ANALISIS PERUMUSAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PATUNG ZAINAL ABIDIN PAGAR ALAM (Studi di Kabupaten Lampung Selatan)

(1)

ANALISIS PERUMUSAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PATUNG ZAINAL ABIDIN PAGAR ALAM

(Studi di Kabupaten Lampung Selatan)

Oleh

SITI FATIMAH AZZAHRO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU PEMERINTAHAN

Pada

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRACT

THE ANALYSIS OF POLICY DEVELOPMENT FORMULATION OF ZAINAL ABIDIN PAGAR ALAM STATUE

(Research in South Lampung Regency)

By:

SITI FATIMAH AZZAHRO

The research has done in South Lampung Regency. In the development of kalianda city as a modern city. So, the government in South Lampung Regency built Zainal Abidin Pagar Alam statue with the purpose to remind about Zainal Abidin Pagar Alam as personage of commendable in South Lampung Regency. However, the policy has made by government in the South Lampung got the refusal from the society specially the societies of South Lampung Regency.

The purpose of this (1) study was to determine the formulation process of development policy of Zainal Abidin Pagar Alam statue, (2) to find out reasons for the formulation of development policies of Zainal Abidin Pagar Alam statue, (3) to map the interaction of the actors involved in the formulation of public policy, and (4) to find out the reasons of society refused the development policies of Zainal Abidin Pagar Alam statue in South Lampung Regency. The


(3)

type of study was a qualitative research method. The informants in this study were 10 people consisting of a formal group is 5 persons and non-formal group is 6 persons. Data collecting techniques was conducted through interviews and documentation, while the analysis of the data used data reduction, data analysis and conclusions.

The results showed that the formulation process of policy development of Zainal Abidin Pagar Alam statue created by elite-mass models, the consequences of elite-mass models lead to resistance (refusal) from the society specially the societies of South Lampung Regency. The reason of development policy of Zainal Abidin Pagar Alam statue was a part of the development of Kalianda as a modern city, which is a realization of Granchild’s obsession to his grandfather, that is tribute to Rycko Menoza as a grandchild of Zainal Abidin Pagar Alam. The interaction formal actor were Bappeda, DPRD, and Official of PU more dominate analysis of policy development formulation Zainal Abidin Pagar Alam statue than the non formal actor were societies. The balance between formal and non formal actors was needed in the process of policy formulation. The refusal society about the policy development this statue cause existence the appropriate public to Zainal Abidin Pagar Alam because Zainal Abidin Pagar Alam not original inhabitat in kalianda and existence the issue not appropriate with society importance.


(4)

ABSTRAK

ANALISIS PERUMUSAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PATUNG ZAINAL ABIDIN PAGAR ALAM

(Studi di Kabupaten Lampung Selatan)

Oleh

SITI FATIMAH AZZAHRO

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lampung Selatan. Dalam pengembangan kota Kalianda sebagai kota modern, maka Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan membangun patung Zainal Abidin Pagar Alam dengan tujuan untuk mengenang Zainal Abidin Pagar Alam sebagai tokoh yang pernah berjasa di Kabupaten Lampung Selatan. Namun, kebijakan yang dibuat Pemerintah Lampung Selatan ini mendapatkan penolakan dari masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Lampung Selatan.

Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui proses perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam, (2) untuk mengetahui alasan-alasan perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam, (3) untuk memetakan interaksi aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik, dan (4) untuk mengetahui alasan-alasan masyarakat menolak


(5)

kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam di Kabupaten Lampung Selatan. Tipe penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif. Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang yang terdiri dari kelompok formal 5 orang dan kelompok non formal 6 orang. Teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara dan dokumentasi, sedangkan analisis data menggunakan reduksi data, analisis data dan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam, di buat berdasarkan model Elit-Massa, konsekuensi model Elit-Massa menimbulkan resistensi (penolakan) masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Lampung Selatan. Alasan perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam merupakan bagian dari pengembangan kota Kalianda sebagai kota modern dengan dibayangi obsesi seorang cucu terhadap kakek yaitu obsesi apresiasi Rycko Menoza kepada Zainal Abidin Pagar Alam. Interaksi aktor formal yaitu Bappeda, DPRD, dan Dinas PU lebih menguasai perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam dari pada aktor non-formal yaitu masyarakat. Penolakan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan patung ini disebabkan adanya ketidaksesuaian publik kepada Zainal Abidin Pagar Alam karena Zainal Abidin bukan penduduk asli Kalianda dan adanya tidaksesuaian isu kebijakan dengan kepentingan masyarakat.


(6)

(7)

(8)

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

I. PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan Penelitian ... 7

D.Kegunaan Penelitian ... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A.Proses Perumusan Kebijakan Publik dalam Model Elite-Massa ... 9

B. Alasan-alasan Perumusan Kebijakan Publik ... 17

C.Interaksi Aktor-aktor dalam Perumusan Kebijakan Publik ... 19

D.Alasan Umum Masyarakat Menolak Kebijakan ... 21

E. Kerangka Pikir ... 23

III. METODE PENELITIAN A.Tipe Penelitian ... 25

B. Fokus Penelitian... 26

C.Lokasi Penelitian ... 27

D.Jenis Data ... 28

E. Teknik Pengumpulan Data ... 31

F. Teknik Pengolahan Data ... 35


(10)

IV.GAMBARAN UMUM PENELITIAN ... 38

A.Gambaran Umum Kabupaten Lampung Selatan ... 38

B. Gambaran Umum Bappeda Kabupaten Lampung Selatan ... 46

C.Gambaran Umum DPRD Kabupaten Lampung Selatan ... 48

D.Gambaran Umum Masyarakat Kabupaten Lampung Selatan ... 49

E. Dinamika Perumusan Kebijakan Publik Pada Masa Kepemimpinan Rcyko Menoza SZP, SE, SH, MBA (2009-Sekarang) .. 55

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 57

A.Proses Perumusan Kebijakan Pembangunan Patung Zainal Abidin Pagar Alam ... 57

B. Alasan-alasan Perumusan Kebijakan Pembangunan Patung Zainal Abidin Pagar Alam ... 69

C.Interaksi Aktor-aktor yang terlibat dalam Perumusan Kebijakan Publik ... 74

D.Alasan-alasan Masyarakat Menolak Kebijakan Pembangunan Patung Zainal Abidin Pagar Alam ... 92

VI. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ... 104

B.Saran ... 105

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

I.

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang Pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom. Kewenangan yang dilimpahkan Pemerintah kepada penyelenggaraan Pemerintahan di daerah antara lain kewenangan membuat kebijakan publik untuk tingkat lokal atau daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 19 ayat 2 yang dimaksud penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.


(12)

Pada Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Penyelenggara Pemerintahan Daerah, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat. Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan. Artinya kedudukannya sama tidak saling membawahi.

Hubungan antara Pemerintah Daerah dan DPRD ini tercermin dalam membuat kebijakan daerah berupa Peraturan Daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masing-masing. Sehingga antar kedua lembaga ini membangun suatu hubungan kerja yang sifatnya saling mendukung bukan sebagai lawan ataupun pesaing satu sama lain.

Salah satu pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur kepentingan masyarakat setempat yaitu kewenang dalam membuat kebijakan publik. Pada proses perumusan kebijakan publik akan terjadi interaksi antara masyarakat dengan penyelenggara Pemerintah Daerah dan antara institusi penyelenggara Pemerintahan Daerah. Pada dasarnya salah satu faktor yang menunjang keberhasilan otonomi akan sangat terkait dengan hubungan atau interaksi antarorganisasi. Terutama interaksi antara lembaga penyelenggara di


(13)

tingkat Pemerintah Daerah yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD sebagai lembaga atau institusi perumus kebijakan dan yang menetapkan kebijakan publik.

Ketika kebijakan publik berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan publik tersebut akan mendapat resistensi (penolakan) ketika diimplementasikan. Sebaliknya suatu kebijakan publik harus mampu mengakomodasi nilai-nilai dalam pratika-pratika yang hidup dan berkembang dalam masyarakat (Subarsono, 2012:3).

Salah satu kebijakan publik yang mendapatkan penolakan dan pemberontakan dari masyarakat yaitu kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan dalam hal kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam. Penolakan masyarakat Lampung Selatan ini berawal dari keluarnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Angaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Lampung Selatan tahun 2011 dalam hal kebijakan pembangunan Zainal Abidin Pagar Alam.

Kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam telah dirumuskan dan dibuat oleh aktor pembuat kebijakan. Para aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan tersebut yaitu Eksekutif (Bapeda), DPRD, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat, Pemuda melalui Musyarawah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mengenang Zainal Abidin Pagar Alam sebagai pahlawan atau tokoh yang berjasa di Kabupaten Lampung Selatan, dan kebijakan tersebut sudah melalui mekenisme dan prosedur yang tepat.


(14)

“Menurut Bupati Lampung Selatan yaitu Rycko Menoza bahwa kebijakan pembangunan patung ini sudah melalui mekanisme dan kebijakan penggaran dan pembangunan tersebut juga menjadi bagian dari perkembangan Kota Kalianda sebagai kota modern”. (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/309722-bupati-tak-akan-bangun-patung-kakeknya-lagi. Di akses Tanggal 5 Desember 2012. Pukul 19:00).

Patung Zainal Abidin Pagar Alam yang terletak di tepi Jalan Lintas Sumatera di bangun dan diresmikan pada tanggal 9 Maret 2012. Sebulan setelah diresmikannya patung ini tepatnya pada tanggal 30 April 2012 masyarakat Lampung Selatan melakukan demonstrasi. Ribuan masyarakat yang berasal dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi dan Aliansi Rakyat Peduli Pembangunan menyampaikan aspirasi agar patung Zainal Abidin Pagar Alam untuk dirobohkan.

Penolakan masyarakat terhadap pembangunan patung ini mempunyai alasan yaitu masyarakat menilai bahwa kebijakan pembangunan patung ini adalah hanya pemborosan anggaran saja yang pembuatannya menghabiskan dana mencapai Rp 1,7 miliar. Zainal Abidin Pagar Alam bukanlah pahlawan yang memperjuangkan daerah Kalianda.

