Dari Malaikat Ke Doa Mohon Kehancuran Agama: Dekonstruksi Atas Pandangan Keagamaan Dalam Sastra Indonesia

(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

DARI

MALAIKAT

KE

DOA MOHON KEHANCURAN AGAMA:

DEKONSTRUKSI ATAS PANDANGAN KEAGAMAAN

DALAM SASTRA INDONESIA

Pertampilan S. Brahmana

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

Abstract

This article tries to analyse the themes of the poems written by Saeful Badar and Gendhotwukir. The results of the analysis show that both pets deconstruct the religion view of Indonesian society. Saeful Badar deconstructs angels whereas deconstructs the role of religion in creating peace.

Key words: poems, deconstruct

1. PENDAHULUAN

Secara tidak sengaja, saya menemukan dua puisi dari dua penyair yang berbeda di dunia siber ini. Puisi yang pertama informasinya masuk ke dalam email saya, dan puisi yang kedua hasil berselancar di dunia siber ini. Puisi pertama dengan judul Malaikat ditulis oleh Saeful Badar, seorang pengelola Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya dan dipublikasikan di rubrik Khazanah harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus 2007. Ketika saya lacak ke situs harian Pikiran Rakyat, puisi sudah dihapus. Sehingga puisi yang ada di dalam email saya tersebut saya salinkan kembali untuk tulisan ini. Puisi yang kedua Doa Mohon Kehancuran Agama ditulis oleh orang yang menamakan dirinya Gendhotwukir, dipublikasikan via situs Rumah Kiri.

Walaupun kedua puisi di atas ditulis oleh orang yang berbeda, dan entah mungkin tidak saling mengenal, keduanya berada di dalam jalur yang sama yaitu agama. Keduanya mendekonstruksi pikiran kaum umat beragama.

2. KARYA SASTRA DAN AGAMA

Hubungan atau persinggungan karya sastra dengan agama, bukanlah hal yang baru. Isi karya sastra ada yang seiring sejalan dengan agama dan ada yang berbeda jalan. Isi karya sastra yang seiring sejalan dengan ajaran agama misalnya para pemegang otoritas keagamaan - walaupun tanpa mendapat mandat dari Tuhan - menghendaki karya sastra haruslah mendakwahkan agama kepada manusia. Karya-karya sastra seperti ini dapat dikatakan seiring sejalan dengan agama.

Sedangkan isi karya-karya yang tidak seiring sejalan dengan ajaran agama antara lain karya Hamzah Fansuri (1550-1600), akibatnya karya-karya Hamzah Fansuri dibakar. Pembakaran terhadap karya-karyanya ini, katanya bukan dikarenakan pandangan keagamaannya, akan tetapi karena pendapat Hamzah Fansuri yang bertentangan dengan pandangan penguasa pada masanya. Kalau pandangan Hamzah Fansuri ini berkembang di tengah-tengah masyarakat, dapat menggoyangkan kedudukan penguasa pada masa itu.

Penggalan puisi yang berisi perdebatan perihal pandangan Hamzah Fansuri ini adalah

LIIA itu kesudahaan kata Tauhid makrifat semata-mata Hapuskan hendak sekalian perkara Hamba dan Tuhan tiada berbeda (Dikutip dari Liaw Yock Fang)

Tafsiran atas penggalan puisi di atas, sama dengan AKU adalah YANG MAHA TUNGGAL dan YANG MAHA TUNGGAL adalah AKU. AKU (Hamzah Fansuri) adalah YANG MAHA TUNGGAL dan YANG MAHA TUNGGAL adalah AKU (Hamzah Fansuri). Maknanya Aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah Aku (Hamba dan Tuhan tiada berbeda). Penggalan puisinya selanjutnya:

Hamzah Fansuri di dalam Makah Mencari Tuhan di baitul Ka'abah Di Barus ke Kudus terlalu payah Akhirnya dapat di dalam rumah (Dikutip dari Liaw Yock Fang)


(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

Dalam pandangan Hamzah Fansuri, Tuhan itu tidak perlu dicari jauh-jauh tetapi ada di dalam hati setiap manusia, ini diungkapnnya.

Potongan Teks Puisinya Penafsirannya Mencari Tuhan di baitul

Ka'abah ……

Akhirnya dapat di dalam rumah

Tuhan itu tidak perlu dicari jauh-jauh. Tuhan itu “ada” bekerja di dalam hati setiap manusia.

Pandangan di atas jelas berbeda, bertentangan, bertolak belakang dengan padangan keagamaan yang berkembang pada masa itu dan pada masa kini karena antara Tuhan dan manusia tidak mungkin bersatu. Hubungan Tuhan dengan manusia, seperti pencipta dengan karya ciptaannya. Tuhan itu pencipta dan manusia itu ciptaan Tuhan. Keduanya tidak mungkin sama atau disamakan. Jelas berbeda dengan pandangan Hamzah Fansuri tersebut.

Akibat pandangannya tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung Hamzah Fansuri adalah semua karya-karyanya harus dibakar, maka menurut ceritanya karya-karya Hamzah Fansuri dibakar habis oleh pihak yang berkuasa pada zamannya, yang paling keras menentang pandangan Hamzah Fansuri tersebut adalah Nurruddin Al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel. Demikianlah Hamzah Fansuri mendekonstruksi pandangan keagamaan pada zamannya.

Kurang lebih sama dengan Hamzah Fansuri adalah kisah Gatoloco pada masyarakat Jawa. Cerita ini juga berada dalam jalur keagamaan, tetapi mendekonstruksi untuk menghalangi perkembangan agama Islam di tanah Jawa.

Contoh dekonstruksiannya adalah sebagai berikut:

"Nabi Mekah yang kau sembah, sudah tidak ada ujudnya, sudah meninggal seribu tahun silam, tempatnya pun di tanah Arab, perjalanan ke sana tujuh bulan (ketika itu), itu pun dihadang laut, dan di sana tinggal hanya makamnya, kalian sembah jungkir balik tiap hari, apa bisa sampai?"

Contoh ketika Gatoloco mendekonstruksi pemikiran tiga orang kyiai tentang mata.

Ketika tiga orang kyai mengaku masing-masing memiliki dua mata, Gatoloco terbahak-bahak sambil beteriak-teriak. “Kamu terlalu berani. Sungguh akan celaka. Mengaku mata yang bukan

milikmu. Nanti saya laporkan polisi kamu. Mestinya kamu diikat karena mengaku matamu dua. Sekarang begini, jika benar matamu dua, perintahkan yang satu kamu suruh terjaga dan satunya tidur. Bergiliran. Dengan begitu, selama hidupmu tidak akan kecurian”.

Ngaco. Mana ada mata melek bergiliran”

“Jika benar mata itu milikmu, kamu pasti punya kuasa. Seluruh perintahmu pasti dituruti. Kalau tak menurut, itu berarti bukan matamu. Begitu kamu berani mengaku-aku. Kamu dapat dari mana. Beli atau pinjam. Apa kamu diberi. Jika ya, siapa yang memberi. Siapa saksinya. Hari apa diberikan, dan dimana. Hayo jawab” (Sukahar 1999: 19).

...

Ketiga guru kiyai bersama-sama berkata, “mana ada mata bergiliran?”

Gatoloco menjawab, “Bila kalian mengaku matamu tidak pisah, dari mana kalian dapatkan? Dari membeli ataukah meminjam? Atau kalian diberi orang, lalu siapa yang memberimu, siapa saksinya, dari mana dan hari apa?”

Ketika guru mendengarnya dengan geleng-geleng kepala, tak dapat berkata-kata, dan akhirnya mereka berkata: “Ciptaan ayah ibuku!”

