Prioritas Bencana Gempa Bumi terdahsyat
TANGGAP DARURAT BENCANA “Prioritas Bencana (Gempa Bumi)
Disusun oleh: KELOMPOK 2, Kelas D-2013
1. Dina Happy Yusinta 25010113130256
2. Merry Putri R. Sirait 25010113140257
3. Achmad Rizki Azhari 25010113140258
4. Rifha Asti Hardinawanti 25010113140259
5. Syifa Awalia Rahma 25010113140260
6. Alifia Ardyara 25010113130261
7. Jihan Annisa 25010113130262
8. Yustina Hartiana Limasale 25010113140263
9. Tiara Tidy 25010113140264
10. Distia Hayyudini 25010113140265
11. Cristin Oktaviana G.Y.A 25010113140266
12. Soraya Hidayati 25010113130267
13. Faraskia Kenan Diornari 25010113140268
14. Atikah 25010113140269
15. Miranti 25010113140270 FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS DIPONEGORO
INTRODUCTION
Bencana alam maupun karena buatan manusia, akan menyebabkan hancurnya infrastruktur kesehatan serta hilangnya kapasitas sistem kesehatan untuk merespon kebutuhan kesehatan populasi di wilayah tersebut. Rusaknya fasilitas kesehatan, berkurangnya jumlah tenaga kesehatan karena menjadi korban bencana, maupun karena keluarganya menjadi korban, lumpuhnya sarana komunikasi dan koordinasi menjadi penyebab kolapsnya sistem kesehatan setempat.
Gempa bumi merupakan suatu fenomena alam yang tidak dapat dihindari, tidak dapat diramalkan kapan terjadi dan berapa besarnya. Hal yang tidak asing lagi bagi kita sebagai orang Indonesia, ini dikarenakan Indonesia berada pada pertemuan dua palung. Pada peristiwa tabrakan/tumbukan tersebut akan terjadinya gesekan antara dua atau lebih lempengan yang mengakibatkan adanya pelepasan ‘energi’ yang besar sekali, yang berpengaruh pada daerah- daerah yang lemah pada lempengan tersebut. Bila daerah lemah berada di daerah puncak, akan terjadi letusan gunung api yang diawali dengan adanya gempa vulkanik. Pada daerah di bawah, bila terjadi patahan pada lempengan, akan terjadi peristiwa gempa tektonik.
Indonesia terletak pada lokasi yang rawan gempa bumi. Pada beberapa tahun terakhir ini gempa bumi makin sering terjadi. Belum ada teknologi yang dapat meramalkan gempa bumi, sehingga seringkali gempa bumi banyak memakan korban jiwa. Mayoritas korban tewas disebabkan oleh runtuhnya bangunan. Di Indonesia sendiri banyak bangunan yang bertingkat. Efek yang ditimbulkan oleh gempa dengan kekuatan intensitas yang tinggi sangatlah berbahaya pada bangunan tersebut dan penghuninya.
Dari gempa yang diakibatkan diatas maka diperlukan suatu bangunan yang tahan gempa dengan menentukan parameter dinamik absorber untuk meredam getaran pada bangunan sehingga gempa yang merusak bangunan akan bisa diperkecil untuk menghindari korban jiwa.
Disisi lain kebutuhan kesehatan populasi di wilayah bencana meningkat drastis, karena mengalami trauma fisik maupun psikis sebagai dampak langsung bencana. Disamping itu hancurnya sarana dan prasarana kehidupan seperti rumah, sarana air bersih, sarana sanitasi, dan terganggunya suplai pangan akan memperburuk status kesehatan mereka. Salah satu masalah kesehatan utama yang muncul akibat bencana adalah penyakit menular. Meskipun penyakit menular tidak serta merta muncul sesaat sesudah bencana akan tetapi, apabila tidak ada pengamatan penyakit secara seksama dengan sistem surveilans yang baik, maka penyakit menular akan mempunyai potensi yang sangat besar untuk menjadi wabah maupun epidemi, sebagai akibat:
Berkumpulnya manusia dalam jumlah yang banyak Sanitasi, air bersih, nutrisi yang tidak memadai Perpindahan penyakit karena perubahan lingkungan paska bencana,
maupun karena perpindahan penduduk karena pengungsian Akibat rusaknya infrastruktur kesehatan dan situasi lingkungan sosial yang cenderung kacau dan tidak teratur, maka pengendalian penyakit menular pada situasi bencana mempunyai prinsip dasar untuk mendeteksi kasus penyakit menular prioritas sedini mungkin dan melakukan respons cepat agar penularan penyakit bisa dicegah. Untuk itu suveilans paska bencana mempunyai karakteristik tertentu yang berbeda dengan surveilans dan pengendalian penyakit pada situasi normal. Modul ini akan mendiskusikan beberapa isu penting, terkait dengan surveilans penyakit paska bencana, untuk membedakan dengan pengamatan penyakit pada situasi normal.
a. Faktor risiko penyakit menular paska bencana Seperti yang telah disinggung dalam pendahuluan, potensi timbulnya penyakit menular pada kondisi paska bencana
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: penyakit yang sudah ada sebelum bencana, perubahan ekologis karena bencana, pengungsian, perubahan kepadatan penduduk, rusaknya fasilitas umum, dan hilangnya layanan kesehatan dasar.
b. Penyakit yang ada sebelum bencana Umumnya, penyakit menular yang muncul setelah bencana terkait dengan penyakit endemis wilayah tersebut. Sehingga, risiko penularan penyakit paska bencana juga tidak ada jika organisme penyebab tidak ada di wilayah tersebut sebelumnya. Meskipun begitu, relawan yang datang ke wilayah bencana mempunyai risiko untuk menularkan penyakit, maupun tertular penyakit yang sudah ada di wilayah bencana.
c. Perubahan ekologi karena bencana Bencana alam seringkali akan menyebabkan perubahan ekologis lingkungan. Akibatnya risiko penularan penyakit bisa meningkat maupun berkurang, terutama penyakit yang ditularkan oleh vektor maupun penyakit yang ditularkan oleh air.
d. Pengungsian Pengungsian dapat menyebabkan meningkatnya risiko relatif munculnya penyakit menular melalui mekanisme sebagai berikut: terbebaninya sistem layanan kesehatan dimana mereka mengungsi, tertularinya para pengungsi oleh penyakit endemis dimana mereka mengungsi, para pengungsi memperkenalkan agen infeksi baru pada lingkungan dimana mereka mengungsi.
e. Kepadatan penduduk Kepadatan penduduk merupakan faktor penting penularan penyakit terutama terkait dengan penularan melalui rute penularan melalui pernapasan dan kontak langsung. Bencana alam menyebabkan rusaknya rumah, yang berakibat meningkatnya kepadatan penduduk karena terkumpul dalam kemah-kemah pengungsian.