(http://marhenyantoz.wordpress.com/2012/07/03/akhir-sejarah-patung-zainal-abidin-pagaralam/. Di akses Tanggal 6 Desember 2012, Pukul 13:00).

Klimaks dari penolakan masyarakat Lampung Selatan terhadap kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin, yaitu masyarakat merobohkan patung tersebut dengan berbagai alat manual dan ditarik dengan menggunakan kendaraan truk fuso sehingga masyarakat berhasil merobohkan simbol keangkuhan penguasa ini.


(15)

(http://news.detik.com/read/2012/05/01/130542/1905920/103/runtuhnya-patung-zainal-abidin-simbol-keangkuhan-penguasa. Di akses Tanggal 6 Desember 2012, Pukul 13:30).

Peristiwa yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan ini, merupakan salah satu contoh bila kebijakan publik khususnya dalam merumuskan suatu kebijakan publik bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dimasyarakat dan tidak berpihak kepada kepentingan masyarakat. Pada proses perumusan kebijakan publik yang baik, terdapat ruang publik di dalamnya.

Proses penyusunan dan perumusan kebijakan publik terutama APBD selama ini tidak banyak diketahui oleh masyarakat, proses perumusan ini cenderung tertutup dan selalu didominasi oleh elit daerah (elitis). Selain itu, dalam proses perumusan kebijakan adanya partisipasi masyarakat merupakan bagian yang terpenting. Sebab melalui partisipasi, masyarakat dapat terjun langsung dan dapat melihat bagaimana proses perumusan kebijakan tersebut di buat.

Pada proses perumusan kebijakan publik aktor-aktor pembuat kebijakan seperti badan-badan administrasi pemerintah meliputi eksekutif, legislatif, yudikatif menggunakan kekuasaan dan kewenangan bukan untuk menyeimbangkan dan memenuhi kepentingan rakyat, namun digunakan untuk meraih kepentingan dan kekuasaan individu atau para elit politik. Dapat dikatakan proses perumusan kebijakan yang elitis atau terlalu didominasi oleh para elit menyebabkan keputusan-keputusan lebih mengedepankan atau mencerminkan keinginan elit pembuat kebijakan daripada kebutuhan masyarakat.


(16)

Proses perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam termasuk ke dalam model elite-massa yang menitik beratkan bahwa kebijakan publik ditentukan semata-mata oleh kelompok elite. Pada dasarnya ketika para elite merumuskan kebijakan publik akan telihat para elite tersebut akan mempertahankan kekuasaannya dan kebijakan publik yang dirumuskan dapat memberikan keuntungan bagi para elite tersebut, sehingga model elite ini berupa kebijakan atas (top-down policy). Maka kebijakan publik tersebut mengalir dari atas ke bawah yaitu dari golongan elite kepada golongan massa. Selain itu dalam perumusan kebijakan ini terdapat unsur-unsur Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) oleh para aktor pembuatan kebijakan

“Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) dan Forum Masyarakat Lampung Bersatu menggelar aksi unjuk rasa di DPRD Lamsel, Senin (30 April 2012). Aksi demo kali ini merupakan kelanjutan dari tuntutan pendemo kepada DPRD Lampung Selatan tentang pembentukan pansus pembangunan patung Zainal Abidin Pagaralam yang dinilai sarat KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme)”.

( http://lampung.tribunnews.com/2012/04/30/foto-foto-aksi-demonstrasi-menentang-patung-zainal-abidin-pagaralam. Di akses Tanggal 5 Desember 2012 Pukul 20:00).

Setelah suatu kebijakan itu dirumuskan oleh para aktor pembuat kebijakan. Maka tugas DPRD menyetujui suatu kebijakan itu untuk disahkan. Akan tetapi dalam menyetujui dan menetapkan suatu kebijakan DPRD dapat mempertimbangkan dengan matang dari kebijakan itu, mana kebijakan yang layak untuk disetujui dan mana kebijakan belum layak untuk disetujui sehingga kebijakan tersebut dapat berjalan dengan efektif dan efesien demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat.


(17)

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diungkapkan di atas maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimanakah Proses Perumusan Kebijakan Pembangunan Patung Zainal Abidin Pagar Alam di Kabupaten

Lampung Selatan”?

C.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam dalam Model Elit-Massa.

2. Untuk mengetahui alasan-alasan perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam di Kabupaten Lampung Selatan.

3. Untuk memetakan interaksi aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik.

4. Untuk mengetahui alasan-alasan masyarakat menolak kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam.


(18)

D.Kegunaan Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini sebagai salah satu kajian ilmu pemerintahan, khususnya yang berkaitan dengan analisis perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam di Kabupaten Lampung Selatan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan masukan kepada pembuat kebijakan umumnya, dan khususnya kepada pemerintah Kabupaten Lampung Selatan untuk lebih mempertimbangkan kebijakan yang di buat.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Proses Perumusan Kebijakan Publik.

Perumusan (Formulasi) kebijakan publik merupakan salah satu tahap dari rangkaian proses pembuatan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik. Para ahli mengemukakan pandangan tentang definisi fomulasi kebijakan publik sebagai berikut:

Menurut Dunn (2000:132), perumusan kebijakan (policy formulation) adalah pengembangan dan sintesis terhadap alternatif-alternatif pemecahan masalah. Winarno (2002:29) menyatakan bahwa masing-masing alternatif bersaing untuk di pilih sebagai kebijakan dalam rangka untuk memecahkan masalah.

Tjokroamidjojo dalam Islamy (2000:24) menyebutkan perumusan kebijakan sebagai alternatif yang terus menerus dilakukan dan tidak pernah selesai, dalam memahami proses perumusan kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat dalam proses perumusan kebijakan.


(20)

Berdasarkan pengertian pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa formulasi kebijakan merupakan cara untuk memecahkan suatu masalah yang di bentuk oleh para aktor pembuat kebijakan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan dari sekian banyak alternatif pemecahan yang ada maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.

Kemudian menurut Islamy dalam buku Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara (2000:77-101) mengemukakan pendapatnya bahwa ada empat langkah dalam proses pengambilan kebijakan publik, yaitu:

1. Perumusan Masalah (defining problem).

Pemahaman terhadap masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiaognosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan yang bertentangan dan rancangan peluang kebijakan baru. Perumusan masalah merupakan sumber dari kebijakan publik, dengan pemahaman dan identifikasi masalah yang baik maka perencanaan kebijakan dapat di susun, perumusan masalah dilakukan oleh mereka yang terkena masalah atau orang lain yang mempunyai tanggung jawab dan pembuat kebijakan harus mempunyai kapasitas untuk itu. Proses kebijakan publik di mulai dengan kegiatan merumuskan masalah secara benar, karena keberhasilan atau kegagalan dalam melaksanakan perumusan kebijakan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kegiatan ini akan sangat berpengaruh pada proses pembuatan kebijaksanaan seterusnya.


(21)

2. Agenda Kebijakan

Sekian banyak problema-problema umum yang muncul hanya sedikit yang mendapat perhatian dari pembuat kebijakan publik. Pilihan dan kecondongan perhatian pemuat kebijakan menyebabkan timbulnya agenda kebijakan. Sebelum masalah-masalah berkompotensi untuk masuk dalam agenda kebijakan, masalah tersebut akan berkompetisi dengan masalah yang lain yang pada akhirnya akan masuk dalam agenda kebijakan. Mengingat pentingnya status agenda kebijakan dalam formulasi kebijakan publik, Cob dan Elder dalam Islamy (2000:83) mengartikan kebijakan sebagai:

“Agenda sistemik terdiri atas semua isu-isu yang dipandang secara umum oleh anggota-anggota masyarakat politik sebagai patut memperoleh perhatian dari publik dan mencakup masalah-masalah yang berada dalam kewenangan sah setiap tingkat pemerintah

masing-masing”.

Abdul Wahab (2004:40) menyatakan bahwa suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:

1. Isu tersebut telah mencapai suatu titik tertentu sehingga ia praktis tidak lagi bisa diabaikan begitu saja.

2. Isu tersebut telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak (impact) yang bersifat dramatik. 3. Isu tersebut menyamngkut emosi tertentu ilihat dari sudut

kepentingan orang banyak.

4. Isu tersebut menjangkau dampak yang amat luas.

5. Isu tersebut mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan (legitimasi) dalam masyarakat.

6. Isu tersebut menyangkut suatu persoalan yang fasionable, dimana posisinya sulit untuk dijelaskan tapi mudah dirasakan kehadirannya.


(22)

3. Pemilihan Alternatif Kebijakan untuk memecahkan Masalah

Setelah masalah-masalah publik didefinisikan dengan baik dan para perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut ke dalam agenda kebijakan, maka langkah selanjutnya adalah membuat pemecahan masalah. Menurut Winarno (2002:83) dalam tahap ini para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif pilihan kebijakan untuk memecahkan masalah tersebut.

Menurut Islamy (2000:92), perumusan usulan kebijakan (policy proposals) adalah kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah. Proses dalam kegiatan ini meliputi:

1. Mengidentifikasi altenatif.

2. Mendefinisikan dan merumuskan alternatif. 3. Menilai masing-masing alternatif yang tersedia.

4. Memilih alternatif yang memuaskan atau paling mungkin untuk dilaksanakan.

Pada tahap ini para perumus kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antara berbagai aktor, masing-masing aktor ditawarkan alternatif dan pada tahap ini sangat penting untuk mengetahui apa alternatif yang ditawarkan oleh masing-masing aktor. Pada kondisi ini, pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negoisasi yang terjadi antara aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.


(23)

4. Tahap Penetapan Kebijakan

Setelah salah satu dari sekian alternatif kebijakan diputuskan, untuk di ambil sebagai cara memercahkan masalah kebijakan, maka tahap paling akhir dalam pembuat kebijakan adalah penetapan kebijakan, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Proses pembuatan kebijakan tidak dapat dipisahkan dengan proses penetapan atau pengesahan kebijakan.

Menurut Islamy (2000:100) proses pengesahan kebijakan adalah proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama tehadap prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-ukuran yang diterima.