Gatoloco terbahak-bahak, “Kiraku kedua orang tuamu tidak mengakuinya dalam menciptakan dirimu. Mereka hanya merasakan kenikmatan cinta, itu sebagai jalan terjadinya kalian. Mereka tak berniat menciptakanmu” (Prawirataruna 1990: 46-47).

Dari penggalan dialog di atas, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian, pertama masalah penguasaan kedua mata yang dimiliki manusia dan proses kelahiran seorang manusia. Menurut konstruksi ketiga kyai tersebut, kedua mata yang dimiliki seorang manusia, adalah miliknya, si pemilik berkuasa atasnya, demikian juga dengan kelahiran manusia, manusia itu lahir atas restu kedua orang tuanya.

Gatoloco mendekonstruksi pemikiran ketiga kyai tersebut di atas, dengan mengatakan, kedua mata yang dimiliki seorang manusia itu


(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

bukan miliknya, dia (manusia) itu tidak berkuasa atasnya, kalau memang benar kedua mata itu milik manusia, “suruhlah berkedip bergantian, satu memejam yang satu membelalak. Sehingga selama hidupnya manusia tidak akan dapat kecurian”. Kalau bisa berarti kedua mata itu benar-benar milik manusia dan manusia itu berkuasa atasnya. Sedangkan tentang penciptaan manusia, manusia itu dilahirkan orang tuanya bukan disengaja, tetapi hanyalah dampak dari ketika kedua orang yang disebut orang tua tersebut “merasakan kenikmatan cinta”.

3. DARI PUISI

MALAIKAT

KE PUISI

DOA MOHON KEHANCURAN

AGAMA

Kini puisi yang mendekonstruksi pandangan keagamaan, muncul kembali. Puisi pertama dipublikasikan melalui rubrik Khazanah harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus 2007, ditulis oleh Saeful Badar, seorang pengelola Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya dengan judul “Malaikat“, sedangkan puisi kedua dipublikasikan pada situs Rumah Kiri, ditulis oleh Gendhotwukir, dengan judul “Doa Mohon Kehancuran Agama“.

Kedua puisi ini bagi yang tidak dapat memahami ada apa di balik teks mengatakan puisi yang lugas, puisi yang bersifat denotatif, langsung menuju kepada maksudnya, dan akan mengatakan bukan seperti itu puisi yang baik, puisi yang baik adalah puisi yang bersifat konotatif. Maka semakin misterius sebuah puisi (makin sulit seseorang memahami sebuah puisi), semakin bagus puisi tersebut, maka semakin hebat penulisnya. Contoh puisi seperti ini adalah puisi yang selalu diistilahkan puisi bunga. Penilaian seperti ini sah-sah saja.

3.1 Puisi Malaikat Karya Saeful Badar

Seperti telah dikemukakan puisi ini pertama sekali dipublikasikan pada rubrik Khazanah harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus 2007, tetapi saya menemukannya di dalam email saya. Penulisnya adalah Saeful Badar, seorang pengelola Sanggar Sastra Tasik (SST) dari Tasikmalaya.

MALAIKAT

Mentang-mentang punya sayap Malaikat begitu nyinyir dan cerewet Ia berlagak sebagai makhluk baik Tapi juga galak dan usil

Ia meniup-niupkan wahyu Dan maut

Ke saban penjuru (Saeful Badar 2007)

Kehadiran puisi ini mendapat reaksi dari kalangan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) Jawa Barat. Puisi ini oleh kalangan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) Jawa Barat menganggap menghina agama Islam, karena dianggap mempermainkan “Malaikat”. Sebenarnya bukan hanya pihak Islam saja yang patut marah, pihak Kristen, apakah itu Kristen Orthodoks, Katolik dan Protestan juga berhak marah (kalau boleh marah), sebab dalam agama Kristen juga mempunyai Malaikat dengan istilah Malaikat.

Suara protes tersebut muncul dari pihak Islam dalam hal ini DDII Jawa Barat saja. Argumen yang dikemukakan oleh DDII tersebut adalah:

1 Sajak berjudul "Malaikat" karya Saeful Badar tersebut, jauh dari nilai estetika seni sastra, sekaligus tidak mengandung etika penghormatan terhadap agama, khususnya agama Islam. Oleh karena itu, sajak tersebut dapat dikategorikan menghina agama, khususnya Islam.

2 Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut dilakukan tanpa ada maksud melecehkan Islam, hal itu mengindikasikan "kebodohan" penulis dan redaktur tentang konsep malaikat dalam agama-agama samawi, khususnya Islam.

3 Jika penulisan dan pemuatan sajak tersebut dilakukan dengan sengaja untuk memancing amarah umat Islam dan menista ajaran Islam, tindakan tersebut serupa dengan apa yang dilakukan para penista Islam, seperti kasus Salman Rushdie dengan novel "Ayat-ayat Setan", koran Jylland-Posten Denmark dengan karikatur Nabi Muhammad saw., dan kasus-kasus lainnya yang dinilai melecehkan Islam dan kaum Muslimin. 4 Kami menganggap permohonan maaf saja

tidak cukup, karena ini menyangkut akidah Islam, sehingga harus ada tindakan lebih jauh, seperti klarifikasi tentang sosok malaikat yang sebenarnya, sekaligus meng-counter opini yang dibangun penulis sajak lewat judul sajak "Malaikat" yang telanjur dipublikasikan.

5 Dalam konsep ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT yang mendapat keistimewaan tersendiri. Mereka merupakan makhluk rohani bersifat gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu


(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

siang-malam untuk mengabdi kepada Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah SWT dengan tugas-tugas tertentu.

6 Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang enam, di samping iman kepada Allah, Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat menjadi bagian terpenting dari tauhid (mengesakan Allah) dan membebaskan manusia dari syirik (menyekutukan Allah).

7 Dengan demikian, bagi umat Islam, Malaikat bukan sosok yang bisa dipermainkan atau diolok-olok, baik oleh ucapan, kalimat, maupun tindakan, oleh seorang penyair, sekalipun atas nama kebebasan berekspresi.

Sumber:Faith Freedom International - Forum Indonesia. 20 Aug 2007

Protes DDII ini mendapat perlawanan juga dalam bentuk protes antara lain dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung. Menurut AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung, pelarangan terhadap Puisi “Malaikat: adalah bertentangan dengan konstitusi negara, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, pasal 28 yang menjamin hak warga negara untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang berupaya memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi, merupakan pelanggaran atas konstitusi tertinggi negara--Undang-Undang Dasar tahun 1945. Tindakan tersebut jelas-jelas ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung, pada tanggal 13 Agustus 2007, menyatakan pendapatnya bahwa:

1 Mengecam segala tindakan yang memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi.

2 Mendesak kepolisian untuk bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar konstitusi negara (dalam hal ini pihak yang melakukan intimidasi terhadap karya sastra).

3 Mendesak media massa agar bertanggungjawab terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi yang

menyangkut penerbitannya. Segala beban tanggungjawab agar tidak diserahkan semata-mata terhadap wartawan secara individu.

Sumber: www.ajiindonesia.org

Pernyataan Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung tersebut ditandatangangi oleh Sekretaris Mulyani Hasan dan Koordinator Divisi Advokasi Ahmad Yunus.

Dukungan protes juga datang dari 21 komunitas seniman dan elemen masyarakat, Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra Tasikmalaya, Teater Bolon-Tasikmalaya, Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut Nalar-Jatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung, Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya, Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar Studi Sastra Cirebon, Komunitas Cupumanik-Bandung, Forum Diskusi Wartawan Cupumanik-Bandung, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang, Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya, Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut.

Mereka juga turut prihatin dan penyesalan terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya Saeful Badar. Menurut 21 komunitas seniman dan elemen masyarakat di atas.

