Analisis Teori Trikon Terhadap Budaya Penggunaan Teknologi Informasi (Studi Kasus Masyarakat Panamping/Baduy Luar, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)

(1)

Studi Kasus Masyarakat

Panamping

(Baduy Luar), Desa Kanekes,

Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinisi Banten

Oleh :

Khairil Anam

NIM 111201015000031

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

v

Khairil Anam (NIM: 1112015000031): Analisis Teori Trikon Ki Hadjar Dewantara Terhadap Budaya Penggunaan Teknologi Informasi (Studi Kasus Masyarakat Panamping (Baduy Luar), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinisi Banten).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana analisa teori Trikon (Kontinyuitas, Konvergensi dan Konsentris) terhadap budaya penggunaan alat teknologi informasi bagi Masyarakat Panamping (Baduy luar), teori ini bersumber dari gagasan Ki Hadjar Dewantara dalam upaya untuk memperteguh kebudayaan milik sendiri ditengah arus kolonialisme yang menjalar di setiap sendi kehidupan Bangsa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk melihat seberapa besar analisa teori tersebut diaplikasikan oleh masyarakat Baduy luar sebagai strategi mempertahankan keperibadian budaya adat di tengah masyarakat Baduy luar sudah mengenal alat teknologi informasi sebagai bentuk adaptasi dari perkembangan budaya. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Oktober 2016 di Kampung Kadeketug, (Baduy luar) Desa Kanekes. Metode yang digunakan adalah metode etnografi Baru ala James A. Spradley dengan pendekatan kualitatif deskriptif. Adapun teknik pengumpulan data dengan metode alur maju bertahap. Sedangkan instrumen penelitian dengan melakukan observasi secara detail, wawancara dan melakukan dokumentasi beberapa informan serta objek penelitian.

Hasil yang ditemukan adalah masih adanya relevansi penggunaan trikon yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara dengan budaya penggunaan alat teknologi informasi di kalangan masyarakat Baduy luar. Dari hasil penelitian dpat disimpulkan bahwa proses kontinyuitas budaya itu tetap berjalan yakni dengan terjadinya perubahan sosial secara evolutif (lambat) yang dialami oleh masyarakat Baduy luar melalui kehadiran penggunaan teknologi sebagai penunjang mobilitas sosial masyarakat Baduy luar, ditemukannya penggunaan alat-alat teknologi seperti handphone, laptop, komputer, radio yang dimanfaatkan untuk kebutuhan pendidikan/pengetahuan, peningkatan ekonomi, dan percepatan informasi dan komunikasi, ini merupakan wujud kontinyuitas budaya yang merupakan hasil dari proses konvergensi yang berlangsung secara selektif, dan adaptif, yang tidak mempengaruhi semua unsur-unsur budaya lainnya, seperti kepercayaan, upacara, dan bentuk bangunan, namun justru kehadiran alat-alat teknologi dimanfaatkan untuk memperkuat keteguhan dalam melestarikan kebudayaan masyarakat Baduy Luar.


(7)

vi

ABSTRACT

Khairil Anam (NIM: 1112015000031): Analysis Theory Trikon Ki Hadjar Dewantara Culture Against Use of Information Technology (Society Case Study Panamping (Outer Baduy), Village Kanekes, Leuwidamar Subdistrict, Lebak, Banten province ranked).

This study aims to determine how the theoretical analysis Trikon (Continuity, Convergence and Concentric) to the culture of the use of information technology tools for Community panamping (Baduy beyond), this theory comes from the idea of Ki Hadjar Dewantara in an effort to strengthen the culture's own amid the currents of colonialism radiating in every aspects of life in the Indonesian nation. This study aims to see how big the theoretical analysis applied by the outer Baduy community as a strategy to maintain their traditional cultural personalities in the community outside the Baduy are already familiar with the tools of information technology as a form of adaptation of cultural development. This research was conducted in June-October 2016 in Kampung Kadeketug, (outer Baduy) Kanekes Village. The method used is the New ethnographic methods ala James A. Spradley with descriptive qualitative approach. The data collection techniques with advanced flow method gradually. While the research instruments to conduct detailed observation, interviews and documentation of several informants as well as the research object.

Results are still the relevance of Trikon proposed by Ki Hadjar Dewantara with the culture of use of information technology tools in the community outside Baduy. From the research concluded that the continuity of the culture is still running namely with social change in evolution (slow) experienced by Baduy outside through the presence of the use of technology as a supporting social mobility Baduy outside, the discovery of the use of technology tools such as mobile phones, laptops , computers, radios were used for the needs of education / knowledge, economic improvement and acceleration of information and communication, this is a form of continuity of culture that is the result of the convergence process that takes place selectively, and adaptive, which does not affect all of the elements of other cultures, such as beliefs, ceremonies, and the shape of the building, but rather the presence of technological tools used to strengthen firmness in preserving the culture of Outer Baduy community.


(8)

vii

KATA PENGANTAR

Memayu Hayuning Sariro, Memayu Hayuning Bangsa Memaning Hayuning Bawana

__Ki Hadjar Dewantara

Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur sedalam dan luasnya dihaturkan atas limpahan karunia, Iman, Islam, kesehatan, kesempatan yang dilimpahkan untuk penulis dari Allah SWT, Tuhan semesta Alam, Dzat pemberi, penyempurna rahmat serta hidayah. Sehingga dengan ridho-Nya penulis mampu menorehkan gagasan, pemikiran, yang dituangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Teori Trikon terhadap Budaya Penggunaan Teknologi

Informasi”, sebagai kesyukuran atas limpahan cakrawala pengetahuan yang Allah hidangkan kepada kita. Sehingga penulis merasa bahwa karya ini bukan sebatas pemenuhan tuntutan akademik belaka, namun merupakan kewajiabn insan cita dalam

mengamalkan perintahnya, “bacalah dengan nama tuhanmu yang maha menciptakan”. Tak lupa shalawat beserta salam semoga selalu tercurahkan pada sang baginda alam, guru paripurna, sang murabbi bagi segala ummat diseluruh Alam. Semoga tercurahkan

keselamatan bagi keluarga, sahabat, tabi’in serta pengikut yang senantiasa istiqamah menjalankan ajarannya.

Penulis merasa terpanggil untuk meletakan di atas judul dari karya ini sebuah pemikiran seorang tokoh nasional, guru bangsa, tokoh revolusioner pahlawan Manusia Indonesia, Ki Hadjar Dewantara. Sosok yang familiar dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, namanya diabadikan dengan deretan pahlawan lainnya, namun minim yang mengenal, memperdalam luas pemikiran, bahkan mempraktikan gagasan, yang merupakan warisan terluhur darinya untuk Bangsa Indonesia. Di atas merupakan sepenggal pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang penuh sarat akan makna, Memayu Hayuning Sariro sejatinya setiap yang dilakukan oleh kita hendaknya memberikan kebermanfaatan bagi diri kita, Memayu Hayuning Bangsa, bermanfaat untuk Bangsa,

Memayu Hayuning Bawana, bermanfaat untuk Dunia. Karena hakikatnya sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat untuk Orang lain.

Sejalan dengan bait pemikiran di atas yang penulis penuh resapi, kehadiran Karya sederhana berupa skripsi ini yang mengulas bagaimana relevansi konsep trikon terhadap penggunaan teknologi informasi masyarakat Baduy luar, sebagai suatu karya yang mengayakan referensi bacaan bagi setiap insan, terutama mengenai masalah Budaya dengan etnografisnya. Setidaknya bisa memberikan kebermanfaatan bagi diri penulis dalam menggali luasnya ilmu yang Allah hidangkan kepada ummatnya melalui perantara-perantannya, yang pada akhirnya insya allah akan mampu memberikan


(9)

viii

murni datangnya dari penulis. Kurangnya referensi yang menguatkan setiap dalil dalam kalimat di skripsi ini, kesalahan dalam penulisan, substansi yang masih jauh dipanggang api. Adalah bagian dari kelemahan penulis dalam menguraikan kebenerannya.

Penulis sadari betul, karya ini tidak akan mudah hadir tanpa dorongan yang senantiasa terus mengalir, hadir dalam relung jiwa dan badan, menjadikannya penyemangat dalam setiap goresan tinta, dan pemicu untuk tetap melangkah. Datangnya dari orang tua tercinta Abah H. Asnali dan Ibu Hj. Jamsah, dua sosok yang menyatu, memberikan andil begitu besar bagi keberlangsungan setiap aktivitas yang dijalankan oleh penulis, teramat besar pengorbanan yang telah dihibahkan untuk penulis. Mudah-mudahan Allah senantiasa melindungi, melimpahkan kesehatan dan kelapangan rezeki, dan mengampuni seluruh dosanya seperti mereka mendidik anak-anaknya saat kecil. Selanjutnya penulis juga menghaturkan ribuan banyak terima kasih kepada :

1. Keluarga besar Abah H.Asnali dan Hj. Jamsah, kakanda serta adik tercinta (Kusandi, Jaelani, Abdurrohim, Siti Julaeha, Suudi Asnali, Kholillatudiniyah, Suher Adbillah), atas kepedulian dan dorongan motivasi yang kuat terhadap penulis.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, terima kasih atas arahan serta bimbingan yang diberikan untuk kemajuan diri dan Mahasiswa FITK secara umum.

3. Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang selalu tampil dengan membawakan kebaharuan gagasan, pemikiran, untuk kemajuan eksistensi Jurusan IPS dan mahasiswanya, dengan karya yang inovatif diiringi etos kerja produktif. Maju IPS, bahagia Mahasiswanya.

4. Bapak Drs. Syaripulloh M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial sekaligus pembimbing I penulis, tidak berlebihan jika

julukan “Bapak Sosiologi” IPS terpatri dalam dirimu. Cakrawala pemikiran August Comte,Clifford Geertz, dan tokoh lainnya yang penulis dapatkan menjadi pemantik untuk mendalami antara konsepsi dengan realita dan gejala sosial masyarakat.

5. Bapak Prof, Dr. Rusmin Tumanggor, MA., selaku Dosen Penasehat Akademik. Yang menginspirasi penulis menuangkan gagasan tentang khazanah Budaya dalam karya ini. Budaya dengan kemahaluasan makna dan hakikatnya, harusnya menjadi pijakan dasar bagi Bangsa dalam membangun peradaban.

6. Bapak Andri Noor Ardiansyah, S.Pd, M,Si, dan selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu untuk mendengar celotehan penulis, teman diskusi beragam isu strategis bangsa dan selaku pembimbing, memberi petunjuk dan nasehat kepada penulis dengan ikhlas demi keberhasilan penulis.


(10)

ix

kami, mahasiswa IPS. Kami ingin menjadi bagian yang menghargai masa depan penuh rasa optimistis, dengan cara kami menghargai pendidik hari ini.

