Pemanfaatan Novel Rumah Seribu Malaikat Karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan Sebagai Pendidikan Nilai Dalam Keagamaan Islam

(1)

PENDIDIKAN NILAI DALAM ISLAM”

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh:

EKA PUJIATI

NIM: 109011000281

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

i

Keagamaan Islam.

Penelitian ini membahas tentang Pemanfaatan Novel Rumah Seribu Malaikat karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan sebagai Pendidikan Nilai dalam Keagamaan Islam yang meliputi: Nilai-nilai yang terkandung dalam novel Rumah Seribu Malaikat karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan, metode pengajaran nilai yang terkandung dalam novel Rumah Seribu Malaikat karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan, nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam pendidikan nilai agama islam, dan kontribusi pendidikan nilai terhadap pendidikan agama islam.

Tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui bagaimana metode pendidikan nilai yang terkandung dalam novel Rumah Seribu Malaikat Karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan. (2) untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam novel Rumah Seribu Malaikat karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan yang dapat dikembangkan dalam pendidikan islam. (3) untuk mengetahui kontribusi pendidikan nilai dalam novel Rumah Seribu Malaikat karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan terhadap pendidikan Islam.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

Library Research (Penelitian Pustaka). Library Research ini penulis dukung

dengan teknik pengumpulan data dengan metode dokumentasi. Metode dokumentasi atau pengumpulan dokumen adalah cara mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, dan lain sebagainya.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam novel Rumah Seribu

Malaikat Karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan terdapat tiga nilai yang

terkandung dalam novel tersebut, diantaranya nilai akhlak, nilai personal, dan nilai sosial. Metode pendidikan nilai yang telah penulis temukan dalam novel

Rumah Seribu Malaikat Karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan itu ada empat

macam metode pendidikan nilai yang meliputi: pendidikan nilai dengan percakapan, pendidikan nilai dengan perumpamaan, pendidikan nilai dengan al-qur’an, dan pendidikan nilai dengan keteladanan. Nilai-nilai yang dapat dikembangkan dalam pendidikan nilai keagamaan islam terdapat tiga nilai, yaitu nilai aqidah, nilai syari’ah, dan nilai akhlak. Sedangkan kontribusi pendidikan nilai yang terkandung dalam novel Rumah Seribu Malaikat Karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan adalah dapat memberikan kontribusi berupa ideologi nilai-nilai islam. Adanya ideologi nilai-nilai-nilai-nilai islam tersebut merupakan sumbangsi dalam meningkatkan kualitas pendidikan agama islam untuk mencetak anak sebagai manusia yang lebih baik lagi, yang berbekal ilmu pengetahuan dan berkepribadian yang islami sesuai syariat islam.


(7)

ii

Penulis, memulai skripsi ini dengan menyebut Asma Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala puji dan sanjung selayaknya kami persembahkan ke hadirat Allah SWT Dzat yang menciptakan, mengatur, memelihara dan menguasai alam. Kepada-Nya segala puji disanjungkan dan segala pinta dialamatkan. Dialah tempat menggantungkan segala harapan dan dialah muara dari segala permohonan. Tidak ada keberhasilan melainkan atas kehendak-Nya, taka da kebaikan melainkan atas kuasa-Nya, dan juga yang telah melimpahkan berbagai nikmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai syarat akhir dalam menyelesaikan program sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Rahmat dan salam semoga Allah limpahkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, juga bagi keluarga dan para sahabatnya serta siapa saja yang beriman dari zaman ke zaman.

Dalam penulisan skripsi ini banyak sekali kendala yang penulis hadapi, akan tetapi berkat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak maka skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis sampaikan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepadanya:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Sebagai Rektor yang senantiasa berjuang dengan penuh ketulusan dan tanpa kenal lelah demi kemajuan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Nurlena Rifa’i Ph.D. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bahrissalim, MA. Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam, dan Drs. Sapiuddin Siddiq M.Ag, Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam. 4. Drs. Rusdi Jamil, MA. Sebagai dosen pembimbing yang dengan penuh

keikhlasan dan kesabaran telah memberikan arahan serta bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(8)

iii Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta stafnya yang membantu pelayanan fasilitas buku-buku demi selesainya skripsi ini. 7. Kedua orang tua, ayahanda tercinta bapak Hadi Purnomo. Beserta ibunda

tersayang Lamsiti yang telah banyak berjasa mendidik, membimbing, mengasuh, memberikan kasih sayang yang tak pernah putus dalam membesarkan putranya, serta senantiasa memberikan dorongan baik moril maupun materil sejak pendidikan tingkat dasar sehingga meraih gelar Sarjana S1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Siswanto yang selalu mengingatkan dan memberikan semangat kepada penulis untuk selalu semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Adik-adikku tercinta Dwi Selawati, Agung Gunawan, Euis Qomariyah, dan Rahmawati Hadi Purnomo yang tak pernah bosan untuk selalu menemani penulis dalam menyusun skripsi ini.

9. Keluarga besar yang ada di Bojonegoro, khususnya almh. Karti (Nenek) yang selalu memberikan arahan baik dan motivasi kepada penulis agar dapat cepat menyelesaikan skripsi ini dan lulus dengan ilmu yang bermanfaat.

10.Rini Puspita Sari, (Teman sekelas) yang senantiasa sabar mendengarkan curahan hati penulis dalam suka duka yang penulis alami selama menyusun skripsi ini.

11.Teman-teman seperjuangan khususnya yang di PAI Kelas G angkatan 2009 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Semoga Allah melimpahkan pahala yang berlipat ganda atas mereka semua. Amin.

Jakarta, November 2013 Penulis


(9)

iv

HALAMAN PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI HALAMAN PERNYATAAN

HALAMAN ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Nilai Dalam Karya Sastra ... 9

1. Pengertian Nilai ... 9

2. Macam-macam Nilai dalam karya sastra ... 12

B. Pendidikan Nilai ... 13

1. Pengertian Pendidikan Nilai ... 13

2. Orientasi Pendidikan Nilai ... 14

3. Strategi Pendidikan Nilai ... 16

4. Klasifikasi Pendidikan Nilai ... 20

C. Novel Sebagai Media Pendidikan Nilai ... 26

1. Pengertian Novel ... 26

2. Ciri-ciri Novel ... 28


(10)

v

C. Pengumpulan dan Penentuan Data ... 36

D. Analisis Data ... 36

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Deskripsi Nilai-nilai yang Terkandung dalam Novel

Rumah Seribu Malaikat... 39

B. Deskripsi Metode Pengajaran Nilai yang Terkandung dalam Novel Rumah Seriu Malaikat ... 49

C. Deskripsi Nilai-nilai yang Dapat Dikembangkan dalam

Pendidikan Nilai Agama Islam ... 54

D. Pembahasan Hasil Penelitian ... 59

1. Pembahasan Hasil Analisis Nilai-nilai yang Terkandung Dalam Novel Rumah Seribu Malaikat ... 59

2. Pembahasan Hasil Analisis Metode Pengajaran Nilai yang Terkandung Dalam Novel Rumah Seribu Malaikat 80

3. Pembahasan Hasil Analisis Nilai-nilai yang Dapat Dikembangkan Dalam Pendidikan

Keagamaan Islam ... 84

4. Pembahasan Hasil Analisis Kontribusi Pendidikan Nilai Terhadap Pengembangan Pendidikan

Keagamaan Islam ... 88

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(11)

vi

Tabel 1 Paparan Data Nilai-nilai Terkandung Dalam Novel Rumah Seribu

Malaikat Karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan

Tabel 2 Paparan Data Metode Pengajaran Nilai Dalam Novel Rumah Seribu

Malaikat Karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan

Tabel 3 Paparan Data Nilai-nilai Yang Terkandung Dalam Novel Rumah


(12)

vii Gambar 1 : Anak asuh beserta Yuli Badawi Gambar 2 : Yuli Badawi (Endang Yuli Purwanti) Gambar 3 : Cover Rumah Seribu Malaikat


