Selulosa Benzoat Berbasis Selulosa Mikrobial dan Aplikasinya sebagai Fase Diam Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

SELULOSA BENZOAT BERBASIS SELULOSA MIKROBIAL
DAN APLIKASINYA SEBAGAI FASE DIAM
KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

CHRISTYAN ADHI DEWANGGA

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Selulosa Benzoat
Berbasis Selulosa Mikrobial dan Aplikasinya sebagai Fase Diam Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Christyan Adhi Dewangga
NIM G44090094

ABSTRAK
CHRISTYAN ADHI DEWANGGA. Selulosa Benzoat Berbasis Selulosa
Mikrobial dan Aplikasinya sebagai Fase Diam Kromatografi Cair Kinerja Tinggi.
Dibimbing oleh HENNY PURWANINGSIH dan MOHAMMAD KHOTIB
Nata de coco merupakan salah satu sumber alternatif bagi penyediaan
selulosa microbial. Penelitian ini bertujuan memodifikasi selulosa mikrokristalin
dari selulosa mikrobial dengan teknik esterifikasi serta mengaplikasikannya
sebagai fase diam kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Selulosa
mikrokristalin dibuat dengan menghidrolisis nata de coco kering dengan larutan
HCl 3% selama 4 jam. Teknik esterifikasi dilakukan dengan mereaksikan benzoil
klorida dan selulosa mikrokristalin selama 24 jam. Produk esterifikasi (selulosa
benzoat) menghasilkan nilai derajat benzoilasi sebesar 2.84. Selanjutnya, selulosa
benzoat digunakan sebagai fase diam KCKT dengan detektor fluoresens untuk
pemisahan rodamin b dan eritrosin. Hasilnya menunjukkan bahwa nilai rerata

resolusi yang diperoleh yaitu 1.150. Fase diam yang dihasilkan dari penelitian ini
belum efisien untuk pemisahan eritrosin dan rodamin b. Hal ini terlihat dari nilai
tinggi ekuivalen pelat teoretis yang lebih besar dibandingkan dengan jumlah pelat
teoretis.
Kata kunci: KCKT, selulosa benzoat , selulosa mikrobial, selulosa mikrokristalin

ABSTRACT
CHRISTYAN ADHI DEWANGGA. Cellulose Benzoate Based on Microbial
Cellulose and its Application as Stationary Phase in High Performance Liquid
Chromatography. Supervised by HENNY PURWANINGSIH and MOHAMMAD
KHOTIB
Nata de coco is one of the alternative sources for the provision of microbial
cellulose. This research aims to modify microcrystalline cellulose from microbial
cellulose by esterification technique and subsequent esterification products are use
as stationary phase in high performance liquid chromatography (HPLC).
Microcrystalline cellulose was prepared by hydrolysis of dry nata de coco with a
solution of HCl 4% for 4 hours. Esterification techniques performed by reacting
benzoyl chloride and microcrystalline cellulose during 24 hours. Esterification
products (cellulose benzoate) have a degree of benzoylation value is 2.84.
Furthermore, cellulose benzoate used as the stationary phase in HPLC using a

fluorescence detector for rhodamine b and erythrosine separation. The result
showed that the average value of resolution was 1.150. Stationary phase obtained
in this study was still not efficient for erythrosine and rhodamine b separation. It
was seen from the high equivalent of theoretical plate value obtained is bigger
than the theoretical value of the number plate.
Key words: cellulose benzoate, HPLC, microbial cellulose, microcrystalline
cellulose

SELULOSA BENZOAT BERBASIS SELULOSA MIKROBIAL
DAN APLIKASINYA SEBAGAI FASE DIAM
KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

CHRISTYAN ADHI DEWANGGA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Kimia


DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi : Selulosa Benzoat Berbasis Selulosa Mikrobial dan Aplikasinya
sebagai Fase Diam Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Nama
: Christyan Adhi Dewangga
NIM
: G44090094

Disetujui oleh

Mohammad Khotib, MSi
Pembimbing II

Dr Henny Purwaningsih, MSi
Pembimbing I


Diketahui oleh

Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 ini ialah selulosa
mikrobial, dengan judul Selulosa Benzoat Berbasis Selulosa Mikrobial dan
Aplikasinya sebagai Fase Diam Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr Henny Purwaningsih, MSi
selaku pembimbing I dan Bapak Mohammad Khotib selaku pembimbing II. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Drs Muhammad Farid
MSi atas segala diskusi dan saran berkaitan dengan penelitian. Terima kasih juga
kepada Drs. Zainal Alim Mas’ud, DEA,PhD selaku kepala Laboratorium Terpadu
IPB atas fasilitas yang diberikan selama penelitian dan seluruh staf Laboratorium

Terpadu IPB atas bantuan yang diberikan selama penelitian ini berlangsung.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, adik, serta Raina atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2013
Christyan Adhi Dewangga

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
METODE
Alat dan Bahan
Metode Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Selulosa Mikrokristalin
Esterifikasi Selulosa Mikrokristalin dengan Benzoil Klorida
Analisis Termal DTA/TGA

Pemisahan Campuran Rodamin B dan Eritrosin Menggunakan KCKT
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vi 












