Martabat Tujuh Hasan Mustopa

(1)

Laporan Penelitian Individual

KONSEP MARTABAT TUJUH

Haji Hasan Mustapa

Oleh:

Wiwi Siti Sajaroh

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

DAFTAR ISI A. I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah B. Perumusan Masalah C. Metode Pembahasan D. Tujuan Penelitian

E. Landasan Teori dan Kerangka konseptual F. Kajian Penelitian Sebelumnya

G. Sistematika Pembahasan

II. MELACAK AKAR SEJARAH TEORI MARTABAT TUJUH

A. Al-Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanpuri: Sumber Awal B. Konsep-konsep Utama dalam Doktrin Martabat Tujuh

III. BIOGRAFI HAJI HASAN MUSTAPA

a. Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustapa b. Hasan Mustapa Sang Penyair dari Priangan

IV. AJARAN TASAWUF HAJI HASAN MUSTAPA

A. Ajaran Ma’rifat, sebagai Tonggak Ajaran Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa B. Doktrin Martabat Tujuh dalam Ajaran Haji Hasan Mustapa: “Elmu Kama’ripatan

Ka Allah Ta’ala”


(3)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ilmu yang berkembang pesat dalam khazanah ilmu keislaman adalah ilmu tasawuf. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang mempelajari bagaimana menjalin hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan, dan manusia dg mahkluk lainnya. Intisari dari ajaran tasawuf ini adalah terwujudnya komunikasi antara manusia dengan Tuhan yang besifat ruhaniyah.

Tasawuf atau sufisme adalah istilah khusus bagi mistisisme dalam Islam.Tujuannya adalah untuk memperoleh hubungan langsung dan lebih dekat dengan Tuhan, sehingga seseorang merasakan benar bahwa dirinya sedang berada di depan-Nya. Intisari tasawuf adalah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia-Tuhan denganjalan mengasingkan diri dan berkontemplasi.1Ada dua aliran tasawuf dalam Islam.2Pertama, aliran tasawuf amali (praktis, lahiriyah maupun batiniyah), dimana para penganutnya selalu memagari tasawuf dengan timbangan syariat yang berlandaskan al-Quran dan al-Sunah, serta mengaitkan keadaan dan tingkatan rohaniah dengan keduanya. Kedua, aliran tasawuf falsafi (teoritis), yakni tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Tasawuf ini lahir akibat persentuhan tasawuf dengan filsafat. Karenanya maka

1

Harun Nasution, Falsafat clan Mystisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, , 1973). h.56.

2

Hal ini sejalan dengan adanya pembagian dua tipe mistik utama oleh para ahIi, yaitu pertama, mistik ketakterhinggaan (mysticism of infinity), yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolute dan tak terhingga. Manusia dipandang bersumber dari Tuhan (emanasi) dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan-Nya. Tipe mistik ini seringkali mendapat serangan cukup sengit karena dianggap menghasilkan faham pantheisme dan monisme. Tipe mistik kedua menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada tipe kedua ini, hubungan manusia dan Tuhan dilukiskan sebagai hubungan antara kawula dengan tuannya, antara makhluk dengan Penciptanya atau antara si pernabuk cinta dengan kekasihnya. Tipe ini juga berdasar pada konsep creatio ex nihilo. (Iihat Annemarie Schimmel, Dimensi Mtstik dalam Islam, terj. Supardi Djoko Damono dkk. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) h. 3


(4)

dalam pengungkapannya menggunakan terminologi filosofis yang berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokohnya. Dua tipe mistik ini sejalan dengan pendapat para ahli , yaitu, pertama mistik ketakterhinggaan (mysticism of infinity), yang memandang Tuhan sebagai realitas yang absolute dan tak terhingga. Manusia dipandang bersumber dari Tuhan (emanasi) dan dapat mencapai penghayatan kesatuan kembali dengan-Nya. Tipe mistik ini seringkali mendapat serangan cukup sengit karena dianggap menghasilkan faham pantheisme dan monism. Tipe mistik kedua menekankan aspek personal bagi manusia dan Tuhan. Pada tipe kedua ini, hubungan manusia dan Tuhan dilukiskan sebagai hubngan antara kawula dengan tuannnya, anatara makhluk dengan Penciptanya atau antara si pemabuk cinta dengan kekasihnya. Tipe inipun berdasar pada konsep Creatio ex nihilo. 3 Walaupun demikian keorisinilannya sebagai tasawuf tetap tidak hilang, karena para tokohnya –meski mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan berbeda--mereka tetap berusaha menjaga kemandirian ajarannya, dan terminologi ajaran-ajaran filsafat yang dipakai disesuaikan dengan ajaran tasawufyang mereka anut.4

Ciri umum tasawuf falsafi ini ialah kesamaran-keajarannya, akibat banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang mendalami. Pada masa-masa permulaan, perkembangan pemikiran tasawuf di Indonesia diwamai dengan corak tasawuf falsafi, yang dapat dikategorikan sebagai tipe mistik ketakterhinggaan. Mistik model ini sangat identik dengan faham Wahddt al-Wujud atau Wujudiyah yang merupakan pengembangan dari teori Tajalliat Ibnu Arabi. Pada abad 17, khususnya di aceh, doktrin wujudiyah ini pemah menjadi bahan perdebatan di kalangan para ulama. Selain karena

3

Ibid, Schimmel, h. 3

4

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Raft Usrnani(Bandung: PustakaFirdaus, 1985) h. 187.


(5)

adanya faktor sosial politik yang mempengaruhi masing-masing pihak yang berselisih, kontroversi seputar doktrin wujudiyah ini juga diakibatkan adanya perbedaan dalam penafsiran doktrin tersebut.

Perkembangan pemikiran Islam di Indonesia dalam sejarah tercatat memiliki mata rantai yang cukup panjang dan melibatkan kompleksitas hubungan yang sangat rumit antara penuntut ilmu dari Nusantara dengan banyak ulama Timur Tengah. Hal ini terbukti dari proses perjalanan dan penyebaran Islam di Nusantara sejak awal kedatangannya yang memakan waktu cukup lama, hingga akhir abad ke 18.5

Sejak awal abad ke-16 dan mencapai puncaknya abad ke-17, merupakan periode paling penting dalam proses pembentukan tradisi pemikiran Islam. Ketika itu perdagangan internasional semakin luas, seiring dengan fakta kejayaan beberapa kerajaan di Nusantara, antara lain: Aceh, Mataram, Banten, Makassar / Gowa-Tallo dan Ternate. Pada masa itu, landasan tradisi intelektual dan politik diletakkan. Tampak upaya salin-menyalin kitab, penyebaran ide-ide keagamaan antar kerajaan yang direkam oleh historiografi tradisional. Pada masa itu pula terlihat penciptaan komunitas kognitif Islam sebagai tema utama yang disusul dengan munculnya suasana kosmopolitan. Dalam suasana seperti itu maka muncul perenungan pribadi tentang hubungan manusia sebagai makhluk dengan sang Maha Pencipta. Dalam konteks inilah muncul Aceh sebagai “pusat penghasil” pemikiran cemerlang dalam sejarah pemikiran Islam di Asia Tenggara.

Dalam abad ke-17, perkembangan kerajaan-kerajaan di Nusantara, memperlihatkan kecenderungan pandangan sufistik. Paham ini menggambarkan hubungan yang diikat oleh

5

Kajian mendalam tentang hubungan antara penuntut ilmu dari Nusantara dengan ulama TimurTengah serta dampak yang ditimbulkan terhadap perkembangan pemikiran keagamaan ini telah dikupas secara mendalam dan komprehensif oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara A bad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994).


(6)

tali kasih, antara “hamba” dan “tuan” antara “raja” dan “rakyat”. Landasannya adalah mengenai keharusan keharmonisan dan kesatuan semesta. Maka dirumuskanlah pemikiran makhluk terhadap Khalik. Dalam konteks itulah Hamzah al-Fansuri menyusun pemikiran sufistik dengan sistematika kosmogoni “martabat tujuh” sebagaimana yang ditulis Muhammad ibn Fad al-Burhanpuri (1590). Hamzah Fanzuri dan Syams-ad-Din Al-Sumatrani, memainkan peran besar dan penting dalam membentuk pemikiran dan praktik keagamaan kaum Muslim di Melayu-Indonesia. Meskipun tidak banyak diketahui menyangkut kehidupannya, Hamzah seorang Melayu yang berasal dari Fansur (Barus), pusat pengetahuan Islam di Aceh Barat Daya, hidup dalam masa sebelum dan selama pemerintahan Sultan Aceh bernama ‘Ala‘ Al-Din Ri‘ayat Syah, berkuasa tahun 1589-1602 (Azra 1994: 166). Syam ad-Din adalah murid Ham zah. Mereka pendukung terkemuka penafsiran mistiko-filosofis wahdat al-wujud dari tasawuf (Azra 1994: 168).

Interaksi yang terjadi antara kaum muslimin dari kedua wilayah ini pada awalnya lebih berbentuk hubungan ekonomi, disusul kemudian hubungan politik, untuk selanjutnya hubungan intelektual keagamaan.Tasawuf merupakan tema keagamaan yang cukup dominan dan sangat akrab dalam wacana keislaman di Indonesia. Hal ini dikarenakan Islam datang ke bumi Nusantara sejak abad 13 diperkenalkan oleh guru-guru pengembara yang belakangan banyak menghasilkan karya-karya tertulis--karakteristik sufi yang kental.6

Tokoh terkenal penganut faham wujudiyah ini adalah Syekh Harnzah Fansuri dan muridnya Syekh Syamsuddin Sumatrani.7 Mereka masing-masing telah banyak mengupas tentang Wahdat al-Wujud, diantaranya: "Ruba'i Harnzah Fansuri". Kitab ini disarahkan oleh

6

Ibid, h. 33

7

Ia berasal dari Samudra Pasai, lahir di sana pada penghujung abad VI darti keluarga ulama. Guru utamanya Syekh Hamzah fansuri. Ia juga pernah belajar pada pangeran Bonang. Lihat Hawash Abdullah. Perkembangan Tasawuf dan Tokohnya di Nusantara.(Surabaya: Al-Ikhlas, 1980) .h. 34


(7)

muridnya, Syekh Syamsuddin Sumatrani dengan nama "Syarah Ruba'i Fansuri". Doktrin Wahdat al-Wujud ini terpusat pada ajaran tentang penciptaan alam dan manusia melalui penampakan Diri Tuhan dalam tujuh martabat. Konsep ini kemudian dikenal dengan teori

Martabat Tujuh yang terdiri dari Ahadiyah, Wahdah, Wahidiyah, Alam Mitsal.. Alam Arwah,

Alam Ajsam, dan lnsan Kamil. Sistematilka Martabat Tujuh ini ide dasarnya berasal dari Muhammad ibn Radhullah al-Burhanpuri' 8yang telah menyusun buku kecil (tidak lebih dari sembilan halaman) mengenai emanasi yang terdiri dari tujuh martabat. Buku keeil ini kemudian dikenal dengan "Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi'' yang disusun pada tahun 1590, yang kemudian dibawa ke kepulauan Indonesia.

Salah seorang tokoh tasawuf yang ikut serta mengembangkan konsep Martabat Tujuh di Nusantara, khususnya di Jawa Barat adalah Haji Hasan Mustapa. Beliau dilahirkan di kota Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – Bandung, 1348 H/13 Januari 1930. Selain dikenal sebagai seorang sufi, beliu dikenal juga sebagai seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk guritan (puisi yang berirama dalam bahasa Sunda). Beliau pernah menjadi kepala penghulu di Aceh pada zaman Hindia Belanda. Haji Hasan Mustafa lahir dan hidup dalam lingkungan menak (bangsawan sunda), namun keluarga yang mengutamakan akan pentingnya pendidikan agama, sehingga ayahnya waktu itu mengirim Haji hasan Mustafa bukan ke bangku sekolah, melainkan mengirimkannya ke pesantren. Beliau belajar agama mulai dari mengajar ngaji kepada orang

8

Seorang sarjana keturunan Arab, dilahirkan di Arab, dilahirkan di ranir,terletak dekat Surat diGujarat. Tidak diketahui tahun kelahirannya. Mula-mula belajar agama di Gujarat, melanjutkan ke tarim (Arab Selatan) sebagai pusat studi ilmu agama pada tahun 1030 H. (1621 M). iajuga seorang Syekh tarekat Rifaiyyah. (lihat Dr. Ahmad Daudy, Allah dan Manusia. (Jakarta: CV.Rajawali, 1983 h. 360. Ia tiba di Aceh pada 6 Muharram 1047H (31 Mei 1637 M) pada masa Sultan Iskandar Tsani


(8)

tuanya, belajar Qira’ah pada seorang ulama Garut, kemudian dikirim ke pesantren, sampai belajar Bahasa arab di Makkah ketika ikut Ibdah Haji dengan ayahnya.9

Salah satu keistimewaan Haji Hasan Mustapa dalam mengajarkan Tasawufnya adalah ajaran Islam melalui karya-karya seninya yang sangat berlainan dengan karya-karya seni Sunda pada masa itu. Sekitar tahun 1900 ia menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi oleh para pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya membahas masalah suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan Tuhan (Gusti). Diantara karya-karyanya yang besar itu, beliau menjelaskan tentang konsep Martabat Tujuh.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, penulis ingin menelliti dan mengetahui secara mendalam bagaimana ajaran Martabat Tujuh yang dianut oleh Haji Hasan Mustapa. Selain itu penulis akan melihat lebih jauh, apakah konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa ada perbedaan atau persamaan dengan tokoh-sufi yang lainnya dalam menjelaskan konsep Martabat Tujuh. Jika ada perbedaan, apa yang mempengaruhinya.