8. Kepala perpustakaan Umum, perpustakaan FITK, berikut staf bagian, office boy FITK, satpam FITK, yang turut andil dalam memberikan suasana yang nyaman bagi penulis berada di ruang lingkup akademis, semoga Allah lapangkan keihklasan dan pengabdiannya.

9. Bapak Jaro Saija, selaku Kepala Desa Kanekes atas kesediaan waktu, kesempatan serta pemikiran untuk memberikan keterangan tentang profil masyarakat Baduy luar.

10. Sahabat seperjuangan para perajut tenun kebersamaan, kelompok tawa, pemicu dailektika, berderet pengalaman yang dialami bersama diberikan untuk turut mewarnai corak kehidupan penulis. Hendra, Rizky, Subur, Rian, Omen, dan Izul, Fakhrur ditunggu lembaran cerita menarik di tahun 2022 nanti.

11. Rekan team Kreatif Komik PIPS, ( Amry, Farhan, Ikhsan, Eboy dan Fadil) yang senantiasa berperan menyampaikan misinya melalui karya untuk keabadian, dan kepedulian untuk Jurusan IPS.

12. Sahabat-sahabat Alumni Pondok Pesantren Daar el-Qolam II angkatan 2012 (Shine On Generation), sumber pengalaman, pengetahuan, dan dorongan didapatkan agar kita saling berlomba dalam kebaikan.

13. Rekan-rekan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial angaktan 2012, terkhusus “Sociology Class”. Kita saling mengenal bukan untuk saling melupakan.

14. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Daerah Tangerang Selatan periode 2016-2017. Tempat penulis mendedikasikan diri untuk sebuah pengabdian, tempat penulis menempa diri untuk kematangan bagi diri. Terkhusus untuk segenap Pengurus PD KAMMI Tangsel 2016-2017 dan seluruh kader komisariat di bawah naungan Tangsel, KAMMI adalah ladang amal untuk sebuah perjuangan, terus berdinamika untuk jayakan Indonesia 2045.

15. Seluruh Komisioner Turun Tangan Banten, Andi Angger, Fauzan Arrasyid, Kushendra Tawarna, Muhammad Raa. Salam penulis sampaikan kepada mereka para penggerak perubahan bangsa, mereka yang memilih untuk melakukan perubahan bukan menuntut perubahan. #SalamBersama

16. Rekan kerja profesional di Yayasan Filantropi Indonesia, Bapak Direktur Ahmad Fudholi, Bapak Tegar (manager fundrisingl), Bapak Kusanman

(manager programme), Abangda Fauzan (manager financial), saya paling muda diantara kalian, tapi semangat muda itu saya dapatkan dari diri kalian. 17. Rekan-rekan relawan, penggerak di berbagai Komunitas Untuk Negeri,

Gerakan Banten Mengajar, Kampung Al-Quran, #UntukBanten, trip for care, Kelas Inspirasi Tangsel, DD Volunteer, dan berbagai macam


(11)

x

ibu pertiwi kita masih melahirkan para pejuang yang memilih untuk turun tangan bukan urun angan

18. Kawan-kawan pergerakan yang berada di Ciputat, HMI, PMII, GMNI, GPPI, PATANI, DEMA UIN Jakata dll. Senang berada dalam lingkaran kalian, yang menorehkan semangat juang untuk sebuah kemenangan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

19. Adik-adik, Ibu Heni, Kang Nurman, Ibu Sutijah, Bapak Toha dan seluruh pemuda Kp. Sinarjaya, Desa Girijagabaya, terimakasih atas doa, motivasi yang hadir di setiap raut wajah kalian. saya justru yang menimba ilmu dalam diri kalian, tentang ketulusan dan keikhlasan.

20. Seluruh rekan-rekan yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, yang telah sama-sama berjuang memberikan dorongan dan semangat juang untuk diri saya.

Penulis berharap semoga segala kebaikan yang diberikan mendapatkan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT dan senantiasa selalu dilindungi oleh Allah SWT.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang akan digunakan demi perbaikan dimasa yang akan datang. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Tangerang Selatan, 7/11/2016

Khairil Anam 1112015000031


(12)

xi

Halaman LEMBAR HALAMAN

PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI PENGESAHAN PANITIA UJIAN

PERNYATAAN UJI REFERENSI PERNYATAAN KARYA ILMIAH

ABSTRAK ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah... 6

C. Batasan Masalah ... 7

D. Rumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian... 8

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 8

BAB II LANDASAN TEORI A. Teori Trikon 1. Pengertian Teori ... 9

2. Teori Sebagai Model... 10

3. Pengertian Trikon ... 11

4. Hubungan Teori Trikon, Akuluturas dan Asimilasi ... 16

B. Kebudayaan 1. Pengertian Kebudayaan... 22

2. Karakteristik Kebudayaan... 25

3. Unsur-Unsur Kebduyaan ... 28

4. Wujud Kebudayaan... 31


(13)

xii

2. Macam-Macam Teknologi ... 38

D. Hasil Penelitian yang Relevan ... 39

E. Kerangka Berfikir... 40

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian... 43

B. Metode Penelitian ... 45

C. Teknik Pengumpulan Data... 48

1. Observasi ... 49

2. Wawancara ... 51

3. Dokumentasi ... 54

D. Teknik Pengolahan Data ... 54

1. Reduksi dan Analisis Data ... 54

2. Penyajian Data ... 55

3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi ... 55

E.Pemeriksaan dan Pengecekkan Keabsahan Data ... 55

1. Creadibility ... 55

2. Dependability ... 56

3. Confirmability... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Profil Masyarakat Baduy 1. Letak Geografis ... 63

2. Kondisi Demografi ... 65

3. Agama dan Kepercayaan... 69

4. Kelompok Masyarakat Baduy ... 72

5. Lembaga Kemasyarakatan... 77

6. Mata Pencaharian... 80

B.Analisis Teori Trikon Terhadap Penggunaan Teknologi Informasi Masyarakat Panamping 1. Analisa Kontinyuitas Penggunaan Teknologi Informasi Masyarakat Panamping ... 86


(14)

xiii

3. Analisa Konsentris Penggunaan Teknologi Informasi Masyarakat

Panamping... 102

C.Pembahasan 1. Kontinyuitas Penggunaan Teknologi Informasi Masyarakat Panamping ... 107

2. Konvergensi Penggunaan Teknologi Informasi Masyarakat Panamping ... 112

3. Konsentris Penggunaan Teknologi Informasi Masyarakat Panamping ... 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 118

B. Saran-Saran... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 115


(15)

xiv

Gambar 4.1 Peta Desa Kanekes... 70

Gambar 4.2 Bagan struktur Organisasi Desa Kanekes... 85

Gambar 4.3 Proses Ngasuek saat Penanaman Padi ... 90

Gambar 4.4 Proses Menenun Kain yang dilakukan oleh Perempuan Baduy ... 92

Gambar 4.5 Pelatihan Digital Marketing untuk Masyarakat Baduy luar ... 102

Gambar 4.6 Desa Kanekes memperoleh pengharagaan Desatika.ID Award 2016 ... 104

Gambar 4.7 Proses Akulturasi Budaya ... 110

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kerangka Berfikir ... 45

Tabel 3.1 Timeline Penelitian... 48

Tabel 3.2 Draft Pertanyaan Wawancara ... 61

Tabel 4.1 Demografi Penduduk Desa Kanekes 2016... 71

Tabel 4.2 Perekmbangan Penduduk Desa Kanekes ... 74

Tabel 4.3 Perbandingan dan Persamaan antaea Baduy Dan[lam dan Luar ... 81

Tabel 4.4 Proses Pengelolaan Pertaninan (Ngauhma) ... 89

Tabel 4.5 Perangkat Alat-alat teknologi Informasi ... 97

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Wawancara... 123

Lampiran 2 Lembar Observasi... 132

Lampiran 3 Daftar Gambar ... 135

Lampiran 3 Peraturan Daerah No. 21 tentang Hak Ulayat Masyarakat Baduy ... 139

Lampiran 4 Uji Referensi ... 151

Lampiran 5 Surat Izin Penelitian ... 160

Lampiran 5 Surat Keterangan Penelitian... 161


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan tidak lain merupakan usaha sadar yang dilakukan dalam rangka untuk menciptakan kondisi taraf hidup manusia yang lebih baik. Sehingga terciptanya keharmonisan yang meliputi setiap unsur yang terkandung didalamnya. Baik menciptakan lingkungan hidup yang lebih serasi atau kemudahan dalam fasilitas untuk menikmati hidup. Pembanguna n merupakan sebagai sarana intervensi manusia terhadap lingkungannya, baik lingkungan alam fisik, maupun lingkungan social budaya.

Dampak dari adanya pembangunan timbulnya perubahan yang tidak atau secara langsung berpengaruh dalam tatanan kehidupan masyarakat. Yang bermula adanya perubahan pada diri subjek yang melakukan pembangunan itu sendiri yaitu manusia, hingga berpengaruh pada lingkungan hidupnya. Perubahan itu kian nampak, dengan munculnya sikap intoleransi terhadap nilai-nilai yang sudah mendarah daging dalam masyarakat. Sehingga terjadila h perggeseran system nilai budaya yang membawa perubahan pula dalam hubungan interaksi manusia dalam masyaraktnya.

Diakui secara umum, bahwa kebudayaan merupakan unsur penting dalam proses pembangunan suatu bangsa. Samuel P. Huntington dalam Bambang Widianto yang bercerita bahwa dalam tahun 1990-an ketika ia membaca data ekonomi Ghana dan Korea Selatan. Data diantara dua Negara itu setingkat penghasilan perkapitanya sama dalam setiap sektor baik manufaktur, maupun jasa. Tiga puluh tahun kemudian, Korea Selatan tumbuh sebagai Negara raksasa industri, salah satu Negara dengan ekonomi terbesar. Padahal 30 tahun antara kedua Negara tersebut berada dalam posisi setingkat


(17)

dalam segi pendapatan perkapitanya.1 Apa yang membuat Korea Selatan mampu melampaui Ghana dalam pendapatan Negaranya? dengan kondisi sumber daya alam yang sama?