10 
10 
12
21 

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4

Struktur selulosa mikrokristalin (Westermarck 2000)
Struktur rodamin b dan eritrosin
Sampel nata de coco kering (a) dan selulosa mikrokristalin (b)
Mekanisme reaksi esterifikasi selulosa dengan benzoil
dalam pelarut piridina (Jinming et al. 2008)
5 Selulosa benzoat





klorida



TABEL
1 Hasil analisis pemisahan campuran senyawa rodamin b dan eritrosin
menggunakan KCKT



DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5


Bagan Alir Penelitian
Hasil standarisasi HCl dengan NaOH
Analisis gugus fungsi FTIR
Analisis DTA/TGA selulosa mikrokristalin (a) dan selulosa benzoat (b)
Hasil pengukuran KCKT menggunakan fase diam selulosa benzoat untuk
pengukuran rodamin b (a), eritrosin (b), rodamin b dan eritrosin ulangan
1 (c), rodamin b dan eritrosin ulangan 2 (d), rodamin b dan eritrosin
ulangan 3 (e), dan konsentrasi eritrosin dinaikkan dengan konsentrasi
rodamin dijaga tetap (f).

12 
13 
15 
17 

18 

PENDAHULUAN
Selulosa mikrobial adalah jenis selulosa yang dihasilkan oleh
mikroorganisme. Selulosa mikrobial dapat diproduksi dari berbagai jenis bakteri

seperti Gluconacetobacter, Agrobacterium, Aerobacter, Achromobacter,
Azotobacter, Rhizobium, Sarcina, dan Salmonella (Krystynowicz dan Bieclecki
2001). Hidrolisis terkendali selulosa mikrobial dengan larutan asam mineral encer
menghasilkan selulosa mikrokristalin (Gambar 1) yang memiliki derajat
kristalinitas yang lebih tinggi (Fechner et al. 2003). Selulosa mikrokristalin
merupakan salah satu contoh selulosa yang berwarna putih, tidak berbau, dan
tidak berasa. Selulosa mikrokristalin secara luas digunakan dalam farmasi,
terutama sebagai pengikat/pengisi dalam formulasi tablet dan kapsul. Bahan
selulosa mikrokristalin dipilih karena menghasilkan tablet dengan kekerasan
tinggi, tidak mudah hancur, dan mempunyai waktu hancur di dalam tubuh yang
relatif lebih singkat (Halim et al. 2002).

Gambar 1 Struktur selulosa mikrokristalin (Westermarck 2000)
Selulosa mikrokristalin termodifikasi dapat digunakan sebagai fase diam
dalam pemisahan suatu zat. Rojali (2011) telah melakukan modifikasi selulosa
mikrokristalin berbahan dasar serabut ampas sagu yang digunakan untuk
pemisahan komponen bioaktif dari ekstrak temu lawak. Yamamoto dan Okamoto
(2001) telah melakukan pemisahan senyawaan kiral menggunakan KCKT dengan
polisakarida termodifikasi sebagai fase diam. Yashima (2001) telah melakukan
pemisahan enantiomer menggunakan KCKT dengan polisakarida sebagai fase
diam. Dalam penelitian ini, modifikasi selulosa dilakukan dengan cara benzoilasi
selulosa mikrokristalin. Benzoilasi selulosa dilakukan melalui reaksi esterifikasi
antara selulosa mikrokristalin dengan pereaksi benzoil klorida dalam pelarut
piridina. Riswoko (2006) telah mengaplikasikan selulosa benzoat sebagai fase
statis membran untuk pemisahan rasemat. Pada penelitian ini, selulosa benzoat
diaplikasikan sebagai fase diam KCKT untuk pemisahan campuran senyawa
rodamin b dan eritrosin.
Rodamin b (Gambar 2a) merupakan zat warna sintetis berbentuk serbuk,
tidak berbau, berwarna merah keunguan, dan berfluoresens merah terang.
Rodamin b sering digunakan sebagai zat warna kertas, tekstil, cat, dan sebagai
pereaksi untuk pengujian antimoni, kobalt, dan bismut. Metode konvensional
yang dapat digunakan untuk menanggulangi limbah rodamin b antara lain

2
pertukaran ion, osmosis balik, filtrasi membran, dan koagulasi (Das et al. 2008).
Rodamin b dapat mengakibatkan iritasi pada kulit, mata, dan gangguan
pernapasan. Selain itu, rodamin b merupakan salah satu bahan pencemar
lingkungan dan bersifat karsinogenik (Chiang et al. 2011).
Eritrosin (Gambar 2b) bernama kimia asam 2-(6-hidroksi-2,4,5,7-tetraiodo3-okso-xanten-9-il) benzoat. Zat warna ini larut dalam air dan etanol. Kandungan
eritrosin diantaranya zink (Zn) tidak lebih dari 50 mg/kg, timbel (Pb) kurang dari
2 mg/kg, dan iodium anorganik tidak lebih dari 0.1% yang dihitung sebagai
natrium iodida. Larutan eritrosin dalam alkohol menghasilkan warna merah yang
berfluoresens, sedangkan larutannya dalam air berwarna merah muda tanpa
fluoresens (Gupta et al. 2006)

(a)
(b)
Gambar 2 Struktur rodamin b dan eritrosin
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan memodifikasi selulosa
mikrokristalin dari selulosa mikrobial dengan teknik esterifikasi serta
mengaplikasikannya sebagai fase diam kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

METODE
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan gelas, neraca
analitik, alat pres hidraulik, hot plate, motor pengaduk, oven, penyaring vakum,
kolom KCKT 250×4.60 mm, pH indicator strips Merck ,dan KCKT merk
Shimadzu model UFLC RF-20A.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah nata de coco dengan
bakteri Acetobacter xylinum yang dibeli dari Pasar Cibanteng, Selulosa p.a Zigma,
HCl p.a PT Smart Lab Indonesia, piridina p.a Merck, benzoil klorida p.a Merck,
metanol p.a PT Smart Lab Indonesia, metanol for HPLC & UHPLC JT Baker,
rodamin b p.a Merck, dan eritrosin Merck.

