Peta kesesuaian lahan dioverlay dengan peta RTRW untuk mendapatkan peta arahan pengunaan lahan. Peta arahan penggunaan
lahan menginformasikan tentang keberadaan lahan-lahan sesuai yang di kawasan lindung dan budidaya. Setelah itu, peta arahan pengembangan
dioverlay lagi peta penggunaan lahan untuk mendapatkan peta ketersediaan lahan.
Peta penggunaan
lahan dibuat
dengan mendelineasi
penggunaantutupan lahan di lokasi penelitian secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Peta ketersediaan lahan menginformasikan
penggunaannya lahan-lahan arahan pengembangan saat ini.
d. Identifikasi dan pemetaan lahan potensial untuk LP2B, LCP2B dan KP2B
Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam PP No 1 tahun 20011 Pasal 2 huruf a meliputi: Kawasan
Pertanian Pangan Berkelanjutan KP2B, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
LP2B, dan
Lahan Cadangan
Pertanian Pangan
Berkelanjutan LCP2B. LCP2B adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali
untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. LCP2B ditetapkan dari peta ketersediaan lahan
dari lahan sagu yang belum memproduksi pangan sagu. LP2B adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan
secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan yang akan menjadi
LP2B ditetapkan dari lahan pertanian pangan yang telah ada aktual dan berproduksi. Konsep pemetaan LCP2B dan LP2B dilakukan dengan
pengoverlay peta kawasan sagu dan peta arahan pengembangan dengan teknik Union Gambar 9 lalu dipisahkan sesuai kriteria penilaian lahan untuk
LP2B dan LCP2B Tabel 8.
Gambar 9. Konsep pemetaan LP2B dan LCP2B Tabel 8. Kriteria penilaian lahan untuk LP2B dan LCP2B
Peta Arahan pengembangan
Peta Tipe Sagu Status
Ketersediaan lahan
Dusun sagu LP2B
dusun sagu campuran, hutan sagu, hutan sagu campuran
LCP2B
Jika lahan produksi yang tersedia lebih luas dibandingkan kebutuhan lahan pangan sagu hasil proyeksi untuk jadi LP2B perlu dibuat urutan
prioritas pemilihan lebih lanjut. Metode identifikasi urutan prioritas dibuat dengan indeks terbobot dihitung dengan teknik indeks overlay. Indeks
terbobot dibangun berdasarkan pada tiap layer memiliki bobot weight dan tiap kelas di layer memiliki nilai skor sesuai dengan hasil pengamatan
lapang. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun seperti ditampilkan Tabel 9.
Peta ketersediaan lahan
Peta kawasan sagu
Union
Lahan produksi Lahan belum
produksi
LP2B Proyeksi
kebutuhan lahan
LCP2B
Tabel 9. Nilai Bobot dan skor operasi tumpangsusun No Kriteria
Skor setelah
standarisasi Faktor
Bobot Keterangan
1 Rumpun
0,15 Total skor telah
distandarisasi dan bobot
berkisar 0-1 Harapan
0,33 Kehiran
0,60 Sosiri
0,48 Maribu
1,00 2
Pohon siap tebang 0,30
Harapan 0,83
Kehiran 1,00
Sosiri 0,83
Maribu 0,92
3 jenis sagu
0,05 Harapan
0,30 Kehiran
1,00 Sosiri
0,52 Maribu
0,70 4
Pemanfaatan 0,50
Sangat Tinggi 1,00
Tinggi 0,80
Menengah 0,60
Rendah 0,40
Sangat Rendah 0,20
Tahap pertama yakni penetapan layer-layer yang akan di overlay lalu layer-layer tersebut distandarisasi. Standarisasi dilakukan untuk
mendapatkan nilai bersama antar layer karena nilai dari masing-masing layer berbeda-beda. Dalam hal ini standar dinilai dari perbedaan nilai
maksimum dan minimum, sehingga nilainya berkisar dari 0 – 1 atau dengan
persamaan: X’
ij
= xijx
j max
Dimana : X’
ij
= Nilai yang distandarisasi xij
= Nilai ke I kriteria ke j x
j max
= Nilai tertinggi kriteria ke j Setelah standarisasi, dilakukan penetapan bobot untuk setiap layer.
Pembobotan ini dibangun secara logika karena belum ada data mengenai pengaruh antar kriteria tersebut. Pemanfaatan mempunyai bobot lebih tinggi
dibandingkan kriteria lain karena lahan sagu yang tidak dimanfaatkan tidak punya arti dibandingkan dimanfaatkan. Setelah itu, bobot tegakan siap
panen lebih tinggi dibandingkan rumpun dan jenis karena tanpa tegakan
siap panen tidak dapat menghasilkan pati sagu. Bobot rumpun lebih tinggi dibandingkan jenis karena tiap rumpun akan menghasilkan tegakan siap
panen. Setelah pembobotan dilakukan overlay. Hasil overlay ini diurutkan
dari nilai tertinggi hingga nilai terendah. Urutan pemilihan lebih lanjut LP2B dimulai dari urutan terbaik dari hasil overlay layer-layer tersebut hingga
sesuai dengan kebutuhan lahan hasil proyeksi. KP2B adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah
perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan danatau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta
unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Pemetaan KP2B dilakukan
berdasarkan hasil pemetaan LP2B dan LCP2B ditambah dengan unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana untuk
menunjang aktivitas produksi pangan sagu yang telah ada dilokasi LP2B dan LCP2B. Peta sarana prasarana dibuat dengan mendelineasi sarana
prasarana secara visual menggunakan citra GeoEye dari Google Earth. Konsep pemetaan KP2B seperti tersaji pada Gambar 10.
Gambar 10. Konsep pemetaan KP2B
Peta saran prasarana
Union
KP2B LP2B
LCP2B
KEADAAN UMUM KABUPATEN JAYAPURA Letak dan Luas
Kabupaten Jayapura secara yuridis sudah dimekarkan sesuai Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2002 menjadi 3 tiga kabupaten, yaitu Kabupaten
Jayapura dengan Ibukota Sentani, Kabupaten Sarmi dengan Ibukota Sarmi dan Kabupaten Keerom dengan Ibukota Arso. Setelah pemekaran, Kabupaten
Jayapura terletak pada koordinat 139
o
25’32.4” – 140
o
38’38.53” BT dan 3
o
45’7.28” - 2
o
19’21.82” LS dengan luas wilayah 17.516,6 km
2
. Adapun batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Jayapura adalah:
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Sarmi dan Samudera Pasifik Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Yahukimo, Kabupaten
Yalimo dan Kabupaten Pegunungan Bintang Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Sarmi dan Kabupaten
Memberamo Raya Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Keerom dan Kota Jayapura
Tahun 2006, Kabupaten Jayapura memekarkan wilayahnya menjadi 19 distrik Bappeda, 2009. Ibukota kabupaten terletak di Sentani, berjarak 33 km
dari Kota Jayapura. Luas dan jumlah kampung dari masing-masing distrik di Kabupaten Jayapura tertera pada Tabel 10.
Tabel 10. Luas dan jumlah kampung tiap distrik di Kabupaten Jayapura
No Distrik Ibukota
Luas Wilayah Jumlah
Kampung km
2
persen 1
Kaureh Lapua
4.357,9 24,88
5 2
Kemtuk Sama
258,3 1,47
12 3
Kemtuk Gresi Klaisu
182,4 1,04
11 4
Nimboran Tabri
710,2 4,05
13 5
Nimbokrang Nembukrang
774,8 4,42
9 6
Unum Guay Garusa
3.131,3 17,88
6 7
Demta Demta
497,5 2,84
7 8
Depapre Waiya
404,3 2,31
8 9
Sentani Barat Dosay
129,2 0,74
5 10
Sentani Hinekombe
225,9 1,29
7 11
Sentani Timur Nolokla
484,3 2,76
7 12
Waibu Doyo lama
258,3 1,47
7 13
Ebungfauw Ebungfaw
387,4 2,21
5 14
Namblong Karya Bumi
193,7 1,11
9 15
Yapsi Bumi Sahaja
1.291,3 7,37
9 16
Airu Hulu Atas
3.099 17,69
4 17
Yokari Meukisi
519,5 2,97
5 18
Raveni Rara Necheibe
467,4 2,67
4 19
Gresi Selatan Bangai
143,9 0,82
4
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura 2010
Penduduk
Jumlah penduduk di Kabupaten Jayapura tahun 2009 berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS berjumlah 118.715 orang, yang terdiri dari 62.072
penduduk laki-laki dan 56.643 penduduk perempuan. Berarti tingkat kepadatan penduduk di Kabupaten Jayapura dengan wilayah seluas 17.516,6 km persegi
adalah 6,78 jiwakm
2
. Distrik Sentani merupakan distrik yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk tertinggi 81,35 jiwakm
2
dan Distrik Gresi Selatan merupakan distrik dengan tingkat kepadatan penduduk terendah 0,38 jiwakm
2
. Laju pertumbuhan penduduk berdasarkan data BPS dari tahun 2000 sampai
tahun 2009 adalah 4,16 persen per tahun. Jumlah dan kepadatan penduduk dari masing-masing distrik di Kabupaten Jayapura disajikan pada Tabel 11,
sedangkan perkembangan jumlah penduduk disajikan pada Tabel 12. Tabel 11. Jumlah dan kepadatan penduduk tiap distrik tahun 2009
No Distrik
Ibukota Luas
wilayah km
2
Jumlah penduduk
Jiwa Kepadatan
jiwakm
2
1 Kaureh
Lapua 4.357,9
14.363 3,30
2 Kemtuk
Sama 710,2
3.489 4,91
3 Kemtuk Gresi
Klaisu 774,8
4.868 6,28
4 Nimboran
Tabri 497,5
3.758 7,55
5 Nimbokrang
Nembukrang 129,2
6.548 50,68
6 Unum Guay
Garusa 225,9
1.844 8,16
7 Demta
Demta 484,3
3.476 7,18
8 Depapre
Waiya 387,4
3.806 9,82
9 Sentani Barat
Dosay 1.291,3
4.110 3,18
10 Sentani
Hinekombe 519,5
42.259 81,35
11 Sentani Timur
Nolokla 143,9
7.073 49,15
12 Waibu
Doyo lama 3.099
4.917 1,59
13 Ebungfauw
Ebungfaw 467,4
2.872 6,14
14 Namblong
Karya Bumi 404,3
2.763 6,83
15 Yapsi
Bumi Sahaja 182,4
5.686 31,17
16 Airu
Hulu Atas 258,3
988 3,83
17 Yokari
Meukisi 258,3
3.184 12,33
18 Raveni Rara
Necheibe 193,7
1.511 7,80
19 Gresi Selatan
Bangai 3.131,3
1.200 0,38
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura 2010
Tabel 12. Perkembangan jumlah penduduk dari tahun 2000-2009
Tahun Jumlah jiwa
2000 91.361
2001 96.940
2002 100.853
2003 104.059
2004 107.368
2005 109.786
2006 111.807
2007 113.437
2008 116.046
2009 118.715
Rata-rata pertumbuhan 4,16 persen
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura
Pola Konsumsi Pangan
Tingkat konsumsi pangan pokok penduduk perkapita secara kuantitas merupakan salah satu informasi yang diperlukan dalam perencanaan produksi
atau penyediaan bahan pangan. Laporan BPS dalam NBM Neraca bahan makanan tahun 2009 bahwa kontribusi energi menurut kelompok pangan PPH
pola pangan harapan di Kabupaten Jayapura tahun 2008 seperti pada Tabel 13.
Tabel 13. Kontribusi energi menurut kelompok pangan
No Kelompok pangan Kalori
Kontribusi persen
1 Padi-padian
1156 54,67
2 Umbi-umbian
347 16,41
3 Pangan hewani
127 6,02
4 Minyak dan lemak
11 0,51
5 Kacang-kacangan
100 4,71
6 Gula
91 4,29
7 Sayuran dan buah
139 6,60
Jumlah 2114
100,00
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura 2009 Tabel 13 terlihat bahwa kelompok padi-padian beras, jagung, tepung
terigu memberikan kontribusi energi yang paling besar, sedangkan kelompok minyaklemak memberikan kontribusi energi paling kecil. Untuk kelompok umbi-
umbian hanya menyumbang 347 kalorikapitahari. Sagu termasuk dalam
kelompok umbi-umbian selain singkong, ubi jalar, kentang dan ini berarti untuk sagu secara khusus kurang dari 347 kalorikapitahari.
Sagu pada mulanya merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk di wilayah Papua, namun saat ini peran tersebut sudah mulai
berkurang. Secara aktual berdasarkan data NBM Kabupaten Jayapura diketahui
konsumsi sagu penduduk berdasarkan produksinya dari tahun 2006 hingga 2008 yakni, 17,72
kgkapitatahun, 17,72
kgkapitatahun dan 17,95 kgkapitatahun
atau rata-rata naik 1,27 persen per tahun. Pola konsumsi sagu secara bertahap telah bergeser ke arah beras. Kecenderungan ini juga secara umum terjadi di
seluruh wilayah di Papua seperti yang dilaporkan Hutapea 2003 bahwa
konsumsi sagu di Papua berkurang dari 126 kg pada 1994 menjadi 95,53 kgkapitatahun pada 1997
. Salah satu penyebabnya adalah kesan inferior yang melekat pada sagu. Untuk itu
perlu upaya mengubah bahan pangan sagu menjadi makanan yang populer.
Berdasarkan pendekatan PPH dapat diketahui skor pangan dengan cara mengalikan persentase kontribusi energinya setiap kelompok pangan dengan
rating bobotnya. Hasil analisis PPH Kabupaten Jayapura pada tingkat ketersediaan masih belum memenuhi standar yaitu sebesar 83,7 atau 16,3
persen dibawah standar, artinya penyediaan pangan kurang beragam dan belum berimbang ketersediaan gizinya. Hal ini dapat dilihat dari kelompok pangan yang
skornya melebihi atau kurang dari skor maksimum. Salah satunya konsumsi yang belum ideal berdasarkan pendekatan PPH adalah komsumsi pangan sagu
masih tinggi 17,95 kgkapitatahun dari standar ketersediaannya harus diturunkan menjadi 15,11 kgkapitatahun.
Rencana Tata Ruang Wilayah Rencana Struktur Ruang
Di tingkat Nasional, Kabupaten Jayapura dikategorikan dalam Pusat Kegiatan Nasional PKN. Untuk skala pelayanan kota-kota di Kabupaten
Jayapura dapat dibedakan atas : a. Kota orde I adalah Ibukota Distrik Sentani Sentani Kota. Kota orde I ini akan
berperan sebagai pusat regional, dengan wilayah pelayanan seluruh kabupaten.
b. Kota orde II adalah Ibukota Distrik Depapre Waiya, Ibukota Distrik Kemtuk Sabron, dan Ibukota Distrik Yapsi Ongan Jaya. Kota Orde II ini akan
berperan sebagai pusat sub-regional, dengan wilayah pelayanan hanya beberapa distrik saja.
c. Kota orde III adalah semua Ibukota Distrik IKD, dengan wilayah pelayanan distrik masing-masing.
Berdasarkan kebijakan pemerintah Kabupaten dengan DPRD Kabupaten Jayapura, ditetapkan sistem perwilayahan pembangunan di Kabupaten Jayapura
seperti disajikan pada Tabel 14. Untuk daerah penelitian mencakup wilayah pembangunan I dan II.
Tabel 14. Pembagian wilayah pembangunan
Wilayah Pembangunan
WP Kawasan
Distrik Prioritas
I Cagar Alam
Cycoop dan Danau
Sentani -
Sentani Timur -
Sentani -
Ebungfau -
Waibu 1. Pusat Pemerintahan
2. Perdagangan dan jasa 3. Bandar Udara
4. Pariwisata 5. Industri Kecil dan Rumah Tangga
6. Kehutanan 7. Perikanan daratdanau
II Cagar Alam
Cycloop dan Pesisir
- Raveni Rara
- Depapre
- Sentani Barat
- Yokari
- Demta
1. Pengembangan Pelabuhan Peti Kemas
2. Perikanan laut 3. Pariwisata
4. Industri 5. Pertambangan
6. Kehutanan
III Grime
- Kemtuk
- Kemtuk Gresi
- Gresi Selatan
- Nimboran
- Nimbokrang
- Namblong
1. Pertanian skala rakyat 2. Peternakan skala rakyat
3. Perkebunan Program Agropolitan skala rakyat
4. Pertambangan 5. Industri
IV Nawa
- Unurum Guay
- Yapsi
- Kaureh
- Airu
1. Kehutanan 2. Perkebunan skala besar
3. PLTA 4. Pertanian skala besar
5. Peternakan skala besar 6. Prasarana Transportasi
7. Industri
Sumber : Bappeda 2009
Rencana Pola Ruang
Berdasarkan dokumen RTRW 2008-2028 bahwa untuk tahun 2028 kawasan lindung untuk Kabupaten Jayapura luasnya adalah 41 dari luas
Kabupaten Jayapura yaitu seluas 716.769,30 ha. Luas Kawasan Budidaya yang direncanakan adalah seluas 59 dari luas Kabupaten Jayapura yaitu seluas
1.034.630,70 ha Gambar 11 dan 12.
43 Gambar 11. Rencana pemanfaatan ruang kawasan budidaya
44 Gambar 12. Rencana pemanfaatan ruang kawasan lindung
HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Pemetaan Sagu
Sebaran Sagu
Tanaman sagu di Kabupaten Jayapura berdasarkan data Badan Pusat Statistik BPS Propinsi Papua 2006 seluas 25.488 ha atau 4,97 persen dari
luas tanaman sagu di Provinsi Papua. Penyebaran tanaman sagu sebagian besar adalah tegakan alami berupa hamparankawasan yang kompak dan luas.
Berdasarkan penafsiran peta tutupan lahan Kabupaten Jayapura, sagu yang ada di Kabupaten Jayapura berada di pinggiran danau Sentani, Maribu, Nimbokrang
di sekitar sungai Grime dan Sermo dan Kaureh di sekitar sungai Nawa. Untuk penelitian ini lokasi difokuskan hanya pada lahan sagu yang ada di sekitar danau
Sentani yakni di pinggiran danau Sentani meliputi 5 distrik yakni Distrik Sentani, Sentani Timur, Sentani Barat, Waibu dan Ebungfauw. Lahan sagu di daerah
Nimbokrang dan Kaureh tidak dilakukan pengamatan karena letaknya yang jauh dan jenis serta produktifitas produski tidak sebaik kawasan sekitar Danau
Sentani dan Maribu. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman jenis dan
produktifitas sagu di sekitar Danau Sentani lebih baik dibandingkan daerah lain. Hasil penelitian Matanubun et al. 2005, di Distrik Kaureh menemukan hanya
terdapat 16 jenis sagu saja dan ini lebih rendah dibandingkan di Kawasan Kehiran Distrik Sentani ditemukan paling tidak 18 jenis sagu berdasarkan
penelitian Miftahorochman dan Novirianto 2003. Hasil Penelitian Unipa 2005 dalam PT. Freeport Indonesia 2010 menemukan 31 jenis sagu di daerah
Sentani. Produktifitas sagu di Sentani juga tergolong tinggi seperti dilaporkan Saitoh et al. 2003 dalam Bintoro, 2008 menemukan beberapa jenis unggul
yang menghasilkan pati kering sagu hingga mendekati 1 ton per batang. Lahan bervegetasi sagu diinterpretasi secara bertahap yakni: 1 deteksi
global ada tidaknya tanam yang bertajuk bintang; 2 identifikasi setengah rinci untuk memisahkan dari berbagai jenis tanaman yang bertajuk bintang; 3
Analisis rinci untuk membedakan lagi lebih rinci lahan sagu berdasarkan tipenya. Tahap ketiga berupa analisis dibahas pada sub sub bab tipe ekosistem
sagu. Deteksi dilakukan dengan mencari lahan yang bervegetasi dan bertajuk
bintang. Deteksi terhadap tanaman bertajuk bintang sangat mudah dilakukan
dengan bantuan citra GeoEye dari Google Earth karena sebagian besar tanaman bertajuk bintang di lokasi penelitian berupa hamparankawasan Gambar 13.
Setelah diperoleh adanya tanaman bertajuk bintang lalu dibedakan lagi identifikasi berbagai tanaman yang bertajuk bintang yang ditemukan pada
tahap deteksi di lokasi penelitian. Jenis-jenis tanaman bertajuk bintang yang ada di lokasi penelitian berdasarkani literatur dan pengamatan lapang. Berdasarkan
studi literatur dan pengamatan lapang, tanaman yang bertajuk bintang sebagai landasan untuk interpretasi sagu di lokasi penelitian hanya ada tanaman sagu,
kelapa Cocos nucifera dan pinang Areca catechu L.. Perbedaan tanaman sagu dengan tanaman lainnya kelapa dan pinang
di lokasi penelitian yakni tanaman sagu belum sepenuhnya menjadi tanaman budidaya sedangkan kelapa dan pinang merupakan tanaman budidaya sehingga
terlihat berbeda dari pola tumbuhnya. Sagu umumnya mempunyai pola tumbuh tidak teratur, gerombol dan agak jauh dari pemukiman karena belum dibudidaya
sagu alam sedangkan kelapa dan pinang berpola tumbuh teratur dalam luasan sempit, tidak gerombol dan berada dekat dengan pemukiman. Umumnya kelapa
dan pinang pada masyarakat asli Papua merupakan dijadikan tanaman pekarangan yang ditanam beberapa pohon saja di sekitar rumah atau kebun
dengan jarak tanam tidak teratur tidak ada jarak tanam. Jumlah yang sedikit dan hanya merupakan tanaman pekarangan yang tidak ditanam bersama sagu,
tanaman kelapa dan pinang dapat diabaikan. Penampakan kelapa dan pinang dibandingkan dengan sagu dibedakan juga dari penampakan fisik. Pohon kelapa
lebih kecil dibandingkan sagu dan pinang lebih kecil dibandingkan kelapa. Warna daun kelapa lebih terang dibandingkan sagu. Saat identifikasi sagu, kelapa dan
pinang, resolusi spasial diperbesar mencapai beberapa kali lipat resolusi spasial pada tingkat deteksi sehingga tampak jelas perbedaan fisik sagu dan kelapa
Gambar 14. Setelah teridentifikasi sagu lalu dilakukan pemetaaan melalui citra untuk
mengetahui sebarannya. Areal yang didelineasi dari citra merupakan areal yang memiliki tanaman sagu minimal 30 persen dari penampakan vegetasi yang ada.