Menurut Anderson dalam Islamy (2000:100), proses pengesahan kebijakan diawali dengan kegiatan: (a) Persuasion, yaitu usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran atau nilai kedudukan seseorang dan mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri; (b) Barganing, yaitu suatu proses dimana kedua orang atau lebih mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur setidak-tidaknya tujuan-tujuan mereka tidak sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak ideal bagi mereka. Barganing meliputi perjanjian (negotation); saling memberi dan menerima (take and give); dan kompromi (copromise). Pada tahap ini para aktor berjuang agar alternatifnya yang di terima dan juga terjadi interaksi dengan aktor-aktor lain yang memunculkan persuasion dan

bargaining. Penetapan kebijakan dilakukan agar sebuah kebijakan

mempunyai kekuatan hukum yang dapat mengikat dan ditaati oleh siapa saja, dan bentuk kebijakan yang dihasilkan seperti Undang-Undang, keputusan Presiden, keputusan-keputusan Menteri dan sebagainya.


(24)

Terdapat sejumlah model perumusan kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli antara lain : Model Institusional, Model Elit–Massa, Model Kelompok, Model Sistem–Politik, Model Rational-Comprehensive, Model Incremental, Model Mixed-Scanning1.

Untuk keperluan penelitian ini akan digunakan Model Elit-Massa. Model

elit-massa memandang administrator negara bukan sebagai “abdi rakyat” (servant of the people) tetapi lebih sebagai “kelompok-kelompok kecil yang telah

mapan”, (Islamy, 2000:39).

Kelompok elit yang bertugas membuat dan melaksanakan kebijaksanaan digambarkan dalam model ini sebagai mampu bertindak atau berbuat dalam suatu lingkungan yang ditandai dengan sikap massa yang apatis, kerancuan informasi, sehingga massa menjadi pasif. Kebijaksanaan negara mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari golongan elit ke golongan massa. Kelompok elit yang mempunyai kekuasaan dan nilai-nilai elit berbeda dengan massa. Dengan demikian, kebijaksanaan negara merupakan perwujudan keinginan-keinginan utama dan nilai-nilai golongan elit yang berkuasa.

Kebijaksanaan negara itu ditentukan semata-mata oleh kelompok elit, maka pejabat pemerintah hanyalah sekedar pelaksana-pelaksana dari kebijaksanaan yang telah ditetapkan oleh para elit. Pada dasarnya kebijaksanaan negara itu di buat sesuai dengan kepentingan kelompok elit, maka tuntutan dan keinginan rakyat banyak (non-elit) tidak diperhatikan.

1

Lihat Islamy, Irfan. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanan Negara. Jakarta, Bumi


(25)

Menurut Dye dalam Islamy (2000:40) Model elit-massa ini dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut:

a. Masyarakat dibagi menjadi dua yaitu kelompok kecil (golongan elit) yang mempunyai kekuasaan (penguasa) dan kelompok besar (golongan non-elit) yang tidak mempunyai kekuasaan (dikuasai).

b. Kelompok elit yang berkuasa tidak mempunyai tipe yang sama (berbeda) dengan kelompok non-elit yang dikuasai.

c. Perpindahan posisi/kedudukan dari non-elit harus diusahakan selambat mungkin dan terus menerus untuk mempertahankan stabilitas dan menghindari pergolakan (revolusi).

d. Gologan elit menggunakan konsensus tadi untuk mendukung nilai-nilai dasar dan sistem sosial dan untuk melindungi sistem tersebut.

e. Kebijaksanaan negara tidaklah menggambarkan keinginan masa tetapi keinginan elit.

f. Golongan elit yang aktif relatif sedikit sekali memperoleh pengaruh dari massa yang apatis atau pasif.

Model elit-massa digambarkan dengan bagan sebagai berikut:

Arah Kebijaksanaan

Pelaksanaan Kebijaksanaan

Sumber : M. Irfan Islamy, 2000:41

Gambar 1. Model Elit-Massa Elit

Pejabat Pemerintah


(26)

Elitisme mempunyai arti bahwa kebijaksanaan negara tidak begitu banyak mencerminkan keinginan rakyat tetapi keinginan elit. Hal ini menyebabkan perubahan dan pembaruan terhadap kebijaksanaan negara berjalan lambat dan ditentukan oleh penafsiran kembali nilai-nilai elit-elit tersebut. Kebijaksanaan negara sering diperbaiki tetapi jarang diubah, dan perubahan-perubahan itu terjadi jika ada peristiwa-peristiwa yang mengancam sistem politik dan perubahan-perubahan itu dilakukan semata-mata untuk melindungi sistem kedudukan elit.

Kesejahteraan massa mungkin dan boleh jadi merupakan suatu unsur yang penting bagi elit dalam membuat keputusan-keputusannya. Karena elitisme tidak berarti bahwa kebijaksanaan negara akan bertentangan dengan kesejahteraan massa, tetapi hanyalah berarti bahwa tanggungjawab kesejahteraan massa itu berada di tangan elit dan bukan pada massa.

Disamping itu, elitisme memandang massa sebagian besar pasif, apatis dan buta informasi tentang kebijaksanaan negara. Elit banyak mempengaruhi massa dan bukan sebaliknya serta komunikasi berjalan dari atas ke bawah. Akibatnya adalah masa sulit menguasai elit, dan massa hanyalah benar-benar memiliki pengaruh yang tidak langsung terhadap perilaku elit yang membuat keputusan.

Model elit ini secara khusus dikembangkan untuk menganalisis proses perumusan atau pembuatan kebijakan publik, yakni untuk menyoroti apa peran yang dimainkan oleh golongan elit dalam proses perumusan kebijakan publik itu dan bagaimana cara-cara mereka untuk memanipulasi atau memotong-kompas aspirasi rakyat. Sekalipun demikian, pada sisi lain model ini bisa pula digunakan untuk menganalisis proses implementasi kebijakan publik, berikut segala kemungkinan dampaknya pada masyarakat dan pembuat kebijakan itu sendiri. (Abdul Wahab, 2008:92).


(27)

Pada dasarnya kebijakan publik mencerminkan keinginan dan kehendak kaum elit saja, tanpa ada aspirasi masyarakat yang terserap didalamnya. Elit itu biasanya terdiri dari pemimpin, keluarganya, pengusaha yang dekat dengan keluarga, dan pemimpin militer (cendekiawan dan mahasiswa juga adalah elit, tapi biasannya mereka tidak aktif mendekati pemimpin, kecuali diminta), (Wibawa, 2011:17).

B.Alasan-alasan Perumusan Kebijakan Publik.

Pada proses kebijaksanaan yang baik menurut Jones dalam Abdul Wahab (2008:29):

Golongan rasionalis ciri-ciri utama dari kebanyakan golongan aktor rasionalis ialah bahwa dalam melakukan pilihan alternatif kebijaksanaan mereka selalu menempuh metode dan langkah-langkah berikut:

1. Mengidentifikasi masalah.

2. Merumuskan tujuan dan menyusunnya dalam jenjang tertentu. 3. Mengidentifikasi semua alternatif kebijaksanaan.

4. Meramalkan atau memprediksikan akibat-akibat dari tiap-tiap alternatif.

5. Membanndingkan akibat-akibat tersebut dengan selalu mengacu pada tujuan.

6. Dan memilih alternatif terbaik.

Penjelasan yang dikemukakan oleh Jones, merupakan ciri perumusan yang baik. Sehingga dijadikan suatu tolak ukur atau acuan untuk mengukur kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan tentang Kebijakan Pembangunan Patung Zainal Abidin Pagar Alam. Maka penjabaran mengenai golongan rasionalis yang mempunyai ciri-ciri:

1. Mengidentifikasi masalah yaitu bagaimana sebuah lembaga atau institusi yang mempunyai kewenangan dalam perumusan kebijakan publik dengan


(28)

mengelompokkan atau mengklasifikasikan masalah-masalah yang melatarbelakangi perumusan kebijakan tersebut untuk dilakukan.

2. Merumuskan tujuan dan menyusunnya dalam jenjang tertentu, yaitu bagaimana perumusan kebijakan mempunyai tujuan yang jelas. Sehingga kebijakan yang di buat dapat dijadikan cara untuk mengatasi permasalahan yang ada.

3. Mengidentifikasikan semua alternatif kebijaksanaan, yaitu bagaimana sebuah institusi atau lembaga mengelompokkan atau mengklasifikasikan semua alternatif yang ada yang dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada.

4. Meramalkan atau memprediksikan akibat-akibat dari tiap-tiap alternatif. Alternatif yang telah di identifikasi yang digunakan untuk memecahkan permasalahan yang ada, lalu alternatif-alternatif tersebut dinilai atau diprediksikan. Apa saja akibat-akibat yang timbul jika kebijakan tersebut diimplementasikan.

5. Membandingkan akibat-akibat tersebut selalu mengacu pada tujuan, yaitu seletah beberapa alternatif yang tersusun berjenjang sesuai dengan tingkat resiko dan penilaian yang paling baik untuk digunakan, maka perlu adanya pengkajian ulang apakah alternatif yang telah terpilih sesuai dengan tujuan awal dan salah satu upaya yang tepat dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang ada.

6. Memilih alternatif terbaik, setelah masalah-masalah yang timbul, diidentifikasikan dan diprediksikan akibat apa saja yang timbul jika kebijakan itu diimplementasikan. Maka bagian yang terakhir adalah


(29)

memilih alternatif terbaik untuk dijadikan cara dalam mengatasi permasalahan yang ada.

Berdasarkan pada ciri tersebut dapat dilihat bagaimana dalam perumusan kebijakan berusaha untuk menganalisis semua aspek dari setiap isu yang muncul dan menguji disetiap alternatif yang ada apakah alternatif terbaik yang pilih sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan, sehingga dengan menggunakan cara demikian suatu kebijakan yang dikeluarkan akan mempunyai tujuan yang jelas dan tepat sasaran demi kepentingan publik.

C.Interaksi Aktor-aktor dalam Perumusan Kebijakan Publik.