Metode Penelitian
Penelitian ini terdiri atas tahap preparasi sampel, produksi selulosa
mikrokristalin, esterifikasi selulosa dengan benzoil klorida, penentuan derajat
benzoilasi, analisis termal diferensial/termogravimetri (DTA/TGA), analisis
spektrum inframerah transformasi Fourier (FTIR), dan pemisahan senyawa
campuran rodamin b dan eritrosin menggunakan KCKT (Lampiran 1).

3
Preparasi Sampel Nata de Coco (Santika 2005)
Nata de coco direndam dalam larutan NaOH 1% (b/v) pada suhu 26−28 °C
selama 24 jam kemudian dinetralkan dengan direndam beberapa kali di dalam air.
Nata de coco kemudian dipres dengan alat pres hidraulik dan dikeringkan
menggunakan panas matahari (suhu 35−45 °C).
Produksi Selulosa Mikrokristalin
Nata de coco yang sudah kering ditambahkan 1000 mL larutan HCl 3%
panas, lalu campuran dipanaskan kembali pada suhu 85 °C selama 4 jam dengan
pengadukan konstan. Setelah didinginkan ke suhu kamar mikroselulosa disaring
dengan penyaring vakum Büchner. Hasil penyaringan dicuci dengan air panas
hingga bebas asam, kemudian dikeringkan.
Esterifikasi Selulosa dengan Benzoil Klorida (Yamamoto 2008)
Sebanyak 10 g selulosa mikrokristalin dilarutkan dalam 250 mL piridina
selama 30 menit pada suhu 40 °C. Larutan kemudian dipanaskan pada suhu 60 °C
selama 24 jam. Selama pemanasan, ditambahkan 70 mL benzoil klorida melalui
corong penambah cairan. Produk kotor ester selulosa dicuci dengan HCl pH 3,
lalu direndam dalam metanol. Setelah itu, disaring dan dikeringkan hingga didapat
selulosa benzoat.
Penentuan Derajat Benzoilasi (modifikasi Guimes 2008)
Sebanyak 1 g selulosa benzoat dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang
bersih, kering, dan telah diketahui bobot kosongnya. Contoh kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C selama 3 jam untuk ditentukan bobot
keringnya. Contoh kering selanjutnya ditambahkan 40 mL etanol 75% (v/v) dan
dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit pada suhu 60 °C. Sebanyak 40
mL NaOH 0.5 N yang telah distandardisasi menggunakan asam oksalat (Lampiran
2) ditambahkan setelah itu, dan dipanaskan lagi pada suhu yang sama selama 30
menit.
Contoh didiamkan selama 72 jam, kelebihan NaOH dititrasi dengan HCl 0.5
N yang telah distandardisasi (Lampiran 2) dengan menggunakan indikator
fenolftalein sampai warna merah muda lenyap. Contoh lalu didiamkan selama 24
jam untuk memberi kesempatan bagi NaOH berdifusi. Selanjutnya contoh dititrasi
dengan NaOH 0.5 N sampai terbentuk warna merah muda kembali. Pengukuran
blangko dilakukan sama dengan contoh, tetapi tanpa penambahan contoh selulosa
benzoat. Kadar benzoil (KB) dihitung dengan rumus
KB(%) =

D-C Na+ A-B Nb × F
W

dengan
A = volume NaOH untuk titrasi contoh (mL),
B = volume NaOH untuk titrasi blangko (mL),
C = volume HCl untuk titrasi contoh (mL),
D = volume HCl untuk titrasi blangko (mL),
F = 10.5 untuk kadar benzoil,
Na = normalitas HCl,

4
Nb = normalitas NaOH, dan
W = bobot kering contoh (g).
Sementara besarnya derajat benzoilasi (DB) dapat dihitung dari nilai KB
menggunakan rumus
162 KB

DB = 10500‐(104

KB)