Areal yang dinominasi tanaman selain sagu atau hanya dijumpai beberapa rumpun tanaman sagu dalam jumlah yang sedikit tidak dimasukkan dalam areal
sagu yang didelineasi. Selain itu, areal sempit 0,25 ha dan menyebar berjauhan sporadis tidak didelineasi.
Gambar 13. Penampakan sagu dan bukan sagu
Gambar 14. Penampakan sagu dan kelapa Berdasarkan identifikasi citra GeoEye dari Google Earth ditemukan empat
daerah berupa hamparan bervegetasi sagu berupa hutan sagu yang ada di
sekitar Danau Sentani dan Distrik Maribu seluas 2909,8 ha terdiri dari daerah
Harapan, Kehiran, Sosiri dan Maribu. Pemberian nama tersebut disesuaikan dengan salah satu kampung yang terdapat di daerah tersebut. Sebagian besar
tanaman sagu masih merupakan tanaman liar hutan sagu yang tumbuh dengan sendirinya. Sedikit yang sudah melakukan penanaman dengan budidaya yang
sangat sederhana tipe dusun sagu tanpa jarak tanam dan pemeliharaan intensif hanya pemangkasan daun-daun tua.
Kelapa Sagu
Sagu Bukan sagu
Penyebaran sagu di lokasi penelitian setelah ditumpangtindihkan dengan peta administrasi diketahui daerah administrasi yang masuk dalam daerah sagu
seperti tersaji pada Gambar 15 dan Tabel 15. Dari gambar dan tabel diketahui bahwa penyebaran sagu paling luas pada daerah Kehiran meliputi 13 kampung
sedangkan daerah Sosiri merupakan yang paling sempit luasnya dan hanya meliputi 1 kampung.
Tabel 15. Luas lahan sagu
Hamparan Distrik
Kampung Luas
Hektar Persen
Harapan Sentani Timur
Asei Besar 170,8
8,6 Asei Kecil
22,8 Nendali
57,9 Luas
251,6 Kehiran
Ebungfauw Babrongko
151,3
81,4 Imporo
73,0 Sentani
Dobonsolo 125,5
Hinekombe 2,6
Ifale 290,3
Ifar Besar 132,4
Sentani Kota 31,3
Yoboy 763,3
Sentani Timur Nendali
8,7 Waibu
Donday 69,7
Doyo Baru 58,9
Doyo Lama 232,0
Kwadeware 428,4
Luas 2367,4
Maribu Sentani Barat
Maribu 35,6
6,8 Panjang Rejo
163,6 Luas
199,2 Sosiri
Waibu Sosiri
91,7 3,2
Luas 91,7
Luas Keseluruhan 2909,8
100,0
49 Gambar 15. Sebaran lahan sagu
Di daerah Harapan terdapat Kampung Asei Kecil, Asei Besar dan Nendali Harapan Distrik Sentani Timur, berjarak ± 1 km dari kantor distrik dan jarak dari
pusat pemerintahan kabupaten adalah 10 km yang dapat di tempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 10 menit. Secara geografis,
sebelah Utara berbatasan dengan Cagar Alam Pegunungan Syclop, sebelah Selatan dengan Kampung Takiwa, sebelah Timur dengan Kelurahan Waena dan
sebelah Barat dengan Kampung Ifar Besar. Daerah ini terletak pada ketinggian 70-100 m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah ini 251,6
hektar.
Pada daerah Kehiran terdapat 4 empat distrik dan 12 kampung. Daerah ini berjarak ± 1 km dari kantor distrik dan jarak dari pusat pemerintahan
kabupaten adalah 3 km, yang ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 5 menit. Secara geografis, sebelah Utara daerah
Kehiran berbatasan dengan Kampung Hinekombe dan Sereh sebelah Selatan berbatasan dengan Distrik Kemtu, sebelah Timur dengan Distrik Sentani Timur
dan sebelah Barat dengan Kampung Sosiri. Daerah sagu Kehiran terletak pada ketinggian 70-100 m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah
ini 2367,4 hektar. Pada daerah Sosiri hanya terdapat Kampung Sosiri dari sepuluh
kampung yang ada Distrik Sentani Barat, berjarak ± 8 km dari kantor distrik sedangkan jarak dari pusat pemeritahan kabupaten adalah 10 km, yang
ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat selama ± 20 menit. Secara geografis, sebelah Utara daerah Sosiri berbatasan dengan Distrik
Sentani Barat sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Donday, sebelah Timur dengan Kampung Doyo Lama dan sebelah Barat dengan Kampung
Yakonde. Kampung Sosiri terletak pada ketinggian 70-100 m di atas permukaan laut. Sagu yang ditemukan pada daerah ini 91,7 hektar.
Pada daerah Maribu terdapat Kampung Panjang Rejo dan Maribu Tua merupakan dua kampung dari sepuluh kampung yang ada Distrik Sentani Barat,
yang berjarak ± 4 km dari kantor distrik. Jarak dari pusat pemeritahan kabupaten adalah 15 km, yang ditempuh dengan kendaraan beroda dua atau beroda empat
selama ± 30 menit. Secara geografis, sebelah Utara berbatasan dengan daerah Sosiri sebelah Selatan berbatasan dengan Cagar Alam Pegunungan Syclop,
sebelah Timur dengan Kampung Doyo Lama dan sebelah Barat dengan Distrik
Depapre. Hamparan sagu ini terletak pada ketinggian 90 – 120 m di atas
permukaan laut. Sagu yang ditemukan seluas 199,2 hektar. Data luasan lahan bervegetasi sagu dari interpretasi citra lebih rendah
dibandingkan data lahan sagu dari Dinas Kehutanan. Data dari Dinas Kehutanan menyebutkan lahan bervegetasi sagu di lokasi penelitian seluas 4.160 ha.
Keadaan ini terjadi karena data penelitian hanya dihitung dari luas sagu berupa hamparan sedangkan areal sagu berupa spot-spot dan luasan kurang dari 0,25
ha tidak didelineasi. Selain itu, interpretasi yang dilakukan hanya pada lahan bervegetasi yang mempunyai sagu lebih dari 30 persen. Lahan-lahan berupa
kebun yang ditanami penyulaman sagu oleh Dinas Kehutanan tidak dapat dideteksi dari citra karena tutupan lahannya dominan 30 persen bukan sagu
dan tidak adanya data peta mengenai sebaran sagu tanam. Untuk data lahan sagu dari Dinas Kehutanan sangat besar karena hasil interpretasi citra yang
digunakan untuk menghitung luasan sagu adalah hasil interpretasi tutupanpenggunaan lahan citra Landsat. Tutupan lahan berupa rawa dianggap
sebagai habitat sagu walaupun kenyataannya rawa belum tentu ada sagu sehingga hasil hitungan terlalu besar. Selain itu, data luas penanaman sagu di
setiap kegiatan sagu dari dinas merupakan penjumlahan luas penanaman sagu seluruh kegiatan tanpa melihat tumpangtindih pada lokasi yang sama termasuk
dengan lahan dusun sagu masyarakat.
Tipe Sagu
Setelah pemetaan sebaran sagu, dilakukan lagi interpretasi lebih rinci berupa tahap analisis untuk mengetahui sebaran tipe sagu yang ada di setiap
hamparan sagu. Resolusi spasial pada tingkat analisis ini tidak lebih tinggi lagi dari pada tahap identifikasi sagu. Mengacu klasifikasi tipe sagu menurut
Matanubun et al. 2008, ditemukan 4 empat tipe sagu yaitu areal hutan sagu budidaya masyarakat setempat biasa menyebutnya dusun sagu, hutan sagu
alam, rawa sagu, dan sagu campuran. Pembagian tipe sagu tersebut berdasarkan tempat tumbuh dan pengaruh dari aktivitas manusia. Sagu di lokasi
penelitian ditemukan tumbuh di daerah tergenang permanen, tergenang sesaat hingga daerah tidak tergenang kering. Ada yang murni hanya sagu saja
maupun bercampur tumbuh dengan tanaman lain. Ada yang telah dibudidayakan dan belum dibudidayakan.
Hutan sagu budidaya dusun sagu merupakan hutan sagu yang telah dimanfaatkan atau dikelola oleh masyarakat. Rawa sagu adalah rawa permanen
yang ditumbuhi sagu. Hutan sagu adalah hamparan hutan yang ditumbuhi sagu sagu 80
– 100 persen dan diselingi pohon hutan lainnya. Hutan sagu campuran merupakan hutan sagu sagu 30
– 80 persen yang diantaranya terdapat beberapa jenis-jenis pohon lainnya menyebar dalam jumlah yang tidak
terlalu banyak Matanubun et al., 2008. Sebaran tipe sagu diperoleh dari interpretasi citra disesuaikan dengan
hasil pengamatan kondisi sagu pengamatan lapang dan wawancara masyarakat. Saat interpretasi sebaran tipe sagu lebih mudah karena telah
diketahui sebaran lahan bervegetasi sagu. Cakupan lokasi penelitian menggunakan beberapa lembar citra dengan resolusi spasial citra tinggi Citra
GeoEye namun kondisi kecerahan citra yang berbeda-beda menimbulkan kesulitan dalam interpretasi. Tingkat kecerahan citra tergantung pada keadaan
cuaca saat pengambilan gambar, waktu pengambilan pagi, siang atau sore dan sebagainya. Kesulitan saat interpretasi citra secara visual karena
kemampuan mata membedakan warna yang terbatas. Penggunaan layanan gratis dari Google Earth menyebabkan kecerahan citra tidak dapat diperbaiki
walapun resolusi spasialnya baik dan hanya bisa interpretasi secara visual. Kesulitan ini diatasi dengan menambah titik pengamatan titik GPS.
Kesulitan awalnya ditemukan untuk membedakan sagu hutan dan sagu rawa pada daerah peralihan yang lebar antara tipe tersebut. Keterbatasan mata
pada interpretasi visual menyebabkan perbedaan batas di daerah peralihan sagu rawa dan sagu hutan hanya diperkirakan di tengah-tengah daerah peralihan
tersebut. Demikian pula untuk membedakan hutan sagu dan dusun sagu. Pada kondisi sagu dusun yang terawat mudah dibedakan dengan hutan sagu karena
perbedaan permukaan tekstur tajuk tanaman yang mencolok. Tekstur tajuk dusun sagu yang terawat lebih kasar dibandingkan dengan hutan sagu karena.
Kesulitan ditemukan saat membedakan hutan sagu dan dusun sagu yang tidak terawat. Penampakan tekstur kanopinya hampir sama. Kesulitan ini diatasi
dengan bantuan hasil wawancara dengan penduduk untuk membantu membedakan dusun sagu dan hutan sagu.
Interpretasi citra untuk membedakan tipe-tipe areal sagu menggunakan beberapa unsur interpretasi yakni warna, tekstur, pola dan ukuran. Di lapangan
tipe sagu dikenali dari tempat tumbuh, tegakan dan posisinya. Perbedaan
penampakan masing-masing tipe sagu dari citra dan di lapang disajikan pada Tabel 16.
Penampakan warna sagu pada citra GeoEye nampak jelas pada berbeda pada hutan sagu dengan rawa sagu sedangkan hutan sagu dan dusun sagu
tidak semuanya dapat dibedakan. Dusun sagu nampak berwarna hijau ketuaan sedangkan rawa sagu berwarna hijau muda dan rawa sagu berwarna hijau muda
kekuningan. Perbedaan warna ini karena tempat tumbuh yang berbeda. Warna daun sagu pada dusun sagu lebih hijau ketuaan karena tempat tumbuhnya lebih
kering sehingga pertumbuhannya lebih baik dibandingkanpada hutan sagu. Sagu pada hutan sagu yang lebih hijau muda karena air tanah lebih dangkal sehingga
agak terganggu pertumbuhannya walaupun tidak tergenang seperti rawa sagu. Rawa sagu yang berada di tempat tumbuh yang tergenang menyebabkan
pertumbuhannya terhambat sehingga warna daun lebih berwarna hijau kekuningan.
Tekstur tajuk nampak pada dusun sagu lebih kasar dibandingkan hutan sagu. Pada rawa sagu tekstur tajuk lebih halus. Selain itu, ketinggian tajuk pada
dusun sagu lebih tinggi dibandingkan hutan sagu . Rawa sagu memiliki tinggi tajuk paling rendah karena tidak memiliki tegakan pohon. Di lapang, hal ini dapat
dilihat bahwa tajuk tegakan pohon lebih besar. Jumlah tegakan pohon lebih bnayak, diameter dan tinggi batang pohon pada dusun sagu lebih besar
dibandingkan hutan sagu. Hal ini karena jenis sagu yang ditanam pada dusun sagu berbeda dan tempat tumbuhnya lebih kering sehingga pertumbuhan sagu
lebih baik dibandingkan pada hutan sagu yang tempat tumbuhnya lebih basah dan hanya ada jenis sagu hutan dan belum dibudidaya. Hutan mempunyai
jumlah tegakan pohon sangat sedikit dan diameter, tinggi dan lebar tajuk lebih kecil. Pada rawa sagu, tegakan pohon tidak ditemukan hanya berupa tegakan
semai. Dusun sagu dengan dusun sagu campuran dapat diketahui dari
penampakan tajuk. Pada dusun sagu umumnya tajuk berbintang yang terlihat dominan 80 persen sagu sedangkan dusun sagu campuran, tajuk bintang
bercampur dengan tajuk vegetasi lainnya. Hasil analisis sebaran tipe sagu yang ada di setiap daerah sagu disajikan Tabel 17 dan Gambar 16.
Tabel 16. Perbedaan penampakan tiap tipe sagu
Tipe Penampakan
Citra GeoEye Di lapangan
Dusun sagu a Warna hijau tua, permukaan kanopi nampak lebih kasar,
diameter tajuk lebih besar, tinggi tajuk lebih tinggi dan berada dekat dengan pemukiman
Tanah lebih kering dan tidak rapat, jumlah tegakan pohon lebih banyak, tinggi dan diameter batang tegakan pohon lebih besar,
warna daun lebih hijau tua.
Hutan Sagu alam b
Warna lebih hijau muda, rapat dan permukaan kanopi agak kasar, berada agak jauh dari pemukiman setelah dusun sagu
Tanahlebih basah, rumpun rapat, hanya ditemukan beberapa tegakan pohon dengan tinggi dan diameter batang tegakan
pohon lebih kecil, warna daun lebih terang
c
a
a b
a
b
Rawa sagu c Warna lebih hijau kekuningan, permukaan kanopi Lebih halus
dan lebih rendah dari sagu alam Tempat tumbuh rawa tergenang, tidak ditemukan tegakan
pohon hanya anakan.
Sagu campuran d
berselang-seling dengan pohon hutan lainnya, permukaan kanopi bercampur bukan saja bintang sagu. Berada paling
dekat dengan pemukiman dan jalan Tanah lebih kering dari dusun sagu dan rumpun sagu
berselangseling dengan tanaman lain, banyak tanaman lain di lantai hutan.
c a
c d
d
a d
Dusun sagu ditemukan pada semua hamparan sagu di lokasi penelitian. Ini berarti penduduk di sekitar daerah sagu semua memanfaatkan hutan sagu
sebagai bagian dari kebutuhan hidup. Dusun sagu terluas terdapat di daerah Kehiran. Dusun sagu yang ditemukan ada yang murni dusun sagu dan ada juga
dusun sagu campuran dengan tanaman lain atau pohon hutan lainnya dusun sagu campuran. Hal ini dikarenakan dusun sagu murni yang sudah tidak terawat
ditanami dengan tanaman lainnya seperti kakao Theobroma cacao L, pinang, pisang Musa sp atau ditumbuhi pohon hutan. Banyak ditemukan di sekitar
perkampungan di daerah Kehiran. Dusun sagu campuran ini menjadi awal permulaan konversi lahan sagu ke penggunaan lain.
Tabel 17. Luas lahan tipe hutan sagu yang ada setiap hamparan
Tipe Daerah
Luas Harapan
Kehiran Maribu
Sosiri Hektar
Persen Dusun Sagu
Campuran 604,4
0,0 604,4
20,8 Dusun Sagu
247,3 777,5
48,1 91,698
1164,6 40,0
Hutan Sagu Campuran
14,9 14,9
0,5 Hutan Sagu
942,7 136,1
1078,8 37,1
Rawa Sagu 4,3
42,8 47,1
1,6 Luas
251,6 2367,4
199,2 91,7
2909,8 100,0
Hutan sagu alam hanya tersisa di daerah Kehiran dan Maribu sedangkan daerah Harapan dan Sosiri tidak ditemukan lagi. Walaupun sebelumnya daerah
Harapan dan Sosiri juga mempunyai hutan sagu alam dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk yang memanfaatkan sagu dan terbatas luasan
hutan sagu maka hutan sagu alam telah digantikan dengan hutan sagu budidaya dusun sagu. Hutan sagu terluas terdapat di daerah Kehiran. Pada daerah
Maribu ditemukan hutan sagu campuran dengan pohon hutan lainnya selain hutan sagu murni. Hutan sagu campuran ditemukan secara berangsur-angsur ke
arah daerah yang semakin kering. Daerah yang kering populasi sagu semakin berkurang dikarena kecepatan tumbuhnya kalah dengan pohon hutan.
Areal rawa sagu ditemukan sporadis pada pinggiran danau dan rawa permanen yang tidak kering sepanjang tahun dalam luasan yang sempit. Pada
daerah Maribu tidak ditemukan rawa sagu. Secara keseluruhan areal tipe sagu yang paling luas ditemukan yakni dusun sagu dan yang paling sedikit luasnya
yakni rawa sagu.
57 Gambar 16. Sebaran tipe sagu
Secara aktual, dusun sagu merupakan tipe areal sagu yang telah dibudidayakan dan menghasilkan pangan sagu walaupun teknik budidaya dari
pembukaan lahan, pemeliharaan dan pemanenan masih sederhana. Teknik pembukaan areal dusun sagu baru umumnya dipilih dari areal hutan sagu yang
dekat dengan dusun sagu yang telah ada dengan luas yang sempit kurang dari 0,25 ha. Areal hutan sagu dibersihkan dengan cara membakar sagu saat musim
kemarau hingga tidak ada lagi tanaman di atasnya. Setelah bersih, ditanami dengan anakan sagu yang berasal dari dusun sagu yang telah ada. jenis-jenis
sagu yang ditanam beberapa jenis dan bercampur tanpa jarak tanam teratur. Pemeliharaan hanya berupa pembersihan daun-daun tua dan menanam kembali
bekas tegakan yang telah dipanen dengan anakan baru menyulam.
Kondisi lingkungan sagu
Wilayah sebaran sagu di lokasi penelitian dapat dikelompokkan ke dalam ekosistem rawa swamp dan hutan hujan lahan rendah lowland rainforest,
Bentuk lahan wilayah ini terdiri atas 1 rawa lahan rendah dan 2 dataran lahan rendah.
Daerah Harapan meliputi ekosistem rawa belakang dan dataran banjir, terletak secara sporadis di pinggiran danau Sentani. Rawa belakang back-
swamp dan dataran banjir dengan lereng kurang dari 2 persen. Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi yang telah mati, dengan lapisan bahan
organik yang mempunyai kematangan fibrik –hemik. Bentuk wilayahnya datar
sampai agak datar, dengan drainase sangat terhambat. Tanah pada daerah ini terdiri atas tanah mineral, mineral bergambut dan gambut. Tanah ini dapat
diklasifikasikan sebagai Inceptisols dan Histosols. Inceptisols pada daerah ini mempunyai lapisan atas yang kaya akan bahan organik, berwarna hitam
kecoklatan sampai coklat. Kedua ordo tanah ini berasosiasi dengan batas yang lebih jelas ke arah danau Sentani. Tanah Histosols dengan luasan meningkat
cenderung terletak lebih dekat ke arah danau Sentani. Sagu tumbuh lebih baik pada tanah Inceptisols yang mempunyai drainase sangat terhambat dari pada
tanah Histosols yang mengalami genangan dalam periode yang lama maupun permanen.
Daerah Kehiran meliputi dataran aluvium berdrainase sangat terhambat, air tanah sangat dangkal. Tanah mineral dan mineral bergambut berwarna
coklat terang ditemui pada areal ke arah danau Sentani. Tekstur liat berlempung
sampai pasir liat berdebu. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai Aquepts dan Humaquept. Aquepts adalah
Subordo dari Ordo Inceptisols yang mempunyai air tanah berada di dalam kedalaman 100 cm dari permukaan tanah. Humaquepts adalah Subordo dari
ordo Inceptisols yang mempunyai horison histic. Tanah-tanah seperti ini relatif tidak subur.
Daerah Sosiri meliputi ekosistem tanah mineral bergambut kearah danau Sentani, sedangkan ke arah perbukitan hanya terdiri atas tanah mineral
berdrainase sangat terhambat sampai agak terhambat. Tekstur tanah sangat beragam mulai dari liat berlempung, lempung liat berpasir sampai lempung.
Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi yang telah mati, dengan lapisan bahan organik yang mempunyai kematangan fibrik
–hemik. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar. Asosiasi antara Aquept dan Hemist
berangsur-angsur ditemui pada areal pengamatan ke arah danau. Inceptisols pada kawasan ini mempunyai lapisan atas yang kaya akan bahan organik,
berwarna coklat tua. Sagu tumbuh lebih baik pada tanah Aquepts yang mempunyai drainase sangat terhambat atau tidak mengalami genangan
permanen. Daerah Maribu meliputi ekosistem rawa semi permanen ditemui pada
cekungan-cekungan dengan luasan sempit di antara tanah mineral. Tekstur lempung, liat berlempung, lempung liat berpasir, lempung berpasir sampai pasir.