C. Metode Pembahasan

Penelitian ini menggunakan studi Kepustakaan. Sumber utama yang menjadi kajiannya adalah 2(dua) naskah konsep martabat Tujuh yang ditulis oleh Haji Hasan Mustapa. Naskah yang pertama berjudul “Adji Wiwitan Martabat Tujuh, Undak-undukna Manusa”. Kedua, naskah tanpa judul, tapi isi naskah tersebut menjelaskan tentang ajaran

9

Ki Santri, Haji Hasan Mustafa, 1 Pébruari 2008, diunduh tanggal 25 maret 2013 jam 11.00


(9)

Tasawuf Haji Hasan Mustapa, yang disalin ulang pada Bulan Desember 1990 Masehi, yang juga penyalinnya tidak mencantumkan nama. Naskah-naskah tersebut akan dikaji dan diteliti dengan menggunakan kajian filologi, sejarah, atau yang lainnya. Peneliti akan melihat setiap naskahdengan detail, baik dari sistematika isi naskah, simbol-simbol yang digunakan, tema yang dimunculkan, dan term/nama yang digunakan. Selain itu peneliti akan mencoba untuk mengungkap kekhasan martabat tujuh Haji Hasan Mustapa, yang terdapat dalam dua sumber tersebut, yang diperkirakan ada pengaruh budaya, sosial pada isi naskah tersebut. Selain itu peneliti juga menggunakan data skunder seperti buku, laporan, artikel, kamus, dan ensiklopedi yang ada relevansinya dengan pembahasan ini.

Data-data tersebut dipahami dan dianalisis secara sistimatis dan komprehensif serta memadukannya dengan konsep-konsep atau teori tasawuf lainnya, kemudian disimpulkan sehingga makna dari data-data tersebut bisa ditemukan.

D. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui secara mendalam konsep Martabat Tujuh yang dianut oleh Haji Hasan Mustapa

2. Untuk menelusuri secara historis bagaimana teori martabat tujuh diterima oleh Haji Hasan Mustapa

E. Landasan Teori dan Kerangka konseptual

Menurut bahasa, martabat tujuh berarti tujuh tingkatan atau tahapan. Sedangkan menurut istilah , martabat tujuh merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan tentang terjadinya alam semesta dalam kerangka sistem emanasi.Teori tersebut walaupun


(10)

dikemukakan dalam berbagai bentuk dan versi, namun semuanya besifat monistik dan didasarkan pada pandangnan dunia yang sama, yaitu bahwa dunia yang nampak ini mengalir dari Yang Tunggal. Dunia yang nampak memperlihatkan dunia yang tidak nampak, tak terpisahkan dan terikat padanya, serta manunggal dalam Ada .10 Teori martabat tujuh ini adalah bentuk lain dari faham wahdat al-wujud yang merupakan corak tasawuf pertama yang banyak dianut dan berkembang di Nusantara sekitar abad XVII M. Oleh karenanya martabat tujuh ini juga bisa diartikan sebagai satu wujud dengan tujuh martabatnya.

F. Kajian Penelitian Sebelumnya

Penelitian tentang Haji Hasan Mustapa sudah dilakukan oleh Jajang Jahroni dalam tesisnya, dengan judul "Haji Hasan Mustapa (1852-1930) as The Great Sundanese Mystic" (Haji Hasan Mustapa (1852-1930) Seorang Sufi Besar Sunda), sebuah penelitian tentang karakteristik dan tipologi pemikiran tasawuf K.H. Hasan Mustapa sebagai salah seorang tokoh sufi Sunda. Tulisan ini merupakan tugas akhir studinya di Belanda untuk mendapat gelar M.A. Jajang adalah seorang Dosen Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jajang menjelaskan bahwa Haji Hasan Mustapa telah berhasil merelasikan antara tradisi mistik lokal Jawa-Sunda dan tradisi tasawuf klasik Islam. Hal tersebut, katanya, tampak dalam membandingkan antara term-term kosmologi Jawa-Sunda baik dalam mitologi maupun pewayangan dengan term-term yang dikenal dalamtasawuf.Naskah Martabat Tujuh-nya Haji Hasan Mustapa menjelaskan fase lanjutan dari fase-fase yang dilalui dalam Gelaran Sasaka di Kaislaman. Suatu fase puncak dalam sikap dan cara pandang keagamaan yang

10

Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Suatu Studi Filsafat,( Jakarta: Gramedia, 1991) h. 115-127.


(11)

berakhir pada maqomat Insan Kamil. Maqom yang tidak lagi melihat perbedaan dan pertentangan dalam kehidupan di dunia sebagai kenyataan hakikiah.

Perbedaan yang paling menonjol dari tesis Jajang Jahroni dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah, Jajang Jahroni menyoroti ajaran Haji Hasan Mustopa dalam ajaran Tasawuf secara umum, sedangakan yang akan peneliti lakukan dalam penelitian ini adalah mengupas dengan detail dan mendalam khusus tentang ajaran Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa.

Selain itu ada penelitian yang berjudul “Kinanti (Tutur Teu Kacatur Batur): Tasawuf Alam Kesundaan Haji Hasan Mustapa (1852-1930)”. Penelitian ini memfokuskan pada aspek nuansa alam kesundaan yang menjadi wadah tasawuf Haji Hasan Mustapa. Meski dalam beberapa kajian nama Hasan Mustapa sudah mulai dikenal, namun nuansa lokal Sunda sebagai wadah interpretasi tasawufnya belum banyak dieksplorasi. Sementara penelitian lain yang sama-sama mengkaji tokoh Haji Hasan Mustapa, seperti Kajian Abas (1976), dan Gibson (2005) misalnya, cenderung melihat sisi pemikiran tasawuf Haji Hasan Mustapa dihubungkan dengan genealogi tasawuf yang mempengaruhinya.

G. Sistematika Pembahasan

Laporan Penelitian ini terdiri dari lima Bab. Bab Pertama adalah Pendahuluan, yang akan menjelasakan latar belakang mengapa penelitian ini dilaksanakan, dengan mengemukakan rumusan masalah, metode pembahasan dan tujuan dari penelitian ini. Selain itu pada bab pertama ini, juga dijelaskan tentang landasan teori dan kerangka konseptual dari penelitian ini, dan memunculkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan oleh bebrapa peneliti yang mempunyai tema yang bersinggungan dengan penelitian ini.


(12)

Bab kedua hasil penellitian ini menelusuri akar sejarah dari kemunculan teori martabat tujuh, dengan mengemukakan tokoh yang pertama kali membawa teori martabat tyujuh ini masuk ke Nusantara kemudian diikuti dan disebarkan oleh tokoh-tokoh tasawuf di Nusantara, mulai dari Syamsuddin Sumatrani, Abdul Rauf al-Sinkili, dan masuk ke tataran Pulau Jawa dikembangkan oleh seorang tokoh tasawuf terkenal yaitu Syaikh Abdul Muhyi.

Pada Bab ketiga, mengupas biografi Haji Hasan Mustapa. Bab ini mengupas perjalanan hidup dan pendidikannya, orang-orang yang berada di sekelilingnya, maupun perjalan spiritualnya.

Pada Bab keempat yang merupakan inti dari penelitian ini, bicara tentang konsep martabat tujuh Haji Hasan Mustapa. Yang berbeda darri martabat tujuhnya Haji Hasan Mustapa ini diantaranya adalah konsep ajaran tasawufnya yang dikemas dalam bentuk syair-syair berbahasa sunda, yang sangat kental dengan nilai-nilai budaya lokal kesundaan. Hal ini yang dimungkinkan, penyebab diterimanya konsep martabat tujuh oleh berbagai kalangan masyarakat sunda pada masa itu.

Bab kelima merupakan bab terakhir yang menutup seluruh rangkain dari pernelitian, dengan memeberikan kesimpulan dari hasil penelitian ini .


(13)

BAB II

MELACAK AKAR SEJARAH TEORI MARTABAT TUJUH DI TATAR SUNDA

A. Al-Tuhfah al-Mursalah karya al-Burhanpuri: Sumber Awal

Sistematika martabat tujuh berasal dari Muhammad Ibnu Fadlillah al Burhanpuri11(w. 1620) yang telah menyusun sebuah buku kecil (dalam ukuran separoh kwarto dan tidak lebih dari dari sembilan halaman) megenai emanasi menurut tujuh martabat. Buku kecil yang kemudian dikenal dengan Tuhfah al-Mursalah ila ruh al-nabi “Persembahan kepada jiwa nabi” tersebut telah disusun pada tahun 1590.12 Tuhfa adalah karya yang ringkas, hampir semacam kumpulan dari aphorisme. Burhanpuri menyebutnya dengan nubdha, ringkasan atau ikhtisar ajaran-ajaran sufi sehingga bersifat eklektis.

Landasan ajaran Tuhfa adalah bahwa Tuhan merupakan Wujud (being) dan wujud itu mengalir ke dunia kasat mata melalui tahapan emanasi namun tanpa melibatkan perubahan dalam proses tersebut. Tahapan pertama adalah ketersembunyian Tuhan (Ahadiya) dan enam tahapan berikutnya yang mengalir darinya adalah Wahda, Wahidiyya, Alam Arwah, (dunia Jiwa), alam al-mitsal (dunia ide), alam al-jism(dunia tubuh), dan alam al-insan kamil (dunia manusia sempurna). Wahda dan Wahidiyya bersama-sama Ahadiya membentuk tiga serangkai primer seperti dalam pemikiran plotinus dan tidak melibatkan manifestasi luaran

(eksterior). Sedangkan empat tahapan lainnya dikelompokkan sebagai wujud luaran

11

Sedikit sekali informasi mengenai dirinya selain ia telah menulis Tuhfa dan syarhnya yang diberi judul “al-hakika al-muwafika li al-syari’a . Karyanya ini menunjukkan suatu usaha di kalangan tradsisi sufi ortodoks untuk menahan kecenderungan ekstrim beberapa kelompok mistik India. Selain itu karya ini bertuijuan untuk menjamin pemahaman dan praktek yang benar akan elemen-elemen ajaran Islam. (lihat A.H.Johns, The Gift Addressed To The Spirit of The Prophet , (Canberra: The Australian National University, 1965) h.5

12

Karel A. Steanbrink,. Mencari Tuhan dengan Kacamata Barat. Kajian Kritis Mengenai Agama di Indonesia.(Jogjakarta, IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988) h. 180-182.


(14)

(eksterior). Manusia merupakan tahapan final dalam proses itu dan dapat mencapai kesempurnaan ketika pengetahuan yang ada pada dirinya telah mencapai pengetahuan Tuhan dan memahami dari mana berasal dan kemana akan kembali, sehingga ia hidup sesuai ajaran syari’at. Manusia merupakan mikrokosmos dan terdiri dari lima tingkatan emanasi di atasnya dan rtitik balik dimana pemikiran Tuhan yang telah melewati berbagai tahapan tersebut kembali kepada keabsolutan diri-nya. Simpul-simpul ajaran ini adalah (a) Tuhan merupakan sumber segala sesuatu (b) tidak ada sesuatupun selain Tuhan yang mewujud sendiri (c) benda-benda individual yang saling dibedakan (mufassal) antara satu dengan lainnya tidak dapat disejajarkan dengan Tuhan, meskipun sebelum adanya penciptaan mereka menyatu di dalam-Nya. Maka harus dicatat bahwa hal ini tidak tidak berlawanan dengan doktrin Kesatuan Wuijud (unity of Being) yang menjadi elemen pokok pemikiran sufi, tetapi menolak seluruh kecenderungan antinomian dan ekstrim.13

Ajaran al-Burhanpuri yang tertuang dalam karyanya Tuhfa al-Mursalah ini, dimungkinkan telah dikenal di Indonesia semasa ia masih hidup. Drewes telah menunjukkan bahwa Ibrahim al-Kurani (w.1689) telah menyusun komentar terhadap karya tersebut bagi muslim Indonesia atas permintaan Ahmad al-Kushashi, gurunya di Madinah, gumna memberikan pemahaman yang benar terhadap karya ini. Karena al-Kushashi wafat tahun 1661, maka komentar itu kemungkinan besar ditulis sebelum itu itu meski tidak dikenal secara pasti. Namun penggunaan komentar karya ini mensyaratkan pengetahuan terhadapnya terlebih dulu sehingga dugaan bahwa Tuhfa (ditulis sekitar 1590) telah dikenal di Indonesia sekitar tahun 1619 atau sebelum itu jelas tidak memaksakan fakta.14

13

A.H Johns, op-cit h.6 14

Ibid, h. 8


(15)

Terdapat empat orang pengarang muslim utama yang karyanya kita kenal dandianggap mendapat pengaruh dari al-Burhanpuri. Mereka menulis dalam bahasa Melayu dan merka hidup pada kurun abad ke-17. Tiga diantaranya adalah orang Sumatra dan yang keempat dari Gujarat, yakni al-Raniri. Meskipun terbilang orang asing, al-Raniri, dapat menulis menggunakan bahasa Melayu dengan baik. Adapun tiga orang Sumatra itu ialah Shamsu al-Din Pasai, Abdul Rauf Singkel, dan Hamzah Fansuri. Shamsu al-al-Din wafat tahun 1630 tapi tahun kelahirannya tidak diketahui. Abdul Rauf Singkel lahir sekitar tahun 1617 dan wafat sekitar tahun 1690. Sedangkan Hamzah Fansuri tidak diketahui lahir dan wafatnya namun sepertinya ia hidup dan menulis beberapa tahun sebelum Shamsu al-Din. Dari keempat orang tersebut Hamzah dan Shams al-din dianggap mewakili kelompok sufi heterodoks berdasarkan paham panteisme mereka. Sementara al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel termasuk kelompok ortodoks. Al-Raniri mencapai kemasyhurannya ketika menjabat hakim di pemerintahan Iskandar Tsani, penguasa Aceh 1636-1641 yang menjatuhkan hukuman terhadap mereka yang dituduh musyrik dan membakar karya-karya Hamzah sehingga beberapa orang pengikutnya dihukum.

