan 1,4- β-glikosida membentuk molekul berantai yang panjang dan linier Lehninger 1993. Gugus hidroksil pada selulosa ini dapat dimanfatkan pada saat memodifikasi selulosa, yaitu dengan cara memasukkan gugus fungsi tertentu pada selulosa melalui teknik pencangkokan. Modifikasi kimia dengan teknik pencangkokan ini bertujuan memperbaiki dan meningkatkan sifat hidrofilik atau hidrofobik, elastisitas, kemampuan pertukaran ion, ketahanan panas, dan ketahanan terhadap serangan mikroba. Modifikasi lebih lanjut terhadap selulosa melalui teknik taut silang membuat struktur material polimer yang terbentuk menjadi lebih kuat dan stabil Saika dan Ali 1999; Princi 2005. Umumnya, material separator konvensional berbasis pada penggunaan satu jenis gugus fungsi yang bertindak sebagai tapak dimana proses pemisahan terjadi. Pada penelitian ini, material separator yang dihasilkan memiliki multigugus fungsi -OH, -COOH, -COONH 2 , dsb. yang diharapkan dapat meningkatkan resolusi dan efisiensi pemisahan melalui sistem multipartisi. Adanya taut silang juga dapat membantu proses pemisahan melalui efek sterik, di samping memberikan kontribusi terhadap stabilitas material separator sehingga lebih tahan dan dapat diregenerasi untuk penggunaan ulang. Teknik kopolimerisasi pencangkokan dan taut silang terhadap selulosa dari limbah pertanian berbasis selulosa yang dipadu dengan proses hidrolisis parsial, memungkinkan diperoleh material separator dengan multigugus fungsi seperti tersebut di atas. Secara spesifik permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Kondisi proses isolasi selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi, serta karakteristik selulosa yang dihasilkan dari ketiga contoh tersebut di atas 2. Kondisi proses rekayasa biopolimer untuk menghasilkan material separator dengan menggunakan selulosa sebagai polimer backbone, akrilamida sebagai monomer untuk menghasilkan polimer cangkok, dan N,N’-metilena-bis-akrilamida sebagai pereaksi penaut silang. 3. Uji kinerja material separator dalam pemisahan senyawa aktif xantorizol pada ekstrak temu lawak. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendapatkan material separator molekul melalui rekayasa biopolimer dari limbah pertanian berbasis selulosa dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang. Manfaat Penelitian Material separator yang dihasilkan dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam teknologi separasi senyawa aktif bahan alam, meningkatkan nilai tambah limbah pertanian berbasis selulosa, dan mendorong kemandirian nasional dalam memenuhi kebutuhan material separator, serta penyediaan senyawa aktif xantorizol dalam ekstrak temu lawak untuk kebutuhan industri farmasi. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Selulosa yang diperoleh dari ketiga jenis limbah pertanian yang digunakan bersifat khasunik. Hal ini akan terlihat melalui nilai derajat polimerisasi, bobot molekul, indeks kristalinitas, dan stabilitas termal. 2. Material separator dapat diperoleh melalui rekayasa biopolimer selulosa melalui teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang. 3. Material separator yang dihasilkan dapat memisahkan senyawa aktif xantorizol secara efektif dan efisien. Hal ini akan terlihat dari efisiensi dan resolusi pemisahan senyawa tersebut dengan teknik kromatografi. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup tahapan penelitian yang dikerjakan adalah sebagai berikut: 1. Analisis komponen kimia ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi 2. Isolasi dan pencirian selulosa yang diperoleh dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. 3. Penentuan kondisi rekayasa biopolimer dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi untuk menghasilkan material separator 4. Uji kinerja material separator untuk pemisahan senyawa aktif xantorizol dalam ekstrak kasar temu lawak dengan teknik kromatografi 5. Analisis finansial dan nilai tambah material separator potensial Kebaruan Kebaruan dari penelitian ini adalah: 1. Teknik isolasi selulosa, khususnya isolasi selulosa dari ela sagu 2. Rekayasa biopolimer selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi dengan teknik pencangkokan dan taut silang menggunakan akrilamida dan N,N’-metilena-bis-akrilamida. 3. Teknik pemisahan senyawa aktif xantorizol dari ekstrak temu lawak dengan material separator berbasis limbah pertanian TINJAUAN PUSTAKA Selulosa Selulosa adalah homopolimer yang tersusun dari subunit D-glukosa yang ditautkan satu sama lain dengan ikatan β-1→4-glikosida. Unit penyusun building block selulosa adalah selobiosa karena unit keterulangan dalam molekul selulosa adalah 2 unit gula D-glukosa. Selulosa adalah senyawa yang tidak larut di dalam air dan ditemukan pada dinding sel tumbuhan terutama pada tangkai, batang, dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Selulosa merupakan polisakarida struktural yang berfungsi untuk memberikan perlindungan, bentuk, dan penyangga terhadap sel, dan jaringan. Lehninger 1993. Gambar 1 menyajikan struktur kimia dari selulosa. Gambar 1 Struktur kimia selulosa. Di dalam jaringan tumbuhan berkayu, selulosa dapat dijumpai bersama- sama dengan hemiselulosa, lignin, dan pati. Gabungan 40-50 selulosa dan 15- 25 hemiselulosa disebut holoselulosa. Kandungan holoselulosa berdasarkan bobot keringnya adalah sebesar 65-70. Gabungan antara selulosa, hemiselulosa, dan lignin disebut lignoselulosa Rowell 2005. Menurut Hu et al. 2008, bahan- bahan yang mengandung lignoselulosa dapat dihasilkan dari berbagai sumber, di antaranya biomassa hasil hutan, limbah pertanian, tanaman rumput-rumputan, dan limbah industri Gambar 2. Komposisi kimia bahan lignoselulosa tergantung pada jenis dan sumberasal bahannya. Komposisi kimia bahan lignoselulosa disajikan pada Tabel 1. Gambar 2 Bahan lignoselulosa berdasarkan sumbernya Hu et al. 2008. Tabel 1 Komposisi kimia beberapa bahan yang mengandung lignoselulosa Sumber Komposisi Pustaka Acuan Lignoselulosa Selulosa Hemiselulosa Lignin Jerami padi 36,5 33,8 12,3 Sun et al. 2000 Bagas tebu 43,6 33,5 18,1 Sun et al. 2004a Abaka 63,72 5-10 21,83 Hon 1996 Tongkol jagung 45 35 15 Hon 1996 Kapas 95 2 0,9 Hon 1996 Sisal 73 11 13 le Digabel dan Avérous 2006 Jerami gandum 39,4 24,0 11,2 Kham et al. 2005 Serat rami 65,0 15,8 12,7 Jahan et al. 2011 Jumlah unit glukosa di dalam molekul selulosa dapat dilihat melalui derajat polimerisasinya DP. Derajat polimerisasi didefinisikan sebagai berikut: glukosa unit satu molekul bobot selulosa molekul bobot DP = Derajat polimerisasi dapat ditentukan secara viskometri. Derajat polimerisasi selulosa sangat bervariasi, nilai DP bergantung pada sumber dan perlakuan yang diberikan. Perlakuan kimia secara intensif seperti pembuatan pulp, pengelantangan, dan transfromasi akan sangat menurunkan harga DP. Proses delignifikasi dan ekstraksi juga dapat menurunkan DP selulosa. Selain itu, semakin tua umur pohon, maka derajat polimerisasi juga semakin menurun Fengel dan Wegener 1995. Derajat polimerisasi juga menggambarkan perkiraan bobot molekul dari selulosa. Tabel 2 menyajikan derajat polimerisasi berbagai bahan yang mengandung selulosa. Tabel 2 Derajat polimerisasi berbagai jenis selulosa Bahan Kisaran DP Native cotton Up to 12000 Scoured bleached cotton 800-1800 Wood pulp 600-1200 Man-made cellulose filaments and fibers 250-500 Cellulose powders prepared by partial hyrolysis and mechanical disintegration 100-200 Sumber: Klemm et al. 1998 Selulosa memiliki struktur yang unik karena kecenderungannya membentuk ikatan hidrogen yang kuat. Ikatan hidrogen intramolekular terbentuk antara: 1 gugus hidroksil C3 pada unit glukosa dan atom O cincin piranosa yang terdapat pada unit glukosa terdekat, 2 gugus hidroksil pada C2 dan atom O pada C6 unit glukosa tetangganya. Ikatan hidrogen antarmolekul terbentuk antara gugus hidroksil C6 dan atom O pada C3 di sepanjang sumbu b Gambar 3. Dengan adanya ikatan hidrogen serta gaya van der Waals yang terbentuk, maka struktur selulosa dapat tersusun secara teratur dan membentuk daerah kristalin. Di samping itu, juga terbentuk rangkaian struktur yang tidak tersusun secara teratur yang akan membentuk daerah nonkristalin atau amorf. Semakin tinggi packing density-nya maka selulosa akan berbentuk kristal, sedangkan semakin rendah packing density maka selulosa akan berbentuk amorf. Derajat kristalinitas selulosa dipengaruhi oleh sumber dan perlakuan yang diberikan. Rantai-rantai selulosa akan bergabung menjadi satu kesatuan membentuk mikrofibril, dimana bagian kristalin akan bergabung dengan bagian nonkristalin. Mikrofibril-mikrofibril akan bergabung membentuk fibril, selanjutnya gabungan fibril akan membentuk serat Gambar 4. Gambar 3 Ikatan hidrogen intra dan antar rantai selulosa Klemm et al. 1998. Gambar 4 Model fibril struktur supramolekul selulosa Klemm et al. 1998. Ela Sagu Ela sagu hampas adalah limbah padat selain kulit batang yang dihasilkan pada saat ekstraksi pati sagu Metroxylon sagu. Pada saat ekstraksi pati sagu akan dihasilkan 3 tiga limbah, yaitu kulit batang sagu bark, limbah padat berserat ela sagu~hampas, dan air limbah. Skema ekstraksi pati sagu disajikan pada Gambar 5. Gambar 5 Skema ekstraksi pati sagu. Jumlah ela sagu yang dihasilkan pada setiap proses ekstraksi pati sagu bergantung pada kualitas proses ekstraksi di tempat tersebut. Menurut Awg-Adeni et al. 2010, ela sagu mengandung sekitar 66 pati dan 14 serat kasar serta 25 lignin. Pada proses ekstraksi pati sagu, limbah padat berserat yang masih mengandung sedikit pati merupakan masalah utama, khususnya untuk pabrik berskala besar, karena jumlahnya yang sangat banyak. Penanganan limbah ela sagu ini juga sulit karena kelembabannya yang tinggi sehingga tidak mudah kering dan masih mengandung pati. Pada kondisi ini, ela sagu mudah menjadi media tumbuh mikroorganisme. Selain pati, ela sagu mengandung sejumlah selulosa dan lignin. Beberapa kajian tentang pemanfaatan ela sagu telah dilaporkan pada pohon industri sagu yang disajikan pada Gambar 6. Sago Pith Debarking Pulping Starch Extraction Drying Packing Bark Hampas Fiber Starch Wastewater Gambar 6 Pohon industri sagu. Sagu Batang Sagu Daun Obat tradisional Atap, dinding Tumang Kerajinan Kulit Batang Kertas Papan partikel Lantai Bahan bakar Pati Sagu Makanan Siklodektrin Sirup glukosa bioplastik Asam Sitrat Asam Laktat Salad Dressing Roti Mie Cookies dll Bahan kimia Biofuel Farmasi bioetanol lem plywood tekstil Biosorben Fermentable sugars Ela Sagu Pakan ternak Papan partikel Kompos Kultur media Bagas Tebu Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas bagasse adalah hasil samping dari proses ekstraksi pemerahan cairan tebu di pabrik gula. Gambar 7 menyajikan proses pembuatan gula pada pabrik gula. Gambar 7 Proses pembuatan gula pada pabrik gula. Bagas tebu mengandung air 48-52, rerata gula 3,3 dan rerata serat 47,7. Menurut Samsuri et al. 2007, serat dari bagas tebu tidak dapat larut dalam air dan komposisi lignoselulosa pada ampas tebu terdiri atas 52,7 selulosa, 20 hemiselulosa, dan 24,2 lignin berdasarkan bobot kering. Dengan komposisi selulosa yang cukup tinggi, ampas tebu berpotensi untuk dimanfaatkan oleh industri lainnya. Beberapa pemanfaatan bagas tebu dapat dilihat pada pohon industri dari tanaman tebu yang disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Pohon industri tebu. Jerami Padi Jerami padi adalah limbah pertanian yang dihasilkan dalam jumlah cukup banyak setiap tahunnya. Jerami padi dihasilkan sebagai proses penggabahan. Gambar 9. Pohon industri dari tanaman padi disajikan pada Gambar 10. Gambar 9 Proses menghasilkan padi. Komponen utama dinding sel jerami padi adalah selulosa. Di dalam dinding sel ini, rantai selulosa akan terikat melalui ikatan hidrogen membentuk beberapa mikrofibril dengan panjang beberapa milimeter dan diameter beberapa nanometer Chen et al. 2011. Pada musim panen, kadar air jerami padi mencapai 60 berdasarkan bobot basah. Akan tetapi setelah dikeringkan dapat mencapai 10- 12. Jerami padi mempunya kadar abu yang tinggi mencapai 22 dan kandungan protein yang rendah Abdel-Mohdy et al. 2009. Menurut Sun et al. 2000, komposisi jerami padi terdiri atas selulosa 36,5, hemiselulosa 33,8, lignin 12,3, bahan ekstraktif 3,8, abu 13,3, dan silika 70,8. Gambar 10 Pohon industri padi. Pencangkokan dan Taut Silang Penggabungan monomer dan polimer dapat dilakukan dengan berbagai teknik, di antaranya adalah dengan fisisorpsi, pencangkokan grafting, dan taut silang crosslinking Bhattacharya et al. 2009. Istilah fisisorpsi digunakan jika melibatkan ikatan secara fisik. Proses fisisorpsi ini adalah proses yang dapat balik reversibel. Pencangkokan melibatkan ikatan secara kovalen dan bersifat tidak dapat balik irreversibel. Teknik pencangkokan terbagi menjadi grafting to dan grafting from. Pada grafting to, polimer backbone membawa gugus fungsional X reaktif yang terdistribusi secara random dan bereaksi dengan polimer lain yang membawa gugus fungsi Y. Teknik grafting from terjadi jika polimer backbone membawa tapak aktif yang digunakan untuk menginisiasi polimerisasi monomer lain. Teknik grafting form akan menghasilkan polimer dengan derajat grafting yang tinggi. Proses grafting secara skematis disajikan pada Gambar 11a. Taut silang adalah menggabungkan polimer-polimer melalui suatu ikatan kimia. Pada sebagian kasus, taut silang bersifat tidak dapat balik. Ikatan yang terbentuk melalui taut silang dapat berbentuk intra- atau antarmolekul. Proses taut silang secara skematis disajikan pada Gambar 11b. Gambar 11 A Skema fisisorpsi I, grafting to II, grafting form III; B Skema crosslinking antarmolekul I dan intramolekul II Kromatografi Kromatografi berasal dari kata chroma yang berarti warna dan graphein yang artinya menulis. Kromatografi adalah salah satu teknik yang digunakan di laboratorium untuk pemisahan campuran. Pada prinsipnya semua kromatografi menggunakan dua cara, yaitu fase diam stationary phase dan fase gerak mobile phase. Pemisahan bergantung pada gerakan relatif dari kedua fase ini. Keuntungan penggunaan teknik kromatografi adalah cepat, murah, dapat memisahkan campuran yang kompleks, dan membutuhkan analit yang sedikit Miller 1975; Ahuja 2002. Pada beberapa jenis kromatografi, kolom merupakan tempat untuk memisahkan. Kolom selalu berbentuk tabung yang dapat diatur menjadi kumparan atau lurus. Jika suatu analit dimasukkan ke dalam alat kromatografi, maka akan ada waktu dimana analit ditahan oleh kolom. Waktu ini disebut waktu penahanan t R . Pada kondisi ideal dengan pemisahan yang sempurna, puncak yang dihasilkan oleh suatu campuran analit adalah berbentuk garis tipis Gambar 12a, namun demikian kondisi ini jarang terjadi. Puncak yang sering didapatkan adalah puncak dengan