Bahan induk tanah berasal dari aluvium dan vegetasi hutan sagu, pandanus dan vegetasi hutan campuran yang belum terdekomposisi sempurna dan mempunyai
kematangan fibrik –hemik. Bentuk wilayahnya datar sampai agak datar, dengan
drainase sangat terhambat sampai baik. Air tanah ditemui pada kedalam 10 cm- 50 cm dari permukaan. Tanah pada daerah ini terdiri atas tanah mineral, mineral
bergambut dan gambut. Tanah ini dapat diklasifikasikan sebagai Entisols, Inceptisols dan Histosols yang berasosiasi pada luasan yang sempit. Tanah
lapisan atas berwarna hitam sampai coklat kemerahan.
Tegakan sagu
Secara alami, semua fase pertumbuhan tipe tegakan sagu semaian, tiang, pohon dan pohon siap panen ditemukan pada semua tipe areal sagu di
setiap sebaran sagu kecuali rawa sagu. Pada rawa sagu hanya ada semai dan tiang sedangkan fase batang gagal terbentuk. Fase batang gagal terbentuk
dikarenakan sagu tumbuh di lahan yang tergenang permanen. Menurut Flach 1977, 1983 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1992 apabila
genangan merendam akar nafas terus menerus, pertumbuhan sagu terhambat dan dengan sendirinya akan menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati
dalam pokok batangnya. Terkadang ditemukan tegakan pada dusun sagu hanya semai dan tiang sedangkan pohon termasuk pohon siap panen sudah tidak ada
lagi. Tegakan siap panen termasuk tegakan pohon yang belum siap panen tersebut telah ditebangi untuk diambil patinya dipanen karena lahan dusun
sagu tersebut telah dijual. Kondisi rumpun paling padat ditemukan pada areal tipe hutan sagu
dibandingkan areal tipe sagu lainnya dikarenakan jenis sagu hutan mempunyai banyak anakan dibandingkan jenis sagu lainnya. Rumpun paling sedikit
ditemukan pada tipe areal dusun sagu campuran dan hutan sagu campuran. Dusun sagu yang tidak dirawat atau segaja ditanami tanaman budidaya
didalamnya, menyebabkan tanaman sagu ternaungi dari sinar matahari. Demikian pula dengan hutan sagu campuran yang berada dilahan kering
menyebabkan banyak pepohonan hutan lainya tumbuh. Menurut Flach dan Scuiling 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1992, tanaman sagu
memerlukan sinar matahari banyak atau tidak tahan naungan sehingga pertumbuhannya kalah bersaing dalam memperoleh sinar matahari dengan
tanaman lainya. Dari berbagai tipe areal sagu yang ditemukan hanya tipe dusun sagu saja
yang telah dibudidaya dan menghasilkan pangan sedangkan tipe lainnya tidak umum dimanfaatkan. Oleh karnanya, pengamatan potensi tegakan dan
kerapatan hanya pada areal dusun sagu. Hasil pengamatan potensi tegakan dan kerapatan di dusun sagu setiap sebaran sagu disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Jumlah siap panen dan kerapatan di daerah sagu
Daerah Jumlah siap panen Tegakanha
Kerapatan rumpunha Harapan
89 356
Kehiran 133
711 Sosiri
89 444
Maribu 133
1333
Tabel 18 menunjukkan bahwa semua sebaran mempunyai jumlah tegakan siap panen tergolong tinggi dibandingkan sagu budidaya umumnya 80
pohonhatahun. Hal ini dikarenakan sagu yang ada di lokasi penelitian tidak
ditanam menggunakan jarak tanam sehingga tidak teratur dan rapat. Jumlah tegakan siap panen tertinggi pada daerah Kehiran serta Maribu. Untuk kerapatan
rumpun tertinggi hanya pada daerah Maribu. Jika membandingkan jumlah siap panen terhadap kerapatan rumpun maka produktifitas tertinggi pada daerah
Kehiran dengan jumlah 133 tegakan siap panen pada kerapatan 711 rumpun.
Jenis Sagu
Jenis sagu yang dikenal oleh masyarakat berdasarkan ciri morfologi yang ada pada bagian tanaman sagu. Informasi tentang jenis sagu diperoleh lebih
banyak dari wawancara sedangkan pada saat pengamatan sagu survei lapang tidak semua jenis yang diketahui masyarakat setempat ditemui. Keragaman jenis
sagu antar kampung di dalam sebaran sagu sama jumlah jenisnya dikarenakan antar penduduk sering tukar menukar anakan sagu seperti saat acara adat
pernikahan. Pertukaran anakan sagu antar penduduk menyebabkan jumlah jenis yang ditemui tiap kampung bahkan sama di dalam daerah sebaran. Perbedaan
jumlah jenis sagu hanya antar daerah seperti disajikan Tabel 19. Tabel 19. Jenis-jenis sagu di sebaran sagu
Daerah Jenis Sagu
Harapan 7 jenis
Mambo, Layar, Super, Yamaha, Rondo, Mano Sagu Hutan Kehiran
18 jenis Osoghulu, Ebesung, Yebha, Follo, Wanni, Yaghalobe, Ruruna, Hobolo,
Phui, Fikhela, Rondo, Yakhali, Yoghuleng, Manno, Hili, Habela, phane,phara
Sosiri 12 jenis
Yeba, Bata, Para, Wani, Ojokuru, Nandea, Dondo, Ebenuksun, Yohari, Wakenoko, Manimo sagu hutan, Denah
Maribu 16 jenis
Kutusaipren, Kutuprup, Wani, Njam, Bakroy, Njamkut, Dasiabu, Dimisba, Wami 2, Marangkra, Yekrum, Srom, Dano, Emperi, Mamakutu, Dundu.
Hasil survei; Miftahorochman dan Novirianto 2003 Keragaman jenis-jenis sagu hanya pada areal dusun sagu sedangkan
pada areal rawa sagu, hutan sagu alam dan hutan sagu campuran hanya ada satu jenis saja yakni sagu hutan atau dikenal dengan nama sagu mano manino.
Berdasarkan tabel di atas, jenis sagu yang paling beragam terdapat pada daerah Kehiran 18 jenis sedangkan keragaman jenis pada daerah Harapan
yang paling sedikit 7 jenis. Jenis sagu yang ditemukan saat survei dan wawancara hanya 8 jenis dikarenakan responden yang diwawancara tidak
mengetahui secara pasti semua jenis sagu yang ada diakui masih ada jenis yang tidak diketahuinya. Oleh karenanya, jenis sagu pada daerah Kehiran disesuaikan
dengan hasil penelitian Miftahorochman dan Novirianto 2003. Nama-nama jenis sagu tiap daerah sebaran sagu tampak terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut
lebih banyak karena bahasadialek bahasa yang berbeda walaupun sebenarnya jenis sagu tersebut sama jenisnya seperti penyebutan jenis dondo di daerah
Sosiri, pada daerah Maribu disebut dundu sedangkan di daerah Kehiran dan daerah Harapan disebut rondo. Selain perbedaan bahasa dan dialek, tingkat
pemahaman untuk membedakan jenis sagu antar daerah berbeda-beda. Misalnya masyarakat di daerah Sosiri membedakan lagi jenis wani menjadi wani
dan wani 2.
Pemanfaatan Hutan Sagu
Pemanfaatan hutan sagu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang tinggal di areal sagu adalah sama yakni untuk kebutuhan hidup pangan dan
papan, tempat berburu hewan dan ikan serta bagian dari mas kawin untuk pernikahan. Dusun sagu merupakan tipe sagu yang paling banyak dimanfaatkan
terutama sebagai sumber pangan selain sumber bahan bangunan rumah pelepah dan kulit sagu, tempat berburu hewan dan ikan serta bagian dari mas
kawin untuk pernikahan. Hutan sagu tidak diambil pati sagunya hanya sebagai tempat untuk mencari ulat sagu dan memasang jerat untuk berburu hewan
terutama babi. Rawa sagu kadangkala dimanfaatkan sebagai tempat mencari ikan atau buaya. Perbedaan hanya pada intensitas pemanfaatannya saja. Jenis
pemanfaatan hutan sagu untuk pangan dan papan disajikan pada Tabel 20. Tabel 20. Pemanfaatan sagu
Pemanfaatan Kegunaan
Pati sagu Olahan makan
papedakapurung, sagu bakar Ulat sagu
Sumber lauk Jamur sagu
Sumber sayuran Daun
Atap Kulit
Lantai Dinding rumah Pelepah
- Tali jahit atap
- Tempat meremas sagu
- Dinding rumah dan pagar
Semua jenis sagu dapat diambil sebagai sumber bahan makanan, kecuali jenis Mano atau Manino jenis sagu hutan karena tidak umum dikonsumsi dan
hasil patinya sedikit. Diantara jenis sagu sebagai sumber makanan tiap-tiap masyarakat ada jenis yang sangat disukai. Sebagai contoh, masyarakat Sosiri
menyukai jenis Yeba dan Para karena warnanya putih dan produktifitasnya tinggi. Untuk masyarakat Maribu lebih menyukai jenis sagu Kutusaipren,
Kutuprup, Wani dan Njam. Sebagai sumber bahan makanan karbohidrat, sagu umumnya dijadikan sebagai makanan pokok yang diolah sebagai papeda
kapurung. Selain itu, dari tepung sagu dapat dibuat bahan makanan lain, seperti porno sagu bakar, kue-kue kering, ongol-ongol, dan lain-lain.
Selain empulurnya, dari sagu dapat juga diambil ulat sagu. Ulat sagu adalah organisme hidup yang terdapat pada batang sagu yang telah mati.
Umumnya masyarakat mengambil ulat sagu ini dari batang yang tidak diambil pati tidak dipanen. Ulat sagu ini dimakan karena enak rasanya dan
mengandung protein tinggi. Sebagai sumber makanan dari sagu adalah jamur sagu. Jamur sagu diambil dari tempat ampas sagu berada. Untuk
bahan bangunan, tidak semua jenis sagu bagian-bagian tanaman dapat digunakan
sebagai bahan rumah dengan baik. Sebagai contoh, daun sagu jenis Denah Sosiri lebih disukai untuk atap karena lebih awet dan lebar. Kulit sagu jenis
Wani pada kawasan Sosiri sangat baik untuk dinding atau lantai karena kuat. Sebagai sumber bahan makanan, bagian tanaman sagu yang diambil adalah
batangnya yaitu bagian empelurnya. Manfaat lain dari sagu adalah sebagai sumber pendapatan. Sebagai
sumber pandapatan, sagu diambil tepungnya kemudian dijual di pasar. Untuk ini tepung ditempatkan dalam karung yang dahulu menggunakan daun sagu yang
diayam disebut tumang. Selain dijual di pasar, adakalanya orang atau pedagang memesan langsung ke rumah-rumah. Satu karung beras 20 kg tepung sagu
dijual seharga Rp. 300.000.-. Tidak setiap waktu secara periodik orang menjual tepung sagu. Memanen sagu untuk di jual, hanya pada saat membutuhkan biaya
untuk rumah tangga atau pendidikan anak. Masyarakat Sentani umumnya harus menggunakan sagu untuk acara -
acara adat. Pertemuan-pertemuan adat, ibadah orang meninggal, syukuran, pernikahan, mas kawin salah satu makananbahan makanan adalah sagu. Hal ini
menunjukkan sagu merupakan simbol legalitas untuk acara-acara adat.
Dari hasil wawancara didapatkan tingkat pemanfaatan masing-masing kampung di tiap daerah sebaran sagu berdasarkan kriteria pemanfaatan hutan
sagu. Tingkat pemanfaatan masing-masing kampung di tiap daerah sebaran sagu disajikan pada Tabel 21 Gambar 17.
Tabel 21 menunjukkan bahwa tingkat pemanfaatan sangat rendah tidak ditemukan. Ini berarti semua kampung yang berada di daerah sebaran sagu di
lokasi penelitian
memanfaatkan hutan
sagu. Kecenderungan
tingkat pemanfaatan hutan sagu oleh penduduk semakin berkurang dengan semakin
dekatnya letak kampung dengan pusat kota Sentani. Kampung di daerah Harapan dan Kehiran yang letaknya paling dekat dengan pusat kota masih
ditemukan intensitas pemanfaatan hutan sagu masih tinggi hingga sangat tinggi. Hal ini dikarenakan aksesibilitas kampung-kampung tersebut untuk menuju pusat
kota harus menyeberang danau hingga perlu biaya yang lebih mahal. Oleh karenanya kampung-kampung tersebut masih sangat tergantung pada hutan
sagu. Kampung Panjang Rejo pada daerah Maribu tingkat pemanfaatan rendah dikarenakan daerah ini merupakan eks transmigran sehingga hanya sebagian
besar penduduknya berasal dari luar papua Pulau Jawa yang tidak memanfaatkan hutan sagu.
Tabel 21. Tingkat pemanfaatan hutan sagu
No Daerah
sebaran sagu Kampung
Tingkat pemanfaatan
1 Harapan
- Kampung Asei Kecil - Kampung Asei Besar
- Kampung Nendali Menengah
Sangat Tinggi Rendah
2 Kehiran
- Kampung Sentani Kota - Kampung Ifar Besar
- Kampung Dobonsolo - Kampung Ifale
- Kampung Yoboy - Kampung Kwadeware
- Kampung Doyo Lama - Kampung Doyo Baru
- Kampung Donday - Kampung Babrongko
- Kampung Imporo Rendah
Tinggi Rendah
Menengah Sangat Tinggi
Tinggi Menengah
Rendah Sangat Tinggi
Sangat Tinggi Sangat Tinggi
3 Sosiri
- Kampung Sosiri Sangat Tinggi
4 Maribu
- Kampung Maribu - Kampung Panjang Rejo
Sangat Tinggi Rendah
65 Gambar 17. Tingkat pemanfaatan lahan sagu
Kebutuhan Lahan Sagu Untuk Pangan
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan. Perencanaan kebutuhan lahan pertanian pangan
berkelanjutan didasarkan pada pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk, pertumbuhan produktivitas serta kebutuhan pangan nasional.
Jumlah penduduk yang meningkat akan diiringi dengan peningkatan kebutuhan luasan lahan sagu untuk memenuhi kebutuhan pangan termasuk
pangan sagu. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Jayapura 10 tahun terakhir adalah 4,16 persen per tahun BPS, 2010. Sejauh ini tidak ada
program khusus dari pemerintah Kabupaten Jayapura yang ditunjukkan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat akan
diiringi dengan peningkatan kebutuhan konsumsi sagu. Kebutuhan konsumsi sagu dibuat dua skenario yakni skenario 1,
konsumsi aktual sagu rata-rata naik 1,27 persen per tahun berdasarkan Neraca Bahan Makanan NBM tahun 2008 dan skenario 2 berdasarkan standar Pola
Pangan Harapan PPH yakni 15,11 kgkapitatahun. Konsumsi ideal sagu pada penetapan PPH sangat kecil bagian dari umbi-umbian hanya 6 persen
dibandingkan beras mencapai 50 persen. Hal ini menyebabkan ada kecenderungan usaha penurunkan konsumsi sagu aktual yang masih tinggi
17,95 kgkapitatahun dari standar ketersediaannya menjadi 15,11 kgkapitatahun. Penetapan PPH bersifat nasional tanpa melihat keragaman
pangan tiap daerah. Oleh karenanya pemerintah belum mempunyai kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sagu karena masih dianggap tinggi jika
dibandingkan dengan konsumsi ideal bahkan cenderung menurunkan konsumsi hingga mencapai konsumsi ideal PPH.
Data produktifitas sagu diperoleh dari hasil wawancara dengan cara menghitung kemampuan petani sagu di lokasi penelitian untuk memanen sagu.
Tiap pohon rata-rata diperoleh 184 kg tepung sagu dan tiap hektar rata-rata dapat dipanen 48 pohonhatahun maka dari setiap hektar akan diperoleh 8,8 ton
tepung saguhatahun. Kebutuhan luas lahan sagu hingga tahun 2030 berdasarkan jumlah penduduk di lokasi penelitian dan kontribusinya untuk tingkat
lebih tinggi tersaji pada Tabel 22 dan Gambar 18.
Tabel 22. Proyeksi kebutuhan luasan sagu di lokasi penelitian
Tahun ke
Tahun Kebutuhan luas
Surplus Lahan Skenario 1
ha Skenario 2
ha Skenario 1
ha Skenario 2
ha 1
2011 152,2
123,3 1012,4
1041,3 2
2012 160,5
128,5 1004,1
1036,1 3
2013 169,3
133,8 995,3
1030,8 4
2014 178,6
139,4 986,0
1025,2 5
2015 188,4
145,2 976,2
1019,4 6
2016 198,7
151,2 965,9
1013,4 7
2017 209,6
157,5 955,0
1007,1 8
2018 221,1
164,0 943,5
1000,6 9
2019 233,2
170,9 931,4
993,7 10
2020 246,0
178,0 918,6
986,6 11
2021 259,5
185,4 905,1
979,2 12
2022 273,7
193,1 890,9
971,5 13
2023 288,7
201,1 875,9
963,5 14
2024 304,5
209,5 860,1
955,1 15
2025 321,2
218,2 843,4
946,4 16
2026 338,9
227,3 825,7
937,3 17
2027 357,4
236,7 807,2
927,9 18
2028 377,0
246,6 787,6
918,0 19
2029 397,7
256,8 766,9
907,8 20
2030 419,5
267,5 745,1
897,1
Kecukupan lahan sagu di suatu wilayah dapat diketahui dengan memperbandingkan ketersediaan lahan sagu dan kebutuhannya. Lahan yang
menghasilkan sagu dusun sagu di lokasi penelitian luas 1.164,6 hektar. Luasan dusun sagu yang digunakan adalah luas dusun sagu aktual yang ada di
lokasi penelitian dan belum melihat arahan pemanfaatan ruang pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW yang ada peruntukan untuk hutan
lindung, sempadan danau dan kawasan budidaya. Kebutuhan untuk lahan sagu untuk memenuhi konsumsi sagu saja berdasarkan jumlah penduduk di lokasi
penelitian hingga 20 tahun akan datang berdasarkan skenario 1 dan skenario 2 masing-masing 419,5 ha dan 267,5 ha.
Gambar 18. Proyeksi kebutuhan luasan sagu Secara umum kebutuhan sagu untuk konsumsi saja berdasarkan luas
lahan sagu yang menghasilkan dusun sagu masih tercukupi. Jika dibandingkan luas lahan yang menghasilkan sagu dengan kebutuhan lahan, hanya terpakai
36,0 persen untuk konsumsi aktual dan 23,0 persen untuk konsumsi ideal PPH hingga 2030 untuk penduduk di lokasi penelitian. Masih terdapat kelebihan
lahan seluas 745,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual dan 897,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual.
Kelebihan luasan sagu yang ada setelah mencukupi kebutuhan lahan sagu di daerah penelitian dapat digunakan untuk kontribusi kebutuhan pangan
sagu daerah di tingkat lebih tinggi. Kelebihan lahan sagu dapat digunakan untuk kontribusi pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura. Kontribusi kebutuhan
lahan sagu untuk Kabupaten Jayapura dihitung menggunakan data konsumsi kebutuhan pangan dan asumsi produktifitas sagu seperti pada tingkat lokasi
penelitian. Berdasarkan data BPS Jumlah penduduk Kabupaten Jayapura hingga tahun 2010 mencapai 118.715 jiwa dengan laju rata-rata 4,16 persen dari tahun
2000 hingga 2009. Proyeksi penduduk Kabupaten Jayapura hingga tahun 2030 mencapai 279.400 jiwa sehingga kebutuhan luas lahan sagu 752,3 ha untuk
skenario 1 dan 479,7 ha untuk skenario 2 Tabel 23 dan Gambar 19. Kontribusi yang dapat diberikan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu di tingkat
Kabupaten Jayapura masih mencukupi bahkan masih ada surplus lahan 412,3 ha 35,4 persen untuk skenario 1 dan 684,9 ha 58,8 persen untuk skenario 2.
Tabel 23. Proyeksi kebutuhan luasan sagu Kabupaten Jayapura
No Tahun Kebutuhan luas
Surplus Lahan Skenario 1
ha Skenario 2
ha Skenario 1
ha Skenario 2
ha 1
2011 258,7
212,3 905,9
952,3 2
2012 272,9
221,2 891,7
943,4 3
2013 287,8
230,4 876,8
934,2 4
2014 303,6
239,9 861,0
924,7 5
2015 320,2
249,9 844,4
914,7 6
2016 337,8
260,3 826,8
904,3 7
2017 356,3
271,1 808,3
893,5 8
2018 375,9
282,4 788,7
882,2 9
2019 396,5
294,2 768,1
870,4 10
2020 418,2
306,4 746,4
858,2 11
2021 441,1
319,2 723,5
845,4 12
2022 465,3
332,4 699,3
832,2 13
2023 490,8
346,3 673,8
818,3 14
2024 517,7
360,7 646,9
803,9 15
2025 546,1
375,7 618,5
788,9 16
2026 576,1
391,3 588,5
773,3 17
2027 607,7
407,6 556,9
757,0 18
2028 641,0
424,5 523,6
740,1 19
2029 676,1
442,2 488,5
722,4 20
2030 713,2
460,6 451,4
704,0
Gambar 19. Proyeksi kebutuhan luasan sagu di Kabupaten Jayapura
Surplus lahan yang masih ada setelah dihitung untuk kebutuhan pangan sagu di lokasi penelitian dan ditingkat Kabupaten Jayapura dapat digunakan
untuk memasok kebutuhan pangan sagu di kabupaten lain di Propinsi Papua yang tidak memiliki lahan sagu. Kabupaten yang berada di dataran tinggi Papua
tidak memiliki lahan sagu dan tidak sesuai untuk budidaya sagu seperti Kabupaten Wamena, Puncak Jaya, dan Lani Jaya. Kabupaten-kabupaten ini
potensial untuk dijadikan tempat untuk memasarkan kelebihan produksi tepung sagu dari surplus lahan yang ada. Kelebihan tepung sagu tersebut juga dapat
dimanfaatkan dijual untuk kebutuhan industri selain untuk memenuhi kebutuhan pangan, sehingga nantinya sagu dapat disajikan sebagai sumber penghasilan.