Pada pembahasan mengenai kebijakan publik, maka aktor mempunyai posisi yang sangat strategis bersama-sama dengan faktor kelembagaan (institusi) kebijakan itu sendiri. Interaksi aktor dan kelembagaan merupakan penentu proses perjalanan dan strategi yang dilakukan oleh komunitas kebijakan dalam makna yang lebih luas.

Menurut howlett dan Ramesh dalam Madani (2011:36) menjelaskan bahwa pada prinsipnya aktor kebijakan adalah mereka yang selalu dan harus terlibat dalam setiap proses analisa kebijakan publik, baik berfungsi sebagai perumus maupun kelompok penekan yang senantiasa aktif dan proaktif di dalam melakukan interaksi dan interelasi di dalam konteks analisis kebijakan publik.


(30)

Pendapat lain juga dikemukakan oleh Anderson dalam Madani (2011:37) bahwa aktor kebijakan meliputi aktor internal birokrasi dan aktor eksternal yang selalu mempunyai konsern terhadap kebijakan. Aktor individu maupun kelompok yang turut serta dalam setiap perbincangan dan perdebatan tentang kebijakan publik.

Berdasarkan pendapat ahli, maka dapat disimpulkan bahwa aktor kebijakan yaitu seorang maupun sekelompok orang yang terlibat dalam penentu kebijakan, baik pada proses perumusan, implementasi dan evaluasi kebijakan publik. Aktor kebijakan ini dapat berasal dari pejabat pemerintah, masyarakat, kaum buruh, maupun kelompok kepentingan.

Menurut Anderson dalam Madani (2011:41), menyatakan bahwa:

Dengan memperhatikan berbagai ragam dan pendekatan dalam memahai berbagai aktor yang terlibat dalam proses kebijakan publik, maka konsep dan konteks aktor adalah sangat terkait dengan macam dan tipologi kebijakan yang akan dianalisis. Dalam perspektif formulasi masalah kebijakan publik, maka aktor yang terlibat secara garis besarnya dapat dipilah menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok dalam organisasi birokrasi (the official policy makers) dan yang lain adalah keelompok di luar birokrasi (un-official policy maker).

Winarno dalam Madani (2011:41) berpandangan bahwa:

Kelompok yang terlibat dalam proses kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal. Kelompok formal seperti badan –badan administrasi pemerintah yang meliputi: eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sementara itu, kelompok non formal terdiri dari:

1. Kelompok kepentingan (interest groups), seperti kelompok buruh, dan kelompok perusahaan;

2. Kelompok partai politik; 3. Warga negara individual;

Kelompok besar tersebut kemudian jika dianalisis secara lebih detail maka aktor kebijakan yang sering kali terlibat dalam proses


(31)

perundingan dan pengambilan kebijakan internal birokrasi dapat berupa:

a. Mereka yang mempunyai kekuasaan tertentu (authoritative). Yang pertama adalah relevan dengan konsep yang selalu melibatkan tiga oknum penting di dalamnya yaitu lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.

b. Mereka yang tergolong sebagai partisipan atau aktor tidak resmi. Kelompok yang kedua adalah mereka yang secara serius seringkali terlibat di luar kelompok tersebut baik secara langsung mendukung ataupun menolak hasil kebijakan yang ada. Pada kelompok yang kedua inilah seringkali wujudnya dapat berupa kelompok kepentingan, aktor partai politik, aktor para ahli dan sarjana atau enterpreneur serta para intelektual yang ada.

Aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan dapat di bagi menjadi kelompok formal dan kelompok non formal. Kelompok formal biasanya terdiri dari aktor resmi yang mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan seperti eksekutif, legislatif dan eksekutif. Sedangkan pada aktor non formal terdiri dari masyarakat baik individu, kelompok kepentingan maupun aktor partai politik.

D.Alasan Umum Masyarakat Menolak Kebijakan.

Setiap kebijakan publik dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengawasi perilaku manusia dalam beberapa cara, untuk membujuk orang supaya bertindak sesuai dengan aturan atau tujuan yang ditentukan Pemerintah. Apakah yang berkenaan dengan kebijakan atau bermacam-macam hal seperti hak patent dan hak duplikasi, membuka perumahan, tarif harga, pencurian malam hari, produksi pertanian, atau penerimaan militer. Jika kebijakan tidak dapat dipenuhi, jika mereka tidak memakai cara yang ditentukan, atau jika


(32)

mereka berhenti mengerjakan apa yang ditentukan, maka kebijakan tersebut dikatakan tidak efektif atau secara ekstrem hasilnya nol.

Menurut Agustino dalam buku Dasar-dasar Kebijakan Publik (2008:160) ada beberapa faktor Penentu Penolakan atau Penundaan Kebijakan yaitu:

1. Adanya kebijakan yang bertentangan dengan sistem Nilai yang ada.

Bila suatu kebijakan di pandang bertentangan secara ekstrem atau secara tajam dengan sistem nilai yang di anut oleh suatu masyarakat secara luas, atau kelompok-kelompok tertentu secara umum, maka dapat dipastikan kebijakan publik yang hendak diimplementasikan akan sulit untuk terlaksana.

2. Tidak Adanya Kepastian Hukum

Tidak adanya kepastian hukum, ketidakjelasan aturan-aturan hukum, atau kebijakan-kebijakan yang saling bertentangan satu sama lain dapat menjadi sumber ketidakpatuhan warga pada kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang tidak jelas, kebijakan yang bertentangan isinya, atau kebijakan yang ambigu dapat menimbulkan kesalah pengertian, sehingga berkecenderungan untuk di tolak oleh warga untuk diimplementasikan.

3. Adanya keanggotaan seseorang dalam suatu Organisasi

Seseorang yang patuh atau tidak patuh pada peraturan atau kebijakan publik yang ditetapkan oleh pemerintah dapat disebagiankan oleh keterlibatannya dalam suatu organisasi tertentu. Jika tujuan organisasi yang dimasuki oleh orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi seide atau segagasan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka ia


(33)

akan mau bahkan mengejawantahkan atau melakukan ketetapan Pemerintah itu dengan tulus. Tetapi apabila tujuan organisasi yang dimasukinya bertolak belakang dengan ide dan gagasan organisasinya, maka sebagus apapun kebijakan yang sudah di buat oleh pemerintah akan sulit untuk terimplementasikan dengan baik.

4. Adanya Konsep Ketidakpatuhan Selektif Terhadap Hukum

Masyarakat ada yang patuh pada suatu jenis kebijakan tertentu, tetapi ada juga yang tidak patuh pada jenis kebijakan lain. Ada orang yang patuh dalam kebijakan kriminalitas tetapi di saat yang bersamaan ia dapat tidak patuh dengan kebijakan pelarangan pedagang kaki lima.

E.Kerangka Pikir

Pemerintah Daerah lebih memperhatikan dan memiliki tujuan yang mendasar dalam pembuatan kebijakan seperti tujuan kebijakan publik yang dikemukakan oleh Nugroho (2008:67), yaitu sebagai berikut :

1. Mendistribusi sumber daya negara kepada masyarakat, 2. Regulatif versus deregulatif,

3. Dinamisasi versus stabilisasi,

4. Memperkuat negara versus memperkuat masyarakat atau pasar.

Setiap kebijakan publik mempunyai tujuan yang ingin dicapai, agar dalam pelaksanaan kebijakan tersebut dapat di terima oleh lapisan masyarakat dan tidak mendapat penolakan dari masyarakat. Pada dasarnya kebijakan publik selalu mengandung multi-tujuan yaitu untuk menjadikan kebijakan itu sebagai


(34)

kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama.

Penulis harus mengetahui bagaimana proses perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam dengan menggunakan Teori Elit-Massa. Teori elit-massa merupakan abstraksi dari suatu proses pembuatan kebijakan, kebijakan negara itu ditentukan semata-semata oleh kelompok elit. Sehingga kebijakan publik mengalir dari atas ke bawah, yaitu dari golongan elit kepada golongan massa.

Penelitian ini untuk mengetahui alasan-alasan perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam mengatasi permasalahan yang ada. Selain itu, penelitian ini juga untuk memetakan interaksi aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik yaitu interaksi aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin pagar Alam.

Pada dasarnya kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam menimbulkan penolakan dari masyarakat, khususnya masyarakat Kabupaten Lampung Selatan. Oleh karena itu, penelitian ini juga untuk mengetahui alasan-alasan masyarakat menolak terhadap kebijakan yang di buat oleh Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dalam kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam.


(35)

III. METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis Perumusan Kebijakan Pembangunan Patung Zainal Abidin Pagar Alam, maka peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Alasan penulis menggunakan metode kualitatif, karena penelitian kualitatif sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan dari pihak-pihak yang terkait mengenai Analisis Perumusan Kebijakan Pembangunan Patung Zainal Abidin Pagar Alam dengan cara eksplorasi dan klarifikasi mengenai fenomena kenyataan social dengan mendeskripsikan mendalam kondisi riil di lapangan berdasarkan dukungan fakta dan informasi yang ada. Menurut Patton dalam Danim (1997:186) bahwa “pengumpulan informasi kualitatif digunakan pada studi kasus dan sintesis terfokus dan ada beberapa bentuk metode kualitaitf untuk mencari data primer”.


(36)

Pendapat lain dikemukakan oleh Bogdan dan Taylor dalam Moleong J Lexy (2008:4) menyatakan bahwa:

“penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dari prilaku yang diamati. Dengan kata lain bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data-data berupa kata-kata baik tertulis maupun lisan yang berasal dari objek yang akan diteliti.”

B.Fokus Penelitian

Fokus penelitian dimaksudkan untuk membatasi penelitian guna memilih data yang relevan dan data yang tidak relevan sehingga tidak perlu dimaksudkan dalam penelitian (Bungin, 2001:24). Fokus penelitian memberikan batasan dalam pengumpulan data sehingga dengan pembatasan ini peneliti akan memahami masalah-masalah yang menjadi tujuan penelitian.

Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui proses perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam dalam Model Elit-Massa.