Jawaban dari pertanyaan di atas dijelaskan oleh Samuel P. Huntyingto n dalam Widianto dalam bukunya yang diterbitkan oleh Universitas Harvard pada tahun 2000. Pendapatnya “Yang membuat Korea Selatan menjadi Negara dengan pendapatan perkapita terbesar di Dunia adalah Culture Matters atau dalam hal ini bisa disebut dengan untuk memperbaiki kemampuan yang ada dalam diri suatu bangsa, perancangan kebudayaan menjadi salah satu hal yang sangat sentral sifatnya”.2 Kebudayaan oleh Ki Hadjar Dewantara dituangka n

dalam Kongres Pendidikan Indonesia pada tanggal 20-24 Juli 1949 di Yogyakarta menurutnya definisi kebudayaan adalah merupakan buah budi manusia, adalah hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh yang kuat, yaitu alam dan zaman (kodrat dan masyarakat), dalam mana terbukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai macam rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya dalam mencapai keselamatan dan kebahagiaan, yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai”.3

Selanjutnya fungsi utama kebudayaan adalah pemeliharaan dan memajukan hidup manusia ke arah keadaban. Sehingga hal itu yang kemudain mampu membentengi arus modernisasi supaya tidak terjebak masuk di dalamnya mengikuti dan menghilangkan identitas Negara. Pemelihar aa n kebudayaan harus bermaksud memajukan dan menyesuaikan kebudayaan di tiap-tiap pergantian alam dan zaman, isolasi atau pengasingan dalam

1 Bambang Widianto, Perspek tif Budaya: Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memeroial Lectures. (Jakarta : Rajawali Press,2000), hal. 3

2 Bambang Widianto, hal. 2


(18)

kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka harus ada hubungan antar kebudayaan dan masyarakat.

Perencanaan kebudayaan berupa lanjutan dari kebudayan sendiri (kontinuet), menuju ke arah kesatuan dunia (konvergensi) dan dan tetap terus mempunyai sifat keperibadian di dalam lingkungan kebudayaan sedunia (konsentris).4 Itulah strategi pembangunan kebudayaan oleh Ki Hadjar

Dewantara yang disebut dengan Teori Trikon. Konsep ini bertujuan untuk memelihara kebudayaan yang dimiliki dengan menyesuaikan arus perkembangan zaman tanpa harus menghilangkan keperibadian atau identita s yang dimiliki.

Suku Baduy merupakan salah satu suku di Indonesia yang sampai sekarang masih mempertahankan nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya, ditengah-tengah kemajuan peradaban di sekitarnya. Kesederhanaan dan toleransi terhadap lingkungan disekitarnya adalah ajaran utama di masyarakat Baduy. Dari kedua unsur tersebut akan muncul rasa gotong royong dalam kehidupan mereka. Kepentingan sosial selalu dikedepankan sehingga jarang dijumpai kepemilikan individu, tetapi tetap menjunjung tinggi asas demokrasi.

Menurut Peraturan Daerah No 31 tahun 2001 tentang Perlindunga n Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy dijelaskan bahwa pengertian dari masyarakat Baduy adalah, “masyarakat yang bertempat tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum”.5

4 H.A.R. Tilaar, hal. 4

5 Peraturan Daerah No 31 tahun 2001 tentang Perlindungan Atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy, Kabupaten Lebak, Banten, 2001. Diambil dari www.setda.lebakkab.go.id pada pukul 09:56 tanggal 27 Agustus 2016


(19)

Masyarakat Baduy atau yang disebut dengan Urang Kanekes terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok Baduy Dalam (Tangtu) dan Kelompok Baduy Luar (Panamping). Masyarakat Baduy Dalam merupakan masyarakat yang masih kental dengan adat atau tradisinya yang terdiri dari tiga kampung yakni, Cikeusik, Cikertawang atau Cikartawarna dan Cibeo. Sedangkan masyarakat Baduy Luar (Panamping) adalah kelompok masyarakat yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi Baduy Dalam atau yang biasa disebut dengan Baduy Luar.6

Kelompok Masyarakat Baduy Luar (Panamping) yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Baduy Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam7. Panamping berasal dari tamping yang berarti kata kerja buang

jadi islitah panamping bermakna pembuangan, dengan kata lain panamping adalah tempat yang dibuat secara khusus untuk menampung masyarakat Baduy Dalam yang melanggar aturan adat8, sehingga mereka diberikan kelonggara n

dalam menjalankan aturan adat yang berlaku dalam masyarakat Baduy dalam pada umumnya, mereka diperkenankan untuk menggunakan beragam alat teknologi, pakaian yang serba bebas, dan penggunaan alat transportasi umum sebagai penunjang mobilitas sosial mereka. Hal ini dilakukan agar dapat menyesuiakna dengan kehidupan budaya luar yang jauh lebih modern.

Dalam mempertahankan tradisi nenek moyangnya di mana seluruh sistem sosial budaya bersumber dari aturan (pikukuh) yang diwariskan oleh leluhurnya, hal tersebut menyebabkan masyarakat Baduy mengala mi

6 Ivan Masdudin, Keunik an Suk u Baduy di Banten (Banten: Taletna Pustaka Indonesia, 2011) hal.7

7 Cecep Eka Permana, Tata Ruang Masyarak at Baduy (Jakarta: Wedatama Widya, 2016), hal.19 8 Cecep Eka Permana, hal.20


(20)

perubahan yang cenderung lambat. Perubahan-perubahan tersebut diakibatkan oleh terjadinya kontak-kontak hubungan yang berlangsung massif dengan masyarakat lain di luar dari desa Kanekes. Perubahan dapat menyangk ut tentang beberapa hal, perubahan fisikal oleh proses alami dan perubahan kehidupan manusia oleh dinamika kehidupan itu sendiri.

Perubahan itu berlangsung lambat, dan terlihat dari pola pikir, cara bertindak, pemilikan barang organisasi sosial yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan mereka.9 Salah satu yang nampak dilihat bahwa telah

terjadinya perubahan yang dialami oleh masyarakat Baduy adalah adanya kesadaran masyarakat Baduy luar dalam menggunakan teknologi sebagai alat dalam menunjang kehidupan sosial masyarakatnya, terlihat dari sekian banyak populasi yang tinggal di Baduy luar sebagian sudah menggunakan handphone

untuk berkomunikasi, komputer dan penggunaan internet. Seperti yang dilansir menurut laman media indotelko.com dan telkom.co.id menunjukkan bahwa masyarakat Baduy sudah memulai untuk mengenali interntet dengan diadakannya pelatihan Boardband Learning Center (BLC).10

Hal ini tentu saja dapat dinilai positif apabila penggunaan teknologi ini dimaksudkan sebagai sekedar alat untuk membantu memudahkan aktifita s sehari-hari. Namun, akan berdampak buruk apabila penggunaan teknologi ini digunakan secara berlebihan tidak ada proses penyaringan sehingga menimbulkan indikasi adanya pergeseran gaya hidup serta perilaku yang mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap pikukuh. Bahkan bisa saja kedepan

9 Wilodati, “Sistem Tatanan Masyarak at dan Kebudayaan Orang Baduy,” Jurnal, Tanpa Tahun, hal. 7

10 Lihat di http://www.indotelko.com/kanal?c=in&it=te lko m-dunia-masyarakat-baduy, dan

http://beta.telkom.co.id/telkom-peduli/berita-csr/sosial/sekda-banten-egm-dcs-barat-resmikan-pelatihan-internet-di-baduy.html diakses pada tanggal 30/08/16, pukul: 10:33.


(21)

sejumlah warga masyarakat Baduy sengaja keluar dari Desa Kanekes untuk melonggarkan diri dari ikatan pikukuhnya.

Tulisan ini bermaksud untuk melihat bagaiamana secara analisis teori trikon (konvergensi, konsentris dan kontinstuet) Ki Hadjar Dewantara dengan budaya penggunaan teknologi informasi yang ada di masyarakat Panamping, Baduy. Teori trikon yang dikemukakan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah strategi Ki Hadjar Dewantara dalam membentengi dan menjaga keutuhan kebudayaan asli Indonesia ditengah mulai masuknya beragam kebudayaan-kebudayaan asing yang kemudian berasmiliasi dengan kebudayaan-kebudayaan asli. Sehingga, lambat laun kabudayaan asli Indonesia mulai menghilang apabila tidak ada upaya strategis dalam rangka tetap mempertahankan dan menyesuaikan agar menjadi kesatuan yang bersifat konsentris dengan kebudayaan yang ada.

Dengan latar belakang tersebut penulis bermaksud ingin mengetahui secara mendalam bagaimana relevansi teori trikon dalam proses pemelihar aa n yang dilakukan oleh masyarakat penghuni Panamping dengan menlangsungka n sebuah penelitian ynag berjudul Analisa Teori Trikon Ki Hadjar Dewantara Terhadap Budaya Penggunaan Teknologi Informasi (studi kasus masyarakat Panamping (Baduy luar), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinisi Banten).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan, maka dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut :

1. Masyarakat Baduy masih melekat dengan aturan pikukuhnya, yang membatasi ruang gerak masyarakat, sehingga mempengaruhi pada piliha n penggunaan alat teknologi informasi yang cenderung konvensional


(22)

2. Kebutuhan akan kemudahan dalam mengakses informasi dan komunikas i, membuat masyarakat Baduy luar mulai menggunakan teknologi informas i modern, sehingga masyarakat Baduy perlahan mulai menyampingka n aturan pikukuh yang melarang penggunaan teknologi informasi modern 3. Interkasi yang terjalin sangat intensif dengan masyarakat Luar Baduy,

mengakibatkan terjadinya proses penerimaan budaya baru dalam penggunaan teknologi informasi

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang diuraikan di atas, karena adanya keterbatasan waktu dan biaya bagi penulis, maka penelitian ini dibatasi pada masalah kebutuhan akan kemudahan dalam mengakses informasi dan komunikasi, membuat masyarakat Baduy luar mulai menggunakan teknologi informasi modern, sehingga masyarakat Baduy perlahan mula i menyampingkan aturan pikukuh yang melarang penggunaan teknologi informasi modern.

Dengan dianalisis dari sudut pandang teori Trikon Ki Hadjar Dewantara, pada proses kontinyuitas, konvergensi dan konsentris dari penggunaan teknologi informasi masyarakat Baduy Luar/Panamping, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwdamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten)

2. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah di atas dapat disimpulkan berupa rumusa n masalah mengenai bagaimana analisis teori trikon Ki Hadjar Dewantara dalam penggunaan teknologi informasi masyarakat Panamping (Baduy Luar), Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Dengan rincia n rumusan masalah di bawah ini:

1. Bagaimana analisa proses kontinyuitas penggunaan teknologi informa s i masyarakat Panamping (Baduy Luar)?


(23)

2. Bagaimana analisa proses konvergensi penggunaan teknologi informa s i masyarakat Panamping (Baduy Luar)?

3. Bagaimana analisa proses konsentris penggunaan teknologi informa s i masyarakat Panamping (Baduy Luar)?

D. Tujuan

Untuk menjawab rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah, untuk melihat bagaimana analisis teori trikon Ki Hadjar Dewantara terhadap budaya penggunaan teknologi informasi (Studi kasus masyarakat

Panamping/Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten), dengan rincian tujuan di bawah ini:

1. Untuk menganalisa bagaimana proses kontinyuitas penggunaan teknologi informasi masyarakat Panamping (Baduy Luar)

2. Untuk menganalisa bagaimana proses konvergensi penggunaan teknologi informasi masyarakat Panamping (Baduy Luar)

3. Untuk menganalisa bagaimana proses konsentris penggunaan teknologi informasi masyarakat Panamping (Baduy Luar)

E. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teroitis

Sebagai sumbangan pemikiran tambahan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi perkembangan Sosiologi dan Antropologi, khususnya kajian mengenai Kebudayan.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi Penulis :

Sebagai media pembelajaran bagi penulis dalam melakuka n kegiatan-kegiatan penelitian berikutnya, serta sebagai media penguatan pemahaman baik dalam tataran teori san tataran implementasi di kehidupan


(24)

b) Bagi Pemerintah Provinsi Banten

Sebagai referensi tambahan dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat Baduy c) Bagi Masyarakat Akademis

Sebagai referensi tambahan dan memperluas wawasan tentunya dalam bidang etnografi budaya, penggunaan alat teknologi dan antropologi budaya


(25)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Teori Trikon

1. Pengertian Teori

Menurut KBBI teori adalah pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai sebuah pristiwa (kejadian dsb). 11 Yang kemudian

didukung oleh data dan argumentasi, penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, argumentas i atau pendapat, cara dan aturan manusia melakaukan sesuatu.