Untuk meningkatkan kontribusi kebutuhan pangan sagu ditingkat Propinsi Papua perlu dilakukan intensifikasi untuk meningkatkan produktifitas.
Asumsi produktifitas yang digunakan pada proyeksi ini 8,8 tonhatahun masih sangat mungkin ditingkatkan menjadi 30 tonhatahun bahkan lebih tinggi lagi jika
dilakukan teknik budidaya sagu dengan baik dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan. Salah satu cara intensifikasi yakni penanaman jenis sagu unggul
yang menghasilkan pati tinggi. Jenis unggul lokal dapat digunakan seperti yang dilaporkan Saitoh et al. 2003, dalam Bintoro 2008 bahwa sagu unggul di
Sentani mengandung pati kering seberat 838 kgpohon dan Yamamoto melaporkan adanya sagu unggul juga di Sentani yang mengandung 947 kg pati
keringpohon. Kebutuhan luasan sagu untuk konsumsi sagu di atas akan berkurang jika
tidak ada kebijakan pemerintah kabupaten jayapura untuk meningkatkan jumlah konsumsi sagu dimasyarakat, karena ada kecenderungan konsumsi sagu
semakin menurun setiap tahunnya yang beralih ke beras. Seperti yang dilaporkan Hutapea 2003 bahwa konsumsi sagu di Papua berkurang dari 126
kgkapitatahun pada 1994 menjadi 95,53 kgkapitatahun pada 1997. Salah satu penyebabnya adalah kesan inferior yang melekat pada sagu dan program beras
murah untuk rakyat miskin raskin. Untuk itu perlu upaya mengubah bahan pangan sagu menjadi makanan yang popular dan mengganti beras murah
menjadi pangan murah .
Demikian pula dengan produktifitas sagu jika ditingkatkan dari asumsi yang dibuat akan mengurangi luas sagu yang
dibutuhkan. Konversi lahan potensial sagu ke penggunaan lain sangat mudah terjadi
karena lahan potensial sagu merupakan lahan datar yang mempunyai daya jual
tinggi dibandingkan lahan tidak datar. Perlu adanya pengawasan lahan-lahan potensial sagu sehingga tetap terjaga penggunaannya.
Perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di atas mempunyai beberapa kekurangan karena asumsi yang digunakan dan keterbatasan memperoleh data
yang valid. Data luasan sagu yang digunakan adalah data luasan lahan dusun sagu berupa hamparan. Kenyataanya luasan dusun sagu yang ada di lokasi
penelitian lebih luas. Lahan-lahan dusun sagu atau yang bercampur dengan vegetasi dusun sagu campuran yang sempit hanya terdapat beberapa rumpun
sagu lain tidak dihitung karena kesulitan mendelineasi secara visual disebabkan keterbatasan mata merinci warna.
Asumsi luas lahan yang digunakan dalam proyeksi kebutuhan lahan sagu hanya lahan dusun sagu. Padahal lahan yang berproduksi menghasilkan sagu
selain dusun sagu adalah dusun sagu campuran. Walaupun terdapat sagu dan dimanfaat untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu namun secara bertahap
dusun sagu campuran akan berubah menjadi lahan pertanian lain karena ditanami komoditas yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi seperti tanaman
kakao pada saat ini sehingga tidak dipilih dalam penentuan luasan LP2B. Oleh karenanya, dusun sagu campuran tidak dimasukkan dalam menghitung
kebutuhan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Data konsumsi aktual sagu yang digunakan diperoleh dari laporan
Neraca Bahan Makanan NBM. merupakan hasil perbandingan produksi sagu dengan jumlah penduduk. Data yang digunakan hanya menggambarkan
konsumsi rata-rata
penduduk seluruh
Kabupaten Jayapura,
tidak menggambarkan pola konsumsi sagu masyarakat yang sebenarnya. Tidak
adanya data jumlah penduduk berdasarkan suku dan data produksi sagu di setiap distrik di Kabupaten Jayapura sehingga sulit menghitung konsumsi aktual
sagu. Padahal tidak semua penduduk di Kabupaten Jayapura mengkonsumsi sagu. Penduduk di Kabupaten Jayapura terdiri dari penduduk asli Papua dan
penduduk pendatang luar Papua. Kebanyakan yang mengkonsumsi pangan sagu sehari-hari hanyalah penduduk asli Sentani dan penduduk asli lainya yang
berasal dari pesisir Papua. Penduduk yang berasal dari luar Papua dan penduduk asli papua dari daerah pengunungan tidak dominan mengkonsumsi
sagu. Data produksi sagu yang tercatat dalam NBM hanya data sagu yang dijual di pasar sedangkan produksi sagu yang langsung dikonsumsi tidak dihitung.
Oleh karenanya data konsumsi sehari-hari sagu pada penduduk asli Papua masih lebih tinggi lagi dari pada data komsumsi aktual di NBM.
Arahan Pengembangan Lahan Pertanian Sagu
Arahan pengembangan lahan pertanian sagu memberi informasi lokasi ketersediaan lahan sagu yang sesuai berdasarkan aspek fisik untuk
pengembangan pertanian pangan sagu didasarkan pada kesesuaian lahan, rencana pemanfaatanpenggunaan ruang RTRW dan penggunaan saat ini.
Kesesuaian lahan untuk sagu diperlukan untuk mendapatkan lahan-lahan potensial yang sesuai untuk sagu selain lahan yang telah ada tanaman sagunya
lahan aktual sagu. Kesesuaian lahan tersebut dinilai untuk kondisi saat ini kesesuaian lahan aktual dan belum mempertimbangkan tingkat pengelolaan
serta faktor penghambat berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan yang berhubungan dengan persyaratan tumbuh tanaman sagu. Standar
penilaian kesesuaian untuk tanaman sagu hingga saat ini belum tersedia sehingga pendekatan yang dilakukan berdasarkan hasil-hasil penelitian tentang
tempat tumbuh sagu alam. Kriteria yang dihasilkan untuk penilaian kesesuaian lahan sagu diklasifikasikan menjadi sesuai dan tidak sesuai karena terbatasnya
data atau informasi tentang penilaian. Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1992 mengusulkan dalam
pengharkatan lahan sagu menggunakan dua kriteria pembeda harkat yaitu tegakan dan sifat-sifat lahan. Sifat-sifat lahan sagu terdiri dari sifat-sifat tanah
dan perilaku hidrologi lahan tempat tumbuh sagu. Lebih lanjut menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1992 tanaman sagu berupa hamparan
tumbuh ditempat datar hingga ketinggian 700 m dpl namun idealnya kurang dari 400 m dpl. Sagu tumbuh di antara tanah-tanah mineral dan gambut yang berada
di dataran rawa, pasang surut, dataran banjir, cekungan dan lembah sungai yang terpenting dari tanah adalah kedalaman air tanah kurang dari 100 cm atau tidak
tergenang permanen. Hasil pengecekan lapang diperoleh bahwa sebaran sagu ditemukan hingga pada lahan berlereng 15 . Hal tersebut diperoleh setelah
menumpangsusunkan sebaran sagu dengan peta lereng dari dibuat dari citra Aster Gdem. Sebenarnya sagu tidak tumbuh pada lereng 15 dikarenakan
menggunakan peta lereng dari Aster Gdem yang kurang detail untuk maka lereng yang ada adalah lereng global. Pada lereng global tersebut, secara mikro
lebih detail terdapat tempat-tempat datar dengan lereng kurang dari 2 sehingga memungkinkan sagu tumbuh.
Berdasarkan sifat tempat tumbuh sagu tersebut di atas dilakukan pencarian tempat-tempat yang sama dengan tempat tumbuh sagu alam dengan
mengtumpangtindihkan peta kemiringan lereng, kontur, dan kedalaman air tanah dengan model SIG. Hasil penilaian kesesuian lahan sagu diperoleh lahan yang
sesuai untuk sagu sebesar 10,9 persen dari luas lokasi penelitian atau seluas 11.967,5 ha termasuk lahan bervegetasi sagu.
Untuk mengetahui peruntukan lahan sesuai sagu pada rencana tataruang Kabupaten Jayapura RTRW Kabupaten Jayapura, peta kesesuaian lahan untuk
sagu tersebut ditumpangtindihkan dengan peta rencana tata ruang RTRW Kabupaten Jayapura. Hasil tumpangtindih peta kesesuaian lahan sagu dan peta
RTRW diperoleh bahwa lahan sesuai untuk sagu berada kawasan lindung 523,1 ha 4,4 dan kawasan budidaya 11.422,0 ha 95,6 . Melihat besarnya luas
lahan yang ada di kawasan budidaya dan melebihi dari kebutuhan lahan sagu untuk pangan yang telah diproyeksikan maka pemilihan lahan untuk
pengembangan sagu cukup pada kawasan budidaya. Hal tersebut juga mempermudah untuk menambahkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
dalam RTRW nantinya. Setelah dikurangi dengan kawasan budidaya non pertanian dan kawasan lindung diperoleh lahan sesuai yang berada di kawasan
budidaya pertanian seluas 9.223,8 ha. Untuk mengetahui ketersediaan lahan yang dapat digunakan untuk penggunaanya pada kawasan budidaya pertanian
perlu tumpangtindih lagi dengan peta penggunaan lahannya. Hasil tumpangtindih peta lahan arahan pemanfaatan sesuai tutupanpenggunaan lahan pada
kawasan budidaya tersaji pada Tabel 24 dan Gambar 20. Tabel 24. Luas lahan berdasarkan tutupanpenggunaan lahan pada kawasan
budidaya
Penggunaan lahan Kawasan budidaya
Luas ha Campuran
Hutan Budidaya Hutan
20,2 246,0
266,2 Lahan pertanian
3819,1 1425,3
5244,4 Lahan Terbangun
645,2 115,4
760,6 Lahan Terbuka
288,0 51,4
339,4 Sagu
2219,4 263,4
2482,8 Semak
129,8 0,6
130,4 Luas ha
7121,7 2102,1
9223,8
74 Gambar 20. Arahan pemanfaatan untuk sagu
Dari Tabel di atas diketahui bahwa tutupanpengunaan saat ini lahan sesuai sagu yang berada di kawasan budidaya pertanian terdiri dari hutan, lahan
pertanian, lahan terbuka, lahan terbangun, semak dan sagu. Lahan terbangun merupakan lahan yang tidak lahan tersedia sehingga perlu dikeluarkan dalam
menghitung lahan tersedia. Setelah dikurangi lahan terbangun diperoleh lahan tersedia yang dapat dimanfaatkan untuk sagu seluas 8.463,2 ha. Lahan
pertanian merupakan penggunaan lahan pada terluas sedangkan tutupan berupa semak paling sedikit dari lahan tersedia.
Lahan terbangun yang ada di kawasan budidaya pertanian seharusnya tidak ada. Adanya lahan terbangun pada kawasan budidaya pertanian
menunjukkan penyimpangan rencana pemanfaatan ruang inkonsistensi. Hal ini jika tidak dikendalikan atau dilakukan pengawasan akan semakin banyak lahan
tersedia untuk sagu berubah penggunaanya menjadi lahan terbangun sehingga semakin mengurangi keberadaan lahan tersedia untuk sagu. Penggunaan lahan
berupa lahan terbangun tidak mungkin sulit berubah menjadi lahan pertanian lagi.
Pemanfaatan awal lahan sesuai arahan pengembangan sagu lebih baik memilih lahan yang sudah ada vegetasi sagu, terutama pada lahan sagu yang
telah dikelola oleh masyarakat untuk dikembangkan dengan intensifikasi. Selebihnya digunakan untuk perluasan lahan sagu ekstensifikasi nantinya.
Dalam upaya menjaga keberadaan lahan arahan tersebut dari penggunaan lain terutama lahan terbangun perlu adanya tindak lanjut setelah perencanaan dan
penetapan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Tindak lanjut yang diamanat pada ruang lingkup undang-undang ini yakni pembinaan,
pengendalian, pengawasan dan peran serta masyarakat. Salahsatu cara mengendalikan perubahan penggunaan lahan sagu
dengan melibatkan masyarakat adat. Hal ini karena masyarakat adat berpendapat bahwa tanah dan hutan dijaga oleh seseorang yang dianggap
kramat dan memiliki kekuatan yakni kepala suku atau kepala adat. Oleh karenanya kepemilikan tanah dan hutan di Papua secara umum berupa komunal
dan pribadi. Kepemilikan tanah adat komunal berdasarkan kepemilikan bersama dalam satu klen atau fam berupa hutan, sungai, atau tempat yang dikramatkan.
Kepemilikan tanah pribadi didasarkan pada keluarga inti seperti tanah kebun ladang atau pekarangan. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang
bersifat komunal diatur oleh seorang dituakan yakni kepala suku. Oleh karna itu
dalam aspek pembinaan dapat berupa pelibatan masyarakat adat terutama pelibatan tokoh adat dalam sosialisasi.
Dalam perkembangannya, beberapa kepala suku yang menjual tanah komunal kepihak luar pendatang sehingga masyarakat adat sekarang lebih
menghormati kepala suku yang mempunyai banyak harta. Harta yang banyak dilihat dari luas tanah, hutan, ladang dan jumlah babi. Penekanan yang harus
dilakukan terhadap pelestarian lahan sagu yaitu dengan menjadikan norma adat dan tradisi budaya masyarakat adat sebagai muatan dalam peraturan daerah
dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan nantinya.
Identifikasi dan pemetaan LP2B
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna
menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Perencanaan kawasan LP2B diharapkan dari lahan sagu yang
telah ada menghasilkan pangan sagu. Dari tipe sebaran sagu, lahan dusun sagu merupakan lahan pangan sagu
yang telah berproduksi secara aktual. Untuk itu, dalam menentukan LP2B dipilih sebaran sagu yang bertipe dusun sagu. Dusun sagu merupakan hutan sagu
yang telah ada kegiatan budidaya dan telah dimanfaatkan untuk menghasilkan produksi pangan sagu. Dusun sagu juga yang dipilih karena memiliki jenis sagu
yang paling beragam dan produktifitas paling tinggi sehingga dengan menetapkannya menjadi LP2B maka secara langsung menjaga keragaman
plasma dan memberdayakan petani sagu yang telah ada. lahan bervegetasi sagu diketahui tipe dusun seluas 1164,6 hektar atau 40,0 persen dari luas
lahan bervegetasi sagu. Lahan dusun sagu tersebut ada berada di kawasan lindung dan kawasan budidaya sedangkan Lahan yang akan diusulkan untuk
perencanaan LP2B berada di kawasan budidaya. Oleh karena itu, lahan dusun sagu yang akan dipilih menjadi LP2B hanya yang berada di kawasan budidaya
khususnya budidaya pertanian. Hasil tumpangsusun peta tipe dusun sagu dengan peta ketersediaan lahan diperoleh dusun sagu yang berada di kawasan
budidaya dan campuran yang akan dipilih menjadi LP2B seluas 950,1 ha atau 81,6 persen dari dusun sagu yang ada.
Penetapan LP2B berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 berdasarkan pertimbangan jumlah penduduk, produktifitas dan tingkat konsumsi.
Oleh karenanya, berdasarkan hasil proyeksi diketahui bahwa kebutuhan lahan sagu untuk ditetapkan sebagai LP2B di Kabupaten Jayapura sesuai skenario
yang telah dibuat seluas 590,2 hektar untuk konsumsi aktual skenario 1 dan 173,6 hektar untuk konsumsi ideal skenario 2. Dari luasan dusun sagu yang
akan ditetapkan untuk LP2B ternyata lebih luas 950,1 ha dari kebutuhannya 590,2 ha dan 173,6 ha maka perlu dilakukan urutan prioritas penetapan dusun
sagu yang akan ditetapkan menjadi LP2B. Urutan prioritas dilakukan dengan mempertimbangkan keragaman dari masing-masing dusun sagu yang ada.
Keragaman yang dipertimbangankan meliputi produktivitas rumpun dan pohon siap panen, jenis dan intensitas pemanfaatan.
Produktivitas sagu digambarkan dengan jumlah rumpun dan pohon siap panen per hektar. Semakin tinggi jumlah rumpun dan pohon siap panen per
hektar semakin tinggi pula produksi panennya. Diharapkan dusun sagu yang dipilih adalah dusun sagu yang mempunyai produktifitas yang tinggi sehingga
dusun sagu yang terpilih adalah dusun sagu yang memiliki rumpun dan pohon siap panen terbanyak.
Keragaman jenis mengambarkan banyaknya jenis sagu di setiap kawasan. Semakin banyak jenis sagu yang ditemukan semakin beragam plasma
nutfah sagu yang ada. Diharapkan dusun sagu yang terpilih memiliki jumlah jenis sagu tinggi sehingga keragaman plasma nutfa sagu yang ada tetap terjaga.
Intensitas pemanfaatan mengambarkan tingkat pemanfaatan masyarakat terhadap hutan sagu dari paling tinggi hingga tidak dimanfaatkan. Urutan
prioritas yang dipilih terlebih dahulu untuk menjadi lahan LP2B berturut-turut adalah sangat tinggi hingga sangat rendah. Hal ini dikarenakan lahan-lahan
yang pemanfaatannya masih tinggi berarti pemilik lahan memiliki mata pencaharian sebagai petani sagu sehingga lebih mudah dilakukan pembinaan
nantinya. Selain itu, lahan sagu yang masih tinggi pemanfaatannya tidak akan mudah terkonversi ke penggunaan lain dijual dikarenakan ketergantungan
penduduk masih tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masing-masing keragaman di atas ditumpangsusunkan sesuai skor dan
bobot yang telah dibuat sebelumnya sehingga memperoleh total bobot. Hasil tumpang susun berdasarkan total bobot pada masing-masing kampung tersaji
pada Tabel 25 dan Gambar 21. Berdasarkan hasil peringkat total bobot diperoleh urutan prioritas lahan-lahan sagu untuk usulan pengembangan menjadi LP2B.
Lahan-lahan sagu yang mempunyai bobot tertinggi 0,79 umumnya berada di
pinggiran danau sentani yang cukup jauh dari pusat pemerintahan sehingga tidak mudah terkonversi ke penggunaan lainnya. Selain letaknya yang cukup jauh dari
pusat pemerintahan, lahan sagu yang berada di pinggiran danau mempunyai peran yang penting sebagai penyangga Danau Sentani selain pertimbangan
keragaman sagunya. Tabel 25. Luas lahan usulan LP2B tiap kampung berdasarkan urutan prioritas
Kampung Total bobot
Luas ha
0,48 0,49
0,56 0,59
0,69 0,76
0,78 0,79
Asei Besar 119,4
10,3 129,7
Asei Kecil 15,8
15,8 Babrongko
73,1 73,1
Dobonsolo 75,6
75,6 Donday
10,4 10,4
Doyo Lama 0,2
0,2 Hinekombe
2,6 2,6
Ifale 123,3
123,3 Ifar Besar
114,3 114,3
Imporo 42,1
42,1 Kwadeware
1,6 1,6
Maribu 1,1
0,7 22,3
24,1 Nendali
47,2 47,2
Panjang Rejo 6,3
10,9 17,2
Sentani Kota 31,3
31,3 Sosiri
0,1 80,1
80,1 Yoboy
161,3 161,3
Luas ha 6,3 168,8
15,8 123,5 115,9 119,4
0,7 399,5
950,1 Semakin tinggi total bobot semakin tinggi urutan prioritas pengembangan LP2B
Sagu yang berada di pinggiran danau berperan secara fisik dan ekologi. Secara fisik lahan-lahan sagu sebagai penjaga garis Danau Sentani dan erosi
sehingga danau tidak mudah mengalami penyempitan dan pendangkalan. Angin yang bertiup langsung dari danau biasanya menyebabkan kerusakan daerah di
belakangnya dengan adanya sagu dapat mengurangi terpaan angin. Secara ekologi berperan sebagai tempat mencari makan feeding ground, tempat
memijah spawning ground dan tempat berkembang biak nursery ground berbagai jenis ikan, kerang dan biota danau lainnya selain sumber plasma nutfah
sagu yang sudah ada.
79 Gambar 21. Urutan prioritas LP2B
Selama hutan sagu dieksploitasi masih secara tradisional atau hanya untuk memenuhi kebutuhan penduduk setempat, masalah degradasi
pertumbuhan hutan sagu atau penurunan produksi tidak perlu dirisaukan. Nantinya setelah penetapan hutan sagu menjadi LP2B akan menjadikan hutan
sagu di \eksplotasi secara terus menerus sagu budidaya dan dalam jumlah yang besar sehingga perlu adanya pembudidayaan sagu. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 41 tahun 2009 setelah penetapan menjadi LP2B perlu adanya pengembangan hutan sagu meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan.
Intensifikasi Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan:
a.
peningkatan kesuburan tanah; b. peningkatan kualitas benihbibit; c. pendiversifikasian
tanaman pangan; d. pencegahan dan penanggulangan hama tanaman; e. pengembangan irigasi; f. pemanfaatan teknologi pertanian; g. pengembangan
inovasi pertanian; h. penyuluhan pertanian; danatau i. jaminan akses permodalan.
Tindakan pemuliaan perlu dilakukan agar sifat-sifat sagu baik dan berekonomi tinggi yang dikehendaki dapat dipertahankan. Contohnya jenis Para
dan Folo mempunyai produksi tinggi perlu dipertahankan. Pemupukan tidak pernah dilakukan pada hutan sagu karena tidak semua pohon dipanen untuk
diambil tepungnya. Bila pohon mati tanpa dipanen maka siklus hara masih di sekitar pohon tersebut. Oleh karena itu tanpa pemupukan produksi pati sagu
masih sangat tinggi. Namun jika sagu dikelola secara intensif maka pemupukan perlu dilakukan dalam tindakan pemeliharaan. Menurut Flach 1983 dalam
Bintoro 1999, dalam satu hektar di panen 136 batang, maka unsur hara yang terangkut sebanyak 100 kg N, 70 Kg P
2
O
5
, 260 Kg K
2
O, 200 Kg Ca
2
O dan 50 Kg MgO. Hama dan penyakit sagu pada hutan sagu belum mengganggu karena
masih dalam keadaan seimbang.
