Peran Pandangan Dunia Orang Indonesia Ba (1)

PERAN PANDANGAN DUNIA ORANG INDONESIA BAGIAN BARAT DALAM
MERAMALKAN PRASANGKA TERHADAP ORANG PAPUA

Idhamsyah Eka Putra
Lembaga Penelitian Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Kampus Baru UI Depok, Jawa Barat 16424
idhamsyah.ekaputra@gmail.com
Juneman
Jurusan Psikologi, Fakultas Humaniora, Universitas Bina Nusantara
Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Palmerah, Jakarta 11480
juneman@binus.ac.id

Abstrak
Kesulitan memahami gerakan sosial orang Papua dan pergolakan situasi di Papua, serta
persoalan psikososial terkait, memunculkan urgensi bahwa psikologi (khususnya psikologi sosial
prasangka) perlu memberikan sumbangsih pemahamannya. Tujuan penelitian ini adalah: 1)
mengungkap tema-tema perseptual yang dimiliki oleh orang Indonesia bagian Barat mengenai
orang Papua (survei representasi sosial), 2) konstruksi alat ukur prasangka terhadap orang Papua
(uji reliabilitas), serta 3) menguji model hubungan antara variabel pandangan dunia dengan
prasangka terhadap orang Papua. Partisipan berjumlah 100 mahasiswa Universitas Indonesia,
48% laki-laki, 52% perempuan. Hasil penelitian dengan alat ukur yang teruji reliabilitasnya (α >

0,7) menunjukkan bahwa pandangan dunia kompetitif—yaitu penggambaran bahwa hidup di
dunia tidak ubahnya seperti hidup di alam liar—menjadi faktor pembentuk prasangka terhadap
orang Papua (γ = 0,49; t > 1,95, dalam model struktural dengan χ2 = 71,48; p > 0,05; RMSEA <
0,05). Temuan ini senada dengan persepsi sosial orang Indonesia Barat yang melihat orang
Papua sebagai kelompok yang primitif, rendah dalam kemampuan berpikir, dan tidak
berperadaban. Persepsi yang sifatnya meremehkan tersebut khas muncul dari orang yang
memiliki pandangan dunia kompetitif. Solusi untuk mengurangi prasangka terhadap orang Papua
adalah dengan membentuk perkenalan dan perjumpaan yang menempatkan orang Papua setara
dengan orang Indonesia lainnya dalam segi kemampuan.
Kata kunci: pandangan dunia, kelompok primitif, orang Papua, kompetitif, ancaman, bahaya

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Abstract
It has been considered that social psychology, particularly the field of prejudice, needs to take
part in understanding the social movement and social turmoil in Papua. The goals of this research
were to: 1) discover the perceptual themes of the people living in Western Indonesia, about the
Papua people (social representation survey), 2) construct scale of measurement of prejudice
toward the Papua people (reliability test), 3) examine the relation between two variables which

are the worldview and the prejudice toward the Papua people. The participants of this research
were 100 students of the University of Indonesia. They were 48% men and the rest were females.
Using the reliability proven scale of measurement (α > 0,7 ) it was showed that competitive view
of world—that is a description that living in this world is the same as living in the jungle—was
one of the determinant factors of prejudice toward the Papua people (γ = 0,49; t > 1,95, in the
structural model, where χ2 = 71,48; p > 0,05; RMSEA < 0,05). This finding is not very much
different from the social perception of the people living in Western Indonesia about the Papua
people. They perceived the Papua people are primitive, having low level of thinking ability, and
lack of civilization. This undervalued social perception is typically held by those with
competitive view of the world. It is suggested that acquaintanceship and assembly programs will
reduce the level of prejudice and will put the Papua people equal with the Indonesians regarding
the capability.
Keywords: worldview, primitive group, Papuans, competitive, threat, dangerous

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Pada Agustus 2011 di Papua dan Jakarta terjadi demonstrasi rakyat Papua yang menuntut
diselenggarakannya referendum agar rakyat Papua dapat menentukan jalan hidupnya: tetap
berintegrasi dengan Indonesia atau memisahkan diri (“Demonstrasi menuntut”, 2011; Lestari,

2011). Peristiwa ini bukanlah pertama kali, melainkan telah terjadi berulang-ulang.
Penyebabnya dapat diduga, sebagaimana sering terdengar, yakni karena perlakukan
diskriminatif, tindak kekerasan, dan merendahkan yang diterima orang Papua. Leo Imbiri,
Sekretaris umum Dewan Rakyat Papua, bahkan berkomentar bahwa orang Papua tidak hanya
belum menikmati hasil dari kekayaan negerinya tetapi juga terus terpinggirkan (Amri & Adam,
2011). Hamah (2009) meringkasnya sebagai fenomena diskriminasi rasial terhadap orang Papua.
Dalam tinjauan psikologi sosial, perlakuan negatif yang diterima oleh orang Papua dapat
disebabkan karena wujud keyakinan buta (yang cenderung bias dalam menjustifikasi) (Volkan,
2005) dan antagonisme kelompok (Sears, Freedman, & Peplau, 1985). Orang yang memiliki
keyakinan buta akan menegasikan informasi-informasi baru mengenai orang atau kelompok lain
yang bersifat bertentangan dengan persepsinya saat ini. Sementara itu, pertentangan antar
kelompok akan menempatkan kelompok lain sebagai suatu kelompok jahat yang sama sekali
berbeda dengan kelompoknya. Sears, Freedman, dan Peplau (1985) menyebutkan ada tiga
komponen antagonisme kelompok, yakni stereotip (komponen kognitif), prasangka (komponen
afektif atau evaluatif), dan diskriminasi (komponen tingkah laku). Penelitian ini hendak
menyelidiki prasangka orang Indonesia bagian Barat terhadap Papua, dengan fokus tiga hal,
yakni (1) mengungkap tema-tema perseptual utama yang dimiliki oleh orang Indonesia bagian
Barat mengenai orang Papua, (2) konstruksi alat ukur prasangka rasial terhadap orang Papua,
serta (3) menguji model hubungan antar variabel pandangan dunia dengan prasangka terhadap
orang Papua


Prasangka, Ideologi, dan Pandangan Dunia
Penyebab prasangka telah banyak dijelaskan oleh para ahli, baik dari perspektif kepribadian,
psikoanalisis, individu, antar-individu, kelompok, dan antar-kelompok (lihat Nelson, 2010; dan
lihat juga Putra & Pitaloka, 2012). Kompleksitas penjelasan terjadi bilamana keseluruhan faktor
penyebab yang berasal dari bermacam pendekatan dan perspektif prasangka ini dimasukkan
dalam satu model pengukuran. Garis-garis maupun busur relasi antar variabelnya yang terbentuk
akan seperti benang kusut.
Duckitt (2001) kemudian mencoba untuk menyederhanakannya. Dalam pengamatannya,
prasangka sebenarnya berasal dari dua proses kausal linear yang berbeda, dan akan berujung
pada dua perbedaan keyakinan ideologi. Proses ini dinamakan oleh Duckitt (2001) dengan dual
process model (DPM). Prasangka dibuktikan olehnya berasal dari dua keyakinan yaitu otoritarian
konservatif atau yang biasa dikenal dengan otoritarian sayap kanan (right-wing
authoritarian/RWA) (lihat juga (Adorno, Frenkel-Brunswick, Levinson, & Sanford dalam Hoggs
& Abrams, 1990; Altemeyer, 1981) dan dominansi sosial atau yang biasa dikenal dengan
orientasi dominansi sosial (social dominance orientations/SDO) (lihat juga Sidanius & Pratto,
2001; Pratto, Sidanius, Stallworth, & Malle, 1994).