Analisis Termal DTA/TGA
Sampel selulosa mikrokristalin dan selulosa benzoat sebanyak 20−25 mg
masing-masing digerus dalam mortar kemudian dimasukkan pada pelat platinum
dan dilakukan analisis termal. Kondisi alat (Shimadzu DTG-60H, TA-60WS, dan
FC-60A) diatur dan dioperasikan pada suhu 0−1000 °C dengan kecepatan
pemanasan 10 °C per menit selama 50 menit.
Analisis FTIR
Sebanyak 0.01 g contoh selulosa benzoat, selulosa mikrokristalin, dan
selulosa komersial masing-masing dicampurkan dengan 0.1 g KBr. Campuran
digerus sampai halus kemudian dipanaskan dalam oven 60 °C selama 24 jam
untuk menghilangkan uap air. Setelah 24 jam, campuran dianalisis dengan
spektrometer FTIR Perkin Elmer Spectrum One dengan resolusi 4 cm-1.
Pemisahan Campuran Rodamin b dan Eritrosin Menggunakan KCKT
Sebanyak 2 g contoh selulosa benzoat dimampatkan ke dalam kolom KCKT
yang memiliki panjang 250 mm dan diameter 4.60 mm. Kolom tersebut kemudian
dialiri metanol hingga diperoleh baseline yang stabil. Sebanyak 5 μL larutan
tunggal rodamin b 10 ppm dan eritrosin 1000 ppm masing-masing dinjeksikan ke
dalam kolom untuk mengetahui waktu retensi masing-masing dengan eluen
metanol. Larutan tunggal eritrosin dan rhodamin b tersebut kemudian
dicampurkan dan diinjeksikan ke dalam kolom dengan laju alir 0.8 mL per menit
dengan panjang gelombang emisi 535 nm dan panjang gelombang eksitasi 580 nm.
Proses pemisahan senyawa campuran dilakukan pada suhu 27 °C sebanyak 3 kali
ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Selulosa Mikrokristalin
Selulosa mikrobial mempunyai struktur kimia yang sama seperti selulosa
dari tumbuhan, dan merupakan polisakarida berantai lurus yang tersusun dari
molekul-molekul D-glukosa yang dihubungkan oleh ikatan β-1,4. Nata de coco
merupakan salah satu sumber selulosa mikrobial. Bahan ini mudah dibuat, mudah
diolah, mudah diperoleh dengan biaya produksi yang lebih murah, dan
mengandung selulosa yang relatif lebih murni sehingga tidak perlu melalui proses
delignifikasi. Perendaman nata de coco menggunakan NaOH 1% selama 24 jam
bertujuan menghilangkan komponen-komponen nonselulosa dan sisa bakteri yang

5
masih ada. Komponen-komponen nonselulosa ini dapat menghalangi ikatan
hidrogen yang terjadi antar rantai molekul selulosa yang mengakibatkan
menurunnya sifat mekanis selulosa (Sulistiyana 2010). Selain itu, perendaman
menggunakan NaOH bertujuan memekarkan selulosa sehingga molekul selulosa
akan lebih mudah bereaksi (Achmadi 1990). Nata de coco dihilangkan airnya
dengan menggunakan alat pres hidraulik dan pemanasan di bawah sinar matahari
(Gambar 3a).
Selulosa mikrokristalin dibuat dengan menghidrolisis selulosa dalam
larutan HCl 3% selama 4 jam. Ukuran selulosa yang jauh lebih kecil akan
memperbesar luas permukaan selulosa dan meningkatkan kekuatan ikatan
hidrogennya (Ilindra dan Dhake 2008). Selulosa mikrokristalin yang diperoleh
berbentuk tipis, berwarna putih kekuningan (Gambar 3b). Menurut Rojali (2011),
proses esterifikasi selulosa tanpa melalui pengecilan ukuran menjadi mikro akan
memberikan produk ester yang menggumpal, berwarna kecoklatan, dengan DB
yang rendah. Perubahan selulosa mikrobial menjadi selulosa mikrokristalin salah
satunya ditandai dengan meningkatnya suhu terdekomposisi selulosa akibat
meningkatnya nilai derajat kristalinitas yang dimiliki (Fechner et al. 2003).
Menurut Sharma (2012), suhu dekomposisi selulosa murni yaitu sekitar 310 °C.
Suhu terdekomposisi yang diperoleh dari analisis termal DTA/TGA selulosa
mikrokristalin yaitu 441.59 °C. Selain itu, menurut Spektrum FTIR selulosa
mikrokristalin (Lampiran 3) menunjukkan serapan ulur –OH pada bilangan
gelombang 3236.55 cm-1, serapan ulur C-H pada 2893.22 cm-1, ikatan CH2 pada
1427.32 cm-1, dan serapan ulur C-O-C pada 896.90 cm-1. Menurut Ciolacu (2011),
spektrum FTIR selulosa dicirikan dengan serapan pada bilangan gelombang
sekitar 3200–3600 cm-1 (ulur –OH), 2800–3200 cm-1 (ulur C-H), ikatan CH2 pada
1430 cm-1, dan serapan ulur C-O-C pada 898 cm-1. Spektrum FTIR yang tidak
jauh berbeda juga ditunjukkan oleh selulosa komersial (Lampiran 3), yang
menunjukkan kemiripan gugus fungsi antara selulosa murni dengan selulosa
mikrokristalin.

(a)
(b)
Gambar 3 Sampel nata de coco kering (a) dan selulosa mikrokristalin (b)

6
Esterifikasi Selulosa Mikrokristalin dengan Benzoil Klorida
Selulosa benzoat disintesis melalui reaksi esterifikasi antara selulosa
mikrokristalin dan benzoil klorida dalam pelarut piridina. Piridina merupakan
medium basa yang berfungsi sebagai katalis pengaktif gugus OH selulosa. Selain
itu, piridina juga akan membentuk garam piridinium dengan asam klorida yang
terbentuk selama proses esterifikasi. Pelarut piridina merupakan basa lemah tanpa
gugus OH sehingga tidak reaktif terhadap gugus ester produk (Riswoko 2006).
Salah satu persyaratan reaksi esterifikasi selulosa adalah ionisasi gugus-gugus
hidroksil pada selulosa. Setiap residu β-D-glukopiranosa di dalam rantai selulosa
mempunyai 3 gugus hidroksil reaktif, yaitu 2 hidroksil sekunder (HO-2 dan HO3), dan 1 hidroksil primer (HO-6) (Sjostrom 1998). Mekanisme reaksi esterifikasi
ditunjukkan pada gambar 3.