1 Hak tiap individu untuk mengungkapkan diri baik secara lisan maupun secara tertulis patut dilindungi. Dalam konteks tata kehidupan di Indonesia, perlindungan akan hak tersebut telah menjadi kesepakatan kolektif, bahkan dinyatakan secara tegas dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami sangat prihatin dan turut menyesalkan pemberangusan atas sajak “Malaikat” karya penyair Saeful Badar. Kami juga sangat prihatin dan menyesalkan pendiskreditan nama baik penyair Saeful Badar, yang disebut-sebut seperti Salman Rusdhie, sehingga penyair Saeful Badar mengalami berbagai tekanan.

2 Kami juga menentang dan menyesalkan segala bentuk pemutlakan tafsir atas karya seni dan sastra oleh individu dan golongan tertentu, serta menentang dan menyesalkan segala bentuk sikap yang tidak toleran. Pemutlakan tafsir dan sikap tidak toleran merupakan bentuk kekerasan simbolis yang bisa membuka gerbang ke arah berbagai


(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai menutup peluang bagi terwujudnya keadilan.

3 Kami juga menentang dan menyesalkan sikap dan tindakan yang cenderung membawa-bawa agama, atau menekankan pertimbangan bernada keagamaan, sebagai tameng bagi pemutlakan dan pemaksaan sikap dan pandangan individu dan golongan tertentu. Janganlah mempermain-mainkan agama demi tujuan-tujuan yang sempit, picik, dan pendek.

4 Pada hemat kami, ruang publik sebagai wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara dan dikembangkan. Dalam hal ini, kami menyatakan bahwa media massa, sebagai salah satu institusi sosial yang mengelola ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat menjaga integritasnya sehingga tidak mudah dipermainkan oleh individu dan kelompok tertentu yang sikap dan tindakannya tidak sejalan dengan pemeliharaan ruang publik.

Sumber:

http://kapasmerah.wordpress.com/2007/08/14/pernyat aan-bersama-menyikapi-polemik-puisi-malaikat/

Puisi Malaikat tersebut sebenarnya mendekonstruksi pandangan umum tentang Malaikat. Pandangan umum tentang Malaikat seperti yang dikemukakan oleh DDII.

Dalam ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT yang mendapat keistimewaan tersendiri. Mereka merupakan makhluk rohani bersifat gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu siang-malam untuk mengabdi kepada Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah SWT dengan tugas-tugas tertentu.

Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang enam, di samping iman kepada Allah, Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat menjadi bagian terpenting dari tauhid (mengesakan Allah) dan membebaskan manusia dari syirik (menyekutukan Allah).

Saeful Badar mendekonstruksi citra tersebut dengan mengungkapkan:

Mentang-mentang punya sayap Malaikat begitu nyinyir dan cerewet Ia berlagak sebagai makhluk baik Tapi juga galak dan usil

Ia meniup-niupkan wahyu Dan maut/Ke saban penjuru.

Ungkapan tersebut menimbulkan kesan mengolok-olok, atau mempermain-mainkan Malaikat.

Saeful Badar memang sah-sah saja mendekonstruksinya, apalagi baik antara Saeful Badar dan pihak-pihak yang keberatan terhadap puisinya di atas, sama-sama tidak punya mandat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatakan Saeful Badar yang salah, atau lawan Saeful Badar yang benar. Atau sebaliknya Saeful Badar yang benar, lawan Saeful Badar yang salah.

3.2 Puisi Doa Mohon Kehancuran Agama oleh Gendhotwukir

Puisi ini dipublikasikan pada situs Rumah Kiri. Puisi ini berbeda dengan puisi Malaikat“ karya Saeful Badar. Puisi Gendhotwukir, justru mendoakan dan memohon agar agama hancur. Gendhotwukir

Doa Mohon Kehancuran Agama

kepada Allah yang dipuja di label dunia atas nama agama

diagung-agungkan sebagai pencipta dan pengatur semesta

aku mohon kehancuran agama

jika atas nama agama tidak ada penghargaan martabat sesama manusia

jika atas nama agama, ada yang terluka bahkan mati binasa

terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka bahkan oleh teriak para pemangku agama jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi sia-sia

dan nista hukumnya

jika kedatangan sesama manusia menjadi berjarak hanya karena beda agama jika karena pantang-pantang, persaudaraan menjadi baur mengudara

jika manusia telah menjadi "allah" atas sesamanya

jikapun dengan cara demikian orang masuk surga,


(6)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

maka akulah orang yang pertama memilih masuk neraka

sekali lagi aku mohon kehancuran agama Jerman, 18.02.06 Sumber:

http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&tas k=category&sectionid=5&id=12&Itemid=271 (30/08/2007)

Bagaimana menyikapi puisi ini? Ada apa di balik teks puisi Gendhotwukir tersebut? Fakta atau faktual? Jawabnya keduanya, fakta dan faktual.

Nurcholis Madjid pada tulisannya di Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an. Nomor I, Vol IV, tahun 1993 (Madjid, 1993:7-8) menulis: “Peta dunia sekarang (1993) sedang ditandai oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Meskipun agama bukanlah satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peranan. Di ujung paling utara, di Irlandia ialah pertentangan tidak berkesudahan antara kaum Katolik dan kaum Protestan. Dan di tengah-tengah Eropah, sekitar Perancis dan Jerman, sedang terjadi konflik-konflik yang malu-malu disebut bernuansa keagamaan (karena akan menodai "liberalisme" mereka) dan terbungkus rasialisme atau kepentingan ekonomi terhadap para pekerja asing yang kebanyakan beragama Islam. Sedikit ke selatan, dan masih dalam wilayah Eropah, kita mendapati bentuk paling baru konflik dengan banyak warna keagamaan yaitu di Bosnia-Herzegivina. Kemudian di Cyprus, betapapun juga pertentangan antara mereka yang keturunan Turki dan yang keturunan Yunani tetap sedikit banyak diwarnai oleh sentimen keagamaan. Konflik-konflik di Palestina khususnya Timur Dekat umumnya yang melibatkan kaum Yahudi, Muslim dan Kristen, dengan faksi masing-masing yang cukup membingungkan, hampir merupakan anomali bagi sebuah tempat buaian peradapan manusia yang paling berpengaruh, dan jelas anakronistik bahwa kaum Yahudi hendak mendirikan negara agama di zaman moderen atas bantuan negara moderen. Di Afrika Hitam pun konflik-konflik dengan warna keagamaan juga tidak mudah disembunyikan. Di Sudan ada konflik antara Islam yang "Arab" di sebelah Utara dan Kristen yang "Negro" di sebelah Selatan. Belum lagi konflik-konflik karena rasialisme dan paham apartheid, yang juga mengundang keterlibatan berbagai tokoh keagamaan (Kristen). Negeri-negeri Timur Tengah yang lain, juga diramaikan oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan,

sebagian daripadanya sungguh dramatis. Tidak saja konflik antara Irak dan Iran merupakan konflik antara pemerintah yang berturut-turut didominasi oleh Islam Sunni dan Islam Syi'i, bahkan juga masing-masing pihak dengan jelas menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti heorisme Q'adisiyyah dari pihak Irak dan jihad melawan thaghut (tiran) yang jelas ateis dari pihak Iran. Perang teluk yang dahsyat itu secara resmi terhindar dari pewarnaan keagamaan, namun tidak luput terjadi persepsi populer yang aneh di sementara kalangan bahwa perang itu adalah perang antara Islam (Irak) melawan kekafiran (Kuwait, Saudi, Syria, Mesir, yang dibantu negeri-negeri Barat khususnya Amerika)!. Dan jika kita teruskan ke Timur, kita melewati Afghanistan yang masih dalam kemelut konflik-konflik politik dengan tema perebutan keabsahan menurut jenis penganut keagamaan (Islam) mereka. Anak Benua sekitarnya juga meriah dengan percekcokan keagamaan: Islam Sunnah lawan Islam Syi'ah di Pakistan, Hindu lawan Islam di India, Hindu lawan Budhisme (dan Islam) di Srilangka, dan Budhisme lawan Islam di Burma dan Thailand. Di Filipina kita sudah lama mengetahui adanya konflik yang berlarut-larut antara Katolik dan Islam. Di tempat-tempat lain, konflik keagamaan itu jelas selalu merupakan potensi yang syukurlah belum, tidak atau malah tidak akan terbuka”.