Identifikasi dan pemetaan LCP2B
Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan LCP2B adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya
tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang akan datang. Berdasarkan peta arahan
pemanfaatan lahan sagu diperoleh lahan potensial sagu seluas 7.488,7 ha Tabel 26.
Tabel 26. Luas lahan potensial berdasarkan tutupanpenggunaan di kawasan budidaya
Penggunaan lahan Kawasan budidaya
Luas ha Campuran
Hutan Budidaya Hutan
20,2 246,0
266,2 Lahan pertanian
3819,1 1425,3
5244,4 Lahan Terbuka
288,0 51,4
339,4 Sagu
1388,2 120,1
1508,3 Semak
129,8 0,6
130,5 Luas ha
5645,3 1843,4
7488,7
Lahan potensial sagu terdiri dari lahan yang telah ada tanaman sagunya lahan sagu maupun belum ada tanaman sagu lahan bukan sagu. Lahan
potensial sagu tidak bervegetasi sagu pengunaan atau tutupan lahannya berupa kebun, lahan terbuka, dan semak belukar namun sesuai untuk pertumbuhan
sagu. Lahan potensial bervegetasi sagu berupa lahan hutan sagu dan hutan sagu campuran. Lahan potensial sagu tersebut nantinya digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan sagu jika kebutuhan sagu yang telah ada usulan LP2B tidak mencukupi. Luas lahan sagu yang ada sekarang usulan LP2B
melebihi kebutuhan luas lahan pangan sagu berdasarkan proyeksi hingga tahun 2030. Oleh sebab itu, lahan cadangan yang disiapkan cukup dari lahan yang
telah ada vegetasi sagu yang tidak diusulkan menjadi LP2B. Selain untuk memudahkan pengawasan dan menyediakan ruang untuk penggunaan lainnya.
Dari segi kesesuaian lahan sagu, lahan yang telah ada tanaman sagunya kemungkinan lebih baik dibandingkan lahan potensial lainnya yang tidak
ditumbuhi sagu. Dari lahan potensial sagu diperoleh bahwa lahan bervegetasi sagu yang akan diusulkan menjadi LCP2B seluas 1.508,3 ha yang sebagian
besar peruntukannya di dokumen RTRW saat ini berada di kawasan budidaya campuran Gambar 22.
Saat ini lahan sagu tersebut belum dikelola untuk menghasilkan pangan sagu atau belum dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Lahan potensial
sagu LCP2B akan digunakan untuk ekstensifikasi, saat lahan LP2B sudah tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan penduduk. Diharapkan keberadaan lahan
potensial sagu LCP2B dijaga dari penggunaan yang akan merusak sehingga dapat digunakan lagi saat diperlukan.
82 Gambar 22. Sebaran LCP2B
Rawa sagu tidak diusulkan masuk dalam usulan LCP2B agar fungsi rawa sagu sebagai tempat cadangan air untuk daerah sekitarnya termasuk untuk
lahan sagu tetap terjaga dan tidak diubah menjadi lahan budaya sagu nantinya. Kesesuaian lahan rawa sagu saat ini aktual untuk budidaya tergolong tidak
sesuai karena tergenang permanen namun dengan teknik pengelolaan saluran drainase akan menjadikan kesesuaian lahan potensialnya menjadi sesuai
sehingga dikawatirkan nantinya rawa sagu akan diubah menjadi lahan budidaya sagu jika ditetapkan dalam usulan LCP2B. Agar tetap terjaga fungsi rawa sagu
dan dilindungi keberadaannya maka rawa sagu diusulkan dalam usulan penetapan KP2B. Keberadaan sagu rawa perlu dipertahankan karena
mempengaruhi keberadaan lingkungan sekitarnya termasuk lahan sagu. Hal ini karena habitat sagu rawa mempunyai peran ekologi untuk daerah sekitarnya
sebagai tempat sumber cadangan air. Peran dan manfaat hutan rawa sagu sebagai sumber cadangan air, dapat menyerap dan menyimpan kelebihan air
dari daerah sekitarnya sehingga tidak terjadi banjir dan akan mengeluarkan cadangan air tersebut pada saat daerah sekitarnya kering.
Identifikasi dan pemetaan KP2B
KP2B adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah pedesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian berkelanjutan LP2B dan
atau hamparan lahan cadangan pertanian berkelanjutan LCP2B serta unsur penunjang dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan
kedaulatan pangan nasional. Berdasarkan definisi tersebut pada UU Nomor 41 tahun 2009 maka pemetaan KP2B mencakup LP2B, LCP2B, rawa sagu dan
unsur penunjang. Unsur penunjang yang dimaksud adalah sarana prasarana yang mendukung aktivitas produksi pangan sagu seperti jalan, sumber air dan
tempat pengelolaan sagu. Hasil gabungan lahan LP2B, LCP2B, rawa sagu dan unsur penunjang yang berada di kawasan budidaya pertanian seluas 2.458,4 ha.
Untuk memudahkan pengelolaan KP2B tersebut, perlu adanya manajemen pengelolaan berupa pembagian KP2B. Penelitian Syamson 2011
pada lahan sawah di Kabupaten Barru mengindentifikasi manajemen pengelolaan KP2B berdasarkan 3 skenario yakni batas administrasi kecamatan,
kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal. Skenario pengelolaan berdasarkan batas kecamatan yang paling mudah dilaksanakan karena
kebijakan perencanaan pembangunan biasanya mengikuti batas-batas administrasi namun terbagi menjadi banyak kawasan. Sebaliknya, berdasarkan
kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal didapat luas hamparan yang terpadu sehingga keberlanjutan kawasan akan lebih terjaga, hambatan nantinya
adalah pengelolaannya sulit karena berada dalam beberapa wilayah administrasi.
Berdasarkan kriteria yang dikemukan oleh Syamson 2011 maka untuk memudahkan pengelolaan KP2B nantinya maka KP2B yang ada di lokasi
penelitian dibagi berdasarkan batas administasi dengan memperhatikan sebaran kepemilikan tanah adat yang bersifat komunal. Hal tersebut untuk mencegah
konflik pertanahan yang sering terjadi terkait kepemilikan bersifat komunal sering terjadi di Propinsi Papua. Penguasaan lahan di Propinsi Papua masih
didominasi penguasaan lahan komunal yang bersifat hak ulayat adat. Kepemilikan komunal merupakan kepemilikan tanah bersama berdasarkan
famklen atau lebih luas lagi berdasarkan suku dimana pengelolaannya dipercayakan pada orang yang disebut kepala suku atau kepala adat. Informasi
tentang sebaran kepemilikan lahan secara komunal hingga sekarang hanya ada sebaran berdasarkan suku atau bahasa yang dikeluarkan oleh SIL Summer
Insitute of Linguistics. Pada peta sebaran bahasa SIL, 2004, diketahui suku yang ada di lokasi penelitian terdiri dari dua suku yakni suku Sentani dan suku
Moi. Sebaran hak ulayat tanah adat suku Sentani menyebar pada Distrik Sentani, Sentani Timur, Waibu dan Ebungfauw dan suku Moi menyebar pada
Distrik Sentani Barat. Hasil pembagian diperoleh sebanyak 5 kawasan KP2B yang menyebar
sesuai batas distrik yang mencakup 2 kepemilikan hak ulayat tanah adat Gambar 23 dan Tabel 27. Lahan KP2B terluas terdapat di Distrik Sentani
seluas dan terkecil pada Distrik Ebungfauw. Kepemilikan hak ulayat terluas pada suku Sentani meliputi 4 distrik dan suku Moi hanya pada distrik Sentani Barat
saja. Tabel 27. Luas kawasan KP2B berdasarkan kepemilikan hak ulayat suku dan
distrik
Suku Distrik
Luas ha
Ebungfauw Sentani
Sentani Barat
Sentani Timur
Waibu Sentani
173,8 1.211,2
184,4 708,8
2.458,4 Moi
185,0 185,0
85 Gambar 23. Sebaran KP2B
Manajemen pengelolaan yang dibagi berdasarkan distrik dan hak ulayat akan membagi hamparan sagu menjadi beberapa kawasan karena berbeda
distrik dan kepemilikan hak ulayat tanah adat namun diharapkan akan mempermudah dalam pelaksanaan pengawasan nantinya. Pihak pemerintah
setempat pemerintahan tingkat distrik lebih mudah merencanakan sesuai wilayah kerja masing-masing dan menghindari terjadinya konflik tanah yang
tersering terjadi antar pemilik hak ulayat. Pemerintah dan masyarakat setempat masyarakat adat akan bersama-sama melakukan pengawasan terutama
mencegah konversi lahan sagu ke penggunaan lain. Sarana prasarana sebagai unsur penunjang dalam KP2B untuk pangan
sagu berupa jalan usaha, pelabuhan, tempat pengolahan pasca panen dan sungai atau parit-parit pengatur air. Jalan yang telah ada di lokasi rencana KP2B
hanya jalan-jalan yang menghubungkan antar kampung belum ada jalan khusus usaha tani. Membangun jalan usaha tani di lahan sagu perlu diperhatikan
perencanaannya sesuai hanya untuk kegiatan usaha tani sagu karena dampak pembukaan jalan akan memicu terhadap konversi lahan sagu.
Pelabuhan pendaratan perahu-perahu sebagai salahsatu sarana yang harus disiapkan. Sebagian lahan dusun sagu berada di pinggiran danau yang
hanya dapat dicapai menggunakan perahu karena belum adanya jalan darat. Tempat pengolahan pasca panen perlu dibuat pada tempat khusus yang mudah
dijangkau petani dan tersedia sumber air untuk ekstraksi pati sagu. Selama ini pengolahan pati sagu sudah sebagian menggunakan mesin seperti mesin parut
kelapa dengan kapasitas rendah. Parit-parit pengatur air perlu disiapkan jika nanti diusahakan dengan intensif. Lahan-lahan sagu setelah dijadikan lahan
budidaya intensif cenderung lebih kering sehingga perlu parit-parit pengatur air untuk menjaga ketersediaan air bagi tanaman sagu serta mencegah kebakaran
yang sangat mudah terjadi. Selama ini lahan dusun sagu belum diusahakan intensif sehingga keberadaan air masih tersedia sehingga pengaturan air belum
diperlukan.
Strategi pengembangan sagu
Sagu merupakan komoditas yang potensial menjadi bahan pangan pokok serta bahan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil,
industri pakan, dan penghasil energi. Areal lahan sagu aktual yang luas di lokasi penelitian hanya sebagian kecil saja yang telah digunakan untuk menghasilkan
tepung sagu. Hasil dari tepung sagu tersebut hanya untuk kebutuhan konsumsi pangan keluarga dan dijual pada pasar-pasar di sekitar Jayapura. Oleh
karenanya jumlah dipanen disesuaikan dengan kebutuhan pangan keluarga dan kebutuhan permintaan sagu di pasar hanya untuk industri kecil pembuatan kue,
tepung sagu kering sehingga harga jual tepung sagu di Jayapura relatif tidak berubah. Hal ini menyebabkan petani sagu tidak menjadikan sagu sebagai
sumber penghasilan tetap. Penetapan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan
akan terkendala atau tidak terwujud jika sagu belum menjadi sumber pendapatan petani. Jika hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu yang masih rendah,
sagu belum bisa menjadi sumber pendapatan yang menarik bagi petani sagu. Hal ini akan berakibat banyak lagi lahan sagu akan diubah menjadi penggunaan
lain yang lebih menguntungkan atau dijual kepihak lain. Oleh karena itu, perlu adanya arahan pengembangan sagu pada awal setelah penetapan lahan sagu
menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan bukan saja untuk kebutuhan pangan namun juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan tepung sagu
untuk industri. PT. Sampoerna Bio Fuels merupakan perusahaan yang memegang izin
IUPHHK-HT seluas 51.000 ha berdasarkan SK Bupati nomor 231 Tahun 2010. IUPHHK-HT adalah izin usaha memanfaatkan hasil hutan bukan kayu HHBK
dalam hutan tanaman HT pada hutan produksi melalui kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran Santoso, 2010. PT. Sampoerna
akan membuka lahan hutan sagu diubah menjadi perkebunan sagu di daerah Distrik Kaureh Kabupaten Jayapura dan membangun pabrik pengolahan tepung
sagu. Terkait hal tersebut, PT. Sampoerna juga berminat membeli tepung sagu dari petani yang ada di lokasi penelitian
1
. Diharapkan dengan adanya PT. Sampoerna ini hasil panen sagu petani dapat ditampung sehingga petani sagu
dapat memanen dan menjual sagu secara terus-menerus. Hasil panen sagu yang ditampung dan dijual secara terus menerus dapat menjadi sagu sebagai
sumber pendapatan selain untuk kebutuhan pangan keluarga. Perlu adanya rencana pengembangan jika sagu dijadikan sebagai
sumber pendapatan karena sagu akan dipanen terus menerus sehingga teknik budidaya dan pasca panen harus diperbaiki untuk menjaga keseimbangan
1
Hasil wawancara penulis dengan staf dari PT. Sampoerna
produksi. Karafir 2007, menawarkan dua sistem pengembangan sagu di Papua, yaitu usaha mikro dan usaha makro. Usaha mikro dibagi lagi menjadi dua yakni
usaha mikro cara tradisional yang telah ada berabad-abad di masyarakat pemakan sagu dan usaha mikro modifikasi dengan memasukkan teknologi baru
tindak teknologi produksi, teknik budidaya dan organisasi pemasaran. Usaha makro, umumnya perusahaan besar Hak Pengusahaan Hutan HPH dan kini
yang disarankan untuk dikembangkan yaitu mengubah hutan-hutan sagu menjadi perkebunan sagu.
Dari sistem pengembangan sagu di atas perlu memperhatikan karakteristik lokasi sagu yang akan dikembangkan. Areal yang akan
dikembangkan di lokasi penelitian adalah areal lahan sagu aktual hutan sagu, telah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, berdekatan dengan pemukiman
masyarakat dan tersebar dibeberapa hamparan. Potensi sagu di tingkat petani saat ini belum optimal pemanfaatannya yang ditandai dengan banyak tanaman
sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen dan akhirnya rusak. Pemanfaatan potensi sagu masih rendah hanya terbatas pada skala petani untuk kebutuhan
pangan keluarga dan kebutuhan industri kecil tepung sagu kering untuk pembuatan aneka kue.
Cara pengolahan hasil panen yang sebagian masih secara tradisional dan sebagian lagi telah menggunakan alat parut namun rendemen sagu masih
rendah. Pemasaran tepung sagu masih terbatas di sekitar Kabupaten Jayapura dan hanya untuk memenuhi kebutuhan untuk industri kecil disekitarnya.
Sebaliknya menurut Novarianto dan Hosang 2008, eksploitasi sagu yang dilakukan industri skala menengah besar kurang mempehatikan keseimbangan
produksi, sebagai akibatnya terjadi degradasi pertumbuhan sagu, yang pemulihannya membutuhkan waktu cukup lama sekitar 5
– 7 tahun. Jika kerusakan ini dibiarkan berlangsung terus, maka secara langsung akan
mengganggu ketersediaan sumber pangan karbohidrat bagi masyarakat sekitar areal sagu yang dieksploitasi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, sistem pengembangan yang digunakan adalah usaha mikro modifikasi. Usaha mikro modifikasi adalah tetap
usaha mikro dengan memasukkan teknologi produksi, teknik budidaya dan organisasi pemasaran. Usaha mikro modifikasi ini pernah dikembangkan pemda
Kabupaten Jayapura tahun 1991 namun gagal karena beberapa kendala Karafir, 2007. Lebih lanjut menurut Karafir 2007, berdasarkan pengalaman tersebut
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sistem usaha mikro modifikasi pengembangan sagu yakni pemilihan teknologi pengelolaan disesuaikan dengan
produktifitas lahan sagu agar produksi berkelanjutan. Alat pengelola hasil panen mesin pemarut dan mesin mengekstrak sagu
harus disesuaikan dengan luas areal dan produktifitas lahan sagu untuk keberlanjutan produksi. Mesin parut mudah dibawa portable sehingga dapat
dibawa ke areal sagu sehingga jarak areal tebang dan mesin pemarut tidak jauh.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
1. Analisis kebutuhan luas lahan sagu untuk konsumsi sagu di lokasi penelitian dan kontribusinya ke Kabupaten Jayapura mencukupi selama 20 tahun akan
datang dan masih terdapat surplus lahan untuk daerah lain. 2. Ditemukan empat hamparan sagu yakni di daerah Harapan, Kehiran, Sosiri
dan Maribu seluas 2909,8 ha terdiri atas areal hutan sagu budidaya dusun sagu, hutan sagu alam, rawa sagu, dan sagu campuran dengan produktifitas
tegakan dan keragaman jenis tertinggi pada daerah Kehiran. 3. Berdasarkan peta kesesuaian lahan, RTRW dan penggunaan lahan diperoleh
arahan pemanfaatan lahan untuk pengembangan sagu seluas 8.463,2 ha yang penggunaannya saat ini berupa hutan, lahan pertanian, lahan terbuka,
semak dan sagu. 4. Kriteria yang digunakan untuk identifikasi lahan pangan berkelanjutan adalah
sebaran tipe sagu, tingkat pemanfaatan sagu, potensi tegakan dan rumpun sagu, kesesuaian lahan sagu dan penggunaan lahan aktual
5. LP2B yang disarankan dari areal dusun sagu seluas 950,1 ha dengan orientasi pengembangan terutama di pinggiran danau sentani. LCP2B yang
disarankan dari lahan bervegetasi sagu seluas 7.488,7 ha. KP2B seluas 8.463,2 ha terdiri dari 5 kawasan yang menyebar sesuai batas distrik dan
mencakup 2 kepemilikan hak ulayat tanah adat.
Saran
1. Proyeksi kebutuhan lahan sagu menggunakan data konsumsi dari BPS hasil dari rata-rata konsumsi penduduk dan produktifitas berdasarkan wawancara.
Perlu adanya data konsumsi yang lebih detail berdasarkan suku yang ada dan produktivitas yang diukur langsung di lapangan.
2. Luasan KP2B yang digunakan berdasarkan luas arahan pemanfaatan, perlu penentuan kriteria lebih lanjut untuk menentukan batasan luas KP2B.
3. Kebutuhan sagu untuk pangan saat ini masih rendah, perlu adanya pengembangan pemanfaatan tepung sagu untuk kebutuhan industri.
4. Perlu menjadikan norma adat dan tradisi budaya masyarakat ada sebagai muatan dalam peraturan daerah untuk menjaga pelestarian lahan sagu dari
perubahan penggunaan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979. Pedoman bercocok tanam palawija dan sagu. Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan, Jakarta.
[Bappeda] Bappeda Kabupaten Jayapura. 2010. Laporan Akhir Rencana Detail Tata Ruang BWK A dan BWK B. Jayapura.
[BBKP] Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua. 2007. Neraca Bahan Makanan Provinsi Papua. Badan Bimas dan Ketahanan Pangan
Provinsi Papua, Jayapura. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Neraca Bahan Makanan Kabupaten Jayapura
tahun 2009. Badan Pusat Statistik kabupaten Jayapura. Jayapura ___________________. 2010. Jayapura dalam angka 2010. Badan Pusat
Statistik kabupaten Jayapura. Jayapura ___________________. 2010. Papua dalam angka 2010. Badan Pusat Statistik
Propinsi Papua. Jayapura Bintoro, H. M. H. 2008. Bercocok tanam sagu. IPB Press
Bintoro, H. M.H. 1999. Pemberdayaan tanaman sagu sebagai penghasil bahan pangan alternatif dan bahan baku agroindustri yang potensial dalam
rangka ketahanan pangan nasional. Orasi ilmiah guru besar tetap ilmu tanaman perkebunan fakultas pertanian institute pertanian bogor. Bogor,
11 september 1999. Christina, Dwi R. 2011. Indentifikasi Lahan Potensial Untuk Mendukung Usulan
Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor, Bogor. FAO-RAPA. 1989. Report of the regional expert consultation of the asian network
for food and nutrition on nutrition and urbanization, Bangkok. Flach M. 1995. Research priorities for sago palm development in Indonesia and
Sarawak: an agenda for research. ISHS Acta Horticulturae International Sago Symposium. http:www.actahort.orgbooks389.
Genting Oil Kasuri. 2009. Analisis Dasar lingkungan Blok Kasuri PSC di Kabupaten Fak-fak dan Bintuni. Laporan akhir. Kerjasama BP Migas dan
Unipa Manokwari. Google Earth. 2011. http:www.googleearth.com. [10 Maret 2011]
GeoEye. 2011. http:www.geoeye.com. [10 Maret 2011] Haryanto, B dan P. Pangloli. 1998. Sagu manfaat dan kegunaannya. BPPT
Jakarta. Kanro, M. Z, Aser Rouw, A. Widjono, Syamsuddin, Amisnaipa, dan Atekan. 2003.
Tanaman sagu dan pemanfaatannya Di propinsi papua. Jurnal Litbang Pertanian, 223, 2003.
Karafir, Y.P .2007. Model Pengembangan Sagu di Papua. Prosiding Lokakarya Pengembangan sagu di Indonesia. Batam 25-26 Juli 2007. Hlm 25-49.
Matanubun H, Santoso B, Abdullah Y, Bachri S, Darmawanto S, Yoga. 2008. Studi Kelayakan Pengembangan Perkebunan dan Industri Sagu di Distrik
Kais, Inanwatan dan Kokoda Kabupaten Sorong Selatan. Universitas Negeri Papua. Manokwari.
Matanubun H, Santoso B, Nauw M, Rochani A, Palit MAP, Irbayanti DN and Kurniawan A. 2005. Feasibility study of the natural sago forest for the
establishment of the commercial sago palm plantation at Kaureh District, Jayapura, Papua, Indonesia. Abstracts of The Eight International Sago
Symposium in Jayapura, Indonesia. Japan Spciety for the Promotion Science.
Miftahorrochman dan H. Novirianto. 2003. Jenis-jenis sagu potensial di sentani, Irian jaya. Prosiding Seminar Nasional Sagu, Manado. 6 oktober 2003.