bentuk kurva-kurva Gauss dengan pelebaran puncak Gambar 12b, atau pada keadaan tertentu dapat dihasilkan puncak berekor dengan pemanjangan di muka. Gambar 12 Profil kromatogram. Injeksi A B D C d W1 W2 a b Resolusi Pemisahan Resolusi pemisahan adalah pemisahan nyata antara 2 puncak yang saling berdekatan. Resolusi pemisahan R dinyatakan sebagai: 2 1 2 W W d R + = Jika R=1 maka pemisahan dikatakan 98. Untuk pemisahan yang baik, maka R harus ≥ 1.5. Hal ini berarti pemisahan yang terjadi adalah ≥ 99.7 Pemisahan dari puncak-puncak dalam kromatogrfi erat hubungannya dengan dua faktor, yaitu: 1. Efisiensi Kolom: Pelebaran puncak merupakan hasil dari bentuk kolom dan kondisi operasi 2. Efisiensi Pelarut: Hasil dari interaksi antara cuplikan dengan fase diamnya. Efisiensi pelarut menentukan relatif dari jalur-jalur solut dalam suatu kromatogram. Efisiensi Kolom Efisiensi kolom diukur sebagai jumlah pelat teoritis N. HETP The height equivalent to a theoretical plate didefinisikan sebagai: N L HETP = N adalah jumlah pelat teoritis dalam suatu kolom dan L adalah panjang kolomcm. Efisiensi kolom tergantung pada: 1. Pelarut-fase diam 2. Analitzat yang dilarutkan 3. Suhu 4. Kecepatan aliran 5. Ukuran dari analit Efisiensi Pelarut Kromatografi dapat memisahkan campuran kompleks yang memiliki titik didih sama. Pada kondisi ini, pemisahan tidak akan bisa dilakukan melalui teknik distilasi. Pelarut mempunyai interaksi yang spesifik dengan analit. Pemisahan akan tergantung pada harga koefisien partisi K. Efisiensi pelarut didefinisikan sebagai perbandingan dari koefisien partisi atau waktu retensi yang telah diatur. Profil kromatogram terkoreksi disajikan pada Gambar 13. Keterangan: X 1 , X 2 adalah waktu retensi volume dari puncak 1,2 X 1 ’, dan X 2 ’ adalah waktu retensi terkoreksi Gambar 13 Profil kromatogram terkoreksi. Efisiensi pelarut α dinyatakan sebagai: 1 2 1 2 k k x x = = α Selain itu dapat didefinisikan juga faktor pemisahan SF sebagai: 1 2 x x SF = Faktor kapasistas untuk suatu pemisahan didefinisikan sebagai: udara x x k 2 2 = X 1 X 2 X 1 ’ X 2 ’ Injeksi Puncak udara Puncak 1 Puncak 2 X udara Koefisien partisi K akan tergantung pada suhu. Harga K akan turun dengan meningkatnya suhu karena molekul-molekul akan tertahan lebih lama di dalam fase gas pada suhu yang tinggi dan efisiensi pelarut akan tetap pada kisaran suhu tertentu. Akan tetapi, pada suhu yang relatif tinggi, harga K akan menjadi sangat kecil sehingga pemisahan akan menjadi tidak sempurna. Hal ini disebabkan pemisahan hanya terjadi di fase cairnya saja. Secara umum dapat diperkirakan jumlah pelat teoritis N yang dibutuhkan dalam suatu pemisahan atau dengan kata lain dapat diperkirakan panjang kolom yang dibutuhkan untuk menghasilkan pemisahan yang baik, melalui persamaan berikut ini: 2 2 2 2 2 1 16 ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = k k x R N hkan yangdibutu α α dengan R adalah resolusi pemisahan, α adalah efisiensi pelarut, dan k 2 ’ adalah faktor kapasistas. Material Sepator Senyawa selulosa dan turunan selulosa telah digunakan dalam teknologi separasi sebagai material separator, khususnya dalam teknik kromatografi misalnya pada kromatografi kertas sampai kromatografi cair kinerja tinggi. Aplikasi senyawa turunan selulosa sebagai penukar ion pada kromatografi lapis tipis dilaporkan memberikan hasil yang cepat dan akurat dalam pemisahan ion-ion anorganik pada konsentrasi yang kecil. Beberapa kajian terkait dengan pemisahan ion logam ini telah dilaporkan di antaranya menggunakan karboksimetil selulosa CMC Shimizu et al. 1976, menggunakan selulosa fosfat Shimizu et al. 1980, menggunakan polietilenimina-selulosa Shimizu et al. 1989. Kajian beberapa material separator berbasis selulosa sebagai chiral stationary phases CSP telah dilaporkan di antaranya oleh Ficarra et al. 2000 melaporkan telah menggunakan kolom selulosa untuk memisahkan 1-metil-3- hidroksi-5-aril-2-pirolidinonat. Selain itu, kolom selulosa tris 3,5- dimetilfenilkarbamat untuk pemisahan 8 enansiomer O,O-dialkil-2- benziloksikarbonilaminoarilmetil fosfonat Yang et al. 2002. Lipka et al. 2005 melakukan pemisahan secara kiral pada derivat senyawa melatoninergat menggunakan kolom kiral berbasis selulosa. Su-lian et al. 2007 menggunakan etil selulosa EC dan paduan etil selulosaselulosa asetat ECCA sebagai column packing material pada HPLC high performance liquid chromatography. Temu Lawak Temu lawak Curcuma xanthorrhiza merupakan salah satu jenis tanaman unggulan yang mememilik banyak manfaat, di antaranya sebagai bahan tambahan makanan, obat-obatan, dan suplemen energi Hwang et al. 2004. Klasifikasi tanaman temu lawak adalah sebagai berikut: kingdom Plantae, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Monocotyledonae, ordo Zingeberales, famili Zingiberaceae, genus Curcuma, dan spesies Curcuma xanthorrhiza. Temu lawak memiliki beberapa nama, misalnya koneng gede Jawa Barat, temu lawak Jawa Tengah, temu lobak Madura, dan tetemu lawak Sumatera Supriadi 2001. Temu lawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun. Setiap rumpun tanamannya terdiri atas beberapa anakan dengan 2-9 helai daun. Temu lawak memiliki rimpang dengan daging rimpang berwarna kuning, berbau tajam, dan terasa pahit. Tanaman dan rimpang temu lawak disajikan pada Gambar 14. a b Gambar 14 a Tanaman temu lawak dan b rimpang temu lawak. Kandungan rimpang temu lawak segar terutama terdiri atas pati 48- 59,64, kurkuminoid 1,6-2,2, dan minyak atsiri 1,48-1,63. Kandungan utama minyak atsiri dalam rimpang temu lawak adalah xantorizol dan oleoresin. Temu lawak dilaporkan memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antitumor, antiinflamasi, antioksidan, hepatoprotektif, dan antibakteri Ravindran et al. 2007. Sementara itu, Irawati 2008 melaporkan bahwa kapasitas antioksidan temu lawak menggunakan metode CUPRAC dengan pelarut THF sebesar 131,5937 µmol trg ekstrak. Aktivitas tersebut disebabkan adanya senyawa aktif dalam temu lawak, terutama kurkuminoid dan xantorizol Hwang et al. 2004 Temu lawak dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai macam penyakit, yaitu gangguan hati, demam, sakit kuning, pegal-pegal, sembelit, perangsang air susu, dan obat peluruh haid. Selain itu, rimpang temu lawak juga berkhasiat untuk obat kejang, antijerawat, malaria, diare, kurang nafsu makan, kurang darah, cacar air, radang lambung, getah empedu, cacingan, kencing darah, dan radang ginjal Sidik et al. 1995. Kurkuminoid Gambar 15a merupakan komponen yang memberi warna kuning atau jingga pada rimpang temu lawak, berbentuk serbuk, berasa pahit, memiliki aroma yang khas, dan tidak bersifat toksik. Senyawa ini larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida kurkuminoid berkhasiat menetralkan racun, menurunkan kadar kolesterol dan trigliserida darah, antibakteri, analgesik, dan antiinflamasi Ravindran et al. 2007. Xantorizol Gambar 15b merupakan komponen khas minyak atsiri yang dapat diisolasi dari rimpang temu lawak. Senyawa ini termasuk ke dalam kelompok seskuiterpena dengan tipe bisabolen Itokawa et al. 1984, Aguilar et al. 2001. Xantorizol tidak berwarna dan rasanya sangat pahit Itokawa et al. 1984. Xantorizol memiliki aktivitas membantu relaksasi pembuluh darah Campos et al. 2000, antibakteri perusak gigi sehingga dapat digunakan dalam produk makanan dan pasta gigi Hwang et al. 2004, dan antitumor Chung et al. 2007. Keterangan : 1. Kurkumin R 1 = R 2 = −OCH 3 2. Demetoksikurkumin R 1 = H, R 2 = −OCH 3 3. Bisdemetoksikurkumin R 1 = R 2 = −H a. Struktur kimia kurkuminoid. b. Struktur kimia xantorizol. Gambar 15 Struktur kimia kurkuminoid a dan xantorizol b Analisis Finansial dan Nilai Tambah Dalam pendirian suatu pabrik terdapat investasi, yaitu kegiatan yang menuntut akan waktu yang singkat, dan tingkat keyakinan yang tinggi akan keberhasilan suatu pertukaran penggunaan untuk harapan berkembangnya penggunaan tersebut di masa mendatang Holmes 1998. Menurut Sutojo 2002, kajian terhadap keadaan dan prospek suatu industri dilakukan atas aspek-aspek tertentu di antaranya aspek pasar dan pemasaran, aspek produksi, teknis dan teknologis, aspek manajemen dan sumber daya manusia serta aspek keuangan dan ekonomi. Masalah yang dikaji dalam aspek finansial dan ekonomi adalah keuntungan proyek. Evaluasi finansial dimaksudkan untuk memperkirakan jumlah dana yang diperlukan, baik untuk dana tetap maupun modal kerja awal. Pada evaluasi aspek finansial juga dipelajari struktur pembiayaan serta sumber dana modal yang digunakan, berapa bagian dari jumlah kebutuhan dana tersebut yang wajar dibiayai dengan pinjaman dari pihak ketiga, serta dari mana sumbernya dan berapa besarnya. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis finansial, yaitu modal investasi, modal kerja, dan penyusutan. Menurut Kadariah et al. 1999, analisis finansial suatu proyek memandang perbandingan pengeluaran uang dan perolehan keuntungan dari proyek tersebut. Bila analisis tersebut menunjukkan keuntungan benefit yang bernilai positif, maka rencana proyek dapat dilanjutkan. Bila sebaliknya yaitu bernilai negatif, maka rencana investasi tersebut sebaiknya dibatalkan. Analisis finansial dapat dilakukan dengan menghitung biaya investasi dan biaya produksi, yang kemudian dinilai kelayakan investasinya melalui beberapa penilaian di antaranya Net Present Value NPV, Internal Rate of Return IRR, Net Benefit-Cost Ratio net BC, Break Even Point BEP, Pay Back Period PBP, dan analisis sensitivitas. Di dalam penelitian ini, penilaian terhadap analisis finansial dilakukan terhadap a analisis biaya dan pendapatan yang meliputi biaya produksi, penerimaan, dan keuntungan; b rasio BC; dan c nilai BEP Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi penggunaanpemberian input fungsional. Menurut Gumbira dan Intan 2000, nilai tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis. Informasi atau keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilik-pemilik faktor produksi Hayami et al. 1987. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Terpadu, Laboratorium Kimia Fisik, dan Laboratorium Kimia Organik-Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor. Beberapa pencirian juga dilakukan di laborotorium pendukung lainnya, seperti di Puslitbang Hutan, Bogor dan di Faperta IPB. Waktu penelitian berlangsung dari bulan Januari 2010-Oktober 2011 Rancangan Penelitian Penelitian rekayasa biopolimer ini dilakukan dalam beberapa tahapan, meliputi: 1. Preparasi dan pencirian bahan baku limbah pertanian berbasis selulosa 2. Isolasi dan pencirian selulosa 3. Rekayasa biopolimer dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang untuk menghasilkan material separator 4. Uji kinerja material separator 5. Analisis nilai tambah Tahapan penelitian ini disajikan secara skematis pada bagan alir Gambar 16. Gambar16 Bagan alir penelitian. Preparasi dan Isolasi Air, NaOH, HCl, H 2 O 2 3 Prototipe Material Separator ela, bagas, jerami Uji Kinerja Seleksi Homopolimer pereaksi sisa Residu dan pereaksi sisa Monomer, inisiator, crosslinker 1 Prototipe Material Separator Terbaik Sampling Bahan Baku Limbah Pertanian berbasis Selulosa Rekayasa Biopolimer Biopolimer Selulosa Analisis Nilai Tambah Preparasi dan Pencirian Bahan Baku Limbah Pertanian Berbasis Selulosa Bahan baku yang akan digunakan dalam penelitian ini berupa limbah pertanian berbasis selulosa, yaitu: a ampas tebu bagas yang diperoleh dari pabrik gula Modjopanggung di Tulungagung, Jawa Timur, b ela sagu yang diperoleh dari industri pengolahan sagu di Cimahpar, Kab. Bogor, Jawa Barat, dan c jerami padi dari daerah Kab. Purwakarta, Jawa Barat. Masing-masing bahan baku dicuci dan dihaluskan dengan ukuran kira-kira 100 mesh serta dicampur secara homogen. Bahan baku yang telah mengalami perlakuan tersebut terlebih dahulu dicirikan melalui analisis proksimat, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan air dengan mengacu pada metode standar AOAC 2005. Selain itu, komposisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin juga akan ditentukan dengan mengacu pada metode standar TAPPI 1961 dan ASTM 1981. Rincian tahapan penelitian ini disajikan pada bagian Isolasi dan Pencirian Selulosa. Isolasi dan Pencirian Selulosa Tahap isolasi selulosa diawali dengan penghilangan protein dan lemak melalui teknik ekstraksi Soxhlet menggunakan campuran toluena-etanol 2:1 vv. Tahap selanjutnya adalah delignifikasi dan demineralisasi dengan perlakuan asam dan dilanjutkan dengan fraksionasi untuk memperoleh isolat selulosa. Isolat yang diperoleh kemudian dikeringkan dan dibuat dalam bentuk bubuk 100 mesh. Isolat ini lebih lanjut akan digunakan sebagai bahan backbone untuk pembuatan material separator. Tahap berikutnya adalah pencirian terhadap isolat selulosa ini, seperti penentuan derajat polimerisasi secara viskometri, analisis morfologi permukaan dengan teknik SEM, profil gugus fungsi melalui spektrum inframerah, dan analisis termal dengan teknik thermal gravimetric. Hasil pencirian ini akan digunakan sebagai pembanding sekaligus sebagai data pantau keberhasilan tahapan rekayasa biopolimer. Rincian tahapan penelitian ini disajikan pada bagian Isolasi dan Pencirian Selulosa. Rekayasa Biopolimer Rekayasa biopolimer dilakukan dengan teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang secara radikal bebas yang mengacu pada metode Doane 2009 dalam atmosfir inert menggunakan gas nitrogen. Monomer yang akan digunakan adalah jenis akrilamida Am, sedangkan sebagai inisiator dan penaut silang berturut-turut adalah amonium persulfat APS dan N,N’-metilena-bis-akrilamida MBAm. Kajian pengaruh penaut silang terhadap total substrat akan dilakukan. Keberhasilan rekayasa ini akan dipantau dengan paduan teknik fourier transform infrared FTIR spectrometric dan gravimetrik. Melalui spektrum FTIR akan diperoleh informasi menyangkut keberlangsungan proses grafting-crosslinking copolimerization secara kualitatif, sedangkan teknik gravimetrik kuantitatif akan digunakan untuk mengevaluasi kopolimerisasi cangkok dan taut silang menggunakan parameter nisbah pencangkokan dan efisiensi pencangkokan. Rincian tahapan penelitian ini disajikan pada bagian Rekayasa Biopolimer dengan Teknik Pencangkokan dan Taut Silang. Uji Kinerja Material Separator Uji kinerja akan dilakukan terhadap satu prototipe material separator terbaik hasil prototipe potensial yang diperoleh pada tahap sebelumnya. Evaluasi kinerja meliputi resolusi dan efisiensi pemisahan mengacu pada Ahuja 2002. Uji kinerja material separator dilakukan dengan mengaplikasikan material separator untuk pemisahan senyawa aktif xantorizol ekstrak kasar temu lawak dengan teknik kromatografi. Analisis Finansial dan Nilai Tambah Analisis finansial dan nilai tambah dilakukan terhadap