Bahan filsafat
Tidak semua manusia mempunyai persyaratan yang sama terhadap apa yang dianggapnya benar. Paradigma kebenaran terasa sangat berbeda antara teori satu dengan teori lainnya karena sangat bergantung terhadap sasaran objek kebenaran itu sendiri. Dalam konteks fislafat ilrnu, untuk mencapai kebenaran itu, serendahnya terdapat tiga teori yang berguna untuk mengukur kebenaran. Tiga teori itu adalah: koherensi, korenspondensi dan pragmatisme nasional.
Antara satu teori dengan teori lain memiliki perbedaan paradigma yang cukup kental. Misalnya, teori koherensi lebih mendasarkan diri pada kebenaran rasio, teori korespondensi lebih mendasari diri pada kebenaran factual/ karena data dan fakta memiliki kebenaran objektif pada dirinya, sedangkan kebenaran fungsional lebih menitikberatkan pada fungsi dan kebenaran itu sendiri.
Koherensi, korespondensi dan pragmatisme fungsional masing-masing memiliki fungsi yangberbeda. Antara satu teori dengan teori lain memiliki perbedaan pradigma cukup kental. Misalnya, teori koherensi lebih mendasarkan diri pada kebenaran rasio, teori korespondensi lebih mendasarkan diri pada kebenaran faktual, karena data dan fakta memiliki kebenaran objektif pada dirinya sendiri, sedangkan kebenaran fungsional lebih menitikberatkan pada fungsi dan kegunaan kebenaran itu sendiri.
Sekalipun perbedaan di antara ketiga teori itu terasa kental, namun ketiganya memiliki kesmaaan. Kesamaan diantara tiga teori itu adalah: pertama, seluruh teori melibatkan logika, baik logika formal maupun logika material (deduktif dan induktif); kedua, melibatkan bahasa, yaitu adanya kerangkapengujian terhadap pernyataan-pernyataan yang hendak diuji kebenaranya, dan ketiga, adalah pengalaman yang menduduki tempat penting dalam mengetahui kebenaran. Untuk lebih jelasnya, ketiga teori kebenaran ini akan dijelaskan berikut ini:
Teori Koherensi
Teori koherensi adalah satu di antara dua teori tradisional tentang kebenaran. Dalam perspektif sejarah, kelahiran teori ini hampir berbarengan dengan lahirnya metafisika dan idealis.
Oleh karena itu, muncul juga suatu anggapan bahwa teori ini hanya berlaku di kalangan met nfis ikn – ras ionnl is dan ideal is. Namun demikian, sejarah juga mencatat bahwa positivistic yang mendasarkan kebenaran pada fakta-fakta empiris dan menggunakan matematika murni dan fisika teoritis pada akhirnya tidak dapat mengelak atas kepentingannya untuk mengakomodasi teori ini.
Teori Koherensi secara teoretis pertama kali dicetuskan Benedictus Spinoza dan George Hegel. Meskipun demikian, menurut Titus, Smith dan Nolan (1984), bibit-bibit teori ini sebenarnya sudah ada sejak pra Socrates. Spinoja kemudian mematangkan teorinya ini dan terus dikembangkan oleh penganut aliran ini seperti Francois Herbert Bradly, Brand Blanshard, Edgar Sheffield Brightman dan Rudolph Carnap.
Kelompok ini beranggapan bahwa kebenaran adalah sebuah sistem dan seperangkan proposisi yang saling berhubungan secara koheren. Sebuah pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu dapat dimasukkan (incorporated) dengan cara yang tertib dan
(2)
konsisten dengan dalam konsisten dan koheren. Oleh karena itu, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan konsistensi dan pertimbangan-pertimbangan lain yang telah diterima keberadaannya.
Logika matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya telah menjadi contoh penggunaan teori koherensi yang paling tepat. Logika matematika disusun atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar atau aksioma yang menghasilkan teorema. Di atas teorema ini, menurut Jujun S. Surisumantri, matexnatika secara keseluruhan menjadi satu system yang konsisten. Oleh karena itu, logika yang digunakan dalam teori koherensi adalah logika deduktif yang menguji kebenaran terhadap kemungkinan adairya relasi- relasi dengan anggota lain. Logika ini memastikan bahwa simpulan itu benar jika premis-premis yang digunakannya juga benar.
Contoh sederhana dari teori ini adalah “Semua manusia yang normal pasti akan menikah”. Pernyataan ini adalah pernyataan yang benar. Oleh karena itu, pernyataan yang menyebutkan bahwa Puspa adalah gadis yang normal, dan pasti ia akan menikah adalah benar pula. Sebab pernyataan kedua konsisten dengan pertanyaan pertama. Sifat koheren atau konsisten dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya yang dianggap benar, dengan demikian menjadi sangat khas dari teori kebenaran ini.
Teori Korespondensi
Jika teori koherensi dianut oleh kaum metafisika-rasionalis, maka teori korespondensi dianut oleh kaum realis. Kebenaran, menurut kelompok ini adalah kesetiaan terhadap realitas objektif (fidelity to objective reality), yakni: adanya kesesuaian antara pernyataan tentang fakta, atau pertimbangan (Judgement) dengan situasi yang dilukiskan oleh pertimbangan itu. Relasi Tuhan dan Manusia | Analisis Interpretatif Teologis
Artinya, suatu pernyataan baru dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu dikorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju pleh pernyataan tersebut. Jika seseorang dinyatakan bahwa BJ. Habibie adalah Presiden Republik Indonesia yang ketiga setelah Presiden Soeharto, maka pernyataan ini adalah benar sesuai dengan objek yang bersifat factual. Andaikan ada pernyataan yang menyebutkan bahwa B.J. Habibie adalah presiden pertama, maka pernyataan itu salah, sebab, pernyataan itu tidak sesuai dengan realitas dan fakta sebab Presiden pertama itu adalah Soekarno.
Teori ini sama seperti teori sebelumnya yang mulai berkembang sejak jaman Yunani Kuna. Jika pada teori koherensi mulai ada sejak Socrates, maka teori ini baru rmrncul ketika Aristoteles mencetuskan adanya keharusan bagi sebuah kebenaran dengan landasan dan pertimbangan fakta empiris. Pemikiran Aristoteles ini kemudian dikembangkan oleh tokoh semacam Ibnu Sina dan Thomas Aquinas di abad skolastik dengan merumuskan teorinya pada apa yang disebut dengan “teori kememadaian”.
Kelompok ini beranggapan bahwa suatu kebenaran itu baru diakui jika kebenaran itu dirumuskan dengan adanya kememadaian pikiran atas bendanya (edaequntio intelectus et rex). Kebenaran dengan demikian, tidak hanya melekat di dalam inteiek tetapi ia juga melekat di dalam benda-benda. Secara sederhana dapat disebutkan bahwa teori ini menganggap suatu pemyataan itu benar jika berkorespondensi dengan realitas. Apabila
(3)
sebuah gagasan selaras dengan pasangannya (counterpart) dalam dunia realitas, maka gagasan itu menjadi benar.
Teori korespondensi sebagai salah satu teori kebenaran jelas dipakai dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoritis yang mendasarkan diri pada logika deduksi jelas mempergunakan teori koherensi, sedangkan logika induksi menggunakan teori korespondensi. Fakta dianggap kelompok ini sebagai sesuatu.yang netral.
Fakta yang benar, juga tidak salah. Letak kemungkinan salah atau benar bukan pada fakta, tetapi pada gagasan, pemyataan dan keyakinan adalah tidak cukup untuk meyakinkan kebenaran, tetapi butuh dibuktikan dengan meneliti apakah terdapat hubungan (koresponden) antara dunia idea dengan dunia nyata (fakta) yang mereka cerminkan. Kebenaran adalah sejumlah keyakinan rasional yang menggambarkan atau mengidentikkan dengan unsur- unsur dan struktur alam semesta.
Teori ini menurut Titus dan Nolan (1984: 239) mengasumsikan bahwa: “pengetahuan kita bukan saja atas pertimbangan diri sendiri, tetapi ia harus didukung oleh keadaan nyata di samping pengalaman”. Bahkan secara ektrem, kelompok ini menganggap bahwa tanpa campur tangan akal (rasio), dunia telah dapat dipersepsi secara benar sebab dunia adalah sesuatu yang universal.
Teori Pragmatisme
Teori pragmatisme dapat disebut sebagai teori kebenaran yang paling baru. Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari para filosof berkebangsaan Amerika komunitas filsafat dunia. Teori ini muncul dengan background telah berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan pada abad ke- 19 terutama setelah teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin menempati posisi yang signifikan dalam percaturan pengetahuan. Tokoh-tokoh yang cukup aktif dalam pengembangan teori ini adalah: Charles Sanders Peirce, William James dan John Dewey. (Van Melson, 1954: 130).
