Laporan Intelijen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

2 Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 enam bulan. Dari ketentuan ini ternyata hukum acara pidana masih berlaku, kecuali ditentukan lain dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang ini, dengan demikian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana masih berlaku tetapi ada pengecualiannya yaitu untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 enam bulan. Karena itu ketentuan mengenai penyelidikan dalam KUHAP tetap berlaku, sehingga apabila penyelidik menemukan adanya tindak pidana terorisme ia membuat laporan kepada penyidik.

3. Laporan Intelijen

Pasal 26 yaitu : 1 Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen. 2 Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri. 3 Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 tiga hari. 4 Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan. Menurut Pasal 26 ayat 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 juncto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen, sedang penjelasannya, “laporan intelijen” adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Kata “dapat” menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan adalah bisa,mampu,sanggup,boleh,mungkin” 7 . Mengenai laporan intelijen, Abdul Wahid, dkk. mengatakan “oleh karena para teroris memiliki pola-pola gerakan seperti intelijen, maka untuk menyelidiki suatu kasus terorisme diperlukan pula pola-pola lawan intelijen kontra intelijen. Dalam hal ini BIN memiliki kualifikasi tersebut begitu pula TNI. Sehingga anggota BIN perlu pula diberi wewenang untuk menyelidiki. Tidak dapat dilupakan pula, keahlian anggota BIN dalam melakukan analisa intelijen. Hal ini sangat diperlukan dalam upaya menyelidiki terorisme. Meskipun demikian, dalam penyelidikan ini sebaiknya POLRI memiliki peran sebagai koordinator yang mengkoordinasikan penyelidikan suatu kasus terorisme. Konsekwensinya. Polri perlu menentukan komposisi keanggotaan penyelidik yang menangani suatu kasus dalam kasus terorisme, tidak semua penyelidik dari instansi-instansi di atas, dimanfaatkan. Dan hal ini tergantung dari penilaian Polri. Jadi tidak menutup kemungkinan jika pada kasus terorisme, cukup Polri saja yang melakukan penyelidikan” 8 . Sedangkan menurut Y. Wahyu Suronto, dkk. Pengertian laporan intelijen “ditinjau dari segi kegunaan, intelijen adalah informasi yang diperlukan pemerintah, karena isinya menyangkut keamanan nasional. Ditinjau dari segi intelijen, clandestine yaitu 7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ,Opcit, hal.209. 8 Abdul Wahid, Dkk, Opcit, hal. 105-106. untuk kepentingan intelijen clandestine pengertiannya ialah informasi yang tidak tersedia secara terbuka dan karenanya harus dicari melalui operasi-operasi clandestine. Intelijen sebagai produk akhir, ialah intelijen berdasarkan fakta-fakta yang telah melalui proses penilaian, perbandingan, penafsiran dan analisis-analisis” 9 . Berkaitan dengan dipakainya laporan intelijen sebagai bukti permulaan dijelaskan oleh Menteri Hukum Perundang-undangan dan Hak Asasi Manusia, Yusril Ihza Mahendra “bahwasanya tidak semua laporan intelijen bisa diajukan ke pengadilan untuk menjadi bukti awal penyidikan kasus terorisme, cuma laporan intelijen yang bersifat faktual dan disampaikan secara kelembagaan yang bisa diperiksa oleh ketua atau wakil ketua pengadilan negeri” 10 . Selanjutnya Abdul Wahid, dkk. mengemukakan “Laporan intelijen itupun terbatas pada yang diajukan oleh Lembaga Intelijen Nasional. Jadi “fakta intelijen” yang bisa dimintakan untuk menjadi bukti awal ke pengadilan negeri itu bersifat fakta, bukan analisa intelijen atau perkiraan intelijen. Juga tidak setiap anggota intelijen bisa mengajukan hal itu ke pengadilan negeri untuk menjadi bukti awal haruslah laporan yang bersifat kelembagaan, misalnya laporan intelijen dari Badan Intelijen Nasional BIN atau Dikjen Imigrasi. Laporan intelijen asing tidak bisa diajukan untuk menjadi bukti awal di pengadilan walaupun demikian, apabila laporan intelijen asing itu diterima dan dijadikan laporan lembaga intelijen dalam negeri, bisa diajukan ke pengadilan negeri untuk menjadi bukti awal penyidikan kasus terorisme. Misalnya laporan intelijen dari Interpol, setelah diterima Markas Besar Kepolisian Republik 9 Y. Wahyu Suronto, dkk, Intelijen Teori, Aplikasi, dan modernisasi, Ekalaya Saputra, Jakarta, 2004, hal. 160. 10 Yusril Ihza Mahendra, Kompas, 22 Oktober 2002, dikutip dari Abdul Wahid, dkk. Indonesia MABES POLRI diajukan sebagai laporan intelijen Polri yang terpenting laporan intelijen bersifat fakta” 11 .

4. Penangkapan