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860


Kedua keyakinan ideologis tersebut berasal dari dua proses kausal yang berbeda. Keyakinan
ideologis RWA berasal dari motif atau tujuan penciptaan kendali sosial atau keamanan.
Keyakinan tersebut terbentuk oleh pandangan bahwa dunia ini penuh dengan ancaman atau
bahaya. Orang yang memiliki pandangan dunia ini memiliki kepribadian yang cenderung
konformis. Sementara itu, pembentukan keyakinan ideologis SDO lebih disebabkan oleh motif
atau tujuan menjadi orang yang unggul, superior, atau agung. Motif ini terbentuk oleh pandangan
dunia bahwa dunia ini penuh dengan kehidupan yang kompetitif, tidak ubahnya seperti hidup di
alam liar. Sebagian besar orang yang memiliki pandangan dunia ini berkepribadian keras dan
kurang memiliki empati.
Guna membuktikan tesisnya itu, sejumlah penelitian telah dilakukan oleh Duckitt dan koleganya
(lihat Asbrock, Sibley, & Duckitt, 2010; Cohrs & Asbrock, 2009; Duckitt, 2006; Duckitt &
Sibley, 2007; Jugert & Duckitt, 2009; Lehmiller & Schmitt, 2007; Sibley & Duckitt, 2009).
DPM terbukti menjadi model penyebab prasangka dengan hasil-hasil yang variatif. Misalnya
saja, prasangka terhadap kelompok gay dan lesbian lebih memiliki hubungan yang kuat dengan
RWA dibandingkan dengan SDO (Cohrs & Asbrock, 2009; Duckitt, 2001). Namun, prasangka
terhadap orang kulit hitam dan perempuan lebih memiliki hubungan yang kuat dengan SDO
dibandingkan dengan RWA (Sibley & Duckitt, 2007).
Temuan-temuan tersebut memperlihatkan bahwa ketika sebuah kelompok dipahami sebagai
suatu ancaman (entah simbolik maupun langsung), maka serangan paling keras akan muncul dari

orang yang memiliki ideologi RWA. Namun, jika sebuah kelompok dipandang sebagai
kompetitor atau pun kelompok yang berderajat rendah, maka serangan tehadap kelompok
tersebut akan lebih kuat muncul dari orang yang memiliki ideologi SDO.
Temuan lain juga menujukkan bahwa keterkaitan antar-faktor pada DPM sangat ditentukan oleh
konteks. Ada kelompok yang dipandang sebagai ancaman dan kompetitor, sehingga membentuk
hubungan yang kuat antara persepsi ancaman dengan persepsi kompetitif (Duckitt, 2006). Suatu
konteks tertentu juga dapat menunjukkan aktivasi RWA dan SDO muncul dalam orang yang
sama (Liu, Huang, & McFedries, 2008). Misalnya saja dalam kehidupan politik, kelompok yang
telah berkuasa cukup lama terbukti memiliki kecenderungan yang tinggi pada SDO dan RWA.
Liu, Huang, dan McFedries (2008) menemukan bahwa SDO dan RWA merupakan fungsi dari
kekuatan politik dan perubahan sosial.
Duckitt (2006) menemukan bahwa pandangan terhadap dunia (worldview) yang dimiliki
seseorang merupakan prediktor tak langsung terhadap prasangka, sedangkan pandangan dunia
itu sendiri dibentuk oleh konteks sosial dan kepribadian (lihat Gambar 1). Sesuai dengan Gambar
1, pandangan dunia yang dimaksud Duckitt ada dua, yakni (1) pandangan mengenai dunia yang
penuh bahaya atau ancaman (selanjutnya disingkat: PDA), dan (2) pandangan dunia mengenai
dunia yang tidak setara dan kompetitif (selanjutnya disingkat: PDK).
Namun demikian, berkenaan dengan problematika konteks dan kekhasannya, dapat diduga juga
bahwa ada faktor-faktor yang sebelumnya hanya dijadikan faktor tidak langsung pembentuk
prasangka dapat juga menjadi faktor langsung. Dugaan ini tertuju pada faktor PDA dan PDK

tersebut. Temuan mengenai kuatnya hubungan fundamentalisme agama dengan prasangka
(Altemeyer, 2003; Hood, Hill, & Williamson, 2005; Putra & Wongkaren, 2010) memperkokoh
Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

asumsi yang dibangun dalam penelitian saat ini. Salah satu dasar berpijak fundamentalisme
agama adalah pola pandang terhadap dunia (worldview). Para fundamentalis agama memahami
dunia tidaklah berdasarkan pengalamannya tetapi bagaimana kitab suci memandang dunia.
Melalui pola pandang yang seperti itu, orang yang memiliki keyakinan berbeda dan orang yang
dianggap merusak keteraturan dunia dipandang sebagai musuh. Berkenaan dengan itu, penelitian
ini menduga bahwa di samping memiliki pengaruh tidak langsung terhadap prasangka,
pandangan dunia ancaman dan kompetitif juga memiliki pengaruh langsung, sebagaimana
nampak pada Gambar 2.
Bentuk hubungan dan pengaruhnya akan sangat ditentukan oleh konteks. Ini tergantung pada
pandangan umum suatu masyarakat mengenai kelompok, apakah dipandang sebagai ancaman
atau bahaya, atau dipandang sebagai kompetitor atau kelompok rendah. Sebagai penelitian awal,
kami akan mencoba pengujian modelnya pada orang Papua sebagai kelompok target prasangka.
Di samping masih sedikitnya penelitian mengenai prasangka terhadap Papua, penelitian ini juga
berupaya untuk mengungkapkan problematika yang terjadi antara orang Papua dengan NKRI.


Gambar 1. Hubungan antara konteks, kepribadian, pandangan dunia, ideologi, dan sikap negatif
terhadap kelompok luar (Duckitt, 2006)

Pandangan tentang dunia
yang penuh ancaman (PDA)

Prasangka (sikap negatif)
terhadap orang Papua yang
dipandang sebagai ancaman
atau berderajat rendah

Pandangan tentang dunia
yang kompetitif (PDK)
Gambar 2. Hipotesis hubungan antara pandangan dunia dan prasangka terhadap kelompok luar
Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Papua dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
Saat Gerakan Pemuda pada tahun 1928 yang mengikrarkan dirinya sebagai satu negara bangsa,
tanah air, dan bahasa, Papua memang belum dimasukkan sebagai bagian Indonesia. Para pemuda