Gambar 4 Mekanisme reaksi esterifikasi selulosa dengan benzoil klorida dalam
pelarut piridina (Jinming et al. 2008)
Proses esterifikasi pada penelitian ini dilakukan selama 24 jam. Hal ini
dilakukan untuk mengoptimalisasi proses esterifikasi sehingga diperoleh nilai DB
mendekati 3. Sebanyak 10 g selulosa akan menghasilkan 25.6428 g produk
esterifikasi yang berbentuk serbuk putih (Gambar 5). Keberhasilan proses
esterifikasi pada penelitian ini dilihat berdasarkan analisis gugus fungsi dengan
FTIR dan perhitungan nilai DB.

7

Gambar 5 Selulosa benzoat
Karakteristik serapan FTIR untuk senyawaan ester meliputi serapan tunggal
ulur karbonil C=O pada daerah 1690–1760 cm-1 dan serapan ulur C–O pada
daerah 1080–1300 cm-1 (Jinming et al. 2008). Perubahan selulosa menjadi
selulosa benzoat terlihat dari berkurang hingga tidak terlihatnya intensitas serapan
ulur gugus hidroksil pada daerah 3000–3600 cm-1, seiring dengan kemunculan
serapan ulur C=O pada 1735.93 cm-1, ulur C-O pada 1176.58 cm-1, ulur C-H
cincin benzena pada 3066.82 cm-1, dan ulur C=C aromatik pada 1600.92 cm-1 dan
1450.47 cm-1, serta serapan C–H luar bidang benzena di daerah kurang dari 1000
cm-1 (Lampiran 3).
Hasil FTIR didukung dengan hasil penentuan DB selulosa benzoat. Derajat
benzoilasi (DB) menunjukkan banyaknya atom H hidroksil yang tergantikan oleh
gugus benzoil selama proses esterifikasi berlangsung (Guimes et al. 2008).
Pengukuran DB dilakukan dengan menyabunkan contoh dalam larutan NaOH
yang terstandardisasi. Jumlah NaOH yang terpakai diukur melalui titrasi asambasa tidak langsung dengan HCl dan berbanding lurus dengan banyaknya gugus
benzoil pada selulosa benzoat. Hasil perhitungan menunjukkan nilai DB yang
cukup tinggi, yaitu 2.8 (Lampiran 2). Nilai ini menandakan jumlah gugus OH
yang tergantikan oleh gugus benzoat hampir sempurna (mendekati 3).
Analisis Termal DTA/TGA
Kehilangan massa akibat pemanasan dianalisis menggunakan instrumen
DTA-TGA. Kalor yang diterima oleh sampel semakin meningkat sejalan dengan
bertambahnya waktu, maka bobot sampel akan semakin menurun. Secara umum
terdapat 3 jenis kurva pada termogram yang dihasilkan dari analisis termal
menggunakan DTA-TGA, yaitu kurva kenaikan suhu, DTA, dan TGA. Pada DTA,
kalor yang diserap atau dilepaskan dari suatu sampel diamati dengan cara
mengukur perbedaan suhu sampel dengan pembanding Al2O3. Perubahan kalor
yang dicatat adalah akibat reaksi di dalam sampel, baik secara endoterm maupun
eksoterm. Apabila terjadi reaksi endoterm, maka suhu sampel lebih rendah
daripada suhu pembanding, sedangkan apabila terjadi reaksi eksoterm, maka suhu
sampel lebih tinggi daripada suhu pembanding.
Pada kurva DTA selulosa mikrokristalin teridentifikasi 2 puncak, yaitu 2
puncak endotermis di 93.46 dan 344.90 °C dan 1 puncak eksotermis di 441.59 °C
(Lampiran 4a). Hasil ini menunjukkan terjadinya kehilangan kelembapan pada
suhu 93.46 °C, pirolisis dan degradasi senyawa amorf pada suhu 344.90 °C, dan