2. Mengetahui alasan-alasan perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam di Kabupaten Lampung Selatan.

3. Untuk memetakan interaksi aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik.

4. Untuk mengetahui alasan-alasan masyarakat menolak kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam.


(37)

Berdasarkan fokus penelitian di atas, penulis akan membatasi penelitian dengan mengetahui proses perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam dalam Model Elite-Massa, apa saja alasan-alasan perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam, dan untuk memetakan interaksi aktor-aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Selain itu, penelitian ini juga untuk mengetahui alasan-alasan masyarakat menolak kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam di Kabupaten Lampung Selatan.

C.Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat peneliti melakukan penelitian dengan melihat fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat dan valid. Lokasi penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lampung Selatan, alasan memilih tempat ini karena patung Zainal Abidin Pagar Alam terdapat di Kabupaten Lampung Selatan yang mendapatkan penolakan dari masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Lampung Selatan.


(38)

D.Jenis Data

Menurut Lofland dalam Moleong J Lexy (2008;157) sumber data utama dari penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Berkaitan dengan hal tersebut maka penelitian ini jenis datanya di bagi kedalam kata-kata, tindakan dan sumber data tertulis.

1. Data Primer

Data Primer penelitian ini di dapat melalui wawancara (pedoman wawancara terlampir) yang akan peneliti lakukan dengan orang-orang yang di angggap penting dan mengetahui permasalahan yang akan diteliti.

Informan adalah orang/lembaga yang akan dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian. Agar informasi yang di dapat lebih akurat dan aktual maka informan dimaksud haruslah mengetahui dan memahami sepenuhnya mengenai obyek kajian yang diteliti. Dalam konteks ini, informan sebagaimana dijelaskan di atas ditentukan secara Purposive Sampling yaitu berdasarkan pemikiran logis informan sengaja di pilih oleh peneliti guna memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian.

Winarno dalam Madani (2011:41) menjelaskan bahwa kelompok yang terlibat dalam proses kebijakan publik adalah kelompok formal dan kelompok non formal. Kelompok formal seperti badan-badan administrasi


(39)

pemerintah yang meliputi eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sementara kelompok non formal terdiri dari kelompok kepentingan (kelompok buruh dan kelompok perusahaan), kelompok partai politik, dan warga negara individual.

Sumber informasi dalam penelitian ini adalah : a. Kelompok Formal yaitu:

1. Eksekutif (Bappeda)

a. Edarwan, selaku Kepala Bappeda Kabupaten Lampung Selatan. Wawancara, Senin 15 April 2013 pukul 15:58.

b. Agustinus Oloan, selaku Kepala Sub Bidang Prasarana Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, Pemukiman dan Pengairan Bappeda Kabupaten Lampung Selatan. Wawancara, Rabu 10 April 2013 pukul 13:25.

2. Komisi A DPRD Kabupaten Lampung Selatan

a. Syahirul Alim, selaku Wakil Ketua Komisi A bidang Pemerintahan. Wawancara, hari Senin 13 Mei 2013 pukul 10:45. b. Zainal Abidin, selaku Sekertaris Komisi A bidang Pemerintahan.

Wawancara, hari Senin 13 Mei 2013 pukul 13:00. 3. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lampung Selatan

a. Karsono selaku Kasi Konstruksi Bidang Cipta Karya. Wawancara, hari Senin 20 Mei 2013 Pukul 10:15.


(40)

b. Kelompok Non Formal yaitu:

1. Azhar MZ. Pangeran Tihang Marga selaku Tokoh Adat Marga Legun Kabupaten Lampung Selatan. Wawancara, hari Sabtu 13 April 2013 pukul 09:45.

2. David Merison, Pangeran Penimang Agung selaku Tokoh Adat Marga Rajasaba Kabupaten Lampung Selatan. Wawancara, hari Sabtu 13 April 2013 pukul 10:45.

3. Sahbudin Usman selaku Tokoh Pemuda Himals Kabupaten Lampung Selatan. Wawancara, hari Selasa 14 Mei 2013 pukul 10:00.

4. Yudi Suprayoga selaku Tokoh Pemuda Himals Kabupaten Lampung Selatan. Wawancara, hari Rabu 15 Mei 2013 pukul 13:00.

5. Muhtar selaku Tokoh Masyarakat Forlas Kabupaten Lampung Selatan. Wawancara, hari Rabu tanggal 22 Mei 2013 pukul 13:00. 6. Ahmad Jaylani selaku Ketua Umum LMND Kabupaten Lampung

Selatan. Wawancara, hari Minggu 07 Juli 2013 pukul 11:00.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang di peroleh dari dokumen-dokumen (data tidak langsung) melalui buku-buku, media massa, referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti tentang analisis kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam.


(41)

Berikut merupakan daftar dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian ini:

No Dokumen-Dokumen Substansi

1 Lampung Selatan Dalam Angka (LSDA) 2012

Memberikan informasi

mengenai kondisi Kabupaten

Lampung Selatan 2 Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Lampung Selatan Nomor 05 tahun 2013 tentang Perubahan susunan personalia alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Selatan.

Memberikan

informasi tentang perubahan susunan personalia

3 Peraturan Bupati Lampung Selatan Nomor 12 Tahun 2013 tentang Rincian tugas jabatan badan perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Lampung Selatan

Memberikan

informasi tugas jabatan Bappeda Sumber: Olah Data, Juni 2013

E.Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan metode penelitian maka untuk memperoleh data-data maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data dengan:

1. Wawancara.

Wawancara adalah pertemuan antara peneliti dan informan, yang jawaban informan akan menjadi data mentah. Menurut Stedward dalam Harrison (2009:104) mengatakan wawancara adalah alat yang baik untuk menghidupkan topik riset, wawancara juga merupakan metode bagus untuk pengumpulan data tentang subjek kontemporer yang belum dikaji secara ekstensif dan tidak banyak literatur yang membahasnya.


(42)

Peneliti datang ke Kabupaten Lampung Selatan untuk melakukan wawancara kepada informan dengan menggunakan sistem Purposive Sampling yaitu berdasarkan pemikiran logis informan yang sengaja di pilih oleh peneliti guna memperoleh informasi yang sesuai dengan permasalahan penelitian.

Peneliti mengelompokkan informan menjadi 2 kategori yaitu kelompok formal dan kelompok informal. Kelompok formal terdiri dari Eksekutif (Bappeda Kabupaten Lampung Selatan) yang berjumlah 2 orang yaitu Bapak Edwarwan dan Bapak Agustinus Oloan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Lampung Selatan yang berjumlah 2 orang yaitu bapak Syahirul Alim dan Bapak Zainal Abidin, dan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lampung Selatan yaitu Bapak Karsono. Pada kelompok formal ini, peneliti melakukan wawancara di kantor Bappeda Kabupaten Lampung Selatan, kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan dan kantor Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lampung Selatan.

Kelompok non formal terdiri dari Tokoh Adat yang berjumlah 2 orang yaitu Bapak Azhar dan Bapak David, Tokoh Masyarakat yang berjumlah 2 orang yaitu Bapak Muhtar dan saudara Ahmad Jaylani, dan Tokoh Pemuda berjumlah 2 orang yaitu Sahbudin Usman dan Yudi Suprayoga. Pada kelompok non formal ini, peneliti melakukan wawancara di Sekretariat dan di kediaman tokoh adat dan tokoh pemuda.


(43)

Kendala utama peneliti pada saat mengambil data adalah sikap aparat pemerintah yaitu Bappeda, DPRD dan Dinas PU yang sedikit kaku dan tertutup. Hal ini dikarenakan aparat pemerintah menganggap bahwa peneliti adalah utusan dari pihak masyarakat yang mencari informasi, mengapa kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam di buat dan disetujui.

Peneliti membutuhkan tenaga ekstra untuk menjelaskan dan menerangkan siapa peneliti sebenarnya dan apa tujuan peneliti sebelum melakukan wawancara kepada setiap aparat pemerintah yang masuk dalam kategori informan berdasarkan Purposive Sampling yang telah ditetapkan sebelumnya.

Sikap aparat pemerintah yang tertutup adalah hal yang wajar, mengingat kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin menimbulkan penolakan yang berupa perobohan patung tersebut. Aparat menganggap bahwa kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin ini tidak perlu di ulas kembali karena ditakutkan akan menjadi menimbulkan permasalahan di Kabupaten Lampung Selatan.

Hal berbeda yang peneliti rasakan pada saat peneliti melakukan wawancara kepada masyarakat. Peneliti disambut dengan baik dan peneliti mendapatkan data yang cukup. Masyarakat mengeluarkan semua keluh kesah yang dirasakan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan. Masyarakat berharap pemerintah Kabupaten Lampung Selatan menjalankan Pemerintahan dengan baik dan bertanggung jawab.


(44)

2. Studi Dokumentasi

Menurut Nawawi (1991:33) dokumen yang berupa tulisan atau film bagi peneliti dapat digunakan untuk proses (melalui pencatatan, pengetikan, atau alat tulis), tetapi kualitatif tetap menggunakan kata-kata, yang biasanya disusun kedalam teks yang diperluas. Teknik dokumentasi pada penelitian ini dengan cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis.

Dengan demikian teknik ini peneliti mempelajari berbagai sember data seperti deokumen tentang Lampung Selatan Dalam Angka (LSDA) 2012, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 05 tahun 2013 tentang Perubahan susunan personalia alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Selatan, Peraturan Bupati Lampung Selatan Nomor 12 Tahun 2013 tentang Rincian tugas jabatan badan perencanaan pembangunan daerah Kabupaten Lampung Selatan dan foto-foto peneliti dengan beberapa informan yang terdiri dari Bappeda, Dinas PU, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda dan Tokoh Masyarakat. Dokumentasi yang berupa foto-foto peneliti dengan informan dijadikan sebagai bukti bahwa peneliti sudah melakukan penelitian.


(45)

F. Teknik Pengolahan Data

Setelah data diperoleh oleh peneliti dan terkumpul dari lapangan, tahap selanjutnya adalah mengolah data tersebut. Adapun kegiatan dalam pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Editing

Teknik mengolah data dengan meneliti kembali data yang telah diperoleh melalui wawancara mendalam, maupun dokumentasi untuk menghindari kekeliruan dan kesalahan. Tahap editing yang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian ini menyajikan hasil wawancara dan dokumentasi dari Bappeda Kabupaten Lampung Selatan, yakni berupa kalimat-kalimat yang kurang baku disajikan dengan menggunakan kalimat baku dan bahasa yang mudah dipahami, sehingga dapat dimengerti oleh pembaca.