Pendapat Nurcholis Madjid ini pernah ditentang habis-habisan oleh beberapa orang yang tidak sejalan dengannya. Mereka tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Pertanyaan kita kemudian, mengapa dalam agama yang diajarkan begitu mulia dapat berbuat sebaliknya, bertentangan dengan isi pengajarannya? Jawabannya dapat bermacam-macam, bergantung kepada bingkai (framing) yang digunakan. Bingkai politik misalnya, di Indonesia sejak Orde Lama, bahkan sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara hingga Orde Baru dan Orde Reformasi, agama dijadikan kudatunggangan oleh para elit politik untuk meraih kekuasaan duniawi melalui partai politik, melalui organisasi keagamaan. Lihat saja Politisasi Agama pada masa Orde Lama berikut ini.

Aliran Awal Kemerdekaan (1908-1955)

Orde Lama (1955-1965) Islam Masjumi, NU, PSII,

Perti

Masjumi, NU, PSII, Perti, PPTI, AKUI, PSII Abikusno

Kristen Partai Katolik, Parkindo.

Partai Katolik, Parkindo.

Hasilnya sudah kita ketahui, munculnya pemberontakan-pemberontakan yang bersenjata,


(7)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

ada yang bersifat keagamaan. Kemudian wacana memformalkan syariat Islam ke dalam tatanegara Indonesia, adalah bukti bahwa agama dijadikan kudatunggangan oleh elit politik, atau kaum ulama memasuki dunia politik.

Pada masa Orde Baru, politisasi agama sebagai berikut.

Aliran Orde (1965-1973)

Baru

(1973-1998) Islam NU, PSII, Perti,

Parmusi.

PPP

Kristen Partai Katolik, Parkindo.

-

Pada masa Orde Reformasi, politisasi agama sebagai berikut:

Aliran Masa Reformasi (1999-2003) Islam PPP, PBB, PK, PSII, Masyumi

Kristen PDKB, KRISNA

Ini adalah yang bersifat formal, di balik formal tersebut yang dikatakan bersifat informal, perilaku politisasi ini bertaburan di balik istilah koncoisme, kolusi dan nepotisme, banyak dilakukan atas nama seiman, sesama umat. Bahkan ada yang berpandangan, orang-orang yang tidak seagama disebut kafir.

Faktanya tidak ada bukti material yang meyakinkan manusia bahwa Tuhan Yang Maha Esa, pernah ada memberikan mandat manusia (kelompok manusia) manapun di dunia ini untuk mewakili atau membela kepentingan Tuhan di muka bumi ini. Tidak ada bukti material meyakinkan bahwa yang dikategorikan sebagai kitab suci benar-benar ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua karena tafsiran. Mungkin inilah yang hendak dibongkar, disadarkan oleh Gendhotwukir melalui puisinya tersebut seperti di bawah ini.

jika atas nama agama tidak ada penghargaan martabat sesama manusia

jika atas nama agama, ada yang terluka bahkan mati binasa

terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka bahkan oleh teriak para pemangku agama jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi sia-sia

dan nista hukumnya

jika kedatangan sesama manusia menjadi berjarak hanya karena beda agama ...

maka akulah orang yang pertama memilih masuk neraka

sekali lagi aku mohon kehancuran agama

Masalah sekarang rasionalkah isi doa tersebut yaitu ingin menghancurkan agama agar manusia menjadi bermartabat tanpa melalui agama? Soal rasional tidaknya isi doanya tersebut, memang dapat diperdebatkan, kehancuran agama yang dimaksud, kehancuran yang bagaimana? Kalau menghancurkan semua agama yang ada, jelaslah tidak mungkin, agama atas nama kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya tidak akan pernah dapat hancur, dalam renungan agama sudah berada, bukan mengada, artinya agama sudah benar-benar hadir di dunia ini, didukung oleh jutaan manusia, agama bukan lagi sebagai wacana-wacana. Berjuta-juta manusia telah merasakan peranan agama dalam hidup dan kehidupan mereka. Mereka yang demikian tidak akan bakalan mau menghancurkan agama mereka.

Bahasa yang ada untuk eksistensi agama ini adalah pengikut atau umat beragama dapat mengalami masa surut seperti air laut yang ada pasang surutnya. Ketika masa surut umatnya berkurang, ketika masa pasang umatnya banyak. Justru di masa depan dengan hancurnya ikatan kekerabatan (hubungan darah), karena berkembangnya paham pragmatisme dalam berkerabat, atau karena jauhnya kerabat dari tempat tinggal seseorang, acara suka dan duka yang dialami yang selama ini ditangani oleh kaum kerabat, akan diambil alih oleh kerabat baru yang bernama seagama. Merekalah yang mengisi kekosongan peran kerabat sedarah tersebut, terutama di kota-kota besar khususnya di Indonesia. Hancurnya kekerabatan ini bukan seratus persen karena faktor agama, tetapi karena faktor pragmatisme dalam berkerabat, sehingga kelompok tetangga yang seagama yang akhirnya dianggap sebagai kerabat terdekat yang dapat menggantikan peran dan fungsi kerabat sedarah tersebut.

Kalaupun hancur agama atas nama kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya, kehancurannya akan diisi oleh kelompok „agama“ baru. Kelompok „agama“ baru ini, akan mengambil sisi-sisi positif dari agama atas nama kelompok tersebut. Bibit ini saat ini berkembang, tetapi belum pesat yaitu aliran teosofi. Aliran teosofi ini, mengkaji, mempelajari Tuhan bersifat lintas agama. Saat ini kelompok teosofi ini, hanya sebatas mengkaji Tuhan lintas agama, belum mengambil alih peran kerabat dalam suka dan duka. Bila kelompok teosofi ini, akhirnya mengambil alih peran suka dan duka, maka kemungkinannya dapat berkembang mengalahkan agama kelompok tersebut.


(8)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007

Jadi, puisi Gendhotwukir dengan judul Doa Mohon Kehancuran Agama tidak akan terbukti. Hancur agama kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya, akan melahirkan kelompok agama baru dengan nama yang berbeda dengan ajarannya diambil (sintesa) dari hal-hal yang dianggap positif dari agama kelompok tersebut.

Namun, misi puisi Gendhotwukir tersebut di atas jelas. Kekecewan Gendhotwukir karena dia menganggap atas nama agama saat ini tidak ada penghargaan kepada martabat sesama manusia, atas nama agama, banyak yang terluka, mati, bahkan jika bersalaman saja bagi yang berbeda agama dihindari, yang ada saat ini adalah manusia telah menjadi "Allah" atas sesamanya. Kalautesis ini benar, maka itu “ngawur“ namanya, manusia sudah ngawur demi kepentingan dirinya, kelompoknya, bukan kepentingan manusia secara universal.