8
dekomposisi pada 441.59 °C. Nada et al. (2009) melaporkan data DTA selulosa
mikrokristalin pada kapas dengan 2 puncak. Puncak pertama pada 110 °C
menandakan kehilangan kelembapan dan puncak kedua pada 295 °C dan 304 °C
menandakan proses pirolisis dan dekomposisi dari selulosa mikrokristalin.
Sementara termogram TGA menunjukkan penurunan massa selulosa
mikrokristalin secara drastis sebesar 94.35% hingga suhu 900 °C. Penurunan
massa ini terjadi karena putusnya ikatan glikosida menghasilkan glukosa,
selanjutnya terjadi dehidrasi menghasilkan 1,6-anhidro-β-D-glukopiranosa dan
kemudian menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana seperti asam-asam
karboksilat, aldehida dan keton (Suyati 2008)
Pada kurva DTA selulosa benzoat teridentifikasi 3 puncak, yaitu 1 puncak
endotermis di 283.29 °C dan 2 puncak eksotermis di 427.69 dan 592.87 °C
(Lampiran 4b). Tidak terdeteksi puncak endotermis yang berhubungan dengan
penghilangan air fisis dan oksidasi, tetapi termogram TGA memperlihatkan
pengurangan massa sekitar 9.89% pada suhu 50−150 °C yang diakibatkan oleh
penguapan gas CO2, CO, dan H2O. Berdasarkan kurva DTA, selulosa benzoat
terdekomposisi pada suhu 427.69 °C. Penurunan massa selulosa benzoat secara
drastis sebesar 95.45% terjadi hingga suhu 950 °C berdasarkan termogram TGA.
Penurunan ini terjadi akibat pecahnya molekul siklik menjadi molekul-molekul
yang lebih sederhana terutama asam karboksilat (Suyati 2008). Penguraian
molekul ini juga tampak pada kurva DTA, yaitu pada suhu 592.87 °C.
Pemisahan Campuran Rodamin B dan Eritrosin Menggunakan KCKT
Produk selulosa benzoat diaplikasikan sebagai fase diam KCKT. Selulosa
benzoat dimampatkan ke dalam kolom sepanjang 250 mm dengan diameter 4.60
mm. Metanol dialirkan sebelum pengukuran senyawa untuk menstabilkan fase
diam dan membersihkan dari kandungan pelarut seperti piridina. Setelah fase
diam stabil dan bebas pengotor, kolom dipasang ke dalam alat KCKT dan
diperiksa kondisinya apakah bocor atau tidak pada kedua ujungnya. Pemilihan
rodamin b dan eritrosin sebagai bahan untuk dipisahkan ialah karena warnanya
yang hampir mirip sehingga nilai panjang gelombang eksitasi dan emisinya
hampir sama. Selain itu, adanya interaksi π-π pada struktur rodamin b dan
eritrosin (Gambar 2) dengan selulosa benzoat diharapkan mampu memisahkan
kedua campuran senyawa tersebut.
Senyawa tunggal rodamin b menunjukkan waktu retensi pada 3.641 menit
sedangkan eritrosin 4.322 menit (Lampiran 5a dan 5b). Campuran 2 senyawa
tersebut menghasilkan 2 puncak dengan retensi rata-rata berturut-turut pada 3.7
menit dan 6.5 menit untuk 3 ulangan (Lampiran 5c−5e). Pergeseran waktu retensi
eritrosin menjadi 6.5 menit diakibatkan adanya interaksi dengan kolom yang
berbeda antara senyawa tunggal dan senyawa campuran. Disisi lain, waktu retensi
rodamin b tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran senyawa tunggal karena
senyawa ini kurang begitu berinteraksi dengan fase diam kolom kromatografi
sehingga dapat terelusi lebih dahulu. Pembuktian senyawa eritrosin pada waktu
retensi 6.5 menit didapat dari perubahan tinggi kurva dengan peningkatan
konsentrasi eritrosin dengan konsentrasi rodamin tetap (Lampiran 5f). Waktu
retensi yang dihasilkan untuk pemisahan sampel lebih cepat dibandingkan
sebelumnya yang menandakan penurunan kemampuan fase diam untuk

9
mamisahkan sampel (Lampiran 5f). Nilai resolusi rata-rata yang diperoleh dari
pemisahan senyawa tersebut adalah 1.15 (Lampiran 5c−5e). Nilai resolusi yang
baik untuk pemisahan sampel ialah 1.5 (Skoog et al. 2004). Nilai resolusi yang
tidak terlalu tinggi menandakan pemisahan senyawa belum sempurna akibat tidak
adanya proses optimasi untuk fase gerak yang digunakan. Hal ini didukung
dengan nilai faktor kapasitas (k') rata-rata yang diperoleh dari 3 ulangan yaitu
0.749 (saling impit). Nilai k' yang baik adalah antara 1−10 (Skoog et al. 2004).
Nilai tinggi ekuivalen pelat teoretis (HETP) pada eritrosin dan rodamin b lebih
besar dibandingkan dengan jumlah pelat teoretis (N) yang menandakan kolom
masih belum efisien untuk pemisahan eritrosin dan rodamin b (Watson 2005).
Nilai tailing factor rata-rata yang diperoleh untuk senyawa rodamin b sebesar 1.49
sedangkan untuk eritrosin nilainya 0. Nilai tailing factor lebih besar dari 1
menunjukkan bahwa kromatogram tersebut mengalami tailing, sedangkan tailing
factor kurang dari 1 menunjukkan kromatogram tersebut mengalami fronting
(Skoog et al. 2004).
Tabel 1 Hasil analisis pemisahan campuran senyawa rodamin b dan eritrosin
menggunakan KCKT

Ulangan

1
2
3

Rerata

Puncak

Waktu
Retensi
(menit)

Resolusi

k'