f. Rusaknya fasilitas publik Listrik, air minum, maupun sistem pembuangan limbah akan terpengaruh oleh bencana alam. Hilangnya sarana MCK akan meningkatkan penyakit yang menular melalui makanan dan air. Kurangnya air untuk mencuci tangan maupun mandi juga akan meningkatkan penyebaran penyakit melalui kontak langsung.
g. Pemilihan kasus prioritas Tidak semua penyakit menular muncul dalam situasi paska bencana dan tidak semua penyakit menular yang muncul merupakan penyakit yang harus mendapatkan prioritas dalam pengamatan maupun pengendalian. Beberapa penyakit menular menjadi prioritas pengamatan didasari oleh beberapa pertimbangan dibawah ini: Penyakit yang rentan epidemik (kondisi padat):
Acute watery diarrhoea/cholera Diare berdarah Typhoid fever Hepatitis Meningitis
Penyakit yang penting dalam program pengendalian nasional Campak Tetanus
Penyakit endemis yang dapat meningkat paska bencana: Kenaikan kasus malaria Demam berdarah dengue
1. INITIAL ASSESSMENT
Initial Assesment adalah proses penilaian yang cepat dan pengelolaan yang tepat guna menghindari kematian pada pasien gawat darurat.
Tujuannya mencegah semakin parahnya penyakit dan menghindari kematian korban dengan penilaian yang cepat dan tindakan yang tepat.
Initial assessment yang dilakukan saat menemukan korban atau pasien dengan kondisi gawat darurat merupakan salah satu penentu keberhasilan penanganan korban/pasien tersebut. Initial assessment merupakan suatu bentuk penilaian awal kondisi korban/pasien yang dilakukan secara cepat dan tepat, sehingga tim medis baik dokter atau perawat yang Initial assessment yang dilakukan saat menemukan korban atau pasien dengan kondisi gawat darurat merupakan salah satu penentu keberhasilan penanganan korban/pasien tersebut. Initial assessment merupakan suatu bentuk penilaian awal kondisi korban/pasien yang dilakukan secara cepat dan tepat, sehingga tim medis baik dokter atau perawat yang
Informasi yang dibutuhkan pada: latar belakang penyakit utama, dan persyaratan dalam hal sumber daya manusia dan material. Data ini melibatkan informasi kuantitatif serta informasi kualitatif. Data dapat dikumpulkan oleh survei sampel pemetaan, wawancara dan observasi. Metode akan sering digunakan dan hasilnya mungkin perlu dikuatkan dengan penelitian lain.
Inti dari initial assessment ini antara lain adalah primary survey, secondary survey dan penanganan definitive (menetap). Primary survey dan secondary survey ini harus selalu dilakukan berulang untuk menentukan adanya penurunan kondisi pasien, sehingga dapat segera memberikan resusitasi yang diperlukan.
Intervensi dilakukan dengan cepat, efektif, benar dan disesuaikan dengan situasi, intervensi didasarkan pada penilaian awal yang dilakukan segera setelah populasi pengungsi telah tiba atau upaya bantuan pertama telah dimulai. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengidentifikasi prioritas intervensi dan benar merencanakan program untuk masyarakat internasional.
Informasi ini penting dan harus mencakup keseluruhan, sesubjektif mungkin, dilihat dari aspek kualitatif dan kuantitatif situasi dalam hal populasi sasaran, kebutuhan, masalah utama, konteks lokal, dll. Pengumpulan data ini harus dilakukan oleh tim yang berpengalaman, benar- benar independen dari pengaruh politik atau lainnya. Data yang akan dikumpulkan dan dianalisis dapat diklasifikasikan ke dalam 6 kategori:
1. Konteks politik geo, termasuk latar belakang perpindahan,
2. Deskripsi penduduk
3. Karakteristik lingkungan di mana para pengungsi telah menetap
4. Masalah kesehatan utama
5. Persyaratan dalam hal sumber daya manusia dan material
6. Mitra operasi.
Tujuan utama dari penilaian awal adalah:
1. Untuk mengambil keputusan ya atau tidak melakukan intervensi : intervensi diperlukan dalam pandangan konteks.
2. Untuk menentukan prioritas intervensi: meskipun prioritas ini sebagian besar standar, sering perlu untuk menyesuaikannya dengan situasi tertentu.
3. Untuk merencanakan pelaksanaan prioritas ini: strategi untuk bertindak, menentukan sumber daya yang dibutuhkan dan bekerja di luar kerangka waktu.
4. Untuk menyampaikan informasi, serta pengamatan kondisi hidup pengungsi dan situasi hak asasi manusia kepada masyarakat keseluruhan.
2. MEASLES IMMUNIZATION
Imunisasi Campak Pada Pasca Bencana Gempa Bumi Terdapat 130 gunung api aktif di Indonesia yang terbagi dalam Tipe A, Tipe B, dan Tipe C. Gunung api yang pernah meletus sekurang- kurangnya satu kali sesudah tahun 1600 dan masih aktif digolongkan sebagai gunung api tipe A, tipe B adalah gunung api yang masih aktif tetapi belum pernah meletus sedangkan tipe C adalah gunung api yang masih di indikasikan sebagai gunung api aktif.
Pengendalian penyakit dilaksanakan dengan pengamatan penyakit (surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan kasus) yang dilakukan di lokasi bencana termasuk di pengungsian. Baik yang dilaksanakan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada maupun di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan bencana. Tujuan pengendalian penyakit pada saat bencana adalah mencegah kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular potensi wabah, seperti penyakit diare, ISPA, malaria, DBD, penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (P3DI), keracunan dan mencegah penyakit- penyakit yang spesifik local. Permasalahan penyakit , terutama disebabkan oleh:
kerusakan lingkungan dan pencemaran;
jumlah pengungsi yang banyak, menempati suatu ruangan yang sempit, sehingga harus berdesakan; pada umumnya tempat penampungan pengungsi tidak memenuhi syarat kesehatan;
ketersediaan air bersih yang seringkali tidak mencukupi jumlah maupun kualitasnya;
diantara para pengungsi banyak ditemui orang-orang yang memiliki risiko tinggi, seperti balita, ibu hamil, berusia lanjut; pengungsian berada pada daerah endemis penyakit menular, dekat sumber pencemaran, dan lain-lain; Kurangnya PHBS (Prilaku Hidup Bersih dan Sehat);
Kerusakan pada sarana kesehatan yang seringkali diikuti dengan padamnya listrik yang beresiko terhadap kualitas vaksin.
Potensi munculnya penyakit menular sangat erat kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi pengungsian dan masyarakat sekitar penampungan pengungsi, seperti campak, diare, pnemonia, malaria dan penyakit menular lain spesifik local. Potensi munculnya penyakit menular campak sangat erat kaitannya dengan faktor risiko, khususnya di lokasi pengungsian dan masyarakat sekitar penampungan pengungsi.
Dalam situasi bencana/di lokasi pengungsian, upaya imunisasi harus dipersiapkan dalam mengantisipasi terjadinya KLB PD3I terutama campak. Dalam melakukan imunisasi ini sebelumnya dilakukan penilaian cepat untuk mengidentifikasi hal-hal sbb:
dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat di wilayah bencana/lokasi pengungsian terutama para pengungsi, lingkungan, sarana imunisasi,
sumber daya menusia (petugas kesehatan/imunisasi) data cakupan imunisasi dan epidemiologi penyakit, sebelum bencana dalam 3 tahun terakhir, untuk menentukan kebutuhan upaya imunisasi
berdasarkan analisa situasi dalam rangka pencegahan klb pd3i
Sasaran imunisasi untuk mencegah KLB PD3I di daerah bencana/lokasi pengungsian adalah :
1) Semua anak usia 9-59 bulan diberi imunisasi campak tambahan. Pemberian imunisasi campak tambahan diberikan sebanyak 1 dosis atau satu kali pemberian. Pemberian imunisasi ini terintegrasi dengan pemberian Vit A untuk memberikan peningkatan perlindungan pada anak. Apabila ditemukan kasus campak pasca bencana, walaupun satu kasus, maka dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa pada daerah tersebut
dan penanggulangannya mengacu pada Pedoman Penatalaksanaan KLB (diterbitkan oleh Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan). Perkiraan jumlah anak usia 9-59 bulan adalah sekitar 11% x jumlah penduduk.
2) Kelompok populasi yang berisiko tinggi terhadap penyakit tertentu, berdasarkan hasil penilaian cepat pasca bencana.
1. Tahap Tanggap Darurat
Tahap ini dimulai setelah tahap penyelamatan selesai dilaksanakan, dengan tujuan menanggulangi masalah gizi melalui intervensi sesuai tingkat kedaruratan. Kegiatan dalam tahap tanggap darurat terutama campak yaitu menghitung prevalensi status gizi balita berdasarkan indeks BB/TB-PB dan menganalisis adanya faktor pemburuk kejadian campak.
2. Strategi
a. Melakukan identifikasi situasi di daerah bencana dengan instrument penilaian cepat
b. Penangulangan program imunisasi sesuai masalah di daerah bencana
3. Persiapan
a. Penialaian cepat imuniasi Penilaian cepat imunisasi merupakan upaya untuk identifikasi hal-hal sebagai berikut :
Dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat di wilayah bencana terutama para pengungsi, lingkungan, sarana imunisasi,
sumber daya manusia (petugas kesehatan/imunisasi) Data cakupan imunisasi dan epidemiologi penyakit, sebelum bencana dalam 3 tahun terakhir, untuk menentukan kebutuhan
upaya imunisasi berdasarkan analisasa situasi dalam rangka pencegahan PD3I
Hasil penilaian cepat digunakan untuk bahan pegambilan keputusan segera, menentukan perencanaan kegiatan imunisasi selanjutnya dan intervensi yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Pelaksanaan Penilaian cepat imunisasi :
Paling lambat 3 hari setelah kejadian Dilakukan oleh timpenanggulangan bencana bidan kesehatan Menggunakan check list (terlampir) yang meliputi:
i. Informasi demografi (jumlah dan lokasi pengungsian, jumlah total pengungsi, jumlah pengungsi per lokasi)
ii. Pemetaan bangunan (kantor dinas kesehatan, cold room/gudang, vaksin dan puskesmas serta bangunan kesehatan lainnya) lengkap dengan kondisinya.
iii. Informasi SDM pengelola dan pelaksana imunisasi ketersediaan tenaga banuan untuk pelaksanaan imunisasi tambahan (jumlah petugas sebelum dan pasca bencana, serta kebutuhan petugas)
iv. Kondisi rantai dingin (cold room, lemari es, freezer, vaccine carrier, cold box, cold pack dan logistic lainnya) serta genset. v. Kondisi vaksin ADS vi. Kinerja elayanan imunisasi (kuantitas cakupan, kualitas
pelayanan dan status imunisasi serta kasus PD3I) sebelum terjadi bencana selama 3 tahun terakhir
b. Perencanaan Kegiatan Pencegahan KLB
Pencegahan KLB merupakan bagian dari Public Health respons yang dilaksanakan pada tahap berikutnya sesudah medical emergency yang dilaksanakansegera setelah bencana terjadi. Upaya pengendalian PD3I di daerah bencana terutama ditujukan untuk mencegah terjadinya KLB campak. Sedangkan pencegahan KLB penyakit lain dengan upaya imunisasi, dilakukan berdasarkan hasil dari penilaian cepat pasca bencana.
Target sasaran pada imunisasi campak dilakukan terhadap anak berusia 5-59 bulan di lokasi pengungsian. Perluasan sasaran imunisasi campak ke usia lebih tinggi, ditentukan berdasarkan analisis epidemiologi dan kinerja program imunisasi di daerah tersebut sebelum terjadi bencana.
Apabila ditemukan kasus campak pasca bencana, walaupun hanya satu kasus, maka dinyatakan terjadi keljadian luar biasa (KLB) pada daerah tersebut dan penanggulangannya mengacu pada pedoman pelaksanaan KLB. Perkiraan jumlah anak usia 6-59 bulan adalah sekitar 11% x jumlah penduduk
Perkiraan kebutuhan vaksin dalam kegiatan penanggulangan ini dilakukan dengan cara sebagi berikut:
Perkiraan kebutuhan logistik dalam kegiatan penanggulangan ini dilakukan dengan cara sebagi berikut: Perkiraan kebutuhan logistik dalam kegiatan penanggulangan ini dilakukan dengan cara sebagi berikut:
dosis atau ADS 10 ml = jumlah vaksin campak kemasan 20 dosis (vial)
Kebutuhan ADS 0,5 ml = jumlah sasaran + 5% sasaran (sebagi cadangan)
Perhitungan kebutuhan ADS untuk imunisasi lain yang ditentukan berdasarkan hasil penilaian cepat, sama dengan jumlah sasaran ditambah dengan 5% sebagai cadangan, atau berdasarkan kekhususan vaksin tersebut.
Contoh perhitungan kebutuhan vaksin tetanus toxoid : Kebutuhan ADS 0,5 ml = (jumlah sasarn x 2) + 5% (sebagai cadangan)
ii. Safety box 5 liter
iii. Perkiraan kebutuhan coldchain Kebutuhan coldchain meliputi lemar es, vaccine carrier dan coolpack. Jenis dan jumlah kebutuhan harus mempertimbangkan jumlah sasaran, jumlah ps pelayanan dan ketersediaan tenaga listrik. Jumlah minimal yang harus tersedia adalah sebagai berikut :
iv. Perkiraan Keburuhan Tenaga Kebutuhan tenaga pelaksana imunisasi yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan imunisasi adalah sesuai jumlah tim yang akan dikirim ke lokasi pengungsian.