2. Interpretasi

Interpretasi merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan. Pembahasan hasil penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh dilapangan.


(46)

G.Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif, maka teknis analisis datanya disajikan dalam bentuk paparan atau gambaran dari temuan-temuan dilapangan baik berupa data dan informasi hasil wawancara, dokumentasi dan lain sebagainya. Menurut Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman (1992:37), Teknik analisis data sebagai berikut:

1. Reduksi Data

Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, mengabstrakkan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Setelah peneliti memperoleh data, harus lebih dahulu dikaji kelayakannya dengan memilih data mana yang benar-benar dibutuhkan dalam penelitian ini.

2. Penyajian Data

Penyajian data dibatasi sebagai usaha menampilkan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dengan penyajian tersebut akan dapat dipahami apa yang terjadi dan apa yang harus dilakukan, menganalisis ataukah mengambil tindakan berdasarkan pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.


(47)

3. Kesimpulan (Verifikasi)

Kesimpulan diverifikasi selama penelitian berlangsung, makna-makna yang muncul dari data yang ada diuji kebenaran, kekokohan, dan kecocokannya yang merupakan validitasnya, sehingga akan diperoleh kesimpulan yang jelas kebenaran dan kegunaanya.


(48)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A.Gambaran Umum Kabupaten Lampung Selatan

1. Sejarah Singkat Kabupaten Lampung Selatan

Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar pokok Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar tersebut, pada bab VI pasal 18 disebutkan bahwa pembagian daerah di Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang serta memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam Sistem Pemerintahan Negara dan Hak-hak Asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Sebagai realisasi dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, lahirlah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-undang ini mengatur tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang pada hekekatnya adalah Undang-undang pemerintah di daerah yang pertama. Isinya antara lain mengembalikan kekuasaan Pemerintahan di daerah kepada aparatur berwenang yaitu Pamong Praja dan Polisi. Selain itu, untuk menegakkan pemerintahan di daerah yang rasional dengan mengikut sertakan


(49)

wakil-wakil rakyat atas dasar kedaulatan rakyat. Selanjutnya disusul dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tentang Pembentukan Daerah Otonom dalam wilayah Republik Indonesia yang susunan tingkatannya sebagai berikut:

1. Propinsi Daerah Tingkat I;

2. Kabupaten/Kotamadya (Kota Besar) Daerah Tingkat II; 3. Desa (Kota Kecil) Daerah Tingkat III.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, maka lahirlah Propinsi Sumatera Selatan dengan Perpu Nomor 3 tanggal 14 Agustus 1950, yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Sumatera Selatan Nomor 6 tahun 1950. Dalam perkembangan selanjutnya, pada bulan Februari tahun 1946, tentara Jepang yang menduduki daerah Lampung telah selesai seluruhnya meninggalkan Lampung menuju Palembang. Namun demikian, sejak negara Republik Indonesia diproklamirkan, sistem Pemerintahan Jepang masih diteruskan. Pada Surat Keputusan Gubernur Sumatera (Medan) tanggal 17 Mei 1946 Nomor 113, Karesidenan Lampung dibagi menjadi 3 Kabupaten, 11 Kawedanan. Setiap Kawedanan dibagi atas beberapa Kecamatan dan setiap Kecamatan dibagi lagi menjadi beberapa Marga.

Kabupaten-kabupaten dan Kawedanan-kawedanan di daerah Karesidenan Lampung itu adalah:

1. Kabupaten Lampung Utara dengan Kawedanan: 1. Kawedanan Menggala Bupati: Burhanuddin 2. Kawedanan Kotabumi

3. Kawedanan Way Kanan 4. Kawedanan Krui

2. Kabupaten Lampung Tengah, dengan Kawedanan: 1. Kawedanan Sukadana Bupati: Zainabun 2. Kawedanan Metro


(50)

3. Kabupaten Lampung Selatan, dengan Kawedanan: 1. Kawedanan Kalianda Bupati: R. A. Basyid 2. Kawedanan Telukbetung

3. Kawedanan Kedondong

(http://arizka-giddens.blogspot.com/2011/08/sejarah-pembentukan-provinsi-lampung.html diakses pada hari Selasa 11 Juni 2013 Pukul 20:00)

Bedasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1950 tentang Pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah untuk Daerah Propinsi, Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil, maka keluarlah Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Selatan Nomor 6 tahun 1950 tentang Pembentukan DPRD Kabupaten di seluruh Provinsi Sumatera Selatan.

Perkembangan selanjutnya, guna lebih terarahnya pemberian otonomi kepada daerah bawahannya, diatur selanjutnya dengan Undang-Undang Darurat Nomor 4 tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten dalam lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 14 Kabupaten, diantaranya Kabupaten Lampung Selatan beserta DPRD-nya dan 7 (tujuh) buah Dinas otonom. Untuk penyempurnaan lebih lanjut tentang struktur Pemerintahan Kabupaten, lahirlah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 yang tidak jauh berbeda dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948. Hanya dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 dikenal dengan sistem otonomi riil yaitu pemberian otonomi termasuk medebewind. Kemudian untuk lebih sempurnanya sistem Pemerintahan Daerah, lahirlah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang mencakup semua unsur-unsur progresif daripada:


(51)

1. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948; 3. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957; 4. Penpres Nomor 6 tahun 1959;

5. Penpres Nomor 5 tahun 1960.

Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 dimaksud sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman, maka Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 ditinjau kembali. Sebagai penyempurnaan, lahirlah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang sifatnya lebih luas dari Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965. Undang-undang ini tidak hanya mengatur tentang Pemerintahan saja, tetapi lebih luas dari itu, termasuk dinas-dinas vertikal (aparat pusat di daerah) yang diatur pula di dalamnya.

Selain itu, Undang Nomor 5 tahun 1974 diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang kemudian disempurnakan oleh Undang Nomor 32 tahun 2008. Undang-undang yang terakhir ini lebih jelas dan tegas menyatakan bahwa prinsip yang dipakai bukan lagi otonomi riil dan seluas-luasnya, tetapi otonomi nyata dan bertanggung jawab serta bertujuan pemberian otonomi kepada daerah untuk meningkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan.


(52)

2. Letak Geografi

Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 105°14’ sampai dengan 105°45’ Bujur Timur dan 5°15’ sampai dengan 6° Lintang Selatan. Mengingat letak yang demikian ini, daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia merupakan daerah tropis.

Kabupaten Lampung Selatan bagian Selatan meruncing dan mempunyai sebuah teluk besar yaitu Teluk Lampung. Di Teluk Lampung terdapat sebuah pelabuhan yaitu Pelabuhan Panjang, dimana kapal-kapal dalam dan luar negeri dapat merapat. Secara umum, pelabuhan ini merupakan faktor yang sangat penting bagi kegiatan ekonomi penduduk Lampung. Sejak tahun 1982, Pelabuhan Panjang termasuk dalam wilayah Kota Bandar Lampung.

Kabupaten Lampung Selatan masih mempunyai sebuah pelabuhan yang terletak di Kecamatan Penengahan, yaitu Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni, yang merupakan tempat transit penduduk dari pulau Jawa ke Sumatera dan sebaliknya. Dengan demikian, Pelabuhan Bakauheni merupakan pintu gerbang pulau Sumatera bagian Selatan. Jarak antara pelabuhan Bakauheni (Lampung Selatan) dengan pelabuhan Merak (Provinsi Banten) kurang lebih 30 kilometer, dengan waktu tempuh kapal penyeberangan sekitar 1,5 jam.


(53)

Daerah Kabupaten Lampung Selatan mempunyai daerah daratan kurang lebih 2.007,01 km², dengan kantor Pusat Pemerintahan di Kota Kalianda, yang diresmikan menjadi Ibukota Kabupaten Lampung Selatan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 11 Februari 1982. Sampai saat ini Kabupaten Lampung Selatan telah mengalami pemekaran dua kali. Pertama berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997 yang ditetapkan pada tanggal 3 Januari 1997 tentang pembentukan Kabupaten Tanggamus. Kemudian yang kedua berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Pesawaran tanggal 10 Agustus 2008. Wilayah administrasi Kabupaten Lampung Selatan mempunyai batas-batas sebagai berikut:

Sebelah Utara : berbatasan dengan wilayah Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Timur;

Sebelah Selatan : berbatasan dengan Selat Sunda;

Sebelah Barat : berbatasan dengan wilayah Kabupaten Pesawaran; Sebelah Timur : berbatasan dengan Laut Jawa.

3. PENDUDUK

Jumlah Penduduk Kabupaten Lampung Selatan berdasarkan hasil Proyeksi Penduduk tahun 2011 berjumlah 922.397 jiwa, yang terdiri dari 476.053 jiwa laki-laki dan 446.344 perempuan. Sex ratio penduduk atau perbandingan jumlah penduduk laki-laki dengan perempuan 106,66 yang berarti bahwa setiap 100 jiwa perempuan terdapat 106 laki-laki.


(54)

Berdasarkan data yang ada, penduduk Kabupaten Lampung Selatan secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu Penduduk Asli Lampung dan Penduduk Pendatang. Penduduk Asli Lampung, khususnya sub suku Lampung Peminggir, umumnya berkediaman di sepanjang pantai pesisir, seperti di Kecamatan Penengahan, Kalianda, Katibung. Penduduk sub suku Lampung yang lain tersebar di seluruh Kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan.

Penduduk yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari bermacam-macam suku dari seluruh Indonesia, seperti dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Aceh dan lain-lain. Dari semua suku tersebut, yang merupakan penduduk pendatang yang terbesar adalah berasal dari pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten dan Yogyakarta). Besarnya penduduk Lampung Selatan yang berasal dari pulau Jawa dimungkinkan oleh adanya kolonisasi pada zaman penjajahan Belanda, dan dilanjutkan dengan transmigrasi pada masa setelah kemerdekaan, disamping perpindahan penduduk secara swakarsa dan spontan.


