Pandangan dan Pemikiran Filsafat Sejarah Material pada Zaman Modern Menurut Hegel

Banyak orang merasa sangsi akan kebenaran pendapat Hegel, bahwa Budi menguasai perkembangan sejarah, seolah akal Budi membimbing sejarah dunia. Bukankah masa silam sering nampak sebagai suatu proses yang kacau balau, penuh perbuatan yang tidak masuk akal dan yang penuh pamrih. Keberatan serupa itu oleh Hegel ditangkis dengan konsepnya mengenai “akalnya Budi”. Pertama-tama kita harus mengambil langkah prinsipiil, jangan melihat sejarah dalam perspektif individu-individu yang masing-masing berbuat sesuatu di panggung sejarah, melainkan dalam perspektif jaringan perbuatan-perbuatan manusia yang kait-mengait. Bahkan oleh Hegel ditekankan, bahwa unsur “irasional” dalam perbuatan manusia justru mengabdi kepada kepentingan Budi. Bila dipandang dari sudut tertentu, maka unsur irasional merupakan keharusan agar Budi dapat melaksanakan diri. Hawa napsu manusia perlu, untuk mendorong bahtera sejarah yang kemudinya dipegang oleh Budi. Bersama-sama, akal budi dan hawa napsu menjalin proses sejarah bagaikan tenunan yang ada benang langsing dan melintang. “Budi sendiri merupakan kenyataan, tetapi hawa napsu adalah lengannya guna meraih sesuatu. “Budi seolah-olah mempergunakan hawa napsu manusia untuk melaksanakan diri. Budi mempergunakan dan menyalahgunakan manusia untuk mencapai tujuannya sendiri. Bila tujuan itu sudah tercapai, maka biasanya nasib tokoh-tokoh sejarah lalu menjadi buruk.

2.4 Pandangan dan Pemikiran Filsafat Sejarah Material pada Zaman Modern Menurut Hegel

Uraian Hegel mengenai filsafat sejarah material lebih luas daripada ulasannya mengenai filsafat sejarah formal. Dalam tiga jilid ia membahas dunia timur, dunia yunani- romawi dan dunia germania. Ia mengikuti perjalanan Budi dalam sejarah dunia mulai dari Cina dan India sampai zamannya sendiri. Dalam tulisan-tulisannya yang lebih bersifat filsafati dialektika, kadang-kadang terasa agak dipaksa-paksakan , tetapi disini diterapkan penuh imajinasi, tak pernah merupkan kerangka yang kaku, melainkan sebuah sarana yang menghasilkan pemandangan-pemandangan sejarah yang memikat. Filsafat sejarah material ala Hegel menyerupai sebuah “palimpsest”, empat struktur yang erat kaitannya, yang satu diletakkan di atas yang lain. Pertama-tama kita berjumpa dengan tiga bagian dalam proses sejarah, yakni sejarah timur, yunani-romawi, dan germania yang mewakili seluruh sejarah barat semenjak runtuhnya kekaisaran Roma. Pembagian ini di dasarkan atas trias Hegel, yakni roh obyektif, roh subyektif,dan roh mutlak. Inilah struktur kedua. Dalam dunia timur, roh belum sadar menyusun dalam obyektivitas seperti misalnya hukum alam. Baru dalam dunia yunani-romawi timbullah subyektivitas. Roh menempatkan diri di luar dan berhadapan dengan apa yang secara obyektif ada. Akan tetapi, roh subyektif semula kurang memahami kenyataan obyektif. Baru, dengan munculnya roh mutlak- di dalam dunia germania- terjadi perukunan antara yang subyektif dan yang obyektif. Perkembangan dalam hubungan antarmanusia dalam bidang politik dan sosial, merupakan contoh bagaimana skema yang abstrak ini terwujud. Dalam dunia timur, manusia mengikat diri tanpa berpikir lebih mendalam, tanpa refleksi diri pada peraturan-peraturan yang berlaku di dalam masyarakatnya, sama seperti benda-benda dan hewan-hewan tunduk kepada hukum alam. Dalam tahap roh subyektif yunani-romawi manusia mulai berfikir mengenai hubungan antara individu dan masyarakat atau negara, namun belum berhasil menemukan keseinbangan antara kedua kutub itu. Baru di dunia Germania, tahap “universalitas yang konkret” terjadilah suatu bentuk masyarakat monarki konstitusional yang sama-sama memperhatikan baik individu maupun masyarakat. Masalah mengenai hubungan antara individu dan masyarakat- masalah paling pokok yang dihadapi manusia dalam perkembangan sejarahnya- dipecahkan secara memuaskan. Ketiga trilogi ini masih dilintasi oleh suatu pembagian menurut dua aspek lain. Pertama tahap “eksternalitas”- tahap refleksi manusia menerima tradisi dan norma- norma yang dijumpainya- kedua tahap internalitas-manusia telah pandai berefleksi mengenai masalah etika, politik, agama, dan sebagainya, lalu dengan sadar mengadakan pilihannya. Di tahap ini tidak serasi dengan ketiga trilogi tadi. Ketidakserasian itu, antara lain nampak karena sebagian dunia yunani-romawi tahap subyektif masih digolongkan pada tahap eksternalitas secara logis ini hanya meliputi dunia timur. Peralihan dari tahap eksternalitas menuju internalitas terutama dicanangkan oleh Sokrates dan untuk sebagian oleh kristus. BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan