Tifa, Apapua, dan Repetisi Teks sebagai Mnemonic Devices

4.2 Tifa, Apapua, dan Repetisi Teks sebagai Mnemonic Devices

Secara umum, penyajian Kapata di Maluku Tengah tidak hanya terpaku pada unsur-unsur tekstual semata-mata, melainkan telah memasuki ranah pertunjukan. Pertunjukan atau resitasi Kapata tidak hanya berpusat pada teks, tetapi membutuhkan unsur-unsur di luar teks, semisal: alat musik, apapua, pencerita, pendengar, perlengkapan tarian, dan sebagainya.

Jika penyajian Kapata dalam berbagai ranah yang biasanya menjadi wilayah pertunjukan dan media pengungkapannya, baik pada tataran ritual adat maupun pada kesempatan- kesempatan nonritual, diurutkan dari penyajian sastra lisan yang paling murni sastra hingga ke pertunjukan yang paling komplit media ungkapnya, maka uraian Sedyawati (Pudentia, 2008:7-8) dapat digunakan sebagai acuan. Menurutnya, beberapa realitas pertunjukan sastra lisan dapat diurutkan, sebagai berikut:

1. Murni pembacaan sastra;

2. Pembacaan sastra disertai gerak-gerak sederhana dan atau iringan musik terbatas;

3. Penyajian cerita disertai gerakan-gerakan tari;

4. Penyajian cerita melalui aktualisasi adegan-adegan,

124 Kapata: Sastra Lisan di Maluku Tengah dengan pemeran-pemeran yang melakukan dialog

dan menari, disertai dengan iringan musik. Dari pengurutan tersebut, tampaknya penyajian Kapata di

Maluku Tengah memiliki kecenderungan untuk bergerak bolak-balik antara pembacaan sastra murni hingga penyajian pertunjukan yang dilengkapi dengan adegan, musik, dan tari-tarian. Beberapa Kapata di Pulau Seram, misalnya di Negeri Soahuku dan Negeri Amahai atau negeri-negeri di Kecamatan Teon Nila Serua, penyajian Kapata selalu diiringi oleh alat musik serta gerak-gerak tarian yang menyertainya. Sebagian besar teks Kapata biasanya dinyanyikan sebagai pengiring tarian Cakalele, Maru-Maru, maupun tari-tarian untuk menyambut tamu.

Oleh sebab itu, proses resitasi Kapata di Maluku Tengah sebagai sebuah pertunjukan dapat diperjelas melalui skema berikut ini:

Gambar 4.9 Struktur Resitasi Kapata

Kapata: Problematika Pewarisan dan Struktur Resitas 125 Sehubungan dengan fenomena tersebut, temuan penting

yang patut dicatat sebagai karakteristik Kapata yang berkaitan dengan identitas budaya di Maluku Tengah adalah posisi vital tifa dan apapua, sebagai alat kelengkapan dari luar teks yang sekaligus menjadi alat pengingat atau mnemonic device, terutama dalam performansi Kapata pada praktik ritual adat tertentu di sebagian besar masyarakat adat Maluku Tengah. Selain tifa dan apapua, pola-pola repetisi dalam resitasi beberapa teks Kapata juga dapat dianggap sebagai formula para pencerita untuk mengingat teks Kapata, terutama teks Kapata yang bersifat naratif.

Apapua adalah suatu istilah budaya yang merujuk pada konsep ‘persyaratan’ atau ‘kelengkapan’ yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan ritual adat. Apapua dapat dipandang sebagai kelengkapan yang paralel dengan sesajen dalam domain kebudayaan masyarakat Jawa atau Sunda. Sebuah ritual adat yang menjadi ajang performansi Kapata harus menyertakan apapua sebagai salah satu prasyarat utama. Secara material, apapua dapat berwujud sirih, pinang, tabaku (tembakau), dan sopi. Kehadiran apapua dalam ritual adat melambangkan kehadiran, penyertaan, serta restu para leluhur. Pentingnya kehadiran apapua dalam ritual adat misalnya ditunjukkan dalam Kapata Cakalele dari Negeri Amahai dan Negeri Soahuku;

Panggayo mati-mati sala minom aer o; mana minom aer mana?