Tailing
Factor

HETP

N

Rodamin b
Eritrosin
Rodamin b
Eritrosin
Rodamin b
Eritrosin

3.713
6.370
3.708
6.519
3.707
6.578

1.120
1.181
1.170

0.716
0.758
0.775

1.492
0.000
1.491
0.000
1.487
0.000

773.045
3124.290
781.518
3006.200
781.346
3191.030

194.038
48.011
191.934
49.897
191.976
47.007

1.150

0.749

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Selulosa benzoat berhasil disintesis dengan nilai DB yang cukup tinggi,
yaitu 2.8, ditunjukkan oleh serapan ulur karbonil C=O pada daerah 1735.93 cm1
dan serapan ulur C-O pada 1176.58 cm-1. Nilai TGA menunjukkan kadar air
selulosa selulosa benzoat lebih kecil daripada selulosa mikrokristalin. Selulosa
benzoat ini kemudian diaplikasikan sebagai fase diam kromatografi cair kinerja
tinggi untuk pemisahan senyawa rodamin b dan eritrosin. Pemisahan senyawa
campuran ini masih kurang sempurna, ditandai dengan nilai resolusi rata-rata yang
diperoleh, yaitu 1.15.

10
Saran
Perlu dilakukan pengukuran difraksi sinar-X dan mikroskop elektron
pemayaran untuk memastikan perubahan selulosa mikrobial menjadi selulosa
mikrokristalin. Perlu dilakukan optimasi fase gerak yang digunakan untuk
meningkatkan nilai resolusi yang diperoleh.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor (ID): PAU Ilmu Hayat IPB.
Ciolacu D, Ciolacu F, Popa VI. 2011. Amorphous cellulose structure and
characterization. Cellulose Chem. Technol. 45(1-2):13-21.
Fechner PM, Wartewig S, Futig M, Heilmann A, Neubert RHH, Kleinnebudde P.
2003. Properties of microcrystalline cellulose and powder cellulose after
extrusion/spheronization as studied by fourier transform raman spectroscopy
and environmental scanning electron microscopy. AAPS Pharm Sci. 5(4):112. doi:10.1208/ps050431.
Guimes RF, Monteiro DS, Meireles CS, Nascimento RM, Cerqueira DA, Barud
HS, Ribeiro SJL, Messadeq Y. 2008. Synthesis and characterization of
cellulose acetate produced from recycled newspaper. Carbohydr Polym.
73:74-82. doi:10.1016/j.carbpol.2007.11.010.
Gupta VK, Mittal A, Kurup L, Mittal J. 2006. Adsorption of a hazardous dye,
erythrosine, over hen feathers. Journal of Colloid and Interface Science.
304(1):52-57. doi:10.1016/j.jcis.2006.08.032.
Ilindra A, Dhake JD. 2008. Microcrystalline cellulose bagasse and rice straw.
Indian Chem Technol. 15:497-499.
Krstynowicz A, Bieclecki S. 2001. Biosynthesis of Bacterial Cellulose and Its
Potential Application in the Different Industries [internet]. [diacu 2013 Juli
1]. Tersedia dari: http://www.biotechnology-pl.com/science/krystynowicz.
htm.
Jinming Z, Wu J, Cao Y, Sang S, Zhang J, He J. 2008. Synthesis of cellulose
benzoates under homogenous conditions in an ionic liquid. Cellulose.
16:299-308. doi:10.1007/s10570-008-9260-2.
Nada MA, Kady MY, Sayed ES, Amine FM. 2009. Preparation and
characterization of microcrystalline cellulose. Bio Resources. 4(4):13591371. doi:10.1002/jps.23301.
Riswoko A. 2006. Pembuatan selulosa ester dan karakterisasi sifat polimer kristal
cair. Akta Kimindo. 1(2):79-86.
Rojali A. 2011. Sintesis selulosa benzoat dari serabut ampas sagu sebagai fase
diam kromatografi kolom [skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam.
Halim A, Sahlan E, Sulastri. 2002. Pembuatan selulosa mikrokristalin dari jerami
padi (Oryza sativa Linn) dengan variasi waktu hidrolisa. J. Sains Tek Far.
7(2):81-87.

11
Santika R. 2005. Pembuatan biopolimer dan membran selulosa asetat dari selulosa
mikrobial (nata de coco) [Skripsi]. Bogor (ID): Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sjostrom E. 1998. Kimia Kayu, Dasar-dasar dan Penggunaan Edisi 2.
Sastrohamidjojo H, penerjemah, Yogyakarta (ID): UGM. Terjemahan dari:
Wood Chemistry, Fundamentals and Applications 2nd Ed.
Sharma RK. 2012. A study in thermal properties of graft copolymers of cellulose
and methacrylates. Pelagia Research. 3(6):3961-3969.
Skoog DA, West DM, Holler FJ, Crouch SR. 2004. Fundamentals of Analytical
Chemistry Eight Edition. Belmont (US): Brooks/Cole-Thomson.
Sulistiyana. 2010. Studi pendahuluan adsorpsi kation Ca dan Mg (penyebab
kesadahan) menggunakan selulosa bakterial nata de coco dengan metode
batch [skripsi]. Surabaya (ID): Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Suyati. 2008. Pembuatan selulosa asetat dari limbah serbuk gergaji kayu dan
identifikasinya [Tesis]. Bandung (ID): Program Magister Kimia Pasca
Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
Watson DG. 2005. Pharmaceutical Analysis Second Edition. Glasgow (GB):
Harcourt Publishers.
Westermarck S. 2000. Use of the mercury porosimetry and nitrogen adsorption in
characterisation of the pore structure of mannitol and microcrystalline
cellulose powders, granules, and tablets [disertasi]. Helsinki (FI): Faculty of
Science.
Krstynowicz A, Bieclecki S. 2001. Biosynthesis of Bacterial Cellulose and Its
Potential Application in the Different Industries [internet]. [diacu 2013 Juli
1]. Tersedia dari: http://www.biotechnology-pl.com/science/krystynowicz.
htm.
Yamamoto C, Okamoto Y. 2001. Chiral Separation by HPLC Using
Polysaccharide Based Chiral Stationary Phases [internet].[diacu 2013 Juli
17]. Tersedia dari: http://www.krivda.net/books/gerald_gubitz-chiral_
separations_methods_and_protocols__chiral_separation_by_hplc_using_pol
ysaccharide-based_chiral_st ationaryphases_29.
Yashima E. 2001. Polysaccharide-based chiral stationary phases for highperformance liquid chromatographic enantioseparation. J. Chromatography
A. 906:105-125. doi:10.1016/S0021-9673(00)00501-X.