Durbin menjelaskan bahwa, teori adalah pernyataan karena ia adalah bagian dari upaya ilmuwan manusia mengungkapkan pemikiran atau idenya.12 Pernyataan itu ditujukan manusia memperjelas atau memaha mi

serangkaian fakta dan data yang semula terkesan rumit atau bahkan tidak bermakna.

Michaolas membagi pengertian teori dalam lima kategori, yaitu:

a. Teori sebagai pernyataan yang aksiomatis (axiomatic)1 manusia memberi makna atau pengertian tentang serangkaian fakta yang sebelumnya membingungkan atau tidak bermakna.

b. Teori sebagai upaya menyusun data dan fakta secara sistemat is, walaupun pernyataan-pernyataannya belum tentu aksiomatis c. Teori dianggap sebagai generalisasi tak terbatas tentang

kebenaran universal yang diaati oleh para ilmuan; di sini teori

dianggap sebagai “hukum” tentang kebenaran.

11 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesai (KBBI), (Jakarta: Balai Pustaka, 1988) hal.932

12 Putu Lukman Pandit, Penggunaan Teori dalam Penelitian Ilmu Perpustak aan dan Informasi,” ( Jurnal ISPII, Tanpa Tahun), hal. 3


(26)

d. Teori sebagai jawaban terhadap persoalan-persoalan ilmiah, tanpa bentuk yang pasti atau seragam.

e. Teori sebagai aturan-aturan manusia mengambil kesimpula n dalam proses penelitian.13

Dalam ilmu sosial-budaya, penggunaan teori juga mengala mi perkembangan dan dinamika. Sebagaimana diuraikan Ellis dan Swoyer dalam luqman pada mulanya teori social didominasi pandangan positivistik- lo gis

(logical-postivist), yaitu teori sebagai hasil deduksi berdasarkan prinsip dasar tertentu, sebagaimana yang biasa dilakukan di sains.

Dalam bentuknya yang sederhana teori merupakan hubungan antara dua faktor atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris. Oleh karennya suatu teori disebut merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih tang telah diuji kebenarannya.14

Teori sosial diuji dengan membuat ramalan (prediksi) berdasarkan prinsip dasar atau hukum (laws) tertentu, dan peneliti kemudian menetapkan apakah prediksi itu benar atau salah. Pada tahun 1960an pandangan yang positivistik tentang teori ini mulai mendapat kritik, sehingga akhirnya sudah tak dominan lagi di ilmu social-budaya. Hukum ilmiah menjadi kurang berperan, sementara model menjadi lebih sering dibicarakan. Kita akan kembali ke pembahasan tentang hukum dan model di bagian berikut nanti.

2. Teori Sebagai Model

Di dalam sebuah penelitian,model membantu peneliti mengungkapka n jalan pikirannya tentang suatu subjek tertentu. Kadang kala, berbagai model

13 Putu Lukman Pandit, hal.4


(27)

dibuat oleh para ilmuan di bidang tertentu dan menjadi semacam panduan teoritis yang menuntun semua jenis penelitian di bidang

tersebut.

Setelah sekian lama, akhirnya model-model tersebut dapat saja diterima sebagai sebuah teori yang utuh. Silverman (2000) dalam luqman menyataka n

bahwa sebuah model sebenarnya juga merupakan “kerangka kerja” yang dapat

dipakai manusia menguraikan sebuah persoalan yang sedang diteliti.15

Menurut brooks dalam Luqman menjelasakan bahwa tentang model dalam sebuah teori:

Menurutnya model adalah sebuah mental framework (kerangka kerja pemikiran) yang dapat digunakan dalam eksperimen dengan kegiatan-kegiatan perpustakaan. Ia menganjurkan agar penelitian IP&I tidak terpaku pada kerangka kerja operation research sebagaimana yang digunakan para pendahulunya dan memperluas konteks penelit ia n dengan memasukkan variabel pemakai dan lingkungan organisasi ke dalamnya.16

Sebagian besar model manusia kajian perilaku merupakan pernyataan ringkas tentang kerangka pikir peneliti yang dituangkan dalam bentuk diagram atau gambar. Sifat model seperti ini adalah deskriptif (menjelaskan) unsur -unsur dari sebuah perilaku, penyebab dan konsekuensi dari perilaku itu, dan tahap-tahap dalam sebuah perilaku.

3. Pengertian Trikon

Ki Hadjar Dewantara menjelaskan pada perkembangan budaya yang sangat dinamis diperlukan hubungan dengan budaya-budaya lain dengan mengambil segala bahan kebudayaan dari luar yang dapat mengembangkan dan memperkaya budaya sendiri yang sudah ada. Meski demikian ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih unsur-unsur budaya mana yang perlu,

15 Putu Lukman Pandit, hal.11 16 Putu Lukman Pandit, hal.


(28)

mana yang tidak perlu, mana yang baik, dan mana yang buruk dan disesuaika n dengan perekembangan zaman.

Pemikiran Ki Hadjar Dewantara diwujudkan dalam konsep trilogi nya yang terkenal dengan nama Trikon. Konsep ini merupakan hasil ramuan berdasarkan pengamatannya tentang budaya timur dan barat. Secara definis i Trikon dapat diartikan sebagai berikut, “ upaya manusia menghubungka n budaya luhur bangsa Indonesia (kontinyu) dan menyeleksi datangnya budaya luar dengan memberikan kemungkinan berpadunya budaya bangsa dengan budaya luar (konvergen) menuju terjadinya budaya baru yang lebih baik (konsentris)”.17

Dalam pengertian sederhananya Ki Hadjar menjelaskan makna daripada teori trikon melalui perumpamaan seorang juru masak yang ketika memilih manusia mengambil bahan-bahan (komposisi makanan) dari luar tetapi kemudian dimasak oleh tangan sendiri, dipadukan dengan ciri khas atau rasa sendiri, akan lebih lezat rasanya dan menyehatkan.18

Tidak banyak sumber-sumber yang didapatkan penulis untuk menjelaskan bagaimana arti secara spesifik mengenai teori trikon ini, penulis berusaha untuk menggali informasi dari beragam macam literatur, buku-buku kebudayaan,atau jurnal ilmiah, namun tidak mudah bagi penulis untuk mendapatkan informasi yang berkenaan dengan teori tersebut. Hanya saja penulis mampu menggali dari berbagai macam informasi yang didapat dari buku-buku karya tulisannya.

Namun jika dilihat seksama dalam memaknai Konsep Trikon adalah merupakan penggabungan dari dua kata antara tri yang berarti tiga sedangkan kon adalah singkatan dalam penyebutan nama (kontinyu, konsentris dan

17Ki Hadjar Dewantara, “Karja 1 Ki Hadjar Dewantara, ( Jogjakarta ; Majlis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1962), hal.59


(29)

konvergensi), manusia mengetahui penjabaran makna dari ketiga prinsip itu adalah sebagai berikut

a. Konsep Kontinyuitas

Konsep ini mengemuakkan bahwa asas pertama dalam konsep trikon adalah kontinyu yang berarti tidak ada kebudayaan yang tidak tidak bergerak mengalami perubahan, selalu akan berkembang. Menyesuaika n dengan perkembangan zaman. Ki Hadjar menjelaskan maksud dari konsep

Kontinuitet adalah

Yang berarti bahwa garis hidup kita di jaman sekarang harus merupakan lanjutan,terusan, dari hidup kita di jaman silam, jangan ulangan atau tiruan dari bangsa lain.19

Dalam melestarikan kebudayaan asli Indonesia harus terus menerus dan berkesinambungan. Teori Kebudayaan itu dilakasanakan dengan memasukan mata pelajaran muatan lokal, melakukan upacara-upacara adat, mementaskan keseruan daerah dan lain-lain.

Dalam konsep kontinyu menurut H.A.R Tilaar mengemukaka n bahwa :

Tidak ada satupun kebudayaan yang statis atau tidak berkembang. Kebudayaan yang tidak berkembang berarti pemilik kebudayaan itu telah lelap. Setiap kebudayaan berkembang secara peralhan- la ha ataupun dengan cepat. Sebagai pemilik kebudayaan maka perkembangna seseorang anak manusia dari kandungan sampai menjadi dewas terikat kepada nilai-nilai yang berlaku di dalam kehidupan di mana keluarga itu berada.20

Nilai-nilai itu terdapat di dalam kebudayaan yang berkembang dan berubah sepanjang masa. Tergantung besarnya pengaruh yang menguba h

19 Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara bagian Pertama; Pendidikan, (Yogyakarta: Majelsi Luhur Persatuan Tamansiswa, 2011), cet IV, hal. 228


(30)

dari satu kebudayaan serta kemampuan dari pemiliknya manusia menwujudkan nilai-nilai itu.

b. Konsep Konvergen

Ki Hadjar Dewantara menjelaskan mengenai konsep konvergensi adalah berarti datang berkumpulnya aliran-aliran yang pada permulaannya berlainan azas, dasar serta tujuan, akan tetapi karena aliran itu bersama-sama menempati alam serta zaman yang satu, lambat laun terpaksalah saling mendekati manusia berkumpul kelaknya, dimana telah nampak ada kepentingan-kepntinga n bersama.21

Adapun pengertian lain dari konsep konvergensi menurut Ki Hadjar adalah dalam arti keharusan manusia menghindari kehidupan menyend ir i (isolasi) dan manusia menuju ke arah pertemuan dengan hidupnya bangsa-bangsa lain sedunia.22

Maksud dari penjelasan di atas adalah upaya menyatukan antara dua hal yang berebeda baik dalam segi apapun manusia saling berhubungan dan menjadi satu. Manusia menjadikan sebuah kebudayaan maju berkembang maka hal pokok yang harus dilakukan adalah dengan cara berbaur dengan kebudayaan yang lain. Dengan tetap menyesuakan diri manusia tidak terbawa arus kebudayaan lain, sehingga nilai-nilai yang dimliki tetap terpatri dan terimplementasi dalam setiap aturan kehidupan.