(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mendewasakan anak, mentransformasi pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai sikap agar kehidupannya berubah lebih baik dari sebelumnya. Kata kunci utama dalam pendidikan adalah perubahan (change) dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak terampil menjadi terampil, dari berkinerja kurang baik menjadi lebih baik, dsb.1

Pendidikan dimulai sejak awal kehidupan dan berakhir saat ajal menjemput. Pendidikan dapat berlangsung kapan dan di mana saja baik secara formal, informal, dan non formal. Begitu manusia mampu berinteraksi dengan lingkungannya maka saat itu pula ia siap melakukan proses pendidikan secara berkelanjutan. Ajaran Islam menekankan betapa pentingnya pendidikan berlangsung sepanjang hayat. Meskipun pendidikan itu berlangsung seumur hidup akan tetapi sangat penting diutamakan ketika usia masih belia. Ada dua alasan utama, pertama, penyerapan ilmu pengetahuan dan pembangunan karakter terjadi sangat pesat di awal-awal kehidupan hingga masa remaja. Kedua, ilmu pengetahuan dan karakter diperlukan dalam keberlangsungan kehidupan.2

1 Kementrian Agama RI, Pendidikan, Pembangunan Karakter dan Pengembangan Sumber

Daya Manusia, (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2010), h.1

2ibid, h. 9-10


(14)

Pendidikan harus memiliki misi dan nilai yang harus dikembangkan manusia. Setidaknya ada tiga nilai yang terkandung dalam sebuah pendidikan, yaitu mentransfer ilmu pegetahuan, membangun karakter, dan cinta bangsa. Transfer ilmu pengetahuan bertujuan untuk mencerdaskan anak didik. Membangun karakter bertujuan agar manusia memiliki nilai-nilai, seperti nilai nurani, kejujuran, keberanian, cinta damai, disiplin, ketulusan, dan kesucian. Begitu pula nilai-nilai memberi atau values of giving, seperti setia, dapat dipercaya, hormat, cinta, kasih sayang, peka, tidak egois, baik hati, ramah, adil, murah hati, dan lain-lain.3

Solusi strategis fungsional sebenarnya sama dengan menggagas suatu sistem pendidikan alternatif yang bersendikan pada dua cara yang lebih bersifat strategis dan fungsional, yakni: Pertama, membangun lembaga pendidikan unggulan dimana semua komponen berbasis paradigma Islam, yaitu: 1. Kurikulum yang paradigmatik, 2. Guru/dosen yang profesional, amanah dan kafa‟ah. 3. Proses belajar mengajar secara Islami. 4. Lingkungan dan budaya sekolah/kampus yang kondusif bagi pencapaian tujuan pendidikan secara optimal. Dengan melakukan optimasi proses belajar mengajar serta melakukan upaya meminimasi pengaruh-pengaruh negatif yang ada, dan pada saat yang sama meningkatkan pengaruh-pengaruh positif pada anak didik, diharapkan pengaruh yang diberikan pada pribadi anak didik adalah positif sejalan dengan arahan Islam.4

Berangkat dari paparan di atas, maka untuk mewujudkan lembaga pendidikan unggulan yang dimaksud setidaknya terdapat empat komponen yang harus dipersiapkan guna menunjang tindak solusif sebagaimana yang digagas, yakni penyiapan kurikulum paradigmatik, sistem pengajaran, sarana prasarana dan sumberdaya guru/dosen. Untuk mencapai konsep ideal tersebut dibutuhkan sistem yang paripurna. Dalam hal ini, pendidikan memiliki posisi penting dan strategis. Karena pendidikan merupakan upaya untuk mengoptimalkan semua potensi manusia, yaitu dalam masalah moral (akhlak), intelektual, juga jasmani. Dalam proses pendidikan, segala potensi tersebut dibina dan diarahkan ke dalam koridor positif, melalui pembiasaan-pembiasaan dan latihan-latihan.5

3 Zaim Elmubarak, Pelaksana Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 3 4 http://www.artikelbagus.com/2012/04/artikel-tentang-sistem-pendidikan.html

5Tim Dosen FIP IKIP Malang, Pengantar Dasar-dasar Kependidikan, (Surabaya: Usaha


(15)

Keberhasilan proses pembelajaran di sekolah antara lain ditentukan oleh ketepatan pemahaman guru terhadap perkembangan murid. Pemahaman terhadap perkembangan murid tersebut, dapat menjadi dasar bagi pengembangan strategi dan proses pembelajaran yang membantu murid mengembangkan perilaku-perilakunya yang baru. Kenyataan menunjukkan bahwa pada setiap murid memiliki karakteristik pribadi atau perilaku yang relatif berbeda dengan murid lainnya. Keragaman perilaku ini mengandung implikasi akan perlunya data dan pemahaman yang memadai terhadap setiap murid.

Menurut Piaget (1896-1980). Anak adalah seorang yang aktif, membentuk atau menyusun pengetahuan mereka sendiri pada saat mereka mengeksplorasi lingkungan dan kemudian tumbuh secara kognitif terhadap pemikiran-pemikiran yang logis. Setiap murid khususnya di sekolah dasar memiliki perbedaan antara satu dan lainnya, disamping persamaannya perbedaan menyangkut kapasitas intelektual, keterampilan, motivasi, persepsi, sikap, kemampuan minat, latar belakang kehidupan dalam keluarga, dan lain-lain. Perbedaan ini cenderung akan mengakibatkan adanya perbedaan dalam belajar setiap murid, baik dalam kecepatan belajarnya maupun keberhasilan yang dicapai murid itu sendiri.6

Seperti halnya, buku-buku bacaan pengetahuan lain, novel juga dapat difungsikan sebagai media pedidikan. Hanya saja hal ini sangat tergantung pada keinginan dan latar belakang pengarangnya, baik itu pengetahuan maupun pengalaman pribadinya. Dan jika dilihat dari fungsi membaca novel yaitu membawa tanggung jawab dan etika besar bagi pembacanya. Tentang bagaimana sadis dan tegangnya cerita yang disajikan, selalu saja menyisipkan pesan-pesan moral, penghargaan pada kejujuran, keberanian menghadapi cobaan hidup, solideritas antar kawan, atau sikap dan pemikiran yang patut dimiliki oleh seorang manusia yang baik. Kesusastraan dalam novel merupakan suatu cara mengungkap ide-ide, gagasan, pemikiran dengan gambaran pengalaman. Dengan demikian karya sastra (novel) berusaha untuk menggugah kesadaran manusia, serta memberikan pengalaman imajinatif bagi pembacanya sebagaimana disarankan untuk dibaca.


(16)

Kelebihan novel sebagai media pendidikan yaitu dapat membentuk karakter dan mendidik peserta didik (pelajar/mahasiswa) ke arah yang lebih baik dengan mengahayati pesan yang terkandung di dalam novel tersebut, sedangkan kekurangan novel sebagai media pendidikan adalah proses pembelajaran bisa saja akan terasa jenuh dan faktor kejenuhan itu bisa saja disebabkan oleh guru yang tidak menguasai isi/materi dalam novel, dalam hal ini pendidik harus banyak membaca novel tersebut.

Berbicara masalah karya sastra khususnya prosa fiksi, pemikiran kita akan mengarah pada karya novel, cerpen, drama, dan dongeng. Namun karya sastra tersebut dalam perkembangannya berdampak pada kepribadian remaja. Suatu ekspresi yang ditunjukkan dengan cara atau bentuk imitasi, empati maupun simpati terhadap karya sastra yang diminati.

Dari sekian banyak karya sastra, novel merupakan karya sastra yang selalu up to date sepanjang masa. Novel remaja merupakan jenis novel yang paling diminati oleh kalangan remaja dibandingkan dengan novel lain.

Perkembangan dan pencitraan isi maupun performa novel, dinilai sangat sesuai dengan tingkat kedewasaan, pola fikir, hobi dan aspek kepribadian remaja pada umumnya.

Dari kuesioner yang dilakukan oleh penulis didapatkan data bahwa para remaja menyukai novel tersebut karena dalam novel tersebut mengandung unsur percintaan, kehidupan remaja, tips dan trik, sangat menarik, memiliki makna, problem remaja, dan bahasa yang komunikatif sehingga lebih mudah dipahami.

Pada umumnya cerita yang dipaparkan dalam novel tersebut memang mengandung unsur – unsur diatas. Remaja yang menginginkan suatu kebutuhan akan struktur otak kanan membuat novel ini digandrungi oleh mereka. Perbuatan atau tutur kata yang disajikan dalam cerita tersebut juga tidak meninggalkan suatu unsur bimbingan dan konseling terhadap kehidupan remaja.

Dalam konteks kejiwaan, novel ayat-ayat cinta merupakan novel yang mengedepankan visi dan misi Islam sebagai bacaan pergaulan. Deskripsi dan narasi yang disuguhkan dalam novel tersebut dinilai membangun jiwa karena


(17)

kisah cinta dan romantismenya dalam pergaulan diceritakan secara mendetail tetapi tidak sampai menyinggung atau keluar dari syariat.

Novel tersebut ditulis berdasarkan pemikiran penulis dan berbagai sumber hukum islam serta etika dan norma islam yang up to date dan terjamin keshahihannya. Wujud tutur kata, tingkah laku dan berbagai macam aspek pergaulan dalam siratan novel tersebut. Didukung sebagian besar remaja sebagai novel pembangun jiwa. Wujud dari nilai yang disampaikan dalam novel tersebut antara lain begaimana sikap menghormati dan menghargai sesama muslim, non muslim, mahram, bukan mahram, sisi islam dalam ajaran mendidik, kasih sayang serta etika islam yang dinilai membangun jiwa.

Lain ayat–ayat cinta, lain lagi laskar pelangi. Sastra sains fiksi yang ditulis Andrea Hiratta tersebut memukau sejumlah khalayak sastra. Novel yang menceritakan perjuangan anak – anak sekolah di pulau Belitung itu memicu semangat belajar dan berprestasi bagi para pembacanya. Novel tersebut tercatat sebagai best seller sebagai novel novel sains dan novel bermutu pendidikan. Bahasa yang digunakan dalam novel tersebut tidak tanggung hanya bahasa sastra tetapi juga bahasa ilmiah.7

Salah satu nilai yang banyak terdapat pada novel adalah nilai-nilai pendidikan agama islam. Namun selain itu, ada pula pendidikan nilai yang diajarkan didalamnya. Supaya novel itu tidak hanya sebagai bahan bacaan, namun sebagai alat yang bisa dimanfaatkan siswa menanamkan berbagai jenis pendidikan nilai untuk merubah akhlak dalam diri mereka masing-masing. Pedidikan nilai dalam agama islam ini juga harus mampu mengarahkan dan mendidik para penikmat atau pembacanya baik dalam berpikir dan berperilaku karena nilai-nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalamnya.

Novel sejatinya bukan hanya sekadar bacaan, melainkan mengandung nilai-nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Di dalam novel tergambar lingkungan kemasyarakatan serta jiwa tokoh yang hidup di suatu masa dan di suatu tempat.

7Jakob Sumardjo, Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977, (Bandung: Alumni, 1999), h.


(18)

Secara sosiologis, manusia dan peristiwa dalam novel adalah pantulan realitas yang ditampilkan oleh pegarang dari suatu keadaan tertentu.8 Gambaran-gambaran kehidupan tersebutlah yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pembaca..

Dalam novel Rumah Seribu Malaikat, mengisahkan bahwa Yuli Badawi sudah merawat lebih dari lima puluh anak angkat yang ia besarkan. Padahal mereka adalah sepasang suami istri sederhana dengan penghasilan yang biasa-biasa saja. Belum lagi, mereka juga sudah berusia paruh baya dan memiliki empat orang anak yang masih butuh perhatian dan biaya yang tidak sedikit.

Selain itu, isi cerita dalam novel “Rumah Seribu Malaikat” juga sangat menarik, lucu, penuh semangat, serta mengharu-biru, sehingga membuat pembaca tidak mudah menutup buku sebelum membacanya sampai tuntas. Novel ini sangat menarik karena ini sungguh sebuah cerita keluarga yang sangat mengharukan, kisah ini menumbuhkan tekad yang kuat untuk menunjukkan rasa syukur pada ilahi dengan menolong sesama. Menumbuhkan rasa keikhlasan materi yang ternyata justru membuahkan kebahagiaan tanpa henti.

Maka, untuk mengetahui pendidikan nilai dalam keagamaan islam yang terkandung dalam novel tersebut, dalam skripsi ini penulis akan membahasnya dengan judul: “Pemanfaatan Novel Rumah Seribu Malaikat Karya Yuli

Badawi dan Hermawan Aksan Sebagai Pendidikan Nilai Dalam Islam”. B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Banyaknya novel best seller akan tetapi isi kandungannya tidak mengandung pendidikan nilai dalam Islam.

2. Banyaknya sikap orang tua yang acuh terhadap akhlak anak pada masa kini.

3. Banyaknya guru yang kurang menanamkan pendidikan nilai ke dalam diri peserta didik.


(19)

4. Guru bisa menjadikan novel Rumah Seribu Malaikat untuk menanmkan nilai ke dalam diri siswa.

C. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan tidak melebar, maka dalam penelitian ini dibatasi hanya pada pemanfaatan novel Rumah Seribu Malaikat karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan sebagai media pendidikan nilai dalam keagamaan islam.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

a. Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam novel “Rumah Seribu Malaikat” karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan?

b. Bagaimana metode pendidikan nilai yang terkandung dalam novel

Rumah Seribu Malaikat” karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksan?

c. Apa kontribusi pendidikan nilai dalam novel Rumah Seribu

Malaikat terhadap pengembangan pendidikan Islam?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin di capai dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam novel Rumah Seribu Malaikat yang dapat dimanfaatkan sebagai media pendidikan nilai keagamaan dalam islam.

Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa tujuan yaitu: 1. Untuk mengetahui nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam novel

Rumah Seribu Malaikat yang dapat dikembangkan dalam pendidikan


(20)

2. Untuk mengetahui bagaimana metode pendidikan nilai yanng terkandung dalam novel Rumah Seribu Malaikat karya Yuli Badawi dan Hermawan Aksa

3. Untuk mengetahui kontribusi pendidikan nilai dalam novel Rumah Seribu

Malaikat terhadap pengembangan pendidikan islam

Adapun hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu:

1. Bagi pendidikan Islam, diharapkan pendidikan nilai menjadi bahan rujukan dalam praktik sebagai pendukung dalam proses dan tujuan pengembangan pendidikan Islam

2. Bagi Guru Pendidikan Agama Islam, diharapkan guru dapat merealisasikan penanaman pendidikan nilai semisal guru bertugas bukan hanya mengajar, tetapi lebih utama sebagai pendidik yang di pundaknya digantungkan harapan untuk mencertak generasi bangsa yang cerdas, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia.

3. Bagi peserta didik, pendidikan nilai untuk membekali individu menjadi manusia yang professional yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, cakap, dan menjadi seseorang yang bertanggung jawab.

4. Bagi peneliti yang lain, Sebagai bahan acuan bagi peneliti selanjutnya yang menyangkut topik penelitian yang relevan dengan penelitian ini.


(21)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Hakikat Nilai dalam Karya Sastra 1. Pengertian Nilai

Sastra, sebagaimana dikutip oleh Suyitno, berfungsi sebagai deluce (menghibur) dan utile (mengajarkan) sesuatu yang bermanfaat bagi pembaca. Karya sastra dan kehidupan nyata merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi dalam kedirian masing-masing sebagai sesuatu yang eksistensial. Artinya disamping memiliki otonomi tersendiri, karya sastra dan kehidupan nyata memiliki hubungan timbal balik. Keberangkatan pengarang dalam menciptakan karya sastra, misalnya, diilhami oleh fenomena kehidupan.9

Perihal keterkaitan sastra dengan kehidupan, Rudolf Unger (dalam Wellek, 1990: 141) menyatakan bahwa sastra bukanlah filsafat yang diterjemahkan dalam bentuk pencitraan, melainkan ekspresi atau sikap umum terhadap kehidupan. Unger menambahkan, permasalahan yang digarap sastra antara lain mencakup (1) masalah nasib, yakni hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan, semangat manusia dan alam, (2) masalah keagamaan, (3)

9Suyitno, Sastra Tata Nilai dan Eksegesis, (Yogyakarta: PT Hanindita, 1986), h. 3.


(22)

masalah mitos dan ilmu gaib, dll. Sedangkan Damono, mengatakan bahwa dalam karya sastra tersirat gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial, yang mencakup (1) hubungan antarmasyarakat, (2) antarmanusia, (3) antarmasyarakat dengan orang-seorang, dan (4) pantulan hubungan orang dengan lain atau dengan masyarakat.10

Dalam karya sastra tersimpan nilai-nilai budaya, bahkan yang berasal dari masa lalu yang jauh sekalipun. Nilai-nilai tersebut telah teruji dalam perjalanan waktu, baik yang bersifat umum maupun khas, yakni berupa pandangan hidup. Di samping itu karya sastra juga merekonstruksikan pengalaman yang sedang dijalani dalam suatu susuanan yang terpahami. Dengan memasuki segala macam situasi dalam karya sastra, orang akan dapat menempatkan diri pada kehidupan yang lebih luas daripada situasi yang nyata.11

Sebuah karya sastra memiliki nilai yang luar biasa dalam penceritaannya. Sebuah karya sastra akan memiliki nilai yang luar biasa jika sang pengarang dalam proses pembuatan karyanya mampu melibatkan semua aspek di dalamnya. Sebuah karya sastra yang bernilai tinggi akan terasa ketika membaca isinya yang mampu melibatkan batin pembaca dengan nuansa yang imajinatif pengarang berikan. Maka, dari sini diperoleh kesimpulan sebuah karya sastra yang berkualitas, yang mempunyai nilai tinggi dapat dilihat dari kemampuan pengarang dalam menghasilkan sebuah karya.

Kata nilai berasal dari bahasa latin Valare, atau bahasa Prancis kuno

valoir yang artinya nilai. Kata valare, valoir, value atau nilai dapat dimaknai

sebagai harga. Hal ini selaras dengan definisi nilai menurut pengertian dari

Kamus Besar Bahasa Indonesia,12 yaitu sebagai harga (dalam arti taksiran

harga). Akan tetapi, secara luas apabila kata “harga” dihubungkan dengan objek tertentu atau dipersepsi dari sudut pandang tertentu pula, mengandung

10 Muhammad Alfan, PengantarFilsafat Nilai, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h. 55

11Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: Tiara Wacana,

2008), cet. 1, hlm. 1.


(23)

arti berbeda.13 Persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, Theory of Value). Filsafat juga sering diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai didalam bidang filsafat dipakai untuk

menunjuk kata benda abstrak yang artinya “keberhargaan” (Worth) atau

“kebaikan” (Goodness), dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian.14

Oleh karena itu, nilai mengandung tafsiran yang bermacam-macam tergantung pada sudut pandang yang memberi penilaian atau objek yang dinilai. Akan tetapi, harga dari suatu nilai akan menjadi masalah apabila penilaian diabaikan sama sekali. Oleh sebab itu, manusia dituntut untuk menempatkannya atau mengukur secara seimbang antara penilaian yang didasarkan pada objek dan penilaian yang didasarkan pada subjek. Untuk itu, perlu adanya perbandingan agar dalam memberikan pertimbangan nilai, manusia tidak terjebak pada titik ekstrem anatara subjektivisme dan objektivisme. Agar manusia berada dalam tatanan nilai yang melahirkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Didalam nilai itu sendiri terkandung cita-cita, harapan-harapan, dambaan-dambaan dan keharusan. Maka, apabila kita berbicara tentang nilai, sebenarnya berbicara tetang hal yang ideal, tentang hal yang merupakan cita-cita, harapan, dambaan dan keharusan.

Comb, menyebutkan bahwa nilai adalah kepercayaan yang digeneralsir dan berfungsi sebagai garis pembimbing untuk menyeleksi tujuan serta perilaku yang akan dipilih untuk dicapai. Mardiatmadja menegaskan bahwa nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia demi peningkatan kualitas manusia atau pantas di cintai, di hormati, dikagumi, atau yang berguna untuk satu tujuan.15

Menurut Mulyana, nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Dinamika pengalaman manusia mendorong manusia untuk menentukan . sebuah sikap, yaitu pilihan. Dalam definisi tersebut secara eksplisit digambarkan bahwa pilihan dan keyakinan seseorang adalah proses

13 Muhammad Alfan, Pengantar Filsafat Nilai, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h. 53.

14 Kaelan M.S, Pendidikan Pancasila, (Yogyakarta: Paradigma, 2008), h. 87.


(24)

pertimbangan nilai sehingga seseorang dalam mengambil pilihan tidak hanya

menyatakan kata “ya” tanpa adanya pertimbangan. Selain itu nilai juga dijadikan sebagai ide atau konsep tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang.16

Menurut Chabib Thoha, “nilai merupakan sifat yang melekat pada

sesuatu (sistem kepercayaan) yang telah berhubungan dengan subjek yang memberi arti (manusia yang menyakini). Jadi, nilai adalah sesuatu yang

bermanfaat dan berguna bagi manusia sebagai acuan tingkah laku.”17

Dari definisi-definisi diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa nilai adalah sifat yang positif dan bermanfaat dalam kehidupan manusia dan harus dimiliki setiap manusia untuk dipandang dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai disini dalam konteks etika (baik dan buruk), logika (benar dan salah), dan estetika (indah dan jelek).

2. Macam-macam Nilai

Nilai dapat dipandang sebagai sesuatu yang berharga, memiliki kualitas, baik itu kualitas tinggi atau rendah. Dari uraian pengertian nilai diatas, maka Notonegoro dalam Kaelan (2008), menyebutkan adanya 3 macam nilai. Dari ketiga jenis nilai tersebut adalah sebagai berikut:18

a) Nilai material, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani manusia atau kebutuhan ragawi manusia.

b) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.

c) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian meliputi sebagai berikut:

1) Nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia.

2) Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan (emotion) manusia.

16 Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004), h. 11

17 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 61


(25)

3) Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak manusia.

Sebagaimana dikutip oleh Kaelan, Max Scheler memandang bahwa nilai-nilai yang ada selama ini memiliki tingkat yang berbeda-beda. Oleh karena itu nilai-nilai dapat dikelompokkan dalam empat tingkatan, sebagai berikut:19

1. Nilai-nilai kenikmatan, dalam tingkatan ini terdapat deretan nilai-nilai yang mengenakkan dan yang tidak mengenakkan, sehingga menyebabkan ada orang yang senang dan ada orang yang menderita.

2. Nilai-nilai kehidupan, dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran jasmani, keadilan, nilai kasih sayang, dan nilai kesejahteraan umum.

3. Nilai-nilai kejiwaan, dalam tingkatan ini terdapat nilai-nilai kejiwaan yang sama sekali tidak bergantung pada keadaan jasmani dan lingkungan sosial. Akan tetapi, nilai-nilai semacam ini lebih dalam dan lebih abstrak. Misalnya keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai dalam filsafat.

4. Nilai-nilai kerohanian, dalam tingkatan ini terdapat modalitas nilai dari yang suci dan tidak suci. Nilai-nilai semacam ini, terdiri atas nilai-nilai keimanan atau keyakinan pribadi.

B. Pendidikan Nilai

1. Pengertian Pendidikan Nilai

Pendidikan nilai dapat dimulai dari pemahaman tentang definisi dan tujuannya. Definisi dapat memberikan petunjuk pada pemaknaan istilah pendidikan nilai, sedangkan tujuan dapat memberikan kejelasan tentang cita-cita dan arah yang dituju oleh pendidikan nilai.

Pada dasarnya, pendidikan nilai dirumuskan dari dua pengertian dasar yang terkandung dalam istilah pendidikan dan istilah nilai. Ketika kedua istilah itu disatukan, arti keduanya menyatu dalam definisi pendidikan nilai. Namun


(26)

karena arti pendidikan dan arti nilai dapat dimaknai berbeda, definisi nilai pun dapat beragam tergantung pada tekanan dan rumusan yang diberikan pada kedua istilah itu.

Mardiatmaja mengemukakan, bahwasannya pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Dengan demikian, pendidikan nilai tidak hanya merupakan program khusu yang diajarkan melalui sejumlah mata pelajaran, tetapi mencakup pula keseluruhan proses pendidikan. Dalam hal ini, yamg menanamkan nilai kepada peserta didik bukan hanya guru, melainkan orang tua. Pendidikan nilai dan moral pun bukan hanya diberikan pada saat mengajarkan, melainkan kapan dan di manapun, nilai harus menjadi bagian integral dalam kehidupan.20

Dari definisi tersebut, dapat ditarik kesimpulan pendidikan nilai yang mencakup keseluruhan aspek sebagai pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik agar memiliki moral nilai yang menjadi prinsip dan petunjuk dalam kehidupannya. Dengan demikian, mereka menyadari nilai kebenaran, kebaikan, kebersamaan, dan keindahan melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan pembiasaan bertindak yang konsisten.21

2. Orientasi Pendidikan Nilai

Secara umum, pendidikan nilai dimaksudkan untuk membantu peserta didik agar memahami, menyadari, mengalami nilai-nilai serta mampu menempatkannya secara integral dalam kehidupan. Untuk sampai pada tujuan yang dimaksud, tindakan-tindakan pendidikan yang mengarah pada perilaku baik dan benar perlu diperkenalkan oleh para pendidik.

Dalam proses pendidikan nilai, tindakan-tindakan pendidikan yang lebih spesifik dimaksudkan untuk mencapai tujuan yang lebih khusus. Seperti dikemukakan oleh Komite APEID (Asia and the Pasific Programme

of Educational Innovation for Development), pendidikan nilai ditujukan

20 Mardiatmaja, Tantangan Dunia Pendidikan, (Yogyakarta: Kanisius), h. 55-56.

21U. Saefullah, Psikologi Perkembangan dan Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012),


(27)

secara khusus untuk: a) menerapkan pembentukan nilai terhadap anak, b) menghasilkan sikap yang mencerminkan nilai-nilai yang diinginkan, c) membimbimbing prilaku yang konsisten dengan nilai-nilai tersebut. Dengan demikian tujuan pendidikan nilai meliputi tindakan mendidik yang berlangsung mulai dari usaha penyadaran nilai sampai pada perwujudan perilaku-perilaku yang bernilai (UNESCO, 1994).22

Selain itu, tujuan pendidikan nilai disesuaikan pada konsep awal pendidikan nilai yang menyentuh filosofi tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia, membangun manusia paripurna dan membentuk insan kamil atau manusia seutuhnya. Dari konsep awal pendidikan nilai yang menyentuh pada tujuan pendidikan inilah, maka muncul pertanyaan mendasar apa yang membuat manusia berkembang menjadi manusia seutuhnya? Jawabannya menurut N. Diyarkara adalah pengakuan dan penghargaan akan nilai-nilai kemanusiaan itu hanya akan timbul manakala ranah afektif dalam diri seseorang dihidupkan. Hal itu berarti proses belajar mengajar perkembangan prilaku anak dan pemahamannya mengenai nilai-nilai moral seperti keadilan, kejujuran, rasa tanggung jawab, serta keperdulian terhadap orang lain merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dalam unsur pendidikan.

Kesadaran anak akan nilai humanitas pertama-tama muncul bukan melalui teori atau konsep, melainkan melalui pengalaman konkrit yang langsung dirasakannya di sekolah. Pengalaman itu melalui sikap dan prilaku guru yang baik, penilaian adil yang diterapkan, pergaulan yang menyenangkan serta lingkingan yang sehat dengan penekanan sikap positif seperti penghargaan terhadap keunikan serta perbedaan. Pengalaman seperti inilah berperan membentuk emosi anak berkembang dengan baik.

Disisi lain pendidikan nilai bisa berarti educare yang berarti membimbing, menuntun, dan pemimpin. Filosofi pendidikan sebagai

22 Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004), h.


(28)

educare ini lebih mengutamakan proses pendidikan yang tidak terjebak pada banyaknya materi yang dipaksakan kepada peserta didik dan harus dikuasai. Proses pendidikan educare lebih merupakan aktifitas hidup untuk menyertai, mengantar, mendampingi, membimbing, memampukan peserta didik sehingga tumbuh berkembang sampai pada tujuan pendidikan yang dicita-citakan.23

3. Strategi Pendidikan Nilai

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Rumusan tujuan pendidikan diaras, serat dengan pembentukan sikap. Dengan demikian, tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran tidak membahas strategi pembelajaran yang berhubungan dengan pembentukan sikap dan nilai.

