Proses Kegiatan Surveilans Bencana

B. Proses Kegiatan Surveilans Bencana

1. Kegiatan di Pos Kesehatan Pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah sarana kesehatan sementara yang diberi tanggungjawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar untuk masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi pengungsi dan sekitarnya. Pos kesehatan bertujuan untuk memulihkan dan meningkatkan kesehatan masyarakat di lokasi pengungsi dan sekitarnya serta terselenggaranya pelayanan rawat jalan, pelayanan kesehatan ibu dan anak, kesehatan reproduksi Iainnya termasuk KB, pelayanan kesehatan jiwa dan psikososial, pelayanan gizi, kesehatan Iingkungan dan terselenggaranya pémantauan dan pencegahan penyakit menular di lokasi pengungsi. Pengorganisasian pos kesehatan meliputi :

a. penanggungjawab pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah kepala puskesmas setempat;

b. sasaran pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah masyarakat yang berada di lokasi pengungsi dan masyarakat di sekitarnya;

c. pelaksana pos kesehatan adalah puskesmas setempat. Apabila puskesmas tidak mampu atau rusak karena bencana, pelaksana pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah puskesmas yang c. pelaksana pos kesehatan adalah puskesmas setempat. Apabila puskesmas tidak mampu atau rusak karena bencana, pelaksana pos kesehatan di lokasi pengungsi adalah puskesmas yang

d. sesuai dengan asas penyelenggaraan puskesmas, pos kesehatan yang dikelola oleh swasta atau lsm, harus sepengetahuan dan dibawah koordinasi puskesmas/dinas kesehatan kabupaten/kota setempat;

e. mekanisme kerja pos kesehatan di lokasi pengungsi mengikuti mekanisme kerja puskesmas;

f. pos kesehatan harus melaporkan seluruh kegiatannya kepada puskesmas setempat;

g. pelayanan yang diselenggarakan meliputi pelayanan kesehatan dasar, yang untuk beberapa hal disesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat;

h. pelayanan tersebut mencakup promosi kesehatan, pelayanan gizi, pelayanan kesehatan ibu dan anak serta keluarga berencana serta pencegahan dan pemberantasan penyakit menular :  menyelenggarakan pelayanan imunisasi;  menyelenggarakan kegiatan penemuan penderita penyakit

menular;  menyelenggarakan surveilans epidemiologi penanggulangan klb;  menyelenggarakan kegiatan pencegahan dan penanggulangan klb;  menyelenggarakan kegaiatan penyehatan lingkungan

i. disamping penyakit yang berpotensi klb, penyakit tidak menular juga diamati seperti trauma dan luka ‐luka; j. apabila petugas kesehatan di pos kesehatan menemukan atau mencurigai kemungkinan adanya peningkatan kasus ‐kasus tersangka penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease) ataupun penyakit lain yang jumlahnya meningkat dalam kurun waktu singkat, maka petugas yang bersangkutan harus i. disamping penyakit yang berpotensi klb, penyakit tidak menular juga diamati seperti trauma dan luka ‐luka; j. apabila petugas kesehatan di pos kesehatan menemukan atau mencurigai kemungkinan adanya peningkatan kasus ‐kasus tersangka penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease) ataupun penyakit lain yang jumlahnya meningkat dalam kurun waktu singkat, maka petugas yang bersangkutan harus

Kegiatan surveilans yang dilakukan di pos kesehatan, antara lain:

a. pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan (form ba ‐3 dan

ba ‐6);

b. validasi data agar data menjadi sahih dan akurat, pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit dan golongan umur per minggu (form ba ‐4);

c. pembuatan dan pengiriman laporan (form ba‐5 dan ba‐7). Dalam kegiatan pengumpulan data kesakitan yang ditujukan pada penyakit ‐penyakit yang mempunyai potensi menimbulkan terjadinya wabah, dan masalah kesehatan yang bias memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan/atau memiliki fatalitas tinggi.

Jenis penyakit yang diamati antara lain diare berdarah, campak, diare, demam berdarah dengue, pnemonia, lumpuh layuh akut (AFP), ISPA non ‐pneumonia, difteri, tersangka hepatitis, malaria klinis, gizi buruk, tetanus, dsb.