12
Lampiran 1 Bagan Alir Penelitian

nata de
coco

Hidrolisis HCL 3 %
suhu 85°C selama 4
Selulosa
mikrokristalin

FTIR
DTA/TGA

Esterifikasi selulosa
dengan benzoil klorida

Selulosa Benzoat

Rodamin B
Eritrosin

Fase diam KCKT

Analisis Data

FTIR
DTA/TGA
DB

13

Lampiran 2 Hasil standarisasi HCl dengan NaOH
Standardisasi HCl dengan Na2BO4•10H2O (boraks)
Pembuatan larutan boraks
Bobot (g)
= 4.7675
Volume (mL)
= 50
BE (g/ek)
= 190.6825
[Boraks] (N)
= 0.5000
Penentuan [HCL] dengan boraks 0.5000
Ulangan

[Boraks](N)

Vol.Boraks
(mL)

Vol. HCl
(mL)

[HCl] (N)

1
2
3

0.5000
0.5000
0.5000

10
10
10

9.8
9.9
9.9

0.5103
0.5102
0.5102

Rerata [HCl] (N)

0.5102

Standardisasi NaOH dengan H2C2O4•2H2O (asam oksalat)
Pembuatan larutan asam oksalat
Bobot (g)
= 1.5859
Volume (mL)
= 50
BE (g/ek)
= 60.035
[Oksalat] (N)
= 0.5032
Penentuan [NaOH] dengan oksalat 0.5032 N
Ulangan

[Oksalat](N)

Vol. Oksalat
(mL)

Vol. NaOH
(mL)

[NaOH] (N)

1
2
3

0.5032
0.5032
0.5032

10
10
10

10.3
10.3
10.4

0.4885
0.4885
0.4838
0.4869

Rerata [NaOH] (N)

14
Penentuan derajat benzoilasi dan perhitungannya
KB(%) =

D‐C Na+ A‐B Nb × F
W

dengan
A = volume NaOH untuk titrasi contoh (mL),
B = volume NaOH untuk titrasi blangko (mL),
C = volume HCl untuk titrasi contoh (mL),
D = volume HCl untuk titrasi blangko (mL),
F = 10.5 untuk kadar benzoil,
Na = normalitas HCL,
Nb = normalitas NaOH, dan
W = bobot kering contoh (g).
KB(%) =

DB =

38.2‐29.6 0.5102+ 0.2‐0.1 0.4869 ×10.5
0.7143

162×KB
10500-(104×KB)

=

162×65.2139
10500-(104×65.2139)

= 65.2139

= 2.84167

15
Lampiran 3 Analisis gugus fungsi FTIR

Selulosa Mikrokristalin dan Selulosa Komersial

Selulosa Mikrokristalin (hitam) dan Selulosa Komersial (biru)

16

Selulosa Benzoat (merah) dan Selulosa Mikrokristalin (hitam)

17
Lampiran 4 Analisis DTA/TGA selulosa mikrokristalin (a) dan selulosa benzoat
(b)

(a)

(b)

18
Lampiran 5 Hasil pengukuran KCKT menggunakan fase diam selulosa benzoat
untuk pengukuran rodamin b (a), eritrosin (b), rodamin b dan
eritrosin ulangan 1 (c), rodamin b dan eritrosin ulangan 2 (d),
rodamin b dan eritrosin ulangan 3 (e), dan konsentrasi eritrosin
dinaikkan dengan konsentrasi rodamin dijaga tetap (f).

(a)

(b)

19

(c)

(d)

20

(e)

(f)

21

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 11 April 1991 dari Ayah Iwan
Setyono dan Ibu Melania Sutarni. Penulis merupakan anak pertama dari dua
bersaudara. Penulis menyelesaikan studi di SMPK 1 Penabur pada tahun 2006,
SMAK 2 Penabur Jakarta pada tahun 2009. Pada tahun 2009 penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Kimia, Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Fisik pada tahun 2013.
Penulis juga berkesempatan melaksanakan kegiatan praktik lapangan di Balai
Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKL PP)
dengan judul Verifikasi Metode Penentuan Logam Kadmium dalam Air Bersih
dengan ICP AES pada tahun 2012.