Dimensi Organisasi pada UU Nomor
i. Dimensi Organisasi pada UU Nomor
1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang
Dimensi “formalisasi” dan “spesialisasi” diantaranya tentang tugas, wewenang dan kewajiban KPU sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan Pasal 10; tugas, wewenang dan kewajiban KPU Provinsi dalam Pasal 11 dan Pasal 12; tugas, wewenang dan kewajiban KPU Kabupaten/Kota dalam Pasal 13 dan Pasal 14.
Dimensi “hirarki kewenangan” tampak tugas dan wewenang KPU Provinsi untuk melaporkan hasil pemilihan kepada KPU dan Menteri dalam Pasal 11 huruf m dan menyampaikan laporan hasil pemilihan kepada DPRD Provinsi dalam Pasal 11 huruf s. Selain itu dalam Pasal 12 huruf e tentang kewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran serta huruf g tentang kewajiban menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan pemilihan kepada KPU dan Menteri. Terkait dengan KPU Kabupaten/Kota diatur dalam Pasal 13 huruf o tentang tugas dan wewenang untuk melaporkan hasil pemilihan bupati/walikota kepada menteri melalui gubernur dan kepada KPU melalui KPU Provinsi, serta Pasal 13 huruf t tentang tugas dan wewenang membuat laporan penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota. Diatur pula dalam Pasal 14 huruf d tentang kewajiban KPU Kabupaten/Kota melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran, huruf e tentang kewajiban menyampaikan laporan pertanggungjawaban semua kegiatan penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota kepada menteri melalui gubernur dan kepada KPU melalui KPU Provinsi, serta huruf h tentang kewajiban menyampaikan laporan periodik mengenai tahapan penyelenggaraan pemilihan bupati/walikota kepada menteri melalui gubernur, serta kepada KPU dan KPU Provinsi.
Dimensi “teknologi organisasi” terkait dengan tugas, wewenang dan kewajiban KPU Provinsi dalam pemutakhiran data pemilih, penetapan dan pengumuman hasil rekapitulasi, pelaksanaan sosialisasi dan penyampaian informasi penyelenggaraan pemilihan yang tertuang Pasal 11 huruf g, huruf i dan huruf p serta Pasal 12 huruf c. Selain itu, berkenaan dengan tugas, wewenang dan kewajiban
KPU Kabupaten/Kota dalam pemutakhiran 2008 yaitu masing-masing 3 dimensi (27,2%). data pemilih, penetapan dan pengumuman
Pengaturan dimensi organisasi sebesar 90,9% hasil rekapitulasi, pelaksanaan sosialisasi dan
dapat difahami karena keduanya merupakan penyampaian informasi penyelenggaraan undang-undang yang secara spesifik mengatur pemilihan tersebut dalam Pasal 13 huruf h, huruf
organisasi penyelenggara pemilu. Saat ini yang k dan huruf r, serta Pasal 14 huruf c. Dimensi
berlaku adalah UU Nomor 15 Tahun 2011 “lingkungan” tercantum dalam Pasal 56 tentang
sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 2007. keberadaan warganegara sebagai pemilih, Pasal
Terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2007 123 tentang lembaga pemantau dan Pasal 131
sebagai respon terhadap kebutuhan dan tentang partisipasi masyarakat.
tuntutan publik akan hadirnya organisasi Dimensi lainnya yaitu “standarisasi”,
penyelenggara pemilu yang benar-benar “sentralisasi”, “profesionalisme”, “konfigurasi”,
independen dan kapabel melalui pembentukan dan “ukuran organisasi” secara eksplisit
undang-undang tersendiri. Alasan ini dapat tidak tercantum dalam undang-undang ini.
diketahui dari konsideran huruf b, huruf c Perkembangan selanjutnya, undang-undang ini
dan huruf d UU Nomor 22 Tahun 2007, yang mengalami dua kali perubahan, yaitu dengan
menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu UU Nomor 8 Tahun 2015 dan UU Nomor 10
secara langsung, umum, bebas, rahasia, Tahun 2016.
jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Secara akumulatif dan garis besar, ke-
dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu beradaan pengaturan dimensi-dimensi yang mempunyai integritas, profesionalitas, organisasi pada beberapa undang-undang
dan akuntabilitas. Disebutkan juga bahwa terkait kepemiluan tersebut dapat dilihat pada
berdasarkan penyelenggaraan pemilu sebelum- tabel berikut.
nya diperlukan penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan
Tabel 1. Pengaturan Dimensi Organisasi pada
yang mengatur penyelenggara pemilu.