2. Kegiatan di Puskesmas Kegiatan surveilans yang dilakukan di puskesmas, antara lain:

a. pengumpulan data kesakitan penyakit‐penyakit yang diamati dan kematian melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap pos kesehatan yang ada di wilayah kerja (form ba ‐3,

ba ‐6);

b. validasi data agar data menjadi sahih dan akurat;

c. pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan tempat tinggal per minggu (form ba ‐4);

d. pembuatan dan pengiriman laporan (form ba‐5 dan ba‐7).

3. Kegiatan di Rumah Sakit Kegiatan surveilans yang dilakukan di rumah sakit, antara lain:

a. pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui pencatatan rujukan kasus harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap dari para korban bencana (form ba ‐3, ba‐6);

b. validasi data agar data menjadi sahih dan akurat;

c. pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan tempat tinggal per minggu (form ba ‐4);

d. pembuatan dan pengiriman laporan (form ba‐5 dan ba‐7).

4. Kegiatan di Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, antara lain:

a. pengumpulan data berupa jenis bencana, lokasi bencana, keadaan bencana, kerusakan sarana kesehatan, angka kesakitan penyakit yang diamati dan angka kematian korban bencana yang berasal dari puskesmas, rumah sakit, atau Poskes khusus (form BA ‐1,

BA ‐2);

b. surveilans aktif untuk penyakit tertentu (form BA‐3 dan BA‐6);

c. validasi data agar data menjadi sahih dan akurat;

d. pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan umur dan tempat tinggal per minggu (form BA ‐4);

e. pertemuan tim epidemiologi kabupaten/kota untuk melakukan analisis data dan merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut penyebarluasan informasi.

5. Kegiatan di Dinas Kesehatan Provinsi Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat provinsi, antara lain:

a. pengumpulan data kesakitan penyakit‐penyakit yang diamati dan kematian korban bencana yang berasal dari dinas kesehatan kabupaten/kota (form BA ‐1, BA‐2, BA‐6 dan BA‐7)

b. surveilans aktif untuk penyakit‐penyakit tertentu;

c. validasi data agar data menjadi sahih dan akurat; c. validasi data agar data menjadi sahih dan akurat;

e. pertemuan tim epidemiologi provinsi untuk melakukan analisis data dan merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut, penyebarluasan informasi, pembuatan dan pengiriman laporan (form BA ‐5 dan form BA‐7).

6. Hasil Adanya rekomendasi dari hasil kajian analisis data oleh tim epidemiologi diharapkan dapat menetapkan rencana kegiatan korektif yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan. Rencana kegiatan korektif ini tentunya dapat menekan peningkatan penyakit khususnya penyakit menular di lokasi bencana yang akhirnya menekan angka kematian akibat penyakit pada pasca bencana.

Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Diare

Penyakit Diare merupakan penyakit menular yang sangat potensial terjadi di daerah pengungsian maupun wilayah yang terkena bencana, yang biasanya sangat terkait erat

dengan kerusakan, keterbatasan penyediaan air bersih dan sanitasi dan diperburuk oleh perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah. Pencegahan penyakit diare dapat dilakukan sendiri oleh para pengungsi, antara lain:

1. Gunakan air bersih yang memenuhi syarat.

2. Semua anggota keluarga buang air besar di jamban.

3. Buang tinja bayidan anak kecil di jamban.

4. Cucilah tangan

makan, sebelum menjamah/memasak makanan dan sesudah buang air besar.

dengan sabun

sebelum

5. Berilah Air Susu Ibu (ASI) saja sampai bayi berusia 6 bulan.

6. Berilah makanan pendamping ASI dengan benar setelah bayi berusia 6 bulan dan pemberian ASI diteruskan sampai bayi berusia 24 bulan.