Notohadiprawiro, T dan Louhenapessy, J.E. 1992. Potensi sagu dalam penganekaragaman bahan pangan poko ditinjau dari persyaratan lahan.
Prosiding Simposium Sagu Nasional. Ambon 12-13 Oktober 1992. [Perda Kabupaten Jayapura No 262007] Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura
Nomor 3 Tahun 2000 Tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Jayapura.
[Perda Kabupaten Jayapura No 212009] Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Jayapura Tahun 2008-2028. Jayapura. Rauf A. W dan Martina S. L. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal
sebagai Sumber Pangan Alternatif Di Papua. Laporan Hasil Penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.
Rusli, Y. 2007. Pengembangan Sagu di Indonesia: Strategi, potensi dan penyebarannya.. Prosiding Lokakarya Pengembangan sagu di Indonesia.
Batam 25-26 Juli 2007. Hlm 14-24 Rustiadi, E dan Reti Wurgensi. 2007. Pengembangan lahan pertanian pangan
abadi dalam prespektif ketahanan pangan. Semiloka kebijakan pengembangan lahan pertanian pangan abadi, medan.
Santoso, B. 2010. Potensi Pengembangan Sagu sebagai Hasil Hutan Non Kayu di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sagu. Bogor, 14 Oktober
2010. Hlm 23-29. [SIL] Summer Insitute of Linguistics. 2004. Peta Sebaran Bahasa. Jayapura.
Sofyan Ritung, W Supriatna, A Hidayat. 2007. Kriteria Biofisik untuk penetapan Lahan Pertanian Abadi dalam Mencegah Konversi Lahan Pertanian, Studi
Kasus di Provinsi Jawa Barat dan Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Bogor: BBPPSLP
– Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian. Hlm 311-322.
Sofyan Ritung, A Hidayat, Wahyunto. 2008. Penyusunan Peta lahan abadi 15 juta hektar lahan sawah dan 15 juta hektar lahan kering dan Reforma
Agraria. Laporan akhir penelitian. Bogor: BBPPSLP – Badan Litbang
Pertanian Departemen Pertanian. Susanto. 1986. Penginderaan Jauh jilid 1. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Syamson, A. Buana. 2011. Identifikasi Potensi Kawasan Pertanian Pangan
Berkelanjutan KP2B untuk Penyusunan RTRW Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. [PTFI] PT. Freeport Indonesia .2010. Pembangunan Dusun Sagu Tanam sebagai
Strategi Pemberdayaan Masyarakat Suku Kamoro di Kabupaten Mimika, Papua. Prosiding Lokakarya Nasional Sagu. Bogor, 14 Oktober 2010.
[UU No 262007] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
[UU No 412009] Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Widjono, A., R. Aser, dan Amisnaipa. 2000. Identifikasi, karakterisasi, dan koleksi jenis-jenis sagu. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Sistem Usaha Tani
Papua. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 9-16.
Lampiran 1.
Gambar 1. Awal mula konversi lahan sagu pohon sagu ditebang
Gambar 1. Konversi lahan sagu kepenggunaan lainnya untuk jalan, pemukiman
Lampiran 2. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian tahun 2011 – 2030
Tahun Jumlah
Penduduk jiwa
Konsumsi per kapita Total Kebutuhan
Kebutuhan luas Data luas
lahan ha
Sisa Lahan Skenario 1
kgkapth Skenario 2
kgkapth Skenario 1
ton Skenario 2
ton Produktivitas
tetap Skenario 1
ha Skenario 2
ha Skenario 1
ha Skenario 2
ha 1
2011 71822
18,64 15,11
1338,96 1085,24
8,80 152,2
123,3 1164,6
1012,4 1041,3
2 2012
74810 18,88
15,11 1412,37
1130,38 8,80
160,5 128,5
1164,6 1004,1
1036,1 3
2013 77922
19,12 15,11
1489,81 1177,41
8,80 169,3
133,8 1164,6
995,3 1030,8
4 2014
81164 19,36
15,11 1571,49
1226,39 8,80
178,6 139,4
1164,6 986,0
1025,2 5
2015 84540
19,61 15,11
1657,65 1277,40
8,80 188,4
145,2 1164,6
976,2 1019,4
6 2016
88057 19,86
15,11 1748,54
1330,54 8,80
198,7 151,2
1164,6 965,9
1013,4 7
2017 91720
20,11 15,11
1844,41 1385,89
8,80 209,6
157,5 1164,6
955,0 1007,1
8 2018
95536 20,36
15,11 1945,53
1443,55 8,80
221,1 164,0
1164,6 943,5
1000,6 9
2019 99510
20,62 15,11
2052,20 1503,60
8,80 233,2
170,9 1164,6
931,4 993,7
10 2020
103650 20,88
15,11 2164,72
1566,15 8,80
246,0 178,0
1164,6 918,6
986,6 11
2021 107962
21,15 15,11
2283,41 1631,30
8,80 259,5
185,4 1164,6
905,1 979,2
12 2022
112453 21,42
15,11 2408,61
1699,16 8,80
273,7 193,1
1164,6 890,9
971,5 13
2023 117131
21,69 15,11
2540,67 1769,85
8,80 288,7
201,1 1164,6
875,9 963,5
14 2024
122003 21,97
15,11 2679,97
1843,47 8,80
304,5 209,5
1164,6 860,1
955,1 15
2025 127079
22,25 15,11
2826,91 1920,16
8,80 321,2
218,2 1164,6
843,4 946,4
16 2026
132365 22,53
15,11 2981,90
2000,04 8,80
338,9 227,3
1164,6 825,7
937,3 17
2027 137872
22,81 15,11
3145,39 2083,24
8,80 357,4
236,7 1164,6
807,2 927,9
18 2028
143607 23,10
15,11 3317,85
2169,90 8,80
377,0 246,6
1164,6 787,6
918,0 19
2029 149581
23,40 15,11
3499,76 2260,17
8,80 397,7
256,8 1164,6
766,9 907,8
20 2030
155804 23,69
15,11 3691,65
2354,19 8,80
419,5 267,5
1164,6 745,1
897,1
Asumsi-asumsi dalam perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di lokasi penelitian 1 Proyeksi jumlah penduduk menggunakan tahun dasar 2009
2 Asumsi pertambahan penduduk 4,16 per tahun konstan dari jumlah penduduk tahun 2000-2009 4 Asumsi produktivitas Sagu Budidaya 8,8 ton per ha pertahun
5 Asumsi laju konversi tidak diperhitungkan 6 Asumsi data luas baku lahan tahun 2010 dianggap konstan hanya dusun sagu di daerah survei saja
Lampiran 3. Proyeksi kebutuhan lahan sagu di Kabupaten Jayapura tahun 2011 – 2030
Tahun Jumlah
Penduduk jiwa
Konsumsi per kapita Total Kebutuhan
Kebutuhan luas Data luas
lahan ha
Sisa Lahan Skenario 1
kgkapth Skenario 2
kgkapth Skenario 1
ton Skenario 2
ton Produktivitas
tetap Skenario 1
ha Skenario 2
ha Skenario 1
ha Skenario 2
ha 1
2011 128798
18,64 15,11
2401,12 1946,13
8,80 272,9
221,2 1164,6
891,7 943,4
2 2012
134156 18,88
15,11 2532,77
2027,09 8,80
287,8 230,4
1164,6 876,8
934,2 3
2013 139736
19,12 15,11
2671,64 2111,42
8,80 303,6
239,9 1164,6
861,0 924,7
4 2014
145549 19,36
15,11 2818,12
2199,25 8,80
320,2 249,9
1164,6 844,4
914,7 5
2015 151604
19,61 15,11
2972,63 2290,74
8,80 337,8
260,3 1164,6
826,8 904,3
6 2016
157911 19,86
15,11 3135,62
2386,04 8,80
356,3 271,1
1164,6 808,3
893,5 7
2017 164480
20,11 15,11
3307,54 2485,29
8,80 375,9
282,4 1164,6
788,7 882,2
8 2018
171322 20,36
15,11 3488,89
2588,68 8,80
396,5 294,2
1164,6 768,1
870,4 9
2019 178449
20,62 15,11
3680,18 2696,37
8,80 418,2
306,4 1164,6
746,4 858,2
10 2020
185873 20,88
15,11 3881,95
2808,54 8,80
441,1 319,2
1164,6 723,5
845,4 11
2021 193605
21,15 15,11
4094,80 2925,38
8,80 465,3
332,4 1164,6
699,3 832,2
12 2022
201659 21,42
15,11 4319,31
3047,07 8,80
490,8 346,3
1164,6 673,8
818,3 13
2023 210048
21,69 15,11
4556,13 3173,83
8,80 517,7
360,7 1164,6
646,9 803,9
14 2024
218786 21,97
15,11 4805,93
3305,86 8,80
546,1 375,7
1164,6 618,5
788,9 15
2025 227888
22,25 15,11
5069,43 3443,39
8,80 576,1
391,3 1164,6
588,5 773,3
16 2026
237368 22,53
15,11 5347,38
3586,63 8,80
607,7 407,6
1164,6 556,9
757,0 17
2027 247242
22,81 15,11
5640,57 3735,83
8,80 641,0
424,5 1164,6
523,6 740,1
18 2028
257528 23,10
15,11 5949,83
3891,24 8,80
676,1 442,2
1164,6 488,5
722,4 19
2029 268241
23,40 15,11
6276,05 4053,12
8,80 713,2
460,6 1164,6
451,4 704,0
20 2030
279400 23,69
15,11 6620,16
4221,73 8,80
752,3 479,7
1164,6 412,3
684,9
Asumsi-asumsi dalam perhitungan proyeksi kebutuhan lahan sagu di Kabupaten Jayapura 1 Proyeksi jumlah penduduk menggunakan tahun dasar 2009
2 Asumsi pertambahan penduduk 4,16 per tahun konstan dari jumlah penduduk tahun 2000-009 4 Asumsi produktivitas Sagu Budidaya 8,8 ton per ha pertahun
5 Asumsi laju konversi tidak diperhitungkan 6 Asumsi data luas baku lahan tahun 2010 dianggap konstan hanya dusun sagu di daerah survei saja
ABSTRACT
SAMSUL BACHRI. Identification of Sago Land and Potential of Sustainable Sago Utilization in the Jayapura regency. Under direction of D. P. TEJO
BASKORO, BABA BARUS and BOEDI TJAHJONO.
Sago is one important alternative food diversification. Determination sago land as a sustainable food farming land needs to consider sago food needs,
distribution, productivity and level of sago utilization. The purposes of this study are 1To identify the food needs of local sago, 2To identify of distribution and
utilization of sago forest as other its utilization by people, and 3 To develop scenarios to determine the sago forest area that deserve to be recommended as
sustainable agricultural food carried out in Jayapura Papua Province. The result showed there are four of vegetated sago area of 2909.8 ha of sago which is
comprised of the Harapan area, Kehiran, Sosiri and Maribu. Types of sago based on habitat and cultivation consists of sago cultivation areas dusun sagu,
sago natural forest, sago swamps, and the sago mixture. Types of sago based on morphology diversity just on dusun sagu area while in other areas only
forest sago manomanino. The highest productivity is the Kehiran region with clump density 711 clumpha and 133 stands ready for harvestha. Use type of
sago utilization is same for all areas only on the intensity of their use are different. Requirement sago land for the consumption of sago in location of
research and contribution to the Jayapura regency is sufficient from of sago land existing. 950.1 ha of sago cultivation areas for LP2B plan, especially
development on the fringes of Sentani Lake. 1.508,3 ha of potential sago land for LCP2B plan other than those already proposed for plan of LP2B areas. KP2B
includes LP2B, LCP2B, sago swamps and supporting elements of an area of 2.458,4 ha.
Keywords: identification, sago land , utilization, sustainable
RINGKASAN
SAMSUL BACHRI. Identifikasi Lahan Sagu dan Potensi Pemanfaatannya secara Berkelanjutan di Kabupaten Jayapura. Dibimbing oleh D. P. TEJO
BASKORO, BABA BARUS and BOEDI TJAHJONO.
Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting. Lahan sagu yang akan dijadikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan
perlu mempertimbangkan kebutuhan pangan sagu, sebaran, produktifitas dan tingkat pemanfaatan
sagu. Tujuan
yang ingin
dicapai adalah 1
Mengindentifikasi kebutuhan pangan sagu daerah; 2 Mengindentifikasi sebaran hutan sagu dan keragamannya serta pemanfaatan masyarakat; dan 3
Menyusun skenario untuk menentukan luasan hutan sagu yang layak untuk direkomendasikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Ditemukan empat daerah bervegetasi sagu berupa hamparan dengan total luas 2909,8 ha terdiri dari daerah Harapan, Kehiran, Sosiri dan Maribu.
Berdasarkan klasifikasi tipe ekosistem sagu ditemukan areal dusun sagu, hutan sagu alam, rawa sagu, dan campuran sagu. Secara alami, semua fase
pertumbuhan tipe tegakan sagu ditemukan pada semua tipe ekosistem areal sagu di setiap sebaran sagu kecuali rawa sagu dan dusun sagu yang telah dijual.
Keragaman jenis-jenis sagu hanya pada areal sagu dusun sedangkan pada areal lain hanya sagu hutan manomanino. Produktifitas tertinggi pada kawasan
Kehiran dengan jumlah 133 tegakan siap panen pada kerapatan 711 rumpun. Jenis pemanfaatan hutan sama hanya pada intensitas pemanfaatannya saja
yang berbeda. Kecenderungan tingkat pemanfaatan hutan sagu oleh penduduk semakin berkurang dengan semakin dekatnya letak kampung dengan pusat kota
.
Kebutuhan lahan sagu untuk konsumsi sagu hingga 2030 di lokasi penelitian hanya terpakai 36,0 persen untuk konsumsi aktual skenario 1 dan
23,0 persen untuk konsumsi ideal skenario 2. Masih terdapat kelebihan lahan seluas 745,1 ha dari sisa lahan untuk konsumsi aktual dan 897,1 ha dari sisa
lahan untuk konsumsi aktual. Kelebihan lahan sagu dapat digunakan untuk kontribusi pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura. Kontribusi yang dapat
diberikan untuk memenuhi kebutuhan pangan sagu di tingkat Kabupaten Jayapura masih mencukupi bahkan masih ada surplus lahan 412,3 ha 35,4
persen untuk skenario 1 dan 684,9 ha 58,8 persen untuk skenario 2.
Hasil penilaian kesesuaian lahan sagu diperoleh lahan yang sesuai untuk sagu sebesar 10,9 persen dari luas lokasi penelitian atau seluas
11.967,5 ha termasuk lahan bervegetasi sagu. Berdasarkan keberadaannya di RTRW diperoleh bahwa lahan sesuai untuk sagu berada kawasan lindung 523,1
ha 4,4 dan kawasan budidaya 11.422,0 ha 95,6 . Melihat besarnya luas lahan yang ada di kawasan budidaya melebihi kebutuhan lahan sagu untuk
pangan yang telah diproyeksikan, maka pemilihan lahan untuk pengembangan sagu cukup pada kawasan budidaya. Setelah dikurangi lahan terbangun
diperoleh lahan yang dapat tersedia pada kawasan budidaya yang dapat dijadikan sebagai arahan pemanfaatan sagu seluas 8.463,2 ha. Pemanfaatan
awal lahan sesuai arahan pengembangan sagu lebih baik memilih lahan yang sudah ada vegetasi sagu, terutama pada lahan sagu yang telah dikelola oleh
masyarakat untuk dikembangkan dengan intensifikasi. LP2B dipilih dari dusun sagu yang berada di kawasan budidaya dan
campuran seluas 950,1 ha. Urutan prioritas pengembangan lahan-lahan dusun umumnya berada di pinggiran danau sentani yang cukup jauh dari pusat
pemerintahan sehingga tidak mudah terkonversi ke penggunaan lainnya. Selain letaknya yang cukup jauh dari pusat pemerintahan, lahan sagu yang berada
dipinggiran danau mempunyai peran yang penting sebagai penyangga danau sentani selain pertimbangan keragaman sagunya.
LCP2B diusulkan hanya dari lahan potensial bervegetasi sagu seluas 1.508,3 ha karena ketersediaan lahan sagu yang ada usulan LP2B telah
melebihi proyeksi kebutuhan dan juga untuk menyediakan ruang bagi kebutuhan lahan untuk penggunaan lainnya. KP2B mencakup LP2B, LCP2B, rawa sagu
dan unsur penunjang seluas 2.458,4 ha. pengelolaan KP2B dibagi menjadi 5 yang menyebar sesuai batas distrik yang mencakup 2 kepemilikan hak ulayat
tanah adat. Unsur penunjang meliputi jalan, sumber air, dermaga dan tempat pengelolaan sagu.
Kata kunci: identifikasi, lahan sagu, pemanfaatan, berkelanjutan
PENDAHULUAN Latar Belakang
Proses pembangunan yang dilakukan menuntut adanya sistem ketahanan pangan nasional yang lebih baik. Upaya ketahanan pangan ini
bertujuan untuk dapat mempertahankan stabilitas ketersediaan pangan untuk kebutuhan secara nasional yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya
jumlah penduduk. Di sisi lain, terdapat permasalahan degradasi lingkungan serta alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain sehingga diperlukan
kebijakan tentang adanya lahan pangan yang bersifat abadi. Masalah penyediaan lahan pertanian skala nasional berkaitan erat
dengan kapasitas produksi pangan yang ditentukan oleh luas lahan produksi, produktifitas lahan, tingkat kebutuhan konsumsi pangan ketergantungan pada
beras, laju luasan konversi, dan jumlah penduduk. Berdasarkan proyeksi konsumsi pangan penduduk hingga tahun 2030 di Indonesia dibutuhkan
penambahan lahan sawah hingga 9,666 juta hektar Rustiadi dan Wurgensi, 2007. Mengingat besarnya angka tersebut maka perlu dilakukan orientasi
produksi pangan lain yang tidak tergantung hanya pangan beras sehingga dibutuhkan adanya diversifikasi pangan lainnya. Selain untuk pangan, Sagu
merupakan komoditas yang potensial menjadi bahan pangan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan, industri tekstil, industri pakan, dan
penghasil energi. Sagu merupakan salah satu alternatif diversifikasi pangan yang penting
diperhatikan selain sebagai bahan baku industri. Menurut BBKP Papua 2007 dibandingkan dengan tanaman pangan lain, keunggulan utama tanaman sagu
adalah produktifitasnya yang tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati keringhektartahun setara dengan tebu dan lebih
tinggi dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang 10-15 tonhektartahun. Sagu juga merupakan tanaman tahunan dengan sekali tanam akan tetap berproduksi
secara berkelanjutan selama puluhan tahun. Lebih lanjut menurut Hutapea 1990 dalam Rusli 2007 sagu memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi
85,9 g100 g lebih tinggi dibandingkan dengan beras 80,4 g100 g atau jagung 71,7 g100 g, ubi kayu 23,7 g100 g maupun kentang 16,3 g100 g.
Sebagian besar areal sagu di Indonesia merupakan tegakan alami. Potensi produksi sagu di Indonesia diperkirakan sekitar 5 juta ton pati kering per
tahun. Konsumsi pati sagu dalam negeri hanya sekitar 210 ton atau baru 4-5 persen dari potensi produksi. Salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai
potensi sagu terbesar, bahkan terluas di seluruh dunia adalah Papua yang memiliki luas lahan sagu sekitar 771.716 hektar atau sekitar 85 persen dari luas
hutan sagu nasional BBKP Papua, 2007. Selain banyak ditemukan di Papua, sagu telah lama dikenal dan menjadi
bagian dari kehidupan sosial budaya masyarakat Papua. Hutan sagu mempunyai arti penting sebagai sumber makanan dan juga kebutuhan lainnya sebagai
bagian dari budaya misalnya adalah untuk upacara adat, bahkan di beberapa tempat hutan sagu dijadikan tempat keramat secara budaya. Pemanfaatan sagu
untuk diolah secara umum masih bersifat subsisten dan hasil olahan berupa tepung sagu umumnya digunakan sebagai bahan makanan dan sebagian kecil
dijual. Hasil lain dari hutan sagu yakni ulat sagu dan jamur sagu juga banyak digunakan sebagai sumber protein nabati. Selain itu, hutan sagu juga sebagai
tempat berburu dan mencari ikan dan ada bagian-bagian dari pohon sagu yang digunakan sebagai bahan bangunan rumah.
Berkaitan dengan ketahanan pangan nasional, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan PLP2B. Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang
wilayah untuk menyediakan lahan pertanian dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Dengan adanya
undang-undang ini kiranya perhatian terhadap lahan hutan sagu saat sekarang perlu ditingkatkan. Bukan saja sagu sebagai sumber alternatif pangan yang
mempunyai potensi tinggi tetapi juga sebagai wadah kehidupan sosial-budaya masyarakat dan ada kecenderungan terjadinya konversi lahan sagu ke
penggunaan lain. Selain untuk bahan pangan pokok, pemanfaatan sagu terbesar saat ini untuk bahan baku industri pangan, industri kimia dan obat-obatan,
industri tekstil, industri pakan, dan penghasil energi. Kabupaten Jayapura merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua
yang memiliki lahan sagu. Beberapa kajian yang telah dilakukan Miftahorochman dan Novirianto, 2003; Rauf dan Martina, 2009 menunjukkan
bahwa lahan sagu di Kabupaten Jayapura merupakan lahan sagu yang paling baik produktifitasnya dan paling beragam jenis sagu terutama yang ada di
pinggiran Danau Sentani namun keberadaannya saat ini yang memprihatikan.