UU Kepemiluan di Era Pemerintahan Pasca
Penyempurnaan terhadap ketentuan peraturan
Orde Baru
perundang-undangan yang mengatur penyelenggara pemilu dimaksudkan untuk lebih meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.
Oleh karena itu, pengaturan dimensi organisasi pada empat undang-undang sebelum- nya (UU Nomor 3 Tahun 1999, UU Nomor 12 Tahun 2003, UU Nomor 23 Tahun 2003 dan UU Nomor 32 Tahun 2004) dibandingkan dua UU Penyelenggara Pemilu tersebut (UU Nomor 22 Tahun 2007 dan UU Nomor 15 Tahun 2011) jauh
Sumber: Hasil Olahan Peneliti, 2016
lebih sedikit, berkisar antara 5 sampai dengan 9 dimensi. Demikian pula dibandingkan dengan
2. Analisis Hasil Penelitian
pengaturan tentang dimensi organisasi pada Dari sembilan undang-undang tersebut,
undang-undang yang terbit setelah terbitnya ada dua undang-undang yang secara khusus
UU Nomor 22 Tahun 2007, yang jauh lebih bertajuk penyelenggara pemilu, yaitu UU
sedikit, yaitu UU Nomor 10 Tahun 2008 (3 Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
dimensi, 27,2%), UU Nomor 42 Tahun 2008 (3 Pemilu dan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
dimensi, 27,2%) dan UU Nomor 1 Tahun 2015 (5 Penyelenggara Pemilu. Tujuh undang-undang
dimensi, 45,4%) jauh lebih sedikit. lainnya tidak bertajuk penyelenggara pemilu,
Fakta ini bisa dilihat pula kesepadanannya tetapi di dalamnya terdapat sebagian substansi
dari proporsi dan persentase jumlah pasal atau pasal yang mengatur penyelenggara
tentang penyelenggara pemilu dan dimensi pemilu. Kedua undang-undang bertajuk
organisasi dibandingkan dengan keseluruhan penyelenggara pemilu tersebut paling banyak
jumlah pasal pada kesembilan undang-undang memuat pengaturan dimensi organisasinya
tersebut. Rinciannya, untuk yang terbit sebelum yaitu masing-masing 10 dimensi (90,9%),
terbitnya UU Penyelenggara Pemilu yaitu pada sedangkan yang paling sedikit adalah UU
UU Nomor 3 Tahun 1999 (10 pasal dari total Nomor 10 Tahun 2008 dan Nomor 42 Tahun
86 pasal, 11,6%), UU Nomor 12 Tahun 2003 (16
63
Jurnal
Volume XIV | Nomor 1 | April 2017
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi
Jurnal
Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Volume XIV | Nomor 1 | April 2017
pasal dari total 150 pasal, 10,6%), UU Nomor 23 Tahun 2003 (7 pasal dari total 103 pasal, 6,7%), dan UU Nomor 32 Tahun 2004 (12 pasal dari total 240 pasal, 5%). Adapun pada undang- undang yang terbit sesudahnya adalah pada UU Nomor 10 Tahun 2008 (136 pasal dari total 328 pasal, 41,4%), UU Nomor 42 Tahun 2008 (116 pasal dari total 262 pasal, 44,2%), dan UU Nomor 1 Tahun 2015 (82 pasal dari total 206 pasal, 39,8%).