satu prototipe yang digunakan pada tahap uji kinerja material separator. Analisis finansial dilakukan untuk melihat besarnya penerimaan, pengeluaran, pendapatan, rasio BC, titik impas BEP, serta analisis nilai tambah berdasarkan metode hayami. ISOLASI DAN PENCIRIAN SELULOSA DARI ELA SAGU, BAGAS TEBU, DAN JERAMI PADI Abstrak Selulosa diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Delignifikasi dilakukan dengan metode peroksida bersuasana basa H 2 O 2 5 pH 12 T=70 °C, t=3 jam pada contoh yang telah diberi perlakukan basa pekat NaOH. Rendemen polisakarida yang dihasilkan dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi adalah 5, 41, 11, yang mengandung α-selulosa sebesar 62,53-77,47 dan sisa lignin sebesar 0,81-1,62. Isolat selulosa dikaji melalui teknik degradasi seperti analisis termal dan teknik non-degradasi seperti spektroskopi FTIR dan mikroskopi elektron pemayaran. Selain itu, juga ditentukan indeks kristalinitas dari masing- masing isolat selulosa. Spektrum FTIR, mikrograf, dan kurva analisis termal menunjukkan bahwa sebagian besar isolat yang dihasilkan adalah selulosa. Kata kunci: selulosa, isolasi, hidrogen peroksida Abstract Cellulose were isolated from sago waste, sugarcane bagasse, and rice staw. Delignification was carried out by alkaline peroxide method H 2 O 2 5 pH 12 T=70 °C, t=3 jam after extraction with concentrated alkali NaOH. The polysaccharide yields from sago waste, sugarcane baggase, and rice straw were 5, 41, 11, which contained 62,53-77,47 α-cellulose and 0,81-1,62 remaining lignin. The cellulose isolates were comparatively studied by both degradation technique such as thermal analysis and non-degradation techniques such as FTIR spectroscopy and scanning electron microscopy SEM, and the cristallinity index was also comparatively estimated. FTIR spectrum, SEM micrograph, and thermal analysis curve confirmed that the isolates were cellulose. Keywords: cellulose, isolation, hydrogen peroxide Pendahuluan Selulosa adalah komponen utama yang terdapat pada jaringan tanaman, yaitu sekitar 30-50 bagian jaringan tanaman. Secara kimia, selulosa adalah polimer alam berantai lurus dari monomer anhidroglukosa yang terikat secara β- 1,4-glikosida. Selulosa merupakan komponen utama pada tumbuhan tinggi, seperti kayu, kapas, tebu, serat rami, jerami Sun et al. 2004a. Limbah hasil pertanian seperti ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi merupakan sumber selulosa yang potensial. Di Indonesia, ketiga limbah pertanian ini dapat ditemukan dalam jumlah yang cukup banyak. Limbah jerami padi mencapai 94,23 juta ton Kim dan Dale 2004; BPS 2010, ela sagu sebesar 58,08 juta ton Rumalatu 1981 yang diacu Matitaputty dan Alfons 2006; Papilaya 2009, dan bagas tebu 9,9 juta ton Direktorat Jenderal Perkebunan 2010. Ketiga jenis limbah pertanian ini belum dimanfaatkan secara optimal. Oleh karena itu, pemanfaatan limbah pertanian berbasis selulosa untuk mendapatkan nilai tambahnya menarik untuk terus dikaji lebih lanjut. Kebutuhan selulosa sebagai bahan baku potensial yang banyak digunakan di sejumlah industri merupakan daya tarik dalam pengembangan kajian metode isolasinya. Berbagai kajian yang berkaitan dengan teknik isolasi selulosa dari kayu atau bahan organik lainnya terus dikembangkan. Umumnya selulosa ditemukan tidak dalam bentuk murni melainkan berada bersama-sama dengan senyawa lain seperti hemiselulosa dan lignin, oleh karena itu fokus kajian dalam pengembangan metode isolasinya adalah memperoleh metode isolasi yang efektif dan efisien untuk menghilangkan senyawa-senyawa selain selulosa tersebut. Metode konvensional yang sering digunakan untuk menghilangkan lignin adalah metode yang dikembangkan oleh Green pada tahun 1963, yaitu menggunakan natrium klorit NaClO 2 dalam suasana asam sebagai tahap awal untuk mengisolasi selulosa. Namun, pereaksi yang mengandung klorin ClO 2 - ini menimbulkan masalah lingkungan yang cukup serius sehingga perlu dikembangkan metode penghilangan lignin yang lebih ramah lingkungan dengan menggunakan pereaksi yang tidak mengandung klorin, misalnya ozon, oksigen, hidrogen peroksida Kham et al. 2005. Beberapa kajian penggunaan hidrogen peroksida pada tahap penghilangan lignin telah dilaporkan. Beberapa di antaranya telah digunakan pada tahap isolasi selulosa dari jerami Barley Sun et al. 2005, jerami gandum Sun et al. 2004b, dan bagas tebu Sun et al. 2004a. Tahap penelitian ini bertujuan mendapatkan 1 selulosa dari berbagai limbah pertanian, yaitu ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi melalui tahap asidifikasi, pulping, dan delignifikasi menggunakan hidrogen peroksida 2 karakteristik isolat selulosa melalui analisis komponen kimia, analisis derajat polimerisasi dengan teknik viskometri, analisis gugus fungsi dengan teknik spektroskopi IR infrared, analisis morfologi permukaan dengan teknik mikroskopi, analisis kristalinitas dengan teknik difraksi sinar X, dan analisis termal. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Ela sagu diperoleh dari industri pengolahan sagu di daerah Cimahpar, Bogor. Bagas tebu diperoleh dari pabrik gula tebu Modjo Panggung, Tulungagung, Jawa Timur. Jerami padi diperoleh dari daerah Dramaga, Bogor. Pereaksi yang digunakan di antaranya HCl p.a E-Merck, H 2 O 2 p.a E-Merck, pelet NaOH murni E-Merck. Semua pereaksi langsung dipakai tanpa perlakuan awal terlebih dahulu. Peralatan yang dipakai adalah peralatan gelas, oven, dan peralatan instrumen yang digunakan pada tahap pencirian. Metode Penelitian Tahap Isolasi Isolasi Selulosa Ampas Sagu. Ampas sagu dikeringkan di bawah sinar matahari kemudian digiling sampai berukuran sekitar 100 mesh A 1 . Ampas sagu kering selanjutnya dianalisis komponen kimianya. Contoh A 1 ditambahkan sejumlah akuades dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit. Campuran disaring dan pencucian dilakukan tiga kali sehingga diperoleh residu A 2 . Contoh A 2 ditambahkan HCl 3 untuk pembebasan pati. Campuran dipanaskan pada suhu 80 °C selama 30 menit sambil diaduk. Campuran disaring dan dinetralkan dengan akuades sehingga diperoleh residu A 3 . Contoh A 3 kemudian ditambahkan larutan H 2 O 2 5 pH = 12 untuk penghilangan lignin. Campuran lalu dipanaskan pada suhu 70 °C sambil diaduk pada kecepatan 1000 rpm selama 3 jam. Selanjutnya, campuran disaring dan dinetralkan dengan akuades. Tahapan ini diulang berturut- turut untuk 3 jam dan 2 jam. Residu hasil perlakuan pada tahap ini adalah holoselulosa ampas sagu A 4 . Kemudian contoh A 4 ditambahkan larutan NaOH 10, selanjutnya campuran dimaserasi pada suhu 20 °C selama 10 jam. Campuran disaring dan dinetralkan dengan akuades. Residu yang diperoleh pada tahap ini adalah selulosa ampas sagu A 5 . Isolasi Selulosa Ampas Tebu. Ampas tebu yang telah kering digiling sampai berukuran 100 mesh B 1 . Ampas tebu giling selanjutnya dianalisis komponen kimianya. Contoh B 1 ditambahkan akuades dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit. Campuran disaring dengan pencucian dilakukan tiga kali kemudian residu dikeringkan pada suhu 50 °C hingga bobotnya konstan. Residu hasil penyaringan tersebut telah bebas dari komponen polisakarida yang larut dalam air B 2 . Contoh B 2 ditambahkan NaOH 4 dan dipanaskan pada suhu 80 °C selama 4 jam. Campuran kemudian disaring dengan bantuan vakum. Kemudian, residu yang diperoleh dari penyaringan dicuci dengan akuades hingga pH filtratnya tidak berubah dan diperoleh contoh B 3 yang selanjutnya dikeringkan pada suhu 50 °C hingga bobotnya konstan. Contoh B 3 ditambahkan 500 mL larutan H 2 O 2 5 pH 12 dan dipanaskan dalam penangas air bersuhu 70 °C yang dijaga konstan selama 3 jam kemudian campuran disaring dan endapannya dicuci dengan akuades sampai pH netral. Perlakuan dengan larutan peroksida diulang kembali 2 kali dengan penambahan waktu pemanasan berturut-turut 3 jam dan 2 jam. Setelah itu, campuran disaring dan endapan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60 °C. Residu yang diperoleh adalah selulosa bagas tebu B 4 . Isolasi Selulosa Jerami Padi. Jerami padi kering digiling sampai berukuran 100 mesh C 1 . Jerami padi giling selanjutnya dianalisis komponen kimianya. Contoh C 1 ditambahkan akuades dan diaduk dengan pengaduk magnet selama 5 menit. Campuran disaring dan pencucian dilakukan tiga kali. Residu kemudian dikeringkan pada suhu 50 °C hingga bobotnya konstan. Contoh jerami padi tersebut telah bebas dari komponen polisakarida yang larut dalam air C 2 . Contoh C 2 ditambahkan HCl 3 untuk melarutkan mineral yang terkandung di dalam jerami padi. Sejumlah contoh C 2 ditambahkan larutan NaOH 20, kemudian campuran dipanaskan pada suhu 80 °C selama 2 jam. Campuran disaring dan endapannya dicuci dengan akuades hingga pH filtratnya netral. Residu dikeringkan pada suhu 50 °C hingga bobotnya konstan C 3 . Contoh C 3 ditambahkan larutan H 2 O 2 5 pH 12 dan dipanaskan dalam penangas air bersuhu 70 °C yang dijaga konstan selama 3 jam kemudian campuran disaring dan endapannya dicuci dengan akuades sampai pH netral. Perlakuan dengan larutan peroksida diulang kembali 2 kali dengan penambahan waktu pemanasan berturut- turut 3 jam dan 2 jam. Setelah itu, campuran disaring dan endapan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan dalam oven bersuhu 60 °C. Residu yang diperoleh adalah selulosa jerami padi C 4 . Pencirian Analisis Komponen Kimia. Analisis komponen kimia dilakukan terhadap bahan baku awal dengan analisis proksimat, seperti karbohidrat, protein, lemak, mineral, dan air dengan mengacu pada metode standar SNI 1992 dan AOAC 2005. Selain itu, komposisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin juga ditentukan dengan mengacu pada metode standar TAPPI 1961 pada contoh bahan baku dan isolat selulosa. Analisis Gugus Fungsi dengan Spektrometer FTIR . Spektra IR isolat selulosa direkam melalui spektrometer FTIR Perkin Elmer Spectrum One menggunakan pelet KBr dari bilangan gelombang 4000 cm -1 sampai 400 cm -1 dengan resolusi 8 cm -1 dan pemayaran 45 x per contoh. Analisis Morfologi Permukaan dengan Mikroskop Elektron Pemayaran Scanning Electron Microscope, SEM . Produk hasil isolat ditempelkan di atas tempat contoh menggunakan perekat elektrokonduktif. Pengamatan morfologi dilakukan pada JEOL 6400 mikroskop elektron dengan tegangan 20 kV. Analisis Kristalinitas dengan Difraktometer Sinar X. Difraksi sinar X dihasilkan oleh difraktometer Rigaku DMax 2500. Radiasi yang digunakan adalah Ni-filtered Cu K α pada panjang gelombang 0,1541 nm. Difraktometer dioperasikan pada 40 kV dan 200 mA. Contoh dipayar pada kisaran 2 θ = 10-60°. Kristalinitas dihitung berdasarkan: CrI = [I 002 -I am I 002 ] x 100, dengan CrI adalah indeks kristalinitas, I 002 adalah intensitas maksimum pada kisi difraksi 002, dan I am adalah intesitas puncak fasa amorf. Analisis Termal dengan TGDTA . Thermogravimetric TG dan differential thermogravimetric analysis DTA dilakukan dengan DTG-60H FC-60A TA- 60WS. Suhu yang digunakan mulai 27 sampai 600 °C dengan laju pemanasan 10 °C menit -1 . Hasil dan Pembahasan Selulosa adalah polisakarida yang jumlahnya paling melimpah di alam. Oleh karena ketersediaannya yang banyak dan bersifat dapat diperbarui serta keteraturan strukturnya, selulosa merupakan polimer alami yang murah dengan sifat fisik dan kimia yang khas. Selulosa dapat diperoleh melalui: 1 pemisahan poliosa utama dan sisa lignin dari holoselulosa, 2 isolasi langsung dari kayu, dan 3 penentuan kandungan selulosa dengan hidrolisis total kayu, holoselulosa atau selulosa alfa diikuti dengan penentuan gula yang dihasilkan Fengel dan Wegener 1984; Achmadi 1990. Metode isolasi selulosa yang umum digunakan Metode A melibatkan penghilangan senyawa lipid, gula, protein, serta senyawa minor lainnya dengan ekstraksi pelarut tahap delipifikasi, penghilangan lignin melalui pemutihan bleaching pada suasana asam dengan larutan NaClO 2 tahap delignifikasi, selanjutnya penghilangan hemiselulosa dengan hidrolisis menggunakan larutan NaOH pekat. Dalam penelitian ini, terdapat modifikasi terhadap metode isolasi yang umumnya digunakan Metode B, yaitu dengan melakukan tahap penghilangan hemiselulosa terlebih dahulu setelah tahap delipifikasi. Menurut Zhou et al. 2010, modifikasi metode isolasi dengan melakukan penghilangan hemiselulosa terlebih dahulu akan menghasilkan selulosa yang lebih murni. Selain itu, pereaksi yang digunakan pada tahap delipifikasi diganti dari benzena:etanol 2:1 vv menjadi toluena:etanol 2:1 vv. Pelarut benzena diketahui lebih bersifat karsinogenik dibandingkan dengan pelarut toluena. Selanjutnya, pereaksi pada tahap delignifikasi juga diganti dengan H 2 O 2 yang telah banyak dilaporkan sebagai pereaksi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan NaClO 2 . Gambar 17 menyajikan metode isolasi selulosa secara umum A dan metode isolasi selulosa yang digunakan dalam penelitian ini B. Gambar 17 Metode isolasi selulosa secara umum A dan metode isolasi selulosa yang digunakan dalam penelitian ini B. Komponen Kimia Analisis proksimat dilakukan terhadap 3 bahan baku, yaitu ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi penentuan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat total. Selanjutnya, dilakukan juga analisis komponen kimia seperti kandungan α- selulosa, holoselulosa, hemiselulosa, dan lignin. Jumlah kandungan komponen kimia bahan baku awal selanjutnya dibandingkan dengan isolat selulosa yang diperoleh untuk mengevaluasi keberhasilan tahap isolasi. Hasil analisis proksimat dan komponen kimia adalah karakteristik untuk setiap bahan baku. Ela Sagu. Dari ketiga bahan baku yang digunakan, ela sagu memiliki kadar air yang cukup tinggi, yaitu 10,17 Lampiran 1. Menurut Silahooy 2006, kadar air ela sagu segar dapat mencapai 18. Kadar air yang cukup tinggi ini menyebabkan penanganan bahan baku ela sagu menjadi lebih sulit dibandingkan dua bahan baku lainnya. Ela sagu segar tidak dapat langsung disimpan melainkan A Sumber Lignoselulosa Holoselulosa + Lignin Holoselulosa Selulosa Delipifikasi dengan pelarut Delignifikasi dengan CH 3 COOHNaClO 2 Penghilangan hemiselulosa dengan NaOH pekat B Sumber Lignoselulosa Holoselulosa + Lignin Selulosa + Lignin Selulosa Delipifikasi dengan pelarut Penghilangan hemiselulosa dengan NaOH pekat Delignifikasi dengan H 2 O 2 harus segera dikeringkan sesaat setelah dilakukan pengambilan contoh karena ela sagu akan mudah menjadi media tumbuh jamur atau mikroorganisme. Berdasarkan komposisi komponen kimia, ela sagu memiliki komposisi komponen kimia yang paling kecil jika dibandingkan dari ketiga bahan baku yang digunakan Gambar 18. Ela sagu memiliki kandungan selulosa alfa sebesar 22,45 dan lignin 11,52. Ela sagu memiliki kandungan pati cukup besar, yaitu 47,03 selisih kandungan