Setiap tim terdiri dari sumber tenaga listrik, jumlah tenaga listrik, jumlah kebutuhan, kondisi geografis, kondisi demografis pengungsian (permukiman kembali)
v. Ketersediaan Tenaga Apabila terjadi kekurangan tenaga maka perlu dilakukan penambahan tenaga. Petugas pelaksana imunisasi sangat dibutuhkan dalam penanggulangan bencana. Apabila tidak tersedia, maka perlu dipertimbangkan untuk memobilisasi tenaga dari luar daerah bencana serta LSM nasional / internasiona. Kebutuhan tenaga jangka panjang dipenuhi sesuai prosedur yang berlaku.
c. Monitoring dan Evaluasi Pemantauan terhadap input dan proses dilakukan rutin setiap hari untuk menilai atau mengukur keberhasilan kegiatan yang dilaksanakan. Pelaksanaa npemantauan dilakukan secara langsung di lapangan di bawah koordinasi Banas PB.
Evaluasi dilakukan di setiap tingkat administrasi untuk menilai efisiensi danefektifitas kegiatan.
Monitoring dan evaluasi meliputi: Supervise dan pemantauan kegiatan imunisasi massal di tempat-
tempat pengungsian Ketersediaan vaksin dan logistic imunisasi Pemantauan dan penanganan kasus KIPI
Pemantauan cakupan imunisasi Kegiatan surveilans epidemiologi PD3I
d. Indikator Keberhasilan Keberhasilan pelaksanaan imunisasi di daerah bencana dapat dinnilai berdasarkan indikator sebagai berikut : Input : tersedianya logistic dan tenaga imunisasi sesuai kebutuhan
meliputi vaksin, ADS, safety box serta tenaga
Proses : terlaksanya pelayanan imunisasi campak dan imunisasi lain di semua lokasi penampungan pengungsi Output : cakupan imunisasi campak, dan imunisasi lain di semua lokasi penampungan pengungsi
Outcome : tidak terjadinya KLB campak atau PD3I lainnya
4. Kenapa Imunisasi Campak Perlu Diberikan Dalam Kedaruratan?
Dalam kedaruratan, biasanya orang-orang berkumpul dalam satu tempat misalnya pengungsian atau barak, sehingga penyakit seperti campak dapat menular dengan cepat. Karena itu anak yang berusia di bawah 15 tahun mungkin harus diimunisasi terutama campak walaupun sudah pernah mendapat imunusisasi campak sebelumnya. Campak akan lebih berbahaya bagi anak yang kurang gizi dan tinggal di lingkungan yang tidak sehat. Anak yang menderita campak harus dijauhkan dari anak lainnya, kemudian segera diperiksa ke petugas kesehatan dan mendapatkan vitamin A dosis tinggi.
5. Cara Pemberian Imunisasi Campak
Di Indonesia, digunakan vaksin campak yang dilemahkan yaitu TCID50 sebanyak 0,5 ml, untuk vaksin hidup pemberian dengan 20 TCID50 mungkin sudah dapat memberikan hasil yang baik. Vaksin campak diberikan pada bayi umur sembilan bulan secara subkutan walaupun demikian dapat diberikan secara intramuskular. Daya proteksi vaksin campak diukur dengan berbagai berbagai macam cara, salah satu indikator pengaruh vaksin terhadap proteksi adalah penurunan angka kejadian kasus campak sesudah pelaksanaan program imunisasi. Imunisasi campak diberikan lagi pada saat masuk sekolah SD atau yang disebut dengan program BIAS (Ranuh, 2008).
3. WATER AND SANITATION
Suplay air minum merupakan prioritas utama. Kekurangan air minum dengan sanitasi yang baik dapat menyebabkan penyakit diare. Selama beberapa fase pertama dibutuhkan 15-50 liter perorang perhari. Selain itu sanitasi yang baik juga dibutuhkan di daerah bencana seperti jamban atau Suplay air minum merupakan prioritas utama. Kekurangan air minum dengan sanitasi yang baik dapat menyebabkan penyakit diare. Selama beberapa fase pertama dibutuhkan 15-50 liter perorang perhari. Selain itu sanitasi yang baik juga dibutuhkan di daerah bencana seperti jamban atau
Dalam keadaan darurat, orang-orang sering meninggalkan rumah mereka untuk mencari lingkungan yang lebih aman. Dalam banyak kasus, kondisi air, sanitasi dan kebersihan lingkungan baru mungkin tidak memadai. Orang-orang yang terkena keadaan darurat sering menderita kekurangan gizi, stres, kelelahan dan penyakit lainnya termasuk cedera. Kondisi ini, ditambah dengan kondisi hidup yang tidak sehat seperti sanitasi yang tidak lancar, pasokan air yang tidak memadai dan kebersihan yang buruk, membuat orang yang terkena dampak bencana sangat rentan terhadap penyakit.
Gempa bumi, gelombang pasang, dan banjir, dan sebagainya ialah contoh bencana yang menimbulkan kerusakan. Pertemuan orang-orang di tempat pengungisan sering menimbulkan ancaman yang setara dengan bencana itu sendiri. Kita harus menyediakan air untuk minum, dan menghindari penyebaran penyakit melalui air limbah (tifus, kolera, E-coli, leptospirosis, atau hepatitis E). Akses terhadap air minum dan sanitasi adalah tugas pertama yang harus dilakukan dalam semua kasus. Prioritas utama adalah untuk merenovasi sistem pasokan.
Pada hari-hari pertama dan minggu darurat, tindakan segera untuk melindungi kehidupan manusia dan kesehatan harus dimulai dengan cepat. Hal ini penting untuk memenuhi kebutuhan hidup secepat mungkin. Setelah itu, intervensi jangka panjang yang bertujuan mengatasi kebutuhan penduduk selama beberapa bulan dan mungkin bertahun-tahun harus diatasi. Pada awal keadaan darurat, tujuannya adalah untuk melindungi kehidupan dan kesehatan melalui bantuan cepat yang berfokus pada aspek yang paling penting berikut kesehatan lingkungan:
1) Menyediakan fasilitas bagi masyarakat untuk membuang air (besar/kecil) secara aman dan higienis;
2) Lindungi pasokan air dari kontaminasi;
3) Sediakan air yang aman untuk diminum, memasak dan kebersihan pribadi;
4) Memastikan bahwa orang-orang memiliki wadah air yang cukup untuk mengumpulkan dan menyimpan air bersih;
5) Pastikan bahwa orang-orang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang mereka butuhkan untuk menghindari penyakit;
6) Pastikan bahwa mereka mencuci tangan dengan sabun.