Hamzah fansuri, al-Raniry, Shamsu al-Din, dan Abdul Rauf Singkel telah menggunakan Tuhfa dalam karya-karya mereka dan memakai pemikiran mengenai tujuh tingkatan wujud.15 Shams al-Din menggunakannya dalam beberapa karyanya sehingga hal ini membuktikan bahwa Tuhfa telah dikenal di Aceh sebelum tahun 1630. Secara ekstensif al-Raniri juga mengutip Tuhfa dalam beberapa karyanya. Dan juga Abdul Rauf Singkel yang karya-karyanya ditulis antara tahun 1661sampai 1686 menggunakan terminologi dari Tuhfa yang ia duga para muridnya telah akrab dengan pemikiran itu dengan sistem yang berbeda. Secara

15

Walaupun sistematika, ketujuh alam tersebut yang mereka pakai tidak persis sama dengan pencetus utamanya, yaitu al-Burhanpuri


(16)

khusus Hamzah penting untuk dicatat karena ia menggunakan sistem pemikiran yang sangat dekat dengan sistem pemikiran al-Jilli yang pada beberapa segi hal ini menunjukkan beberapa titik temu dengan Ibn Fadlillah dan karyanya.

Meskipun tahun 1630 adalah tahun paling akhir bagi pengenalan Tuhfa di Sumatra Utara, namun beberapa tahun sebelumnya ia telah dikenal. Ia mulai dikenal setelah satu tahun musim haji sesudah karya ini ditulis karena Gujarat dan pelabuhan dagangnya seperti Surat dapat ditempuh sekitar satu atau dua bulan perjalanan dari Aceh. Akan lebih sulit untuk mengetahui kapan Tuhfa mulai dikenal di Jawa. Karena tidak terdapat jejak yang ditemukan pada dua karya muslim paling awal di Jawa yakni: Het Boek van Bonang (kitab undang-undang Bonang) dan Een Javaansche Primbon uit de zeitiende eeuw (kitab primbon Jawa). Demikian pula tidak ditemukan bagian dari Tuhfa dalam ajaran-ajaran para Wali Songo yang menurut tradisi merupakan para penyebar Islam pertama di Jawa.

Namun terdapat alasan yang kuat untuk menduga bahwa Abdul Rauf Singkel memainkan peran yang penting dalam menyebarkannya di Jawa. Pertama, ia menghabiskan masa sekitar 19 tahun di Mekkah dimana saat itu Mekkah sendiri banyak dipengaruhi oleh pemikiran mistik muslim India.Artinya, Abdul Rauf mungkin telah memiliki akses terhadap Tuhfa dan menjadikannya sebagai dasar pengajarannya sendiri di sana. Kedua, ia dikenal sangat dekat dengan dua orang khalifah Tareqat Syattariyah yakni Ahmad Qusyasyi dan Mulla Ibrahim al-Kurani. Dari Ibrahim sendiri ia mendapatkan ijin untuk medirikan tareqat ini ketika ia kembali ke Sumatra pada tahun 1661. Selain itu, ia telah mencapai kedudukan yang tinggi di Mekkah dan menjadi guru bagi ratusan bahkan ribuan muslim Indonesia yang datang ke sana dari berbagai kepulauan. Sebagian dari mereka bahkan diinisiasi ke dalam Tareqat Syattariyah. Hal inilah yang mungkin menjadi sebab bagi cepatnya perkembangan


(17)

tareqat ini di Indonesia sekembalinya Abdul Rauf sekaligus menjadi bukti bahwa Tuhfa sangat dikenal, khusunya di Jawa. Di Aceh sendiri ia mengajar sekitar 30 tahun dan meraih reputasi tinggi sehingga dihormati sebagai “rasul” pertama ke Indonesia. Patut diingat bahwa Aceh merupakan tempat persinggahan bagi para jamaah haji dalam perjalanannya ke Mekkah dan beberapa jamaah asal Jawa sempat bermukim di sana saat pergi maupun kembali dari Tanah Suci. Selain itu, mereka juga mempelajari agama sehingga dapat dipastikan sebagian dari mereka tentu menjalin hubungan bahkan benar-benar belajar dengan Abdul rauf. Karena itu, bukan suatu kebetulan jika sebagian besar interpolasi (penambahan) dalam teks Jawa berupa kutipan dari karya-karya teoritis penting Abdul Rauf atau setidaknya semangat karya itu sangat dekat dengan karyanya.

Rinkes memberikan informasi menarik mengenai perkembangan Tareqat Syattariyah yang juga sesuai dengan asumsi kita di atas.Dalam artikelnya Saints of Java (para wali Jawa) ia menyebutkan bahwa Abdul Muhyi (penyebar Islam di wilayah Priangan) telah bertemu dengan Abdul Rauf di Aceh saat ia kembali dari haji dan setelah itu menyebarkan ajaran-ajaran Syattariyah di Jawa. Dalam hal ini ia diikuti oleh murid utamanya yaitu Bagus Nurdjain dari Cirebon (yang tidak jauh dari Tegal dimana teks Jawa Tuhfa ini ditulis) dan juga anaknya yaitu Bagus Anom (Mas Pekik Ibrahim) dan Haji Abdullah. Maka tidaklah berlebihan untuk menduga bahwa perkembangan Tareqat Syattariyah dan pengenalan terhadap Tuhfa seiring dengan keadaan yang disebut di atas sehingga, secara teoritis, versi Jawa dari Tuhfa telah ada setidaknya sejak 1680.16

16

Ibid, h.9-12


(18)

B. Konsep-konsep Utama dalam Doktrin Martabat Tujuh

Menurut bahasa martabat tujuh berarti tujuh tingkatan atau tahapan. Sedangkan menurut istilah, martabat tujuh merupakan teori yang digunakan untuk menjelaskan tentang terjadinya alam semesta dalam kerangka sistem emanasi.Teori tersebut walaupun dikemukakan dalam berbagai bentuk dan versi, namun semuanya besifat monistik dan didasarkan pada pandangnan dunia yang sama, yaitu bahwa dunia yang nampak ini mengalir dari Yang Tunggal. Dunia yang nampak memperlihatkan dunia yang tidak nampak, tak terpisahkan dan terikat padanya, serta manunggal dalam Ada.17 Teori martabat tujuh ini adalah bentuk lain dari faham wahdat al-wujud yang merupakan corak tasawuf pertama yang banyak dianut dan berkembang di Nusantara sekitar abad XVII M. Oleh karenanya martabat tujuh ini juga bisa diartikan sebagai satu wujud dengan tujuh martabatnya.

Terdapat tujuh tingkatan (martabat) yang tertuang dalam teori Martabat Tujuh Al-Burhanpuri. Konsep –konsep uatamanya adalah sbb:

1. Ahadiyya

2. Wahda

3. Wahidiyya

4. Alam al-Arwah

5. Alam al-Mitsal

6. Alam al-Ajsam

7. Insan al-Kamil

17

Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Suatu Studi Filsafat,( Jakarta: Gramedia, 1991) h. 115-127. Lihat juga Tesis, Wiwi Siti Sajartoh, Martabat Tujuh Syaikh Abdul Muhyi, Pascasrjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001


(19)

Ajaran al-Burhanpuri yang dijadikan sebagai ladasan munculnya Teori Martabat Tujuh adalah pendapatnya, seperti yang tertuang dalam Tuhfah al-Mursalah18 sebagai berikut :

“Wujud ini memiliki tingkatan-tingkatan yang banyak. Tingkatan pertama adalah Non-determinasi (al-lata’ayun),Kemutlakan,dan Esensi Murni, tidak dalam pengertian bahwa batasan melekat dalam istilah mutlak, dan implikasi dari non-determinasi melekat pada tingkatan ini. Namun dalam pengertian, bahwa Wujud dalam tingkatan ini terlepas dari determinasi-determinasi dan sifat-sifat serta melampaui setiap batasan bahkan kemutlakan itu sendiri. Tingkatan ini disebut Ahadiyya dan merupakan Esensi Terdalam Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Mulia dan tidak di atasnya tingkatan lain bahkan semua tingkatan lainnya berada di bawahnya. Tingkatan kedua adalah tingkatan

Determinasi Pertama (at-ta’ayun al-awaal) yang berarti pengetahuan Tuhan akan Dzat-Nya dan Sifat-Dzat-Nya serta seluruh yang ada secara umum tanpa pembedaan antara satu dengan yang lain. Tingkatan ini disebut Wahda dan Hakekat Muhammadiyah. Tingkatan ketiga adalah Determinasi Kedua (at-ta’ayun atsani), yakni pengetahuan Tuhan akan Dzat-Nya dan Sifat-Nya serta segala yang ada secara terperinci dengan pembedaan antara satu dengan yang lain. Tingkatan ini disebut Wahdadan Hakekat Insaniyah. Ketiga tingkatan ini seluruhnya bersifat tidak diciptakan (qadim) dan pendahuluan (taqdim) serta pengakhiran (ta’khir) adalah bersifat logis,bukan temporal. Tingkatan keempat adalah tingkatan Alam al-Arwah yang berarti sesuatu yang alami, mandiri, dan sederhana yang memanifestasikan diri pada dirinya sendiri atau ide-ide. Tingkatan kelima adalah tingkatan Alam al-Mitsal yang berarti sesuatu yang alami,tersusun,dan lembut yang tidak

18

teks Arab Tuhfa yang dimuat dalam A.H.Johns, ibid. h. 130


(20)

mengalami pembagian,pemisahan,penyisipan,dan penambahan. Tingkatan keenam adalah tingkatan Alam al-Ajsam yang berarti sesuatu yang alami,tersusun,dan padat serta memungkinkan pembagian dan pemisahan. Tingkatan ketujuh ialah Tingkatan yang memadukan seluruh tingkatan yang disebutkan:bendawi dan spiritual;Wahidiyya dan

Wahda;dan ia adalah manifestasi dari bagian-bagian akhir dan keadaan-keadaan (ilbas), yaitu Manusia.

Demikian ketujuh tingkatan itu. Yang pertama dari ketujuh tingkatan itu adalah non-determinasi (ladzuhur) dan yang enam lainnya adalah keadaan universal dari manifestasi. Dan yang paling terakhir, yakni manusia, ketika dalam dirinya termanifestasi atau terjadi seluruh tingkatan yang terdahulu dalam bentuk yang tidak tersembunyi, maka hal itu disebut tingkatan Manusia Sempurna (al-Insan al-Kamil). Dan termanifestasi dan terjadinya semua itu secara paripurna adalah pada diri Nabi kita SAW sehingga, karena hal ini, ia menjadi penutup para nabi.

Konsep yang ditawarkan oleh al-Burhanpuri tentang Martabat Tujuh ini, banyak diadopsi oleh Syamsussin Sumatrani, sebagaimana tertuang dalam kitabnya Jauhar –al-Haqaiq. Jika dibandingkan dengan Hamzah Fansuri sebagai pendahulunya, Syamsuddin berbeda dengan Hamzah. Ia menggunakan istilah lain untuk menguraikan pangkat-pangkat atau martabat pengaliran ke luar Zat Mutlak itu dengan cara yang sistematis. Menurut Syamsuddin (tidak jauh berbeda dengan Burhanpuri dalam pengunaan istilah), pangkat-pangkat atau martabat dari pengaliran ke luar Zat yang Mutlak itu adalah :

1. Ahadiyya, Martabat ini disebut juga dengan istilah la ta’ayyun (tanpa pembeda-bedaan). Di sini Zat yang Mutlak masih berada dalam keadaan yang semula, yaitu masih bebas


(21)

dari segala hubungan (belum memiliki hubungan dengan apapun). Lebih lanjut Syamsuddin menjelaskan sebagai berikut :

“Dan wujud itu pada martabat tanpa penampakan diri, ketidakterbatasan, dan keesaaan semata, suci dari relasi sifat dan dari segala batasan, bahkan juga dari batasan ketidakterbatasan. Hakikat-Nya tidak diketahui oleh selain Dia. Perngetahuan tentang wujud pada martabat ini paling sulit untuk dibicarakan, paling rumit untuk dipikirkan, dan paling sukar untuk disebut. Pengetahuan Sang ‘Arif tentang martanvbat itu merujuk kepada penyucian dan pengudusan.19

Sementara Hamzah menggambarkan Martabat pertama ini--seperti diungkapkan di atas--digambarkan sebagai laut yang tak bergerak. Nama “Allah” yang dipakai oleh Hamzah untuk mencirikan pangkat ini adalah “Huwa”. Mernurut hamzah nama Allah adalah sepangkat lebih rendah dari pada nama “Huwa”, tetapi Zat adalah lebih tinggi dari pada nama “Huwa”. Jika berbicara tentang Zat maka Zat itu dibicarakan secara objektif, tetapi jika berbicara tentang “Huwa”, di sini Zat yang Mutlak dilihat dari segi penjelmaan. Nama “Allah adalah nama yang konkrit, tetapi nama ”Huwa” itu berada pada taraf Allah masih berada pada Diri-Nya sendiri. Nama “Allah” adalah nama Yang didalamnya terdapat pernyataan wahda.20

2. Wahda. Syamsuddin berpendapat, bahwa pengetahuan itu sebenarnya sudah ada di dalam pangkat ahadiyya, yang mendahului pangkat wahda ini. Tetapi pada taraf ini yang menilik yang ditilik (‘alim dan ma’lum) masih merupakan daya terpendam, keduanya

19

Lihat Azis Dahlan, Tasawuf Syamsuddin al-Sumatrani, Disertasi, Tidak diterbitkan, 1992, IAIN Jakarta. h. 71.

20

Hadiwidjono. Op-cit h. 31


(22)

masih disimpan di dalam pengetahuan (‘ilm), belum dibeda-bedakan. Pada martabat ini keduanya dibentangkan : Pembentangan ini diibaratkan sebagai penyinaran cahaya. Hasil pembentangan itu atau hasil penjelmaan itu adalah model-model pertama dari segala makhluk, yang masih berada secara akali, halus, tak dapat diraba yang disebuit ‘ayan tsabita. Sementara Hamzah menggambarkan martabat kedua ini sebagai gerak ombak dan disebut sebagai pembeda-bedaan yang pertama (ta’ayyun awwal). Pembeda-bedaan yang pertama ini adalah pangkat dimana yang mengenal(‘alim) menilik DiriNya sendiri, sehingga timbullah hal yang dikenal (ma’lum).

Sebutan lain dari martabat wahda ini adalah “cahaya Muhammad” atau relitas Muhammad”(Haqiqat Muhammad). Pengetahuan (‘ilm) yang melihat ma’lumat atau ide adalah relitas Muhammad. Tempat asal Nur Muhammad adalah diantara yang mengenal dan yang dikenal. Di sini kepada Muhammad diberikan tempat sebagai perantara diantara Zat yang Mutlak dan dunia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Nur Muhammad bersinar dari pada Zat Allah.

Hamzah dan Syamsuddin berpendapat bahwa sifat Allah dijelmakan atau dimunculkan pada nmartabat kedua ini. Oleh karenanya martabat wahda disebut kunhi sifat atau hakekat sifat yang sebenarnya.21

3. Wahidiyya. Martabat ini disebut juga sebagai ta’ayyun tsani (pembeda-bedaan kedua). Syamsuddin mengemukakan bahwa wahidiyya adalah pangkat rupa yang nyata di dalam cermin, atau gambar yang dipantulkan oleh Zat. Sedangkan Hamzah Fansuri seperti diungkapakan di atas menggambarkan martabat ini dengan asap. Jadi Wahidiyya – menurut Syamsuddin--adalah pembentangan apa yang sudah berada secara terpendam di 21

Ibid, h. 31-37.


(23)

dalam Zat. Zat itu mrndapatkan bentuk, sekalipun masih secara akali. Demikian gambaran ketiga martabat pertama , atau turunnya Zat yang Mutlak ke dalam pembeda-bedaan yang pertama dan yang kedua. Semuanya itu sebenarnya adalah satu dan kekal., dan satu di dalam eksitensinya. Sedangkan perbedaaannya adalah ahadiyya adalah martabat dimana belum terdapat pembeda-bedaan, wahda adalah pembeda-bedaan yang pertama, dan wahidiyya adalah martabat pembeda-bedaan yang kedua. Sekalipun terdapat perbedaaan semuanya masih tetap satu, dan ketiga penjelmaan ini semuanya masih terjadi di dalam eksistensi ilahi. Ketiganya disebut maratib ilahi (pangkat ilahi). Martabat pertama, kedua, dan ketiga, menurut pengajaran Syamsuddin Sumatrani, seperti dalam pengajaran al-Burhanpuri, adalah sama-sama qadim (dahulu tanpa permulaan atau tanpa didahului oleh tiada). Ini berarti bahwa dari segi waktu keberadaan martabat kedua tidaklah lebih kmudian dari keberadaan martabat kedua. Urutan pertama, kedua, dan ketiga itu tidaklah mengacu urutan waktu (zaman), tetapi mengacu kepada penetapan akal tentang aspek mana yang menjadi dasar bagi aspek yang lain.22

4. Alam Arwah. Martabat ini merupakan tajalli Tuhan tahap ketiga yang tidak lagi berlanghsung dalam diri-Nya, tetapi pada bukan selain diri-Nya (fi ghairihi). Ini berarti ia harus menciptakan alam. Menurutnya, penciptaan alam oleh Tuhan berawal dengan penciptaan makhluk pertama. Makhluk pertama itu adalah nur (cahaya), yang dalam pengajaran Ayamsuddin disebut dengan sejumlah nama, diantaranya: Ruh Muhammad, Nur Muhammad, Akal, al-Qalam al-‘Ala (Pena tertinggi). Selain itu dikemukakan bahwa segenap alamlainnya diciptakan Tuhan dari Nur Muhammad. Jika Nur Muhammad berasal dari cahaya , maka segenapa alam lainnya berasal darui Nur Muhammad.

22

Azis Dahlan, Op-cit h. 77


(24)

Namun kendatipun segenapa makhluk atau alam itu berasal dari cahaya Tuhan juga, ini tidaklah berarti dengan sendirinya bahwa senmua makhluk itu sama derajat atau martabatnya. Menurut Syamsuddin, Nur muhammad adalah makhluk yang paling tinggi martabatnya. Mengenai martabat keempat ini Hamzah memberikan penjelasan; realitas yang terpendam yang di dalam pangkat wahidiyya berkumpul sebagai awan, sekarang mengalir ke luar sebagai roh. Oleh karena itu sebutan yang biasa bagi martabat ini adalah “alam arwah”. Selanjutnya ia mengemukakan, Hujan terdiri dari abanyak air. Maka hujan adalah suatu kejamakan, sekalipun demikian hujan adalah suatu kesatuan, karena kejamakan itu berada di dalam kesatuan. Sekalipun titik air itu bisa berbeda-beda besarnya, tetapi semuanya satu, yaitu : hujan.

5. Alam Mitsal. Alam ini merupakan sesuatu yang murakkab (tersusun), lathif (halus),

ghair mutajazzi (tidak mengandung bagian-bagian), la muba’adh (tidak dapat dibagi), la mukhraq (tidak bisa dipisah-pisah), la muiltaim (tidak bersatu dengan yang lain, dan masih termasuk alam ghaib, yakni tidak dapat ditangkap panca indra lahir. Jasad-jasad alam mitsal ini tidak seperti jasad-jaad materi yang dapat dicerai-beraikan dan disatukan dengan jasad lain. Alam mitsal ini alam cita atau ide . Alam ini adalah daerah perbatasan alam arwah dan alam segala tubuh. Alam ini tidak terdiri dari benda, sekalipun demikian terdapat dimensi juga. Alam ini bercirikan warna seperti alam impian.

6. Alam Ajsam. Alam ini menurut Syamsuddin mempunyai kriteria sebagai berikut: tubuh yang tebal, tersusun, bisa dibagi-bagi, bisa dipadukan, dan bisa ditangkap dengan indra lahir. Dalam hal ini Syamsuddin tidak menunjukkan apa saja yang termasuk dalam katagori alam empiris ini. Namun dari pengajarannya yang diberikan dapat ditangkap suatu isyarat bahwa yang dimaksud adalah ‘arasy, kursy, surga, neraka, langit, dan bumi.


(25)

7. Alam al-Insan. Martabat yang ketujuh ini merupakan pembicaraan yang sangat penting dalam ajaran Martabat Tujuh Syekh Syamsudin Sumatrani. Alam manusia yang dikategorikan sebagai martabat ketujuh disebut juga syai al-jami’, yaitu sesuatu yang menghimpun semua martabat. Secara lahiriah manusia memiliki unsur yaitu tanah, air, udara, dan api. Dengan komponen itu ia disebut al-insan a-basyari (manusia lahir). Adapun secara bathiniyah memiliki unsur-unsur wujud, ilm, nur dan syuhud. Dengan ilmu adalah sifat-sifat, dengan nur adalah nama, dan dengan syuhud adalah perbuatan. Dan dengan komponen ini ia disebut al-insan al-haqiqi (manusia haqiqi/sejati). Berkaitan dengan manusia haqiqi ini, Syekh Syamsuddin sumatrani memberikan penjelasan bahwa sebagaimana Tuhan memiliki Dzat, sifat-sifat, nama-nama, dan perbuatan-perbuatan, begitu juga manusia haqiqi yang ruhnya memiliki empat unsur tersebut. Tapi mesti dipahami bahwa semua yang dimiliki manusia itu hanyalah ciptaan, pemberian, atau pinjaman dari Tuhan dan berfungsi sebagai tajalli bagi Tuhan. 23

Untuk lebih mendapat gambaran yang lebih dalam tentang konsep Martabat Tujuh, di sini akan kita lihat sumber akarv teoriny adalah konsep Konsep Wahdat al-Wujud Ibnu ‘Arabi, kemudian dikembangnkan oleh muridnya sekaligus mantu dari Ibnu ‘Arabi yaitu al-Qunawi (w. 673/1274)24. Al-Qunawi memberikan penjelasan konsep Wahdat al-Wujud dan sekaligus mengembangkannya dengan teori “Lima Kehadiran Tuhan”.

23

Azis Dahlan, op-cit h. 24

Al-Qunawi adalah salah seorang murid (pengikut) utama Ibnn al-Arabi dan dibandingkan dengan pengikut lainnya ia dikenal sebagai murid yang bertanggungjawab atas sistematisasi ide-ide Ibn Arabi dan menunjukkan keselarasan penting ide-ide tersebut dengan al-Qur’an dan Hadits sehingga menjadikannya lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam secara luas. Ia seorang penulis yang telah menghasilkan hampir 30-an karya yang sebagian besar berbahasa Arab dan beberapa diantaranya berbahasa Persia.(ibid)


(26)

Toeri Lima Kehadieran Tuhan tsb, dijelaskan sbb : PertamaKehadiran pengetahuan atau Batin (hadrat al-batin), yang mencajup nama-nama Tuhan, sifaty-sifat-Nya, dan entitas-entitas abadi. Di hadapan Kehadiran Pertama dalam posisi yang berlawanan, adalah Dunia Persepsi atau Kehadiran Lahir (hadrat al-dhahir). Di antara keduanya adalah Kehadiran Pusat yang mencakup dua sisi yang secara akslusif berkenaan dengan manusia paripurna. Kemudian di sisi kanan dari kehadiran pusat, antara ia dan Ketuhanan Yang Ghaib adalah Kekadiran Ruh. Terakhir, di sisi kiri Kehadiran Pusat antara ia dan dunia Nyata adalah Dunia Kesan. 25

Kelima Kehadiran tersebut bisa juga digambarkan dalam skala menurun atau naik. Dalam Pengetahuan Tuhan, sebagai tingkat pertama, entitas-entitas bersifat “tiada” (ma’dum) meskipun segala keabadian diketahua oleh Tuhan. Tingkkatan Kedua, yaitu tingkatan Ruh, entitas-entitas menjadi erksistensi sebagai weujud-wujud “cahaya”

(nurani) yang hidup dalam kedekatan dengan Tuhan, namun tetap terpisah dari-Nya. Pada tingkatan berikutnya yaitu pada tingkatan ketiga, adlah tingkatan Imajinasi, entitas-entitas masih terbentuk cahaya namun dalam tingkatan yang lebih rendah dan saat itu mereka tidak lagi bersifat “sederhana’ (basit) dan tidak tersusun. Ia sudah merupakan susunan dari bagia-bagian. Dalam Dunia Imajinasi dan kesan inilah pandangan (musyahadah)

orang-orang saleh dapat terjadi. Di sini Ruh dapat memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuik indrawi dan di sini pila, setelah peristiwa kematian, kualitas amal dan opral manusia menerima bentu-bentuk jasmaniah. Akhirnya samapai pada tingkat terendah yakni manifestasi luar Wujud, yakni berupa Dunia Indrawi yang bersifat kegelapan (zulamni) dan tersusun (murakkab).