karbohidrat total dan holoselulosa. Kandungan pati yang cukup besar ini menunjukkan bahwa proses ekstraksi pati sagu yang dilakukan di tempat pengambilan contoh masih belum efektif. Kandungan pati yang cukup besar ini menjadi pertimbangan khusus pada tahap awal isolasi selulosa dari ela sagu. Pemanfaatan air panas ASTM D 1110-56 yang semula digunakan untuk menghilangkan polisakarida pati menjadi tidak efektif dan tidak efisien karena untuk mendapatkan preparat ela sagu yang bebas pati membutuhkan air panas dalam jumlah yang cukup besar dan waktu yang lama. Oleh karena itu, pada tahap awal isolasi pada ela sagu digunakan larutan asam encer untuk menghidrolisis pati tersebut. Selain dapat menghidrolisis pati, perlakuan dengan asam dapat juga digunakan untuk menghidrolisis hemiselulosa menjadi mono atau oligosakarida yang dapat larut sehingga lebih mudah untuk diekstraksi Zhang et al. 2010. Bagas Tebu. Berdasarkan kandungan komponen kimia bahan baku Gambar 18, bagas tebu memiliki kandungan selulosa alfa yang paling tinggi 43,06, selanjutnya diikuti oleh jerami padi dan ela sagu. Kandungan selulosa alfa yang tinggi menjadikan bagas tebu sebagai sumber selulosa yang potensial. Namun demikian, kandungan lignin pada bagas tebu juga relatif tinggi. Hal ini menjadi pertimbangan khusus pada tahap penghilangan senyawa lignin untuk mendapatkan selulosa dari bagas tebu. Dalam penelitian ini, penghilangan senyawa lignin pada isolasi selulosa dari bagas tebu menggunakan larutan H 2 O 2 5. Konsentrasi H 2 O 2 yang digunakan ini lebih tinggi dari yang telah digunakan oleh Sun et al. 2004a. Jerami Padi. Jerami padi memiliki kadar abu yang tinggi 26,92. Hal ini menunjukkan banyaknya mineral yang terkandung di dalam jerami padi. Menurut Jahan et al. 2006, jerami padi mengandung silika dalam jumlah cukup tinggi. Kadar abu yang tinggi juga menjadi pertimbangan khusus pada tahap awal isolasi selulosa dari jerami padi. Perlakuan dengan asam encer pada tahap awal isolasi selulosa dari jerami padi bertujuan melarutkan mineral yang terkandung di dalamnya. Kandungan lignin yang mencapai 32,07 pada jerami padi menyebabkan tahap penghilangan lignin dilakukan secara berulang menggunakan larutan H 2 O 2 5. Konsentrasi H 2 O 2 yang digunakan ini mengacu pada tahap delignifikasi bagas tebu dengan pertimbangan bahwa kandungan lignin jerami padi yang juga cukup tinggi. Gambar 18 Komposisi kimia bahan baku. Evaluasi Keberhasilan Tahap Isolasi Dari berbagai metode isolasi yang telah dilaporkan selama ini, untuk mendapatkan selulosa dalam bentuk murni sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, selulosa yang diperoleh adalah selulosa dalam bahan kasar crude berupa selulosa alfa α-selulosa, yaitu selulosa yang tidak larut dalam larutan NaOH pekat. Evaluasi keberhasilan tahap isolasi dalam penelitian ini dapat dilihat dari rendemen hasil isolat, peningkatan kandungan α-selulosa, dan penurunan kadar lignin. Rendemen Polisakarida. Rerata rendemen untuk ketiga bahan baku sangat bervariasi Tabel 3. Jumlah rendemen polisakarida yang dihasilkan bergantung pada komposisi awal dari bahan baku dan perlakuan yang diberikan selama tahap isolasi. Rerata rendemen dalam penelitian ini dihitung berdasarkan bobot kering dari bahan baku awal sebelum diberi perlakuan. Dari hasil penelitian, rerata 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P er se n ko m p os is i Karbohidrat Selulosa alfa Hem iselulosa Lignin Ela Sagu Bagas Tebu Jeram i Padi rendemen polisakarida tertinggi dihasilkan oleh bagas tebu, yaitu mencapai 41. Sun et al. 2004a juga melaporkan rerata rendemen polisakarida yang diperoleh dari bagas tebu, yaitu sekitar 40. Sementara itu, rerata rendemen polisakarida yang dihasilkan dari jerami padi pada penelitian ini 11 lebih tinggi dari yang dilaporkan oleh Sun et al. 2000, yaitu 6,5. Rerata rendemen polisakarida terendah dihasilkan oleh ela sagu 5. Hal ini disebabkan tingginya kandungan pati pada bahan baku awal 47,03, sehingga terjadi kehilangan bobot yang cukup besar pada tahap penghilangan pati, yaitu sekitar 80 dari bobot kering bahan baku awalnya. Sampai saat ini, belum ditemukan kajian terkait isolasi selulosa dari ela sagu sehingga rendemen polisakarida yang diperoleh dalam penelitian ini belum dapat dibandingkan dengan hasil penelitian dari peneliti lain. Tabel 3 Kondisi isolasi dan rendemen polisakarida Bahan Baku Kondisi Isolasi Rendemen Ela Sagu HCl 3 1 g:10 ml, T=80 °C, t = 3 jam NaOH 20 1 g:25 ml, T=80 °C, t = 2 jam; H 2 O 2 5 pH=12 1 g:25 ml, T= 70 °C, t= 3, 3, 2 jam 5 Bagas Tebu NaOH 4 1 g:19 ml, T=80 °C, t=4 jam, H 2 O 2 5 pH=12 1 g:25 ml, T= 70 °C, t= 3, 3, 2 jam 41 Jerami Padi HCl 3 1 g:10 ml, T=80 °C, t = 3 jam NaOH 20 1 g:25 ml, T=80 °C, t = 2 jam; H 2 O 2 5 pH=12 1 g:25 ml, T= 70 °C, t= 3, 3, 2 jam 11 Komponen Kimia. Analisis komponen kimia pada isolat selulosa yang diperoleh dari ketiga bahan baku merupakan salah satu indikator keberhasilan tahap evaluasi. Untuk ela sagu, kandungan selulosa alfa pada isolat selulosa 72,80 meningkat lebih dari 2 dua kali kandungan selulosa alfa bahan baku awal 22,45. Kadar lignin pada isolat selulosa dari ela sagu 1,62, yaitu 0,14 kali kandungan lignin bahan baku awal 11,52 atau berkurang hampir 93. Sementara itu, kandungan selulosa alfa pada isolat selulosa dari bagas tebu 77,47 meningkat hampir 0,8 kali, sedangkan untuk jerami padi meningkat lebih dari 0,8 kali dari kandungan selulosa alfa bahan baku awalnya. Kandungan lignin isolat selulosa bagas tebu 0,96 berkurang hampir 96 dari kandungan lignin bahan baku awal 22,28. Sementara itu, kandungan lignin pada jerami padi berhasil berkurang hampir 97 dari kandungan lignin awal, yaitu dari 32,07 menjadi 0,81. Komposisi selulosa alfa dan lignin berturut-turut disajikan pada Gambar 19 dan 20. 10 20 30 40 50 60 70 80 Pe rs en kompos is i Ela Sagu Bagas Tebu Jerami Padi Bahan Baku Isolat Selulosa Gambar 19 Komposisi selulosa alfa. 5 10 15 20 25 30 35 P er se n kompos is i Ela Sagu Bagas tebu Jerami Padi Bahan Baku Isolat Selulosa Gambar 20 Komposisi lignin Delignifikasi Lignin adalah polimer alam multifungsi yang dibangun melalui kopling oksidatif unit-unit fenilpropanoid membentuk kerangka tridimensional dengan ikatan antar-unit seperti β-O-4, β-5, dan β-β Gambar 21. Lignin, khususnya pada jerami, tidak terdeposit di dalam dinding sel tumbuhan melainkan berasosiasi dengan karbohidrat selulosa dan hemiselulosa melalui ikatan kimia seperti ikatan eter, jembatan fenil glikosida, jembatan asetal, atau ikatan ester dan membentuk kompleks karbohidrat-lignin. Ikatan antara lignin dan selulosa yang diajukan oleh Zhou et al. 2010 disajikan pada Gambar 22. Ikatan β-O-4 Ikatan β-5 open loop Ikatan β-5 closed loop Ikatan β-β Gambar 21 Jenis ikatan yang terdapat pada lignin. Gambar 22 Ikatan antara lignin dan selulosa Zhou et al. 2010. Perlakuan dengan basa dapat memutus ikatan ester antara lignin dan selulosa atau hemiselulosa melalui reaksi hidrolisis He et al. 2008. Pada salah satu tahapan isolasi dalam penelitian ini digunakan larutan NaOH untuk memutus ikatan antara lignin dan selulosa atau hemiselulosa. Tong dan Hamzah 1989 melaporkan bahwa dari berbagai larutan basa seperti NaOH, KOH, CaOH 2 , Na 2 CO 3 , NH 3 , dan CONH 2 2 yang dapat digunakan untuk delignifikasi maka larutan NaOH merupakan basa yang paling efektif untuk menghilangkan lignin dari serat alam. Larutan NaOH dapat menghilangkan lignin sebanyak 60. Skema reaksi kompleks karbohidrat-lignin dengan NaOH disajikan pada Gambar 23. Gambar 23 Skema reaksi kompleks karbohidrat lignin dengan NaOH Tong dan Hamzah 1989. Metode delignifikasi konvensional umumnya menggunakan natrium klorit NaClO 2 dalam suasana asam. Namun, metode ini menimbulkan masalah lingkungan yang serius karena penggunaan klorin dan senyawa turunan klorin yang dapat menghasilkan sejumlah senyawa organik terklorinasi lainnya. Dengan berbagai pertimbangan terhadap keamanan lingkungan dan semakin meningkatnya kebutuhan akan pulp yang bebas klorin maka berbagai metode alternatif untuk mengganti pereaksi NaClO 2 banyak dikaji. Pada akhirnya, proses delignifikasi yang menggunakan pereaksi klorin atau turunan klorin akan ditinggalkan. Metode delignifikasi menggunakan pereaksi bebas klorin seperti elemental chlorine-free ECF dan totally chlorine-free TCF saat ini banyak dikembangkan Nascimento et al. 1995; Sun et al. 2000; Kuznetsova et al. 2003; Sun et al. 2004a; Sun et al. 2004b; Sun et al. 2005; Kham et al. 2005; Jahan et al. 2011. Pereaksi utama yang digunakan dalam delignifikasi TCF adalah ozon, oksigen, dan hidrogen peroksida H 2 O 2 . Kondisi delignifikasi dengan hidrogen peroksida dan oksigen dilakukan dalan suasana basa, sedangkan untuk pereaksi ozon dilakukan dalam suasana asam Kham et al. 2005. Dalam penelitian ini, pereaksi yang digunakan untuk metode delignifikasi adalah H 2 O 2 5 dalam media basa pada pH=12. Hidrogen peroksida adalah senyawa oksidator kuat yang dapat digunakan pada tahap pemutihan dan delignifikasi. Efisiensi pemutihan dan delignifikasi yang tinggi terjadi apabila reaksi berlangsung dalam media basa Nascimento et al. 1995. Di dalam media basa, spesi aktif H 2 O 2 dihasilkan melalui reaksi disosiasi, yaitu anion hidroperoksida HOO − . Anion ini merupakan spesi aktif pada tahap pemucatan Nascimento et al. 1995; Sun et al. 2000. Anion HOO − akan mengeliminasi gugus kromofor dari senyawa lignin. Di samping itu, spesi radikal aktif seperti radikal hidroksil HO • dan radikal anion superoksida O 2 • − yang dihasilkan melalui dekomposisi H 2 O 2 dalam suasana basa akan terlibat dalam proses delignifikasi dan pelarutan hemiselulosa Sun et al. 2000. Radikal- radikal yang diperoleh dari dekomposisi awal senyawa H 2 O 2 selanjutnya akan menghasilkan radikal-radikal aktif sekunder lainnya. Selain itu, radikal aktif yang terbentuk juga dapat bereaksi dengan radikal aktif lainnya menghasilkan oksigen dan anion hidroksil. Terbentuknya anion hidroksil HO − sebagai salah satu produk akhir menyebabkan pH reaksi akan meningkat. Sun et al. 2000 melaporkan dengan meningkatnya pH reaksi maka hemiselulosa yang ikut terlarut juga akan semakin banyak. Jadi, perlakukan dengan H 2 O 2 dalam suasana basa juga dapat digunakan untuk melarutkan sebagian hemiselulosa, selain fungsi utamanya sebagai pereaksi pada tahap delignifikasi dan pemucatan. Spesi-spesi radikal aktif dari H 2 O 2 dihasilkan melalui berbagai reaksi berikut ini: H 2 O 2 + HO − ↔ HOO − + H 2 O 1 H 2 O 2 + HOO − → HO • + O 2 • − + H 2 O 2 H 2 O 2 + HO • → HOO • + H 2 O 3 H 2 O 2 + O 2 • − → HO • + HO − + 1 O 2 4 H 2 O 2 → 2 HO • 5 HO •+ HOO• → 1 O 2 + H 2 O 6 HO •+ HOO• → O 2 • − + H 2 O 7 HO •+ O 2 • − → HO − + 1 O 2 8 Keberhasilan tahap delignifikasi dalam penelitian ini dievaluasi berdasarkan penurunan kandungan lignin pada isolat selulosa dibandingkan dengan bahan baku awalnya. Kandungan lignin isolat selulosa jerami padi yang diperoleh dalam penelitian ini lebih kecil dari yang telah dilaporkan oleh Sun et al. 2000, yaitu 0,81. Sun et al. 2000 melaporkan kandungan lignin pada isolat selulosa jerami padi sebesar 4,5 menggunakan perlakuan alkali peroksida dengan konsentrasi yang sama 5. Kandungan lignin pada isolat selulosa bagas tebu dalam penelitian ini lebih kecil daripada kandungan lignin yang dilaporkan oleh Sun et al. 2004. Dalam penelitian ini, kandungan lignin isolat bagas tebu diperoleh sebesar 0,96, sedangkan Sun et al. 2004 melaporkan kandungan lignin sebesar 3,86. Sementara itu, informasi terkait kandungan lignin dari selulosa ela sagu dari peneliti lain belum diperoleh sehingga data hasil penelitian ini belum dapat dibandingkan dengan hasil penelitian dari peneliti lain. Keberhasilan tahap delignifikasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi juga dipantau menggunakan teknik spektroskopi FTIR. Spektrum FTIR dari ketiga bahan baku menunjukkan serapan khas dari senyawa hemiselulosa dan lignin. Seiring dengan perlakuan yang diberikan pada setiap tahap isolasi, intensitas serapan khas ini semakin berkurang. Penjelasan lebih lanjut terkait dengan interpretasi spektrum FTIR dibahas pada bagian Kajian Gugus Fungsi. Bobot Molekul dan Derajat Polimerisasi Bobot molekul selulosa sangat bervariasi tergantung pada asal sampelnya. Selulosa merupakan polimer linier dengan unit-unit dan ikatan-ikatan yang seragam dan ukuran rantai molekul yang biasanya dinyatakan sebagai derajat polimerisasi DP. Harga DP dipengaruhi oleh metode isolasi dan perlakuan kimia yang diberikan. Sifat selulosa sebagai polimer biasanya dipelajari dalam pelarut CED kuprietilena diamina secara viskometri. Dari harga viskositas intrinsik η dapat ditentukan derajat polimerisasi DP dan bobot molekul selulosa BM. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini disajikan pada Tabel 4. Selulosa yang diperoleh dari bagas tebu memiliki derajat polimerisasi yang paling tinggi dibandingkan selulosa dari jerami padi dan ela sagu. Menurut Klem et al. 1998, selulosa yang diperoleh dari pulp berkisar antara 600-1200. Sementara itu, DP selulosa yang dihasilkan dalam penelitian lebih rendah dari 600. Hal ini disebabkan terjadi hidrolisis parsial pada rantai selulosa saat perlakuan asam di awal tahap isolasi serta adanya kerusakan mekanik akibat penggerusan pada saat menghasilkan serbuk selulosa untuk persiapan tahap rekayasa. Derajat polimerisasi yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Klem et al. 1998, yaitu DP selulosa yang mengalami hidrolisis parsial dan kerusakan mekanik berkisar antara 100-200. Tabel 4 Viskositas intrinsik, derajat polimerisasi, dan bobot molekul Parameter Selulosa Ela sagu Bagas tebu Jerami padi Viskositas intrinsik η, mlg a 70 189 27 Derajat polimerisasi P b 194,7 586,5 67,6 BM gmol c 31.541,4 95.013 10.951,6 a Ditentukan melalui viskositas dalam larutan CED SCAN-CM 15:88 b Dihitung dengan cara P 0.90 =1.65[ η], dengan P= derajat polimerisasi c Dihitung dengan P × 162 Kajian Gugus Fungsi Di dalam spektrum elektromagnetik, energi sebagian besar vibrasi molekul terjadi pada daerah inframerah IR. Vibrasi molekul dari senyawa organik dapat dilihat melalui spektrum IR pada daerah 4000-400 cm -1 . Gugus fungsi pada senyawa organik memiliki frekuensi vibrasi yang karakteristik untuk setiap gugus fungsinya. Hal ini membuat teknik spektroskopi IR menjadi metode yang sederhana, cepat dan dapat digunakan untuk menentukan jenis senyawa berdasarkan vibrasi karakteristiknya Williams dan Fleming 1980; Silverstein et al. 1986. Menurut Wang et al. 2004, teknik spektroskopi IR banyak digunakan dalam tahap karakterisasi selulosa karena metode ini relatif mudah dan dapat memberikan informasi awal tentang komposisi kimia, konformasi molekular, serta pola ikatan hidrogen. Selain itu, spektroskopi IR juga dapat memberikan informasi langsung tentang perubahan kimia yang terjadi akibat berbagai perlakuan kimia Sun et al. 2004a. Ela Sagu. Warna kecoklatan yang berasal dari serbuk ela sagu dapat direduksi sehingga menghasilkan produk akhir yang berwarna putih melalui tahap delipifikasi, penghilangan senyawa hemiselulosa, dan delignifikasi. Hasil akhir produk diinterpretasi sebagai selulosa berdasarkan spektrum FTIR yang dsajikan pada Gambar 24. Spektrum FTIR bahan baku awal ela sagu menunjukkan adanya serapan vibrasi gugus karbonil lignin atau serapan gugus asetil dan ester uronat hemiselulosa pada 1728 cm -1 , serapan cincin aromatik lignin dan serapan unit guaiasil lignin di 1516 cm -1 , serapan gugus metil pada cincin aromatik lignin di 1454 cm -1 , serapan gugus −OH tekuk dari unit siringil lignin pada 790 cm -1 . Setelah diberi perlakuan, serapan-serapan khas untuk gugus fungsi pada senyawa hemiselulosa dan lignin semakin berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan basa yang diberikan pada ela sagu mampu memutus ikatan ester antara selulosa dan hemiselulosa. Setelah tahap delignifikasi, serapan lignin relatif megnhilang, sedangkan serapan khas untuk selulosa pada 898 cm -1 semakin kuat. Serapan vibrasi dan interpretasi gugus fungsi disajikan pada Lampiran 2. Gambar 24 Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari ela sagu. Bagas Tebu. Spektrum FTIR bahan baku awal bagas tebu menunjukkan adanya serapan vibrasi gugus karbonil lignin yang cukup jelas pada 1732 cm -1 Gambar 25. Hal ini sejalan dengan kandungan lignin yang cukup tinggi pada bagas tebu, yaitu 22,28. Spektrum FTIR dari bagas tebu menunjukkan beberapa serapan di antaranya adalah serapan dari ikatan ester yang terbentuk antara senyawa lignin dan senyawa hemiselulosa pada 1732 cm -1 , serapan cincin aromatik lignin pada 1604 cm -1 , serapan unit guaiasil lignin di 1512 cm -1 , serapan gugus metil pada cincin aromatik lignin di 1458 cm -1 , serapan unit siringil dan −OH tekuk dari gugus siringil lignin, yaitu pada 1242 cm -1 dan 833 cm -1 . Setelah diberi perlakuan, serapan-serapan khas untuk senyawa hemiselulosa dan lignin berkurang, sedangkan serapan khas untuk selulosa pada 898 cm -1 semakin kuat. Serapan vibrasi dan interpretasi gugus fungsi disajikan pada Lampiran 3. Gambar 25 Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari bagas tebu. Jerami Padi. Spektrum FTIR bahan baku awal jerami padi menunjukkan adanya beberapa serapan dari gugus fungsi hemiselulosa pada 1728 cm -1 , lignin pada 1516, 1454, dan 786 cm -1 , serta silika pada 786 dan 470 cm -1 Gambar 26. Setelah diberi perlakuan basa, serapan-serapan khas untuk senyawa hemiselulosa dan silika menjadi tidak ada. Sementara serapan untuk senyawa lignin berkurang. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan basa yang diberikan pada jerami padi dalam penelitian ini mampu memutus ikatan ester antara selulosa dan hemiselulosa, serta silika dan sedikit lignin. Sun et al. 2000 melaporkan bahwa ekstraksi dengan NaOH 1 pada T=55 °C selama 2 jam mampu menghilangkan 62,2 silika dari jerami padi. Setelah tahap delignifikasi, serapan lignin sudah tidak tampak, sedangkan serapan khas untuk selulosa pada 894 cm -1 semakin kuat. Serapan vibrasi dan interpretasi gugus fungsi disajikan pada Lampiran 4. Gambar 26 Spektra FTIR bahan baku awal, pulp, dan selulosa dari jerami padi. Morfologi Permukaan Hasil mikrograf selulosa yang diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi menunjukkan selulosa yang berbentuk serat Gambar 27. Dari foto SEM tampak bahwa selulosa bagas tebu memiliki serat yang lebih panjang dibandingkan selulosa dari ela sagu dan jerami padi. Panjang serat selulosa bagas tebu bervariasi dari 100 µm-1 mm. Panjang serat jerami padi sekitar 20-240 µm, sedangkan ela sagu sekitar 200-400 µm. Diameter selulosa untuk ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi yang dihasilkan dalam penelitian ini berturut-turut adalah 18, 20, dan 6 µm. Elanthikal et al. 2010 melaporkan bahwa diameter selulosa berkisar antara 15-20 µm, dengan panjang serat berkisar 100 µm-1 mm. Perbesaran 500x Gambar 27 Mikrograf a bagas tebu, b jerami padi, dan c ela sagu. Analisis kristalinitas Selulosa adalah polimer kompleks dengan bentuk kristalin dan amorf. Bahan yang mengandung kristalin dapat mendifraksi dan membetuk pola khusus apabila diirradiasi oleh sinar X, sehingga struktur selulosa dapat dikaji. Di dalam media heterogen, selain bergantung pada derajat polimerisasi DP dari rantai selulosa, kemudahan suatu pereaksi untuk dapat mengakses gugus hidroksil pada selulosa juga bergantung pada derajat kristalinitasnya. Secara umum, bentuk non- kristalin amorf lebih mudah diakses oleh pereaksi sehingga reaksi lebih mudah terjadi Sun et al. 2005; de Paula et al. 2008. Pola difraksi sinar X dari isolat selulosa disajikan pada Gambar 28. Dua puncak difraksi muncul pada 2 θ sekitar 22 ° dan 20°. Matsumura et al. 2000 melaporkan puncak difraksi untuk selulosa kapas pada 2 θ = 14,5°; 16,0°; 22,5°; 33,5° dengan puncak difraksi utama pada 22,5 °. Puncak yang tinggi menunjukkan struktur selulosa yang berada dalam a b c bentuk kristalin, sedangkan yang rendah berada dalam bentuk amorf. Menurut Ratanakamnuan et al. 2012, puncak pada 2 θ=20° adalah puncak untuk selulosa dalam bentuk amorf. Pola difraksi sinar X untuk isolat selulosa dari jerami padi menunjukkan puncak pada 2 θ=22° yang lebih tajam dibandingkan dengan puncak pada selulosa ela sagu dan bagas tebu. Hal ini sesuai dengan indeks kristalinitas dari selulosa jerami padi yang lebih tinggi 20,96 dibandingkan dengan indeks kristalinitas dari selulosa ela sagu 16,01 dan selulosa bagas tebu 16,69. de Paula et al. 2008 melaporkan untuk selulosa sisal memiliki indeks kristalinitas 77. Serat rami dan kapas memiliki indeks kristalinitas sekitar 70 Jahan et al. 2011. Sementara itu, Zhang et al. 2010 melaporkan indeks kristalinitas untuk bonggol jagung sekitar 24,3-44,8. Saat ini, belum diperoleh informasi mengenai indeks kristalin dari isolat selulosa dari bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini. Namun demikian, jika dibandingkan dengan selulosa kapas atau jerami, indeks kristalin yang diperoleh dalam penelitian ini lebih rendah. Penjelasan yang dapat diberikan mengenai indeks kristalinitas yang rendah pada hasil penelitian ini adalah adanya perlakukan merserisasi dengan basa pekat. Menurut de Paula et al. 2008, merserisasi dengan basa kuat dapat menyebabkan penurunan indeks kristalinitas karena merserisasi dapat mengubah konformasi dan morfologi serat selulosa. Selama proses merserisasi berlangsung, rantai selulosa akan mengembang swelling akibat difusi basa ke bagian selulosa kristalin. Selanjutnya, rantai selulosa akan mengalami penataan ulang yang berakibat pada rusaknya struktur selulosa kristalin. Kerusakan struktur kristalin selulosa menyebabkan peningkatan bagian nonkristalin amorf sehingga indeks kristalinitas selulosa menurun. Selain itu, indeks kristalinitas selulosa juga sangat dipengaruhi oleh komposisi biomassa dari bahan baku awalnya. Gambar 28 Difraktogram isolat selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Analisis Termal Dekomposisi bahan selulosa terjadi melalui kombinasi proses dehidrasi, dekarboksilasi, dan dekarburasidekarbonisasi. Yang et al. 2007 melaporkan bahwa selulosa akan mulai terdekomposisi mulai suhu 200 °C dan berlanjut sampai suhu mencapai 400 °C. Kehilangan massa maksimum terjadi pada suhu 355 °C dan pada suhu 400 °C semua selulosa telah terpirolisis meninggalkan residu padatan dengan jumlah yang sangat sedikit, yaitu sekitar 6,5. Gambar 29 menunjukkan pola degradasi dari selulosa hasil isolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Kehilangan massa terjadi pada 3 tiga tahap: 1 dehidrasi molekul air yang teradsorpsi 200 °C, 2 putusnya rantai selulosa karena putusnya ikatan C-C dan C-O 200-400 °C, 3 aromatisasi membentuk residu karbon 400 °C. Difraktogram Isolat Selulosa Ela Sagu Difraktogram Isolat Selulosa Bagas Tebu Difraktogram Isolat Selulosa Jerami Padi Kurva TG dan DTA menunjukkan bahwa semua isolat selulosa yang dihasilkan dalam penelitian ini sebaiknya tidak diberi perlakuan pemanasan pada suhu di atas 197 °C. Suhu dekomposisi awal selulosa ela sagu 197 °C dan bagas tebu 197 °C yang dihasilkan dalam penelitian ini sedikit lebih rendah dari yang telah dilaporkan oleh Yang et al. 2007. Sementara, untuk jerami padi relatif hampir sama 204 °C. Suhu pada saat dekomposisi maksimum untuk selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi berturut-turut adalah 273, 349, dan 368 °C sesuai dengan indeks kristalinitas selulosa jerami padi yang lebih tinggi dari selulosa ela sagu dan bagas tebu. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Szcze śniak et al. 2008 bahwa semakin tinggi indeks kristalinitas maka selulosa akan terdekomposisi pada suhu yang lebih tinggi. Gambar 29 Kurva DTA selulosa a ela sagu, b bagas tebu, c jerami padi, dan d komersial. 10 20 30 40 50 600 T °C DTA uV a c b d Simpulan Selulosa diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi menggunakan tahapan metode isolasi, yaitu delipifikasi, penghilangan hemiselulosa dengan basa, dan alkali peroksida. Secara morfologi, selulosa yang diisolasi dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi berbentuk serat atau fibril. Rendemen polisakarida tertinggi dihasilkan oleh bagas tebu, yaitu 41. Derajat polimerisasi dan berat molekul dari selulosa bagas tebu lebih tinggi dari selulosa ela sagu dan jerami padi, yaitu 586,5 dan 95.013 gmol. Selulosa jerami padi lebih stabil secara termal dan memiliki indeks kristalinitas yang lebih tinggi dibandingkan selulosa ela sagu dan bagas tebu. REKAYASA BIOPOLIMER DENGAN TEKNIK KOPOLIMERISASI CANGKOK DAN TAUT SILANG Abstrak Kopolimerisasi cangkok dan taut silang akrilamida Am dilakukan dalam suasana hampa udara menggunakan aliran gas N 2 dengan amonium persulfat APS sebagai inisiator dan N,N’-metilena-bis-akrilamida MBAm. Pencirian dilakukan dengan teknik mikroskopi pemayaran elektron SEM untuk melihat morfologi permukaan, teknik spektroskopi FTIR untuk melihat gugus fungsi, teknik difraksi sinar X untuk menganalisis kristalinitas, dan teknik DTA untuk menganalisis ketahanan produk terhadap suhu. Kajian dilakukan terhadap kemampuan produk hasil rekayasa dalam menjerap air swelling factor, kekuatan mekanik, dan ketahanan terhadap pelarut. Spektrum FTIR dan mikrograf SEM menunjukkan bahwa kopolimerisasi cangkok dan taut silang telah terjadi pada permukaan rantai selulosa. Produk hasil rekayasa memiliki kestabilan termal yang lebih baik. Indeks kristalinitas meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang, sedangkan swelling factornya menurun. Kata kunci : biopolimer, kopolimerisasi, cangkok, taut silang, akrilamida Abstract The graft copolymerization of cellulose with acrylamide AAm has been carried out under N 2 atmosphere using ammonium persulfate APS as initiator and followed by crosslinking reaction with N,N’-methylene-bis-acrylamide MBAm. Scanning electron microscopy SEM, fourier transform infrared spectroscopy FTIR, X-Ray diffraction XRD and differential thermal analysis DTA were used to characterize the morfology, functional groups, crystal structure, and thermal properties of grafted-crosslinked products. The products were also evaluated for swelling factor, mechanical strength, and stability against organic solvents. FTIR spectrum and SEM micrograph confirmed that graft copolymerization and crosslinking succeeded. The products have better termal stability than cellulose isolate. Crystallinity index was increased with the increasing of crosslinking agent while swelling factor was decreased. Keywords : biopolymer, copolimerization, grafting, crosslinking, acrylamide Pendahuluan Limbah pertanian banyak digunakan untuk memproduksi bahan baku awal starting material. Penggunaan reusing dan pengolahan kembali recycling limbah pertanian dapat meminimalkan masalah lingkungan yang ditimbulkan akibat pembuangan limbah pertanian tersebut. Konversi limbah pertanian menjadi produk yang lebih berguna akan berdampak pada sosio-ekonomi pihak yang terkait. Limbah pertanian mengandung polisakarida lebih dari 90 yang dapat dimodifikasi secara kimia maupun biokimia. Selulosa adalah salah satu senyawa polimer yang banyak ditemukan di alam. Polimer alam memiliki beberapa keuntungan di antaranya tidak mahal, tidak toksik, sumberdaya alam yang dapat diperbarui, dapat didaur ulang, dan juga dapat didegradasi Khan et al. 2009 Selain memiliki beberapa keunggulan, selulosa juga memiliki kelemahan dibandingkan dengan polimer sintetik karena adanya ikatan hidrogen intra- dan antarmolekulnya yang kuat sehingga sulit diakses oleh senyawa lain Kadokawa et al. 2009. Modifikasi terhadap selulosa perlu dilakukan untuk memenuhi persyaratan dalam penerapannya di industri. Modifikasi selulosa dengan cara kopolimerisasi cangkok memberikan berbagai keuntungan sehingga dapat diaplikasikan pada berbagai bidang. Berbagai jenis polimer dapat dicangkok grafting ke rantai selulosa melalui gugus hidroksil pada posisi C2, C3, dan C6 Enomoto-Rogers et al. 2009. Gugus hidroksil pada C2 dan C3 adalah gugus hidroksil yang terikat pada aton karbon sekunder, sedangkan gugus hidroksil pada C6 terikat pada atom karbon primer. Kereaktifan dan kemasaman gugus hidroksil primer dan sekunder ini berbeda. Dengan memilih monomer yang tepat, maka kekuatan mekanik dan stabilitas termal material berbasis selulosa yang dimodifikasi dengan teknik pencangkokan dapat ditingkatkan Princi 2005. Selain itu, polisakarida yang telah dimodifikasi tersebut dapat menghasilkan produk berstruktur makromolekular seperti gel atau hidrogel, resin polimer, membran atau material komposit yang dapat diaplikasikan sebagai material separator dalam teknologi separasi Crini 2005. Beberapa kajian kopolimer dengan teknik pencangkokan terhadap bahan berbasis selulosa telah banyak dilaporkan. Princi et al. 2005 melakukan modifikasi selulosa melalui polimerisasi dengan teknik pencangkokan menggunakan metil metakrilat dan etil akrilat. Khan et al. 2009 melaporkan telah melakukan modifikasi pada permukaan serat kulit pohon Okra dengan teknik pencangkokan menggunakan monomer akrilonitril, inisiator K 2 S 2 O 8 , dan katalis FeSO 4 . Rendemen produk hasil pencangkokakan diperoleh sebesar 11.43 pada suhu 70 °C selama 90 menit menggunakan 3 x 10 -2 mol akrilonitril, 5 x 10 -3 mol K 2 S 2 O 8 . El-Mohdy dan El-Rehim 2009 memodifikasi kappa-karagenan κC melalui kopolimerisasi cangkok akrilamida menggunakan irradiasi γ. Selanjutnya κ-karagenan-graft-poliakrilamida tersebut dihidrolisis menggunakan larutan alkali. Hasil yang diperoleh menunjukkan produk yang telah dihidrolisis tersebut memiliki sifat sebagai hidrogel superabsorben dengan kemampuan mengembang swelling mencapai 10 kali di dalam air destilata dan 3 kali dalam larutan NaCl. Huang et al. 2009 melaporkan telah memodifikasi ampas tebu yang telah diaktivasi secara mekanik dengan teknik pencangkokan menggunakan monomer asam akrilat dan pasangan redoks NH 2 S 2 O 8 Na 2 SO 3 sebagai inisiator. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa aktivasi secara mekanik mempengaruhi sifat produk kopolimerisasi cangkok ampas tebu, dimana rendemen dan efisiensi pencangkokan meningkat dengan meningkatnya waktu aktivasi. Doane et al. 2009 melaporkan memodifikasi pati dari berbagai sumber dengan teknik pencangkokan dilanjutkan dengan taut silang untuk mendapatkan polimer superabsorben. Tahapan penelitian ini bertujuan mendapatkan 1 produk hasil rekayasa biopolimer dengan teknik pencangkokan akrilamida dan taut silang N,N’- metilena-bis-akrilamida; 2 karakteristik produk hasil rekayasa melalui analisis gugus fungsi dengan teknik spektroskopi IR infrared, analisis morfologi permukaan dengan teknik mikroskopi, analisis termal, dan kemampuannya dalam mengadsorpsi air water absorption Bahan dan Metode Bahan dan Alat Isolat selulosa dari ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi. Akrilamida p.a Am, E.Merck digunakan sebagai monomer, amonium persulfat p.a APS, E.Merck digunakan sebagai inisiator, dan N’N-metilena-bis-akrilamida p.a MBAm, E.Merk digunakan sebagai penaut silang. Bahan kimia lainnya seperti aseton p.a E.Merk, metanol p.a E.Merk, etanol p.a E.Merk, NaOH p.a E- Merck. Peralatan yang digunakan adalah reaktor untuk kopolimerisasi dan peralatan gelas lainnya. Metode Kopolimerisasi Cangkok Akrilamida dan Taut Silang N,N’-Metilena-bis- Akrilamida. Selulosa hasil isolasi dimasukkan ke dalam reaktor lalu ditambahkan akuades, kemudian dipanaskan pada suhu 95 °C dan diaduk dengan kecepatan 200 rpm selama 30 menit. Setelah itu, suhu diturunkan sampai kira-kira 60-65 °C. Ke dalam reaktor dimasukkan larutan APS dan suhu dijaga pada 60-65 °C selama 15 menit. Setelah itu, ke dalam reaktor ditambahkan larutan monomer Am dan penaut silang MBAm dengan kecepatan 0,5 mldetik. Setelah semua pereaksi dimasukkan, suhu reaktor dinaikkan menjadi 70 °C dan dipertahankan sampai 3 jam. Selanjutnya, reaktor didinginkan dan produk hasil sintesis diperoleh dalam bentuk gel. Untuk menghilangkan sisa monomer atau homopolimer yang terbentuk, gel yang diperoleh direndam berturut-turut ke dalam metanol p.a selama 30 menit, etanol p.a selama 30 menit, dan aseton p.a selama 1 jam. Kemudian gel dikeringkan pada suhu 60 °C. Reaksi taut silang juga dilakukan dengan cara memvariasikan jumlah pereaksi penaut silang. Produk 1 untuk jumlah pereaksi penaut silang 0,1 g; produk 2 untuk jumlah penaut silang 0,5 g, dan produk 3 untuk jumlah penaut silang 1 g. Keberhasilan kopolimerisasi cangkok dan reaksi taut silang ini dievaluasi melalui rasio pencangkokan dan efisiensi pencangkokan. ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − = N Atom BM Akrilamida BM x N 100 N Atom BM Akrilamida BM x N 100 an Pencangkok Rasio 100 sampel preparat terhadap monomer an pencangkok Rasio an pencangkok Efisiensi × = Pencirian Analisis Gugus Fungsi dengan Spektrometer FTIR . Spektra IR isolat selulosa direkam melalui spektrometer FTIR Perkin Elmer Spectrum One menggunakan pelet KBr dari bilangan gelombang 4000 cm -1 sampai 400 cm -1 dengan resolusi 8 cm -1 dan pemayaran 45 x per contoh. Analisis Morfologi Permukaan dengan Mikroskop Elektron Pemayaran Scanning Electron Microscope, SEM . Produk hasil isolat ditempelkan di atas tempat contoh menggunakan perekat elektrokonduktif. Pengamatan morfologi dilakukan pada JEOL 6400 mikroskop elektron dengan tegangan 20 kV. Analisis Kristalinitas dengan Difraktometer Sinar X. Difraksi sinar X dihasilkan oleh difraktometer Rigaku DMax 2500. Radiasi yang digunakan adalah Ni-filtered Cu K α pada panjang gelombang 0,1541 nm. Difraktometer dioperasikan pada 40 kV dan 200 mA. Contoh dipayar pada kisaran 2 θ = 10-80°. Kristalinitas dihitung berdasarkan: CrI = [I 002 -I am I 002 ] x 100, dengan CrI adalah indeks kristalinitas, I 002 adalah intensitas maksimum pada kisi difraksi 002, dan I am adalah intesitas puncak fasa amorf. Analisis Termal dengan TGDTA . Thermogravimetric TG dan differential thermogravimetric analysis DTA dilakukan dengan DTG-60H FC-60A TA- 60WS. Suhu yang digunakan mulai suhu kamar sampai 600 °C dengan laju pemanasan 10 °C menit -1 . Kajian Swelling Factor. Sejumlah produk hasil modifikasi direndam dalam air destila dan disimpan pada suhu kamar sampai kesetimbangan proses pengembangan tercapai. Produk yang telah mengembang dipisahkan dari air yang tidak terserap. Daya serap air Q H2O ditentukan dengan menimbang produk yang telah mengembang dan dihitung dengan menggunakan persamaan: 1 1 2 O H m m m Q 2 − = m 1 dan m 2 adalah bobot contoh kering dan contoh yang telah mengembang g. Q H2O dinyatakan sebagai gram air per gram contoh g g-1. Hidrolisis. Produk hasil pencangkokan direfluks menggunakan larutan NaOH 1,5 selama 2 jam dengan perbandingan padat:larutan adalah 1:25. Setelah hidrolisis, contoh dicuci menggunakan akuades sampai pH netral. Produk yang telah dihidrolisis selanjutnya diuji daya serapnya terhadap air swelling factor. Kajian Daya Tahan terhadap Pelarut Organik. Sebanyak 0,5 g produk fasa diam selulosa-g-akrilamida dalam tabung vial 15 mL ditambahkan masing-masing 10 mL pelarut metanol p.a, etanol, aseton p.a, etil asetat p.a, n-heksana p.a, dan toluena p.a kemudian didiamkan selama 3x24 jam sambil sesekali diaduk. Setelah 3 hari, masing-masing diukur indeks biasnya menggunakan Refraktometer Abbe Hasil dan Pembahasan Kopolimerisasi Cangkok dan Taut Silang Rekayasa biopolimer limbah pertanian ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi dilakukan melalui reaksi kopolimerisasi cangkok akrilamida dan taut silang MBAm dengan inisiator APS. Biopolimer berupa isolat selulosa dari limbah pertanian tersebut dijadikan kerangka utama backbone dalam reaksi pencangkokan. Kopolimerisasi cangkok dan taut silang yang digunakan dalam penelitian ini tidak simultan karena kerangka utama selulosa berinteraksi terlebih dahulu dengan inisiator APS. Selanjutnya, selulosa yang telah teraktivasi akan bereaksi dengan campuran monomer akrilamida dan penaut silang MBAm. Metode tidak simultan ini digunakan untuk meminimalkan reaksi antarmonomer akrilamida dalam membentuk homopolimernya. Tahap awal reaksi kopolimerisasi cangkok dan taut silang melibatkan pembentukan radikal inisiator APS, yaitu NH 4 SO 4 • 1. Menurut Li et al. 2007 dan Liang et al. 2009, radikal APS akan terbentuk dalam media larutan pada suhu 60-65 °C. Radikal APS akan menyerang gugus hidroksil yang terikat di atom C6 pada struktur selulosa dan mengambil atom hidrogennya sehingga terbentuk radikal makroselulosa 2. Pembentukan radikal makroselulosa ini menjadi tahap inisiasi reaksi kopolimerisasi cangkok dan taut silang karena radikal makroselulosa akan bereaksi dengan monomer akrilamida membentuk radikal makromolekul lainnya 3. Tahap propagasi dimulai saat radikal 3 bereaksi dengan molekul monomer akrilamida lainnya membentuk radikal makromolekul 4. Pada tahap terminasi, radikal 4 akan bereaksi dengan radikal makromolekul lainnya dan penaut silang MBAm membentuk kopolimer cangkok dan taut silang 5. Mekanisme reaksi kopolimerisasi cangkok akrilamida dan taut silang MBAm disajikan pada Gambar 30. O S O O O O O S O O N H 4 + N H 4 + O S O O O N H 4 + 2 A m o n iu m p e ro k sid isu lfat O S O O O NH 4 + O H OH H O CH 2 H OH H O OH O OH H O CH 2 H OH H O O O S OH O O NH 4 + Selulosa Tahap inisiasi O O H H O C H 2 H O H H O O C H N H 2 O H 2 C O O H H O C H 2 H O H H O O H C N H 2 O H 2 C A k r i l a m id a Tahap propagasi O O H H O C H 2 H O H H O O C H N H 2 O H 2 C H C N H 2 O C H 2 C H N H 2 O H 2 C O O H H O C H 2 H O H H O O H C N H 2 O C H 2 1 2 3 4 O O H H O C H 2 H O H H O O C H N H 2 O H 2 C H C N H 2 O C H 2 C H N H 2 O H 2 C n O O H H O C H 2 H O H H O O C H N H 2 O C H 2 C H N H 2 O C H 2 H C N H 2 O C H 2 n Tahap Terminasi O H OH H O CH 2 H OH H O O H H OH H OH CH 2 H H O O H OH H CH 2 H OH H H O O H H OH O H OH CH 2 H O O O O O H OH H O CH 2 H OH H O O H H OH H OH CH 2 H H O O H OH H CH 2 H OH H H O O H H OH O H OH CH 2 H O O O O CH H 2 N O CH 2 CH H 2 N O CH 2 CH H 2 N O CH 2 n CH H 2 N O CH 2 CH H 2 N O CH 2 CH H 2 N O CH 2 n CH NH 2 O CH 2 CH NH 2 O CH 2 HC NH 2 O CH 2 n CH NH 2 O CH 2 CH NH 2 O CH 2 HC NH 2 O CH 2 n C H C N H O H 2 C H 2 C N H C C H O CH 2 N,N -Metilena-bis-akrilamida O H O H H O H C H 2 H O H H O O H H O H H O H C H 2 H H O O H O H H C H 2 H O H H H O O H H O H H O H C H 2 H O O O O C H H 2 N O C H 2 1 C H H 2 N O H 2 C 1 C H 2 C H 2 C H 2 C H 2 O H H O H C H 2 H O H H O O H H O H H O H C H 2 H H O O H H O H C H 2 H O H H H O O H H O H O H H O H C H 2 H O O O O H C N H 2 O C H 2 1 C H N H 2 O C H 2 1 H 2 C C H N O C H 2 H N C H 2 C O H 2 C C H N O C H 2 H N C H 2 C O O O H O H H C H 2 H O H H H O O H H O H O H H O H C H 2 H O O C H H 2 N O H 2 C 1 C H 2 C H 2 O H H O H O H C H 2 H O H H O O H H O H H O H C H 2 H H O O O H C N H 2 O C H 2 1 H 2 C C H N O C H 2 H N C H 2 C O H H H H S e lu lo sa te rc a n g ko k p o lia k rila m id a Gambar 30 Mekanisme kopolimerisasi cangkok akrilamida dan taut silang MBAm. Selain reaksi kopolimerisasi cangkok dan taut silang MBAm pada selulosa, dimungkinkan juga terjadi reaksi pembentukan homopolimer dari monomer akrilamida. Reaksi pembentukan homopolimer disajikan pada Gambar 31. Radikal APS yang tidak bereaksi dengan selulosa masih dapat menginisiasi reaksi homopolimerisasi antarmonomer akrilamida 6. Selain reaksi ini, tahap propagasi juga mungkin terjadi pada pembentukan homopolimer dari akrilamida 7. Tahap terminasi juga terjadi pada pembentukan poliakrilamida 8. 5 Tahap inisiasi C H N H 2 O H 2 C O S O O O N H 4 + C H N H 2 O C H 2 O S O O O N H 4 + A krilam ida Tahap Propagasi CH NH 2 O C H 2 O S O O O NH 4 + CH NH 2 O H 2 C CH NH 2 O H 2 C O S O O O NH 4 + CH NH 2 O C H 2 CH NH 2 O H 2 C O S O O O NH 4 + CH NH 2 O C H 2 CH NH 2 O H 2 C n CH NH 2 O H 2 C O S O O O NH 4 + CH NH 2 O C H 2 CH NH 2 O C H 2 n Tahap Terminasi CH NH 2 O C H 2 O S O O O NH 4 + CH NH 2 O C H 2 O S O O O NH 4 + H 2 C CH NH 2 O n Poliakrilamida Gambar 31 Mekanisme pembentukan homopolimer akrilamida. Banyaknya radikal yang terbentuk pada saat reaksi kopolimerisasi cangkok dan taut silang ini dipengaruhi oleh berbagai variabel, di antaranya konsentrasi monomer, konsentrasi inisiator, konsentrasi penaut silang, waktu reaksi, dan suhu reaksi Khan et al. 2009. Pengaruh terhadap jumlah penaut silang dipelajari pada penelitian ini. Evaluasi terhadap keberhasilan rekayasa biopolimer salah satunya dilihat melalui nilai kadar nitrogen dari produk hasil rekayasa. Nilai kadar nitrogen ini setara dengan banyaknya akrilamida yang tercangkok pada selulosa. 6 7 8 Nilai kadar nitrogen, nisbah pencangkokan, efisiensi pencangkokan dari ketiga produk material separator disajikan pada Gambar 32. Nilai kadar nitrogen bervariasi antara 7,85-9,45, dengan nilai kadar tertinggi dicapai oleh produk hasil modifikasi dari ela sagu. Hasil yang diperoleh sejalan dengan analisis kristalinitas yang dilakukan pada masing-masing isolat selulosa. Analisis kistalinitas menunjukkan isolat selulosa ela sagu memiliki indeks kristalinitas yang paling rendah 16,01, sedangkan isolat selulosa jerami pada memiliki indeks kristalinitas tertinggi 20,96. Menurut Huang et al. 2009, pereaksi akan lebih mudah masuk pada struktur selulosa amorf. Pada ela sagu, struktur selulosa amorfnya paling banyak sehingga semakin mudah akrilamida untuk tercangkok pada rantai selulosanya. Semakin tinggi jumlah penaut silang yang ditambahkan selama reaksi berlangsung, maka kadar nitrogen pada produk pencangkokan dan taut silang juga semakin tinggi. Pola yang sama juga ditunjukkan oleh nisbah pencangkokan dan efisiensi pencangkokan. Nisbah pencangkokan berkisar antara 66,14-92,12 dengan produk rekayasa dari selulosa ela sagu yang memiliki nisbah pencangkokan tertinggi. Efisiensi pencangkokan berkisar antara 13,23-18,42 dengan produk rekayasa dari selulosa ela sagu yang memiliki nisbah pencangkokan tertinggi. a Pengaruh jumlah penaut silang terhadap kadar nitrogen. b Pengaruh jumlah penaut silang terhadap nisbah pencangkokan. c Pengaruh jumlah penaut silang terhadap efisiensi pencangkokan. Gambar 32 Pengaruh jumlah penaut silang terhadap a kadar nitrogen, b nisbah pencangkokan, dan c efisiensi pencangkokan. Pencirian Produk Hasil Kopolimerisasi Cangkok dan Taut Silang Spektroskopi FTIR Spektrum IR dari produk hasil rekayasa menunjukkan adanya serapan baru pada bilangan gelombang sekitar 1660 cm -1 karena adanya vibrasi –C=O regangan. Hal ini menunjukkan bahwa akrilamida telah tercangkok pada rantai selulosa Kumar et al. 2011. Pada homopolimer poliakrilamida, serapan ini akan muncul pada 1670 cm -1 Yazdani-Pedram et al. 2002. Spektrum IR menunjukkan serapan karakteristik –NH sekitar 1542 cm -1 , –CN ulur pada 1384 cm -1 , dan –C–C–N asimetrik pada 1245 cm -1 . Selain itu terdapat serapan pada 1566 cm -1 untuk gugus COO– asimetrik dan 1416 cm -1 untuk gugus COO– simetrik. Serapan yang lebar sekitar 3100-3500 cm -1 adalah serapan untuk –OH dan –NH 2 . Kedua serapan ini menunjukkan serapan yang lebih kuat dibandingkan dengan serapan –OH pada isolat selulosa Song et al. 2008. Puncak yang melebar dan sedikit bergeser ke bilangan gelombang yang lebih kecil disebabkan adanya tumpang tindih serapan –OH dan –NH amida dan meningkatnya ikatan hidrogen karena adanya gugus –COONH 2 . Spektrum produk hasil rekayasa cangkok dan taut silang menunjukkan adanya pergeseran puncak setelah 3000 cm -1 ke arah bilangan gelombang yang lebih tinggi. Gambar spektra FTIR dari selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi serta produk hasil rekayasa disajikan pada Gambar 33-35. Intrepretasi spektrum dari masing-masing contoh dapat dilihat secara lengkap pada Lampiran 5-7. Gambar 33 Spektra FTIR selulosa ela sagu dan produk hasil rekayasa. Gambar 34 Spektra FTIR selulosa bagas tebu dan produk hasil rekayasa. Gambar 35 Spektra FTIR selulosa jerami padi dan produk hasil rekayasa. Evaluasi keberhasilan rekayasa cangkok dan taut silang dengan teknik spektroskopi dipantau melalui absorbansi relatif vibrasi selulosa dan produk hasil rekayasa Tabel 5-7. Absorbansi relatif adalah nisbah intesitas serapan puncak suatu gugus fungsi pada bilangan gelombang tertentu terhadap intensitas pada bilangan gelombang ~1325 cm -1 , yaitu −CH rocking untuk cincin selulosa Nada et al. 2007. Rekayasa melalui pencangkokan dan taut silang meningkatkan absorbansi relatif dari vibrasi C −H dari −CH 2 pada 2920 cm -1 . Nisbah intensitas vibrasi C −H terhadap intensitas gugus –OH pada 3419 cm -1 memiliki nilai yang lebih tinggi pada produk hasil rekayasa daripada isolat selulosa awal. Absorbansi relatif pada 1650 cm -1 serapan karakteristik C=O pada gugus amida akan meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang. Nisbah intensitas pada bilangan gelombang 1650 cm -1 terhadap intensitas pada 1114 cm -1 , yaitu serapan dari ikatan eter C −O−C antara unit glukosa pada rantai selulosa, akan meningkat dengan adanya rekayasa karena masuknya gugus −CONH 2 pada selulosa. Di samping itu, absorbansi relatif dari C −O−C pada 1114 cm -1 akan menurun dengan adanya rekayasa jika dibandingkan dengan absorbansi relatif pada selulosa. Hal ini menunjukkan terputusnya ikatan eter pada selulosa selama rekayasa berlangsung. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Nada et al. 2007. Tabel 5 Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa ela sagu Bilangan Gelombang cm -1 Gugus Fungsi Absorbansi relatif Selulosa Produk 1 Produk 2 Produk 3 3419 OH 0,54 0,61 0,72 0,73 2920 CH 2 0,48 0,68 0,76 0,68 2820 CH 2 0,56 0,67 0,64 0,59 1650 CONH 2 - 0,92 0,96 1,01 1425 Selulosa kristalin I 0,98 0,98 0,99 0,55 1114 C-O-C 1,17 1,13 1,07 1,04 900 β-glikosida 1,04 1,02 0,96 0,52 Nisbah 16501114 CONH 2 C-O-C - 0,81 0,90 0,97 Nisbah 29203419 CH 2 OH 0,89 1,11 1,06 0,93 Nisbah 1425900 CrI 1,10 0,96 1,03 1,06 Tabel 6 Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa bagas tebu Bilangan Gelombang cm -1 Gugus Fungsi Absorbansi relatif Selulosa Produk 1 Produk 2 Produk 3 3487 OH 0,93 0,71 0,58 0,69 2947 CH 2 0,93 0,82 0,64 0,85 2889 CH 2 0,56 0,77 0,61 0,74 1608 CONH 2 - 0,81 0,96 1,06 1415 Selulosa kristalin I 0,93 0,80 1,04 0,96 1076 C-O-C 1,21 1,13 1,04 0,89 898 β-glikosida 0,90 0,81 1,03 0,94 Nisbah 16081076 CONH 2 C-O-C - 0,71 0,92 1,19 Nisbah 29473487 CH 2 OH 0,89 1,16 0,96 0,96 Nisbah 1415898 CrI 1,04 0,98 1,01 1,02 Tabel 7 Absorbansi relatif isolat selulosa dan produk hasil rekayasa jerami padi Bilangan Gelombang cm -1 Gugus Fungsi Absorbansi relatif Selulosa Produk 1 Produk 2 Produk 3 3576 OH 1,20 0,93 0,89 1,15 2924 CH 2 0,98 0,95 0,86 1,18 2850 CH 2 1,00 0,91 0,88 1,03 1600 CONH 2 0.97 0.99 1,20 1427 Selulosa kristalin I 1,25 1,00 1,00 1,22 1041 C-O-C 1,44 1,31 1,08 1,07 898 β-glikosida 0,95 0,95 0,96 1,12 Nisbah 16001041 CONH 2 C-O-C - 0,74 0,95 1,12 Nisbah 29243576 CH 2 OH 0,83 0,98 0.96 0,89 Nisbah 1427898 CrI 1,32 1,05 1,04 1,09 Selain menggunakan teknik difraksi sinar X, indeks kristalinitas juga dapat ditentukan dengan teknik spektroskopi dengan melihat nisbah intensitas pada 1425 cm -1 terhadap nisbah pada 898 cm -1 . Indeks kristalinitas selulosa akan menurun dengan adanya rekayasa melalui kopolimerisasi cangkok dan taut silang karena masuknya gugus amida pada rantai selulosa. Semakin banyak jumlah penaut silang maka indeks kristalinitas akan meningkat. Mikroskopi Pemayaran Elektron Teknik SEM merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk melihat morfologi permukaan pada beberapa jenis polimer. Sebagai bukti bahwa rekayasa melalui cangkok dan taut silang telah berhasil dilakukan adalah dengan cara membandingkan mikrograf dari isolat selulosa dengan produk hasil rekayasa. Morfologi permukaan dari ketiga isolat selulosa sangat berbeda jika dibandingkan dengan mikrograf produk hasil rekayasa. Pada mikrograf isolat selulosa tampak bentuk fibril dari selulosa, sedangkan pada mikrograf produk hasil rekayasa tidak ditemukan bentuk fibril. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Mishra et al 2008; Mulinari dan da Silva 2008. Gambar 36 adalah mikrograf dari selulosa ela sagu, bagas tebu, dan jerami padi serta produk hasil rekayasa. Mikrograf seluruh produk hasil penelitian dapat dilihat pada Lampiran 8. a.1 Selulosa ela sagu a.2 Produk hasil rekayasa b.1 Selulosa bagas tebu b.2 Produk hasil rekayasa c.1 Selulosa jerami padi c.2 Produk hasil rekayasa Perbesaran 500x Gambar 36 Mikrograf selulosa dan produk hasil rekayasa a ela sagu, b bagas tebu, dan c jerami padi. Difraksi Sinar X Difraktogram pada produk hasil rekayasa menunjukkan adanya puncak kristalin baru yang tidak terdapat pada difraktogram isolat selulosa dan homopolimer poliakrilamida. Adanya puncak baru tersebut mengindikasikan telah terjadi perubahan struktur pada rantai selulosa akibat rekayasa melalui cangkok dan taut silang. Difraktogram selulosa dan produk hasil rekayasa secara lengkap disajikan pada Lampiran 9-11. Indeks kristalinitas yang dihasilkan oleh poliakrilamida adalah 27,81. Rekayasa melalui kopolimerisasi cangkok dan taut silang menurunkan indeks kristalinitas poliakrilamida karena masuknya gugus amida pada rantai selulosa. Hasil analisis difraksi sinar X menguatkan hasil analisis dengan teknik spektroskopi. Semakin banyak jumlah penaut silang maka indeks kristalinitas semakin tinggi. Kopolimerisasi cangkok dan taut silang akrilamida berkontribusi pada peningkatan indeks kristalinitas produk rekayasa. Indeks kristalinitas terkecil dihasilkan oleh produk rekayasa bagas tebu 17,74, sedangkan indeks kristalinitas tertinggi dihasilkan oleh produk rekayasa ela sagu 23,79. Gambar 37 menunjukkan pengaruh jumlah penaut silang terhadap indeks kristalinitas berdasarkan teknik difraksi. Gambar 37 Pengaruh jumlah penaut silang terhadap indeks kristalinitas. Analisis Termal Dekomposisi bahan selulosa terjadi melalui kombinasi proses dehidrasi, dekarboksilasi, dan dekarburasidekarbonisasi. Untuk memahani perubahan sifat fisikokimia setelah kopolimerisasi cangkok dan taut silang, maka analisis termal berupa DTA diamati. Kehilangan massa 11-15 untuk sampel selulosa mulai terjadi pada 96 °C, yaitu kehilangan air yang terikat secara fisik dan umum terjadi pada bahan-bahan yang mengandung selulosa Zhang et al. 2010. Pirolisis selulosa mulai terjadi pada suhu T=197 °C. Kurva DTA menunjukkan ada 2 puncak 270 °C dan 349 °C yang merupakan dekomposisi termal dari selulosa yang berupa dekarboksilasi dan dekarburasidekarbonisasi Szcze śniak et al. 008; Shen et al. 2010. Selain itu, kurva DTA juga membuktikan bahwa modifikasi kimia telah terjadi pada isolat selulosa karena adanya pergeseran suhu dekomposisi selulosa dan homopolimer PAm. Suhu dekomposisi produk lebih rendah dari selulosa, namun lebih tinggi dari PAm. Walaupun suhu dekomposisi produk hasil rekayasa sedikit lebih rendah dari suhu dekomposisi isolat selulosa. Pada kisaran suhu yang sama, persentase massa yang hilang dari produk hasil rekayasa lebih sedikit daripada selulosa. Persentase kehilangan massa produk hasil rekayasa bagas tebu pada saat mulai terdekomposisi, yaitu 220 °C adalah 67,20, sedangkan untuk isolat selulosa pada kisaran suhu yang sama mengalami kehilangan massa sampai 79,51. Kecenderungan yang sama juga ditunjukkan oleh produk rekayasa lainnya. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa produk hasil rekayasa lebih tahan terhadap termalpanas dibandingkan dengan selulosa. Gambar 38-40 menunjukkan kurva DTA dari selulosa, homopolimer, dan produk hasil rekayasa. Data hasil kurva termogravimetri TG secara lengkap disajikan pada Lampiran 15. Gambar 38 Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari ela sagu. Gambar 39 Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari bagas tebu. 100 200 300 400 500 600 T °C DTA uV g ‐Cell Cellulose PAm 100 200 300 400 500 600 T °C DTA uV g ‐Cell Cellulose PAm Gambar 40 Kurva DTA selulosa, homopolimer, dan produk rekayasa dari jerami padi. Swelling Factor Pengaruh penambahan penaut silang terhadap swelling factor atau daya serap air dikaji dengan meningkatkan jumlah N,N’-metilena-bis-akrilamida MBAm secara bertahap. Selain itu, pengaruh saponifikasi terhadap daya serap air juga diamati. Hasil uji daya serap produk hasil pencangkokan dan taut silang merupakan informasi awal dalam aplikasinya sebagai material separator melalui mekanisme sorpsi Gambar 41. 100 200 300 400 500 600 T °C DTA uV g ‐Cell Cellulose PAm Gambar 41 Daya serap air sebelum dan sesudah saponifikasi. Daya serap tertinggi yang dapat dicapai oleh produk hasil rekayasa dari 3 bahan baku menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Produk hasil rekayasa dari ela sagu pada kondisi sebelum saponifikasi memiliki rerata daya serap air yang tinggi dibandingkan produk hasil rekayasa dari bagas tebu dan jerami padi. Sebelum saponifikasi, produk hasil rekayasa ela sagu dengan jumlah MBAm sebesar 0,1 g memiliki daya serap air yang paling tinggi, yaitu 35,40 g g -1 . Penambahan jumlah penaut silang akan menurunkan daya serap air. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Khan et al. 2009; Liu et al. 2009. Peningkatan jumlah penaut silang akan meningkatkan kerapatan dari jaring network dan ikatan taut silang dari produk sehingga struktur rangka polimer secara keseluruhan menjadi kaku dan sulit untuk menyerap sejumlah air. Reaksi saponifikasi dapat meningkatkan daya serap air seluruh produk hasil rekayasa. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Saikia Ali 1999; Wu et al. 2003; dan Teli Waghmare 2009. Perlakuan dengan alkali akan mengkonversi –CONH 2 menjadi –COOH, dan –COO − Gambar 42. Jumlah dan variasi gugus hidrofilik seperti –CONH 2, –COOH, dan –COO − akan mempengaruhi daya serap air dari masing-masing produk Wu et al. 2003. Peningkatan daya serap air akibat reaksi saponifikasi bervariasi 2-12,5 kali daya serap awalnya. Daya serap air tertinggi setelah reaksi saponifikasi 124,60 g g -1 20 40 60 80 100 120 140 D ay a S er a p g g- 1 Ela Sb lm Ela St lh Bag as Sbl m Bag as Stlh Jera mi Sb lm Jera mi Stl h Produk 1 Produk 2 Produk 3 dicapai oleh produk hasil rekayasa dari ela sagu dengan jumlah MBAm sebesar 1 g. Gambar 42 Hidrolisis parsial gugus amida pada rantai poliakrilamida. Daya Tahan terhadap Pelarut Organik Ketahanan produk pencangkokan terhadap pelarut organik dipantau melalui indeks bias Gambar 43-45. Pemantauan ini bertujuan untuk melihat adanya interaksi pelarut organik dengan produk pencangkokan. Hasil uji daya tahan terhadap pelarut merupakan informasi awal produk pencangkokan dan taut silang dalam aplikasinya sebagai material separator pada teknologi separasi. Pelarut organik yang digunakan adalah toluena, heksana, etil asetat, aseton, metanol, dan etanol. Hasilnya menunjukkan bahwa produk pencangkokan berinteraksi dengan pelarut toluena, aseton, dan etanol. Oleh karena itu, pelarut yang dapat digunakan sebagai fasa gerak dalam teknologi separasi untuk produk pencangkokan ini adalah heksana, etil asetat, dan metanol. Gambar 43 Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa ela sagu. Gambar 44 Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa bagas tebu. Gambar 45 Indeks refraksi selulosa dan produk rekayasa jerami padi. Simpulan Rekayasa biopolimer melalui kopolimerisasi cangkok dan taut silang telah dilakukan. Nisbah dan efisiensi pencangkokan berturut-turut adalah 66,14-92,12 dan 13,23-18,42. Nilai nisbah dan efisiensi pencangkokan meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang. Hasil pencirian dengan teknik spektroskopi menunjukkan adanya serapan gugus amida yang membuktikan kopolimerisasi cangkok dan taut silang telah terjadi. Morfologi permukaan produk rekayasa tidak berbentuk fibril, melainkan berupa permukaan yang kasar dan berongga. Semakin meningkat jumlah penaut silang, permukaan produk rekayasa semakin kasar dan berongga. Indeks kristalinitas meningkat dengan meningkatnya jumlah penaut silang. Rerata indeks kristalinitas tertinggi ditunjukkan oleh produk rekayasa dari jerami padi. Analisis termal menunjukkan bahwa produk hasil rekayasa lebih tahan secara termal. Kajian terhadap kemampuan produk hasil rekayasa dalam menjerap air swelling factor menunjukkan bahwa dengan meningkatnya jumlah penaut silang maka swelling factor akan semakin menurun. Hidrolisis produk hasil rekayasa dapat meningkatkan swelling factor. Kajian terhadap ketahanan produk hasil rekayasa terhadap berbagai pelarut organik menunjukkan bahwa produk hasil rekayasa lebih stabil dalam pelarut metanol, etil asetat, dan heksana. UJI KINERJA MATERIAL SEPARATOR DENGAN TEKNIK KROMATOGRAFI Abstrak Material separator berbasis bagas tebu dievaluasi kinerjanya melalui teknik kromatografi kolom. Puncak pada kromatogram dengan luas area terbesar telah diidentifikasi sebagai senyawa xantorizol dan bisdemetoksikurkumin. Resolusi pemisahan diperoleh 6,44. Efisiensi kolom berbasis bagas tebu masih di bawah standar U.S Food and Drug Administration FDA yang telah ditetapkan dengan tailing factor sebesar 2,3. Informasi lain yang dihasilkan adalah selain dapat memisahkan xantorizol dan kurkuminoid, material separator ini juga dapat digunakan untuk memisahkan senyawaan kurkuminoid kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Kata kunci: kromatografi, pemisahan, xantorizol, kurkuminoid Abstract The performance of material separator based on sugarcane bagasse has been evaluated by using column chromatography. Two peaks has been identified as xanthorhizol and bisdemetoxycurcumin. The resolution was 6,44. Column efficiency was higher than FDA upper limit. The Material separator was not only for xanthorrizhol separation, but also for Curcuminoids separation. Keywords: chromatography, separation, xanthorrizhol, curcuminoids Pendahuluan Kromatografi merupakan salah satu teknik pemisahan yang banyak digunakan dalam bidang kimia, bioteknologi, biomedis, dan ilmu pangan. Saat ini, teknik kromatografi yang dibutuhkan adalah yang memiliki tingkat selektivitas yang tinggi dan efisien dalam memisahkan campuran senyawa yang kompleks. Fasa stasioner atau material separator pada kromatografi dapat diklasifikasikan berdasarkan matriks materialnya, seperti polimer alam agarosa, dekstran, selulosa, polimer sintetik senyawa metakrilat, akrilat, polistirena, bahan anorganik silika, hidroksiapatit, dan material komposit Maharjan et al. 2008. Fasa stasioner berbasis polisakarida dapat digunakan sebagai fasa stasioner yang mampu memisahkan senyawa rasemat. Istilah yang digunakan untuk fasa diam seperti ini adalah chiral stationary phase CSP. Polisakarida selulosa dan amilosa adalah polimer alam yang bersifat optik aktif namun selulosa dan amilosa murni bukan selektor senyawa kiral yang efektif. Akan tetapi, apabila senyawa polisakarida ini dikonversi ke senyawa turunannya, misalnya seperti tris- ester atau lainnya, maka senyawa turunan polisakarida mampu menjadi selektor untuk pemisahan senyawa kiral Ali dan Aboul-Enein 2007. Polimer akrilamida adalah salah satu material polimer yang dikategorikan sebagai smart polymer. Bahan