4. PENUTUP

Dibandingkan dengan puisi Malaikat di atas, puisi Gendhotwukir ini jauh lebih kuat kesan tendensnya walaupun keduanya bermain-main di wilayah agama. Puisi Malaikat mendekonstruksi, membongkar pandangan masyarakat perihal “Malaikat“, sehingga memberi kesan puisi Malaikat seperti melecehkan “Malaikat“ salah satu simbol yang dihormati baik dalam agama Islam maupun Kristen, puisi Doa Mohon Kehancuran Agama justru ingin „menghancurkan“ agama. Menghancurkan sama dengan menaklukkan atau membinasakan ini tidak rasional. Kedua puisi tersebut mendekonstruksi pandangan keagamaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia khususnya.

Dilihat dari segi jarak waktu mulai era Hamzah Fansuri ((1550-1600) dan Gatoloco, karya-karya sastra Indonesia yang berani

mendekonstruksi pandangan keagamaan masyarakat Indonesia baru pada era reformasi ini muncul kembali. Pendekonstruksian ini perlu agar masyarakat tidak mudah diakal-akali oleh mereka yang mengaku-ngaku mewakili Tuhan di dunia ini, sementara Tuhan sendiri tidak pernah memberikan mandat kepada mereka. Tuhan perlu uang katanya, akal sehat kita membisikan, Tuhan tidak perlu uang, yang perlu uang itu manusia. Gelar Ustad, Pendeta, Biksu, ulama dan lainnya, hanyalah gelar hasil buatan manusia, bukan pemberian dari Tuhan si Penguasa Alam.

Puisi Malaikat karya Saeful Badar dan puisi Doa Mohon Kehancuran Agama karya Gendhotwukir, sudah memulai mencoba menghindarkan bangsa ini pecah karena politisasi agama. Maka dapat dipahami kedua puisi ini sebenarnya secara tidak langsung juga mendekonstruksi, konstruksi keagamaan yang dibuat oleh para “politisi“.

DAFTAR PUSTAKA

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Madjid, Nurcholish. 1993. “Beberapa Renungan

Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang”. Dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ummul Qur'an. Vol. IV, 1. Prawirataruna. 1990. Falsafah Gatoloco.

Semarang: Dahara Prize.

Sukahar, Joko Su’ud. 1999. Tafsir Gatolotjo. Surabaya: Wuwung.

Sukahar, Joko Su’ud. 2007. Tafsir Gatolotjo. Jakarta: Agromedia Pustaka.


(9)

1. Isma Tantawi

Isma Tantawi lahir pada tanggal 7 Februari 1960 di Kuning Aceh Tenggara (sekarang Kabupaten Gayo Lues). Beliau adalah staf pengajar tetap di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara mengasuh mata kuliah Sastra Bandingan, Estetika, dan Sastra Malaysia Modern serta mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta di Sumatera Utara dan sebagai dosen tamu di Kolej Sentral Kuala Limpur, Malaysia. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (FS USU) tahun 1986 dan pendidikan master (S-2) di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia (PPIK USM) tahun 2006 dengan bidang kajian tradisi lisan nusantara. Di samping itu juga beliau aktif mengikuti seminar nasional dan internasional baik sebagai peserta maupun pemakalah.

2. Nurhayati Harahap

Nurhayati Harahap lahir di Padang Sidempuan, 19 April 1962. Beliau adalah staf pengajar tetap Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU dalam bidang kesusateraan. Menyelesaikan pendidikan Sarjana (S-1) pada program studi dan fakultas yang sama tahun 1985 dan pendidikan lanjutan (S-2) di Unpad Bandung pada tahun 1997. Beliau juga aktif meneliti khususnya sastra etnik Angkola Mandailing.

3. Haris Sutan Lubis

Haris Sutan Lubis lahir di Padang Sidempuan 7 September 1959. Beliau adalah staf pengajar di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra sejak tahun 1986. Beliau menyelesaikan S-1 bidang studi Sastra Indonesia di fakultas yang sama pada tahun 1985. Pada tahun 2006 beliau menyelesaikan pendidikan Magister Studi Pembangunan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul tesis “Perencanaan pengembangan Ekowisata berbasis Masyarakat. Saat ini beliau mengasuh mata kuliah Telaah Drama di Departemen Sastra Indonesia, Mata kuliah Ekowisata dan Kepemimpinan Kepariwisataan di Program Studi Pariwisata

4. Yundi Fitrah

Yundi Fitrah, lahir di Batangtoru, 25 Desember 1959. Beliau adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara pada tahun 1985 dan telah menyelesaikan Program Magister Ilmu Susastra pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Program Doktor dalam Persuratan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia. Alamat: Jln. Kemajuan No.42. Mendalo Darat 36361Tel. 0741– 580008 Hp. 08127811770Jambi.

5. Ikhwanuddin Nasution

Ikhwanuddin Nasution lahir di Padang Sidempuan, 25 September 1962. Beliau adalah staf pengajar di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada fakultas yang sama pada tahun 1986, pendidikan lanjutan (S-2) di Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bali pada tahun 2000, dan Pendidikan Doktor (S-3) pada Program Studi Kajian Budaya, Pengutamaan Estetika Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana pada tahun 2007. Beliau aktif menulis di berbagai jurnal.

6. Haron Daud

Haron Daud dilahirkan pada 20 Februari 1952 di Kampung Pulau Pisang, Kota Bharu, Kelantan, Malaysia. Pada tahun 1996 beliau meraih gelar Doktor Falsafah dari Universiti Malaya dan meraih Profesor pada tahun 2006 di Universiti Sains Malaysia. Beliau menjadi dosen di Pusat Pengajian Ilmu kemanusiaan USM sampai tahun 2007. Pada awal tahun 2008 beliau pindah dan menjadi dosen di Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia.

7. Pertampilan S. Brahmana

Pertampilan S. Brahmana adalah staf pengajar pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU. Menyelesaikan pendidikan Magister (S-2) di Program Pascasarjana Universitas Udayana dalam bidang Kajian Budaya dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial.


(1)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 siang-malam untuk mengabdi kepada

Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah SWT dengan tugas-tugas tertentu.

6 Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang enam, di samping iman kepada Allah, Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat menjadi bagian terpenting dari tauhid (mengesakan Allah) dan membebaskan manusia dari syirik (menyekutukan Allah).

7 Dengan demikian, bagi umat Islam, Malaikat bukan sosok yang bisa dipermainkan atau diolok-olok, baik oleh ucapan, kalimat, maupun tindakan, oleh seorang penyair, sekalipun atas nama kebebasan berekspresi.

Sumber:Faith Freedom International - Forum Indonesia. 20 Aug 2007

Protes DDII ini mendapat perlawanan juga dalam bentuk protes antara lain dari AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung. Menurut AJI (Aliansi Jurnalis Independen) Bandung, pelarangan terhadap Puisi “Malaikat: adalah bertentangan dengan konstitusi negara, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, pasal 28 yang menjamin hak warga negara untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang berupaya memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi, merupakan pelanggaran atas konstitusi tertinggi negara--Undang-Undang Dasar tahun 1945. Tindakan tersebut jelas-jelas ancaman bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung, pada tanggal 13 Agustus 2007, menyatakan pendapatnya bahwa:

1 Mengecam segala tindakan yang memasung kemerdekaan berpikir dan berekspresi.

2 Mendesak kepolisian untuk bertindak tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar konstitusi negara (dalam hal ini pihak yang melakukan intimidasi terhadap karya sastra).

3 Mendesak media massa agar

bertanggungjawab terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi yang

menyangkut penerbitannya. Segala beban tanggungjawab agar tidak diserahkan semata-mata terhadap wartawan secara individu.

Sumber: www.ajiindonesia.org

Pernyataan Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung tersebut ditandatangangi oleh Sekretaris Mulyani Hasan dan Koordinator Divisi Advokasi Ahmad Yunus.