Menurut kelompok. ini, suatu pernyataan dianggap benar jika melalui pengukuran diketahui ada atau tidak adanya fungsi kebenaran itu terhadap kehidupan praktis. Mampu atau tidaknya memberi dorongan terhadap aksi, karena hanya dengan cara itu ia berkorespondensi dengan realitas. Artinya, suatu pernyataan menjadi benar atau konsekwensi dari pernyataan itu benar apabila mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Gagasan yang benar, menurut kelompok ini adalah gagasan yang dapat diasimilasi, validitasnya dan dapat diuji, berkolaborasi dan mampu dilakukan verifikasi. Kebenaran terjadi pada suatu gagasan. Gagasan menjadi benar dan dibuat benar oleh suatu peristiwa. Oleh karena itu pula, kebenaran menurut kelompok ini adalah particular, sebab terdapat banyak kebenaran individual.
Pencarian pengetahuan tentang alam dianggap fungsional dan berguna untuk xnenafsirkan gejala alam. Secara histories, kebenaran dari suatu pernyataan ilmiah tidak selalu tetap, yang sekarang benar, bisa didapati salah di kemudian hari. Berhadapan dengan masalah ini, menurut Jujun S. Suriasumantri, seorang ilmuwan pasti bersikap pragmatis. [Prof. Dr. H. Cecep Sumarna]
(4)
TEORI-TEORI KEBENARAN FILSAFAT BAB I RINGKASAN MATERI
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran. B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
(5)
1. Teori Corespondence menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
2. Teori Consistency Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
3. Teori Pragmatisme Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
4. Kebenaran Religius Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
BAB II PEMBAHASAN
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
(6)
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
A. Pengertian Kebenaran dan Tingkatannya
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tnapa kebanran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
5. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama yang dialami manusia
6. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara, diolah pula dengan rasio
7. Tingkat filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
8. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu. Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan kepribadiannya.
Ukuran Kebenarannya :
(7)
– Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain – Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran
Jenis-jenis Kebenaran :
1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
2. Kebenaran ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan) 3. Kebenaran semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran. Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat 1. Teori Corespondence
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
(8)
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
1. Statemaent (pernyataan) 2. Persesuaian (agreemant) 3. Situasi (situation) 4. Kenyataan (realitas) 5. Putusan (judgements)
Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato, aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.
Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menuru corespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
(9)
Teori ini merupakan suatu usah apengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenarna bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan.
Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yagn benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
(10)
3. Teori Pragmatisme
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah.
Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia.
Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah :
1. Sesuai dengan keinginan dan tujuan
2. Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
3. Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada)
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859).
Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau
(11)
cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar.
Kebenaran tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :
Agama sebagai teori kebenaran
Ketiga teori kebenaran sebelumnya menggunakan alat, budi,fakta, realitas dan kegunaan sebagai landasannya. Dalam teori kebanran agama digunakan wahyu yang bersumber dari Tuhan. Sebagai makluk pencari kebeanran, manusia dan mencari dan menemukan kebenaran melalui agama. Dengan demikian, sesuatu dianggap benar bila sesuai dan koheren dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.agama dengan kitab suci dan haditsnya dapat memberikan jawaban atas segala persoalan manusia, termasuk kebenaran.
BAB III KESIMPULAN
Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
(12)
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r asio, intelektual). Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
BAB IV DAFTAR BACAAN
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
(13)
KEBENARAN OBYEKTIFITAS DALAM ILMU PENGETAHUAN
by admin _brow 9/12/2015 | 5:26 0 Posted in Filsafat, Metodologi Penelitian, Pendidikan, Sains
kebenaran obyektifitas
www.rangkumanmakalah.com
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. kebenaran obyektifitas sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?[4]
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.[5]
A. Pengertian Kebenaran objektifitas dalam ilmu pengetahuan
Dalam ilmu pengetahuan kebenaran adalah sesuatu yang terus dicari. Pada zaman dahulu manusia mengabaikan mitos-mitos, dongeng-dongeng karena menginginkan kebenaran sejati. Ini menyebabkan ilmu pengetahuan kadang berkonflik dengan agama dan keuasaan, kadang bahkan dengan ilmu yang ada sebelumnya. Ini menyebabkan pertengkaran tidak hanya dalam pihak teori dan pemikiran, namun juga pribadi dan lain sebagainya.
Karena mencari kebenaran yang sejati ini. Ilmu pengetahuan tidak pernah berhenti mencari kebenaran. Penelitiannya tidak pernah usai untuk menemukan kebenaran yang sebenar-benarnya yang tidak diragukan lagi. Mungkin awal dari pemikiran ini ada pada Rene Descartes. Descartes mencoba mencari kebenaran yang tidak diragukan lagi, dengan cara
(14)
meragukan segala sesuatu yang pernah diketahuinya. Dengan menghancurkan basis sebelumnya mengetahui kebenaran.[6]
Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Dalam konteks keilmuan kebenaran obyektifitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan prosedur metode ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang kebenaran obyektifitas di masa lalu juga objektif di masa sekarang dan yang akan datang. Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi.[7]
B. Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat 1. Teori Corespondency.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) ® menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu yaitu [8]:
1. Pernyataan (statement)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas) 5. Putusan (judgements)
kebenaran obyektifitas adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya Plato, Aristotels dan Moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad Skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen. Cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan
(15)
teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya.[9]
Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standard atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
2. Teori Consistency
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap relible jika kesan-kesanyang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori consistency untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesannya dan comprehensionnya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin sekali berbeda dengan apa yang ada di dalam pemahaman subyek lain.[10]
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dankelanjutan yang teliti dan teori korespondensi. Teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Sedah teori konsistensi merupakan usaha pengujian (test) atas arti kebenaran tadi.
Teori koherensi (the coherence theory of trut) menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada perntentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya. Rumusan kebenaran obyektifitas adalah turth is a sistematis coherence dan trut is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis.[11]
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel. Suatu teori dianggapbenar apabila telah dibuktikan (klasifikasi) benar dan tahan uji. Kalau teori ini bertentangan dengan data terbaru yang benar atau dengan teori lama yang benar, maka teori itu akan gugur atau batal dengan sendirinya.
(16)
Paragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal apra pendidik sebagai metode project atau medoe problem olving dai dalam pengajaran. Mereka akan benar-benar hanya jika mereka berguna mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengmbalikan pribadi manusia di dalamkeseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan. Dalam dunia pendidikan, suatu teori akan benar jika ia membuat segala sesutu menjadi lebih jelas dan mampu mengembalikan kontinuitas pengajaran, jika tidak, teori ini salah. Jika teori itu praktis, mampu memecahkan problem secara tepat barulah teori itu benar. Yang dapat secara efektif memecahkan masalah itulah teori yang benar (kebenaran).[12]
Teori pragmatisme (the pragmatic theory of truth) menganggap suatu pernyataan, teori atau dalil itu memliki kebanran bila memiliki kegunaan dan manfaat bagi kehidupan manusia. Kaum pragmatis menggunakan kriteria kebenarannya dengan kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility) dan akibat yagn memuaskan (satisfaktor consequence). Oleh karena itu tidak ada kebenaran yang mutak/ tetap, kebenarannya tergantung pada manfaat dan akibatnya. Akibat hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah : (1). Sesuai dengan keinginan dan tujuan, ( 2). Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen, (3). Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis (ada).
Teori ini merupakan sumbangan paling nyata dari pada filsup Amerika tokohnya adalha Charles S. Pierce (1914-1939) dan diikuti oleh Wiliam James dan John Dewey (1852-1859). Wiliam James misalnya menekankan bahwa suatu ide itu benar terletak pada konsikuensi, pada hasil tindakan yang dilakukan. Bagi Dewey konsikasi tidaklah terletak di dalam ide itu sendiri, malainkan dalam hubungan ide dengan konsekuensinya setelah dilakukan. Teory Dewey bukanlah mengerti obyek secara langsung (teori korepondensi) atau cara tak langsung melalui kesan-kesan dari pada realita (teori konsistensi). Melainkan mengerti segala sesuai melalui praktek di dalam program solving.[13]
4. Kebenaran Religius
Kebenaran adalah kesan subjek tentang suatu realita, dan perbandingan antara kesan dengan realita objek. Jika keduanya ada persesuaian, persamaan maka itu benar. kebenaran obyektifitas tak cukup hanya diukur dnenga rasion dan kemauan individu. Kebenaran bersifat objective, universal,berlaku bagi seluruh umat manusia, karena kebenaran ini secara antalogis dan oxiologis bersumber dari Tuhan yang disampaikan melalui wahyu.