Sedangkan Ki Sunarno memaknai konvergen merupakan upaya mengembangkan kebudayaan nasional Indonesia harus memadukan dengan kebudayaan asing yang dipandang dapat memajukan bangsa Indonesia. Dalam memadukan itu (konvergensi) dilakukan dengan memilih dan memilah kebudayaan yang sesuai dengan kepribadia

21 Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara bagian Pertama; Pendidikan, (Yogyakarta: Majelsi Luhur Persatuan Tamansiswa, 2011), cet. IV, hal.76


(31)

Pancasila (selektif) dan pemaduannya harus secara alami dan tidak dipaksakan (adaptatif).23

Di dalam dunia terbuka abad global dewasa ini terdapat arus gelomba ng yang disebut dengan globalisasi yang seakan-seakan membuka pintu dari batas-batas kehidupan masyarakat dan Negara. Tidak ada satupun juga negara yang akan menutupi diri dari perkembangan zaman. Namun demikian suatu Negara akan tetap eksis apabila dia membuka pintu bagi setiap perubahan-perubahan global tanpa harus merusak nila-nila yang menjadi dasar kebudayaan.

c. Konsep Konsentris

Konsentriet yaitu berarti bahwa sesudah kita bersatu dengan bangsa -bangsa lain sedunia, janganlah kita kehilangan keperibadian kita sendiri, sungguhpun kita sudah bertitik pusat satu, namun di dalam lingkaran- lingkaran yang konsentris itu, kita masih mempunya i sirkel sendiri.24

Hasil persatuan dari kedua alam budaya, namun kepribadian alam budaya sendiri masih ada. Setelah bersatu dan berkomunuikasi dengan bangsa-bangsa lain di dunia, jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan Negara dengan Negara lain. Bahwa adanya kontak antar kebudayan satu dengan kebudayaan yang lain. Bukan sebagi saran manusia mengikis nilai- kebudayaan yang dimilki sebagai pondasi awal dalam berbudaya.

23 Ki Sunarno Hadiwijoyo dalam, https://tamansiswajkt.wordpress.com/2013/05/28/teori-trikon / dikutip pada tanggal 29 Juni 2016 pukul:10:53

24 Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara bagian Pertama; Pendidikan, (Yogyakarta: Majelsi Luhur Persatuan Tamansiswa, 2011), cet. IV, hal. 228


(32)

Oleh karennaya pada perinsip ketiga ini menjaga adalah tugas utama yang harus dilakukan saat adanya kontak dengan kebudayaan lain. Sehingga nilai-nilai itu akan terus berkembang tanpa tercampuri nilai- nila i yang lain

4. Hububngan Teori Trikon, Akulturasi dan Asimilasi

Struktur masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai perbedaan latar belakang sosikultural seperti ras, suku bangsa, agama, yang diwujudkan dalam ciri-ciri fisik, adat istiadat, bahasa daerah, dan paham keagamaam merupakan kenyataaan yang mau atau tidak harus diterima oleh seluruh rakyat Indonesia. Tingginya tingkat keragaman sosiokultural ini mengandung potensi konflik dan integrasi. Setidaknya ada banyak upaya yang dilakukan manusia mengurai konflik yang terjadi akibat perbedaan kepentingan antarsuku atau ras. Salah satunya menguatkan akar ideologi yang dimilki Indonesia yang memilik i kekuatan manusia mengikat kelompok tersebut.

Ki Hadjar Dewantara mengemukakan ada beberapa hal dalam menghadapi masalah perbedaan kebudayaan yang ada di Indonesia. Seperti halnya yang dikemukakan dalam bukunya, bahwa :

Kebudayaan (culturur, colere, cultivare) ialah memlihara serta memadjukan manusia kearah keadaban, dalam pada itu termasuk pula

pengertian “memudja-mudja” dan berapa kali nampak hidup-beku dari pada kebudajaan, karena itu harus selalu diingat :

a. Pemeliharaan kebudayaan harus bermaksud memajukan dan menyesuaikan kebudayaan tiap-tiap pergantain alam dan jaman

b. Karena pengasingan (isolasi) kebudayaan menyebabkan kemunduran dan kematian, maka selalu harus ada hubunga n

antara kebudayaan dan masyrakat”

c. Pembangunan Kebudayaan mengharuskan pula adanya hubungan dengan kebudayaan lain, yang dapat memperkembangkan (memadjukan, menyempurnaka n) atau memperkaya (yakni menambah) kebudayaan sendiri. d. Memasukan kebudayan lain, harus tidak sesuai dengan alam


(33)

yang menjelajahi tuntunan kodrat dan masyrakatnya, selalu membahayakan

e. Kemajuan kebudayaan harus berupa lanjutan langsung dari kebudayaan sendiri (kontinuet), menuju kearah kesatuan dunia (konvergensi) dan tetap mempunyai sifat-keperibadian di dalam kemanusiaan dunia (konsentrist)25

Dalam pengertian di atas Ki Hadjar menekankan bahwa sesungguhnya kebudayaan sejatinya bersifat dinamis dan selalu mengikuti perkembanga n zaman. Namun, proses yang paling penting menjadikan kebudayaan semakin berkembang adalah hendaknya kebudayaan yang dimiliki harus tetap konsisten dikembangkan, dan bersifat terbuka dengan kebudayaan lain. Sehingga, terjadinya konvergensi antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lainnya. Tanpa ada sifat chauvanisme atau memandang kebudayaan yang dimilki itu lebih tinggi dibanding kebabudayaan lain. Sehingga, apabila hal tersebut sudah terpenuhi dengan saling menjaga kedudukan kebudayaannya sendiri maka yang harus dilakukan selanjutnya adalah upaya manusia menjaga sifat pendirian atau sifat keperibadian di dalam kebduayaan itu sendiri agar tidak mudah termakan dengan arus kebudayaan asing yang justru malah menghilangkan nilai-ni la i atau corak khas yang dimilki oleh kebudayaannya.

Hal ini lah yang kemudian oleh Ki Hadjar Dewantara dijadikan suatu pedoman dalam menjaga keutuhan kebudayaan yang dikenal dengan trilogi Trikon. Trilogi ini menekankan pada tiga ketentuan yang harus dipenuhi dalam

unsur suatu kebudayaan. Dalam penjelasannya sebagai berikut :“Dalam

memasukkan bahan-bahan, baik dari kebudayaan daerah –daerah maupun dari kebudayaan asing. Perlu senantiasa diingat sjara-sjarat kontinuitet, konvergensi

dan konsentristet.”26

25 Ki Hadjar Dewantara, hal.226 26 Ki Hadjar Dewantara,hal.344


(34)

Ki Hadjar menjelaskan secara rinci sekali, bagaimana posisi tawar bangsa kita ketika berhadapan dengan budaya-budaya luar. Dalam buku Karya 1 Bagian Pertama: Pendidikan, di bab Kebudayaan dan Pengajaran dalam hubungan antar Negara, Ki Hadjar menguraikan sebagai berikut :

1). Hanya mengambil bahan-bahan dan benda-benda kebudayaan dari bangsa-bangsa lain, yang perlu atau baik manusia hidup dan penghidupan rakyat kita sendiri. 2). Menolak/menghalang-hala ngi sedapat-dapat masuknya segala yang merugikan perkembangan hidup dan penghidupan rakyat kita. 3). Manusia memudahka n, menyelamatkan dan meyempurnakan masuknya bahan-bahan dan benda-benda dari bangsa-bangsa lain sedunia ke dalam kebudayaan bangsa kita, maka perlulah kita mengutamakan Azas Tri-Kon.27

Itulah syarat-syarat yang harus dilalui oleh karena sifat keterbuka an budaya yang dinamis. Syarat-syarat tersebut sebagai upaya manus ia menumbuhkan kebudayaan Negara, agar nantinya mampu mengarahka n kepada kemajuan martabat kemanusiaan itu.

Dalam kaitannya dengan proses asimilasi dan akulturasi Ki Hadjar menekankan dalam menjaga keutuhan bangsa, lebih mengedepankan proses asimilasi daripada asosiasi, yakni mengambil bahan-bahan kebudayaan dari luar, tetapi kita sendirilah yang memasak bahan-bahan itu sehingga menjadi masakan baru, yang lezat rasanya bagi kita dan menyehatkan hidup.28

Penjelasan teori trikon di atas, setidaknya sedikit memberika n gambaran tentang upaya yang harus dilakukan oleh manusia yang memilik i budaya tertentu agar bersikap akomodatif dan terbuka dengan kebudyaan lainnya. Sehingga, hal itu mungkin saja dapat mengurai masalah konflik sosial yang diakibatkan oleh adanya perbedaan antar budaya. Dalam teori lain, teori trikon ini sama kedudukan secara makna dengan yang dimaksudkan oleh para

27 Ki Hadjar Dewantara,hal. 228 28 Ki Hadjar Dewantara, hal.


(35)

sosiolog lainnya mengenai akulturasi, asimilasi dan difusi .Yang akan dijelasakan secara mendetail dibawah ini.

a. Akulturasi

Istilah akulturasi merupakan proses yang timbul manakala suatu kelompok manusia tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun akan diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri.29

Akulturasi terjadi jika kelompok-kelompok individu yang memilik i kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif dengan timbulnya kemudian perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari salah satu atau keduanya yang bersangkutan.30

Dalam hal ini terdapat perbedaan antara bagian kebudayaan yang sukar berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (covert culture), dengan bagian kebudayaan yang mudah berubah dan terpengaruh oleh unsur-unsur kebudayaan asing (overt culture). Covert culture

misalnya: 1) sistem nilai-nilai budaya, 2) keyakinan-keyakinan keagamaan yang dianggap keramat, 3) beberapa adat yang sudah dipelajari sangat dini dalam proses sosialisasi individu warga masyarakat, dan 4) beberapa adat yang mempunyai fungsi yang terjaring luas dalam masyarakat. Sedangkan

overt culture misalnya kebudayaan fisik, seperti alat-alat dan benda-benda yang berguna, tetapi juga ilmu pengetahuan, tata cara, gaya hidup, dan rekreasi yang berguna dan memberi kenyamanan.