Secara visual pengaturan dimensi organisasi dan pengaturan dalam substansi/ pasal undang-undang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Pengaturan Dimensi Organisasi dan Substansi
No. Nama UU
Dimensi Organisasi
Pengaturan Substansi
∑ Pasal
Total Pasal
UU No. 3/ 1999 UU No. 12/ 2003 UU No. 23/ 2003 UU No. 32/ 2004 UU No. 22/ 2007 UU No. 10/ 2008 UU No. 42/ 2008 UU No. 15/ 2011
UU No. 1 / 2015
Sumber: Hasil Olahan Peneliti 2016
Diantara ketujuh undang-undang non- penyelenggara pemilu, yang paling banyak memuat pengaturan dimensi organisasi adalah UU Nomor 12 Tahun 2003 yaitu 9 dimensi (81,8%), sedangkan yang paling sedikit adalah UU Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 42 Tahun 2008 yaitu sama-sama tiga dimensi (27,2%). Hal ini dapat dipahami berkenaan dengan perbandingan antara undang-undang yang terbit sebelum dengan sesudah UU Nomor
22 Tahun 2007. UU Nomor 3 Tahun 1999 dan UU Nomor 12 Tahun 2003 yang mengandung relatif lebih banyak pengaturan dimensi organisasinya (72,7% dan 81,8%) bila dibandingkan dengan undang-undang yang terbit sesudah terbitnya UU Nomor 22 Tahun 2007, yaitu UU Nomor 10 Tahun 2008 (27,2%) dan UU Nomor 42 Tahun 2008 (27,2%) tentu dapat dipahami karena ketika itu, sebelum tahun 2007, belum ada undang- undang khusus penyelenggara pemilu.
Sebagai konsekuensinya, maka diatur lebih detail berbagai aspek organisasi penyelenggara pemilu dalam UU Nomor 3 Tahun 1999 dan UU Nomor 12 Tahun 2003. Terlebih pada UU Nomor 12 Tahun 2003 yang digunakan untuk pemilu pertama dengan watak organisasi penyelenggara yang benar-benar netral, dalam arti tidak ada lagi unsur partai politiknya. Jumlah
pengaturan dimensi organisasi yang lebih besar dengan selisih sebesar 9,1% ini (81,8% - 72,7%) dapat dimaknai bahwa pembentuk undang- undang ingin mengatur secara lebih lengkap berbagai aspek organisasi penyelenggara pemilu untuk pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2004. Dalam konteks ini dapat dimengerti bahwa dalam UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden pengaturan dimensi organisasi relatif lebih sedikit, selisih 9,1% (81,8% - 72,7%), karena secara kronologis penyelenggaraan pemilu presiden dilakukan setelah pemilu legislatif.
Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 hanya terdapat 45,4% dimensi. Hal ini dapat dipahami berkaitan dengan pengalaman pertama Indonesia memilih kepala daerah dan wakilnya langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh DPRD, dengan KPU di daerah sebagai penyelenggaranya. Oleh karena itu, pengaturan dimensi organisasinya tidak lebih banyak seperti UU Nomor 12 Tahun 2003. Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 21 UU Nomor 32 Tahun 2004 bahwa KPUD yang dimaksud sebagai penyelenggara pilkada adalah KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksuddalam UU Nomor 12 Tahun 2003. Dengan kata lain, selisih pengaturan sebesar 36,4% yakni 81,8% - 45,4% dapat dimaknai bahwa sebagai undang-undang yang tidak bertajuk pemilu, tapi tentang pemerintahan daerah, maka UU Nomor 32 Tahun 2004 sudah dipandang tepat untuk tidak terlalu detail mengatur organisasi penyelenggara pemilu. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 21 bahwa KPUD diberi wewenang khusus menyelenggarakan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Tentu dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 dan Nomor 42 Tahun 2008, yang terbit sesudah adanya UU Penyelenggara Pemilu, jumlah dimensi organisasi yang tertuang di dalamnya akan lebih sedikit. Masing-masing 27,2%, bila dibandingkan dengan pada undang-undang pemilu yang terbit sebelum terbit undang- undang tersebut. Faktanya memang berbagai aspek organisasi penyelenggara pemilu telah diatur secara memadai dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 yang kemudian diganti oleh UU Nomor 15 Tahun 2011. Demikian pula dapat dipahami bahwa dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 muatan tentang dimensi organisasi tidak jauh beda dengan UU Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 42 Tahun 2008 karena sama- sama terbit setelah UU Nomor 22 Tahun 2007.