Papua juga tidak terlibat dalam revolusi pergerakan kemerdekaan dan pembentukan Negara
(Bertrand, 2004; Chauvel, 2006). Saat itu, sebagai bagian wilayah jajahan Belanda, Papua sangat
terisolasi dibandingkan dengan wilayah jajahan Belanda lainnya. Papua baru menjadi
pembicaraan pada 1950 ketika Presiden Soekarno berpidato menjelaskan posisi Papua Barat
(istilah yang digunakan saat itu). Soekarno mengemukakan bahwa jika Papua Barat merupakan
bagian dari koloni Belanda, maka Papua Barat adalah bagian dari Indonesia. Sejak saat itu,
perundingan dan negosiasi dilakukan antara Belanda dan Indonesia mengenai posisi tanah Papua.
Saat perundingan antara Belanda dengan Indonesia mengenai wilayah Papua, penduduk asli
sama sekali tidak dilibatkan dan diajak untuk menentukan dirinya. Alasannya adalah karena
sebagian besar penduduk Papua masih hidup dalam budaya primitif atau terbelakang (Bertrand,
2004). Penduduk Papua dianggap belum dapat atau mampu memberikan pilihan yang tepat atas
masa depan mereka sendiri.
Hingga saat ini, pandangan sebagian besar orang Indonesia, khususnya yang tinggal wilayah
Barat, terhadap orang Papua masih belum banyak berubah (lihat Hamah, 2009). Edo Kondologit,
seorang penyanyi asal Papua, misalnya, merasakan bahwa Pemerintah Indonesia masih
memandang orang Papua sebagai orang yang bodoh (Santosa, 2011). Padahal, faktanya, anakanak dari pedalaman-pedalaman papua yang dilatih oleh Prof Yohanes Surya berhasil
memenangi 4 medali emas, 5 perak, dan 3 perunggu dalam Asian Science and Mathematics
Olympiad for Primary School pada November 2011 (”Anak Papua”, 2011). Secara genetis,
kemampuan bernalar dan berpikir orang Papua tidaklah berbeda dengan kemampuan orang
Indonesia lainnya (lihat Diamond, 1997).


Agar dapat memahami pola pemahaman orang Indonesia mengenai orang Papua, penelitian ini
akan mencoba menskemakan tema-tema yang keluar ketika orang Indonesia dimintakan
pendapat mengenai orang Papua. Tema-tema yang menonjol, merupakan tema yang paling
sering digunakan dan menetap di dalam pemahaman orang Indonesia. Tema ini dapat diartikan
sebagai tema yang telah menjadi inti dasar (atau central core) (Putra & Pitaloka, 2012; Putra,
Satriyanto, & Meinarno, in press; Abric 2001). Temuan tema-tema ini akan menentukan arah
hubungan antara pandangan dunia ancaman dan kompetitif dengan prasangka terhadap orang
Papua. Jika temuan ini menjelaskan bahwa orang Papua berada di dalam stratifikasi bawah dan
dianggap lebih bodoh dengan orang Indonesia lainnya, maka pandangan dunia kompetitif (PDK)
akan lebih memberikan kontribusi yang kuat. Demikian pun sebaliknya, jika orang Papua sangat
dekat tema-tema kelompok yang mengancam atau kelompok yang mengganggu kestabilan, maka
pandangan dunia penuh ancaman (PDA) akan memberikan kontribusi yang kuat.
Penelitian Saat Ini
Penelitian saat ini akan melakukan tiga kegiatan pengolahan data dan tiga analisis yang berbeda
dengan jumlah partisipan yang sama. Pada kegiatan pengolahan pertama, kami akan memetakan
persebaran tema-tema yang muncul mengenai pembahasan orang Papua. Tujuannya adalah untuk
Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860


mendapatkan jawaban empirik mengenai pandangan terhadap orang Papua yang telah melalui
proses perhitungan saintifik.
Kemudian, pada kegiatan pengolahan kedua, kami melakukan adaptasi alat ukur pandangan
dunia ancaman dan kompetitif ke dalam bahasa Indonesia yang didapat dari
Dangerous/Threatening Social Worldview Scale dan Competitive-jungle Social Worldview Scale
(Duckitt, 2001). Selanjutnya, kami juga membuat alat ukur skala prasangka terhadap Papua yang
dikembangkan dari Modern Racism scale (MRS) (McConahay, Hardee, & Batts, 1981).
Terakhir, kami akan melakukan uji model hubungan antara pandangan dunia ancaman dan
kompetitif dengan prasangka terhadap Papua. Hasil ini akan sangat ditentukan oleh pola
pandangan orang Indonesia mengenai orang Papua.

METODE
Partisipan. Data penelitian ini berasal dari sampel 100 mahasiswa Universitas Indonesia (48
laki-laki, 52 perempuan; M usia = 20,23 tahun; SD usia = 1,43 tahun), dengan metode penyampelan
insidental.
Prosedur. Penelitian ini dimulai dengan sebuah pertanyaan terbuka yang diajukan kepada
partisipan, yakni "Bagaimanakah Anda mempersepsikan orang Papua?". Selanjutnya, partisipan
diminta untuk mengisi tiga buah kuesioner sebagaimana diuraikan berikut ini.
Instrumen.
Skala “Prasangka Terhadap Orang Papua” (POP) diadaptasi dan dikembangkan dari Modern
Racism Scale (McConahay, Hardee, & Batts, 1981, dalam Davis & Engel, 2010, h. 129) yang
berjumlah 8 butir. Skala “Pandangan tentang Dunia yang Berbahaya/Penuh Ancaman” (PDA)
dan “Pandangan tentang Dunia yang Kompetitif” (PDK) diadaptasi dari Dangerous/threatening
World Scale (10 butir) dan Competitive-jungle Worldview Scale (14 butir) yang dikonstruksi oleh
John Duckitt (2001, h. 69). Seluruh skala memiliki rentang respons, sebagai berikut: “Sangat
Tidak Setuju” (1), “Tidak Setuju” (2), “Agak Tidak Setuju” (3), “Agak Setuju” (4), “Setuju” (5),
dan “Sangat Setuju” (6).
Metode Analisis Data. Pertama, peneliti melakukan analisis tematik terhadap data jawaban
terhadap pertanyaan terbuka mengenai persepsi partisipan terhadap orang Papua. Jawaban
partisipan atas pertanyaan ini akan dikelompokkan berdasarkan distribusi frekuensi dalam
sejumlah tema perseptual empirik dari Indonesia bagian Barat mengenai orang Papua. Tematema yang salien (menonjol) merupakan tema yang paling sering digunakan dan menetap di
dalam pemahaman mahasiswa Indonesia. Tema ini dapat diartikan sebagai tema yang telah
menjadi inti dasar (atau central core) (Abric, 2001; Putra & Pitaloka, 2012; Putra, Satriyanto, &
Meinarno, 2011), yang akan menentukan pandangan dunia manakah yang lebih kuat, apakah
PDA ataukah PDK.
Kedua, peneliti melakukan uji coba tiga buah alat ukur, untuk menentukan memastikan
reliabilitas konsistensi internalnya.
Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Terakhir, peneliti melakukan uji model hubungan antara PDA dan PDK dengan POP,
berdasarkan Gambar 2, dengan analisis structural equation model. Menurut Seniati (2009),
kriteria untuk menentukan apakah model fit (kesesuaian antara model penelitian atau model
pengukuran dengan data empiris) adalah (1) Chi-square: Chi-square valid jika asumsi normalitas
terpenuhi dan ukuran sampel adalah besar; Model fit jika p > 0,05; (2) Goodness of Fit Indices
(GFI): Model fit jika GFI > 0,90; (3) Root Mean Square Error of Approximation (RMSEA):
Model fit jika RMSEA < 0,05.