Nilai kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan itu adalah objektif namun bersifat superrasional dan superindividual. Bahkan bagi kaum religius kebenarn aillahi ini adalah kebenarna tertinggi, dimnaa semua kebanaran (kebenaran inderan, kebenaran ilmiah, kebenaran filosofis) taraf dan nilainya berada di bawah kebanaran ini :
1.
C. Konsep kebenaran Objektivitas Dalam Ilmu Pengetahuan
Secara bahasa objektivitas dapat dipahami sebagai sebuah sikap yang menggambarkan adanya kejujuran, bebas dari pengaruh pendapat dan pertimbangan pribadi atau golongan dan lain-lain khususnya dalam upaya untuk mengambil sebuah keputusan atau tindakan. Dalam konteks keilmuan objektivitas hanya dapat diakui jika dan hanya jika melalui prosedur yang absah berdasarkan konsep metode ilmiah. Jika sesuai dengan syarat dan prosedur metode
(17)
ilmiah maka penemuan tersebut bisa disebut objektif dan jika tidak maka disebut sebagai sesuatu yang tidak objektif dan karenanya dianggap nisbi. Selanjutnya dengan metode ilmiah itu sebuah ilmu benar-benar bisa diakui objektif atau bebas nilai. Meskipun dalam tataran historis sesuatu yang kemudian terbantahkan adalah objektivitas mengapa selalu berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, khususnya perkembangan sains dan teknologi. Bukankah semestinya, sesuatu yang objektif di masa lalu juga objektif di masa sekarang dan yang akan datang.[14]
Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pertanyaan, benarkah yang dianggap nisbi itu betul-betul nihil atau justru eksis dan sebaliknya? Sebelum membahas hal ini ada baiknya kita kaji lebih dulu apa itu ada atau apa itu ontologi.Karena objektif itu seringkali dipahami identik dengan ada, maka bahasan ontologi menjadi perlu untuk dijadikan bahasan awal dalam pemaparan mengenai objektifitas itu sendiri. Masalah ontologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang membahas pandangan terhadap hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah. Termasuk dalam pandangan terhadap hakikat ilmu ini adalah pandangan terhadap sifat ilmu itu sendiri. Dalam kajian ilmu-ilmu sosial misalkan, khususnya dalam kajian perbandingan antara pandangan ilmiah dan ajaran Islam dapat dilihat dalam beberapa bahasan. Pertama mengenai pandangan terhadap ilmu sosial itu sendiri, kedua tentang sifat pengetahuan ilmiah, dan ketiga, masalah kebenaran obyektifitas dan nilai dalam ilmu-ilmu sosial.
Selain itu, secara historis kajian ontologi merupakan bahasan filsafat yang paling tua. Hal ini dikarenakan rasa ingin tahu manusia terhadap hakikat segala sesuatu yang ada termasuk eksistensinya sebagai manusia. Secara faktual, keberadaan manusia bukanlah sesuatu yang lahir dari kesadaran dirinya, namun disebabkan oleh suatu kehendak di luar dirinya yang mengharuskan manusia itu sendiri secara pribadi menerima dirinya apa adanya. Manusia sama sekali tidak mengerti mengapa dia berjenis kelamin pria atau wanita dan lahir dari wanita bangsawan ataupun wanita biasa. Maka dengan kondisi demikian, kajian ontologi dengan sendirinya akan memberikan dampak positif dalam pemaknaan diri dan kehidupan manusia itu sendiri.[15]
Pengamatan yang mendalam terhadap kehidupan ini secara otomatis akan mengantarkan manusia pada satu kesadaran dimana dia akan mencari sang pencipta yang tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Secara alamiah konsep kebetulan tidaklah dapat diterima logika sehat. Sebab secara faktual, pengalaman kehidupan, tidak ada yang ada secara sendiri, demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan, karena yang disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh adanya proses yang ada di luar dirinya yang tidak ia ketahui, sehingga ia mengatakan ada itu, ada secara kebetulan, kesimpulan semacam ini tentu keliru, karena telah menegasikan hakikat fakta yang merealita.[16]
Berbeda dengan Barat, bagi mereka yang ada adalah fakta dan kebenaran. Mengenai hal-hal lain yang diluar fakta itu sendiri dan tidak dapat diverifikasi secara ilmiah maka hal tersebut tidaklah menjadi satu bahasan yang esensial meskipun memiliki peran yang sangat menentukan. Mulyadhi Kartanegara, seorang doktor study Islam dari Chicago AS menjelaskan bahwa apa yang ada atau ontologi yang diakui oleh peradaban Barat hanya sebatas pada realitas yang bersifat observeable. Dengan kata lain segala hal yang tidak observeable dianggap nisbi dan karenanya manusia yang masih meyakini hal-hal yang berada jauh diluar jangkauan indera disebut sebagai ilusi semata. Oleh karena itu, positivisme yang selanjutnya dipopulerkan oleh Auguste Comte menjadi alternatif utama Barat dalam menentukan kriteria ilmiah dan benar dalam konteks kehidupan sosial kemasyarakatan.
(18)
Afirmasi terhadap ontologi yang bersifat observeable ini bukan tanpa alasan. Jika ditinjau dari sisi historis, hal ini bisa dianggap sebagai kewajaran dan memang sudah selayaknya Barat dalam kondisi tersebut. Dengan kata lain sekularisasi yang kini mewabah dan menjangkiti sebagian sarjana muslim, relevan bagi Barat namun tidak bagi Islam. Sejarah Barat yang sangat traumatik terhadap hegemoni gereja pada abad pertengahan menjadi satu alasan kuat akan keniscayaan sekularisasi dan pada akhirnya liberalisasi. Dalam fislafat ilmu, Auguste Comte (1789 – 1857) memandang tahap berpikir teologis sebagai tahap paling primitif dalam perkembangan pemikiran masyarakat. Menurutnya, cara berpikir teologis berusaha mencari jawaban absolut dari masalah-masalah yang dihadapi, speerti sebab pertama dan terakhir segala sesuatu. Oleh karena itu Comte pun dalam penjelasan berikutnya menjelaskan bahwa perkembangan terbaik ketika manusia berpikir positivistis dengan menolak yang absolut dan menerima yang relatif. [17]
Sekularisasi tersebut selanjutnya menjadi wajar dalam dunia kristen. Bernard Lewis menjelaskan bahwa sejak awal mula, kaum kristen diajarkan – baik dalam persepsi maupun praktis – untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antaa keduanya. Sekularisasi ternyata masih dianggap kurang dan pada akhirnya sampailah Barat pada diskursus yang sangat mengkhawatirkan yakni Liberalisme. Pakar sejarah Barat biasanya menunjuk moto Revolusi Prancis 1789 – kebebasan, kesetaraan, persaudaraan (liberte, egalite, fraternite) sebagai piagam agung (magna charta) liberalisme modern. Lebih jelas H. Gruber menjabarkan bahwa prinsip liberalisme yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk kepada otoritas – aapapun namanya –a adalah bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia – yakni otoritas yang akarnya, aturannya, ukurannya, dan ketetapannya ada di luar dirinya. [18] Sekularisme dan Liberalisme ini sejatinya bentuk lain dari pengakuan bahwa kebenaran obyektifitas yang benar (objektif) itu adalah apa yang terkandung dalam kedua konsep tersebut. Dan oleh karena itu, agama pun dinilai nisbi bahkan candu dan membahayakan kehidupan manusia. Pada akhirnya lahirlah satu konsep bahwa objektifitas atau objektif dalam keilmuan berarti upaya-upaya untuk menangkap sifat alamiah (mengindentifikasi) sebuah objek yang sedang diteliti/ dipelajari dengan suatu cara dimana hasilnya tidak tergantung pada fasilitas apapun dari subjek yang menyelidikinya.[19] Keobjektifan, pada dasarnya, tidak berpihak, dimana sesuatu secara ideal dapat diterima oleh semua pihak, karena pernyataan yang diberikan terhadapnya bukan merupakan hasil dari asumsi(kira-kira), prasangka, ataupun nilai-nilai yang dianut oleh subjek tertentu.