Pusat pemerintahan yang berada di Sentani sebagai Ibukota Kabupaten Jayapura menyebabkan banyak lahan-lahan sagu ada sekitar Danau Sentani
berubah menjadi lahan terbangun dan lahan pertanian. Lahan-lahan sagu yang berada di daerah datar menjadi pilihan untuk aktifitas pembangunan seperti
perumahan, jalan, perkantoran dan pembukaan lahan pertanian. Walaupun telah dikeluarkannya peraturan daerah Perda Kabupaten Jayapura Nomor 3 tahun
2000 tentang pelestarian kawasan sagu. Kurangnya sosialisasi dan lemahnya pengawasan serta belum ditetapkan dalam RTRW Kabupaten Jayapura menjadi
penyebab masih sering lahan sagu digunakan untuk aktivitas pembangunan. Dengan adanya Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 diharapkan lahan pangan
sagu yang ada dapat dilindungi dengan menetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan dan dimasukkan dalam rencana tata ruang wilayah
RTRW Kabupaten Jayapura.
Perumusan Masalah
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menerapkan Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 tentang lahan pertanian pangan berkelanjutan terutama
pada lahan pangan budidaya. Penelitian Christina 2011 pada lahan sawah di Propinsi Jawa Barat dengan pembobotan pada 2 model pesimis dan optimis
menggunakan peta kesesuaian lahan, status irigasi, intensitas penanaman, penggunaantutupan lahan dan kawasan hutan. Syamson 2011 pada lahan
sawah di Kabupaten Barru mengindentifikasi KP2B berdasarkan 3 skenario berdasarkan batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas
hamparan maksimal. Kajian yang telah ada hanya dilakukan pada lahan sawah sedangkan pada lahan pangan lainnya belum pernah dilakukan termasuk pada
lahan pangan sagu. Penetapan lahan pangan sagu untuk menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan tidak dapat dilakukan seperti yang telah
dilakukan pada lahan pangan budidaya sawah. Hal ini karena lahan pangan sagu di Papua sebagian besar merupakan hutan sagu, belum menjadi sumber
ekonomi dan bagian dari sosial budaya masyarakat. Pada lahan pangan sagu berupa hutan sagu, aspek ekologi dan ekonomi
tidak sepenting aspek sosial. Secara ekologi, sagu yang ada adalah hutan sagu yang tumbuh alami dan telah membentuk habitat sendiri sehingga tidak perlu
pengamatan secara langsung primer untuk evaluasi kesesuaian lahan. Sagu masih dimanfaatkan secara subsisten dan belum dibudidayakan sebagai sumber
pendapatan sehingga secara ekonomi belum jadi perhatian. Keterkaitan atau ketergantungan masyarakat terhadap hutan sagu dalam kehidupan sehari-hari
sangat kuat. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup pangan dan papan, sagu telah merupakan bagian dari budaya masyarakat Papua seperti dalam upacara
adat sebagai bagian dari mas kawin untuk pernikahan dan di beberapa tempat hutan sagu dianggap keramat.
Lahan pangan sagu yang akan ditetapkan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan perlu mempertimbangkan kebutuhan pangan sagu,
sebaran, produktifitas dan tingkat pemanfaatan sagu seperti diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 2009 untuk ditetapkan menjadi lahan pertanian
pangan berkelanjutan LP2B lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan LCP2B dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan KP2B. Oleh karenanya,
perlu mengetahui kebutuhan sagu dan pertumbuhan penduduk pada skala wilayah dan waktu tertentu menjadi skenario untuk menyusun luasan hutan sagu.
Analisis mengenai sebaran hutan sagu serta keragaman tegakan dan kerapatan sehingga dapat diketahui produktifitasnya serta dayadukung lahan agar tetap
lestari. Pemilihan lahan sagu yang akan ditetapkan menjadi lahan pangan pertanian berkelanjutan perlu mempertimbangkan pemanfaatan sagu yang
selama ini telah ada dimasyarakat yang tinggal disekitar hutan sagu agar tidak terganggu. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang dijadikan
dasar adalah: 1. Berapa luas lahan sagu yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pangan
sagu ? 2. Di mana saja lahan-lahan sagu berada dan bagaimana keragamannya?.
bagaimana pemanfaatan dan ketergantungan masyarakat sebagai sumber: pangan, pendapatan, tempat berburu, papan dan adat terhadap hutan sagu.
3. Berapa luas dan dimana hutan sagu yang dapat direkomendasikan menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan LP2B, lahan cadangan pertanian
pangan berkelanjutan LCP2B dan kawasan pertanian pangan berkelanjutan KP2B.
Tujuan penelitian
Berdasarkan perumusan tersebut maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengindentifikasi kebutuhan pangan sagu daerah
2. Mengindentifikasi sebaran hutan sagu dan keragamannya tegakan dan kerapatan serta pemanfaatan masyarakat sebagai sumber pangan, sumber
pendapatan, tempat berburu, sumber papan dan adat terhadap hutan sagu. 3. Menyusun skenario untuk menentukan luasan lahan sagu yang layak untuk
direkomendasikan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan LP2B lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan LCP2B dan kawasan
pertanian pangan berkelanjutan KP2B.
Manfaat penelitian
1. Sebagai arahan dalam pengusulan lahan sagu yang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan.
2. Sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan perencanaan tata ruang. 3. Sebagai bahan masukan dalam penyusunan kebijakan yang terkait dengan
ketahanan pangan daerah dan potensi pemanfaatan sagu untuk kebutuhan industri.
Kerangka Pemikiran
Tempat tumbuh sagu alam hutan sagu yang tipikal pada tempat tertentu, mengakibatkan penyebarannya terbatas seperti di pinggiran sungai,
danau, pantai dan rawa. Tempat tumbuh sagu sangat rentan kerusakan dibandingkan dengan tempat tumbuh tanaman lain dan tidak dapat atau sulit
diperbaiki sehingga diperlukan kehati-hatian dalam penggunaannya. Konversi lahan sagu kepenggunaan lain menyebabkan lahan sagu berupa lahan
bergambut yang ada di sekitarnya mengalami penurunan permukaan air dan dapat terjadi intrusi air laut. Hal ini karena konversi lahan sagu ke penggunaan
lain menyebabkan lahan tersebut lebih kering permukaan air tanah menjadi lebih dalam sehingga mempengaruhi kandungan air tanah lahan sagu yang ada
disekitar lahan sagu yang terkonversi terutama lahan sagu bergambut. Penurunan permukaan air menyebabkan terjadinya proses subsiden gambut
pada lahan sagu yang tidak dapat balik sehingga lahan sagu mudah mengalami kebakaran. Adanya intrusi air laut pada lahan sagu yang berair tawar
menyebabkan tanaman di atasnya menjadi mati. Sagu yang tumbuh di lahan datar sering menjadi pilihan terbaik untuk
lokasi aktifitas pembangunan karena sebagian besar daerah Papua berbukit
hingga bergunung. Konversi lahan pangan sagu ke penggunaan lain untuk kegiatan pembangunan bukan saja untuk pemukiman dan saran prasarana fisik
jalan, bandara tapi juga digunakan menjadi lahan-lahan pertanian. Kebijakan penanaman kakao di Kabupaten Jayapura dan harga kakao yang lebih baik
menjadi salahsatu penyebab banyak lahan pangan sagu yang berubah menjadi lahan pertanian kakao.
Oleh karena itu, saat sekarang sangat diperlukan adanya perlindungan terhadap lahan pangan sagu. Selain sebagai sumber alternatif pangan, juga
menjaga ekosistem sagu dan daerah sekitar serta keberadaan sosial budaya masyarakat di sekitarnya. Dengan adanya Udang-undang Nomor 41 tahun 2009
diharapkan segera dilakukan penetapan perlindungan lahan sagu menjadi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dari uraian di atas menjadi dasar pemikiran
untuk melakukan perlindungan lahan sagu seperti disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Kerangka pemikiran
Ruang lingkup
Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka identifikasi lahan
Perlu adanya perlindungan lahan pangan sagu
Perhatian lahan sagu perlu ditingkatkan
Tempat tumbuh Mudah rusak
UU No 41 tahun 2009 Lahan Sagu
Konversi lahan
Sumber pangan alternatif
Bagian dari sosial budaya masyarakat
Keragaman plasma nutfah
sagu lebih dititikberatkan pada bagaimana memilih lahan sagu untuk penyusunan usulan perencanaan dan merekomendasikan penetapan suatu
lahan sagu menjadi LP2B, LCP2B dan KP2B. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ruang lingkup pembahasan dalam penelitian ini meliputi:
1. Konsumsi pangan sagu. 2. Karakteristik lahan pertanian tanaman sagu fisik, ekonomi dan budaya.
3. Luasan LP2B, LCP2B dan KP2B. Beberapa pengertian yang diambil dari Undang-Undang Nomor 41 tahun
2009 dijadikan acuan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah 1. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional. 2. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial
yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali
untuk dimanfaatkan
sebagai Lahan
Pertanian Pangan
Berkelanjutan pada masa yang akan datang. 3. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budidaya
pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan danatau hamparan Lahan Cadangan
Pertanian Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan
nasional.
TINJAUAN PUSTAKA Sagu
Deskripsi Sagu
Tanaman sagu atau Metroxylon sagu Rottboell termasuk family Palmae genus Metroxylon. Nama Metroxylon berasal dari dua kata yaitu Metro berarti
empulur dan xylon berarti xylem Anonim, 1979, sedangkan sagu adalah pati. Metroxylon sagu berarti tanaman yang menyimpan pati pada batangnya. Spesies
yang mempunyai nilai ekonomi adalah M. sagu R yang tidak berduri dan M. rumphii yang pelepah dan daun ditutupi duri. Satu siklus hidup tanaman sagu
dari biji sampai membentuk biji diperlukan waktu 11 tahun dalam empat fase pertumbuhan yaitu fase awal pertumbuhan atau gerombol russet diperlukan
waktu 3,75 tahun, fase batang diperlukan waktu 4,5 tahun, fase infolorensia pembungaan diperlukan waktu satu tahun dan fase pembentukan biji
diperlukan waktu selama satu tahun Flach, 2005. Tajuk pohon sagu terdiri dari 6 sampai 15 rangkaian daun dan setiap
rangkaian daun terdapat pelepah daun, tangkai daun dan kira-kira 20 pasang helai daun. Batang sagu bulat panjang dengan diameter bervariasi antara 35
sampai 60 cm. Tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai pangkal bunga berkisar 10 -15 meter. Pada waktu panen batang sagu biasa mencapai berat
sampai 1 ton Anonim, 1979. Menurut Bintoro 2008 dalam satu batang umumnya terdapat 200-400 kg pati kering. Saitoh et al. 2003 dalam Bintoro
2008, mengemukakan bahwa sagu unggul di Sentani mengandung pati kering seberat 838 kgpohon dan Yamamoto melaporkan adanya sagu unggul juga di
Sentani yang mengandung 947 kg pati keringpohon. Pada rumpun sagu rata- rata terdapat 1-8 batang, pada setiap pangkal batang tumbuh 5-7 batang
anakan. Pada kondisi liar, rumpun sagu ini akan melebar dengan jumlah anakan yang sangat banyak dalam berbagai tingkat pertumbuhan. Anakan tersebut
sedikit sekali yang tumbuh menjadi pohon dewasa.
Habitat Sagu
Sagu dapat tumbuh sampai pada ketinggian 700 m di atas permukaan laut dpl, namun produksi sagu terbaik ditemukan sampai ketinggian 400 m dpl.
Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, tipe iklim A dan B sangat ideal untuk
pertumbuhan sagu dengan rata- rata hujan tahunan 2.500−3.000 mmtahun.
Suhu optimal untuk pertumbuhan sagu berkisar antara 24,5 C
− 29 C dan suhu
minimal 15 C, dengan kelembapan nisbi 90 persen. Sagu dapat hidup pada
keadaan lengas tanah terjamin cukup tinggi, baik oleh genangan berkala, daya tanah menyimpan air banyak maupun oleh air tanah dangkal Notohadiprawiro
dan Louhenapessy, 1992. Sebaran sagu utama di Indonesia adalah Papua, Maluku, Sulawesi,
Kalimantan Kalimatan Barat dan Sumatera Riau. Luasan sagu berdasarkan angka pendekatan dari berbagai sumber yang dibuat Notohadiprawiro dan
Louhenapessy 1992 menyebutkan bahwa kawasan sagu di Papua 800.000 ha, di Maluku 50.000 ha, di Sulawesi 30.000 ha, di Kalimantan 45.000 ha, di
Sumatera 72.000 ha dan di Jawa 2.000 ha. Hutan sagu alam terluas ditemukan di Papua di sepanjang dataran rendah pantai dan muara sungai. Luasan sagu di
Papua terdiri atas 3 persen tanaman budidaya dan 97 persen hutan alam.
Budidaya Sagu
Pada umumnya petani sagu di Papua kurang perhatian terhadap pertumbuhan sagu sejak anakan sampai siap panen. Namun demikian para
petani sagu di daerah sebaran sagu yang biasa menangani sagu, menggunakan kriteria atau ciri-ciri tertentu yang dapat menandakan bahwa sagu tersebut siap
panen. Ciri-ciri pohon sagu siap panen pada umumnya dilihat dari perubahan yang terjadi pada daun, duri, pucuk, dan batang. Umumnya tanaman sagu siap
panen menjelang pembentukan kuncup bunga sudah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak
yang berbeda dengan daun sebelumnya dan daun terakhir juga sedikit berbeda, yaitu lebih tegak dan ukurannya kecil. Perubahan lain adalah puncak pohon
menjadi agak menggelembung. Disamping itu duri semakin berkurang dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin dibandingkan dengan pohon yang
masih muda. Pemanenan sagu di Papua masih dilakukan secara sederhana dan
dengan tenaga manual. Setelah dipilih pohon sagu yang ditebang, biasanya penebangan dilakukan dengan kampak atau gergaji mesin chainsaw. Setelah
pohon tumbang, pelepahnya dibersihkan dan sebagian ujung batang dibuang karena kandungan patinya rendah. Pohon yang sudah dibersihkan dipotong-
potong menjadi bagian yang pendek-pendek dengan ukuran 0,5 m - 1 m.
Gelondongan tersebut lalu dibawa ke sumber air terdekat langsung ditokok diekstraksi. Untuk mendapatkan pati sagu, maka dari empulur batang sagu
dilakukan ekstraksi pati dengan bantuan air sebagai perantara. Sebelumnya empelur batang dihancurkan terlebih dahulu dengan cara ditokok atau diparut.
Di Papua, sagu mempunyai peranan sosial, ekonomi, dan budaya yang penting terutama yang bermukim di daerah pesisir karena merupakan bahan
makanan pokok bagi masyarakat. Pertanaman sagu di Papua cukup luas, namun luas areal yang pasti belum diketahui. Flach 1983 dalam Kanro et al. 2003,
memperkirakan luas hutan sagu di Papua mencapai 980.000 ha dan kebun sagu 14.000 ha, yang tersebar pada beberapa daerah, yaitu Salawati, Teminabuan,
Bintuni, Mimika, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, Membramo, Sarmi, dan Sentani. Hutan sagu merupakan komunitas yang terdiri atas campuran tanaman
sagu dan tanaman bukan sagu. Pemeliharaan kebun sagu yang dipraktekkan oleh petani di Papua masih
sangat sederhana, yaitu berupa pemangkasan pohon yang menaungi sagu dan pembersihan gulma. Pemupukan, pengaturan air, dan teknik budidaya lainnya
belum dipraktekkan sehingga hasilnya juga belum maksimal. Selain itu, usaha- usaha pengembangan sagu secara budidaya belum banyak mendapat perhatian
sehingga suatu saat hutan sagu akan terancam punah. Tanaman sagu yang tumbuh di Papua terdiri atas banyak jenis, dan sampai saat ini telah diidentifikasi
60 jenis pada empat tempat di Papua Widjono et al., 2000. Dari jenis-jenis ini ada yang berpotensi hasil tinggi dan ada pula yang berpotensi hasil rendah dan
sedang.
Manfaat Sagu
Tanaman sagu mempunyai banyak manfaat mulai dari pati, daun, pelepah daun hingga kulit batang. Tepungnya digunakan untuk bahan makanan pokok di
Papua yang disebut papeda, di samping untuk kue dan bahan baku untuk pembuatan spirtus atau alkohol. Daunnya digunakan sebagai atap rumah,
pelepah untuk dinding rumah, dan ampasnya dapat dimanfaatkan sebagai pulp untuk pembuatan kertas atau pakan ternak.
Sagu sebagai salah satu bahan makanan pokok dapat dijadikan sebagai alternatif sumber makanan pokok selain beras. Sebagai bahan substitusi, sagu
dapat dimanfaatkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras. Harga sagu yang murah dan bisa disimpan lama jika diolah dengan baik. Perbandingan
komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan dalam 100 bagian yang dapat dimakan Hutapea,1990 dalam Rusli, 2007 disajikan di Tabel
1. Tabel 1. Komposisi kandungan tepung sagu dan beberapa bahan makanan
dalam 100 bagian yang dapat dimakan
No Jenis Bahan
Kalori Kal
Protein g
Lemak g
Karbohidrat mg
Ca mg
Fe mg
1 Beras
366 6,4
0,8 80,4
24 1,9
2 Jagung kering
349 9,1
4,2 71,7
14 2,8
3 Ubi
98 0,7
0,1 23,7
19 0,6
4 Kentang
71 1,7
0,1 16,3
8 0,7
5 Sagu
357 1,4
0,2 85,9
15 1,4
Sumber: Hutapea,1990 dalam Rusli, 2007 Menurut Bintoro 1999, beberapa manfaat sagu selain untuk pangan
diantaranya adalah: 1. Bahan baku industri non pangan
Pati sagu dapat diolah menjadi sagu mutiara, tepung campuran, pati termodifikasi, gula cair, asam amino, sorbitol, asam organik, dan bahan
penyedap yang dapat dijadikan bahan baku industri. 2. Sagu sebagai bahan energi
Untuk dapat digunakan sebagai bahan energi, tepung sagu diolah menjadi etanol terlebih dahulu melalui proses hidrolisis dan fermentasi.
Secara teoritis 1 ton tepung sagu dapat menjadi 715 liter etanol. 3. Sagu sebagai bahan baku industri pangan
Pati sagu dapat digunakan sebagaimana tepung beras, jagung, gandum, tapioka dan kentang seperti siklodektrin. Sagu juga dapat dijadikan
makanan kecil seperti sagu gula, sinoli, ongol-ongol, kue serut dan krupuk sagu.
4. Sagu sebagai pakan ternak Penggunaan jagung dan serelia lainnya untuk pangan ternak dapat
digantikan dengan tepung sagu atau sebagai pencampur makanan ternak unggas dan ruminansia.
Rincian lengkap pemanfaatan tanaman sagu dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Pemanfaatan sagu untuk berbagai industri Enie, 1992 dalam Bintoro, 1999
Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh adalah ilmu, seni dan tehnik untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisis data
yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji. Peranan penginderaan jauh sangat besar
peranannya didalam sistem informasi data dan pengelolaannya. Peranannya antara lain untuk mendeteksi perubahan, kalibrasi bagian lain pada sistem yang
sama, substitusi data lain sesudah dilakukan kalibrasi dan pengembangan model baru dalam suatu disiplin ilmu.
Daun Atap rumah
Kerajinan tangan
Pelepah daun Dinding rumah
Kulit batang Lantai dan arang
Batang Ampas
- Kompos,
- Media tanam,
- Pakan ternak,
- Industri,
- Kayu bakar
Pati -
Sagu mutiara -
Tepung campuran -
Industri pangan, -
Industri pakan, -
Pati modifikasi dekstrin -
Gula cair, -
Alkohol -
Asam Amino -
Sorbitol -
Asam Organik -
Penyedap MSG -
Protein sel tunggal Pohon Sagu
Penggunaan penginderaan jauh semakin banyak digunakan karena citra penginderaan jauh citra menggambarkan objek, daerah, dan gejala di
permukaan bumi yang mirip dengan yang ada di lapangan. Pengambilan gambar citra meliputi daerah yang luas, dapat dibuat secara cepat untuk daerah yang
sulit dijelajah dan daerah bencana. Tiap objek yang tidak terlalu kecil ukurannya dan tidak terlindung oleh objek lain, tergambar pada citra. Gambaran yang
lengkap ini memungkinkan penggunaannya untuk berbagai bidang. Pengenalan objek yang tergambar citra disebut dengan interpretasi citra
yang terdiri atas deteksi global, identifikasi setengah rinci dan analisis rinci. Deteksi adalah pengamatan atas adanya suatu objek. Identifikasi adalah upaya
mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut. Menurut
Simonett et al. 1983, resolusi spasial pada tingkat identifikasi harus mencapai tiga kali lipat resolusi spasial pada tingkat deteksi, sedangkan resolusi spasial
pada tingkat analisis harus meningkat sepuluh kali lipat atau lebih. Perolehan data dapat dilakukan dengan cara manual yakni interpretasi
secara visual dan dapat pula dilakukan dengan cara numerik atau cara digital. Interpretasi data digital berupa klasifikasi piksel berdasarkan nilai spektralnya.
Interpretasi secara visual menurut Susanto 1986 meliputi interpretasi awal, pekerjaan medan dan interpretasi akhir. Interpretasi dimulai dari memisahkan
objek yang mempunyai warna, rona dan karakteristik spasial, diikuti dengan delineasi. Untuk menjaga ketelitian hasil interpretasi diperlukan pekerjaan medan
untuk menambah data yang diperlukan atau yang tidak disadap oleh citra. Kemudian dilakukan interpretasi ulang atau interpretasi akhir. Analisis visual
menunjukkan kemampuan pandangan binokuler mata yang dimiliki oleh manusia. Oleh karenanya ketelitian hasil interpretasi sangat dipengaruhi oleh
kemampuan dan pengalaman interpreternya.
Identifikasi sagu
Identifikasi keberadaan sagu berupa tegakan dapat dilakukan dengan interpretasi citra. Interpretasi citra adalah sebagai cara untuk memperoleh
informasi kualitatif dan kuantitatif dari sebuah citra, melalui pengenalan bentuk, lokasi, tekstur, fungsi, kualitas, kondisi, hubungan antar objek yang ada dan lain-
lain yang menggunakan pengetahuan dan pengalaman manusia. Elemen yang
digunakan dalam inptrepretasi citra adalah ukuran, bentuk, bayangan, rona, warna, tekstur, pola, asosiasi dan konvergensi bukti.