Kapata di atas dilantunkan untuk menyindir sekaligus memberitahukan kepada raja atau penyelenggara pesta bahwa para penyanyi Kapata menghendaki kehadiran apapua (aer = sopi) agar kelelahan fisik dapat teratasi. Pada beberapa

126 Kapata: Sastra Lisan di Maluku Tengah kesempatan, para maestro (Mauweng, Marawael) akan

memperoleh ingatannya, baik menyangkut isi teks maupun tentang makna yang ada di balik setiap ungkapan dalam teks Kapata, secara lebih tajam dan lebih kuat di bawah pengaruh

alkohol dalam sopi 2 sebagai apapua. Sarana pengingat berikutnya adalah tifa sebagai alat musik ritmis khas Maluku, sekaligus merupakan alat musik yang representatif dalam setiap momentum kebudayaan di Maluku. Resitasi teks Kapata pada tataran ritual adat selalu menggunakan tifa sebagai pengiring sekaligus sebagai penanda ritmis untuk menciptakan efek-efek musikal tertentu. Tifa juga berfungsi untuk menyajikan spirit teks Kapata melalui dinamisasi ritme dan tempo dalam resitasi Kapata.

Fungsi Tifa lainnya adalah sebagai penuntun memori para maestro yang melantunkan Kapata. Menurut pengamatan empiris, para maestro Kapata tidak selalu bisa menghafal keseluruhan teks yang mereka kuasai. Mereka melakukan memorisasi pada setiap resitasi Kapata melalui metode atau alat bantu tertentu. Beberapa Mauweng dan Marawael baru mampu mengingat keseluruhan lirik Kapata yang akan dinyanyikan, baik dalam konteks di luar praktik ritual maupun ketika praktik ritual tertentu sementara berlangsung, setelah menabuh tifa dengan pola ritme tertentu. Tabuhan tifa dengan pola ritme tertentu pada saat resitasi Kapata juga dianggap merupakan cara untuk ‘memanggil’ roh para leluhur untuk ‘hadir’. Pencerita Kapata dari Negeri Ameth, misalnya, baru mampu melantunkan Kapata setelah menabuh tifa,

2 Sopi adalah sejenis minuman keras khas Maluku dibuat secara

tradisional dengan cara menyuling air sadapan dari pohon enau. Kadar alkohol dalam Sopi tergolong tinggi, bisa mencapai 40%. Dalam berbagai ritual adat di Maluku, Sopi merupakan pelengkap yang sangat penting dan berfungsi vital sebagai lambang persatuan dan persaudaraan.

Kapata: Problematika Pewarisan dan Struktur Resitas 127 dengan syarat pintu rumah harus keadaan terbuka dan tak

seorangpun diperkenankan berdiri atau duduk menghalangi atau membelakangi pintu masuk rumah.

Jika para ahli folklor seperti Lord dan Finnegan mengistilahkan upaya para maestro sebagai pencerita untuk mengingat teks yang dilisankan dalam penyajiannya dilakukan melalui penggunaan kalimat-kalimat siap pakai yang disebut stock in trade, maka dalam performansi Kapata di Maluku Tengah, fungsi stock in trade dilengkapi oleh unsur di luar teks, yakni tifa dan apapua. Dalam beberapa teks Kapata yang cukup panjang, misalnya yang ditemukan di Negeri Amahai, Negeri Soahuku, dan Negeri Titawaai, stock in trade ditemukan bukan saja berupa kata-kata, frasa-frasa, atau kalimat-kalimat dalam pola pola repetisi nyanyian Kapata yang membentuk formula tertentu.

Dalam kaitan dengan persebaran pola repetisi teks sebagai alat pengingat, di dalam teks-teks Kapata Hasurite, Kapata Cakalele, dan Kapata Maku-Maku yang ditemukan di Negeri Amahai dan Negeri Soahuku di Pulau Seram maupun beberapa teks Kapata di Pulau Saparua yang memiliki ciri resitatif tersebut terdapat pola pengulangan yang unik dan dan dapat dianggap sebagai pola yang baku dalam setiap resitasi Kapata. meskipun mungkin akan selalu muncul perbedaan- perbedaan detail penyampaian sehingga setiap kesempatan resitasi tidak akan dapat menyajikan isi yang persis sama.

Fakta itu dapat memperkuat dugaan bahwa teks-teks Kapata yang ditemukan tersebut merupakan sebuah narasi yang amat panjang dan berulang. Namun, banyak bagian- bagian teks Kapata tersebut sudah tidak terwariskan dengan baik sehingga secara perlahan-lahan menghilang dari ingatan kolektif masyarakat setempat.