25

William C.Chittick dan Peter Lamborn Wilson, Fakhruddin Iraqi.(New York: Paulist Press, 1982) h. 14


(27)

Itulah empat tingkatan dasar dari eksistensi yang mengacu secara berurutan sebagai “supra-formal” (ma’nawi, yakni berhubungan dengan “makna-makna” yang berada dalam Pengetahuan Tuhan. Sementara istilah “makna” (ma’na) sama dengan entitas abadi) yaitu “spiritual” (ruhani); “imajinal” (mithal) dan “inderawi” (hissi). Yang pertama (tingkatan pengetahuan Tuhan) tidak diciptakan dan ketiga sisanya yang lain (tingkatan jiwa, dunia imajinal, dan dunia inderawi) diciptakan.

Sedangkan Manusia Paripurna mencakup keempat tingkatan eksistensi tersebut. Manusia biasa juga mencakup keempat tingkatan eksistensi itu. Setidaknya, dalam pengertian bahwa keempatnya terefleksi dalam dirinya. “Realitas” dirinya atau “makna”, yakni tingkatan Ketuhanan, adalah entitas yang abadi Manusia Paripurna. Ruhnya berhubungan dengan Dunia Ruh, jiwanya dengan Dunia Imajinasi, dan badannya dengan Dunia Inderawi. Selanjutnya sebagai sebuah kesatuan dia akan merefleksikan Manusia Paripurna (al-insan al-kamil).26

Alasan al-Qunawi membagi Kehadiran-Kehadiran pada lima tingakatan dapat dirangkumkan sebagai berikut. Terdapat dua kehadiran dasar, yakni Yang Ghaib dan Yang Nyata. Namun terdapat hal yang lebih bersifat ghain dari p[ada yang lain,

sebagaimana terdapat pula beberpa hal yang lebih nyata dari pada yang lain. Maka setiap kehadiran dibagi ke dalam “nyata” (haqiqi) dan “nisbi” (idhafi). Yang Nyata ghaib adalah Tuhan berikut nama-nama dabn sifat-sifat-Nya. Yang ghaib nisbi adalah Dunia Ruh. Yang benar-benar nyata adalah dunia inderawi dan yang nyata nisbi adalah dunia Imajinal. Terakhir, Manusia Paripurna mencakup keempat kehadiran tersebut.

26

,Chittick, The Five Divine Presences, h. 112-113


(28)

Untuk bahan perbandingan dapat dilihat teori lima kehadiran Tuhan yang dikemukan oleh al-Qaysari sbb: Skema al-Qaysari secara umum sesuai dengan skema yang dibuat al-Qunawi. Dia menulis dalam pengantarnya terhadap komentar Fusus:” Kehadiran universal pertama ialah (1) Kehadiran Yang Ghaib Yang Tak Terbatas. Dunia Kehadirannya adalah entitas-entitas abadi dalam Kehadiran Pengetahuan. Berhadapan dengannya di tempat yang berlawanan ialah (2) Kehadiran Yang Nyata Yang Tak Terbatas yang dunia Kehadirannya adalah Kerajaan (al-mulk) {Dunia Persepsi-Pengertian (alam al-hiss)}. Kemudian terdapat Yang Ghaib yang nisbi. Ia dibagi menjadi dua bagian, yakni: Pertama (3) yang terdekat dengan Yang Ghaib Yang Tak terbatas. Dunianya ialah Ruh-Ruh Kerajaan yang sangat besar (al-malakut) dan Kekuasaan (al-jabarut), yakni dunia Intelak dan Jiwa yang tidak digunakan (mujarrad). Kedua, bagian Yang Ghaib Yang Nisbi (4) yang terdekat dengan Yang Nyata. Dunianya ialah Kesan-Kesan Adapun alasan mengapa Yang Ghaib Yang Nisbi terbagi dua adalah bahwa Ruh-Ruh memiliki bentuk-bentuk imajinal yang mempunyai kesesuaian dengan Dunia Yang Nyata Yang Tak Terbatas, intelektual, dan bentuk-bentuk tak terpakai yang memiliki kesesuaian dengan Yang Ghaib Yang Tak Terbatas. Kelima (5) adalah Kehadiran yang mencakup empat Kehadiran sebelumnya. Dunianya ialah dunia manusia yang mencakup seluruh dunia dan segala sesuatu dalam dirinya”.

Pada pernyataan yang langsung mengikuti ungkapan di atas, al-Qaysari kemudian melihat Kehadiran-Kehadiran dari sudut pandang lain dan juga mengikuti skema-skema lainnya yang telah kita bahas:” Maka (1) Dunia Kerajaan (al-mulk) adalah tempat manifestasi bagi (2) Dunia Kerajaan yang sangat besar (al-malakut) yang merupakan Dunia Imajinal Tanpa Batasan. Selanjutnya ia menjadi tempat manifestasi bagi (3) Dunia


(29)

Kekuasaan (al-jabarut), yakni Dunia Realitas-Realitas Yang Tak Terpakai. Dan dunia ini adalah tempat manifestasi bagi (4) Dunia Entitas-Entitas Abadi yang menampakkan (5) Nama-Nama Ketuhanan atau Kehadiran Kesatuan Inklusif (al-wahidiyya/al-wahdaniyya) yang ia sendiri merupakan tempat manifestasi bagi (6) Kesatuan Eksklusif ( al-ahadiyya)”.

Dalam klasifikasi kedua ini al-Qaysari masalah Manusia Paripurna dan membagi Kehadiran Pertama al-Qunawi menjadi tiga tingkatan, yakni: tingkatan Kesatuan Eksklusif (al-ahadiyya), Kesatuan Inklusif (al-wahidiyya/al-wahdaniyya), dan entitas-entitas Abadi (al-maujudaat al-abadiyya). Al-Qaysari samasekali tidak membahas tentang tingkatan Esensi atau Yang Tak Terbatasi sebagaimana dalam dua skema di atas. Tapi nampaknya, seperti halnya al-Qunawi dan juga gurunya sendiri al-Kashani, al-Qaysari menganggap Esensi atau Yang Tak Terbatasi sebagai sumber semua entifikasi dan hal ini di luar skema manapun.27

Jika ditelusuri lebih jauh, akar konsep martabat tujuh ini sangat dimungkinkan dipengaruhi oleh konsep-konsep tasawuf yang muncul sebelumnya, diantaranya: pertama ajaran Tasawuf yang dikemukakan oleh Husayn ibn Mansur al-Hallaj (858-922), yang dikenal dengan konsep al-Hulul. Menurut al-Hallaj, Allah adalah Zat yang Pertama, asal dan pusat dunia. Allah menciptakan Adam dalam gambarNya sendiri. Gambar dari kasih Allah yang kekal itu dipantulkan dari Diri Allah sendiri, agar Ia dapat melihat Diri-Nya sendiri di dalam cermin. “Terpujilah Dia yang menyatakan rahasia dari sinar ilahi-Nya di dalam manusia (yaitu Adam)28 . Menurut al-Hallaj, Tuhan Allah tidak bisa bersatu

27

Ibid, h. 123-124 28

R.A Nicholson, The Mystics of Islam, (London, 1914) hl.150; Bandingkan A.E.Affifi, The Mysstical Philosophy of Muhyid Din Ibnu al-Arabi,(Cambridge, 1939) h. 78 catatan 4.


(30)

dengan manusia, kecuali dengan cara demikian, bahwa Roh ilahi menjadi hulul (berpadu), artinya bahwa ketuhanan (Lahut) menjelma ke dalam diri insan. Oleh karenanya para sufi harus berusaha melepaskan diri dari gerak yang mengaburkan, yang datang dari dunia yang beraneka ragam dan bersifat fana.Lebih lanjut al-Hallaj mengemukakan bahwa manusia yang makin erat mempersatukan dirinya dengan Allahnya, akan semakin sering Allah menampakkan Diri serta bertindak di dalam pusat hati atau sirr manusia itu. Sehingga akhirnya orang akan mengalami suatu persekutuan rahasia dalam tarap tertinggi. Di sini orang akan mengalami Huwa (Ia), yaitu Zat yang tanpa akhir itu. Di dalam keadaan yang demikian itu Allah bisa berbicara dengan perantaraan manusia, sebagai umpama ungkapan “Ana al-Haqq”.29 Ungkapan demikian nampaknya tidak boleh dipandang sebagai ungkapan manusia, melainkan ungkapan Allah yang ada di dalam manusia itu. Allah bagi al-Hallaj transsenden dan immmanen. Dan Allah tidak identik dengan manusia. Yang ini jelas dari ucapan nya ketika ia diadili di hadapan hakim. Diantaranya ia pernah berkata, bahwa ia sama sekali tidak menganggap dirinya berhak menduduki tempat Allah atau nabi, sebab nabi adalah manusia yang menyembah Allah, yang melipatgandakan puasa dan perintah Allah dan mengetahui hal yang lain kecuali itu.30Lebih lanjut al-Hallaj menjelaskan behwa di dalam hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Manusia menurutnya, “sebagaimana dia tidak memiliki asal tindakannya, begitu juga dia tidak memiliki tindakannya”. Kedua, konsep tasawuf yang kemukakan oleh Ibnu ‘Arabi, dan dipopulerkan oleh al-Jilli, yakni Insan Kamil.Menurut Ibnu ‘Arabi manusia

29

Ibid, h.151 30

Harun Hadiwijono, Kebatinan Isam Dalam Abad Enambelas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, T.YH) h. 17-18


(31)

adalah tempat tajalli Tuhan yang paling sempurna,karena dia adalah akaun al-jami’, atau dia merupakan sentral wujud, yakni alam kecil (mikrokosmos) yang tercermin padanya alam besar (makrokosmos); dan tergambar padanya sifat-sifat ketuhanan. Oleh karena itulah manusia diangkat sebagai khalifah.31 Menurut Ibnu ‘Arabi Insan Kamil merupakan miniatur dan relitas ketuhanan dalam tajalli-Nya pada jagat raya. Oleh karena itu, ia menyebutnya sebagai al-‘alam al-shagir (mikrokosmos), yang pada dirinya tercermin bagian-bagian dari jagat raya (makrokosmos). Esensi insan kamil merupakan cermin dari esensi Tuhan, jiwanya sebagai gambaran dari al-nafs al-kulliyah (jiwa universal), tubuhnya mencerminkan arasy, pengetahuannya mencerminkan pengetahuan Tuhan: hatinya berhubungan dengan bait al-Ma’mur, kemampuan mental spiritualnya terkait dengan malaikat; daya ingatannya dengan saturnus (zuhal), daya inteleknya dengan yupiter ( al-Musytari), dan lain-lain.32Proses yang harus dilakukan untuk menjadi Insan

Kamil adalah melalui apa yang diistilahkan Ibnu ‘Arabi dengan (berakhlaklah dengan akhlak Allah). Takhalluq berarti menafikan sifat-sifat manusia dan

menegaskan sifat-sifat Allah yang telah ada pada kita. Selain itu Takhalluq juga berarti menafikan wujud kita dan menekankan wujud Allah karena kita dan sesuatu selain Allah tidak mempunyai wujud kecuali dalam arti majazi. Ketika manusia menafikan wujudnya, ia kembali pada sifat aslinya, yaitu ketiadaan (adam), dan pada saat yang sama ia berada dalam keadaan ketentraman abadi. Di samping itu takhalluq juga berarti menerima dan mengambil nama-nama Allah yang telah ada pada diri kita, yang masih dalam bentuk potensial. Takhallluq dicontohkan secara sempurna oleh Nabi Muhammad

31

abdul Qadir Mahmud, Al-Falsafah Al-Sufiyah fi al-Islam, Dar al-Fikr al-arabi, Cairo, t.t h. 575 32

Ibnu ‘Arabi, Al-Futuhat al-Makiyah. Ibid.h.118


(32)