Diantara ke-11 dimensi organisasi tersebut, terdapat tiga dimensi yang paling Diantara ke-11 dimensi organisasi tersebut, terdapat tiga dimensi yang paling
undang yang sampai sekarang menjadi panduan yaitu dimensi “spesialisasi”, “teknologi berbagai aspek organisasi penyelenggara
organisasi”dan “lingkungan”. Hal ini dapat pemilu, beberapa substansinya tidak luput dimaknai bahwa pembentuk undang-undang dari inkonsistensi. Berdasarkan perspektif teori menyadari betul arti penting pengaturan organisasi, inkonsistensi diantaranya:
tugas dan wewenang, deskripsi tugas dan
a. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf d yang kewajiban, detail pekerjaan, proses transformasi
bertentangan dengan Pasal 119 ayat (3) serta input-output, serta interaksi organisasi
dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf d. dengan lingkungan. Adapun dimensi yang
Secara eksplisit Pasal 119 ayat (3) menyebutkan paling sedikit muncul pengaturannya dalam
bahwa KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/ kesembilan undang-undang tersebut adalah
Kota hanya ber wenang menetapkan dimensi “profesionalisme” (33,3%), dimensi
“keputusan” dengan mengacu kepada “sentralisasi” (22,2%) dan dimensi “konfigurasi”
pedoman yang ditetapkan oleh KPU. Namun (0%). Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang
Pasal 7 ayat (1) huruf d menyebutkan tugas tidak mengatur dimensi “profesionalisme”
Ketua KPU Provinsi dan Ketua Kabupaten/ dapat difahami karena hal tersebut dengan
Kota menandatangani “peraturan” dan cukup memadai telah diatur dalam UU Nomor
“keputusan” KPU Provinsi dan KPU
12 Tahun 2003. Demikian pula ketiga dimensi Kabupaten/Kota. Demikian pula Penjelasan tersebut tidak tertuang dalam UU Nomor 10
Pasal 7 ayat (1) huruf d menyebutkan bahwa Tahun 2008 dan UU Nomor 42 Tahun 2008
yang berhak menandatangani “peraturan” karena pengaturannya telah tercantum secara
dan “keputusan” KPU Provinsi adalah memadai dalam UU Nomor 22Tahun 2007. Hal
Ketua KPU Provinsi dan yang berhak yang sama tidak termaktub pula dalam UU
menandatangi “peraturan” dan “keputusan” Nomor 1 Tahun 2015 karena pengaturan aspek
KPU Kabupaten/Kota adalah Ketua KPU organisasi penyelenggara pemilu, khususnya
Kabupaten/Kota. Kejelasan tentang bentuk/ dimensi “profesionalisme” telah diatur secara
jenis kebijakan organisasi yang merupakan memadai dalam UU Nomor 15 Tahun 2011.
bagian dari otoritasnya ini sangat jelas akan Secara visual komposisi dimensi organisasi
menentukan efektivitas organisasi. tersebut dalam keseluruhan undang-undang
b. Inkonsistensi terkait dengan sebutan terlihat dalam gambar berikut.