Konvergensi bukti adalah teknik interpretasi dengan menggabungkan beberapa elemen interpretasi untuk menentukan objeknya. Menurut Sutanto
1986, sagu dapat diinterpretasi pada pohon yang berbentuk bintang dengan pola yang tidak teratur dan ukurannya 10 meter dan tumbuh di daerah payau
situsnya sehingga dapat dipastikan bahwa pohon tersebut adalah sagu Tabel 2. Menurut penulis sagu umumnya tumbuh pada daerah air tawar, sangat
jarang dan sedikit jumlahnya yang tumbuh di daerah payau sehingga pada Tabel 2 dimodifikasi dengan menambahkan dominan air tawar. Selanjutnya teknik
interpretasi sangat tergantung pada citra yang digunakan. Pada citra berupa data digital interpretasi dapat dimulai dari situsnya.
Tabel 2. Contoh Interpretasi visual sagu BENTUK
tajuk berbentuk bintang
POLA tidak teratur
UKURAN tinggi 10 m
SITUS dominan air
tawar Kelapa
Nipah Enau
Sagu Enau
Sagu Sagu
Kelapa sawit Nipah
Enau Sagu
Sumber: modifikasi dari Sutanto 1986
Google Earth
Google Earth adalah aplikasi untuk mengakses database pencitraan bumi yang didapat dari satelit. Awalnya dikenal sebagai Earth Viewer, Google Earth
dikembangkan oleh Keyhole, Inc., dan pada tahun 2004 diambil alih oleh Google. Kemudian diganti namanya menjadi Google Earth tahun 2005, dan sekarang
tersedia untuk komputer pribadi yang menjalankan Microsoft Windows 2000, XP, atau Vista, Mac OS X 10.3.9 dan ke atas, Linux dan FreeBSD Google Earth,
2011. Google Earth tersedia dengan 3 jenis pilihan, yaitu versi gratis free, versi Plus dan versi Pro. Versi Plus dan Pro menyediakan fasilitas pencetakan
gambar dengan definisi yang lebih tinggi, interaksi dengan alat penerima GPS
Global Positioning System, serta beberapa kelebihan lainnya dibandingkan dengan versi gratisnya.
Dengan Google Earth, dapat dilihat citra satelit, peta, medan, bangunan 3D belum semua tempat, dari galaksi di angkasa luar sampai ke palung lautan
dan dapat menjelajahi konten geografis lengkap, menyimpan tempat yang dikunjungi dan berbagi-pakai dengan orang lain. Resolusi yang tersedia
tergantung pada tempat yang dituju, tetapi kebanyakan daerah dicakup dalam resolusi global 15 meter. Di beberapa tempat perkotaan mempunyai resolusi
tinggi 1 m, 0,6 m, 0,3 m bahkan di negara Las Vegas, Nevada dan Cambridge, Massachusetts memiliki resolusi tertinggi hingga 0,15 m Google Earth, 2011
Google Earth juga memiliki data model elevasi digital DEM yang dikumpulkan oleh Misi Topografi Radar Ulang Alik NASA sehingga gambar bisa
nampak dalam tiga dimensi. Google Earth memperlihatkan rumah, warna mobil, dan bahkan bayangan orang dan rambu jalan Google Earth dapat digunakan
untuk mencari alamat untuk beberapa negara, memasukkan koordinat, atau menggunakan mouse untuk mencari lokasi.
Banyak pengguna menggunakan aplikasi ini menambah datanya sendiri dan menjadikan mereka tersedia melalui sumber yang berbeda, seperti BBS atau
blog. Google Earth mampu menunjukkan semua gambar permukaan Bumi. dan juga merupakan sebuah klien Web Map Service. Google Earth mendukung
pengelolaan data Geospasial tiga dimensi melalui Keyhole Markup Language KML.
GeoEye
GeoEye-1 merupakan Satelit pengamat bumi yang pembuatannya disponsori oleh Google dan National Geospatial-Intelligence Agency NGA yang
diluncurkan pada 6 September 2008 dari Vandenberg Air Force Base, California, AS. Satelit ini mampu memetakan gambar dengan resolusi gambar yang sangat
tinggi dan merupakan satelit komersial dengan pencitraan gambar tertinggi yang ada di orbit bumi saat ini. GeoEye adalah perusahaan yang menaungi IKONOS
dan OrbView-2. GeoEye-1 mampu menghasilkan image dengan resolusi 0,41 meter panchromatic black white dan 1,65 meter multispectral. Satelit ini
dalam sehari bisa melakukan scanning sebesar 700.000 kilometer persegi untuk sensor panchromatic dan hingga 350.000 kilometer persegi untuk sensor pan-
sharpened multispectral. Kemampuan ini sangat ideal untuk pekerjaaan pemetaan dengan skala besar GeoEye, 2011
GeoEye-1 akan mengunjungi kembali obyek yang sama di Bumi dalam 3 hari atau lebih cepat dari itu. Konsumen bisa memesan image termasuk
dengan DEM digital elevation model dan DSM digital surface model. GeoEye- 1 mengorbit 12 hingga 13 orbit per hari, terbang dengan ketinggian 684 kilometer
dengan kecepatan orbit 7,5 kmdetik. Tabel 3. Karakteristik parameter satelit GeoEye
Spesifikasi GeoEye-1 Resolusi spasial
Sensor pankromatik Sensor multispektral
0,41 m x 0,41 m 1,65 m x 1,65 m
Kisaran spektral 450-800 nm
450-510 nm biru 510-580 nm hijau
655-690 nm merah 780-920 nm infra merah
Jarak sapuan 15,2 km
Medan pandang Di atas 60
o
Dynamic range 11 bits per pixel
Misi hidup yang diharapkan 10 tahun
Waktu kembali 3 hari
Ketinggian terbang 681 km
Waktu pengambilan 10.30 a.m
Sumber: GeoEye 2011 Sejak peluncuran satelit GeoEye-1 tahun 2008, Google telah
menambahkan GeoEye-1 dan citra IKONOS ke Google Earth selain citra beresolusi menengah Landsat, Aster, Spot. Untuk mendapatkan informasi lebih
rinci tentang gambar GeoEye-1, Google memiliki GeoEye Featured Imagery di layer Google Earth Gambar 2. Termasuk dalam layer ini adalah letak feature
citra, link untuk melihat gambar dalam resolusi penuh, dan informasi resolusi, tanggal koleksi, dan narasi tentang lokasi.
Gambar 2. Layer GeoEye pada Google Earth
Pola Pangan Harapan
Pola pangan harapan PPH adalah susunan beragam pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dan kelompok pangan utama baik secara
absolut maupun relatif dan suatu pola ketersediaan atau pola konsumsi pangan. FAO-RAPA 1989 mendefinisikan PPH sebagai berikut :
“Pola Pangan Harapan adalah komposisi kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat
memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi lainnya. PPH pertama kali diperkenalkan oleh FAO-RAPA pada tahun 1988, yang kemudian dikembangkan
oleh Departemen Pertanian RI melalui workshop yang diselenggarakan Departemen Pertanian bekerjasama dengan FAO FAO-MOA, 1989; Suhardjo,
1992. Tujuan utama penyusunan PPH adalah untuk membuat suatu
rasionalisasi pola konsumsi pangan yang dianjurkan yang terdiri dari kombinasi aneka ragam pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan sesuai citarasa FAO-
RAPA, 1989. Untuk pertama kali PPH untuk kawasan Asia Pasifik dikembangkan berdasarkan data pola pangan pola ketersediaan pangan dari
Neraca Bahan Makanan, karena data ini mudah tersedia secara berkala setiap tahun. Sementara data konsumsi pangan dari berbagai negara di kawasan Asia
Pasifik tidak tersedia secara berkala. Sejak diperkenalkannya konsep PPH pada awal dekade 90 di Indonesia, PPH telah digunakan sebagai basis perencanaan
dan penilaian kecukupan gizi seimbang pada tingkat makro. PPH juga dpakai sebagai salah satu indikator hasil pembangunan pangan termasuk evaluasi
penyediaan pangan, konsumsi pangan, dan diversifikasi pangan. Meski demikian, kehadiran PPH tidak lepas dari kelemahan metodologis seperti yang
juga disadari oleh tim pakar penyusun PPH. Tim FAO-RAPA 1990 juga menyadari bahwa proporsi kalori dalam PPH perlu diadaptasi sesuai kondisipola
pangan masing-masing negaradaerah dan sistem skor yang dikembangkan oleh tim FAO-RAPA belum divalidasi. Kritik terhadap PPH juga muncul sehubungan
dengan adanya perbedaan rekomendasi pola energi terutama dari pangan hewani dan lemak antara PPH dan Pedoman Gizi Seimbang PUGS. Pada
tahun 2000, Badan Urusan Ketahanan Pangan-Deptan telah melakukan diskusi pakar dan lintas subsektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang
harmonisasi PPH dan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut PPH 2020.
Dengan pendekatan PPH dapat dinilai mutu pangan penduduk berdasarkan skor pangan dietary score. Semakin tinggi skor mutu pangan,
menunjukan situasi pangan yang semakin beragam dan semakin baik komposisi dan mutu gizinya. Penilaian keragaman dan mutu pangan dengan PPH atau
Skor PPH dapat dilakukan pada tingkat ketersediaan pangan dan tingkat konsumsi pangan. Pada prinsipnya tata cara penghitungan untuk penilaian
keragaman dan mutu pangan pada kedua tingkat tersebut adalah sama, yang membedakannya adalah data yang digunakan.
Untuk penilaian keragaman dan mutu ketersediaan pangan digunakan data Ketersediaan Pangan yang disajikan dalam neraca bahan makanan NBM
dan menggunakan Angka Kecukupan Energi AKG pada tingkat penyediaan, yaitu 2200 kkalkapitahari. Sedangkan untuk penilaian keragaman dan mutu
konsumsi pangan digunakan data konsumsi pangan yang disajikan dalam SUSENAS dan menggunakan AKG pada tingkat konsumsi, yaitu 2000
kkalkapitahari. Oleh karena itu keberadaan data konsumsi pangan atau ketersediaan pangan menjadi syarat mutlak untuk menggunakan PPH dan
menghitung skor PPH. Sebaiknya diusahakan untuk menggunakan data konsumsi pangan yang paling mutakhir bila dimaksudkan untuk menilai situasi
terkini dari keragaman dan mutu gizi konsumsi pangan.
Tabel 4. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional
Kelompok pangan Komposisi PPH Deptan 2001
GramKapHr Persen
Bobot Skor
1 Padi-padian
50,0 0,5
25,0 275
2 Umbi-umbian
6,0 0,5
2,5 100
3 Pangan Hewani
12,0 2,0
24,0 150
4 Minyak dan Lemak
10,0 0,5
5,0 20
5 Buahbiji Berminyak
3,0 0,5
1,0 10
6 Kacang-kacangan
5,0 2,0
10,0 35
7 Gula
5,0 0,5
2,5 30
8 Sayur dan Buah
6,0 5,0
30,0 250
9 Bumbu-bumbuan
3,0 0,0
0,0 Jumlah
100,0 100,0
Sumber: BPS Kabupaten Jayapura 2009 Pada umumnya telah diketahui bahwa lima kelompok zat gizi selain air
yang esensial diperlukan tubuh manusia adalah protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral. Dari tiga macam zat gizi yang pertama tersebut protein,
karbohidrat, dan lemak, tubuh akan memperoleh energi sehingga manusia mampu mempertahankan kerja alat-alat tubuh dan melakukan kegiatan fisik
sehari-hari. Berbagai zat gizi ini dapat disediakan oleh beragam pangan yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi. Sejumlah golongan bahan makanan
yang tersusun secara seimbang akan mampu memenuhi kebutuhan zat gizi. Golongan pangan tersebut mencakup: 1 padi-padian, 2 umbi-umbian, 3
pangan hewani, 4 minyak dan lemak, 5 buah dan biji berminyak, 6 kacang- kacangan, 7 gula, 8 sayuran dan buah-buahan, 9 lain-lain Kantor Menteri
Negara Urusan Pangan, 1994. Oleh karena itu, dalam penentuan PPH, bahan pangan dikelompokan menjadi sembilan: 1 padi-padian beras, jagung, terigu
dan hasil olahannya; 2 umbi-umbianpangan berpati ubi kayu, ubi jalar, kentang, talas, sagu, dan hasil olahannya; 3 pangan hewani ikan, daging,
telur, susu, dan olahannya; 4 minyak dan lemak minyak kelapa, minyak jagung, minyak gorengkelapa sawit, dan margarin; 5 buah dan biji berminyak
kelapa, kemiri, kenari, mete, coklat; 6 kacang-kacangan kedele, kacang tanah, kacang hijau, kacang merah, kacang polong, kacang tunggak dan kacang
lainnya; 7 gula gula pasir, gula merahmangkok, dan sirup; 8 sayuran dan buah semua jenis sayuran dan buah-buahan FAO-RAPA, 1989.
Tiap negara mempunyai potensi pangan dan sosial budaya yang berbeda-beda. Bagi Indonesia, menurut hasil Workshop on Food and Agriculture
Planning for Nutritional Adequance di Jakarta tanggal 11-13 Oktober 1989 direkomendasikan sebagai berikut : kelompok padi-padian sekitar 50 persen,
makanan berpati sekitar 5 persen, pangan hewani 15-20 persen, minyak dan lemak lebih dari 10 persen, kacang-kacangan sekitar 5 persen, gula 6-7 persen,
buah dan sayur 5 persen FAO-MOA, 1989.
Lahan pangan pertanian berkelanjutan
Meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan
pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Indonesia sebagai
negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan dengan
mengedepankan prinsip
kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional.
Berdasarkan hal di atas maka dikeluarkan undang-undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Nomor 41 tahun 2009 yang
disahkan pada tanggal 14 oktober 2009. Perlindungan lahan pertanian pangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam penataan ruang wilayah. Untuk
itu, perlindungan lahan pertanian pangan perlu dilakukan dengan menetapkan kawasan-kawasan pertanian pangan yang perlu dilindungi. Kawasan pertanian
pangan merupakan bagian dari penataan kawasan perdesaan pada wilayah kabupaten. Dalam kenyataannya lahan-lahan pertanian pangan berlokasi di
wilayah kota juga perlu mendapat perlindungan. Perlindungan kawasan pertanian pangan dan lahan pertanian pangan
meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan dan pembinaan, pengendalian, pengawasan, pengembangan sistem informasi,
perlindungan dan pemberdayaan petani, peran serta masyarakat, dan pembiayaan. Perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan dilakukan
dengan menghargai kearifan budaya lokal serta hak-hak komunal adat.
Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Perencanaan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan pada: a. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan; b. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan c. Lahan
Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya pertanian terutama pada wilayah
perdesaan yang memiliki hamparan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan danatau hamparan Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan serta
unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi
pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pada masa yang
akan datang. Perencanaan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan diamanatkan pada
UU No 41 tahun 2009 didasarkan pada: a. pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk; b. pertumbuhan produktivitas; c.
kebutuhan pangan nasional; d. kebutuhan dan ketersediaan lahan pertanian pangan; e. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan f. musyawarah
petani. Lahan pertanian pangan yang sudah ada dan lahan cadangan didasarkan atas kriteria: a. kesesuaian lahan; b. ketersediaan infrastruktur; c. penggunaan
lahan; d. potensi teknis lahan; danatau e. luasan kesatuan hamparan lahan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mencoba menerapkan UU ini
terutama pada lahan sawah. Christina 2011 melakukan penelitian pada lahan sawah di tingkat propinsi Propinsi Jawa Barat dan kabupaten Kabupaten
Garut dengan
metode pembobotan
melalui proses
overlay peta
tutupanpenggunaan lahan, kawasan hutan, kesesuaian lahan, status irigasi dan intensitas penanaman. Hasil penelitian ini menunjukkan kebutuhan lahan sawah
untuk Propinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri maupun untuk kontribusi pada tingkat lebih tinggi masih
mencukupi hingga 20 tahun akan datang. Identifikasi lahan pertanian sawah pada penelitian tersebut menggunakan data spasial lama sekunder perlu
pembaharuan data dan informasi sehingga hasil analisis lebih sesuai dan akurat. Syamson 2011 melakukan juga pada lahan sawah di Kabupaten Barru
mengindentifikasi KP2B berdasarkan 3 skenario berdasarkan batas administrasi kecamatan, kontiguitas spasial dan luas hamparan maksimal berdasarkan pada
kesesuaian lahan, status peruntukkan lahan dan jaringan jalan. Pada penelitian Syamson 2011 belum menggunakan data jaringan irigasi.
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada lahan sagu yang ada di sekitar Danau Sentani dengan lokasi penelitian mencakup 5 distrik dan 16 kampung di
Kabupaten Jayapura. Daerah ini dipilih karena mempunyai produktifitas sagu dan pemanfaatannya yang paling baik dibandingkan daerah lainnya di Jayapura
dan wilayah ini paling terancam oleh konversi lahan ke penggunaan non pertanian karena berdekatan dengan pusat pemerintahan Kabupaten Jayapura
Lampiran Gambar 1 dan 2. Penelitian ini survei lapang dilaksanakan selama 6 bulan pada bulan September 2010 sampai Februari 2011. Lokasi penelitian
disajikan pada Gambar 4.
Bahan dan Alat
Bahan penelitian bersumber dari data primer dan data sekunder berupa data tabular dan data spasial. Data primer berupa data spasial yang diperoleh
dari survei dan wawancara yakni sebaran sagu, tegakan, kerapatan dan jenis sagu, produktifitas serta pemanfaatannya oleh masyarakat setempat. Data
sekunder berupa data tabular yang diperoleh dari instansi pemerintah dan hasil- hasil penelitian terkait berupa data jumlah penduduk dan konsumsi sagu.
Selengkapnya data yang diperlukan, cara memperoleh dan keluarannya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Data yang diperlukan dan cara memperolehnya
Sumber Jenis Data
Cara memperoleh
Primer Sebaran sagu,
penggunaan lahan Digitasi citra GeoEye 2010 dari
Google Earth dan hasil survei Tegakan, kerapatan dan
jenis tanaman sagu Petak pengamatan
Pemanfaatan tanaman sagu, produksi, jenis sagu
Wawancara dengan penduduk
Sekunder Peta RTRW dan batas
administrasi Bapeda
Peta tutupan lahan Kabupaten Jayapura
Dinas Kehutanan Jumlah penduduk, dan
konsumsi sagu BPS, Dinas Ketahanan Pangan
dan laporan hasil-hasil penelitian
24 Gambar 4. Lokasi penelitian
Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 3 tahap yakni 1. persiapan, 2 survei dan 3 analisis data
1. Persiapan
Kegiatan tahap persiapan terdiri atas: a studi literatur dan pengumpulan data sekunder serta b penyusunan peta lahan bervegetasi sagu
a. Studi literatur dan pengumpulan data sekunder Studi literatur atau studi pustaka yang dilakukan berkaitan dengan
sagu yakni habitat sagu, fungsi sagu secara ekonomi, ekologi dan budaya, konsep pengelolaan sagu, kajian dilakukan melalui buku terkait, jurnal,
artikel, penelusuran melalui internet. Pengumpulan data sekunder berupa data tabular dan spasial. Data tabular dari laporan hasil-hasil penelitian dan
laporan dari instansi pemerintah BPS, Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Bappeda meliputi data produksi sagu, konsumsi sagu, budidaya
tanaman sagu, data penduduk sedangkan data spasial berupa peta tutupan lahan, RePPProT dan peta administrasi untuk membatasi areal penelitian.
b. Pemetaan sebaran sagu Pemetaan sebaran sagu adalah pemetaan lahan-lahan bervegetasi
sagu, diperlukan saat pengamatan survei potensi tegakan sagu. Lahan bervegetasi sagu diidentifikasi lebih lanjut dengan pengecekan lapang.
Pencarian lahan bervegetasi melalui informasi hasil-hasil penelitian atau laporan serta dari informasi letak areal hutan sagu dari sebagai sumber di
dinas-dinas terkait dan masyarakat setempat dan mengambil titik GPSnya. Setelah diperoleh lokasi letak hutan sagu lalu disiapkan citra GeoEye dari
Google Earth untuk melihat sebaranya Gambar 5. Interpretasi citra GeoEye dengan metode on screen yakni mendelineasi pola-pola sebaran
sagu yang ada secara visual secara online.
Gambar 5. Alur pemetaan sebaran sagu Peta lahan sebaran sagu menjadi peta lapang tentang sebaran
tanaman sagu untuk rencanakan lokasi petak pengamatan saat survei tegakan tanaman sagu dilakukan.
2. Survei
Survei terdiri dari: a pengamatan keragaman tanaman sagu, dan b wawancara responden.
a Pengamatan keragaman tanaman sagu Pengamatan keragaman tanaman sagu dilakukan untuk mengetahui
potensi tegakan dan kerapatan tanaman sagu berdasarkan peta lahan sebaran sagu yang dibuat pada tahap persiapan. Setiap sebaran sagu
dibuat 4 petak pengamatan berukuran 15 m x 15 m. Penempatan petak pengamatan mewakili keragaman sagu yang ada dengan pertimbangan
kemudahan dijangkau. Data yang dikumpulkan meliputi tipe sagu dusun sagu, atau dusun sagu campuran, potensi tegakan tegakan siap panen,
kerapatan rumpun, jenis sagu dan deskripsi kondisi lingkungan tumbuh. b Wawancara responden
Wawancara dilakukan untuk mengetahui sebaran jenis sagu dan pemanfaatan hutan sagu oleh masyarakat sekitar lokasi penelitian. Data yang
dikumpulkan meliputi jenis pemanfaatan dan intensitas pemanfaatannya. Untuk memudahkan dalam menentukan intensitas pemanfaatan dibuat kelas
pemanfaatan Tabel 6. Pemilihan responden berasal dari kampung yang berada di kawasan tanaman sagu. Data tersebut diperoleh melalui wawancara
terhadap responden yang ditemui di kampung maupun di lahan sagu.
Studi literatur
Informasi masyarakatdinas
Pengecekan lapang penentuan lokasi
Sebaran sagu Interpretasi dari
Citra GeoEye