Penyakit diare, infeksi saluran pernafasan akut, campak, malaria dan malnutrisi adalah penyebab paling umum kematian dalam keadaan darurat. Semua penyebab kematian tersebut adalah preventable. Langkah- langkah pencegahan terkait dengan kondisi lingkungan ialah tempat tinggal yang sesuai, air bersih, sanitasi yang baik, pengendalian vektor, perlindungan pribadi seperti (insektisida jaring, kebersihan pribadi dan promosi kesehatan)). Langkah-langkah ini mengatasi kondisi lingkungan, yang dikenal sebagai 'faktor risiko' karena mereka dapat menyebabkan penyakit. Hal ini penting untuk memahami hubungan antara penyakit dan risiko lingkungan faktor karena intervensi harus menargetkan faktor risiko benar. Penyakit yang berhubungan dengan air, sanitasi dan kebersihan meliputi:
1) Air-borne disease terjadi ketika agen penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh melalui air minum;
2) Water-washed disease terjadi karena kondisi kebersihan yang tidak memadai dan praktek;
3) Water-based disease termasuk yang penyakit yang menyebar melalui vektor penyakit yang hidup di air;
4) Food-borne disease terjadi ketika agen penyebab penyakit masuk ke dalam tubuh melalui makanan;
5) Vector-borne disease, tersebar melalui vektor serangga atau hewan pengerat.
Diharapkan pihak yang berwenang (Komite Air dan Sanitasi) dapat membantu memperkuat struktur masyarakat yang cenderung berantakan setelah keadaan darurat. Komite air dan sanitasi juga mmemfasilitasi Diharapkan pihak yang berwenang (Komite Air dan Sanitasi) dapat membantu memperkuat struktur masyarakat yang cenderung berantakan setelah keadaan darurat. Komite air dan sanitasi juga mmemfasilitasi
4. FOOD AND NUTRITION
Kegiatan gizi dalam penanggulangan bencana merupakan rangkaian kegiatan yang dimulai sejak pra bencana, pada situasi bencana dan pasca bencana.
A. Pra Bencana Penanganan gizi pada pra bencana pada dasarnya adalah kegiatan antisipasi terjadinya bencana dan mengurangi risiko dampak bencana. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain sosialisasi dan pelatihan petugas seperti manajemen gizi bencana, penyusunan rencana kontinjensi kegiatan gizi, konseling menyusui, konseling Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI), pengumpulan data awal daerah rentan bencana, penyediaan bufferstock MP-ASI, pembinaan teknis dan pendampingan kepada petugas terkait dengan manajemen gizi bencana dan berbagai kegiatan terkait lainnya.
B. Situasi Keadaan Darurat Bencana Situasi keadaan darurat bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga darurat, tanggap darurat dan transisi darurat.
1. Siaga Darurat
Situasi keadaan darurat bencana terbagi menjadi 3 tahap, yaitu siaga darurat, tanggap darurat dan transisi darurat.
2. Tanggap Darurat
Kegiatan penanganan gizi pada saat tanggap darurat dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap tanggap darurat awal dan tanggap darurat lanjut.
a. Tahap Darurat Awal
1) Fase I Tanggap Darurat Awal Fase I Tanggap Darurat Awal antara lain ditandai dengan kondisi sebagai berikut: korban bencana bisa dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum 1) Fase I Tanggap Darurat Awal Fase I Tanggap Darurat Awal antara lain ditandai dengan kondisi sebagai berikut: korban bencana bisa dalam pengungsian atau belum dalam pengungsian, petugas belum
berdatangan dan adanya penyelenggaraan dapur umum jika diperlukan. Lamanya fase
sudah
mulai
1 ini tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana yaitu maksimal sampai 3 hari setelah bencana. Pada fase ini kegiatan yang dilakukan adalah:
Memberikan makanan yang bertujuan agar pengungsi tidak
lapar dan dapat mempertahankan status gizinya Mengawasi pendistribusian bantuan bahan makanan Menganalisis hasil Rapid Health Assessment (RHA)
Pada fase ini, penyelenggaraan makanan bagi korban bencana mempertimbangkan hasil analisis RHA dan standar ransum. Rasum adalah bantuan bahan makanan yang memastikan korban bencana mendapatkan asupan energi, protein dan lemak untuk mempertahankan kehidupan dan beraktivitas. Ransum dibedakan dalam bentuk kering (dry ration) dan basah (wet ration). Dalam perhitungan ransum basah diprioritaskan penggunaan garam beriodium dan minyak goreng yang difortifikasi dengan vitamin A.
Contoh standar ransum pada Fase I Tahap Tanggap Darurat Awal dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Contoh Standar Ransum Fase I Tahap Tanggap Darurat Awal
Bahan Makanan
Kebutuhan / Orang /
Ukuran Rumah Tangga Hari (g) 1 (URT)
Biskuit
10-12 bh Mie Instan
3 gls (4 bks) Sereal (Instan)
50 5 sdm (2 sachets) Blended Food (MP-ASI)
50 10 sdm Susu untuk anak balita (1-5
40 8 sdm tahun) Energi (kkal)
Protein (g)
Lemak (g)
Catatan:
I. Contoh standar ransum di atas hanya untuk keperluan perencanaan secara keseluruhan
II. Perkiraan balita di pengungsian sebesar 10% dari jumlah pengungsi, perlu ada Blended food (MP-ASI) dan susu untuk anak umur 1-5 tahun di dalam standar perencanaan ransum
III. Penerimaan dan Pendistribusian melalui dapur umum
IV. Perhitungan bahan makanan hendaknya ditambahkan 10% untuk hal tak terduga atau kehilangan
V. 1 Ukuran Rumah Tangga (URT): bh = buah; gls = gelas; sdm = sendok makan; bks = bungkus
2) Fase II Tanggap Darurat Awal Kegiatan terkait penanganan gizi pada fase II, adalah:
Menghitung kebutuhan gizi
Berdasarkan analisis hasil Rapid Health Assessment (RHA) diketahui jumlah pengungsi berdasarkan Berdasarkan analisis hasil Rapid Health Assessment (RHA) diketahui jumlah pengungsi berdasarkan
g lemak, serta menyusun menu yang didasarkan pada jenis bahan makanan yang tersedia. Pengelolaan penyelenggaraan makanan di dapur umum meliputi: - Tempat pengolahan - Sumber bahan makanan - Petugas pelaksana - Penyimpanan bahan makanan basah - Penyimpanan bahan makanan kering - Cara mengolah - Cara distribusi - Peralatan makan dan pengolahan - Tempat pembuangan sampah sementara - Pengawasan penyelenggaraan makanan - Mendistribusikan makanan siap saji - Pengawasan bantuan bahan makanan untuk
melindungi korban bencana dari dampak buruk akibat bantuan tersebut seperti diare, infeksi, keracunan dan lain-lain, yang meliputi:
Tempat penyimpanan bantuan bahan makanan harus dipisah antara bahan makanan umum dan bahan makanan khusus untuk bayi dan anak
Jenis-jenis bahan makanan yang diwaspadai termasuk makanan dalam kemasan, susu formula dan makanan suplemen
Untuk bantuan bahan makanan produk dalam negeri harus diteliti nomor registrasi (MD), tanggal kadaluarsa, sertifikasi halal, aturan cara penyiapan dan target konsumen
Untuk bantuan bahan makanan produk luar negeri harus diteliti nomor registrasi (ML),
bahasa, tanggal kadaluarsa, aturan cara penyiapan dan target konsumen
Jika terdapat bantuan makanan yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut di atas, petugas harus segera melaporkan kepada Koordinator Pelaksana
b. Tanggap Darurat Lanjut
Tahap tanggap darurat lanjut dilaksanakan setelah tahap tanggap darurat awal, dalam rangka penanganan masalah gizi sesuai tingkat kedaruratan. Lamanya tahap tanggap darurat lanjut tergantung dari situasi dan kondisi setempat di daerah bencana.