SAW.33Kesempurnaan insan kamil itu pada dasarnya disebabkan karena pada dirinya Tuhan ber tajalli secara sempurna melalui hakikat Muhammad (haqiqah al-muhammadiyah). Hakikat Muhammad merupakan wujud tajalli tuhan parupurna, dan merupakan makhluk yang paling pertama diciptakan oleh Tuhan. Ia telah ada sebelum penciptaan Adam. Oleh karena itu Ibnu ‘Arabi menyebutnya dengan akal pertama. Dialah yang menjadi sebab penciptaan alam semesta dan sebab terpeliharanya. Hakikat Muhammadiyah seperti yang dikutip Harun Hadiwijono bisa dikatakan juga sebagai aspek yang mistis dari logos. Ia bukan Muhammad sang nabi, melainkan hakekat Muhammad, roh Muhammad. Manusia Muhammad dari Mekah dan segala nabi, termasuk Musa, Ibrahim dan Yesus adalah penjelmaan individual dari haqiqat Muhammad tadi. Oleh Ibnu ‘arabi ia disebut Qutb(kutub), yaitu kepala rohani darin susunan pemerintahan nabi dan wali. Ia adalah yang menyatakan Allah, yang meneruskan segala pengetahuan Allah kepada semua orang yang memilikinya dan yang menjadi sebab dari segala penjadian. Ia sama dengan roh kudus dan aktivitas Allah yang menciptakan

(haqiqatu al-Makhlisu bihi).34

Demikian sekilas gambaran tentang konsep utama Teori Martabat Tujuh, yang merupakan pengembangan dari faham Wahdat al-wujud yang kemudian berkembang menjadi teori “Lima Kehadiran Tuhan. Dan jika ditelusuri lebih jauh, teori martabat tujuh ini diinspirasioleh konsep tasawuf yang muncul sebelumnya, diantaranya konsep hulul dan Insan Kamil. Teori Martabat Tujuh ini di Nusantara dianut dan dikembangkan oleh

33

Kautsar. Op-cit. h. 139 34

Hadiwijono, Op-cit, h. 20


(33)

banyak tokoh tasawuf diantaranya oleh Syamsuddin Sumatrani (Abad XVII di Aceh), hingga abad XX, salah satu tokoh yang mengembangkannya yaitu Hasan Mustopa.

Faham Martabat Tujuh ini, memang sangat sulit dipahami oleh orang awam, hanya orang-orang yang berilmu luaslah yang mudah memahaminya. Oleh karena itu pada masa Hamzah Fansuri dan Syamsudin Sumatrani masih hidup, faham Wahdat al-Wujud itu dapat dipertahankan berjalan di atas garisnya, namun setelah kedua ulama terkenal itu wafat, faham ini ada yang disalhpahami, bahkan cebderung diselewengkan menjurus ke arah menyesatkan.


(34)

BAB III

BIOGRAFI HAJI HASAN MUSTAPA A.Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustapa

Haji Hasan Mustapa (lahir di Garut, Jawa Barat, 1268 H/3 Juni 1852 M – wafat di kota Bandung, 1348 H/13 Januari 1930) adalah salah seorang tokoh Tasawuf yang berasal dari kalangan elite pribumi, dari keluarga camat perkebunan di Cikajang, Garut. Ia pernah menjabat sebagai penghuluPenghulu Besar (hoefd panghulu)di Aceh dan Bandung(Parijs Van Java),35 sampai beliau pensiun.

Perjalanan pendidikan Haji Hasan Mustopa dilaluinya di kota Makkah, ketika ia pertama kali menginjakkan kakinya di tanah suci pada usia 8 tahun bersama ayahnya, untuk menunaikna ibadah haji dan kemudian bermukim di sana untuk mempelajari agama, khususnya untuk belajar bahasa arab dan membaca al-Qur’an. Sesampaianya di tanah aiar, kemudia ia melanjutkan pendidikannya dengan mengunjungi Sepulangnya dari Mekah di masukkan ke berbagai pesantren di Garut dan Sumedang. Ia belajar dasar-dasar ilmu syaraf dan nahwu (tata bahasa Arab) kepada Rd. H Yahya, seorang pensiunan penghulu di Garut. Kemudian ia pindah ke Abdul Hasan, seorang kiai dari Sawahdadap, Sumedang. Dari Sumedang ia kembali lagi ke Garut untuk belajar kepada Kiai Muhammad Irja, murid Kiai Abdul Kahar, seorang kiai terkenal dari Surabaya dan murid dari Kiai Khalil Madura, pemimpin Pesantren Bangkalan, Madura. Pada tahun 1874, ia berangkat untuk kedua kalinya ke Mekah guna memperdalam ilmu-ilmu keagamaan Islam. Kali ini ia bermukim di Mekah selama 8 tahun. Ketika berada di Mekah ia berkenalan dengan Christiaan Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang

35

Dalam sejarah Perjuangan Rakyat Indonesia, kota Bandung mempunyai banyak kenangan. Hal ini bias kita lihat dengan hadirnya beberapa monumen yang telah didirikan dalam rangka memperingati memperingati beberapa peristiwa bersejarah, diantaranya; Monumen Perjuangan Jawa Barat, Monumen Bandung Lautan Api, Monumen Penjara Banceuy, Monument Kereta Api, dan Taman Makam Pahlawan.


(35)

sedang meneliti masyarakat Islam di Mekah. Pertemuan itu membuat hubungan keduanya akrab sampai Haji Hasan Mustafa meninggal dunia dan Snouck Hurgronje kembali ke negerinya setelah menunaikan tugas pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia36

Kedudukan dan posisi beliau ini yang menjadi salah satu penyebab Snouck Hurgronje menempatkan ia sebagai salah satu tokoh kunci yang dianggap dapat membuka informasi untuk memperoleh pengetahuan tentang Islam lokal. Seperti dikemukskakan oleh Laffan, ia dijadikan sebagai salah satu informan pribumi yang memberi kemudahan tertentu yang mengetahui secara mendalam tentang Islam, dan sekaligus dapat memeberikan gambaran yang lebih jelas tentang Muslim pada waktu itu di Hindia Belanda.37

Sejarah hidup Haji Hasan Mustopa, salah satu diantaranya bisa diperoleh dari beberapa karyanya yang menyisipkan tentang perjalanan hidupnya. Dalam salah satu karyanya disebutkan bahwa beliau mempunyai kedekatan dengan sosok C. Snouck Hurgronje. Sosok Haji Hasan Mustopa sudah masuk ke dalam lingkaran strategi Hurgronje yang menjadikan aristokrasi pribumi sebagai kelas sosial pertama yang ditarik ke dalam lingkaran kolonial. Ada alasan lain yang menyebabkan Snouck menjadikan Haji Hasan Mustopa sebagai informan penting, diantaranya adalah :

1. Haji Hasan Mustopa dianggap sebagai model perpaduan antara pribadi santri dan kaum

menak yang mengalami kolonisasi. Dari latar belakang keluargamenak dan santri ini, ia menjadi pemimpin pribumi potensial yang dicari Belanda untuk menduduki jabatan penting

36

Suplemen Ensiklopedi Islam Jilid 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, cet-9, 2003, hal. 183-184. 37

Michael Francis Laffan.Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma below the Winds. London-New York: Routledge Curzon, 2003. p. 82-84; Burhanudin, 2012: 158.


(36)

yaitu sebagai elite penghulu Priangan sekaligus masuk ke dalam lingkaran kaummenak dan pada perjalanan kemudian masuk pada lingkaran kolonial.38

2. Haji Hasan Mustopa mempunyai kemampuan dalam bidang budaya Sunda, yang kemudian Snouck menariknya ke dalam birokrasi Belanda. Hal ini dilatarbelakangi oleh obsesi yang kuat dari Snouck tentang hukum adat (adat-recht),39.

3. Haji Hasan Mustopa mempunyai dua kekuatan yang melekat pada dirinya, yaitu sebagai seorang “menak“ sunda dan sebagai seorang santri. Dua factor ini merupakan dua hal yang berbeda, bahkan dalam konteks kesundaan, terjadi “kesenjangan” antara kaum ménak dan ulama atau santri dari kalangan pesantren, yang dihasilkan dari kebijakan colonial. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan secara tidak langsung berdampak pada perbedaan orientasi budaya. Haji Hasan Mustopa mewakili sosok ménak yang sangat kuat bergumul dengan aktifitas sastra dan budaya Sunda. Sementara factor lain yang dimiliki oleh ahji hasan Mustopa sebagai seorang santri dianmggap mampu mengembangkan tradisi lokal pesantren yang didominasi oleh tradisi Islam.40

Latar belakang hidup yang mempengaruhi karya-karya sufistik Haji Hasan Mustopa dimungkinkan disebabkan oleh beberapa hal; pertama, Haji Hasan Mustopa berasal dari keluragapesantren sekaligus keluarga yang akrab dengan seni budaya Sunda. Seperti

diungkapakan Kartini, Tidak sedikit dari keluarganya, terutama dari pihak ibunya yang menjadi

38

Informasi ttg kedudukan Haji hasan Mustopa dapat dilihat, dalam karya Mikihiro Moriyama.Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. trans. Suryadi. Jakarta: KPG, 2005, juga dlm karya Nina H. Lubis. Kehidupan Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.

39

Snouck berpandangan bahwa signifikansi Islam terletak dalam sebuah sistem budaya tertentu dan menegakkan supremasi adat atas syariat. Ini berbeda dengan ulama pesantren—sebagai inti dari komunitas Jawi di Timur Tengah—tetap menjadi kelompok lain yang independen dan berada di luar sistem kekuasaan kolonial..

40

Salah satu contoh yang dapat kita lihat dalam aktifitas ngalogat (Jawa: ngapsahi)misalnya, hanya berkembang dalam tradisi pesantren. Kalangan ulama pesantren kiranya menggunakan budaya Sunda hanya terbatas pada fungsi bahasa sebagai sarana komunikasi dan pengajaran. Lihat Iip Dzulkifli Yahya. “Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan” Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: KPG, 2009. p. 363-378.


(37)

ulama dan menjadi gurunya seperti Kyai Haji Hasan Basri (Kiarakoneng, Garut) dan Kyai Muhammad (Cibunut, Garut). Sedangkan dari keluarga ibunya banyak yang menjadi bujangga Sunda, panayagan dan pencipta lagu.Bahkan dikemukakan bhwa pada masa remajanya Haji Hasan Mustopa dikenal nakal dan sering ikut menari ronggéng ketuk tilu.41Kedua, menurut Jajang dalam tesisnya, Haji Hasan Mustopa pernah pergi ke Mekah sebanyak tiga kali.42Haji Hasan Mustopa mengunjungi Makkah terbagi pada 3 periode. Keberangkatan pertama ketika HHM pada usia delapan tahun,diperkirakan ia berada di Makkah tidak lebih dari dua tahun. Keberangkatan ke Makkah yang kedua, setelah ia dewasa selama tiga samapai empat tahun, dan ketika itu ia menikah dengan Nyi Mas Liut. Peride ketiga Haji Hasan Mustopa berada di Makkah selama lima tahun, dan ini merupkan kunjungan terakhir.43Setelah itu, Haji Hasan Mustopa ikut serta berkeliling Jawa, pernah bertugas di Aceh sebagai penghulu, dan kemudian menetap lama di Bandung juga bertugas menjadi penghulu. Sampai beliau pensiun. Beberapa sarjana meyakini bahwa ketertarikannya pada mistisisme sudah terbangun sejak berada di Mekah, bahkan

dimungkinkan ia sudah masuk ke dalam jaringan tarekat. Walaupun Haji Hasan Mustopa sendiri tidak secara jelas menyebutkannya, karena ia cenderung lebih konsern pada tradisi keilmuan Islam terutama fiqih. Ketertarikan pada mistisisme lebih dalam dan menggelutinya secara serius dimungkinkan berkembang kemudian.44

Hal ini diperkuat dengan salah satu karya puisinya sbb:

Tadi aing nu kapahung Tilu puluh taun leuwih

41

Kartini, 1985: 13.Tini Kartni, Ningrum Djulaeha, Saini K.M. dan Wahyu Wibisana. Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa.Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, 1985. p. 13

42

Haji Hasan Mustopa mengunjungi Makkah terbagi pada 3 periode. Keberangkatan pertama ketika HHM pada usia delapan tahun, diasumdikan ia berada di Makkah tidak lebih dari dua tahun . Keberangkatan ke Makkah yang kedua,

43

Jajang Jahroni.“The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930).” Thesis Leiden University. 1999. p. 17

44

Jajang Jahroni, p. 22.