Dukungan protes juga datang dari 21 komunitas seniman dan elemen masyarakat, Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra Tasikmalaya, Teater Bolon-Tasikmalaya, Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut Nalar-Jatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung, Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya, Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar Studi Sastra Cirebon, Komunitas Cupumanik-Bandung, Forum Diskusi Wartawan Cupumanik-Bandung, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang, Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya, Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut.

Mereka juga turut prihatin dan penyesalan terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya Saeful Badar. Menurut 21 komunitas seniman dan elemen masyarakat di atas.

1 Hak tiap individu untuk mengungkapkan diri baik secara lisan maupun secara tertulis patut dilindungi. Dalam konteks tata kehidupan di Indonesia, perlindungan akan hak tersebut telah menjadi kesepakatan kolektif, bahkan dinyatakan secara tegas dalam konstitusi. Oleh karena itu, kami sangat prihatin dan turut menyesalkan pemberangusan atas sajak “Malaikat” karya penyair Saeful Badar. Kami juga sangat prihatin dan menyesalkan pendiskreditan nama baik penyair Saeful Badar, yang disebut-sebut seperti Salman Rusdhie, sehingga penyair Saeful Badar mengalami berbagai tekanan.

2 Kami juga menentang dan menyesalkan segala bentuk pemutlakan tafsir atas karya seni dan sastra oleh individu dan golongan tertentu, serta menentang dan menyesalkan segala bentuk sikap yang tidak toleran. Pemutlakan tafsir dan sikap tidak toleran merupakan bentuk kekerasan simbolis yang bisa membuka gerbang ke arah berbagai


(2)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan

pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai menutup peluang bagi terwujudnya keadilan.

3 Kami juga menentang dan menyesalkan sikap dan tindakan yang cenderung membawa-bawa agama, atau menekankan pertimbangan bernada keagamaan, sebagai tameng bagi pemutlakan dan pemaksaan sikap dan pandangan individu dan golongan tertentu. Janganlah mempermain-mainkan agama demi tujuan-tujuan yang sempit, picik, dan pendek.

4 Pada hemat kami, ruang publik sebagai wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara dan dikembangkan. Dalam hal ini, kami menyatakan bahwa media massa, sebagai salah satu institusi sosial yang mengelola ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat menjaga integritasnya sehingga tidak mudah dipermainkan oleh individu dan kelompok tertentu yang sikap dan tindakannya tidak sejalan dengan pemeliharaan ruang publik.

Sumber:

http://kapasmerah.wordpress.com/2007/08/14/pernyat aan-bersama-menyikapi-polemik-puisi-malaikat/

Puisi Malaikat tersebut sebenarnya mendekonstruksi pandangan umum tentang Malaikat. Pandangan umum tentang Malaikat seperti yang dikemukakan oleh DDII.

Dalam ajaran Islam, Malaikat adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Allah SWT yang mendapat keistimewaan tersendiri. Mereka merupakan makhluk rohani bersifat gaib, tercipta dari cahaya (nur), selalu tunduk patuh, taat, dan tak pernah ingkar kepada Allah SWT. Malaikat menghabiskan waktu siang-malam untuk mengabdi kepada Allah SWT. Mereka tidak pernah berbuat dosa dan tidak pernah mengerjakan apa pun atas inisiatif sendiri, selain menjalankan titah kuasa perintah Allah SWT semata. Mereka diciptakan Allah SWT dengan tugas-tugas tertentu.

Bagi umat Islam, percaya (iman) kepada Malaikat, adalah bagian dari rukun Iman yang enam, di samping iman kepada Allah, Rasul-rasul Allah, Kitab-kitab Allah, Qodlo-Qodar (takdir), dan hari akhir. Iman kepada Malaikat menjadi bagian terpenting dari tauhid (mengesakan Allah) dan membebaskan manusia dari syirik (menyekutukan Allah).

Saeful Badar mendekonstruksi citra tersebut dengan mengungkapkan:

Mentang-mentang punya sayap Malaikat begitu nyinyir dan cerewet Ia berlagak sebagai makhluk baik Tapi juga galak dan usil

Ia meniup-niupkan wahyu Dan maut/Ke saban penjuru.

Ungkapan tersebut menimbulkan kesan mengolok-olok, atau mempermain-mainkan Malaikat.

Saeful Badar memang sah-sah saja mendekonstruksinya, apalagi baik antara Saeful Badar dan pihak-pihak yang keberatan terhadap puisinya di atas, sama-sama tidak punya mandat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengatakan Saeful Badar yang salah, atau lawan Saeful Badar yang benar. Atau sebaliknya Saeful Badar yang benar, lawan Saeful Badar yang salah.

3.2 Puisi Doa Mohon Kehancuran Agama oleh Gendhotwukir

Puisi ini dipublikasikan pada situs Rumah Kiri. Puisi ini berbeda dengan puisi Malaikat“ karya Saeful Badar. Puisi Gendhotwukir, justru mendoakan dan memohon agar agama hancur. Gendhotwukir

Doa Mohon Kehancuran Agama

kepada Allah yang dipuja di label dunia atas nama agama

diagung-agungkan sebagai pencipta dan pengatur semesta

aku mohon kehancuran agama

jika atas nama agama tidak ada penghargaan martabat sesama manusia

jika atas nama agama, ada yang terluka bahkan mati binasa

terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka bahkan oleh teriak para pemangku agama jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi sia-sia

dan nista hukumnya

jika kedatangan sesama manusia menjadi berjarak hanya karena beda agama jika karena pantang-pantang, persaudaraan menjadi baur mengudara

jika manusia telah menjadi "allah" atas sesamanya

jikapun dengan cara demikian orang masuk surga,


(3)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 maka akulah orang yang pertama memilih

masuk neraka

sekali lagi aku mohon kehancuran agama

Jerman, 18.02.06 Sumber:

http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&tas k=category&sectionid=5&id=12&Itemid=271 (30/08/2007)

Bagaimana menyikapi puisi ini? Ada apa di balik teks puisi Gendhotwukir tersebut? Fakta atau faktual? Jawabnya keduanya, fakta dan faktual.

Nurcholis Madjid pada tulisannya di Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur'an. Nomor I, Vol IV, tahun 1993 (Madjid, 1993:7-8) menulis: “Peta dunia sekarang (1993) sedang ditandai oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan. Meskipun agama bukanlah satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peranan. Di ujung paling utara, di Irlandia ialah pertentangan tidak berkesudahan antara kaum Katolik dan kaum Protestan. Dan di tengah-tengah Eropah, sekitar Perancis dan Jerman, sedang terjadi konflik-konflik yang malu-malu disebut bernuansa keagamaan (karena akan menodai "liberalisme" mereka) dan terbungkus rasialisme atau kepentingan ekonomi terhadap para pekerja asing yang kebanyakan beragama Islam. Sedikit ke selatan, dan masih dalam wilayah Eropah, kita mendapati bentuk paling baru konflik dengan banyak warna keagamaan yaitu di Bosnia-Herzegivina. Kemudian di Cyprus, betapapun juga pertentangan antara mereka yang keturunan Turki dan yang keturunan Yunani tetap sedikit banyak diwarnai oleh sentimen keagamaan. Konflik-konflik di Palestina khususnya Timur Dekat umumnya yang melibatkan kaum Yahudi, Muslim dan Kristen, dengan faksi masing-masing yang cukup membingungkan, hampir merupakan anomali bagi sebuah tempat buaian peradapan manusia yang paling berpengaruh, dan jelas anakronistik bahwa kaum Yahudi hendak mendirikan negara agama di zaman moderen atas bantuan negara moderen. Di Afrika Hitam pun konflik-konflik dengan warna keagamaan juga tidak mudah disembunyikan. Di Sudan ada konflik antara Islam yang "Arab" di sebelah Utara dan Kristen yang "Negro" di sebelah Selatan. Belum lagi konflik-konflik karena rasialisme dan paham apartheid, yang juga mengundang keterlibatan berbagai tokoh keagamaan (Kristen). Negeri-negeri Timur Tengah yang lain, juga diramaikan oleh konflik-konflik dengan warna keagamaan,