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan intelektual muslim kontemporer yang menggagas Islamisasi ilmu, Syed Muhammad Naquib Al Attas menegaskan bahwa objektifitas sains merupakan satu-satunya ilmu yang otentik; bahwa ilmu hanya persangkut-paut dengan fenomena; bahwa sains ini, termasuk pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-kesimpulan umum sain dan filsafat yang diturunkan darinya. Pengakuan kebenaran yang terbatas pada jangkauan indera menjadikan objektif yang ditempuh dengan metode ilmiah dapat dikatakan absah jika memenuhi syarat prosedural yang meliputi pengamatan percobaan, pengukuran, survei, deduksi, induksi, dan analisis. Selain itu juga kebenaran objektif (bebas nilai) harus memenuhi standar empiris, sistematis, objektif, analitis, dan verifikatif.
Namun berbeda dengan konsep ada, realitas dan kebenaran atau tataran ontologi dalam cara pandang (worldview) Islam. Dalam Islam konsep realitas dan kebenaran tidak sebatas pada dimensi duniawi yang bersifat kedisini-kinian. Tetapi juga meliputi alam akhirat yang bersifat
(19)
hakiki. Hakiki disini berasal dari kata haqq yang maknanya mencakup dua pengertian sekaligus yakni tentang realitas dan kebenaran itu sendiri. Berbeda dengan cara pandang Barat yang partikular sehingga memisahkan pengertian kata, realitas, kebenaran dan fakta sebagai pendukungnya. Lawan dari haqq adalah bathil, yang artinya bukan-realitas atau kepalsuan. Haqq berarti suatu kesesuaian dengan syarat-syarat kebijaksanaan, keadilan, kebenaran, ketepatan, realitas dan kepantasan (moral). Ia merupakan suatu keadaan, kualitas, atau sifat yang ditemukan dalam kebijakan, keadlan, ketepatan, kebenaran, realitas, dan kepantasan. Ia merupakan suatu keadaan keniscayaan, sesuatu yang tak terhindarkan, wajib, hak yang mesti diberikan. Ia merupakan keadaan eksistensi dan mencakup segalanya. [20] Selain kata haqq, umum kita mengenal kata sidhq, yang berarti kebenaran atau kejujuran, yang lawannya adalah kidzb, yang berarti ketidakjujuran atau kepalsuan. Namun, sidhq hanya menunjuk kepada kebenaran yang berkaitan dengan pernyataan atau kata-kata yang diucapkan; sementara kata haqq tidak hanya mengacu kepada pernyataan tetapi juga tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta hal-hal dan kejadian-kejadian dalam eksistensi. Hal-hal dan kejadian-kejadian yang ditunjuk oleh haqq bukan hanya berkaitan dengan kondisinya sekarang, tetapi juga kondisi yang lalu dan yang akan datang. Dalam hubungannya dengan kondisi yang adkan datang, haqq artinya verifikasi, realisasi, dan aktualisasi. Sebenarnya, haqq di sini dipahami sebagai mencakup realitas maupun kebenaran yang berkaitan dengan keadaan eksistensi, karena ia merupakan satu dari nama-nama Tuhan yang menggambarkan-Nya sebagai eksistensi mutlak yang merupakan realitas, dan bukan konsep, eksistensi. [21] Dalam salah satu pandangan yang mencoba memahami secara partikular tentang eksistensi, eksistensi dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya murni konseptual, sedangkan esensi adalah yang real; esensi adalah realitas yang terwujud di luar pikiran. Padahal selain konsep eksistensi, ada kenyataan lain, yaitu realitas eksistensi; dan melekatnya eksistensi sebagai suatu konsep murni dalam pikiran merupakan salah satu akibat dari realitas eksistensi ini.Sebab eksistensi sebagai realitas, berbeda dengan sebagai konsep, dan eksistensi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Ia terus-menerus terlibat dalam suatu gerakan ekspresi-diri ontologis yang dinamis, ang mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan terpendamnya yang tak terhingga, secara bertahap, dari yang kurang pasti hingga yang lebih pasti, sampai ia muncul pada tingkat entuk yang konkret, sedemikian ingga eksistensi-eksistensi partikular yang kita anggap sebagai “sesuatu”, yang banyak dan beragam, yang memiliki “esensi” individual yang terpisah-pisah, tidak lain merupakan modus dan aspek-aspek dari realitas eksistensi itu. Dari perspektif ini, esensi sesuatu tidak lebih dari kenyataan yang ada dalam konsep saja, sedangkan eksistensisesuatu adalah real. Sesungguhnya, esensi sejati sesuatu adalah eksistensi sebagaimana yang diindividuasi ke dalam suatu bentuk peartikular. Realitas eksistensi inilah yang kita nyatakan sebagai Realitas dan Kebenaran (al-haqq) yang melingkupi semuanya; dengan ini pula Tuhan, yang bersifat mutlak dalam segala bentuk perwujudan, disebut. [22]
situs: www.rangkumanmakalah.com
DAFTAR PUSTAKA
Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. (1994). Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Kanisius.
(20)
Iman, M. Shohibul. Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, dalam Seminar Islamisasi IPTEK. Bogor: 13 Juli 1996.
Kuhn, Thomas S.(1993). Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Suriasumantri, Jujun S. (1998). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Syam, Muhammad Noo, 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Woodhose, Mark B. (1983). A Preface to Philosopy. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company
[1] Anton Bakker, dan Achmad Chairis Zubair. Pustaka Filsafat : Metodologi Penelitian Filsafat. (Jakarta: Kanisius. 1994)., 23
[2] K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafat. (Jakarta: Yayasan Krisius, 1976), 57
[3] M. Shohibul Iman, Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, dalam Seminar Islamisasi IPTEK. Bogor: 13 Juli 1996.
[4] Ibid, Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains. (Bandung: Remaja
Rosdakarya. 1993). 76
[5] Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1994), 90
[6] Ibid, Kuhn, Thomas S. Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, 76
[7] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 95
[8] Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Cetakan ke-11. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998). 19
[9] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer
[10] Ibid, K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafa, 65
[11] Ibid, Sumantri Surya.. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 74
[12] Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
(21)
[13] Woodhose, Mark B. (1983). A Preface to Philosopy. 3rd ed. Wadsworth Publishing Company
[14] Ibid, M. Shohibul Iman, Mencari Jalan Menuju Islamisasi IPTEK, 96.
[15] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, 100
[16] Ibid, Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. 189 [17] Ibid, K Bertens,.. Ringkasan Sejarah Filsafa, 65
[18] Ibid, Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, 36
[19] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, 112
[20] ibid, Bakker, Anton dan Achmad Chairis Zubair. 76
[21] Ibid, Muhammad Noo Syam, Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila, 112
(22)
Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Ahmad seorang manusia dan si Ahmad pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,
Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan tertentu.
Teori kebenaran ini termasuk teori kebenaran tradisional. Kelemahan dari teori koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.
2. Teori Korespondensi
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
5
Misalnya jika seseorang mengatakan “kota Kediri
terletak di Jawa Timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual, yakni kota Kediri memang benar-benar berada di Jawa Timur. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota Kediri berada di 5
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 57 7
Jawa Barat” maka pernnyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “kota Kediri bukan berada di Jawa Barat melainkan di Jawa Timur”.
Menurut teori korespondensi yang dipelopori Bertrand Russel (1872-1970) ini, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap
kebenaran atau kekeliruan, oleh karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Teori korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang
paling awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.
6
(23)
mensyarakatkan kebenaran harus sesuai dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana dengan penginderan yang kurang cermat atau bahkan indra tidak normal lagi? Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji kebenarannya.
3. Teori Pragmatis
Teori ini dikembangkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), kemudian
dikembangkan oleh ahli filsafat yang berkebangsaan Amerika seperti William James (1842-1910), Jhon Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931), dan C.I. Lewis.
Teori pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran
filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu penyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
7 6
H.M. Abbas, “Kebenaran Ilmiah” dalam: Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan,
(Yogyakarta: Intan Pariwara, 1997), hlm. 87. 7
Suriasumantri, Filsafat Ilmu, hlm. 59 8
(24)
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Menusia diartikan sebagai hewan yang berakal, oleh karena itu menusia berupaya dengan sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan akalnya. Dalam hal ini pengetahuan adalah sebuah keniscayaan. Manusia secara lahiriah telah memiliki aspek fitrah untuk mengetahui segala hal yang ada, “ada” yang dimaksud disini adalah baik yang material atau yang bersifat transedental.[1]
Pengetahuan merupakan objek utama dalam filsafat ilmu. Pengetahuan
Lihat Juga Artikel di Bawah Ini Ada Hadiah Total Hingga Rp.25.000.000 : 1. Green Pramuka City
2. Toko Olahraga Online Murah, Lengkap, Aman dan Terpercaya 3. Tips Memilih Jasa Logistics Terpercaya Di Indonesia
4. Jual Peralatan Makan Terlengkap dan Termurah di MelamineMall.com
5. Mama Harus Tahu, Begini Cara Mengatasi Anak Susah Makan dengan Laperma Platinum, Yuk Dicoba
pada dasarnya memilliki tiga kriteria:
1. Adanya suatu sistem gagasan dalam pikiran.
2. Persesuaian antara gagasan dan benda-benda yang sebenar-benarnya. 3. Adanya keyakinan tentang persesuaian itu.[2]
Dari kriteria ini dapat ditegaskan bahwa pengetahuan dibangun dari gagasan dalam pikiran, persesuaian-persesuaian dengan yang sebenarnya, dan adanya keyakinan tentang persesuaian itu. Kriteria ini yang menjadikan pengetahuan dapat dikatakan benar. Pengetahuan erat sekali dengan kebenaran. Lalu apa yang disebut dengan benar atau kebenaran itu? Kebenaran disini diartikan sebagai kesesuaian pengetahuan dengan objeknya.