Strategi pembelajaran afektif berbeda dengan strategi pembelajaran kognitif dan keterampilan. Afektif berhububugan dengan nilai (value) yang sulit diukur, karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam.

Setiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkn siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematik. Melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan


(29)

berdasarkan nilai yang dianggapnya baik. Dibawah ini disajikan beberapa model strategi pembelajaran pembentukan sikap.24

1. Model Konsiderasi

Model konsiderasi dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang fundamental pada manusia adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Implementasi model konsideransi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti dibawah ini :

a. Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari.

b. Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut.

c. Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapi.

d. Mengajak siswa untuk menganalisis respons orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan.

e. Mendorong siswa untuk merumuskan akibat atau konsekuensi dari setiap tindakan yang diusulkan siswa.

24 http://mizaneducation.blogspot.com/2012/01/hakikat-pendidikan-nilai-dan-sikap.html


(30)

f. Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai dengan nulai yang dimilikinya. g. Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus

dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri.

2. Model Pengembangan Kognitif

Model pengembangan kognitif dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.

a. Tingkat Prakonvesianal

Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri. Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ini terdiri atas dua tahap.

Tahap 1

Orientasi hukuman dan kepatuhan, pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi.

Tahap 2

Orientasi instrumental-relatif, pada tahap ini perilaku anak

didasarkan kepada rasa “adil“ berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati.

b. Tingkat Konvensional

Pada tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu-masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai


(31)

tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku dimasyarakat. Dengan demikian, pemecahan masalah bukan hanya didasarkan kepada rasa keadilan belaka, akan tetapi apakah pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada tingkat konvensional itu mempunyai 2 tahap sebagai kelanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvesional, yaitu tahap keselarasan interpersonal serta tahap system social dan kata hati.

Tahap 3

Keselarasan interpersonal, pada tahapan ini ditandai dengan setiap perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain.

Tahap 4

Sistem sosial dan kata hati, pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat.

c. Tingkat Postkonvesional

Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dari dua tahap.

Tahap 5

Kontrak sosial, pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat. Kesadaran individu untuk berperilaku tumbuh karena kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip sosial.

Tahap 6

Prinsip etis yang universal, pada tahap terakhir perilaku manusia didasarka pada prinsip-prinsip universal.


(32)

3. Klasifikasi Pendidikan Nilai

Pendidikan nilai merupakan penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada diri seseorang. Untuk itu dalam skripsi ini akan menjelaskan klasifikasi nilai yang harus dikembangkan pada seseorang. Adapun klasifikasi pendidikan nilai tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pendidikan Nilai Sosial

Pendidikan nilai sosial adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang diidam-idamkan masyarakat. Agar nilai-nilai sosial dapat tercipta dalam masyarakat, diperlukan norma sosial dan sanksi-sanksi sosial. Nilai sosial adalah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang baik, penting, luhur, pantas, dan mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan dan kebaikan hidup bersama.25

Clyde Kluckhohn dalam buku Culture and Behavior, menyatakan

bahwa “nilai bukan keinginan, melainkan apa yang diinginkan. Artinya,

nilai tidak hanya diharapkan, tetapi diusahakan sebagai suatu yang pantas dan benar bagi diri sendiri dan orang lain.

2. Pendidikan Nilai Religi

Pendidikan nilai religi adalah penanaman nilai-nilai yang mengandung aspek agama. Nilai-nilai yang mengandung aspek-aspek agama disini dimaksudkan untuk nilai-nilai yang mengandung unsur keislaman. Oleh karena itu, kajian penanaman nilai-nilai islami di sini tidak mengupas aspek-aspek tersebut secara terperinci, namun dibatasi pada nilai-nilai pokok ajaran islam. Nilai pokok ajaran islam tersebut meliputi aqidah, syariah, dan akhlak. Berikut ini akan dibahas ketiga komponen pokok tersebut adalah sebagai berikut:

a) Aqidah

Aqidah menurut etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut demikian, karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau


(33)

gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknis artinya adalah iman atau keyakinan.26

Dalam hal ini, penanaman nilai-nilai mengenai pokok keimanan islam, ketaqwaan, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Contoh pendidikan nilai dalam ranah ini adalah kewajiban manusia untuk senantiasa bertaqwa pada Allah dan bersyukur yang termuat yang termuat dalam Q.S Lukman ayat 12-13:















Artinya:

12. dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". 13. dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".

b) Syariah

Syariah dalam bahasa Arab berasal dari kata syar‟i secara harfiah berarti jalan yang harus dilalui oleh setiap muslim. Selain

aqidah, akhlak, syari‟at adalah salah satu bagian agama islam. Menurut ajaran islam, syari‟at ditetapkan Allah menjadi patokan

hidup setiap muslim.


(34)

Menurut Imam Syafi‟i dalam kitab beliau ar-Risalah, syari‟at adalah peraturan-peraturan lahir yang bersumber dari wahyu dan kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari wahyu itu mengenai tingkah laku manusia.

c) Akhlak

Pengertian akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab akhlaq, bentuk jamak kata khuluq atau al-khulq, yang secara etimologis antara lain berarti budi pekerti, perangai, tingkah

laku atau tabi‟at (Rachmat Djatnika, 1987: 25).27

Baik kata akhlaq atau khuluq kedua-duanya telah dijumpai pemakaiannya di dalam al-Qur‟an maupun Hadits sebagai terlihat berikut ini:





Artinya: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. al-Qalam/66: 4)





Artinya: “(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan yang dahulu”.(QS. al-Syu’ara/26: 137)

Artinya: “Bahwasannya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan keluhuran budi pekerti”. (HR. Ahmad)

Budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi‟at, kita ketahui maknanya dalam percakapan sehari-hari. Namun, agar lebih jelas, tidak ada salahnya kalau dituliskan juga di antaranya dalam uraian ini. Budi pekerti adalah kata mejemuk perkataan budi dan pekerti, gabungan kata yang berasal dari basa Sansekerta dan bahasa


(35)

Indonesia. Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (1989) budi pekerti mengandung makna perilaku yang baik, bijaksana, dan manusiawi.

Kalau perkataan budi pekerti dihubungkan dengan perangai, kata budi pekerti mengandung arti yang lebih dalam karena telah mengenai sifat dan watak yang dimiliki seseorang, sifat danwatak yang telah melekat pada diri pribadi telah menjadi kepribadiannya. Dapat juga dikatakan bahwa perangai adalah sifat dan watak yang merupakan bawaan seseorang.28

Kalau perkataan budi pekerti dihubungkan dengan akhlaq, jelas seperti yang disebutkan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia di atas, kedua-duanya mengandung makna yang sama. Baik budi pekerti maupun akhlak mengandung makna yang ideal, tergantung pada pelaksanaan atau penerapannya melalui tingkah laku yang mungkin positif, mungkin negatif, mungkin baik dan buruk. Yang termasuk kedalam pengertian positif (baik) adalah segala tingkah

laku, tabi‟at, watak dan perangai yang sifatnya benar, amanah,

sabar, pemaaf, dan lain-lain sifat yang baik. Sedang yang termasuk ke dalam pengertian akhlak atau budi pekerti yang buruk adalah

semua tingkah laku, tabi‟at, watak, perangai sombong, dendam,

dan lain-lain sifat-sifat yang buruk. Yang menentukan suatu perbuatan atau tingkah laku itu baik atau buruk adalah nilai dan

norma agama, juga kebiasaan atau adat istiadat.