Para ahli antropologi menggunakan istilah berikut manusia menguraikan apa yang terjadi dalam akulturasi

29 Elly M. Setiadi, Usman Kolip, Pengantar Sosiologi: Pemahaman Fak ta dan Gejala Permasalahan Sosial (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2013), hal. 479

30 Willaim A.Haviland, R.G. Soekadijo, Antropologi 4th Edition Jilid II ( Jakarta: Erlangga), hal.263.


(36)

a). Subtitusi, di mana unsur atau kompleks unsur-unsur kebudayaan yang ada sebelumnya diganti oleh yang memenuhi fungsinya b). Sinkretisme, di mana unsur-unsur lama bercampur dengan unsur yang baru, kemungkinan besar dengan perubahan kebudayaan yang terjadi c). Adisi, di mana unsur atau kompleks unsur-unsur baru ditambahkan pada yang lama d). Dekulturasi, di mana bagian substansial dari kebudayaan mungkin hilang. e). Orijinasi, unsur-unsur baru manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru yang timbul karena perubahan situasi. f).Penolakan, di mana perubahan mungkin terjadi begitu cepat, sehingga sejumlah orang tidak dapat menerimanya.31

Sedangkan beberapa contoh yang sering digunakan manusia menjelaskan proses akulturasi antara lain:

a). Menara kudus, akulturasi antara Islam (fungsinya sebagai masjid) dengan Hindu (ciri fisik menyerupai bangunan pura pada agama Hindu) b.) Wayang, akulturasi kebudayaan Jawa (tokoh wayang: Semar, Gareng, Petruk, Bagong) dengan India (ceritanya diambil dari kitab Ramayana dan Mahabharata) c). Candi Borobudur, akulturas i antara agama Budha (candi digunakan manusia ibadah umat Budha) dengan masyarakat sekitar daerah Magelang (relief pada dinding candi menggambarkan kehidupan yang terjadi di daerah Magelang dan sekitarnya) d). Seni kaligrafi, akulturasi kebudayaan Islam (tulisan Arab) dengan kebudayaan Indonesia (bentuk-bentuk nya bervariasi).32

Dampak akulturasi terhadap masyarakat dapat diperhatikan seca mendalam adalah sebagai berikut :

a). Keadaan masyarakat penerima sebelum proses akulturasi berjalan b). Individu-individu dari kebudayaan asing yang membawa unsur-unsur kebudayaan asing itu c). Saluran-saluran yang dilalui oleh unsur-unsur kebudayaan asing manusia masuk ke dalam kebudayaan penerima d). Bagian-bagian dari masyarakat penerima yang terkena

31 Willaim A.Haviland, R.G. Soekadijo, hal.

32Poerwadi Hadi Pratiwi, “Asimilasi dan Akulturasi: Sebuah Tinjauan Konsep” Jurnal, Tanpa Tahun.


(37)

pengaruh unsur-unsur kebudayaan asing tadi e). Reaksi para individ u yang terkena unsur-unsur kebudayaan asing.33

b. Asimilasi

Asimilasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha manusia mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentinga n-kepentingan dan tujuan-tujuan bersama. Dalam pengertian yang berbeda, khususnya berkaitan dengan interaksi antar kebudayaan, asimilasi diartikan juga sebagai

proses sosial yang timbul bila ada: (1) golongan-golongan manusia yang berbeda latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (2) saling bergaul secara intensif manusia waktu yang lama sehingga, (3) kebudayaan-kebudayaan dari kelompok manusia tersebut masing berubah sifatnya yang khas dan juga unsur-unsurnya masing-masing berubah menjadi unsur-unsur campuran Biasanya golonga n-golongan yang dimaksud dalam suatu proses asimilasi adalah suatu golongan mayoritas dan beberapa golongan minoritas. Dalam hal ini, golongan minoritas merubah sifat khas dari unsur kebudayaannya dan menyesuaikannya dengan kebudayaan golongan mayoritas sedemikian rupa sehingga lambat laun kahilangan kepribadian kebudayaannya, dan masuk ke dalam kebudayaan mayoritas.34

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perubahan identitas etnik dan kecenderungan asimilasi dapat terjadi jika ada interaksi antarkelompok yang berbeda, dan jika ada kesadaran masing- masing kelompok.

Sedangkan contoh yang sering digunakan manusia menjelaska n proses asimilasi yaitu: A adalah orang Indonesia yang menyukai tarian

33 Rusmin Tumanggor,dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Pernada Media Group, 2010), hal. 62


(38)

Bali. Ia berteman baik dengan B yang merupakan orang Amrerika Latin dan bisa tarian tradisionalnya Amerika Latin (Tango). Karena keduanya terus menerus berinteraksi maka terjadilah percampuran budaya yang menghasilkan budaya baru yang merupakan hasil penyatuan tarian Bali dan Tango, tetapi tarian baru tersebut tidak mirip sama sekali dengan tarian Bali atau Tango.

Dari beberapa pengertian di atas, bahwa ada keterkaitan secara substansi tentang teori trikon, akulturasi dan asimilasi. Bahwa pembaruan atau peleburan kebudayaan dari kebudayaan asing merupakan titik tolok kesamaan makna dari kedua teori tersebut. Namun, teori trikon masih menekankan sifat keperibadian yang harus tetap dilestarikan saat proses peleburan budaya itu saling menghubungkan atau terjadinya konvergensi.

B. Kebudayaan

1. Pengertian Kebudayaan

Menurut Koentjraningrat, kata “kebudayaan” berasal dari kata sansekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau

“akal”, dengan demikian kebudayan dapat diartikan: “hal-hal yang

bersangkutan dengan akal”.35 Maksudnya adalah bahwa segala hal yang berasal

dari proses berfikir (akal) manusia merupakan bagian dari kebudayaan, proses berfikir manusia bias diartikan dengan proses belajar, jadi hal apapun yang diperoleh manusia dari proses belajar itu adalah merupakan sebuah kebudayaan. S edangkan William A Haviland menerangkan bahwa :

Kebudayaan itu terdiri dari nilai-nilai, kepercayaan, dan persepsi abstrak tentang jagat raya yang berada di balik perilaku manusia, dan yang tercermin dalam perilaku. Semua itu adalah milik bersama para anggota masyarakat, dan apabila orang itu berbuat sesuai dengan itu maka perilaku mereka dapat dianggap di dalam masyarakat.Kebuda ya n dipelajari melalui sarana Bahasa, bukan diwariskan secara biologis, dan


(39)

unsur-unsur kebudayan berfungsi sebagai suatu kesuluruhan yang terpadu.36

Pendapat lain mengungkapkan bahwa kebudayaan sebagai kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian hukum, moral kebiasaan dan lain-lain kecakapan dan kebiasaan yang diperoleh manus ia sebagai anggota masyarakat. Adalah seorang antropolog berkebangsaan Inggris, Sir Edward Burnett Tylor. Merupakan seorang yang pertama mendefinisikan yang sungguh-sungguh jelas terkait dengan kebudayaan.

Soemardjan dan Soemardi merumuskan bahwa kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilka n teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia manusia menguasai alam sekitarnya agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan manusia keperluan masyarakat. Menurut E.B. mengenai budaya sebagai berikut: kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hokum, adat serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperleh manusia sebagai bagian dari anggota masyarakat.37

Lowel D. Holmes mengungkapkan bahwa konsep dari kebudayaan adalah merupakan:

Culture is defined in anthropology as the learned, shared behavior that man acquires as a member of society. Although culture is a key concept in many of the social sciences, it has been anthropology, more than any other discipline, that has led the way in defining and studying the

abstract concept wich is such a great factor in determining man’s

behavior and personality.38

36 William A Haviland, Anthropology 4th Edition (Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama), hal. 332

37 Rusmin Tumanggor,dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta:Pernada Media Group, 2010), hal. 78

38 Lowel D. Holmes,Anthropology an Introduction ( United States of America: The Ronald Press Company, 1965), hal. 156


(40)

Dalam pengertian di atas Lowel D. Holmes mengungkapkan bahwa kebudayaan merupakan bagian dari kajian antropologi yang tidak terpisahkan, yang mempelajarai tentang kebiasaan manusia sebagai bagian dari anggota masyarakat. Kebudyaan pun merupakan sebuah kunci dari banyaknya konsep yang di pelajari dalam kajian-kajian ilmu social. Dibandingkan dari seluruh disiplin ilmu social, antropolgi lebih mengungguli dalam segi mendeterminas i kebiasaan manusia dan keperibadiannya.

Dalam disiplin Ilmu Antropologi Budaya pengertian Kebudayaan dan Budaya tidak dibedakan. Adapun pengertian Kebudayaan lain adalah,

“Penciptaan, penertiban dan pengolahan nilai-nilai insani yang tercakup di dalamnya usaha memanusiakan diri di dalam alam lingkungan, baik fisik

maupun sosial”39.

Rusmin Tumanggor mendefinisakan kebudayaan sebagai berikut,

“Kebudayaan adalah nilai-nilai dasar dari segenap wujud kebudayaan atau hasil kebudayaan. Nilai-nilai budaya dan segenap hasilnya adalah muncul dari tata cara hidup yang merupakan kegiatan manusia atas nilia-nilai budaya yang di kandungya. Cara hidup manusia tidak lain adalah bentuk konkrit (nyata) dari ilia-nilai budaya yang bersifat abstrak (idea)”.40

Secara praktis kebudayaan merupakan system nilai dan gagasan utama (vital). Sistem itu kemudian di hayati benar oleh pendukung yang bersangkuta n dalam kurun waktu tertentu, sehingga mendominasi keseluruhan kehidupan para pendukung itu, dalam arti mengarahkan tingkah laku mereka dalam masyarakatnya atau dengan kata lain memberikan seperangkat model manus ia bertingkah laku.

39 Elly Setiadi,dkk Ilmu Sosial danBudaya Dasar (Jakarta. Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 36

40 Rusmin Tumanggor, dkk 2010, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta:Pernada Media Group), hal. 38


(41)

Kemudian Kroeber dan Kluckohon mengeluarkan sebuah definisi baru dari kebudayaan yang sarat akan perdebatan kala itu,menjelaskan bahwa

“Kebudayaan adalah sebuah kata yang dapat kita gunakan manusia melabel suatu kelas fenomena baik benda maupun kejadian di dunia luar”.41

Banyak sekali yang kemudian mendefiniskan kebudayan, tetapi semua definisi yang cenderung mengadakan perbedaan yang jelas antara perilaku yang nyata di satu pihak dan di pihak lain nilai-nilai, kepercayaan dan presepsi tentang jagat raya yang terletak di belakang perilaku. Dengan kata lain, bahwa kebudayaan bukan saja menyoal perilaku yang kelihatan, tetapi lebih berupa nilai- nilai dan kepercayaan yang digunakkan oleh manusia manus ia menafsirkan pengalamannya dan menimbulkan perilaku, dan yang mencerminkan perilaku itu. Maka definisi kebudayaan modern adalah seperangkat peraturan standar, yang apabila dipenuhi oleh anggota masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap layak dan dapat diterima oleh para anggotanya.