(55)

Tabel 1. Nama Ibukota Kecamatan, Banyaknya Desa/Kelurahan dan Luas Kabupaten Lampung Selatan menurut Kecamatan, 2011

Kecamatan Ibu Kota Banyaknya

Desa / Kelurahan Luas Km2 Persentase Terhadap Total

1 2 4 5 6

1. Natar Merak Batin 22 213,77 10,65

2. Jati Agung Marga Agung 21 164,47 8,19

3. Tangjung bintang Jati Baru 16 129,72 6,46

4. Tangjung Sari Merbau

Mataram

8 103,32 5,15

5. Katibung Tanjung Ratu 12 175,77 8,76

6. Merbau Mataram Merbau

Mataram

15 113,94 5,68

7. Way Sulan Karang Pucung 8 46,54 2,32

8. Sidomulyo Sidorejo 15 122,53 6,11

9. Candipuro Titiwangi 14 84,69 4,22

10. Way Panji Sidoharjo 4 38,45 1,92

11. Kalianda Kalianda 27 161,40 8,04

12. Rajabasa Banding 15 100,39 5,00

13. Palas Bangunan 21 171,39 8,54

14. Sragi Kuala

Sekampung

10 81,92 4,08

15. Penengahan Pasuruan 22 132,98 6,63

16. Ketapang Bangun Rejo 16 108,60 5,41

17. Bakauheni Hatta 5 57,13 2,85

Jumlah 251 2 007,01 100,00

Sumber : Bagian Otonomi Daerah Pemda Kab. Lampung Selatan

4. Pendidikan

Data pendidikan yang disajikan adalah data pendidikan di sekolah umum maupun lembaga pendidikan keagamaan, dengan rincian : jumlah sekolah, kelas, guru dan murid dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas. Jumlah sekolah umum di Kabupaten Lampung Selatan sebanyak 872 sekolah, yang terdiri dari 553 sekolah negeri dan 319 sekolah swasta. Untuk tingkat TK terdapat 170 sekolah dengan jumlah murid dan guru yang tercatat masing-masing sebanyak 6.825 murid dan 687 guru. Pada tingkat SD, lebih dari 95 persennya adalah sekolah negeri sedangkan untuk tingkat SMP jumlah sekolah swasta lebih banyak dari


(56)

sekolah negeri dengan persentase SMP negeri tidak mencapai 40 persen. Tingkat SMA/K tidak jauh berbeda dengan SMP dimana persentase SMA/K negeri hanya 26,74 persen dan sisanya adalah SMA/K swasta.

Untuk lembaga pendidikan Agama Islam yang berada di bawah naungan Kantor Kementerian Agama berjumlah 330 lembaga pendidikan yang terdiri dari 72 RA, 128 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 97 Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan 33 Madrasah Aliyah (MA). Dari 330 lembaga pendidikan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, lembaga pendidikan swasta jauh lebih banyak disbanding lembaga pendidikan negeri (lebih dari 95 persen adalah lembaga pendidikan swasta).

B.Gambaran Umum Bappeda Kabupaten Lampung Selatan

1. Tugas Pokok dan Fungsi Bappeda Kabupaten Lampung Selatan

Tugas pokok dang fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Selatan terdapat di dalam Peraturan Bupati Lampung Selatan Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Rincian Tugas Jabatan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Selatan.

Pada bab II pasal 2, Susunan Organisasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Lampung Selatan sebagai berikut:

1. Kepala Badan;

2. Sekretaris, membawahi:


(57)

b. Kepala Sub Bagian Perencanaan; c. Kepala Sub Bagian Keuangan. 3. Kepala Bidang Ekonomi, membawahi:

a. Kepala Sub Bidang Pertanian, Perikanan, Pariwisata, Kehutanan dan Perkebunan;

b. Kepala Sub Bidang Industri, Dunia Usaha, Keuangan dan Pertambangan.

4. Kepala Bidang Pemerintahan, Sosial, dan Budaya, membawahi: a. Kepala Sub Bidang Pemerintahan dan Kependudukan;

b. Kepala Sub Bidang Pendidikan, Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial.

5. Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Wilayah, membawahi: a. Kepala Sub Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup

b. Kepala Sub Bidang Prasarana Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, Permukiman dan Pengairan.

6. Kepala Bidang Penelitian Pengembangan dan Pendataan, membawahi: a. Kepala Sub Bidang Penelitian Pengembangan;

b. Kepala Sub Bidang Pendataan.

7. Kepala Bidang Pengendalian, membawahi;

a. Kepala Sub Bidang Monitoring dan Pelaporan;

b. Kepala Sub Bidang Evaluasi dan Analisis Pembangunan Daerah. 8. Unit Pelaksana Teknis; dan

9. Kelompok Jabatan Fungsional.

Sedangkan pada Pasal 3, Struktur Organisasi yaitu bagan struktur organisasi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah sebagaimana tercantum pada lampiran dan merupakan bagan yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini.


(58)

C.Gambaran Umum DPRD Kabupaten Lampung Selatan

Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2011 terbagi dalam 17 kecamatan, 248 desa, dan 3 kelurahan. Dari keseluruhan desa yang ada, 248 desa sudah berstatus definif. Pelaksanaan pemerintahan daerah Kabupaten Lampung Selatan diawasi oleh wakil-wakil rakyat melalui DPRD. Pada tahun 2011, sebagian besar anggota DPRD Kabupaten Lampung Selatan berasal dari fraksi Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). DPRD Kabupaten Lampung Selatan terdiri atas beberapa komisi, yaitu Komisi A (Bidang Pemerintahan), Komisi B (Bidang Perekonomian dan Keuangan), Komisi C (Bidang Pembangunan), dan Komisi D (Bidang Kesejahteraan Masyarakat). Jumlah anggota DPRD Kabupaten Lampung Selatan secara keseluruhan adalah 45 orang.

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor: 05/DPRD-LS/2013 tentang perubahan susunan personalia alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Selatan.

Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terdapat di dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Selatan Nomor 04 Tahun 2010 Tentang Tata Tertib dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lampung Selatan.


(59)

D.Gambaran Umum Masyarakat Kabupaten Lampung Selatan.

1. Adat Istiadat.

Pada dasarnya jurai Ulun Lampung adalah berasal dari Sekala Brak, namun dalam perkembangannya, secara umum masyarakat adat Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat Lampung Saibatin dan masyarakat adat Lampung Pepadun. Masyarakat Adat Saibatin kental dengan nilai aristokrasinya, sedangkan Masyarakat adat Pepadun yang baru berkembang belakangan kemudian setelah seba yang dilakukan oleh orang abung ke banten lebih berkembang dengan nilai demokrasinya yang berbeda dengan nilai-nilai Aristokrasi yang masih dipegang teguh oleh Masyarakat Adat Saibatin. a. Masyarakat adat Lampung Saibatin.

Masyarakat Adat Lampung Saibatin mendiami wilayah adat: Labuhan Maringgai, Pugung, Jabung, Way Jepara, Kalianda, Raja Basa, Teluk Betung, Padang Cermin, Cukuh Balak, Way Lima, Talang Padang, Kota Agung, Semaka, Suoh, Sekincau, Batu Brak, Belalau, Liwa, Pesisir Krui, Ranau, Martapura, Muara Dua, Kayu Agung, empat kota ini ada di Propinsi Sumatera Selatan, Cikoneng di Pantai Banten dan bahkan Merpas di Selatan Bengkulu. Masyarakat Adat Saibatin seringkali juga dinamakan Lampung Pesisir karena sebagian besar berdomisili di sepanjang pantai timur, selatan dan barat lampung, masing masing terdiri dari:


(60)

1. Paksi Pak Sekala Brak (Lampung Barat) 2. Keratuan Melinting (Lampung Timur) 3. Keratuan Darah Putih (Lampung Selatan) 4. Keratuan Semaka (Tanggamus)

5. Keratuan Komering (Provinsi Sumatera Selatan) 6. Cikoneng Pak Pekon (Provinsi Banten).

b. Masyarakat adat Lampung Pepadun

Masyarakat beradat Pepadun/Pedalaman terdiri dari:

1. Abung Siwo Mego (Unyai, Unyi, Subing, Uban, Anak Tuha, Kunang, Beliyuk, Selagai, Nyerupa). Masyarakat Abung mendiami tujuh wilayah adat: Kotabumi, Seputih Timur, Sukadana, Labuhan Maringgai, Jabung, Gunung Sugih, dan Terbanggi.

2. Mego Pak Tulangbawang (Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji, Puyang Tegamoan). Masyarakat Tulangbawang mendiami empat wilayah adat: Menggala, Mesuji, Panaragan, dan Wiralaga.

3. Pubian Telu Suku (Minak Patih Tuha atau Suku Manyarakat, Minak Demang Lanca atau Suku Tambapupus, Minak Handak Hulu atau Suku Bukujadi). Masyarakat Pubian mendiami delapan wilayah adat: Tanjungkarang, Balau, Bukujadi, Tegineneng, Seputih Barat, Padang Ratu, Gedungtataan, dan Pugung.

4. Sungkay Way Kanan Buay Lima (Pemuka, Bahuga, Semenguk, Baradatu, Barasakti, yaitu lima keturunan Raja Tijang Jungur). Masyarakat Sungkay Way Kanan mendiami sembilan wilayah adat: Negeri Besar, Ketapang, Pakuan Ratu, Sungkay, Bunga Mayang, Blambangan Umpu, Baradatu, Bahuga, dan Kasui.


(61)

c. Falsafah Hidup Ulun Lampung.

Falsafah Hidup Ulun Lampung termaktub dalam kitab Kuntara Raja Niti, yaitu:

1. Piil-Pusanggiri (malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri)

2. Juluk-Adok (mempunyai kepribadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya)

3. Nemui-Nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu)

4. Nengah-Nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis)

5. Sakai-Sambaian (gotong-royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya).

Sifat-sifat di atas dilambangkan dengan ‘lima kembang penghias sigor’ pada lambang Provinsi Lampung.

d. Bahasa Lampung.