(38)

Dina rasaning kadunyan Beurat birit salah indit Ayeuna di walagrina Indit birit mawa bibit

Artinya :

Barusan aku yang tersesat Tiga puluh tahun lebih Dalam perasaan keduniaan Malas karena salah pergi

Sekarang merasakan bahagianya Pergi membawa benih

Puisi di atas menggambarkan perjalan hidupnya yang mengalami perjalanan panjang dalam menempuh kehidupan yang dia rasa tersesat dalam keduniawian. Selama tiga puluh tahun lebih beliau merasakan salah melangkah atau yang beliau sebut dengan istilah tibalik paesan jati

(terbaliknya nilai).45Kenyatan ini memeberikan gambaran, bahwa dimungkinmkan bahwa Haji Hasan Mustopa tidak sedari awalsudah memiliki kesadaran mistisisme bahkan menjadi pengikut tarekat. Karena baru beberapa tahun kemudian, ia mengakui dirinya sebagai pengikut tarekat Shattariyah. Dimungkinkan ketika beliau berada di Makkah , tradisi keilmuan Islam yang dimilikinya belum merasa menemukan pengalaman spiritual yang memuaskan. Oleh karena itu, keseriusan Haji Hasan Mustopa dalam mendalami mistisisme tidak jauh dari beberapa karya yang disusunnya dalam berbagai guguritan mistik, yaitu sekitar tahun 1900-1902. Oleh karenanaya karir dan jabatannya selama di Aceh dengan tradisi mistisisme Islam Nusantara (seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Raniri dan Abdurra’uf Al-Singkili), sangat dimungkinkan dapat memepengaruhi perjalanan kehidupan dan kary-karya mistiknya. Walaupun menurut Jajang Jahroni besar kemungkinan ia juga sudah mengetahui

45 Puisinya ini ditulis dalam bentuk puisi Kinanti Kulu-kulu di Lalayu Cod. Or. 7875e bait

58, Haji Hasan Mustapa. Kinanti Kulu-kulu. Bandung: Kiblat, 2009. p. 28-30.


(39)

tentang tradisi tasawuf Timur Tengah (Ibn ‘Arabi, Al-Jili, Al-Ghazali, dan Al-Burhanfuri) selama dua belas tahun karirnya di Mekah (1860-1862, 1869-1873, 1877-1882).46

Haji Hasan Mustopa sebagaimana dikemukakan Jajang meninggal pada hari senin 13 Januari 1030, pada usia 78 tahun.47 Dimakamkan di karang Anyar, Bandung. Sepanjang hidupnya ia mendedikasikan dirinya untuk karir, masyarakat, dan kesusastraan sunda.

Secara kronologis dapat kita lihat perjalanan hidup Haji Hasan Mustopa sbb: 1. Tanggal 3 Juni 1982 lahir di Cikajang Garut.

2. 1860 – 1862, Peride pertama ia pergi ke Makkah bersama ayahnya

3. Tiga atau empat tahun, periode kedua ia berkunjung ke Makkah, yakni setelah ia dewasa 4. 1877 -1882 , peride berikutnya ia berangkat ke Makkah

5. 1882 -1887 , guru di Masjid Agung di Garut periode I

6. 1887 – 1889, mengikuti dan menyertai perjalannya dengan C. Snouck Hurgronje 7. 1889 -1091, Guru di Masjid Agung Garut periode II

8. 1892 – 1895, diangkat sebagai penghulu di Kutaraja 9. 1895 – 1917, diangkat sebagai hoofd penghulu di Bandung 10.1917, berhenti dari jabatannya sebagai penghulu

11.Tanggal 13 januari 1930, Haji Hsan Mustopa tutup usia.48

B. Hasan Mustapa Sang Penyair dari Priangan

Sosok Haji Hasan Mustopa dikenal sebagai Sastrawan sekaligus tokoh tasawuf, yang mencurahkan seluruh perasaan batinnya dalam bait-bait puisi/guritan49. Dikemukakan oleh peneliti karya Haji Hasan Mustopa, diantaranya Ajip Rosidi bahwa karya-karyanya mempunyai kekhasan tersendiri, yakni:

1. Mengandung simbol-simbol dan citra kesundaan, mengalir dengan mudah, kerntal mewarnai perenungan mistiknya, sehingga ide-ide mistisnya lebih mudah dicerna oleh berbagai

46

Jahroni, 1999: 24, 41. 47

Jahroni, p. 40 48

Jahroni, hal. 42 49

guritan (puisi yang berirama dalam bahasa Sunda), Ia dikenal sebgai seorang ulama dan pujangga Islam yang banyak menulis masalah agama dan tasawuf dalam bentuk puisi


(40)

kalangan masyarakat. Hasil perenungannya tersebut, terlihat dalam kary-karya puisinya yang bermel;odi dan sarat dengan pesan-pesan sufistik.50

2. Berkualitas tinggi, memunculkan banyak asosiasi, seolahj-aolah mengalir secara alami. Sehingga terasa wajar, dan tetap memeperhatihkan dan memepertahankan kaidah-kaidah puisi kesundaan yang cukup rumit. 51

3. Memiliki kekuatan konsep sufistik, yang dalam pengungkapannya dihadirkan tentang hubungan dirinya (kuring, kaula, aing)dengan Tuhan (Gusti, Pangeran)yang berakar pada alam kehidupan budaya lingkungannya, yaitu alam kesundaan.

4. Bernuansa alam kesundaan terutama flora dan fauna, misalnya menggunakan tema tumbuh-tumbuhan dan hewan tertentu sebagai metafor untuk menggambarkan konsep tasawufnya. mengandung eberapa karakter puisi guguritan HHM, nuansa alam kesundaan beberapa kali ditemukan dalam karyanya, terutama flora dan fauna. Naskah KTKB misalnya menggunakan tema tumbuh-tumbuhan dan hewan tertentu sebagai metafor untuk menggambarkan konsep tasawufnya. Simbol hewan memang tidak sesering tumbuhan.

5. Menggunakan citra dan simbol alam Sunda yang subur. Misalnya penggunaan simbol flora berupa bambu (bambusa Sp.div) dengan aneka jenisnya. Ia menyebut angklung52 yang

50

Ajip Rosidi.Guguritan.Bandung: Kiblat, 2011. p. 18-20; bisa dilihat juga dalam tulisan Hawe Setiawan. “Cangkang Suluk Dangding HHM sebagai Wadah Mistisisme Islam”, paper in Sawala Mesek Karya HHM, UIN Bandung, 2009. p. 2.

51

Karenanya membaca guguritan HHM sebagai sajak bermatra (metrical verse)harus diletakkan dalam konteks suasana saat itu yang membaca dengan bersuara dan menyanyikannya dalam lagu, bukan membaca dalam hati (silent reading) dan mendaraskannya. Meskipun konsekuensinya, kadang ketatnya aturan puisi berakibat pada sebaran makna sufistik yang tidak terkendali dalam banyak guguritan-nya yang umumnya tidak beranjak dari tema pencarian dan pencapaian spiritual. Satu konsep diulang-ulangnya di berbagai tempat. Meskipun konsekuensinya, kadang ketatnya aturan puisi berakibat pada sebaran makna sufistik yang tidak terkendali dalam banyak guguritan-nya yang umumguguritan-nya tidak beranjak dari tema pencarian dan pencapaian spiritual. Satu konsep diulang-ulangguguritan-nya di berbagai tempat. Lihat Jajang A Rohmana Kinanti [Tutur Teu Kacatur Batur]: Tasawuf Alam Kesundaan Haji Hasan Mustapa (1852-1930), h. 5

52Angklung adalah salah satu instrumen musik Sunda yang terbuat dari bambu. Ia dianggap

sebagai instrumen musik asli dari Priangan. Terdiri dari dua atau tiga bambu pendek berukuran


(41)

sengaja dibedakan dengan bambu biasa (awi) ketika menggambarkan keserasian kondisi dirinya dengan Tuhan.

Puguh angklung ngadu angklung

Bisa uni teu jeung awi Balukarna lalamunan Mun hiji misah ti hiji Ngan kari pada capétang Ngawayangkeun abdi Gusti

Artinya:

Jelas angklung mengadu angklung Bisa bunyi (indah) dengan bambu Sebabnya dari lamunan

Kalau yang satu pisah dari yang satu Cuma sekedar pandai berbicara

Penggunaan metafor flora dan fauna, bagi Haji Hasan Mustopa merupakan upaya untuk memperkaya horizon penafsiran sufistik yang disenyawakan dengan suasana alam Sunda. Dengan keterampilan dan kemampuan yang sangat kuat dalam mengolah dan memilih bahasa yang baik, ia mampu mempertemukan nilai keislaman dengan kekhasan lokal Sunda. Bahasa Sunda diperlakukan Haji Hasan Mustopa sebagai media untuk mencari kemungkinan makna-makna baru yang tak terduga, dinamis, kaya dan terbuka. Ia bisa memainkan simbol alam sekelilingnya yang ditemuinya untuk kemudian dibawa ke dalam alam pemikiran mistisnya.

sedang yang diletakkan dalam bingkai persegi empat. Cara memainkannya adalah dengan menggoyak-goyangkannya. Bunyi dihasilkan dari getaran bambu-bambu yang saling beradu. Pada masyarakat Baduy, angklung dipertunjukkan pada acara hiburan atau ritual tertentu


(42)

BAB IV

AJARAN TASAWUF HAJI HASAN MUSTAPA A. Ma’rifat: Tonggak Ajaran Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa

Ajaran Ma’rifat bagi Haji Hasan Mustafa merupakan suatu hal yang wajib dipejalajari dan diketahui bagi semua umat manusia yang sudah mukallaf, dan baligh. Semua manusia mau tidak mau harus berma’rifat pada Allah Swt. Hal ini berlandaskan pada hadis Rasulullah yang berbunyi : “ awwalu dini Ma’rifatullahi ta’ala”. Artinya mula-mulanya agama itu adalah harus menegetahui terlebih dahulu pada Allah.

Lebih lanjut Hasan Mustafa mengingatkan tentang pengertian dan pentingnya ilmu, bahwa artinya ilmu itu adalah pengetahuan, tapi bukan hanya harus tahu pada syarat sahnya ibadah saja, tetapi harus mengetahui (ma’rifat) pada Allah dan Rasulullah. Hasan mustapa menganalogikan Ma’rifat seperti tempat atau gudang untuk tempatnya amal ibadah. Melakukan amal ibadah, artinya kita sedang mengumpulkan perabotan dan hiasan rumah, meja, kursi, lemari, dan lain sebagainya. Sementara ma’rifat diibaratkan kita mempunyai bangunan rumah yang kokoh. Dengan adanya ma’rifat, kita bisa menempatkan perkakas dan perabotan yang telah kita usahkan dengan susah payah ini, bisa ditempatkan pada tempat yang layak dan pantas. Hal ini dapat memberikan dampak pada orang yang menempati rumah tersebut menjadi merasa nyaman. Karena logikanya kalau kita punya perabotan yang bagus dan mahal, jika tidak ada tempatnya, maka barang-barang tersebut menjadi tidak berharga, dan tentunya bisa cepat rusak, dan lapuk, akhirnya tidak akan diambil manfaat dengan sebaik-baiknya, dan tidak akan memeberikan kenikmatan seperti yag diiharapkan. 53

Jalan-jalan Ma’rifat.

53

Hasan Mustapa, Copi naskah, Tanpa Judul, ditulis dui Bandung, Mei 1931, disalin ulang di Bayah (Banten Girang) pada bulan Desember tahun 1990 M. h. 2-3


(43)

Menurut Hasan Mustafa, Ma’rifat pada Allah SWT ada dua jalan:

Pertama, dari bawah ke atas, yaitu dengan menjalani mesantren (belajar/ mendalami ilmu keagamaan) terlebih dahulu, yaitu dengan membaca kitab Qur’an, kemudian melaksanakan ibadah dengan melaksanakan rukun Islam yang lima perkara. Hal seperti itu adalah jalan untuk mencapai ma’rifat pada Allah. Menurut Hasan Mustafa, sayangnya banyak orang tidak menyampaikannnya pada tingkatan ma’rifat karena sudah merasa nimat dalam “Pal Nunjuk” nya. Padahal kalau dilanjutkan ma’rifat pada sifat Allah ta’ala, pasti akan menemukan kenikmatan, karena baru sampai pada Asma nya saja sudah begitu nikmatnya.

Kedua, jalan dari atas ke bawah, yakni memenuhi dalil yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu, “Awwalu Dinni Ma’rifatullahi Ta’ala, selain “mesantren”, juga harus bisa menghisab(menghitung atau introspeksi) diri dengan cara mencari guru yang mursyid, kalau kita tidak akan tahu tanpa melalui guru. Oleh karena itu harus segera menyusul tarekatnya para wali, itulah yang akan sampai pada ma’rifat pada sifatnya Allah ta’la yang disebut “Johar Awal”, yakni hakekatnya Muhammad, dengan tujuan agar semua kembali pada Allah Ta’la. Karena pada hakekatnya kita akan kembali kepada Allah “Inna Lillahi wa inna ilahi Roji’un.” Kita berasal dari Allah dan akan kembali pada Allah.54

Dalam naskah yang sama Hasan Mustapa mengemukakan beberapa dalil-dalil Qur’an maupun Hadis Nabi, yang menjelaskan tentang hal- hal yang harus dilakukan untuk memulai mengenal Tuhan.55 Diantaranya :

man tolabal...(2)

54

Hasan Mustapa, h. 4 55

Hasan Mustopa, h. 6-8


(1)

Daftar Pustaka

Abady, HM. Yusrie. “Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Propinsi Jawa Barat”, dalam Musda Mulia, dkk. (edit.), Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II, Jakarta: Balitbang Agama Depag, 1998

Abdullah, Muhammad. “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, Jakarta: Penelitian,1995). ______. “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan

Kajian Isi Teks”, Jakarta: Tesis UI, 1996

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada, 2004. edisi revisi.