sebagai penyelenggara pemilu sebagai mana tertuang dalam ketentuan Pasal 1 angka
5 terdiri dari dua lembaga yaitu Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Padahal dalam Penjelasan Umum
UU Nomor 15 Tahun 2011 disebutkan bahwa penyelenggara pemilu terdiri
dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu. Disebutkan pula bahwa ketiga institusi ini
Sumber: Hasil Olahan Peneliti
telah diamanatkan oleh undang-undang untuk menyelenggarakan pemilu menurut
Gambar 1. Komposisi Dimensi Organisasi Dalam fungsi, tugas dan kewenangan masing- Sembilan Undang-Undang masing. Selain itu, dalam Pasal 1 angka 22,
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Keterangan: tidak disebut sebagai penyelenggara Form = Formalisasi; Spes = Spesialisasi; Stnd= pemilu tetapi hanya disebut sebagai Standarisasi; Hirkw = Hirarki Kewenangan; “lembaga”. Kesimpangsiuran penamaan Komp = Kompleksitas; Sentr = Sentralisasi; Profs = Profesionalisme; Konfg = Konfigurasi; lembaga penyelenggara negara sepenting
ini dari perspektif administrasi negara Ukor = Ukuran Organisasi; Tekor = Teknologi tentu merupakan sesuatu yang sedikit Organisasi; Ling = Lingkungan banyak akan menggangu performansi
Volume XIV | Nomor 1 | April 2017
Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi
sarjana hukum atau sarjana bidang lain tentang tugas KPU Provinsi dan tugas KPU
yang memiliki keahlian dan pengalaman Kabupaten/Kota. Pasal 1 angka 7 sama
sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun sekali tidak menyebutkan bahwa KPU
dalam bidang hukum atau pemerintahan Provinsi memilki tugas yang berkaitan
yang menyangkut penyelenggaraan dengan pemilihan kepala daerah provinsi
pelayanan publik. Dengan demikian jelas (gubernur). Hal ini tidak selaras dengan
bahwa dari dimensi “profesionalisme” di ketentuan tentang tugas dan wewenang
kedua lembaga tersebut mensyaratkan KPU Provinsi yang tercantum dalam Pasal
bidang ilmu tertentu atau pengetahuan
9 ayat (3), dan ayat (4), bahwa KPU Provinsi dan pengalaman tertentu yang relevan memiliki tugas, wewenang dan kewajiban
sesuai core business lembaga bersangkutan terkait dengan pemilihan gubernur serta
dengan tingkat pendidikan minimal bupati/walikota. Demikian pula Pasal 1
sarjana. Dalam konteks ini, Nanus telah angka 8 sama sekali tidak menyebutkan
mengingatkan bahwa ‘berbagai kekuatan bahwa KPU Kabupaten/Kota memiliki
eksternal telah membentuk organisasi tugas yang berkaitan dengan pemilihan
abad 21 dengan delapan karakteristik, kepala daerah kabupaten/kota (bupati/
diantaranya bahwa angkatan kerja walikota). Hal ini kontradiktif dengan
terutama terdiri dari para karyawan tugas dan wewenang KPU Kabupaten/
yang memiliki pengetahuan luas dan Kota berkaitan dengan pemilihan bupati/
keterampilan tinggi’ (1992:222). Dengan walikota sebagaimana tersebut dalam Pasal
demikian jelas bahwa tantangan KPU saat
10 ayat (3). Tentu saja pengaturan yang ini berupa anggota yang berkualifikasi tidak selaras tentang otoritas organisasi
yang relevan dengan tugas kepemiluan. merupakan hal yang berpotensi mengganjal
b. Permasalahan lainnya terkait dengan pelaksanaan tugas organisasi.
jumlah anggota yang seragam pada semua Merujuk perspektif dimensi organisasi,
KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu terdapat beberapa hal yang berpotensi menjadi
5 orang tanpa memperhatikan kondisi permasalahan diantaranya:
geografis dan jumlah daerah otonom atau
a. Berkenaan dengan kualifikasi dan perangkat daerahnya. Sebagai contoh ada
KPU kota yang hanya terdiri dari tiga kompetensi pendidikan formal minimal kecamatan dengan kondisi geografis yang anggota KPU, KPU Provinsi dan KPU sangat mudah dijangkau, sedangkan ada Kabupaten/Kota. Selama ini syarat untuk KPU kabupaten yang menangani lebih dari menjadi anggota/komisioner KPU dan
40 kecamatan dengan kondisi geografis KPU Provinsi sebagaimana disebut dalam yang sangat sulit dan sangat luas. Hal Pasal 11 huruf f UU Nomor 15 Tahun yang sama dihadapi pula oleh KPU tingkat 2011 minimal sarjana (S-1) tanpa melihat provinsi yang tentu akan berdampak pada bidang ilmu kesarjanaannya, dan minimal efektivitas organisasi sebagai lembaga SMA untuk anggota KPU Kabupaten/ penyelenggara pemilu. Selain berkenaan Kota. Hal ini berbeda dengan persyaratan dengan efektivitas organisasi, tentu saja untuk menjadi anggota komisi/lembaga kondisi ini akan membuka peluang independen lainnya, misalnya KPK munculnya persepsi di kalangan aparat sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 huruf penyelenggara sebagai sesuatu yang
d UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi tidak adil mengingat imbalan/honor Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. yang diterima bersifat seragam tanpa Ketentuan tersebut menyebutkan bahwa membedakan karakteristik daerah. syaratnya adalah berijazah sarjana hukum
atau sarjana lain yang memiliki keahlian
c. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah dan pengalaman sekurang-kurangnya 15
batas usia minimal untuk masing-masing (lima belas) tahun dalam bidang hukum,
tingkatan penyelenggara pemilu, karena ekonomi, keuangan atau perbankan.