sebagian daripadanya sungguh dramatis. Tidak saja konflik antara Irak dan Iran merupakan konflik antara pemerintah yang berturut-turut didominasi oleh Islam Sunni dan Islam Syi'i, bahkan juga masing-masing pihak dengan jelas menggunakan simbol-simbol keagamaan, seperti heorisme Q'adisiyyah dari pihak Irak dan jihad melawan thaghut (tiran) yang jelas ateis dari pihak Iran. Perang teluk yang dahsyat itu secara resmi terhindar dari pewarnaan keagamaan, namun tidak luput terjadi persepsi populer yang aneh di sementara kalangan bahwa perang itu adalah perang antara Islam (Irak) melawan kekafiran (Kuwait, Saudi, Syria, Mesir, yang dibantu negeri-negeri Barat khususnya Amerika)!. Dan jika kita teruskan ke Timur, kita melewati Afghanistan yang masih dalam kemelut konflik-konflik politik dengan tema perebutan keabsahan menurut jenis penganut keagamaan (Islam) mereka. Anak Benua sekitarnya juga meriah dengan percekcokan keagamaan: Islam Sunnah lawan Islam Syi'ah di Pakistan, Hindu lawan Islam di India, Hindu lawan Budhisme (dan Islam) di Srilangka, dan Budhisme lawan Islam di Burma dan Thailand. Di Filipina kita sudah lama mengetahui adanya konflik yang berlarut-larut antara Katolik dan Islam. Di tempat-tempat lain, konflik keagamaan itu jelas selalu merupakan potensi yang syukurlah belum, tidak atau malah tidak akan terbuka”.

Pendapat Nurcholis Madjid ini pernah ditentang habis-habisan oleh beberapa orang yang tidak sejalan dengannya. Mereka tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Pertanyaan kita kemudian, mengapa dalam agama yang diajarkan begitu mulia dapat berbuat sebaliknya, bertentangan dengan isi pengajarannya? Jawabannya dapat bermacam-macam, bergantung kepada bingkai (framing) yang digunakan. Bingkai politik misalnya, di Indonesia sejak Orde Lama, bahkan sebelum Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara hingga Orde Baru dan Orde Reformasi, agama dijadikan kudatunggangan oleh para elit politik untuk meraih kekuasaan duniawi melalui partai politik, melalui organisasi keagamaan. Lihat saja Politisasi Agama pada masa Orde Lama berikut ini.

Aliran Awal Kemerdekaan (1908-1955)

Orde Lama (1955-1965) Islam Masjumi, NU, PSII,

Perti

Masjumi, NU, PSII, Perti, PPTI, AKUI, PSII Abikusno Kristen Partai Katolik,

Parkindo.

Partai Katolik, Parkindo.

Hasilnya sudah kita ketahui, munculnya pemberontakan-pemberontakan yang bersenjata,


(4)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 ada yang bersifat keagamaan. Kemudian wacana

memformalkan syariat Islam ke dalam tatanegara Indonesia, adalah bukti bahwa agama dijadikan kudatunggangan oleh elit politik, atau kaum ulama memasuki dunia politik.

Pada masa Orde Baru, politisasi agama sebagai berikut.

Aliran Orde (1965-1973)

Baru

(1973-1998) Islam NU, PSII, Perti,

Parmusi.

PPP

Kristen Partai Katolik, Parkindo.

-

Pada masa Orde Reformasi, politisasi agama sebagai berikut:

Aliran Masa Reformasi (1999-2003) Islam PPP, PBB, PK, PSII, Masyumi Kristen PDKB, KRISNA

Ini adalah yang bersifat formal, di balik formal tersebut yang dikatakan bersifat informal, perilaku politisasi ini bertaburan di balik istilah koncoisme, kolusi dan nepotisme, banyak dilakukan atas nama seiman, sesama umat. Bahkan ada yang berpandangan, orang-orang yang tidak seagama disebut kafir.

Faktanya tidak ada bukti material yang meyakinkan manusia bahwa Tuhan Yang Maha Esa, pernah ada memberikan mandat manusia (kelompok manusia) manapun di dunia ini untuk mewakili atau membela kepentingan Tuhan di muka bumi ini. Tidak ada bukti material meyakinkan bahwa yang dikategorikan sebagai kitab suci benar-benar ajaran yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua karena tafsiran. Mungkin inilah yang hendak dibongkar, disadarkan oleh Gendhotwukir melalui puisinya tersebut seperti di bawah ini.

jika atas nama agama tidak ada penghargaan martabat sesama manusia

jika atas nama agama, ada yang terluka bahkan mati binasa

terinjak-injak oleh bejat dan nafsu belaka bahkan oleh teriak para pemangku agama jika salaman saja bagi yang berbeda menjadi sia-sia

dan nista hukumnya

jika kedatangan sesama manusia menjadi berjarak hanya karena beda agama ...

maka akulah orang yang pertama memilih masuk neraka

sekali lagi aku mohon kehancuran agama

Masalah sekarang rasionalkah isi doa tersebut yaitu ingin menghancurkan agama agar manusia menjadi bermartabat tanpa melalui agama? Soal rasional tidaknya isi doanya tersebut, memang dapat diperdebatkan, kehancuran agama yang dimaksud, kehancuran yang bagaimana? Kalau menghancurkan semua agama yang ada, jelaslah tidak mungkin, agama atas nama kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya tidak akan pernah dapat hancur, dalam renungan agama sudah berada, bukan mengada, artinya agama sudah benar-benar hadir di dunia ini, didukung oleh jutaan manusia, agama bukan lagi sebagai wacana-wacana. Berjuta-juta manusia telah merasakan peranan agama dalam hidup dan kehidupan mereka. Mereka yang demikian tidak akan bakalan mau menghancurkan agama mereka.

Bahasa yang ada untuk eksistensi agama ini adalah pengikut atau umat beragama dapat mengalami masa surut seperti air laut yang ada pasang surutnya. Ketika masa surut umatnya berkurang, ketika masa pasang umatnya banyak. Justru di masa depan dengan hancurnya ikatan kekerabatan (hubungan darah), karena berkembangnya paham pragmatisme dalam berkerabat, atau karena jauhnya kerabat dari tempat tinggal seseorang, acara suka dan duka yang dialami yang selama ini ditangani oleh kaum kerabat, akan diambil alih oleh kerabat baru yang bernama seagama. Merekalah yang mengisi kekosongan peran kerabat sedarah tersebut, terutama di kota-kota besar khususnya di Indonesia. Hancurnya kekerabatan ini bukan seratus persen karena faktor agama, tetapi karena faktor pragmatisme dalam berkerabat, sehingga kelompok tetangga yang seagama yang akhirnya dianggap sebagai kerabat terdekat yang dapat menggantikan peran dan fungsi kerabat sedarah tersebut.

Kalaupun hancur agama atas nama kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya, kehancurannya akan diisi oleh kelompok „agama“ baru. Kelompok „agama“ baru ini, akan mengambil sisi-sisi positif dari agama atas nama kelompok tersebut. Bibit ini saat ini berkembang, tetapi belum pesat yaitu aliran teosofi. Aliran teosofi ini, mengkaji, mempelajari Tuhan bersifat lintas agama. Saat ini kelompok teosofi ini, hanya sebatas mengkaji Tuhan lintas agama, belum mengambil alih peran kerabat dalam suka dan duka. Bila kelompok teosofi ini, akhirnya mengambil alih peran suka dan duka, maka kemungkinannya dapat berkembang mengalahkan agama kelompok tersebut.