2. Karakteristik Kebudayaan

a. Kebudayaan Adalah Milik Bersama

Kebudayaan adalah cita-cita, nilai dan standar perilaku, kebudayaan adalah persamaan common denominator, yang menyebabkan perbuata para individu dapat dipahami oleh kelompoknya. Karena memiliki kebudayaan yang sama, orang yang satu dapat meramalkan orang lain dalam situasi teretnu, dan mengamb il tindakan yang sesuai.

Masyarakat dapat di definiisakan sebagai kelompok manusia yang dapat mendiami tempat tertentu, yang demi kelangsunga n hidupnya saling tergantung satu sama lain, dan memiliki kebudayaan


(42)

bersama. Bagaimana orang yang satu tergantung pada orang lain, dan yang memiliki kebudayaan bersama. Selain itu , para anggota masyarakat saling terikat oleh kesadaran identitas kelompok. Hubunga n yang mengikat masyarakat dikenal sebagai struktur social, atau organisasi social.

Jelaslah, bahwa tidak mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat, seperti itu tidak mungkin ada masyarakat tanpa individ u. Sebaliknya, tidak ada masyarakat manusia yang di kenal yang tidak berbudaya. Akan tetapi, ada jenis-jenis binatang lain yang hidup secara social. Semut dan lebah misalnya, secara insting bekerjasama sedemikian rupa, sehingga sampai batas-batas tertentu memperlihatka n organisasi social, tetapi perilaku instingtif itu bukanlah sebagai kebudayaan. Oleh karena itu mungkin ada masyarakat tanpa kebudayaan meskipun mungkin ada kebudayaan tanpa masyarakat.

b. Kebudayaan adalah Hasil Belajar

Semua kebudayaan adalah hasil belajar dan bukan warisan biologis. Orang yang mempelajarai kebudayaannya dengan menjadi besar di dalamnya. Kebanyakan bintang misalnya makan dan minum kapan saja sesuai keinginannya, akan tetapi manusia biasanya makan dan minum mempunyai waktu tertentu menurut kebudayaan dan menurut mereka merasa lapar serta haus. Begitupun dengan waktu kapan mereka (manusia) akan menentukan waktu yang cocok manus ia melangsungkan tidur yang nyaman, misalnya antara orang Amertika Utra dengan Jepang mempunyai waktu tersendiri manus ia melangsungkan tidur dengan nyaman, sesuai dengan kebudayaan yang mereka miliki dan waktu kapan harus tidur.

Dengan enkulturasi orang mengetahui cara yang secara social tepat manusia memenuhi kebutuhannya yang ditentukan secara biologis. Adalah penting manusia membedakan antar kebutuhan yang


(43)

bukan merupakan hasil belajar, dan cara-cara yang dipelajari manus ia memenuhinya.

Dan satu hal, yang perlu diketahui bahwa tidak semua tentang perilaku perlu diintegrasikan dalam proses kebudayaan. Seekor anjing mungkin dapat mempelajara tentang tipu muslihat, tapi perilakunya merupakan repleks dari proses latihan yang dilakukan berulang-ula ng selama beberapa bulan atau minggu

c. Kebudayaan Didasarkan pada Lambang

Lesile White berpendapat bahwa semua perilaku manusia mula i dengan penggunaan lambing. Seni, agama, dan uang melibatka n pemaikan lambing. Kita semua mngetahui semngat ketaan yang dapat dibangkitkan oleh agama pada orang yang percaya. Sebuah salib, sebuah gambar, benda pujian yang manapun dapat dapat meningkatka n kepada aperjuangan dan penganayaannya yang berabad-abad lamanya atau dapat menjadi pengganiti sebuah filsafat atau kepercayaan yang lengkap. Aspek simbolis terpenting dalam kebudayaan adalah Bahasa. Bahasa sebagai unsur terpenting fundamen tempat manusia dibagun pranata-pranata kebudayaan seperti politik, organisasi kesenian tidak akan kemudian dibangn apabila tidak ada lambing- lambang yang dihasilkan dari adanya bahas tersebut.

d. Integrasi Kebudayaann

Gambaran budaya melingkupi segala hal, baik dari segi ekonomi, politik dan social dari msayarakat. Dan setiap aspek dalam kebudayaan tersebut haruslah berproses serasi. Keaadan ini dianalogikan sebagai sebuah mesni, sema komponen mesin harusla h sesuai dengan satu atau yang lain, kalua tidak mesinnya tidak jalan. Bila kita tidak mengisi tanki mobil yang menggunakan bensin dengan minyak disel akan timbul kesulitan, satu bagian dari system tidak lagi


(44)

konsisten dengan yang lain-lainnya. Sampai batas tertentu ini masih berlaku dalam kebudayaan.42

3. Unsur-Unsur Kebudayaan

Kebudayaan setiap bangsa memiliki banyak unsur-unsur, unsur-uns ur tersebut kemudian saling mengikat satu sama lain sehingga menjadi sebuah kesatuan yang bersifat bulat atau totalitas. Adapun unsur-unsur yang terkandung dalam kebudayaan bersifat multitafsir, atau banyaknya perbedaan mengenai apa saja yang termasuk dalam kategori unsur kebudayaan. Kontjaraningrat membaginya menjadi unsur-unsur kebudayaan secara lebih terperinci yaitu, terdiri dari system religi dan upacara keagamaan, system organisasi kemasyarakatan, system kemasyarakatan, system pengetahua n, Bahasa, kesenian, system pencarian serta system teknologi peralatan.43

Adapun pendapat lain dikemukakan oleh Rusmin Tumanggor bahwa ada tujuh komponen kebudayaan yang saling memiliki pengaruh satu dengan yang lainnya, diantaranya adalah : Religi, ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, organisasi social, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. 44 Dalam

penjelasannya bahwa agama mempunyai posisi paling kuat jika penekenannya pada nilia tertinggi, karena ia langsung berhubungan denagna Maha Pencipta (Tuhan), dan kehidupan abadi serta keadilan teringgi atas kebaikan dan keburukan atas pola piker, sikap dan perilaku slama di dunia fana.

Ketujuh unsur komponen di atas ini dimiliki sebagai sumber kebudayaan bahkan factor pembangunan dari setiap suku bangsa mulai dari tingkat sectoral, regional, nasional hingga internasional. Unsur-unsur itu juga akan melintasi batasan wilayah tersebut.

42 William A Haviland, Anthropology 4th Edition (Jakarta : PT Gelora Aksara Pratama),hal. 57

43 Rusmin Tumanggor, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (Jakarta: Pernada Media Group, 2010), hal. 24


(45)

Koentjaraningrat mengemukakan di dalam bukunya mengenai unsur-unsur universal yang menjelma kedalam tiga wujud kebudayaan :

Sistem ekonomi mislanya mempunyai wujudnya sebagai konsep-konsep, rencana-rencana, kebijaksanaan, adat istiadat, yang berhubungan dengan ekonomi, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa tindakan-tinfakan dan interaksi yang berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, ahi transport, pengecek dengan konsumen, dan kecuali itu dalam system ekonomi terdapat unsur-unsurnya yang berupa peralatan, komoditi, dan benda-benda ekonomi. Demikian juga system religi misalnya mempunyai wujudnya sebagai system keyakinan, dan gagasan-gagasan tentang tuhan, dewa-dewa, roh-roh halus, neraka, surge, dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujudnya yang berupa upacara-pacara, baik yang bersifat musiman maupun kadangkala, dan kecuali itu system religi mempunyai juga wujud sebagai benda-benda religious. Contoh lain adalah unsur universal kesenian, uang dapat berwujud sebagai gagasan-gagasan, ciptaaan-ciptaan pikiran, kriteria-kriteria dan syair yan gindah.45

Menurut Melville J. Herkovits mengajukan pendapatnya tentang unsur kebudayaan adalah terdiri dari 4 unsur yaitu :

alat teknologi, sistem ekonomi, keluarga dan kekuatan politik. Sedangkan menurut Bronislaw Malinowski unsur kebudayaan terdiri dari sistem norma, organisasi ekonomi, alat-alat atau lembaga ataupun petugas pendidikan dan organisasi kekuatan. Begitupun menurut C. Kluckhon ada tujuh unsur kebudayaan universal yaitu :Sistem religi, Sistem organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan,Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi, Sistem teknologi dan peralatan, Bahasa, Kesenian.46

Selanjutnya, para tokoh mencoba melihat secara mendalam dalam memaknai usaha terintegrasinya unsur-unsur diata dengan melihat dari fungs i yang ada pada unsur-unsur tersebut.

Menurut M.E. Spiro pernah mendapatkan bahwa dalam karangan ilmia h

ada tiga cara pemakaian kata “fungsi” itu ialah :

45 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru,1980), hal. 45 46 Rowland B. F. Pasaribu, Masyarak at dan Kebudayaan, Jurnal, Tanpa Tahun, hal. 56


(46)

1) menerangkan, fungsi sebagai hubungan antara suatu hal dengan suatu tujuan tertentu (misalnya mobil mempunyai fungs i sebagai alat manusia mengangkut manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lain),

2) menerangkan kaitan antara satu hal dengan yang lain (kalau nila i dari satu hal x itu berubah, maka nilai dari suatu hal lain yang ditentukan oleh x tadi, jadi berubah)

3) menerangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal-hal dalam suatu sistem yang terintegrasi (suatu bagian dari suatu organisme yang berubah menyebabkan perubahan dari berbagai bagian lain, malahan sering menyebabkan perubahan dalam seluruh organisme)47

Istilah fungsi beragam macam maknanya, namun jika dilihat secara sederhana istilah fungsi sering digunakan oleh banyak orang dalam meliha t manfaat atau tujuan dari penggunaan sarana atau konsep. Sehingga maksud dari sarana atau konsep tersebut dapat digunakan sebagaimana seharusnya. Begituhalnya dengan fungsi dari unsur-unsur kebudayaan yang universal itu seperti apa dalam menunjang kelangsungan kehiupan manusia. Ada baiknya jika kita melihat dari konsep Malinowski mengenai fungsi dari unsur-uns ur kebudayaan yakni : berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi manusia memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dan makhluk manusia.48

Dengan demikian jelas bahwa tiap-tiap unsur kebudayaan memlik i fungsi dalam memenuhi hasrat naluri manusia, misalnya adanya kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan gunanya manusia memuaskan hasrat manusia akan keindahan. Atau dalam hal ini penggunaan alat teknologi bertujuan manusia memuaskan hasrat naluri manusia yang bersifat produktif.