polimer yang dapat memberikan respon cepat melalui perubahan struktur dan fungsi jika distimulasi oleh rangsangan dari luar seperti rangsangan fisik, kimia, maupun elektrik disebut sebagai smart polymer atau intelligent polymer Maharjan et al. 2007. Smart polymer seperti ini dapat dicangkokkan grafting atau ditautsilangkan crosslinking dengan senyawa lain. Apabila stimulasi diberikan, maka rantai polimer tersebut dapat berubah dari water-soluble menjadi water-insoluble akibat perubahan polarisabilitas dari rantai polimer. Pada tahap penelitian ini, polimer alam yang dipilih sebagai polimer backbone potensial adalah polisakarida yang diisolasi dari bagas tebu. Berdasarkan kajian rendemen polisakarida, bagas tebu dapat menghasilkan rendemen polisakarida yang banyak, yaitu 41. Hampir 77,47 dari rendemen yang dihasilkan diketahui sebagai selulosa alfa. Derajat polimerisasi DP dan bobot molekul BM yang paling tinggi di antara ketiga bahan lainnya. Nilai DP dan BM untuk selulosa dari bagas tebu adalah 586,5 dan 95.013 gmol. Selulosa bagas tebu relatif stabil secara termal. Dekomposisi selulosa terjadi pada suhu yang relatif lebih tinggi, yaitu 349,76 °C. Indeks kristalinitas selulosa bagas tebu adalah 16,69. Berdasarkan kajian rekayasa melalui teknik kopolimerisasi cangkok dan taut silang, nisbah dan efisiensi pencangkokan yang dihasilkan masih di atas nilai nisbah dan efisiensi pencangkokan dari selulosa jerami padi. Nilai nisbah dan efisiensi pencangkokan untuk produk hasil rekayasa dari bagas tebu adalah 62,98-82,27 dan 13,86-16,45. Selanjutnya, berdasarkan kajian terhadap pengaruh jumlah penaut silang diketahui bahwa produk rekayasa bagas tebu yang digunakan untuk tahapan evaluasi kinerja adalah produk rekayasa dengan jumlah penaut silang MBAm sebesar 1 g karena produk rekayasa ini memiliki swelling factor yang paling kecil. Tujuan tahapan penelitian ini adalah mengevaluasi kinerja material separator sebagai fasa diam paada kromatografi kolom untuk memisahkan senyawa aktif xantorizol dalam ekstrak kasar temu lawak. Bahan dan Metode Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah produk rekayasa dari bagas tebu dengan MBAm 1 g berukuran 100 mesh. Etanol p.a E-Merck, heksana p.a E-Merck, etil asetat p.a E-Merck, metanol p.a E-Merck, asam fosfat p.a E-Merck, asetonitril p.a E-Merck. Alat yang digunakan adalah peralatan gelas, kolom konvensional, instrumen HPLC Shimadzu Class-VPTM. Metode Ekstraksi Temu Lawak Serbuk temu lawak yang telah halus kemudian diekstraksi secara maserasi menggunakan pelarut etanol dengan perbandingan bahan dan pelarut 1:3 selama 3×21 jam. Ekstraksi dihentikan dan selanjutnya ekstrak disaring menggunakan kertas saring dan dipekatkan dengan penguap putar rotavapor pada suhu 40 °C. Residu yang diperoleh merupakan ekstrak etanol temu lawak. Fraksinasi Ekstrak Temulawak dengan Kromatografi Kolom Kolom kromatografi yang berisi produk rekayasa bagas tebu disiapkan. Berikut adalah kondisi yang digunakan saat fraksinasi: Tinggi kolom = 20 cm Diameter kolom internal = 2 cm Laju alir = 0,8 mlmenit Ekstrak etanol temu lawak = 1 ml. Fase gerak yang digunakan adalah heksana, etil asetat, metanol dan kombinasi dari pelarut-pelarut tersebut disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Jenis pelarut pada fraksinasi ekstrak temu lawak Jenis Pelarut Fraksi ke- Heksana 1-13 Heksana:Etil Asetat 75:25 14-23 Heksana:Etil Asetat 50:50 24-28 Heksana Etil Asetat 25:75 29-36 Metanol:Etil Asetat 10:90 37-42 Metanol:Etil Asetat 50:50 43-61 Metanol:Etil Asetat 90:10 62-73 Metanol 74-93 Ekstrak dielusi dengan mengalirkan pelarut sampai semua fraksi keluar dari kolom. Fraksi yang keluar dari kolom ditampung sebanyak 3 ml di dalam tabung gelap. Setiap fraksi yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi menggunakan HPLC. Pencirian Fraksi Ekstrak Temu lawak a. Penentuan xantorizol sebagai berikut: Fasa gerak : Asam Fosfat dan Asetonitril Laju alir : 1 mlmenit Panjang Gelombang : 210 nm Kolom : Lichrosphere 60 RP Select B 5,0 Mm 125 x 4,0 mm b. Penentuan kurkuminoid Fasa gerak : Asam Fosfat dan Asetonitril Laju alir : 1,5 mlmenit Panjang Gelombang : 210 nm dan 366 nm Kolom : Waters Nova-Pak C18 150 x 3,9 mm Hasil dan Pembahasan Fraksi yang dihasilkan pada saat fraksinasi menggunakan kromatografi kolom berjumlah 93 fraksi. Selanjutnya, setiap fraksi diidentifikasi menggunakan HPLC. Luas area pada kromatogram HPLC untuk setiap fraksi kemudian diplot versus waktu retensi Gambar 46. Berdasarkan kromatogram standar xantorizol Lampiran 16 dan standar kurkuminoid Lampiran 17 diperoleh informasi bahwa waktu retensi untuk xantorizol adalah 4,465 menit. Standar kurkuminoid menunjukkan adanya 3 puncak, yaitu puncak bisdemetoksikurkumin pada t R = 15,370 menit, demetoksikurkumin pada t R = 17,294 menit, dan puncak kurkumin pada t R = 19,445 menit. Waktu retensi pemisahan puncak kurkuminoid yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih lama dari yang telah dilakukan oleh Jadhav et al. 2007. Hal ini disebabkan fase gerak yang digunakan dalam penelitian ini berbeda. Dengan menggunakan metode yang sama, yaitu HPLC fasa terbalik, Jadhvav et al. 2007 melaporkan waktu retensi bisdemetoksikurkumin, demetoksikurkumin, dan kurkumin berturut-turut 7,2; 8,12; dan 9,0 menggunakan fasa gerak asetonitril: asam trifluoroasetat TFA 0,1 = 50:50 vv. Identifikasi puncak kromatogram yang diperoleh melalui hasil fraksinasi kromatografi kolom Gambar 46 menunjukkan bahwa puncak pertama adalah xantorizol dengan waktu retensi t R = 22,50 menit, sedangkan puncak kedua sebagai bisdemetoksikurkumin dengan t R = 240 menit. Puncak pertama berbentuk simetris. Namun, bentuk puncak pada puncak kedua terlihat tidak simetris, artinya masih terdapat 2 senyawa yang belum terpisahkan dengan baik. Kromatogram untuk ekstrak kasar temu lawak disajikan pada Lampiran 18, sedangkan untuk masing-masing fraksi dapat dilihat pada Lampiran 19. Resolusi Pemisahan Daya pisah yang baik dapat dilihat dari nilai resolusi pemisahannya R. Resolusi pemisahan dipengaruhi oleh waktu retensi kedua puncak dan lebar alas puncak. Berdasarkan kromatogram pada Gambar 46 diperoleh nilai resolusi pemisahan antara puncak 1 dan puncak 2 sebagai berikut: t R puncak ke-1 = 22,50 menit t R puncak ke-2 = 240 menit lebar alas puncak ke-1 W 1 = 15,0 menit lebar alas puncak ke-2 W 2 = 52,50 menit Resolusi pemisahan diperoleh: 44 , 6 00 , 15 50 , 52 50 , 22 240 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 2 = + − = + − = + − = W W t t W W t t R R R R R Resolusi pemisahan dari kolom separator berbasis limbah bagas tebu adalah 6,44. Menurut Center for Drug Evaluation and Research CDER, resolusi pemisahan yang baik adalah 2. Jadi, resolusi pemisahan dari kolom separator berbasis bagas tebu adalah baik. Efisiensi Kolom Jumlah Pelat Teoritis N . Efisiensi kolom diukur sebagai jumlah pelat teoritis N. Kolom yang efisien adalah kolom yang menghasilkan puncak yang sempit tidak mengalami pelebaran puncak. Jumlah pelat teoritis yang dihasilkan adalah: • Puncak ke-1 36 15 50 , 22 16 16 2 2 1 1 = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = W t N R • Puncak ke-2 37 , 334 50 , 52 240 16 16 2 2 1 1 = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = W t N R Jumlah pelat teoritis yang dihasilkan puncak ke-1 dan ke-2 berturut-turut adalah 36 dan 334,16. Menurut CDER 1994, jumlah pelat teoritis yang baik adalah 2000. Jumlah pelat teoritis yang dihasilkan dalam penelitian ini masih di bawah 2000 sehingga efisiensi kolom berbasis limbah bagas tebu tidak baik. Jumlah pelat teoritis berbanding lurus dengan panjang kolom. Umumnya, kolom yang lebih panjang mempunyai jumlah pelat yang lebih banyak. Akan tetapi, menggunakan kolom yang lebih panjang juga dapat menurunkan tekanan yang lebih besar. The Height equivalent to a theoritical plate HETP. Tinggi yang setara dengan pelat teoritis merupakan ukuran efisiensi kolom yang lebih sering digunakan. Kolom yang baik adalah kolom yang mempunyai harga HETP yang kecil. • Puncak ke-1 56 , 36 20 = = = N L HETP • Puncak ke-2 06 , 37 , 334 20 = = = N L HETP Tailing Factor. Puncak ke-2 menunjukkan adanya puncak yang belum terpisah secara sempurna. Oleh karena itu perlu dilihat tailing factor. Tailing factor dihitung sebagai berikut: a b a T 2 + = T adalah tailing factor diukur pada tinggi puncak 5 a=jarak ujung puncak awal ke tengah puncak b=jarak tengah puncak ke puncak akhir 3 , 2 75 , 228 240 2 240 25 , 281 75 , 228 240 2 = − − + − = + = a b a T Puncak ke-2 menunjukkan nilai tailing factor 2, yaitu 2,3. Menurut CDER 1994, tailing factor yang baik adalah ≤ 2. Gambar 46 Kromatogram pemisahan xantorizol dan kurkuminoid. Simpulan Material separator berbasis limbah bagas tebu dapat memisahkan senyawa aktif xantorizol dalam ekstrak kasar temu lawak dengan resolusi yang cukup baik, yaitu 6,44. Namun, efisiensi kolom ini masih perlu ditingkatkan karena nilainya berada di bawah standar yang ditetapkan oleh CDER. Xantorizol Bisdemetoksikurkumin Demetoksikurkumin Kurkumin ANALISIS NILAI TAMBAH DAN PENDAPATAN USAHA INDUSTRI MATERIAL SEPARATOR BERBASIS BAGAS TEBU Abstrak Material separator berbasis bagas tebu berpotensi dikembangkan untuk mendukung teknologi separasi di Indonesia. Kelayakan finansial dan analisis nilai tambah dilakukan untuk mengevaluasi potensi material separator berbasis bagas tebu secara ekonomi. Hasil menunjukkan bahwa secara finansial industri material separator berbasis bagas tebu menguntungkan karena memiliki nilai BC lebih dari satu 1,22, jumlah produksi per tahun adalah 30.000 kg material separator dengan penerimaan aktual sebesar Rp 30.000.000.000,00 jauh lebih besar daripada jumlah produksi saat BEP 2.682 kg dan penerimaan saat BEP Rp 2.682.448.009,00. Nilai tambah yang diperoleh dari industri material separator berbasis bagas tebu adalah Rp 469.709,44 per kg bagas tebu. Kenaikan pada upah tenaga kerja, harga bahan baku dan bahan kimia, serta sumbangan input lainnya sebesar 10 dengan harga penjualan yang tetap masih dapat menguntungkan perusahaan. Kata kunci: analisis finansial, nilai tambah Abstract Sugarcane bagasse based separator material is potential to develop in order to support separation technology in Indonesia. Financial analysis and added value have been carried out to evaluate the sugarcane bagasse based separator’s potential. The results showed that the sugarcane bagasse based separator industry was profitable because of BC ratio value is bigger than one 1,22, the actual total production was 30.000 kg and the actual total avenue was Rp 30.000.000.000,00. Those numbers were much higher compared to the actual numbers when the BEP is reached, the total production was 2.682 kg and total avenue was Rp 2.682.448.009,00. The added value was found at Rp 469.709,44 per kg sugarcane bagasse. When salary, raw material and chemicals’s prices, and other input prices increased for 10, the company was still have a profit. Keywords: financial analysis, added value Pendahuluan Nilai tambah adalah pertambahan nilai yang terjadi karena suatu komoditi mengalami proses pengolahan, pengangkutan, dan penyimpanan dalam suatu proses produksi penggunaanpemberian input fungsional. Menurut Gumbira dan Intan 2000, nilai tambah agroindustri adalah nilai yang tercipta dari kegiatan mengubah input pertanian menjadi produk pertanian atau yang tercipta dari kegiatan mengolah hasil pertanian menjadi produk akhir. Nilai tambah dipengaruhi oleh faktor teknis dan nonteknis. Informasi atau keluaran yang diperoleh dari hasil analisis nilai tambah adalah besarnya nilai tambah, rasio nilai tambah, marjin, dan balas jasa yang diterima oleh pemilik-pemilik faktor produksi Hayami et al. 1987. Dalam penelitian ini, model agroindustri material separator berbahan baku bagas tebu dipilih sebagai contoh studi kasus dalam menganalisis kelayakan finansial dan nilai tambah. Nilai tambah yang dihasilkan ditentukan oleh pasokan bahan baku, manajemen produksi, tingkat teknologi yang digunakan, kelembagaan pasar, dan faktor lingkungan. Tahap penelitian ini bertujuan mendapatkan 1 kelayakan finansial produksi material separator dari limbah pertanian berbasis bagas tebu, 2 nilai tambah limbah pertanian berbasis bagas tebu setelah diolah menjadi material separator. Metode Metode Analisis Data Data yang diperoleh dihitung secara matematis, disajikan dalam tabulasi, selanjutnya dianalisis dan dijelaskan secara deskriptif. 1. Analisis Finansial Usaha Produksi Material Separator 1.a Analisis Biaya dan Pendapatan Biaya produksi: TC = TFC + TVC Keterangan: TC = total cost biaya total TFC = total fixed cost biaya tetap total TVC = total variable cost biaya tidak tetap total Penerimaan: TR = P.Q Keterangan: TR = total revenue penerimaan total P = price per unit harga jual per unit Q = quantity jumlah produksi Keuntungan: Π = TR – TC Keterangan: Π = pendapatan bersih atau keuntungan TR = total revenue penerimaan total TC = total cost biaya total 1.b Benefit-Cost Ratio BC BC ratio merupakan perbandingan antara keuntungan bersih dan biaya total, yang menunjukkan nilai pendapatan bersih yang diperoleh dari setiap rupiah yang dikeluarkan. Adapun BC ratio dapat dirumuskan sebagai berikut. TC BC Π = Keterangan: Π = pendapatan bersih atau keuntungan TC = Total cost Kriteria penilaian BC ratio: BC 1 = usaha agroindustri mengalami kerugian BC 1 = usaha agroindustri memperoleh keuntungan BC = 1 = usaha agroindustri mencapai titik impas 1.c Analisis Titik Impas BEP Perhitungan BEP break even point atas dasar unit produksi dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: VCunit Punit TFC BEPQ − = Keterangan: BEP Q = titik impas dalam unit produksi TFC = biaya tetap P = harga jual per unit VC = biaya tidak tetap per unit Perhitungan BEP atas dasar unit rupiah dapat dilakukan dengan menggunakan rumus: VCTR 1 TFC BEPRp − = Keterangan: BEP Rp = titik impas dalam rupiah TFC = biaya tetap VC = biaya tidak tetap TR = penerimaan total

2. Analisis Nilai Tambah

Analisis nilai tambah dilakukan dengan menggunakan metode Hayami. Secara matematis, fungsi nilai tambah NT menurut metode hayami 1987 dapat dirumuskan sebagai berikut: NT = f K, B, T, H, U, h, L Keterangan: K= kapasitas produksi kg B= jumlah bahan baku yang digunakan kg T=jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan orang H=harga output Rpkg U=upah kerja Rp h=harga bahan baku Rpkg L=nilai input lain Rp Perhitungan nilai tambah secara umum adalah sebagai berikut: NT = NO – NI Keterangan: NT= nilai tambah Rpkg NO= nilai ouput J H Y NO × = Keterangan: Y=jumlah produksi kg H=harga ouput Rpkg J=jumlah bahan baku kg NI=nilai input J hb ha NI + = Keterangan: ha=harga bahan baku Rp hb=harga bahan pendukung lainnya Rp J=jumlah bahan baku kg