(25)
Kebenaran tidak begitu saja langsung diterima tetapi kebenaran harus melalui beberapa konsep, proses, atau cara mendapatkan kebenaran itu. Jika terpenuhinya proses-proses atau dilalui dengan berbagai cara maka ini disebut dengan kebenaran ilmiah.
Penulis berpandangan bahwa untuk mengetahui lebih dalam tentang arti kebenaran ilmiah maka makalah ini ditulis dengan judul “kebenaran ilmiah: antara Subjektifitas dan Objektifitas”
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan beberapa rumusana masalah sebagai beikut : a. Apa arti kebenaran?
b. Apa arti kebenaran ilmiah? c. Apa arti dari metode ilmiah?
d. Bagaimana kebenaran ilmiah yang ditinjau dari aspek subjektif dan objektif? C. Tujuan Masalah
Dari rumusan masalah di atas tujuan dari penulisan makalah ini adalah : a. Untuk mengetahui arti kebenaran.
b. Untuk mengetahui arti kebenaran ilmiah. c. Untuk mengetahui arti metode ilmiah.
d. Untuk mengetahui kebenaran ilmiah yang ditinjau dari aspek subjektif dan objektif.
BAB II PEMBAHASAN A. Arti Kebenaran Ilmiah
Apa itu kebenaran Ilmiah? Untuk sampai kepada pengertian kebenaran Ilmiah dijelaskan masing-masing pengertian dari keduanya. Kebanaran ada yang berbendapat bahwa berasal dari “benar”. Benar timbul dari pernyataan yang sesungguhnya. Pernyataan merupakan penyusunan tanda-tanda secara tertib yang oleh aturan sintaksis disebut kalimat berita. Pernyataan merupakan makna yang terkandung dalam kalimat berita. Namun istilah pernyataan merujuk kepada yang murni dari sintaksis. Karena pernyataan berarti kalimat berita sedangkan makna yang dimaksudkan oleh pernyataan adalah “proposisi”.
Sudah jelas bahwa tidak ada perangkat tanda yang dapat dikatakan benar selanjutnya secara lues kita tidak dapat mengatakan bahwa sesuatu pernyaataan benar, kadang-kadang
(26)
pernyaataan diartikan sama dengan proposisinya, sedangkan yang dimaksudkan benar di dalam pembahasan ini adalah perkataan benar hanya dapat diterapkan dalam propoosisinya. [3]
Kebenaran bertalian erat dengan pengetahuan. Kebenaran adalah kesesuaian pengetahuan dengan objeknya. Ketidaksuaian pengetahuan dengan objeknya disebut dengan kekeliruan. Suatu objek yang ingin diketahui memiliki begitu banyak aspek yang senantiasa sangat sulit untuk diungkapkan serentak. Kenyataannya manusia hanya mampu mengetahui beberapa aspek dari suatu objek sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian, jelas bahwa amat sulit untuk untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari suatu objek tertentu apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan objek pengetahuan.[4]
Pengetahuan terbagi menjadi tiga
1. Pengetahuan biasa disebut juga dengan pengetahuan pra-imiah yaitu pengetahuan dari hasil pencerapan indra terhadap objek tertentu.
2. Pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang diperoleh lewat metode-metode yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai.
3. Pengetahuan falsafi yaitu kebenaran yang diperoleh lewat pemikiran rasional yang didasarkan pemahaman, penafsiran, spekulasi, penilaian kritis, dan pemikiran-pemikiran logis, analitis dan sistematis. Pengetahuan falsafi berkaitan dengan hakikat, prinsip, objek, dan asas dari realitas yang dipersoalkan selaku objek yang hendak diketahui.
Dari penjelaskan di atas dapat diinterpertasi bahwa kebenaran yang sesungguhnya dapat didapatkan jika manusia mengetahu segala aspek yang terkandung didalam objek tertentu jika aspek-aspek yang ada belum menyeluruh dapat diketahui maka disebut dengan kekeliruan.
Kebenaran menunjukkan arti bahwa makna sebuah pernyataan (proposisinya) sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya maka dikatakan proposisinya adalah “sesat”. Kadang-kadang orang menyebut dengan istilah yang lain misalnya bila sebuah proposisi mengandung kontradiksi, maka dikatakan proposisi itu adalah “mustahil” dan jika proposisi sedemikian rupa sehingga apapun yang terjadi proposisi itu berbentuk “p atau bukan p” maka kita namakan “tau-teologi.
(27)
Dengan demikian sangat jelas kebenaran adalah kenyataan makna yang merupakan halnya, kenyataan juga merupakan hal keduanya dipandang sama. Lebih tegas lagi dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kebenaran yang sesungguhnya atau tegas terletak pada korespondensi atau kesesuaian dari kesan-kesan yang jelas dengan kenyataan.[5]
Hemat penulis kesesuaian atau korespondensi merupakan hal yang terkait atau yang ada di dalam kebenaran. Jika tidak ada korespondensi antara kenyataan dengan hal yang dikaji maka akan jelas menampakkan kesalahannya.
Kebenaran terbagi menjadi empat
1. Kebenaran Religius yaitu kebenaran yang memenuhi kriteria-kriteria atau dibangun berdasarkan kaidah-kaidah agama. Atau dapat juga disebut dengan kebenaran mutlak (absolut) kebenaran yang tidak terbantahkan.
2. Kebenaran Filosofis yaitu kebenaran hasil perenungan dan pemikiran kontemplatif terhadap akibat sesuatu. Meskipun tidak bersifak subjektif dan relatif
3. Kebenaran Estesis yaitu kebenaran yang yang berdasarkan penilaian indah dan buruk serta cita rasa estetis.
4. Kebenaran Ilmiah yaitu kebenaran yang ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah terutama menyangkut adanya teori yang mendukung dan sesuai bukti. Kebenaran ilmiah ditunjang oleh akal (rasio) dan kebenaran rasio ditunjang dengan teori yang mendukung.
Dari pembagian ini nampak jelas bahwa kebenaran yang sesungguhnya adalah kebenaran yang didasarkan atas agama-agama yang berdasarkan wahyu. Wahyu yang menjadi landasan bagi kebenaran. Kebenaran ini disebut dengan kebenaran absolut yang tidak dapat terbantahkan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan ilmiah? Dalam kamus dijelaskan ilmiah berasal dari kata ‘Ilmuartinya pengetahuan.[6] Namun, dalam kajian filsafat antara ilmu dan pengetahuan dibedakan. Pengetahuan bukan ilmu, tetapi ilmu merupakan akumulasi pengetahuan. Sedangkan yang dimaksud ilmiah adalah pengetahuan yag didasarkan atas terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama menyangkut teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti.[7]
Dari pengertian tersebut dapat diinterpertasi bahwa ilmu atau ilmiah merupakan pengetahuan yang didapatkan melalui syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat ini kemudian
(28)
disebut dengan metode ilmiah. Metode merupakan prosedur atau cara mengetahui sesuatu dan mempunyai langkah-langah yang sistematis. [8]
Jadi yang dimaksud dengan kebenaran ilmiah adalah keseuaian antara pengetahuan dengan objek kesesuaian ini didukung dengan syarat-syarat tertentu yang oleh Jujun S. Sumantri disebut dengan metode-metode juga didukung dengan teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti.Kebenaran ilmiah divalidasi dengan bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif dilapangan. Sifat objektif berlaku umum dapat diulang melalui eksperimen, cenderung amoral sesuai apaadanya bukan apa yang seharusnya yang merupakan ciri ilmu pengetahuan.
Lalu apakah ukuran tentang kebenaran sehingga kebenaran itu dapat diterima? Kebenaran sangat bergantung kepada kepada metode-metode yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan. Jika yang diketahui adalah ide-ide maka pengetahuannya terdiri dari ide yang dihubungkan secara tepat dan kebenaran merupakan saling berhubungan antara ide-ide atau proposisi-proposisi.