Pada tahap ini sudah ada informasi lebih rinci tentang keadaan pengungsi, seperti jumlah menurut golongan umur dan jenis kelamin, keadaan lingkungan, keadaan penyakit, dan sebagainya. Kegiatan penanganan gizi pada tahap ini meliputi:
a. Analisis faktor penyulit berdasarkan hasil Rapid Health Assessment (RHA).
b. Pengumpulan data antropometri balita (berat badan, panjang badan/tinggi badan), ibu hamil dan ibu menyusui (Lingkar Lengan Atas).
c. Menghitung proporsi status gizi balita kurus (BB/TB <- 2SD) dan jumlah ibu hamil dengan risiko KEK (LILA <23,5 cm).
d. Menganalisis adanya faktor penyulit seperti kejadian diare, campak, demam berdarah dan lain-lain.
Informasi tentang proporsi status gizi balita selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan modifikasi atau perbaikan penanganan gizi sesuai dengan tingkat kedaruratan yang terjadi. Penentuan jenis kegiatan Informasi tentang proporsi status gizi balita selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk melakukan modifikasi atau perbaikan penanganan gizi sesuai dengan tingkat kedaruratan yang terjadi. Penentuan jenis kegiatan
Situasi Serius (Serious Situation), jika prevalensi balita kurus ≥15% tanpa faktor penyulit atau 10-14,9% dengan faktor penyulit. Pada situasi ini semua korban bencana mendapat ransum dan seluruh kelompok rentan terutama balita dan ibu hamil diberikan makanan tambahan (blanket supplementary feeding).
Situasi Berisiko (Risky Situation), jika prevalensi balita kurus 10-14,9% tanpa faktor penyulit atau 5-9,9%
dengan faktor penyulit. Pada situasi ini kelompok rentan kurang gizi terutama balita kurus dan ibu hamil risiko KEK diberikan makanan tambahan (targeted supplementary feeding).
Situasi Normal, jika prevalensi balita kurus <10% tanpa faktor penyulit atau <5% dengan faktor penyulit maka
dilakukan penanganan penderita gizi kurang melalui pelayanan kesehatan rutin. Apabila ditemukan balita sangat kurus dan atau
terdapat tanda klinis gizi buruk segera dirujuk ke sarana pelayanan kesehatan untuk mendapat perawatan sesuai Tatalaksana Anak Gizi Buruk.
e. Melaksanakan pemberian makanan tambahan dan suplemen gizi.
Khusus anak yang menderita gizi kurang perlu
diberikan makanan tambahan disamping makanan keluarga, seperti kudapan/jajanan, dengan nilai energy 350 kkal dan protein 15 g per hari.
Ibu hamil perlu diberikan 1 tablet Fe setiap hari, selama
90 hari.
Ibu nifas (0-42 hari) diberikan 2 kapsul vitamin A dosis 200.000 IU (1 kapsul pada hari pertama dan 1 kapsul
lagi hari berikutnya, selang waktu minimal 24 jam). Pemberian vitamin A biru (100.000 IU) bagi bayi berusia 6-11 bulan; dan kapsul vitamin A merah
(200.000 IU) bagi anak berusia 12-59 bulan, bila kejadian bencana terjadi dalam waktu kurang dari 30 hari setelah pemberian kapsul vitamin A (Februari dan Agustus) maka balita tersebut tidak dianjurkan lagi mendapat kapsul vitamin A.
Melakukan penyuluhan kelompok dan konseling perorangan dengan materi sesuai dengan kondisi saat
itu, misalnya konseling menyusui dan MP-ASI. Memantau perkembangan status gizi balita melalui
surveilans gizi.
3. Transasi Darurat
Transisi darurat adalah suatu keadaan sebelum dilakukan rehabilitasi dan rekonstruksi. Kegiatan penanganan gizi pada situasi transisi darurat disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada, dapat dilaksanakan kegiatan gizi seperti pada tanggap darurat.
C. Pasca Bencana Kegiatan penanganan gizi pasca bencana pada dasarnya adalah melaksanakan pemantauan dan evaluasi sebagai bagian dari surveilans, untuk mengetahui kebutuhan yang diperlukan (need assessment) dan melaksanakan kegiatan pembinaan gizi sebagai tindak lanjut atau respon dari informasi yang diperoleh secara terintegrasi dengan kegiatan pelayanan kesehatan masyarakat (public health response) untuk meningkatkan dan mempertahankan status gizi dan kesehatan korban bencana.
5. SHELTER AND SITE PLANNING
Tempat tinggal yang tidak memadai dan kepadatan penduduk merupakan faktor utama dalam transmisi penyakit dengan potensi epidemi (campak, meningitis, tifus, kolera,dll), dan wabah penyakit yang lebih sering dan lebih parah ketika kepadatan penduduk tinggi. Selain itu, perlindungan terhadap sinar matahari, hujan, dingin dan angin sangat diperlukan untuk kesejahteraan pengungsi, seperti penyediaan tempat tinggal yang aman bagi keluarga.