HASIL
Deskripsi demografis partisipan disajikan dalam Tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, nampak
bahwa mayoritas partisipan (1) beretnis Jawa (29%), Batak (15%), dan Tionghoa (11%); (2)
tinggal di kota Depok (52%), Jakarta (24%), dan Tangerang (9%); dan (3) lahir di propinsi DKI
Jakarta (58%), Jawa Barat (11%), dan Sumatera Utara (9%). Dengan demikian, partisipan dapat
dianggap sebagai representasi mahasiswa Indonesia Bagian Barat (selanjutnya disebut
“Indonesia Barat”), khususnya DKI Jakarta dan sekitarnya, Jawa Barat, dan Sumatera Utara.
Partisipan ditanyai pandangannya tentang orang Papua. Persepsi sosial partisipan dianalisis
dengan Multiple Response Analysis dengan IBM SPSS Statistics 19. Hasilnya nampak dalam
Tabel 2. Dari 100 partisipan, ada 87 respons yang valid, sedangkan 13 partisipan tidak
memberikan respons apapun. Jumlah respons dari 87 partisipan tersebut berjumlah 139 respons
yang dapat dikelompokkan menjadi 6 kelompok persepsi tematik. Nampak dalam Tabel 2 bahwa
terdapat dua tema persepsi yang menonjol dari mahasiswa Indonesia Barat terhadap orang
Papua, yakni (1) Orang Papua merupakan korban perlakuan tidak adil dari Pemerintah Indonesia,
rakyat Indonesia lain, dan pengusaha asing (28,8%), dan (2) Orang Papua kurang/tidak
berperadaban manusia modern (27,3%).

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Tabel 1. Deskripsi Demografis Partisipan
Frekuensi
Suku Bangsa
Jawa
Bali
Lampung
Palembang
Dayak
Jawa-Batak
PalembangMinang
Jawa-Tionghoa
Jawa-SundaTionghoa
Sunda
Jawa-Aceh
Jawa-Minang
Ambon
Toraja
Manado

24
4
52
9
6
1
4

1
1

Tempat Lahir (Propinsi)
DKI Jakarta

58

4
1
1
1
1
1

Lampung (Bandar Lampung)
Sumatera Barat (Padang, Solok)
Nusa Tenggara Barat (Mataram)
Kalimantan Timur (Bontang)
Tidak Menjawab
Jawa Barat (Bandung, Depok,
Bekasi,
Karawang,
Bogor,
Sukabumi)
Jawa Tengah (Kebumen, Solo,
Banyumas)
Jawa Timur (Jombang, Malang,
Nganjuk, Surabaya)
Riau (Tanjung Pinang, Pekan
Baru)
Sumatera Utara (Samosir, Medan,
Tobasa)
Sumatera Selatan (Palembang,
Muara Enim)
Bangka-Belitung (Pangkal Pinang)

29
2
1
2
1
4
1

TionghoaAmbon
Betawi

1

Indonesia

1

Minang

4

6

Batak

15

Batak Toba
Tionghoa
Chinese
Melayu
Aceh
Tidak
menjawab

3
/

Frekuensi
Tempat Tinggal
Jakarta
Bogor
Depok
Tangerang
Bekasi
Bandung
Tidak Menjawab

11

Jambi

1
2
1
1
2
11

3
4
3
9
2
2
1

3
1
4

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Tabel 2. Persepsi Partisipan Tentang Orang Papua
Tema
Persepsi
Tema
Persepsi 1

Rincian respons partisipan

Jumlah
Frekuensi
Respons
40
28,8%
Orang Papua merupakan korban perlakuan tidak adil oleh
penguasa Indonesia, rakyat Indonesia yang lain, dan
pengusaha asing (dieksploitasi oleh pengusaha asing, tidak
memperoleh pembagian keuntungan oleh perusahaan
asing, sasaran kekerasan struktural oleh perusahaan asing,
tenaganya diperas habis-habisan oleh perusahaan asing,
dinomorduakan oleh Pemerintah, perjuangan memperoleh
hak dan perlakuan sama, belum memperoleh keadilan
perekonomian dan hukum, terabaikan, tertindas,
dianaktirikan, dicurangi, dianggap remeh, terpinggirkan,
didiskriminasi, dikesampingkan, cukup dirugikan oleh
Pemerintah, kurang diberi kesempatan untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan di Indonesia, kurang diperhitungkan
oleh masyarakat di luar Papua, serba kekurangan, miskin,
belum sejahtera di tanahnya sendiri, diciderai pride-nya
oleh bangsa Melayu Indonesia, dipandang sebelah mata
oleh rakyat Indonesia yang lain, saudara yang dianggap
seperti saudara tiri, terzhalimi, diperalat, orang Papua
diadu domba oleh pihak asing dengan Pemerintah
Indonesia)

Tema
Persepsi 2

Orang Papua kurang/tidak berperadaban manusia modern
(cara hidup primitif, penuh agresivitas, pemberontakan,
kurang/tidak berpendidikan, kurang berpikir panjang,
kurang/tidak/masih berkembang, barbar, terbelakang, taraf
hidup rendah, polos, tertinggal, terisolasi dari dunia
modern seperti suku-suku tradisional lain di Indonesia,
kehidupannya belum secanggih orang-orang di kota-kota
besar seperti di Jakarta, kehidupannya tidak aman karena
penembakan dan penculikan, memiliki kemampuankemampuan yang menonjol namun kurang diketahui,
diasah dan dilatih; kuat memegang nilai dan adat
tradisional sehingga sulit diterapkan civilization yang
modern, sulit dijamah, tidak dikenal, sering bermasalah,
hanya sebagian kecil yang sudah maju, inferioritas)

38

27,3%

Tema
Persepsi 3

Aspirasi dan kondisi ideal yang seharusnya dari orang
Papua (ingin kemerdekaan yang sesungguhnya dalam hal
hak asasi, pendapatan, kebebasan, persamaan; tidak
adanya perbedaan/diskriminasi antara warga asli Papua
dengan yang bukan Papua; perlu pemimpin yang terjun
langsung, bukan utusan-utusan saja; tidak ingin pertikaian

22

15,8%

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

dan anarkisme; sasaran seharusnya pemerataan
pembangunan; punya hak dan tanggungjawab yang sama
dengan orang Jawa, Sumatera, dan seluruh daerah di
Indonesia; punya hak atas wilayahnya sendiri; potensi
pembangunan; seharusnya kaya secara finansial; akan
berhasil jika nanti menjadi suatu negara)
Tema
Persepsi 4

Kelompok persepsi yang menekankan ciri-ciri geografis
dan demografis (bagian Negara Kesatuan Republik
Indonesia, bagian tanah air Indonesia, Warga Negara
Indonesia, jauh wilayahnya, terpencil, ada tambang emas,
tanah kaya, biaya hidup sangat tinggi, bangsa Melanesia,
salah satu suku di Indonesia)

19

13,7%

Tema
Persepsi 5

Kelompok persepsi yang menekankan ciri-ciri psikologiskultural (keras, teguh, tegas, kasar, kaku, otoriter, pintar
menyanyi, rasa seni tinggi, keunikan potensi, kemampuan
sepakbola yang baik pada anak hingga dewasa madya,
pintar matematika, sangat reaktif, ramah, cerdas, pekerja
keras, hura-hura, menjunjung tinggi persaudaraan dan
gotong royong, kekerabatan yang erat, "temperamen
tinggi", punya semangat dan kemauan)