Ada aliran-aliran yang menyatakan tentang kebenaran diantaanya: 1. Paham Korespondensi
Menurut paham koherensi kebenaran adalah pesesuaian antara fakta dan situasi yang ada. Kebenaran merupakan pesesuaian antara pernyataan dalam pikiran dengan situasi lingkungannya.
2. Paham Koherensi
Menurut paham koherensi kebenaran bukan persusaian antara pikiran dengan kenyataan, melainkan kesesuaian secara harmonis antara pendapat/pikiran kita dengan pengetahuan kita yang telah dimiliki.
3. Teori Pragmatisme
Menurut paham pragmatisme kebenaran tidak dapat bersesuaian dengan kenyataan sebab kita hanya bisa mengetahui dari pengalaman kita saja. Menurut pragmatisme teori koherensi adalah formal dan rasional. Kebenaran menurut pragmatisme adalah suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan itu bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Artinya kebenaran dikatan benar jika dapat bermanfaat dalam kehidupan manusia. Satu teori,
(29)
pendapat, hipotesis dapat dikatakan benar jika dapat menghasilkan jalan keluar dalam praktik atau membuahkan hasil-hasil yang memuaskan.
Para pendukung pragmatisme menekankan kepada tiga hal: Pertama, sesuatu dikatakan benar jika memuaskan atau memenuhi keinginan dan tujuan manusia. Kedua, sesuatu dikatakan benar jika kebenarannya dapat dikaji dengan eksperimen. Ketiga, sesuatu itu benar jika dapat membatu dalam perjuangan hidup bagi eksistensi manusia.[9]
Penjelasan di atas telah menguatkan bahwa kebenaran menurut masing-masing aliran memiliki objek kajian dan tujuan yang ingin dicapai dari pengetahuan, tidak sampai disitu kebenaran menghendaki adanya usah memperoleh pengetahuan dengan mengadakan penyesuaian, eksperimen, dan asas fungsional dan kebutuhan manusia. Kalau dilihat dari sisi subjek yang mencari kebenaran maka tiga hal ini yang mendasari kebenaran, pertanyaannya adalah apakah kebenaran yang dipandang dari sudut subjektif dapat diterima? Atau apakah kebenaran yang tumbuh dari objek yang dapat diterima? Baiklah untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut dijelaskan pengertian masing-masing dan landasan-landasannya.
B. Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Subjektifitas
Telah diketahui kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah terutama menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif dilapangan.
Sifat setiap ilmu adalah diidentikkan dengan dua teori yaitu “subjektifitas” dan “objektifitas”. Subjek berkaitan dengan seseorang atau pribadi. Subjektif berkaitan erat dengan ke-aku-an.[10] Dalam hal filsafat subjektif berkaitan dalam segala hal, kesadaran manusia menjadi tolak ukur, eksistensi, makna dan validitasnya.[11]
Dari penjelasan di atas bahwa “subjektifitas” menghendaki peranan penting dari setiap pribadi yang menilai sendiri tentang kebenaran, artinya sesuatu dipandang benar jika didasarkan pada pribadi atau manusia yang menilai tentang sesuatu itu. Kebenaran tolak ukurnya adalah berdasarkan subjek, namun hal semacam ini apakah berlaku bagi kebenaran
(30)
ilmiah? Sedangkan kebenaran ilmiah sangat identik dengan syarat-syarat ilmiah menyangkut teori yang menunjang dan sesuai dengan bukti, yang ditunjang oleh rasio dan divalidasi dengan data empirik.
Seperti yang dikatakan Jujun S. Sumantri kebenaran ilmiah harus didahului oleh cara/prosedur-prosedur yang disebut metode ilmiah. Metode merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran. Metode ilmiah adalah cara menerapkan prinsip-prinsip logis terhadap penemuan, pengesahan dan penjelasan kebenaran, juga dapat diartikan bahwa metode ilmiah adalah pengejaran terhadap sesuatu untuk memperoleh sesuatu interelasi.
Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiah, maka metode tersebut harus mempunyai kriteria sebagai berikut:
a. Berdasarkan fakta b. Bebas dari prasangka
c. Menggunakan prinsip-prinsip analisa d. Menggunakan hipotesa
e. Menggunakan ukuran objektif f. Menggunakan teknik kuantifikasi.
Dengan cara kerja seperti ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan memiliki karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan.
Sifat rasional dan teruji bagi kebanaran ilmiah menghendaki adanya kebenaran hanya sesuatu yang dapat diakalkan (logiskan) dan dapat teruji. Berari kebenaran ilmiah sangat menolak dengan kebenaran mutlak. Sebab kebenaran ini kaitannya dengan kebenaran yang datang dari Tuhan bersumber dari wahyu yang mengikat. Kebenaran yang rasional dan teruji akan hanya mampu memaparkan hal-hal yang empiris.
Jika demikian di atas jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut jika dikaitkan dengan penjelasan pengertian kebenaran ilmiah dari aspek subjektifitas belum dapat diterima karena kebenaran ilmiah yang bermuara dari subjektifitas tidak jarang menunjukkan bukti atau tidak sesuai dengan data empirik dan pembuktian nyata berdasarkan dengan rasa atau pribadi.
(31)
Oleh karena itu kebenaran yang sesungguhnya dalam kajian kebenaran ilmiah adalah kebernaran yang sedikit dipengaruhi oleh unsur subjektifitas.
C. Kebenaran Ilmiah dari Sudut Pandang Objektifitas
Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah terutama menyangkut adanya teori yang menunjang serta sesuai dengan bukti. Kebenaran ilmiah divalidasi oleh bukti-bukti empiris yaitu hasil pengukuran objektif dilapangan.
Kebenaran merupakan seperti penjelasan diawal adalah kesesuaian antara pengetahuan dengan objeknya. Objek adalah sesuatu yang ihwalnya diketahui atau hendak diketahui. Suatu objek yang ingin diketahui memiliki berbagai aspek yang amat sulit untuk diungkapkan sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi. Sangat jelas bahwa untuk mengetahui objek secara lengkap sangat sulit.
Objek juga diartikan sebagai sesuatu yang dapat dilihat secara fisik, disentuh, diindra, sesuatu yang dapat disadari secara fisik atau mental, suatu tujuan akhir dari kegiatan atau usaha, suatu hal yang menjadi masalah pokok suatu penyelidikan.[12]
Menurut Langeveld dalam Muhammad In’am Esha objek pengetahuan dibedakan menjadi tiga:
1. Objek empiris yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya ada dan dapat ditangkap oleh indra lahir dan indra batin.
2. Objek ideal yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya tiada dan menjadi ada berkat akal. 3. Objek transendental yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya ada tetapi berada diluar
jangkauan pikiran dan perasaan manusia.
Kebenaran yang objektif tidak bergantung pada ada atau tidaknya pengetahuan si subjek tentang objek, mengingat objek pengetahuan itu beraneka ragam maka tolak ukur agar kebenaran yang menjadi syarat diterimanya pengetahuan berlainan, terhadap objek yang bersifat:
1. Empiris, ukuran kebenara adalah bukti kenyataan (faktual). 2. Ideal,ukuran kebenarannya adalah hukum pikir (rasional).
3. Transendental, ukuran kebenaran adalah rasa percaya (superrasional).
Pengetahuan adalah tanggapan subjek terhadap objek yang diketahui,dengan demikian taggapan merupakan penilaian subjek terhadap objek. Oleh karena itu dalam hal ini kebenaran ada dua sisi:
(32)
1. Benarnya fakta (bukti) adalah kebenaran objek (didunia luar). 2. Benarnya Ide (tanggapan adalah kebenaran subjek (didunia dalam).
Fakta bersifat objektif, sehingga fakta tidak dapat disalahkan atau dipersalahkan karena memang demikian adanya sekalipun negatif. Oleh karena itu ada dua kemungkinan yang terjadi yaitu faktanya benar dan tanggapan subjek benar dan faktanya benar dan tanggapan subjek salah. Dalam kebenaran ilmiah apakah kebenaran objektif dapat diterima? Langeveld menjawab kebenaran yang sesungguhnya tidak lepas dari gabungan subjek dan objek.
Kebenaran ini ia sebut dengan kebenaran dasar yaitu ada hubungan antara subjek dan objek. Namun, hal ini juga dibantah, kebenaran dasar belum mencapai tingkat dijamin ilmiah. Lantas jika kebenaran sifatnya relatif apa gunanya manusia berpengetahuan? untuk menjawab pertanyaan ini perlu diingat kembali tentang teori pengetahuan. Teori-teori itu dapat menjadi acuan bagi kebenaran ilmiah.