Behrend (penyunt.), T.E. Katalog Induk Naskah –naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta: YOI-EFDO, 1998

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. cet. III

Christomy, Tommy. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”, Studia Islamika, 8/2: 2001

______. Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Australia: ANU Press, 2008

Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa. Oman Fathurrahman (penyunt.) Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: YOI-EFEO, 1999.

Fariza, Atiek. “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, Jakarta: Skripsi UI, 1989 Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks Jakarta: Prenada, 2008

Haeri, Syaikh Fadhlallah. Jenjang-jenjang Sufisme, penterj. Ibnu Burdah dan Shohifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, Australia: ANU Press, 1995

_____. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, penterj. A. Suganda. Jakarta: Logos, 2002, cet. II

Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok;

Mustapa, Hasan, Elmu Kama’rifatan ka Allah Ta’ala, Bandung, 1993, Naskah disalin lagi di Bayah, (Banten Girang) pada bulan Desember 1990 M.

_____________, Adji Wiwitan Martabat Tudjuh Undak Usukna Manusa, dikumpulkan oleh Wangsaatmadja dan Tim, Tp.tahun

_____________, 16 bundel Naskah, yang akan dijadikan bahan penelitian

Nicholson, Reynold A. Mistik dalam Islam, penterj. tim BA. Jakarta: Bumi Aksara, 1998 Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi. Bogor: Akademia, 2006


(2)

Rahman, Fazlur. Islam, penterj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1997. cet. III.

Robson, S.O. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL, 1994

Safari, Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, Bandung: Tesis Unpad, 2010

Schimmel, Annemarie. DimensiMistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. cet. III.

Taftazani, Abu Wafa’ Ghanimi. Madkhal ila Tasawwuf Islami. Qahirah: Dar al-Saqafah, 1983

_______. Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985 Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. cet. III

Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University, 1971

Daftar Pustaka

Abady, HM. Yusrie. “Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Propinsi Jawa Barat”, dalam Musda Mulia, dkk. (edit.), Katalog Naskah Kuno yang Bernafaskan Islam di Indonesia II, Jakarta: Balitbang Agama Depag, 1998


(3)

Abdullah, Muhammad. “Paham Wahdat al-Wujud dalam Naskah Satariyah Karya Syeikh Abdurrouf Singkel: Suntingan Teks dan Pengungkapan Isinya”, Jakarta: Penelitian,1995).

______. “Doktrin Wahdah al-Wujud Ibn ‘Arabi dalam Naskah Syattariyah: Suntingan dan Kajian Isi Teks”, Jakarta: Tesis UI, 1996

Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Prenada, 2004. edisi revisi. Behrend (penyunt.), T.E. Katalog Induk Naskah –naskah Nusantara Jilid 4, Perpustakaan

Nasional Republik Indonesia, Jakarta: YOI-EFDO, 1998

Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 1999. cet. III

Christomy, Tommy. “Shattariyyah Tradition in West Java: the Case of Pamijahan”, Studia Islamika, 8/2: 2001

______. Signs of the Wali: Narratives at The Sacred Sites in Pamijahan, West Java, Australia: ANU Press, 2008

Ekadjati, Edi S. dan Undang A. Darsa. Oman Fathurrahman (penyunt.) Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: YOI-EFEO, 1999.

Fariza, Atiek. “Tarekat Syattariah di Keraton Kanoman Cirebon”, Jakarta: Skripsi UI, 1989 Fathurrahman, Oman. Tarekat Syattariyah di Minangkabau: Teks dan Konteks Jakarta: Prenada, 2008

Haeri, Syaikh Fadhlallah. Jenjang-jenjang Sufisme, penterj. Ibnu Burdah dan Shohifullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000

Muhaimin, AG. The Islamic Traditions of Cirebon: Adat and Among Javanese Muslims, Australia: ANU Press, 1995

_____. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, penterj. A. Suganda. Jakarta: Logos, 2002, cet. II

Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra edisi khusus No. 24 Fakultas Sastra UI Depok;

Mustapa, Hasan, Elmu Kama’rifatan ka Allah Ta’ala, Bandung, 1993, Naskah disalin lagi di Bayah, (Banten Girang) pada bulan Desember 1990 M.


(4)

_____________, Adji Wiwitan Martabat Tudjuh Undak Usukna Manusa, dikumpulkan oleh Wangsaatmadja dan Tim, Tp.tahun

_____________, 16 bundel Naskah, yang akan dijadikan bahan penelitian

Nicholson, Reynold A. Mistik dalam Islam, penterj. tim BA. Jakarta: Bumi Aksara, 1998 Pudjiastuti, Titik. Naskah dan Studi Naskah: Sebuah Antologi. Bogor: Akademia, 2006 Rahman, Fazlur. Islam, penterj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka, 1997. cet. III.

Robson, S.O. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia, penterj. Kentjanawati Gunawan. Jakarta: RUL, 1994

Safari, Achmad Opan. “Tarekat Sattariyah Kraton Kaprabonan Suatu Kajian Filologis”, Bandung: Tesis Unpad, 2010

Schimmel, Annemarie. DimensiMistik dalam Islam, penterj. Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009. cet. III.

al-Taftazani, Abu al-Wafa’ al-Ghanimi. Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islami. al-Qahirah: Dar al-Saqafah, 1983

_______. Sufi dari Zaman ke Zaman, penterj. Ahmad Rofi’ Utsmani. Bandung: Pustaka, 1985 Teeuw, A. Sastera dan Ilmu Sastera. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003. cet. III

Trimingham, J. Spencer The Sufi Orders in Islam. Oxford: Oxford University, 1971

Abou al-Bakr, Omaima. “The Symbolic Function of Metaphor in Medieval Sufi Poetry: The Case of Shushtari”, Alif: Journal of Comparative Poetics. 12 (1992): 40-57.

Akkach, Samer. “The World of Imagination in Ibn 'Arabi's Ontology”, British Journal of Middle Eastern Studies, 24.1 (1997): 97-113.

Azra, Azyumardi. The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama>’ in the seventeenth and eighteenth centuries. Honolulu: ASAA-Allen & Unwin and University of Hawai’i Press, 2004.

Braginsky, V. I. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. trans. Hersri Setiawan. Jakarta: INIS, 1998.

___. “Some remarks on the structure of the Syair Perahu by Hamzah Fansuri.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131.4 (1975): 407-426.

Brouwer, M.A.W. Perjalanan Spiritual dari Gumujeng Sunda, Eksistensi Tuhan, sampai Siberia. Jakarta: KPG, 2003.

Burckhardt, Titus. Introduction to Sufi Doctrine. Indiana: World Wisdom, 2008.

Burhanudin, Jajat. Ulama & Kekuasaan: Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia. Bandung: Mizan, 2012.

Chittick, William C. “The Spiritual Path of Love in Ibn al-'Arabi and Rumi”, MysticsQuarterly. 19.1 (1993): 4-16.


(5)

Christomy, Tommy. Signs of the Wali: Narratives at the Sacred Sites in Pamijahan, West Java. Canberra: ANU E Press, 2008.

Coolsma, S. Soendaneesch-Hollandsch Woordenboek. Leiden: A. W. Sijthoff’s Uitgevers-Maatschappij, 1913.

___. Tata Bahasa Sunda. trans. Husein Widjajakusumah dan Yus Rusyana. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1985.

Ekadjati, Edi S. Naskah Sunda. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad-The Toyota Foundation, 1988.

___. Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya, 2009.

Fathurahman, Oman. Tanbih al-Masyi al-Mansub ila Thariq al-Qusyasyiyy: Tanggapan Al-Sinkili terhadap Kontroversi Doktrin Wujudiyyah di Aceh pada Abad XVII (Suntingan Teks dan Analisis Isi). Thesis. Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998.

___. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta: Prenada Media, EFEO, PPIM, KITLV, 2008. ___. Filologi dan Islam Indonesia. Jakarta: Kementerian Agama RI Balitbangdiklat Puslitbang

Lektur Keagamaan Jakarta, 2010.

Halligan, Fredrica R. “The Creative Imagination of the Sufi Mystic, Ibn 'Arabi.” Journal of Religion and Health. 40.2 (2001): 275-287.

Jahroni, Jajang. “The Life and Mystical Thought of Haji Hasan Mustafa (1852-1930).” Thesis Leiden University. 1999.

Johns, A.H. “Sufism in Southeast Asia: Reflections and Reconsiderations.” Journal of Southeast Asian Studies 26.1 (1995): 169-183.

Kartni, Tini, Ningrum Djualeha, Saini K.M. dan Wahyu Wibisana. Biografi dan Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud Jakarta, 1985.

Keeler, Annabel. “Sufi tafsir as a mirror: al-Qushayrī the murshid in his Laṭāʾif al-ishārāt”, Journal of Qur'anic Studies. 8.1 (2006): 1-21.

Kunto, Haryoto. Semerbak Bunga di Bandung Raya. Bandung: PT. Granesia, 1986.

Laffan, Michael Francis. Islamic Nationhood and Colonial Indonesia, The Umma below the Winds. London-New York: Routledge Curzon, 2003.

Lubis, Nina H. Kehidupan Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, 1998.

___. ed. Sejarah Tatar Sunda. Vol. I. Bandung: Lembaga Penelitian Unpad, 2003.

Millie, Julian Patrick. “Splashed by the Saint: Ritual Reading and Islamic Sanctity in West Java.”Diss. Leiden University. 2006.

Moriyama, Mikihiro. Semangat Baru: Kolonialisme, Budaya Cetak dan Kesastraan Sunda Abad ke-19. trans. Suryadi. Jakarta: KPG, 2005.

Muhaimin, A. G. The Islamic Traditions of Cirebon. Canberra: ANU E Press, 2006.

Mustapa, Haji Hasan. Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Wirahmana Djilid A. Bandung: Jajasan Kudjang, 1976.

___. Kinanti Kulu-kulu. Bandung: Kiblat, 2009.

Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslims Sages. New York: Caravan Books, 1997. Nicholson, Reynold A. The Mystics of Islam. Indiana: World Wisdom, 2002.

Rigg, Jonathan. A Dictionary of the Sunda Langage of Java, Kamus Sunda-Inggris. Bandung: Kiblat, 2009.


(6)

Rikin, W. Mintardja. Peranan Sunat dalam Pola Hidup Masyarakat Sunda. Bogor: S.N., 1994. Rosidi, Ajip. Ngalanglang Kesusastran Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983.

___. Haji Hasan Mustapa jeung Karya-karyana. Bandung: Pustaka, 1989. ___. Manusia Sunda. Bandung: Kiblat Pustaka Utama, 2009.

___. Guguritan. Bandung: Kiblat, 2011.

___. ed. Ensiklopedi Sunda, Alam, Budaya, dan Manusia. Jakarta: Pustaka Jaya, 2003.

Santrie, Aliefya M. “Martabat Alam Tujuh Karya Syaikh Abdul Muhyi.” Warisan Intelektual Islam Indonesia Telaah atas Karya-Karya Klasik. Ed. Ahmad Rifa’i Hassan.Bandung: Mizan, 1992.

Satjadibrata, R. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat, 2005.

Sells, Michael. “Ibn 'Arabi's Polished Mirror: Perspective Shift and Meaning Event”, StudiaIslamica. 67 (1988): 121-149.

Setiawan, Hawe, “Cangkang Suluk Dangding HHM sebagai Wadah Mistisisme Islam”, paper in Sawala Mesek Karya HHM, UIN Bandung, 2009.

Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita. Jakarta: UI-Press, 1988. Soebardi, S. The Book of Cebolek. Leiden: KITLV-The Hague-Martinus Nijhoof, 1975. Spiller, Henry. Gamelan, The Traditional Sound of Sunda. California: ABC-CLIO, 2004.

Tim Peneliti IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, "Wawacan Nasehat Haji Hasan Mustafa." Naskah Klasik Keagamaan Nusantara II: Cerminan Budaya Bangsa. Ed. Fadhal Bafadal & Asep Saefullah. Jakarta: Puslitbang Lektur Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat, MORA, 2006.

Yahya, Iip Dzulkifli. “Ngalogat di Pesantren Sunda: Menghadirkan yang Dimangkirkan” Sadur Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Ed. Henri Chambert-Loir. Jakarta: KPG, 2009.

Wessing, Robert. “Cosmology and Social Behavior in A West Javanese Settlement.” Diss. the University of Illinois at Urbana-Champaign, 1974.

Wildan, Dadan. Sunan Gunung Jati antara Fiksi dan Fakta: Pembumian Islam dengan Pendekatan Struktural dan Kultural.Bandung: Humaniora Press, 2002.

Zoetmulder, P. J. Manunggaling Kawula Gusti, Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. trans. Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.