Bahasa Lampung, adalah sebuah bahasa yang dipertuturkan oleh Ulun Lampung di Propinsi Lampung, selatan palembang dan pantai barat Banten. Bahasa ini termasuk cabang Sundik, dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia barat dan dengan ini masih dekat berkerabat dengan bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Jawa, bahasa Bali, bahasa Melayu dan sebagainya.

Berdasarkan peta bahasa, Bahasa Lampung memiliki dua subdilek. Pertama, dialek A (api) yang dipakai oleh ulun Sekala Brak, Melinting Maringgai, Darah Putih Rajabasa, Balau Telukbetung, Semaka Kota Agung, Pesisir Krui, Ranau, Komering dan Daya (yang beradat Lampung Saibatin), serta Way Kanan, Sungkai, dan Pubian (yang beradat Lampung


(62)

Pepadun). Kedua, subdialek O (nyo) yang dipakai oleh ulun Abung dan Tulangbawang (yang beradat Lampung Pepadun). Bahasa Lampung diklasifikasikan dalam Dua Sub Dialek, yaitu Dialek Belalau atau Dialek Api dan Dialek Abung atau Nyow.

e. Aksara Lampung.

Aksara lampung yang disebut dengan Had Lampung adalah bentuk tulisan yang memiliki hubungan dengan aksara Pallawa dari India Selatan. Macam tulisannya fonetik berjenis suku kata yang merupakan huruf hidup seperti dalam Huruf Arab dengan menggunakan tanda tanda fathah di baris atas dan tanda-tanda kasrah di baris bawah tapi tidak menggunakan tanda dammah di baris depan melainkan menggunakan tanda di belakang, masing-masing tanda mempunyai nama tersendiri.

Had Lampung dipengaruhi dua unsur yaitu Aksara Pallawa dan Huruf Arab. Had Lampung memiliki bentuk kekerabatan dengan aksara Rencong, Aksara Rejang Bengkulu dan Aksara Bugis. Had Lampung terdiri dari huruf induk, anak huruf, anak huruf ganda dan gugus konsonan, juga terdapat lambing, angka dan tanda baca. Had Lampung disebut dengan istilah KaGaNga ditulis dan dibaca dari kiri ke kanan dengan Huruf Induk berjumlah 20 buah.

Aksara lampung telah mengalami perkembangan atau perubahan. Sebelumnya Had Lampung kuno jauh lebih kompleks. Sehingga dilakukan penyempurnaan sampai yang dikenal sekarang. Huruf atau Had Lampung


(63)

yang diajarkan di sekolah sekarang adalah hasil dari penyempurnaan tersebut.

2. Sosial Budaya dan Agama.

Berdasarkan data yang ada penduduk Kabupaten Lampung Selatan secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu penduduk asli Lampung dan penduduk pendatang. Penduduk asli khususnya sub suku Lampung Peminggir umumnya berkediaman di sepanjang pesisir pantai. Penduduk sub suku lainnya tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Penduduk pendatang yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari bermacam-macam suku dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Dari semua suku pendatang tersebut jumlah terbesar adalah pendatang dari Pulau Jawa.

Besarnya penduduk yang berasal dari Pulau Jawa dimungkinkan oleh adanya kolonisasi pada zaman penjajahan Belanda dan dilanjutkan dengan transmigrasi pada masa setelah kemerdekaan, disamping perpindahan penduduk secara swakarsa dan spontan. Beragamnya etnis penduduk di Kabupaten Lampung Selatan mungkin juga disebabkan karena Kabupaten Lampung Selatan sebagian besar adalah wilayah pantai sehingga banyak nelayan yang bersandar dan menetap.


(64)

Para nelayan ini pada umumnya mendiami wilayah pantai timur dan selatan, yang sebagian besar berasal dari pesisir selatan Pulau Jawa dan Sulawesi Selatan. Dengan beragamnya etnis penduduk yang bertempat tinggal di Kabupaten Lampung Selatan, maka beragam pula adat dan kebiasaan masyarakatnya sesuai dengan asal daerahnya.

Adat kebiasaan penduduk asli yang saat ini masih sering terlihat adalah pada acara-acara pernikahan. Penduduk Kabupaten Lampung Selatan dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum adat tersendiri. Hukum adat tersebut berbeda antara yang satu dengan lainnya. Secara umum penduduk asli Lampung yang terdapat di Kabupaten Lampung Selatan dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat Lampung Peminggir yang merupakan mayoritas suku Lampung di Kabupaten Lampung Selatan dan kelompok kedua yaitu masyarakat Lampung Pepadun. (sumber : Lampung Selatan Dalam Aangka, LSDA-2012).


(1)

104

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan telah dikemukakan, maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal Abidin Pagar

Alam dibuat berdasarkan model Elite-Massa, konsekuensi model

Elit-Massa menimbulkan resistensi (penolakan) masyarakat khususnya

masyarakat Kabupaten Lampung Selatan.

2. Terdapat 2 alasan perumusan kebijakan pembangunan patung Zainal

Abidin Pagar Alam yaitu sebagai pengembangan kota Kalianda sebagai

kota modern dengan dibayangi obsesi seorang cucu terhadap kakek yaitu

obsesi Rycko Menoza kepada Zainal Abidin Pagar Alam.

3. Pembangunan patung Zainal Abidin Pagar Alam dirumuskan oleh para

aktor pembuat kebijakan. Aktor formal terdiri dari Bappeda (Eksekutif)

Kabupaten Lampung Selatan, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Lampung Selatan dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten


(2)

105

aktor formal lebih menguasai perumusan kebijakan pembangunan patung

Zainal Abidin Pagar Alam dari pada aktor non formal.

4. Penolakan masyarakat terhadap kebijakan pembangunan patung Zainal

Abidin Pagar Alam disebabkan adanya ketidaksesuaian publik terhadap

sosok Zainal Abidin Pagar Alam, karena Zainal Abidin bukan penuduk asli

Kalianda dan adanya ketidaksesuaian isu kebijakan pembangunan patung

Zainal Abidin Pagar Alam dengan kepentingan masyarakat

B.Saran

Berdasarkan hasil pembahasan dan analisa terhadap permasalahan, maka

peneliti memberikan saran terhadap kebijakan pembangunan patung Zainal

Abidin Pagar Alam sebagai berikut:

1. Sebaiknya Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan harus lebih

memperhatikan alasan-alasan yang tepat dalam perumusan kebijakan

publik, alasan-alasan perumusan kebijakan yang dipilih harus dapat

memecahkan permasalahan yang ada, sehingga masyarakat dapat merasakan

manfaat dari kebijakan tersebut.

2. Sebaiknya interaksi aktor dalam perumusan kebijakan publik di Kabupaten

Lampung Selatan harus seimbang antara aktor formal yaitu pejabat

Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dengan aktor non formal yaitu

masyarakat. Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan harus membuka diri


(3)

106

saluran komunikasi antara Pemerintah dan masyarakat lancar dan tidak

menimbulkan anarkis.

3. Sebaiknya Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan lebih cermat dan hemat

dalam menggunakan APBD untuk kesejahteraan masyarakat, anggaran

APBD tersebut lebih dialokasikan dalam bidang pendidikan, kesehatan,


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Wahab, Solichin. 2004. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang: UMM Press.

Abdullah, Rozali. 2011. Pelaksanaan Otonomi Luas dengan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Jakarta: Rajawali Pers.

Agustino, Leo. 2008 . Dasar-dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

Bintarto, R. 1983. Interaksi Desa dan Kota. Jakarta: Galia Indonesia

Bungin, Burhan. 2001. Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik serta Ilmu -ilmu Sosial Lainnya. Jakarta:Prenada Media Group.

Danim, Sudarwan. 1997. Pengantar Studi Penelitian Kebijakan. Jakarta: Bumi Aksara.

Dunn, William N. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Harrison, Lisa. 2009. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Prenada Media Group.


(5)

Islamy, Irfan. 2000. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara.

Madani, Muhlis. 2011. Dimensi Interaksi Aktor dalam Proses Pemurusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha ilmu.

Mattew B. Miles dan A. Michael Huberman.1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta:Universitas Indonesia.

Moleong, Lexy. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nawawi, Hadari. 1991. Metodo Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:

Nugroho, Riant. 2008. Public Policy. Jakarta: PT Alex Media Komputindo. Gajah Mada University.

Subarsono. 2012. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Implikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Winarno, Budi.2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Jakarta: Presindo

Wibawa, Samodra. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Dokumen-dokumen:

Undang-undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, Jakarta : 2004


(6)

Website:

(http://nasional.news.viva.co.id/news/read/309722-bupati-tak-akan-bangun-patung-kakeknya-lagi. Di akses Tanggal 5 Desember 2012. Pukul 19:00).

(http://marhenyantoz.wordpress.com/2012/07/03/akhir-sejarah-patung-zainal-abidin-pagaralam/. Di akses Tanggal 6 Desember 2012, Pukul 13:00).

(http://news.detik.com/read/2012/05/01/130542/1905920/103/runtuhnya-patung-zainal-abidin-simbol-keangkuhan-penguasa. Di akses Tanggal 6 Desember 2012, Pukul 13:30).

(

http://lampung.tribunnews.com/2012/04/30/foto-foto-aksi-demonstrasi-menentang-patung-zainal-abidin-pagaralam. Di akses Tanggal 5 Desember 2012 Pukul 20:00).

(http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/05/model-model-implementasi-kebijakan.html diakses pada hari selasa 11 juni 2013 Pukul 20:00)

(http://regional.kompasiana.com/2012/05/01/patung-roboh-gaya-iraq-di-lampung-selatan-pelajaran-penting-untuk-pemda-458838.html diakses pada tanggal 28 Mei 2013 pukul 22:09).

(http://www.jpnn.com/read/2012/04/15/124307/index.php?mib=berita.detail&id= 126100 diakses pada hari Selasa 04 Juni 2013 Pukul 23:00).

(http://arizka-giddens.blogspot.com/2011/08/sejarah-pembentukan-provinsi-lampung.html diakses pada hari Selasa 11 Juni 2013 Pukul 20:00)