Inti dari kebenaran ilmiah adalah penjelasan tentang objek seperti apa adanya tanpa ada pengaruh sedikitpun oleh keadaan subjek. Objek dijelaskan dibuktikan dengan nyata, dalam keadaannya tanpa ada manipulasi atau perubahan tanggapan dari subjek. Jika terjadi manipulasi maka hal ini jelas keuar dari koridor arti kebenaran bahwa pengetahuan tidak sesuai dengan keadaan objek, dan ini telah terjadi kekeliruan yang jelas pengetahuan ini tidak dapat diterima.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Pada hakikatnya manusia memiliki rasa ingin tahu yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut fitrah. Keingintahuan manusia tentang segala hal menjadi dasar bagi manusia untuk berpengetahuan. Aspek filsafat yang membahas tentang pengetahuan disebut epistimologi. Epistemologi berasala dari bahasa yunani episteme (pengetahuan). Pengetahuan identik dengan kebenaran.
(1)
Seringkali, siswa belajar bahwa metode ilmiah adalah proses linear yang berjalan seperti ini: Tanyakan pertanyaan. Pertanyaan ini didasarkan pada satu atau lebih pengamatan atau
data dari percobaan sebelumnya. Melakukan penelitian latar belakang. Buat hipotesis.
Melakukan eksperimen atau melakukan pengamatan untuk menguji hipotesis. Mengumpulkan data.
Merumuskan kesimpulan.
Proses ini tidak selalu berjalan dalam garis lurus. Seorang ilmuwan mungkin mengajukan pertanyaan, kemudian melakukan penelitian latar belakang dan menemukan bahwa
pertanyaan yang perlu ditanyakan dengan cara yang berbeda, atau pertanyaan yang berbeda harus buat.
Metode ilmiah yang digunakan saat membuat dan menjalankan percobaan. Tujuan dari metode ilmiah adalah untuk memiliki cara yang sistematis untuk menguji ide atau gagasan dan hasilnya dalam proses penyelidikan ilmiah dapat pelaporan. Komponen kunci dari penggunaan metode ilmiah itu adalah memastikan bahwa percobaan harus dapat ditiru oleh siapapun. Jika itu tidak mungkin, maka hasilnya dianggap tidak sah.
Proses mengeksekusi percobaan menggunakan metode ilmiah juga harus dipastikan bahwa data dicatat dan dapat dibagikan pada yang lain sehingga bias pada pihak ilmuwan yang melakukan percobaan dapat dikurangi. Selain itu, komunikasi hasil memungkinkan untuk rekan-rekan yang lain dapat meninjau pekerjaan untuk memastikan bahwa hasilnya adalah tepat dan akurat.
(2)
Metode ilmiah atau dalam bahasa inggris dikenal sebagai scientifc method adalah proses berpikir untuk memecahkan masalah secara sistematis,empiris, dan terkontrol.
Metode ilmiah merupakan proses berpikir untuk memecahkan masalah
Metode ilmiah berangkat dari suatu permasalahan yang perlu dicari jawaban atau pemecahannya. Proses berpikir ilmiah dalam metode ilmiah tidak berangkat dari sebuah asumsi, atau simpulan, bukan pula berdasarkan data atau fakta khusus. Proses berpikir untuk memecahkan masalah lebih berdasar kepada masalah nyata. Untuk memulai suatu metode ilmiah, maka dengan demikian pertama-tama harus dirumuskan masalah apa yang sedang dihadapi dan sedang dicari pemecahannya. Rumusan permasalahan ini akan menuntun proses selanjutnya. Pada Metode Ilmiah, proses berpikir dilakukan secara sistematis
Dalam metode ilmiah, proses berpikir dilakukan secara sistematis dengan bertahap, tidak zig-zag. Proses berpikir yang sistematis ini dimulai dengan kesadaran akan adanya masalah hingga terbentuk sebuah kesimpulan. Dalam metode ilmiah, proses berpikir dilakukan sesuai langkah-langkah metode ilmiah secara sistematis dan berurutan.
Metode ilmiah didasarkan pada data empiris
Setiap metode ilmiah selalu disandarkan pada data empiris. maksudnya adalah, bahwa masalah yang hendak ditemukan pemecahannya atau jawabannya itu harus tersedia datanya, yang diperoleh dari hasil pengukuran secara objektif. Ada atau tidak tersedia data empiris merupakan salah satu kriteria penting dalam metode ilmiah. Apabila sebuah masalah dirumuskan lalu dikaji tanpa data empiris, maka itu bukanlah sebuah bentuk metode ilmiah.
Pada metode ilmiah, proses berpikir dilakukan secara terkontrol
Di saat melaksanakan metode ilmiah, proses berpikir dilaksanakan secara terkontrol. Maksudnya terkontrol disini adalah, dalam berpikir secara ilmiah itu dilakukan secara sadar dan terjaga, jadi apabila ada orang lain yang juga ingin membuktikan kebenarannya dapat dilakukan seperti apa adanya. Seseorang yang berpikir ilmiah tidak melakukannya dalam keadaan berkhayal atau bermimpi, akan tetapi dilakukan secara sadar dan terkontrol.
Langkah-Langkah Metode Ilmiah
Karena metode ilmiah dilakukan secara sistematis dan berencana, maka terdapat langkah-langkah yang harus dilakukan secara urut dalam pelaksanaannya. Setiap langkah atau tahapan dilaksanakan secara terkontrol dan terjaga. Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah. 2. Merumuskan hipotesis. 3. Mengumpulkan data. 4. Menguji hipotesis. 5. Merumuskan kesimpulan.
(3)
Merumuskan Masalah
Berpikir ilmiah melalui metode ilmiah didahului dengan kesadaran akan adanya masalah. Permasalahan ini kemudian harus dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya. Dengan penggunaan kalimat tanya diharapkan akan memudahkan orang yang melakukan metode ilmiah untuk mengumpulkan data yang dibutuhkannya, menganalisis data tersebut, kemudian
menyimpulkannya.Permusan masalah adalah sebuah keharusan. Bagaimana mungkin memecahkan sebuah permasalahan dengan mencari jawabannya bila masalahnya sendiri belum dirumuskan? Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah yang masih memerlukan pembuktian berdasarkan data yang telah dianalisis. Dalam metode ilmiah dan proses berpikir ilmiah, perumusan hipotesis sangat penting. Rumusan hipotesis yang jelas dapat memabntu mengarahkan pada proses selanjutnya dalam metode ilmiah. Seringkali pada saat melakukan penelitian, seorang peneliti merasa semua data sangat penting. Oleh karena itu melalui rumusan hipotesis yang baik akan memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data yang benar-benar dibutuhkannya. Hal ini dikarenakan berpikir ilmiah dilakukan hanya untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Mengumpulkan Data
Pengumpulan data merupakan tahapan yang agak berbeda dari tahapan-tahapan sebelumnya dalam metode ilmiah. Pengumpulan data dilakukan di lapangan. Seorang peneliti yang sedang menerapkan metode ilmiah perlu mengumpulkan data berdasarkan hipotesis yang telah dirumuskannya.
Pengumpulan data memiliki peran penting dalam metode ilmiah, sebab berkaitan dengan pengujian hipotesis. Diterima atau ditolaknya sebuah hipotesis akan bergantung pada data yang dikumpulkan. Menguji Hipotesis
Sudah disebutkan sebelumnya bahwa hipotesis adalah jawaban sementaradari suatu permasalahan yang telah diajukan. Berpikir ilmiah pada hakekatnya merupakan sebuah proses pengujian hipotesis. Dalam kegiatan atau langkah menguji hipotesis, peneliti tidak membenarkan atau menyalahkan hipotesis, namun menerima atau menolak hipotesis tersebut. Karena itu, sebelum pengujian hipotesis dilakukan, peneliti harus terlebih dahulu menetapkan taraf signifikansinya. Semakin tinggi taraf signifikansi yang tetapkan maka akan semakin tinggi pula derjat kepercayaan terhadap hasil suatu penelitian.Hal ini dimaklumi karena taraf signifikansi berhubungan dengan ambang batas kesalahan suatu pengujian hipotesis itu sendiri.
Merumuskan Kesimpulan
Langkah paling akhir dalam berpikir ilmiah pada sebuah metode ilmiah adalah kegiatan perumusan kesimpulan. Rumusan simpulan harus bersesuaian dengan masalah yang telah diajukan sebelumnya. Kesimpulan atau simpulan ditulis dalam bentuk kalimat deklaratif secara singkat tetapi jelas. Harus dihindarkan untuk menulis data-data yang tidak relevan dengan masalah yang diajukan, walaupun dianggap cukup penting. Ini perlu ditekankan karena banyak peneliti terkecoh dengan temuan yang dianggapnya penting, walaupun pada hakikatnya tidak relevan dengan rumusan masalah yang diajukannya.