hal ini berkaitan dengan kematangan Lembaga lainnya, Ombudsman Republik
personalitas dalam menghadapi pelaksanaan Indonesia persyaratannya antara lain
tugas yang bertensi politik sangat tinggi. termaktub dalam Pasal 19 huruf d UU
Selama ini ketentuan yang berlaku bahwa usia Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman
minimal untuk anggota KPU Kabupaten/
66
Jurnal
Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Volume XIV | Nomor 1 | April 2017
Jurnal
Ilmu Administrasi Volume XIV | Nomor 1 | April 2017 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi
Kota dan KPU Provinsi adalah 30 tahun dan untuk KPU 35 tahun. Padahal, sebagai perbandingan, syarat minimal usia calon anggota KPK adalah 40 tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 29 huruf e UU Nomor
30 Tahun 2002, serta minimal 40 tahun untuk menjadi anggota Ombudsman sebagaimana tertuang dalam Pasal 19 huruf e UU Nomor
37 Tahun 2008. Dalam pelaksanaan tugas kepemiluan selama ini terutama di daerah terasa penting hadirnya anggota/komisioner berdasarkan usia dan pengalaman hidup yang relatif lebih matang.
d. Berkenaan dengan mekanisme peng- ambilan keputusan dan jenis/bentuk produk kebijakan organisasi pada masing-masing tingkatan penyelenggara pemilu. Proses pengambilan keputusan yang dibuat di masing-masing tingkatan penyelenggara pemilu secara horisontal serta keterkaitannya secara vertikal memerlukan pengaturan yang cukup memadai bagi terciptanya efektivitas organisasi. Demikian pula sangat penting adanya ketegasan bentuk/jenis produk kebijakan organisasi yang merupakan wewenang masing-masing tingkatan penyelenggara, apakah sebatas peraturan (regeling) saja, keputusan (beschikking) saja atau meliputi keduanya. Dengan kata lain, dibutuhkan kejelasan pengaturan apakah KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota diberi tugas/wewenang membentuk produk kebijakan berupa peraturan sekaligus keputusan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf d, atau hanya yang berbentuk keputusan sebagaimana ketentuan Pasal 119 ayat (3). Hal ini penting karena dalam kenyataannya KPU di daerah sangat mungkin didesak kebutuhan menetapkan peraturan tentang satu kegiatan tertentu, misalnya pendaftaran pemilih dan pencalonan tetapi hal tersebut bukan kewenangannya sebagaimana ketentuan Pasal 119 ayat (3). Demikian pula dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada umumnya KPU di daerah menetapkan produk kebijakan yang berisi norma seperti pendaftaran pemilih dan pencalonan tetapi bentuknya “terpaksa” berupa keputusan bukan peraturan selaras dengan ketentuan Pasal 119 tersebut. Berdasarkan perspektif dimensi organisasi tentu saja fakta kontradiktif dalam penyelenggaraan pemilu atau pilkada ini bukan merupakan sesuatu yang positif bagi kesehatan organisasi.