15

10,8%

Tema
Persepsi 6

Kelompok persepsi yang menekankan ciri-ciri fisik (kulit
hitam, fisik kuat, suara besar karena pengaruh lingkungan)

5

3,6%

Adaptasi Alat Ukur
Hasil uji coba skala PDA, PDK, dan POP dengan program IBM SPSS Statistics 19 menunjukkan
reliabilitas yang tinggi untuk ketiga skala, sebagaimana Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Hasil uji reliabilitas alat ukur
Skala

Indeks
Alfa Butir
Cronbach (α)
dihapus

Pandangan
tentang
Dunia yang Penuh
Ancaman (PDA)
Pandangan
tentang
Dunia yang Kompetitif
(PDK)
Prasangka
terhadap
Orang Papua (POP)

0,722

yang Jumlah butir Jumlah butir
sebelum uji setelah
uji
coba
coba
No. 1, 5, 9
10
7

0,727

No. 2, 6, 14

14

11

0,727

No. 2

7

6

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Berikut ini adalah butir-butir selengkapnya untuk masing-masing skala:
Pandangan tentang Dunia yang Penuh Ancaman (PDA)
1. Saat ini semua tanda mengarah kepada kekacauan dan kebrutalan, yang dapat pecah kapan
saja di sekitar kita.
2. Banyak orang "berbahaya" di sekitar kita yang bahkan bisa menyerang tanpa alasan.
3. Terlepas dari apa yang telah orang dengar tentang "kejahatan di jalan", rasanya saat ini halhal tersebut sudah tidak ada lagi.
4. Kondisi masyarakat yang setiap hari semakin tanpa hukum dan semakin bernaluri binatang
membuat kemungkinan untuk dirampok, diserang, dan bahkan dibunuh kian meningkat.
5. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman, sebenarnya dunia kita saat ini merupakan tempat
yang aman dan stabil karena pada dasarnya manusia itu baik.
6. Sepertinya, setiap tahun jumlah orang terhormat semakin berkurang. Namun, jumlah orang
yang tidak bermoral dan menjadi ancaman bagi banyak orang justru kian bertambah
7. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman, dunia yang kita pijaki saat ini pada dasarnya
sangat berbahaya dan tidak dapat diduga, di mana nilai-nilai moral dan kebaikan telah
diacak-acak oleh orang-orang tidak berbudi.
Pandangan tentang Dunia yang Kompetitif (PDK)
1. Menang bukan hal yang utama, tetapi merupakan hal satu-satunya.
2. Jika memang sangat dibutuhkan untuk berdarah dingin dan penuh dendam guna
mendapatkan suatu tujuan, maka lakukanlah.
3. Hidup tidak dikendalikan oleh konsep "yang kuat yang selamat." Kita perlu menjadikan
welas asih dan moral sebagai petunjuk kita.
4. Uang, kekayaan, dan kemewahan adalah hal-hal yang diperhitungkan dalam hidup.
5. Dunia ini seperti "teman makan teman", di mana Anda harus kejam setiap waktu.
6. Berderma kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan apapun adalah hal yang
mengagumkan, dan bukan suatu hal yang bodoh.
7. Setiap orang ingin menjatuhkan atau menghancurkan Anda, sehingga Anda perlu bergerak
lebih dahulu selagi masih ada kesempatan.
8. Berdasarkan pemahaman dan pengalaman, dunia tempat kita hidup seperti hutan belantara, di
mana orang yang kuat yang akan menang dan berhasil; kekuasaan, kekayaan, dan
kemenangan adalah segalanya.
9. Seseorang harus memiliki azas praduga tak bersalah mengenai orang lain. Kebanyakan orang
dapat dipercaya jika Anda meyakininya.
10. Kita dapat menciptakan sebuah masyarakat yang didasarkan oleh kerjasama, saling berbagi,
serta suka membantu, dan bukan berdasarkan pada persaingan maupun ketamakan.
11. Jika Anda memiliki kekuasaan, Anda harus menggunakannya, sehingga Anda dapat
melakukan sesuatu berdasarkan keinginan Anda.
Prasangka terhadap Orang Papua (POP)
1. Beberapa tahun belakangan ini, Pemerintah dan berita media telah menunjukkan rasa hormat
pada orang-orang Papua daripada yang seharusnya mereka peroleh.
2. Diskriminasi terhadap orang-orang Papua sudah tidak lagi menjadi masalah di Indonesia.
3. Beberapa tahun belakangan, orang-orang Papua telah menerima pendapatan ekonomi lebih
dibandingkan dengan yang seharusnya mereka peroleh.
Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

4. Orang-orang Papua telah memberikan intervensi yang terlalu banyak pada kebijakankebijakan Pemerintahan mengenai wilayahnya daripada yang seharusnya.
5. Orang-orang Papua terlalu banyak menuntut pada kesamaan hak.
6. Orang-orang Papua seharusnya tidak mendesakkan suatu hal di mana sebenarnya mereka
tidak diinginkan.

Uji Model Struktural
Data 100 partisipan yang mengisi ketiga skala tersebut dianalisis dengan structural equation
model untuk menguji hubungan kausal antara PDA, PDK, dan POP secara lebih seksama dan
terperinci. Untuk mendapatkan pengujian model yang fit dan baik, beberapa butir-butir skala
yang dijadikan bagian pengukuran dipilih secara acak (mengenai prosedur pengacakan ini, lihat
lebih lanjut pada Duckitt, 2001). Untuk skala PDA dan PDK, ada 4 butir yang dimasukkan
sebagai bagian skala, dan ada 5 butir yang dimasukkan sebagai bagian skala POP. Hasil analisis
structural equation model (SEM) dengan menggunakan LISREL 8.8 menunjukkan bahwa model
penelitian sebagaimana Gambar 2 adalah fit atau sesuai dengan kenyataan empiris (χ2 = 71,48; p
> 0,05; GFI = 0,90; RMSEA < 0,05). Rincian selengkapnya tersaji pada Gambar 3.

PDA2
.35

PDA5
PDA6

POP1

.58

PDA

.45

PDA7

POP

. 41

PDK2
.49

.46

PDK5
PDK7

.89

.60

-.01

.84

PDK

.59
.61
.61
.44

POP2
POP3
POP5
POP6

.55
.49

PDK8
Gambar 3. Hasil analisis SEM
Ket: PDA = Pandangan dunia ancaman, PDK = Pandangan dunia kompetitif, POP = Prasangka terhadap orang
Papua. Chi-Square = 71.48, df = 58, P-value = .10, RMSEA = .04, NFI = .75, CFI = .91, GFI = .90

Sebagaimana nampak dalam model struktural, hasil analisis memperlihatkan bahwa: Pertama,
nilai estimasi PDK terhadap POP adalah 0,49. Nilai bertanda positif berarti adanya hubungan
kausal yang menentukan terbentuknya POP melalui PDK. Temuan ini juga menerangkan bahwa
semakin tinggi orang Indonesia bagian Barat memiliki pandangan dunia yang kompetitif, akan
semakin tinggi pula prasangkanya terhadap orang Papua. Kedua, PDA tidak berkorelasi dengan
POP. Ketiga, PDA dan PDK berkorelasi dengan nilai estimasi 0,41. Semakin tinggi mahasiswa
Indonesia bagian Barat memiliki pandangan dunia yang kompetitif, ternyata semakin tinggi pula
Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

mereka memiliki pandangan dunia yang penuh ancaman. Demikian pula sebaliknya, semakin
rendah mahasiswa Indonesia bagian Barat memandang bahwa dunia ini penuh ancaman, semakin
rendah mereka memandang dunia ini penuh persaingan.