Akhlak dari segi bahasa ini membantu kita dalam menjelaskan pengertian akhlak dari segi istilah. Namun demikian pengertian akhlak dari segi bahasa ini sering digunakan untuk mengartikan akhlak secara umum. Akibatnya segala sesuatu perbuatan yang sudah dibiasakan dalam masyarakat, atau nilai-nilai budaya yang berkembang dalam masyarakat disebut akhlak.


(36)

Demikian pula aturan baik buruk yang berasal dari pemikiran manusia, seperti etika, moral dan adat kebiasaan juga dinamakan akhlak. Persepsi ini tidak sepenuhnya tepat, sebab antara akhlak, etika, moral, dan adat kebiasaan terdapat perbedaan. Akhlak bersumber pada agama, sedangkan etika, moral, dan adat kebiasaan berasal dari pemikiran manusia.29

Akhlak atau sistem perilaku ini terjadi melalui satu konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. Konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu, disusun oleh manusia di dalam sistem idenya. Sistem ide ini adalah hasil proses daripada kaidah-kaidah yang dihayati dan dirumuskan sebelumnya, (norma yang bersifat normatif dan norma yang bersifat deskriptif). Kaidah atau norma yang merupakan ketentuan ini timbul dari satu sistem nilai yang terdapat dalam al-Qur‟an atau sunnah yang telah dirumuskan melalui wahyu ilahi maupun yang disusun oleh manusia sebagai kesimpulan dari hukum-hukum yang terdapat dalam alam semesta yang diciptakan Allah SWT.30

3. Pendidikan Nilai Estetik

Dalam rangka teori umum tentang nilai, The Liang Gie menjelaskan bahwa pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai seperti halnya nilai moral, nilai pendidikan, dan sebagainya. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik (nilai keindahan).31 Nilai estetik adalah nilai yang lebih menghasilkan pada penilaian pribadi seseorang yang bersifat subyektif. Selain itu nilai estetik melekat pada kualitas barang atau memiliki sifat indah. Kecenderungan orang yang

29 Koordinasi Dakwah Islam (KODI), Dirasah Islamiyah Pendidikan Kader Mubaligh,

(Jakarta: Koordinasi Dakwah Islam Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, 1997), h. 3

30 Abu Ahmadi, Dasar-dasar Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2004), Cet.

Ke-4, h. 199


(37)

memiliki jiwa keindahan biasanya memiliki jiwa yang kreatif, terampil dan inovatif. Nilai estetik ini biasanya banyak dimiliki oleh para seniman, seperti musisi, pelukis, atau perancang model.

Dalam “Dictionary of Sociology and Related Science disebutkan bahwa “The believed capacity of any object to saticgy a human desire. The quality of any object which causes it be of interest to an individual or a group” (kemampuan yang dianggap ada suatu benda yang dapat memuaskan keinginan manusia. Sifat benda yang menarik minat seseorang atau kelompok). Hal itu berarti, nilai adalah realitas psikologi yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan karena terdapat dalam jiwa manusia, bukan pada kehendaknya.32

Penanaman nilai-nilai yang mengandung unsur-unsur keindahan dan keragaman inilah disebut dengan pendidikan nilai estetik. Pendidikan nilai estetik ini mengarahkan bakat dan membekali seseorang menjadi orang yang ahli sesuai dengan keahliannya.33

4. Pendidikan Nilai Personal

Nilai personal adalah nilai-nilai yang bersifat personal terjadi dan terkait secara pribadi atas dasar dorongan-dorongan yang lahir secara psikologi dalam diri seseorang. Misalnya nilai tanggungjawab, daya juang, bekerja keras, percaya diri, rajin, rendah diri, pandai. Selain itu dalam al-Qur‟an, banyak dijelaskan contoh pendidikan nilai dalam ranah ini, yaitu berlaku adil dan tidak mengumbar kebencian.

Dalam Surat Al-Maaidah ayat 8 diterangkan:













32 http://www.faliqanwar/05/tentang-pokok-persoalan.html

33Diane Tillman, Living Value: An Educatinal Program “Living Value Activities for Children


(38)

Artinya:“Hai orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”34

Nilai-nilai di atas perlu ditanamkan pada diri seseorang agar membangun pribadi-pribadi yang mandiri, tidak mudah goyah dan professional.35

C. Novel Sebagai Media Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Agama Islam 1. Pengertian Novel

Kata novel berasal dari bahasa latin novellus. Kata novellus dibentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa inggris. Dikatakan baru karena bentuk novel adalah bentuk karya sastra yang datang kemudian dari bentuk karya sastra lainnya, yaitu puisi dan drama.36

Kehadiran bentuk novel sebagai salah satu bentuk karya sastra yang berawal dari kesusteraan inggris pada awal ke-18. Timbulnya akibat pengaruh tumbuhnya filsafat yang dikembangkan John Locke (1632-1704) yang menekankan pentingnya fakta atau pengalaman dan bahayanya berpikir secara fantastis. Pentingnya belajar dari pengalaman merupakan ajaran baru yang berkembang pada masa itu. Akibat timbulnya pembaca karya sastra dari kalangan para pengusaha, pedagang, serta golongan menengah yang kurang menyukai puisi dan drama yang dianggapnya tidak realistis. mereka memerlukan bacaan yang menggambarkan suasana yang lebih realistis dan masuk akal dari hidup ini.

Disamping novel, di Indonesia juga dikenal istilah roman. Pada masa permulaan kesusasteraan Indonesia, istilah roman dipergunakan untuk penamaan karya sastra yang terbit pada masa-masa itu. Roman juga cerita, kata

34Al-Qur‟an dan Terjemahannya

35Rokhmat Mulyana, h. 30

36Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: Bumi


(39)

itu juga berasal dari bahasa Prancis untuk menamai buku yang terbit dalam bahasa Prancis. Kemudian berkembang menjadi nama-nama buku cerita tentang dewa atau para pahlawan zaman dulu raja-raja di antaranya. Hal ini terlihat pada karya sastra tahun 20-an dan 30-an atau masa Balai pustaka dan pujangga baru.37

Kini istilah novel dan roman tidak lagi dibedakan. Keduanya dinamakan novel karena pada hakikatnya keduanya adalah hal yang sama, yaitu menyampaikan tentang kehidupan manusia yang digali dari kehidupan sehari-hari yang dapat dirasa dan dihayati oleh masyarakat pembaca. Bahkan istilah lain juga digunakan untuk kedua hal tersebut, yaitu cerita rekaan.38

Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis atau sastra lisan (sastra oral). Di sini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu.

Sastra dibagi menjadi 2 yaitu Prosa dan Puisi, Prosa adalah karya sastra yang tidak terikat sedangkan Puisi adalah karya sastra yang terikat dengan kaidah dan aturan tertentu. Contoh karya Sastra Puisi yaitu Puisi, Pantun, dan Syair sedangkan contoh karya sastra Prosa yaitu Novel, Cerita/Cerpen, dan Drama.

Menurut Esten menyatakan bahwa novel merupakan pengungkapan dari fragmen kehidupan manusia (dalam jangka waktu yang lebih panjang) dimana terjadi konflik-konflik yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan jalan hidup antara para pelakunya. Sedangkan menurut Jakob Sumardjo dan Saini (1988:29) novel adalah cerita berbentuk prosa dalam ukuran yang luas. Ukuran yang disini dapat berarti cerita dengan plot (alur) yang kompleks, suasana yang beragam dan setting yang beragam.39

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa novel adalah karangan prosa yang panjang yang melukiskan suatu peristiwa kehidupan tokoh cerita yang akhirnya terjadi perubahan hidup tokohnya.