(4)
ejarah Awal Perkembangan Manajemen Sebagai Disiplin Ilmu : Disadari atau tidak manajemen telah hadir dalam kehidupan manusia sejak tumbuhnya kebutuhan untuk ’bekerjasama’ mencapai tujuan. Apapun dasar dari ‘kerjasama’ tersebut, namun sejarah membuktikan bahwa manajer sudah hadir sejak manusia memutuskan untuk memposisikan sebagian dari yang lain sebagai ‘bawahan’nya untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Rekam jejak sejarah kuno bangsa Roma dan Mesir misalnya, menunjukkan adanya pengorganisasian dalam pembangunan kuil atau istana yang dilakukan oleh penguasa pada para budaknya. peninggalan fisik tersebut menggambarkan adanya aktifitas yang teratur dan bertahap di masa lalu yang saat ini dinamakan manajemen.
Sekalipun praktek manajemen sudah dilakukan sangat lama, namun sebagai kajian ilmiah yang terus dikembangkan baru dimulai pada abad ke 20 atau pada tahun 1950-an. Pada tahun 1776 Adam Smith menerbitkan suatu doktrik ekonomi klasik yang memperkenalkan ide pembagian kerja agar menjadi lebih rinci dan berulang. Pada abad-18 itu pula terjadi Revolusi Industri yang bermula dari Inggris sampai ke Amerika. Revolusi Industri bertujuan agar dapat menekan ongkos produksi seefisien mungkin dan dengan hasil produksi yang jauh lebih banyak (mass production) dengan menggantikan tenaga manusia dengan tenaga mesin (advance of machine power), yang ditunjang pula dengan sistem transportasi yang efisien (efficient transportation). Revolusi Industri serta teori ekonomi klasik Adam Smith telah memberi dasar pada aplikasi manajemen, kendati dari segi keilmuan belum berkembang.
Teori Manajemen baru tumbuh pada awal abad 19 yang dipelopori oleh Robert Owen dan Charles Babbage, dan Henry P. Towne dengan munculnya teori manajemen yang membahas beberapa hal yang kini dikenal sebagai bagian dari manajemen modern Dalam teorinya Robert Owen menekankan perlunya sumber daya manusia (SDM) dan kesejahteraan pekerja dalam sebuah organisasi. Menurutnya dengan memperbaiki kondisi pekerja, tidak hanya memperbaiki kualitas hidup mereka sebagai pekerja tapi dapat meningkatkan 50-100% produktivitas organisasi (Bartol 1996). Sedangkan Charles Babbage (1792-1871) menekankan pentingnya efisiensi dalam kegiatan Produksi, khususnya dalam penggunaan fasilitas dan material produksi. Sementara itu Towne menekankan pada pentingnya manajemen sebagai ilmu dan pentingnya mengembangkan prinsip-prinsip manajemen.
Pada masa-masa selanjutnya kajian atas manajemen sebagai ilmu mulai berkembang dengan berbagai teori dan pendekatan. Perkembangan Teori Manajemen sampai saat ini tampak pada gambar di atas.
Aliran Klasik
Aliran Klasik dicirikan oleh upaya para perintisnya untuk mengidentifikasikan fungsi-fungsi manajemen yang bersifat universal serta untuk menetapkan prinsip-prinsip dasar manajemen. Henry Fayol merupakan salah seorang pionirnya di Prancis pada tahun 1900 dan dikenal meluas setelah tulisannya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 1949. Fayol
(5)
mengidentifikasikan 5 fungsi universal dalam manajemen, yakni : Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, dan Controling.
Tokoh-tokoh lain juga mengidentifikasikan proses manajemen yang nyaris serupa dengan ide Fayol namun dengan istilah yang berbeda, misalnya Luther Gulick pada tahun 1937 dengan POSDCORBnya (singkatan dari Planning, Organizing, Staffing, Directing, Coordinanting, Reporting dan Budgeting). Dari berbagai buku manajemen lain, niscaya juga akan kita temui hal yang serupa.
Selain proses dan fungsi manajemen, tokoh-tokoh aliran klasik juga menghasilkan prinsip-prinsip manajemen, misalnya Lyndall Urwick pada tahun 1943 dalam bukunya Elements of Administration mengemukakan ada duapuluh empat (24) prinsip-prinsip administrasi dan manajemen yang berlaku universal. Beberapa diantaranya adalah prinsip-prinsip : Kesatuan Perintah, Batas rentang Kendali; Kesatuan Arah, Pembagian Kerja; Pembagian Fungsi; Pendelegasian wewenang; keseimbangan tanggung-jaawab dan wewenang; dll. Sekalipun kemudian baik fungsi maupun prinsip-prinsip manajemen ini tidak terbukti berlaku universal, namun cukup memberikan kerangka teoritik yang bermanfaat dalam mempelajari manajemen dalam sudut pandang apapun. Yang termasuk dalam kelompok Aliran Klasik ini adalah: Pendekatan Scientifiec Management yang dipelopori oleh Frederick W. Taylor pada tahun 1911 dalam bukunya yang fenomenal The Principles of Scientifiec management yang mengemukakan teknik-teknik dalam studi tentang gerak dan waktu; standarisasi; penyusunan sasaran, dll yang secara dramatis meningkatkan produktifitas dan efisiensi industri kala itu. Selain Taylor, tokoh lain adalah Frank Gilbreth & Lillian Gilbreth (suami sitri yang meneliti tentang gerakan tubuh dalam bekerja. Mereka menemukan bahwa agar tercapai efisiensi dan produktifitas yang tinggi, maka ada gerakan-gerakan tertentu yang perlu dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan saat melakukan pekerjaan tertentu) dan Henry L Gantt (dengan Bagan Gantt yang samapai saat ini masih digunakan dalam bagan perencanaan dan pengendalian produksi).
Pendekatan Manajemen Administrasi. Tokoh utamanya adalah Henry Fayol dan Alfred F. Sloan, Max Weber. yang dari karya mereka diperoleh dasar-dasar penyusunan organisasi profit dan organisasi non profit (Birokrasi). Henry Fayol berdasarkan pengalamannya mengelola industri pertambangan di Perancis, mengemukakan 14 Prinsip-prinsip Manajemen yang sampai saat ini masih dianggap relevan (walau tidak bersifat universal). Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah :
· Pembagian Kerja
· Wewenang dan Tanggung-jawab · Disiplin
· Kesatuan Komando · Kesatuan Arah
· Mengutamakan kepentingan organisasi dibanding kepentingan kelompok/pribadi
· Upah dan gaji berdasarkan prinsip yang adil dan disepakati oleh pekerja dan pemberi kerja, dlsb.
Birokrasi oleh Max Weber pada akhir tahun 1800an mengemukakan perlunya sebuah organisasi yang bersifat formal, impersonal dan yang dilandasai aturan main yang jelas; yang kemudain menjadi dasar organisasi birokrasi. Dasar-dasar ini yang kemukakan sebagai berikut :
(6)
· Division of work and Specialization ;Adanya Pembagian kerja yang Jelas dan spesialisasi · Rules and Regulations :Adanya aturan dan hukum yang jelas
· Impersonal-Relationship Hubungan yang impersonal antara pimpinan dengan bawahan · Competence :Kompetensi merupakan dasar memilih karyawan
· Records : Adanya catatan tentang aktifitas organisasi yang dipelihara
Meski sama-sama dikatagorikan dalam aliran klasik, yang membedakan antara aliran Admininstrative Management dengan Scientific Management adalah lokusnya : Pendekatan Administrative Management fokus pada manajemen organisasional secara utuh, sementara pendekatan Scientifiec management fokusnya pada metoda operasionalisasi organisasi, utamanya bagian produksi.
Mary Parker Follett memiliki pemikiran yang berbeda dengan orang yang semasanya. Follett menyatakan bahwa karyawan seharusnya dilibatkan dalam pengambilan keputusan, bukan dianggap seperti robot; bahwa karyawan sebagai manusia adalah unsur yang lebih penting dari pada segala teknik manajemen yang bertumpu pada sektor produksi. Kendati pada masanya pemikiran Follet tidak digubris, namun dikemudian hari ketika sejarah berputar, ia dianggap sebagai salah satu pendorong tumbuhnya aliran perilaku.
Share on Facebook Share on Twitter Share on Google+