(5)

LOGAT

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA Volume III No. 1 April Tahun 2007 Jadi, puisi Gendhotwukir dengan judul

Doa Mohon Kehancuran Agama tidak akan terbukti. Hancur agama kelompok seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan lainnya, akan melahirkan kelompok agama baru dengan nama yang berbeda dengan ajarannya diambil (sintesa) dari hal-hal yang dianggap positif dari agama kelompok tersebut.

Namun, misi puisi Gendhotwukir tersebut di atas jelas. Kekecewan Gendhotwukir karena dia menganggap atas nama agama saat ini tidak ada penghargaan kepada martabat sesama manusia, atas nama agama, banyak yang terluka, mati, bahkan jika bersalaman saja bagi yang berbeda agama dihindari, yang ada saat ini adalah manusia telah menjadi "Allah" atas sesamanya. Kalautesis ini benar, maka itu “ngawur“ namanya, manusia sudah ngawur demi kepentingan dirinya, kelompoknya, bukan kepentingan manusia secara universal.

4. PENUTUP

Dibandingkan dengan puisi Malaikat di atas, puisi Gendhotwukir ini jauh lebih kuat kesan tendensnya walaupun keduanya bermain-main di wilayah agama. Puisi Malaikat mendekonstruksi, membongkar pandangan masyarakat perihal “Malaikat“, sehingga memberi kesan puisi

Malaikat seperti melecehkan “Malaikat“ salah satu simbol yang dihormati baik dalam agama Islam maupun Kristen, puisi Doa Mohon Kehancuran Agama justru ingin „menghancurkan“ agama. Menghancurkan sama dengan menaklukkan atau membinasakan ini tidak rasional. Kedua puisi tersebut mendekonstruksi pandangan keagamaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia khususnya.

Dilihat dari segi jarak waktu mulai era Hamzah Fansuri ((1550-1600) dan Gatoloco, karya-karya sastra Indonesia yang berani

mendekonstruksi pandangan keagamaan masyarakat Indonesia baru pada era reformasi ini muncul kembali. Pendekonstruksian ini perlu agar masyarakat tidak mudah diakal-akali oleh mereka yang mengaku-ngaku mewakili Tuhan di dunia ini, sementara Tuhan sendiri tidak pernah memberikan mandat kepada mereka. Tuhan perlu uang katanya, akal sehat kita membisikan, Tuhan tidak perlu uang, yang perlu uang itu manusia. Gelar Ustad, Pendeta, Biksu, ulama dan lainnya, hanyalah gelar hasil buatan manusia, bukan pemberian dari Tuhan si Penguasa Alam.

Puisi Malaikat karya Saeful Badar dan puisi Doa Mohon Kehancuran Agama karya Gendhotwukir, sudah memulai mencoba menghindarkan bangsa ini pecah karena politisasi agama. Maka dapat dipahami kedua puisi ini sebenarnya secara tidak langsung juga mendekonstruksi, konstruksi keagamaan yang dibuat oleh para “politisi“.

DAFTAR PUSTAKA

Fang, Liaw Yock. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Penerbit Erlangga. Madjid, Nurcholish. 1993. “Beberapa Renungan

Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang”. Dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ummul Qur'an. Vol. IV, 1. Prawirataruna. 1990. Falsafah Gatoloco.

Semarang: Dahara Prize.

Sukahar, Joko Su’ud. 1999. Tafsir Gatolotjo. Surabaya: Wuwung.

Sukahar, Joko Su’ud. 2007. Tafsir Gatolotjo. Jakarta: Agromedia Pustaka.


(6)

1. Isma Tantawi

Isma Tantawi lahir pada tanggal 7 Februari 1960 di Kuning Aceh Tenggara (sekarang Kabupaten Gayo Lues). Beliau adalah staf pengajar tetap di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara mengasuh mata kuliah Sastra Bandingan, Estetika, dan Sastra Malaysia Modern serta mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta di Sumatera Utara dan sebagai dosen tamu di Kolej Sentral Kuala Limpur, Malaysia. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (FS USU) tahun 1986 dan pendidikan master (S-2) di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia (PPIK USM) tahun 2006 dengan bidang kajian tradisi lisan nusantara. Di samping itu juga beliau aktif mengikuti seminar nasional dan internasional baik sebagai peserta maupun pemakalah.

2. Nurhayati Harahap

Nurhayati Harahap lahir di Padang Sidempuan, 19 April 1962. Beliau adalah staf pengajar tetap Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU dalam bidang kesusateraan. Menyelesaikan pendidikan Sarjana (S-1) pada program studi dan fakultas yang sama tahun 1985 dan pendidikan lanjutan (S-2) di Unpad Bandung pada tahun 1997. Beliau juga aktif meneliti khususnya sastra etnik Angkola Mandailing.

3. Haris Sutan Lubis

Haris Sutan Lubis lahir di Padang Sidempuan 7 September 1959. Beliau adalah staf pengajar di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra sejak tahun 1986. Beliau menyelesaikan S-1 bidang studi Sastra Indonesia di fakultas yang sama pada tahun 1985. Pada tahun 2006 beliau menyelesaikan pendidikan Magister Studi Pembangunan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul tesis “Perencanaan pengembangan Ekowisata berbasis Masyarakat. Saat ini beliau mengasuh mata kuliah Telaah Drama di Departemen Sastra Indonesia, Mata kuliah Ekowisata dan Kepemimpinan Kepariwisataan di Program Studi Pariwisata

4. Yundi Fitrah

Yundi Fitrah, lahir di Batangtoru, 25 Desember 1959. Beliau adalah staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara pada tahun 1985 dan telah menyelesaikan Program Magister Ilmu Susastra pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Program Doktor dalam Persuratan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia. Alamat: Jln. Kemajuan No.42. Mendalo Darat 36361Tel. 0741– 580008 Hp. 08127811770Jambi.

5. Ikhwanuddin Nasution

Ikhwanuddin Nasution lahir di Padang Sidempuan, 25 September 1962. Beliau adalah staf pengajar di Fakultas Sastra USU dalam bidang sastra. Beliau menyelesaikan pendidikan sarjana (S-1) pada fakultas yang sama pada tahun 1986, pendidikan lanjutan (S-2) di Program Pascasarjana Universitas Udayana, Bali pada tahun 2000, dan Pendidikan Doktor (S-3) pada Program Studi Kajian Budaya, Pengutamaan Estetika Sastra Program Pascasarjana Universitas Udayana pada tahun 2007. Beliau aktif menulis di berbagai jurnal.

6. Haron Daud

Haron Daud dilahirkan pada 20 Februari 1952 di Kampung Pulau Pisang, Kota Bharu, Kelantan, Malaysia. Pada tahun 1996 beliau meraih gelar Doktor Falsafah dari Universiti Malaya dan meraih Profesor pada tahun 2006 di Universiti Sains Malaysia. Beliau menjadi dosen di Pusat Pengajian Ilmu kemanusiaan USM sampai tahun 2007. Pada awal tahun 2008 beliau pindah dan menjadi dosen di Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia.

7. Pertampilan S. Brahmana

Pertampilan S. Brahmana adalah staf pengajar pengajar Departemen Sastra Indonesia Fakultas Sastra USU. Menyelesaikan pendidikan Magister (S-2) di Program Pascasarjana Universitas Udayana dalam bidang Kajian Budaya dengan Pengkhususan Sistem Pengendalian Sosial.