Penyediaan air bersih yang cukup dan sanitasi lingkungan yang memadai merupakan tindakan pencegahan penyakit diare, sedangkan pencegahan kematian akibat diare dapat dilakukan melalui penatalaksanaan kasus secara tepat dan kesiapsiagaan akan kemungkinan timbulnya KLB diare.

a. Tata Laksana Penderita Bilamana ditemukan adanya penderita Diare di lokasi bencana atau penampungan pengungsi, pertama-tama yang harus dikerjakan pada waktu memeriksa penderita diare adalah:

1) menentukan derajat dehidrasi

2) menentukan pengobatan dehidrasi yang tepat Setiap penderita diare yang mengalami dehidrasi harus diobati dengan oralit. Seluruh petugas kesehatan harus memiliki keterampilan dalam menyiapkan oralit dan memberikan dalam jumlah besar. Sesuai dengan derajat dehidrasinya, penderita diberikan terapi sebagai berikut:

 Rencana Terapi A: untuk mengobati penderita diare tanpa dehidrasi.  Rencana Terapi B: untuk mengobati penderita diare dengan dehidrasi ringan/sedang.  Rencana Terapi C: untuk mengobati penderita dengan dehidrasi berat. Bila penderita dalam keadaan dehidrasi berat rehidrasi harus segera dimulai. Setelah itu pemeriksaan lainnya dapat dilanjutkan.

3) Mencari masalah lain, seperti, kurang gizi, adanya darah dalam tinja diare lebih dari 14 hari. Selain diperiksa status dehidrasinya harus pula diperiksa gejala lainnya untuk menentukan adanya penyakit lain seperti adanya darah dalam tinja, panas, kurang gizi dan lain sebagainya. Bila tinja penderita mengandung darah berarti penderita mengalami disentri yang memerlukan pengobatan antibiotik.

 Bila penderita diare 14 hari atau lebih berarti menderita diare persisten dan perlu diobati.

 Bila penderita panas (>38°C) dan berumur >2 bulan dapat diberikan obat penurun panas.

 Bila didaerah tersebut endemik malaria dan anak ada riwayat panas sebelumnya dapat diberikan pengobatan sesuai program malaria. Keterangan lengkap tentang masalah lain lihat pada gambar tatalaksana penderita diare.

b. Pertolongan Penderita Diare di Rumah Tangga dan Tempat Pengungsian Langkah-langkah pertolongan penderita diare di rumah tangga, antara lain:

1) Berikan segera oralit atau cairan yang tersedia di rumah dan tempat pengungsian, seperti air teh, tajin, kuah sayur dan air sup.

2) Teruskan pemberian makanan seperti biasa, tidak pedas dan tidak mengandung serat.

3) Bawalah segera ke pos kesehatan terdekat atau ke Puskesmas terdekat, bila ada suatu tanda sebagai berikut:  Diare bertambah banyak/sering  Muntah berulang-ulang  Ada demam  Tidak bisa minum dan makan  Kelihatan haus sekali  Ada darah dalam tinja  Tidak membaik sampai 2 hari

c. Pertolongan Penderita Diare di Sarana Kesehatan atau Pos Kesehatan Langkah-langkah pertolongan penderita diare di sarana kesehatan atau pos kesehatan, antara lain:

1) Rehidrasi oral dengan oralit

2) Pemberian cairan intravena dengan Ringer Lactate untuk penderita diare dehidrasi berat dan penderita tidak bisa minum.

3) Penggunaan antibiotik secara rasional

4) Memberikan nasehat pada keluarga tentang pentingnya meneruskan pemberian makanan, rujukan dan upaya pencegahan.

d. Kesiapsiagaan terhadap Kemungkinan KLB Pada fase ini Tim Reaksi Cepat melakukan kesipasiagaan yang berupa kegiatan yang dilakukan terus menerus dengan kegiatan utamanya:

1) Mempersiapkan masyarakat pengungsi untuk pertolongan pertama bila terjadi diare seperti Rencana Terapi A.

2) Membuat dan menganalisa kasus harian diare.

3) Menyiapkan kebutuhan logistik khususnya oralit cairan IV-RL, antibiotika, tetrasiklin, kotrimoxazole dan peralatan lainnya.

4) Mengembangkan prosedur sederhana kewaspadaan dini di masyarakat pengungsi.