47 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2013),hal. 173 48 Koentjaraningrat, hal. 175


(47)

4. Wujud Kebudayaan

Kebudayaan memiliki wujud, menurut dimensi wujudnya kebudayaan mempunyai tiga wujud yaitu :

a. Kompleks Gagasan, konsep dan Pikiran Manusia,

Wujud ini disebut dengan system budaya sifatnya abstrak dan tidak dapat dilihat dan berpusat kepada kepal-kepala manusia yang menganutnya, atau dengan perkataan lain, dalam aliran pemikira n warga masyarakat kebudayaan bersangkutan hidup. Kalau masyarakat tadi menyatakan gagasan mereka dalam tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal sering berada dalam karangan dan buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat yang bersangkutan. b. Komplek Aktifitas Manusia

Berupa aktifitas Manusia yang sering berinteraksi, bersifat konkrit, dapat diamati atau diobservasi. Wujud ini sering disebut dengan sisitem social.

Sistem hubungan saling erat dan terkait antara satu dengan lainnya yang berfungsi melakukan mekanisme kerja manusia mencapai tujuan tertenu. Dalam pandangan ilnu Sosial, system social diartikan seabgai hubungan antara bagian-bagian (elemen-elemen) di dalam kehidupan bermasyarakat terutama tindakan-tindaka n manusia, lemaba social, dan kelompk-kelompok sosial yang salingmempengaruhi. Hubungan antar elemen tersebut selanjut nya menghasilkan produk-produk interaksi itu sendiri, yaitu nilai- nila i norma social yang keadannya dinamis selalu mengali m perkembangan.49

49 Elly M Settiadi, Usman Kolip, Pengantar Sosiologi (Jakarta: Pernanda Media Group, 2011), hal. 257


(48)

c. Wujud sebagai Benda

Aktifitas manusia yang saling berinteraksi tidak lepas dari berbagai penggunaan peralatan sebagai sebuah karya manusia mencapai tujuannya. Aktifitas manusia tersebut menghasilkan benda manusia keperluan hidupnya. Kebudayaan dalam bentuk fisik bias saja secara konkrit disebut dengan kebudayaan fisik.

5. Perubahan Kebudayaan

Perubahan bersifat mutlak, akan terus berganti dengan mengik ut i perkembangan zamannya. Sekalupun masyarakat terisolasi atau suku-suku permitif, namun yang membedakan adalah waktu atau proses yang terjadi pada perubahan itu sendiri.

Tidak ada kebudayaan yang statis, kebudayan memiliki dinamika bergerak, gerak kebudayaan adalah gerak manusia itu sendiri yang hidup dalam satu kelompok masyarakat yang menjadi wadah atau tempat kebudayaan itu berada. Karena sejatinya manusia tidak akan pernah diam, proses interaksi itu yang membuat kebudayaan semangat berkembang.

Terjadinya perubahan kebudayaan sebagai tanggapan atasa hal- hal seperti masuknya orang luar, atau terjadinya modifikasi perilaku dan nilai-ni la i di dalam kebudayaan. Dalam kebudayaan barat sendiri mode pakaian sering berubah, dalam dasawarsa terakhir kebudayaan mengizinkan orang membiarkan lebih banyak bagain tubuhnya tidak tertutupi tidak hanya pada waktu berenang, tetai juga pada waktu berpergian.

Perubahan kebudayaan akan dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak terduga-duga dan sering merusak. Seperti halnya, masyarakat suku Baduy dalam dengan pikukuh yang kuat, apabila ada yang melanggar tatnan atau aturan adat lokal yang terdapat di daerah tersebut. Maka tidak ada toleranis


(49)

yang diberikan oleh puun50 (kepala suku) akan menghukum dengan cara mengeluarkan atau memaksa keluar bagi individu yang melakukan pelangga ra n tersebut.

Hal ini dijaga supaya, kebudayaan yang sudah diyakini sebagai warisan leluhur tidak mudah akan berganti karena adanya atau masuknya unsur kebudayaan lain yang akan mempengaruhi nilai atau estetika kebudayaan dalam yang mendarah daging tersebut.

Hematnya, menurut penulis bahwa kebudayaan itu seperti sebuah siklus yang bergerak melingkar atau liner yang mengalami perkembangan dengan titik tujuan tertentu.

Faktor yang dapat mendorong dan mempengaruhi perubahan kebudayaan meliputi hal-hal sebagai berikut :

a. Perubahan lingkungan alam (musim, iklim)

b. Perubahan kependudukan (jumlah, penyebaran, dan kerapatan penduduk)

c. Perubahan struktur sosial (Organisasi pemerintahan, politik, negara, dan hubungan internasional)

d. Perubahan nilai dan sikap (sikap mental penduduk, kedisiplinan, dan kejujuran para pemimpin).

50Puun merupakan kepala adat yang menempati posisi tertinggi dalam hirarki atau struktur pemerintahan masyarakat Baduy, jabatan tersebut berlangsung turun menurun dengan mewariskannya pada keturunan atau kerabat dekatnya. Fungsi tugasnya ialah pengambil keputusan serta yang berhak menentukan adat yang berlaku atas hasil musyawarah lembaga adat sekaligus penjamin keberlangsungan pelaksanaan hukum adat masyarakat baduy. Versi lain juga menyebutkan bahwa puun sebagai penanggung jawab jalannya roda pemerintahan.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

BIOGRAFI PENULIS

Anam, begitu kiranya sapaan yang melekat pada seorang yang bernama lengkap

Khairil Anam ini, pria yang mengaku lahir di suatu kampung nan begitu asri, ditengah hiruk pikuk bangunan Industri yang semakin hari semakin menjalar di setiap sudut

Kabupaten Tangerang. Nama Khairil Anam, inisial K diletakkan didepan barisan nama panjangnya ini, menandakan lahir pada pada hari Kamis, tertanggal 23 Maret 1994,

begitu kenang Orang tuanya H.Asnali dan Hj.Jamsah yang kala itu masih mempercaya i adanya keberuntungan jikalau menggunaka n

inisial huruf pada hari dimana anaknya terlahir. Hal serupa juga dialami oleh tujuh Kaka dan adiknya. Anam pada umurnya yang ke 6 tahun, gemar memulai untuk belajar banyak hal di Sekolah SDN Jengkol III, dengan kelas tambahan pelajaran Agama ia dapatkan di Madrasah TPA Al-Makhrus bahkan sesekali mondok salafi di sebuah Pesantren dekat dengan Kampungnya. Melihat kegigihannya, Anam ketika beranjak dewasa di umur 12 tahun, diberangkatkan untuk pergi mondok oleh orang tuanya di Pondok Pesantren Modern Daar el-Qolam, Gintung Jayanti, Tangerang. Pondok yang begitu banyak memberikan andil bagi penguatan aspek psikomotirk, afektif dan kognitif. Penguatan keterampilan bercakap menggunakan Bahasa Arab dan Bahasa Inggris ia tekuni di setiap hari dan malam melalui rangkaian agenda formal dan nonformal seperti Muhadhrah yang dilaksankan pada malam hari di Pesantren, hingga akhirnya menghantrakan dirinya untuk menjadi bagian dari anggota Kepengurusn Bagian Bahasa Pondok Pesantren Daar-el Qolam II dibawah Struktur Ikatan Santri Madrasah Mualimin Al-Islamiyah (ISMI).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, merupakan tempat berlabuh selanjutnya dalam upaya pengabdian diri untuk menimba ilmu. Pengalaman berorganisasi kala di Pesantren, ia pertajam dengan mengikuti kembali organisasi-organisasi kemahasiswaan baik intra maupun ekstra kampus, diantaranya : Divisi Luar Negeri HMJ IPS 2012-2013, Divisi Ekonomi Dema UIN Syarif Hidayatullah 2015, Ketua Umum KAMMI UIN Syarif Hidayatullah (2015-2016), Ketua KAMMI Daerah Tangerang Selatan (2016-2017). Tercatat juga, bahwa ia aktif di beragam gerakan sosial dan politik yang sampai hari ini ditekuni, diantarnya: Komisoner Turun Tangan Banten, Pembina Untuk Negeri, Steering Comitte Banten Mengajar, Gerakan Politik Untuk Banten, tripforcare, dsb, juga terlibat sebagai pengurus Yayasan Sosial, seperti Muda Visi Mandiri (MVM) Foundation, Manager Programme Akademi Filantropi dibawah Yayasan Filantropi, hal tersebut ia jalani sebagai sebuah proses pematangan diri, dan yang menghantarkan dirinya dipercayai untuk menjadi narasumber di berbagai kegiatan seminar dan diskusi publik, pernah menjadi narasumber di program Channel In TV dengan tema Bakti Untuk Negeri. Baginya sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, hal itu yang membuat ia terus bergerak, terlibat aktif dalam setiap proses dinamika yang terjadi pada Negeri ini. Hanya dua pilihan untuk pemuda saat ini, menuntut perubahan atau melakukan perubahan.


Dokumen yang terkait

Eksistensi Masyarakat Wilayah Pesisir Sumatera Utara Dalam Kegiatan Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara)

1 55 7

Analisis Kerugian Ekonomi, serta Pengetahuan Masyarakat Terhadap Konflik Orangutan Sumatera (Pongo abelii) (Studi Kasus Desa Kuta Gajah, Kecamatan Kutambaru dan Desa Besilam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat)

4 58 108

Kepercayaan Masyarakat Terhadap Tempat Keramat (Studi Kasus Daerah Tamba Kecamatan Sitio-tio Kabupaten Samosir Provinsi Sumatera Utara)

7 130 116

Pengaruh Otonomi Desa Terhadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Desa (Studi Pada Desa Pulau Jambu, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)

28 194 120

Pengaruh Penggunaan Teknologi Modern Terhadap Peningkatan Kesejahtraan Sosial Ekonomi Masyarakat Petani(Studi masyarakat Petani Desa Boangmanalu Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat)

0 39 97

Dampak Industrialisasi Terhadap Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Desa Lalang Kecamatan Medang Deras Kabupaten Batu Bara)

21 126 108

Konsep ajaran agama islam di dalam kepercayaan sunda wiwitan masyarakat Desa Kanekes, Kecamatan Leuwi Damar, Lebak, Banten.

0 3 120

Komunikasi Ritual Adat Sebam Masyarakat Baduy Luar (Studi Etnografi Komunikasi Ritual Adat Seba Masyarakat Baduy Luar Desa Kanekes Kecamatan Leuwi Damar Kabupaten Leuwi Damar Kabupaten Lebak Provinsi Banten)

6 50 145

PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUAN BREKSI ANDESIT BERDASARKAN UKURAN FRAGMEN DENGAN MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK (Studi Kasus Lahan 52 Ha, Desa Mekarsari, Kecamatan Merak, Kabupaten Cilegon, Provinsi Banten)

0 0 6

Eksistensi Masyarakat Wilayah Pesisir Sumatera Utara Dalam Kegiatan Pembangunan (Studi Kasus Masyarakat Desa Jaring Halus Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara)

0 0 7