PEMBAHASAN
Hubungan PDA dengan PDK
Adanya korelasi positif antara Pandangan Dunia yang penuh Ancaman (PDA) dengan
Pandangan Dunia yang Kompetitif (PDK) merupakan sebuah fakta empiris menarik yang perlu
dijelaskan. Hal ini pertama dapat diartikan bahwa rasa ketidakamanan (insecurity) di Indonesia
Barat berhubungan dengan perasaan bahwa hidup di dunia ini begitu berat dan butuh perjuangan
yang kuat. Bila orang memandang dunia ini aman, maka kecil kecenderungannya memandang
dunia penuh ancaman. Pun bila dunia ini dipandang penuh dengan harmoni dan kooperatif, orang
tidak perlu berhasrat menyaingi orang lain, karena semua manusia dianggap pasti memperoleh
bagiannya masing-masing secara adil. Setiap orang dipandang setara dan saling bekerjasama.
Dalam konteks Indonesia, dapat dikatakan bahwa pendapat umum masyarakat Indonesia Barat
mengenai hidup yang semakin tidak aman dan berat serta penuh persaingan diperkuat oleh
temuan dari hasil penelitian ini.
Rasa tidak aman yang membentuk pandangan dunia yang penuh ancaman dapat dilukiskan
dengan satu ungkapan ekstrim, "Untuk mendapatkan rasa aman, orang Indonesia harus
mencarinya di negeri orang" (Heryanto, 1998). Beragam ancaman berada di sekitar orang
Indonesia, baik itu ancaman nyata maupun ancaman simbolik, yang seringkali tidak jelas dan
tegas penyelesaiannya oleh aparat penegak hukum dan pelindung masyarakat. Sebagai salah satu
contoh, Zaki (2012) mengungkapkan bahwa sejak kelahiran Front Pembela Islam (FPI) sejak
1998, belum ada upaya tegas dari pemerintah untuk menindaklanjuti kajian selama ini mengenai
perlakuan keras para anggota FPI terhadap ormas lain di lingkungan masyarakat. Di ibukota
Indonesia, Jakarta (tempat mayoritas partisipan penelitian ini berdomisili), menurut Yayat
Supriyatna (“Pengamat: Aparat Gagal”, 2012), di samping bentrokan, tawuran dan kerusuhan
kerap terjadi, premanisme baik yang berwajah seram maupun yang berkerah putih sama-sama
meresahkan masyarakat. Bahkan, menurut amatan Edison (2012), para pelaku kejahatan tidak
lagi memilih waktu dan tempat, seakan-akan para pelaku tak lagi berpikir kalau polisi akan
menangkap mereka.
Hidup yang semakin berat dan penuh dengan rasa ketidakpedulian dilukiskan dengan sangat baik
oleh Handayani (2008, h. 142) dalam Jurnal Masyarakat Indonesia yang diterbitkan oleh
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, sebagai berikut:
Penyebab dari langgengnya kemiskinan, ketidakberdayaan, maupun keterbelakangan adalah
persoalan aksesibilitas. Keterbatasan akses membuat manusia mempunyai keterbatasan
(bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembangkan hidupnya. Akibatnya, manusia hanya
menghadapi keterpaksaan, bukan apa yang seharusnya bisa dilakukan.

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Ketidakadilan distribusi sumber daya di bidang ekonomi dan akses di bidang politik
menimbulkan perasaan deprivasi yang mendorong orang Indonesia “terpaksa” berperilaku
seperti “homo homini lupus” dalam ungkapan Thomas Hobbes, yakni manusia merupakan
serigala bagi sesamanya, yang tamak dan selalu ingin menguasai sesamanya terutama yang
dipandang berstatus atau berderajat lebih rendah sehingga dapat dieksploitasi. Kasus GKI
Yasmin, dalam hal mana Walikota Bogor menolak melaksanakan putusan Mahkamah Agung dan
rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia (Liu & Djumena, 2012), bahkan jemaatnya harus
mengalami penyerangan saat melaksanakan ibadah bukan di gerejanya sendiri, merupakan
contoh konkret baru-baru ini mengenai ketidakpastian di bidang hukum yang diperlihatkan oleh
Pemerintah. Tidak mengherankan bahwa mahasiswa Indonesia Barat, pada saat yang bersamaan
dengan pandangannya mengenai dunia yang penuh ancaman, juga memandang dunia ini dalam
berbagai bidang kehidupan sebagai alam kehidupan yang menyerupai belantara liar, anomik,
tanpa norma yang dapat dipegang.
Hal-hal tersebut di atas lah yang menjelaskan mengapa PDA dan PDK berkorelasi positif pada
realitas psikologis pada kehidupan di Indonesia Barat. Temuan ini pun menjelaskan bahwa
kekuatan hubungan PDA dan PDK yang ditawarkan Duckitt (2001; 2006) sangat ditentukan oleh
konteks (Lehmiller & Schmitt, 2007).

Tema-tema dan Model Struktural Pandangan Dunia dan Prasangka terhadap Orang
Papua
Dalam model struktural yang telah teruji terlihat bahwa pandangan dunia memang dapat
memberikan efek langsung terhadap prasangka. Ini berbeda dengan temuan Duckitt (2001; 2006)
serta Duckitt dan Sibley (2007) yang menempatkan pandangan dunia, PDK dan PDA sebagai
faktor yang cenderung lebih memiliki relasi atau efek tidak langsung terhadap prasangka.
Dalam temuan saat ini, nampak bahwa pandangan dunia yang kompetitif (PDK) terbukti menjadi
faktor penyebab terbentuknya prasangka orang Indonesia Barat terhadap orang Papua (POP).
Seperti dijelaskan sebelumnya, pandangan dunia ini menekankan bahwa hidup di dunia begitu
berat, penuh dengan perjuangan. Pandangan dunia ini juga membagi manusia menjadi dua
golongan, yakni yang kuat dan yang lemah. Pandangan dunia yang demikian menjadikan orang
Papua sebagai target prasangka yang pas, yaitu orang yang dapat direndahkan dan diremehkan.
Hal ini dikukuhkan lagi dengan data representasi sosial mahasiswa Indonesia Barat mengenai
orang Papua. Berdasarkan analisis respons ganda, tema-tema perseptual yang paling sering
muncul dan paling mendasar (Abric, 2001) dari orang Indonesia bagian Barat mengenai orang
Papua adalah bahwa orang Papua memperoleh perlakuan berbeda, hidup primitif, tidak terjamah
sivilisasi (peradaban), dan terbelakang. Temuan ini memperlihatkan bahwa pandangan
stereotipik masyarakat Indonesia Barat terhadap orang Papua selama ini, bahwa orang Papua itu
kurang terpelajar, malas mengasah kemampuan, primitif, berpenampilan kurang menarik, dan
sebagainya, yang juga dipaparkan oleh Hamah (2009), terkonfirmasi secara empirik. Artinya,
pandangan tersebut memang hidup dalam realitas psikis orang Indonesia Barat.
Dapat dijelaskan di sini bahwa tema-tema utama yang keluar mengenai orang Papua telah
sedemikian mengakar sehingga memantapkan keyakinan yang buta (Volkan, 2005) sebagai
Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