Pada tahun 1984, di Korem (Ethiopia), hampir 50.000 orang tinggal di dataran tinggi di tenda-tenda, gubuk yang terbuat dari cabang, atau di luar ruangan, pada ketinggian 2.500 meter dan suhu malam itu pergi di bawah 0° C : tingkat kematian sangat tinggi, terutama karena tifus dan kolera. Oleh karena itu penting untuk mengatur situs dan rencana untuk instalasi pengungsi: sejumlah orang per situs dengan ruang yang cukup per orang, infrastruktur yang diperlukan untuk menyediakan layanan (misalnya kesehatan dan fasilitas gizi), jalan, kuburan, dll bahan konstruksi harus dibeli secara lokal agar penampungan dapat disediakan untuk para pengungsi secepat mungkin. Management Camp atau dalam bahasa Indonesia Manajemen Tempat Pengungsian / penampungan merupakan salah satu aspek yang harus disiapkan dalam rencana kontinjensi tingkat pemerintahan. Standar-standar minimum untuk tempat pengungsian harus ada sebagai pewujudan nyata dari prinsip-prinsip dan hak-hak yang tercantum dalam Piagam Kemanusiaan yang berhubungan dengan hajat-hajat paling dasar untuk mempertahankan kehidupan dan martabat para korban bencana dan konflik.Tempat pengungsian merupakan factor kunci bagi kelangsungan hidup pada tahap permulaan suatu keadaan darurat. Dalam proses pemilihan dan perencanaan lokasi pengungsian, harus memenuhi standar-standar tertentu, yaitu:
a. Pemilihan lokasi Mampu untuk menampung jumlah warga yang diperkirakan akan mengungsi.
b. Perencanaan lokasi Perencanaan lokasi memastikan tersedianya ruang yang cukup untuk rumah tangga dan mendukung keamanan serta kesejahteraan masyarakat.
c. Keamanan Pemilihan dan perencanaan lokasi pengungsian memastikan tercukupinya kebebasan dan keamanan pribadi seluruh anggota penduduk korban.
d. Masalah-masalah lingkungan Penampungan direncanakan dan dikelola sedemikian rupa sehingga meminimalkan perusakan terhadap lingkungan.
Dilokasi penampungan yang dijadikan sebagai tempat evakuasi korban, perlu disediakan fasilitas-fasilitas berupa tenda tempat tinggal pengungsi, fasilitas kesehatan (rumah sakit lapangan), sanitasi, kebutuhan MCK dan lain-lain. Untuk itu perlu ditentukan terlebih dahulu lokasi dari masing-masing fasilitas tersebut di area evakuasi (Promise Indonesia, 2009).
Tujuan
Menyelamatkan atau mengamankan penderita dengan menjauhkannya dari tempat bencana yang dianggap berbahaya, ketempat yang aman agar dapat memudahkan pemberian bantuan dan pertolongan secara menyeluruh dan terpadu tanpa menimbulkan kesulitan baru yang sukar diatasi.
Pengorganisasian
a. Sasaran
1) Sasaran utama operasi pengungsian ialah memindahkan penduduk (termasuk yang luka/sakit) dari daerah bencana ketempat lain yang sudah disiapkan.
2) Berusaha memperkecil kemungkinan terjadinya korban atau resiko baik fisik, material maupun spiritual ditempat terjadinya bencana dan pada saat pelaksanaan pengungsian menuju ke penampungan sementara
b. Prioritas Yang pertama-tama harus dilakukan ialah memindahkan orang – orang yang luka berat atau pasien – pasien yang memerlukan perawatan lebih lanjut ke Rumah Sakit terdekat atau Rumah Sakit Rujukan.
c. Langkah-langkah yang perlu diambil
1. Membantu meyakinkan penduduk bahwa demi keselamatan mereka harus diungsikan ketempat yang lebih aman
2. Menyiapkan suatu bentuk atau sistem transportasi yang tepat bagi penduduk yang diungsikan
3. Menyiapkan persediaan dan memberikan makanan, minuman dan keperluan lain yang cukup untuk penduduk yang akan diungsikan selamam dalam perjalanan samapai ketempat penampungan sementara
4. Menyiapkan obat – obatan dan memberikan perawatan medis selama dalam perjalanan
5. Menyelenggarakan pencatatan nama – nama penduduk yang diungsikan termasuk yang luka, sakit dan meninggal dunia
6. Membantu petugas keamanan setempat dalam melindungi harta milik dan barang-barang kebutuhan hidup penduduk yang diungsikan
7. Sesampai di tempat tujuan para pengungsi hendaklah diserah terimakan secara baik kepada pengurus penampungan sementara atau darurat untuk penanganan lebih lanjut
Standar minimum hunian dam pemukiman menurut Sphere 2011:
Standar hunian dan permukiman 1: Perencanaan Strategis Strategi hunian dan permukiman berkontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan akan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan bagi penduduk yang terkena bencana baik yang mengungsi maupun tidak, serta sejauh memungkinkan, untuk mendorong proses pemulihan dengan rekonstruksi.
Standar hunian dan permukiman 2: Perencanaan Permukiman Perencanaan pemulangan, penempatan di rumah kerabat, atau permukiman komunitas sementara memungkinkan adanya penggunaan tempat tinggal dan layanan-layanan utama secara aman dan tidak membahayakan bagi penduduk yang terkena bencana.
Standar hunian dan permukiman 3: ruang berteduh
Penduduk memiliki cukup ruang berteduh yang memberikan kenyamanan suhu, udara bersih, dan perlindungan dari iklim, dengan menjamin terjaganya privasi, keselamatan dan kesehatan mereka, dan memungkinkan bagi mereka untuk melakukan kegiatan-kegiatan utama dalam rumah tangga dan terkait mata pencarian.
Standar tempat hunian dan permukiman 4: Konstruksi Praktik-praktik lokal yang aman terkait penggunaan bangunan, bahan bangunan, keahlian dan kemampuan digunakan selayaknya, yang memaksimalkan keterlibatan penduduk yang terkena bencana dan kesempatan-kesempatan bagi sumber mata pencarian lokal.
Standar tempat hunian dan permukiman 5 : Dampak Terhadap Lingkungan
Pemecahan masalah hunian dan permukiman serta sumber-sumber bahan bangunan dan teknik konstruksi yang digunakan dapat meminimalkan dampak buruk terhadap kondisi lingkungan alam setempat.
(Sphere, 2011)
Persyaratan dan jenis penampungan sementara
Persyaratan penampungan sementara
1. Pemilihan tempat meliputi: - Lokasi penampungan seharusnya berada didaerah yang bebas dari
seluruh ancaman yang berpotensi terhadap gangguan keamanan baik internal maupun external
- Jauh dari lokasi daerah rawan bencana - Hak penggunaan lahan seharusnya memiliki keabsahan yang jelas;
diutamakan hasil dari koordinasi dengan pemerintah setempat - Memiliki akses jalan yang mudah - Dekat dengan sumber mata air, sehubungan dengan kegiatan
memasak dan MCK
- Dekat dengan sarana-sarana pelayanan sosial termasuk pelayanan kesehatan, olahraga, sekolah dan tempat beribadah atau dapat disediakan secara memadai.
2. Penampungan harus dapat meliputi kebutuhan ruangan - Posko - Pos Pelayanan Komunikasi - Pos Dapur Umum - Pos Watsan - Pos TMS - Pos PSP - Pos Humas dan Komunikasi - Pos Relief dan Distribusi - Pos Assessment - Pos Pencarian dan Evakuasi
3. Bahan pertimbangan untuk penampungan - Idealnya, ada beberapa akses untuk memasuki areal penampungan dan
bukan merupakan akses langsung dari komunitas terdekat - Tanah diareal penampungan seharusnya memiliki tingkat kemiringan yang landai untuk melancarkan saluran pembuangan air - Tanah diareal penampungan seharusnya bukan merupakan areal endemik penyakit - Lokasi penampungan seharusnya tidak dekat dengan habitat yang dilindungi atau dilarang seperti kawasan konservasi hutan, perkebunan, lahan tanaman
- Pengalokasian tempat penampungan seharusnya menggunakan cara yang bijak mengikuti dengan adat budaya setempat - Libatkan masyarakat dalam pemilihan lokasi dan perencanaan
Jenis penampungan sementara Untuk menampung korban bencana diperlukan tempat penampungan sementara berupa :
1. Bangunan yang sudah tersedia yang bisa dimanfaatkan
Contoh : gereja, masjid, sekolahan, balai desa, gudang
2. Tenda ( penampungan darurat yang paling praktis ) Contoh : tenda pleton, tenda regu, tenda keluarga, tenda pesta
3. Bahan seadanya Contoh : kayu, dahan , ranting, pelepah kelapa dll.
Perencanaan dan Pelaksanaan
A. Perencanaan Setelah data assesment diperoleh, maka rencana umum harus diketahui oleh semu petugas pada saat aman (kesiapsiagaan) , meliputi :
1) Waktu yang diperlukan untuk menuju ke daerah rawan bencana dan lokasi penampungan
2) Tempat Penampungan Sementara dapat menampung beberapa pengungsi
3) Beberapa bangunan yang dapat dipakai dan di mana bengunan itu dapat dipakai untuk menampung pengungsi
4) Personil yang dibutuhkan
5) Peralatan yang diperlukan
B. Pelaksanaan •
Lahan yang dibutuhkan untuk satu jiwa 45 m2; •
Ruang tenda/shelter per jiwa 3.5 m2; •
Jumlah jiwa untuk satu tempat pengambilan air = 250 jiwa;
• Jumlah jiwa untuk satu MCK = 20 jiwa; •
Jarak ke sumber air tidak melampui jarak 15 m; •
Jarak ke MCK 30 m; •
Jarak sumber air dengan MCK 100 m •
Jarak antara dua tenda/shelter minimal 2 m.
Contoh Shelter
6. HEALTH CARE IN THE EMERGENCY PHASE
Penanganan medis untuk korban cedera dalam jumlah besar diperlukan segera setelah terjadinya gempa bumi, kecelakaan transportasi atau industri yang besar, dan bencana lainnya.(Depkes RI, 2007).
Kebutuhan terbesar untuk pertolongan pertama dan pelayanan kedaruratan muncul dalam beberapa jam pertama. Banyak jiwa tidak tertolong karena sumbersumber daya lokal, termasuk transportasi tidak dimobilisasi segera. Oleh karena itu sumber daya lokal sangat menentukan dalam penanganan korban di fase darurat. (Depkes RI, 2007).
Penanggulangan korban masal akibat kedaruratan kompleks harus mengutamakan keselamatan penolongnya baru menyelamatkan korban. Penanggulangan korban kedaruratan harus dilaksanakan secepat mungkin (dua hari pertama dan umumnya korban menderita, cedera dan kematian). (PPMK Sekjen Depkes RI, 2001).
Pada penanganan korban masal dikelompokan menjadi 3 tahap yaitu tahap pencarian (search), penyelamatan korban (rescue) dan pertolongan pertama (Life Saving) dan pertolongan pertama (Life Saving), stabilisasi korban, tahap evakuasi dan pengobatan devenitive serta tahap rujukan ke RS yang lebih tinggi kemampuannya bila diperlukan. (PPMK Sekjen Depkes RI, 2001).
Pada tahap pencarian dan penyelamatan korban dilakukan triase, pemitaan. Triase bertujuan untuk melakukan seleksi korban berdasarkan tingkat kegawat daruratan untuk memberikan prioritas pertolongan. Upaya yang dilakukan dalam penanganan korban adalah untuk menyelamatkan korban sebanyak-banyaknya sehingga diharapkan angka morbiditas dan mortalitas rendah. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah korbannya, keadaan korban, geografis lokasi, fasilitas yang tersedia dilokasi dan sumber daya manusia yang ada dilokasi. Selain itu juga tergantung dari organisasi, fasilitas, komunikasi, dokumen dan tata kerja. (PPMK Sekjen Depkes RI, 2001).
1. Penanganan Korban Dalam situasi kedaruratan kompleks sering terjadi korban luka dan bahkan korban meninggal dunia, untuk itu diperlukan kesiapan dalam penanggulangannya yang antara lain :
Transportasi dan Alat Kesehatan Transportasi Kesehatan
a. Sarana Evakuasi Transportasi Kendaraan roda dua kesehtan lapangan Kendaraan ambulans biasa Kendaraan ambulans rusuh masal Kapal motor sungai/laut Helikopter udara Pesawat
b. Sarana Pelayanan Kesehatan Beberapa sarana yang perlu dipersiapkan dalam penanggulangan kedaruratan kompleks yaitu :
Pos kesehatan lapangan Rumah sakit lapangan Puskesmas/poliklinik/RS Swasta/RSLSM. Rumah sakit rujukan tingkat Kabupaten RSUD/RS Polri/TNI Rumah sakit rujukan tingkat Provinsi Rumah sakit pusat rujukan Depkes/Polri/TNI
c. Obat dan Alat Kesehatan Obat rutin Obat Khusus Bermacam-macam pembalut cepat Kit Keslap Minor surgery Oxigyn dan perlengkapannya
d. Fasilitas Pendukung Non Medis Seragam berupa rompi dan topi khusus (bertuliskan identitas
kesehatan daerah dan ditengah ada simbol palang merah) Tandu Alat Komunikasi Kendaraan taktis untuk pengawalan evakuasi
e. Posko Satgas Kesehatan Posko kesehatan di lapangan Posko kesehatan koordinator wilayah Ketenagaan
(PPMK Sekjen Depkes RI, 2001) Ketenagaan
Tenaga kesehatan yang diperlukan pada situasi kedaruratan kompleks adalah sebagai berikut :