keyakinan yang nyata dan sesungguhnya. Tampak nyata sekali bahwa keyakinan mengenai orang
Papua yang primitif dan tidak berperadaban yang telah muncul dari puluhan tahun lalu masih
saja diyakini kebenarannya, dan seolah-olah tidak ada perubahan. Di sisi lain, temuan mengenai
tema-tema persepsi terhadap orang papua ini pun memiliki kompatibilitas (kecocokan,
kesesuaian) antara pandangan dunia yang kompetitif dengan pandangan tentang orang Papua
yang dianggap memiliki derajat atau kedudukan yang lebih rendah daripada orang Indonesia di
bagian Barat.
Hasil penelitian yang penting juga adalah bahwa pandangan dunia mahasiswa Indonesia Barat
yang penuh ancaman (PDA) tidak memiliki relasi yang signifikan dengan prasangka terhadap
orang Papua. Hal ini mengartikan bahwa orang Papua tidak dianggap sebagai ancaman atau pun
bahaya bagi orang Indonesia bagian Barat. Orang Papua tidak dipandang sebagai orang atau
kelompok orang yang akan melakukan kejahatan, tindak kriminal, dan sebagainya, terhadap
orang Indonesia bagian Barat. Mereka bukanlah orang-orang yang akan mengacaukan kestabilan
negara atau kehidupan. Apabila dikaitkan dengan temuan sebelumnya sebagaimana dipaparkan
di atas, hal ini berarti bahwa memang mahasiswa Indonesia bagian Barat memiliki sikap negatif
yang mengerdilkan, meremehkan, merendahkan orang Papua. Namun, sikap-sikap yang
demikian itu tidak serta merta merupakan upaya untuk melakukan kontrol sosial terhadap orang
Papua, karena orang Papua tidak disikapi sebagai bahaya laten maupun terbuka, ancaman nyata
maupun simbolik, terhadap orang Indonesia bagian Barat. Temuan ini pun senada dengan tematema yang muncul pada mahasiswa Indonesia Barat. Bentuk pandangan bahwa orang Papua
merupakan kelompok yang menakutkan, menyeramkan, kasar, dan pengacau kestabilan tidak
menjadi fokus utama di dalam tema-tema perseptual yang muncul.
Temuan bahwa PDA tidak berkorelasi dengan prasangka, sementara PDK berkontribusi positif
terhadap prasangka bersifat sangat kontekstual. Artinya temuan relasi antar variabel ini sangat
boleh jadi berbeda jika tema-tema persepsi terhadap kelompok target berbeda pula. Misalnya,
jika kelompok targetnya orang Flores, atau orang Makasar, atau kelompok gay, atau kelompok
pekerja seksual komersial, maka dapat diduga bahwa model hubungan antara pandangan dunia
dengan prasangka akan berbeda dari temuan ini, baik dalam kekuatan maupun arah hubungan
atau korelasi. Oleh karena itu, penelitian lebih lanjut disarankan untuk menyelidiki hubungan
tersebut pada kelompok-kelompok lainnya di Indonesia.

Implikasi Temuan Dalam Menyelesaikan Permasalahan Papua
Temuan saat ini dapat menjelaskan faktor utama penyebab permasalahan yang muncul mengenai
orang Papua. Permasalahannya sesungguhnya bersifat purba, yaitu perihal penerimaan,
kepercayaan, dan kesetaraan. Selama sekian puluh tahun bergabung dengan Indonesia, orang
Papua masih belum diberikan kepercayaan; yakni kepercayaan bahwa mereka memiliki
kemampuan yang setara dengan orang Indonesia lainnya. Kepercayaan ini mungkin telah
sedemikian mengakar sehingga ini dipahami sebagai problematika genetis, bahwa memang gengen orang Papua merupakan orang-orang yang memiliki tingkat kepandaian rendah. Ini terbukti
keliru. Kemampuan intelektual orang Papua dapat dianggap setara dengan kelompok lainnya
(Diamond, 1997).

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Jika memang Papua ingin tetap dipertahankan sebagai bagian Indonesia, maka solusinya adalah
dengan memandang mereka setara dengan kelompok Indonesia lainnya. Bukti temuan dari
Diamond (1997) dapat memberikan dukungan tersebut. Diamond meneliti sebab dari
pengembangan teknologi yang diraih secara berbeda pada tiap-tiap masyarakat. Sebab utamanya
adalah kondisi geografi. Perkembangan teknologi modern yang dikembangkan dan dimiliki
orang Eropa didukung oleh kondisi geografisnya. Sementara itu, kondisi geografis di Papua ikut
mendorong orang-orang Papua untuk memiliki kemampuan mengenali dan mengetahui tumbuhtumbuhan dengan amat baik. Hasil pendayagunaan alam sekitarnya lah yang membuat tiap-tiap
masyarakat berbeda-beda, dan bukan karena perbedaan kemampuan inteligensi.
Pembentukan program berdasarkan pengembangan dari hipotesis kontak antar kelompok
(Allport, 1954; Pettigrew, 1998), yaitu dengan program perkenalan dengan fokus pemberian
kepercayaan pada kemampuan, merupakan hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi
prasangka dan perasaan merendahkan. Hal ini pun dapat mengurangi ancaman pandangan
stereotipik (Aronson & McGlone, 2010) bagi orang Papua. Pandangan peremehan dan
pengerdilan orang Papua secara sistemik dan konstruktif juga dapat menggiring orang Papua
membenarkan stereotip tersebut sehingga memblokir kemampuan intelektualnya. Pengembangan
model kegiatan untuk mengurangi prasangka terhadap orang Papua tentu saja memerlukan suatu
kegiatan yang sangat serius dan terfokus. Temuan saat ini menjelaskan jenis problematika yang
bagaimanakah yang sesungguhnya perlu diselesaikan. Program perkenalan yang dilakukan bisa
saja berupa saling bertukar kemampuan atau berbagi kemampuan atau kerjasama antar
kelompok, dalam mana masing-masing peserta memiliki tanggung jawab yang sama. Intinya
adalah bagaimana menyejajarkan orang Papua dengan orang Indonesia lainnya.

SIMPULAN DAN SARAN
Perihal orang Papua, secara umum dapat dikatakan bahwa orang Indonesia Barat tetap
memandang orang Papua sebagai bagian dari Indonesia namun mereka ditempatkan pada tingkat
yang berbeda. Orang Papua merupakan orang Indonesia tetapi posisinya dipandang tidak setara
dengan orang Indonesia lainnya. Ini dapat diamati dengan amat jelas dari pelabelan orang Papua
sebagai kelompok yang primitif, tidak berpendidikan, dan tidak memiliki kemampuan. Hal ini
pun juga dapat dilihat dari aktivasi PDK yang terbukti secara signifikan membentuk prasangka
terhadap Papua. Ciri khas dari orang yang kuat PDK-nya adalah mereka yang melihat dunia
sosial terkategorikan secara hierarkis.
Selanjutnya, temuan penelitian ini menjelaskan juga bahwa relasi pandangan dunia dengan
prasangka sangat dipengaruhi oleh konteks. Persepsi dan tema-tema pembahasan yang muncul
pada masyarakat atau ruang wacana sangat menentukan bentuk prasangka yang dimunculkan
pada orang Papua. Jika saja pembahasan mengenai orang Papua lebih sering memunculkan tematema yang menyeramkan, ketidakamanan, kelompok yang berbahaya maka hasil hubungan
model pandangan dunia dengan prasangka akan sangat berbeda. Tentunya tidak demikian
adanya. PDA justru terbukti lebih memberikan kontribusi positif pada prasangka terhadap orang
Papua. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk melihat pola persebaran tema-tema persepsi
terhadap kelompok lain dan mengaitkannya dengan prasangka terhadap kelompok tersebut.
Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

DAFTAR PUSTAKA
Abric, J. C. (2001). A structural approach to social representation research. Dalam K. Deaux, &
G. Philogene (Eds.), Representations of the social. Massachusetts: Blackwell.
Allport, G. W. (1954). The nature of prejudice. Boston, Massachusetts: The Beacon Press
Altemeyer, B. (1981). Right-wing authoritarianism. Canada: University of Manitoba Press.
Altemeyer, B. (2003). Why do religious fundamentalists tend to be prejudiced? The International
Journal for the Psychology of Religion, 13(1),17-28.
Amri, A. B., & Adam, M. (2011, 23 November). Orang Papua terancam punah. Vivanews.com.
Diunduh pada Februari 1, 2012, dari http://nasional.vivanews.com/news/read/266673
Anak Papua berjaya di Olimpiade ASMOPS (2011). Diunduh pada Februari 1, 2012, dari
http://www.yohanessurya.com/news.php?pid=1&id=213
Aronson, J., & McGlone, M. S. (2010). Stereotype and social identity threat. Dalam T. Nelson
(Ed.), Handbook of prejudice, stereotyping, and discrimination. New York: Psychology
Press.
Asbrock, F., Sibley, C. G., & Duckitt, J. (2010) Right-wing authoritarianism and social
dominance orientation and the dimensions of generalized prejudice: A longitudinal test.
European Journal of Personality, 24, 324-340.
Bertrand, J. (2004) Nationalism and ethnic conflict in Indonesia. Cambridge: Cambridge
University Press.
Chauvel, R. (2006). Violence and governance in West Papua. Dalam C. A. Coppel (Ed.), Violent
conflicts in Indonesia: Analysis, representation, resolution. London: Routledge.
Cohrs, J. C., & Asbrock, F. (2009). Right-wing authoritarianism, social dominance orientation
and prejudice against threatening and competitive ethnic groups. European Journal of Social
Psychology 39, 270-289.
Darman, W., Sarwono, S. W., & Novianti, A. (2006, Mei). Prasangka suku Amungme terhadap
PT Freeport Indonesia dan karyawan pendatangnya. Jurnal Psikologi Sosial, 12(3).
Davis, L. E. & Engel, R. J. (2010) Measuring race and ethnicity. New York: Springer.
Demonstrasi menuntut Papua merdeka di Port Numbay, Manukeri dan Jakarta hari ini. (2011, 3
Agustus).
PapuaPost.com.
Diunduh
pada
Februari
1,
2012,
dari
http://papuapost.com/?p=3905
Diamond, J. (1997). Guns, germs, and steel: The fates of human societies. New York: W.W.
Norton.
Duckitt, J. (2001). A dual-process cognitive-motivational theory of ideology and prejudice.
Advances in Experimental Social Psychology, 33, 41-113.
Duckitt, J. (2006). Differential effects of right wing authoritarianism and social dominance
orientation on outgroup attitudes and their mediation by threat from competitiveness to
outgroups. Personality and Social Psychology Bulletin, 32(5), 684-696.
Duckitt, J., & Sibley, C. G. (2007). Right wing authoritarianism, social dominance orientation
and the dimensions of generalized prejudice. European Journal of Personality, 21, 113-130.
Edison. (2012, 19 Maret). Tak ada lagi keamanan. BeritaBatavia.com. Diunduh pada Maret 20,
2012,
dari
http://www.beritabatavia.com/detail/2012/03/19/15/11235/tak.ada.lagi.keamanan#.T4RdI9np
zw0

Naskah selengkapnya dapat dibaca pada Jurnal Manasa, Juni 2012, Vol. 1 No. 1
ISSN 0216-6860

Hamah, S. F. (2009) Segala bentuk diskriminasi rasial di papua, menguak tabir diskriminasi
rasial dan impunity di Papua: Realitas politik diskriminasi rasial terhadap orang Papua.
Papua
Emergence’s
Website.
Diunduh
pada
Februari
1,
2012,
dari
http://safcompost.blogspot.com/2009/05/jeneva-foce-for-papua-political-freedom.html
Handayani, T. (2008) Kebangkitan nasional dan pembangunan manusia: Sebuah catatan kritis.
Masyarakat Indonesia, 34(2), 125-148.
Heryanto, A. (1998, 12 Juni). Kapok jadi nonpri. Kompas. Rubrik Opini.
Hogg, M. A., & Abrams, D. (1990). Social identifications: A social psychology of intergroup
relations and group process (Edisi ke-2). London: Routledge.
Hood, R. W., Hill, P. C., & Williamson, P. (2005). The psychology of religious fundamentalism.
New York-London: The Guilford Press.
Jugert, P., & Duckitt, J. (2009). A motivational model of authoritarianism: Integrating personal
and situational determinants. Poltical Psychology, 30(5), 693-715.
Lehmiller, J. J., & Schmitt, M. T. (2007). Group domination and inequality in context: Evidence
for the unstable meanings of social dominance and authoritarianism. European Journal of
Social Psychology 37:704-724.
Lestari, S. (2011, 2 Agustus) Ribuan pengunjuk rasa tuntut kemerdekaan Papua Barat. Diunduh
pada
Februari
1,
2012,
dari
http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/08/110802_papua_demo.shtml
Liu, H., & Djumena, E. (2012, 14 Februari) Presiden instruksikan penuntasan kasus GKI
Yasmin.
Kompas.com.
Diunduh
pada
Februari
1,
2012,
dari
http://nasional.kompas.com/read/2012/02/14/00480474/Presiden.Instruksikan.Penuntasan.Ka
sus.GKI.Yasmin
Liu, J. H., Huang, L. L., & McFedries, C. (2008). Cross-sectional and longitudinal differences in
social dominance orientation and right wing authoritarianism as a function of political power
and societal change. Asian Journal of Social Psychology, 11, 116-126.
Nelson, T. D. (Ed.). (2010). Handbook of prejudice, steretotyping, and discrimination. New
York: Psychology Press.
Pengamat: Aparat gagal ciptakan rasa aman di Jakarta. (2012). Diunduh pada Februari 1, 2012,
dari http://teraspolitik.com/berita/2143/pengamat-aparat-gagal-ciptakan-rasa-aman-di-jakarta
Pettigrew, T. F. (1998). Intergroup contact theory. Annual Review

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111

Pengaruh Kerjasama Pertanahan dan keamanan Amerika Serikat-Indonesia Melalui Indonesia-U.S. Security Dialogue (IUSSD) Terhadap Peningkatan Kapabilitas Tentara Nasional Indonesia (TNI)

2 68 157

Sistem Informasi Pendaftaran Mahasiswa Baru Program Beasiswa Unggulan Berbasis Web Pada Universitas Komputer Indonesia

7 101 1