37 Yandianto, Apresiasi Karya Sastra dan Pujangga Indonesia, (Bandung: M2S, 2004), h. 160.

38 Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010),h. 125-126.


(40)

2. Ciri-ciri Novel

Menurut Satriopandup (2010) novel memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Karya sastra berjenis narasi, kadang di dalamnya terdapat jenis

karangan deskripsi untuk melukiskan suasana. b. Berbentuk prosa

c. Bersifat realis, umumnya merupakan tanggapan pengarang terhadap lingkungan sosial budaya sekelilingnya.

d. Karya sastra yang berfungsi sebagai tempat menuangkan pikiran pengarang sebagai reaksinya atas keadaan sekitarnya.

Selain itu novel menurut Tn (2011) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Menceritakan sebagian kehidupan yang luar biasa

b. Terjadinya konflik hingga menimbulkan perubahan nasib c. Terdapat beberapa alur atau jalan cerita

d. Terdapat beberapa insiden yang mempengaruhi jalan cerita e. Perwatakan atau penokohan dilukiskan secara mendalam

3. Unsur-unsur Novel

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai totalitas, unsur kata, bahasa, misalnya merupakan salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu. Kata inilah yang menyebabkan novel, juga sastra pada umumnya menjadi berwujud. Pembicaraan unsur fiksi berikut dilakukan menurut pandangan tradisional dan diikuti pandangan menurut Stanton (1965) dan Chapman (1980).40

Unsur-unsur pembangun sebuah novel dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik.

40 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,


(41)

Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Unsur intrinsik

Unsur-unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra , unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra.

Unsur intrinsik yang termasuk dalam novel terdiri atas: tema, alur, penokohan, latar, dan sudut pandang.

1. Tema

tema adalah suatu pokok pikiran yang paling utama yang dibangun untuk membentuk ide pokok, guna menunjukkan setiap karakter yang terlibat serta memberikan arah tujuan agar si pembaca dapat memahami isi dari karya sastra yang dibuatnya. Untuk mengetahui tema novel/cerpen, pembaca harus mencermati seluruh rangkaian cerita.Tema dalam sastra bisa diangkat dari berbagai masalah kehidupan sesuai zamannya.Baik menyangkut kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, kecemburuan, dan sebagainya.

2. Alur

alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah karya sastra atau lebih jelasnya, alur merupakan peristiwa-peristiwa yang disusun satu per satu dan saling berkaitan menurut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita.41

Menurut Wahyudi (2008:10) alur mempunyai tiga tahapan:

a) Tahap Awal

Bagian awal sebuah cerita akan mengandung dua hal penting, yakni pemaparan atau eksposisi dan elemen instabilitas. Eksposisi merupakan istilah yang dipergunakan untuk menunjuk pada proses yang digunakan bagi informasi yang diperlukan dalam pemahaman cerita oleh pengarang kepada pembaca.

41 Dawud, dkk, Bahasa dan Sastra Indonesia Jilid I untuk SMA kelas X, (Jakarta: Erlangga,


(42)

Eksposisi biasanya merupakan fungsi yang bersifat pribadi bagi awal sebuah cerita.Disini maksudnya awal suatu cerita merupakan gambaran yang menyebabkan terjadinya suatu cerita atau di dalam cerita itu mengandung elemen instibilitas, baik bersifat implisit maupun eksplisit.

b) Tahap Tengah

Bagian tengah cerita berisi konflik cerita, yang dibedakan menjadi tiga:

1.

Konflik dalam diri seorang yang tunggal atau konflik kejiwaan.

2.

Konflik antara seseorang (tokoh) dengan masyakat atau

konflik sosial.

3.

Konflik antara seseorang dengan alam atau konflik alamiah.

c) Akhir

Bagian akhir suatu cerita terdiri dari segala sesuatu yang berasal dari klimaks menuju ke denoument atau pemecahan masalah yang penuh damba dan harap.

3. Penokohan

Dalam pembicaraan sebuah fiksi,sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Istilah-istilah tersebut, sebenarnya tak menyaran pada pengertian yang persis sama, atau paling tidak dalam tulisan ini akan dipergunakan dalam pengertian yang berbeda, walau memang ada diantaranya yang sinonim.42 Tokoh adalah individu yang berperan dalam cerita, yang mengalami peristiwa atau berkelakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita.

Tokoh-tokoh dalam sebuah fiksi dapat dibedakan ke dalam beberapa jenis, berdasarkan sudut pandang dan tinjauan sebagai berikut:


(43)

a. Tokoh utama dan tokoh tambahan

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan.Tokoh utama ini merupaka tokoh yang banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian.Tokoh tambahan adalah tokoh yang mendukung/membantu tokoh utama.

b. Tokoh Protagonis dan Tokoh Antagonis

Tokoh protagonis adalah tokoh yang dikagumi.Sedangkan tokoh antagonis adalah tokoh penyebab terjadinya konflik.

c. Tokoh Sederhana dan Tokoh Bulat

Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja.Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak saja.Sedangkan tokoh bulat ini merupakan tokoh yang memiliki dan diungkap kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya.

d. Tokoh Statis Dan Tokoh Berkembang

Tokoh statis adalah tokoh yang memiliki sikap dan watak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita. Sedangkan tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa serta plot yang dikisahkan.

4. Latar atau setting

Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Stanton mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita


(44)

fiksi. Atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita.43 Secara garis besar unsur latar sebuah cerita dapat dikategorikan menjadi tiga unsur pokok, yaitu:44

a. Latar Tempat

Latar tempat merupakan hal yang berkaitan dengan masalah geografis, yang menyangkut deskripsi tempat suatu cerita terjadi.

b. Latar Waktu

Latar waktu mengacu kepada saat terjadinya peristiwa secara historis. Dengan demikian, saat kejadian dalam cerita akan tergambar pula tujuan fiksi tersebut secara jelas.

c. Latar Sosial

Merupakan lukisan status yang menunjukkan hakikat seseorang atau beberapa orang tokoh di dalam masyarakat yang ada disekelilingnya.Statusnya di dalam kehidupan sosialnya boleh jadi digolongkan menurut tingkatannya, seperti sosial kelas bawah, latar sosial kelas menengah, dan latar sosial kelas atas. 5. Sudut Pandang

Menurut M.H. Abrams, seperti dikutip oleh Burhan Nurgiyantoro, sudut pandang menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk karya fiksi kepada pembaca.45

Secara garis besar, sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu persona pertama (gaya “aku”) dan persona ketiga (gaya

“dia”).

Pada sudut pandang yang menggunakan persona pertama (gaya

“aku”), pengarang ikut terlibat dalam cerita. Pengarang masuk ke dalam

43Ibid., hal. 216

44Ibid., hal. 227-245

45 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University


(45)

cerita menjadi si “aku” yaitu tokoh yang mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, serta segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar,dilihat, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh “aku”. Sebagai konsekuensinya, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas apa yang dilihat dan

dirasakan tokoh si “aku” tersebut.

Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan lagi ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan tokoh “aku” dalam cerita. Yaitu “aku” sebagai tokoh utama jika ia menduduki peran utama atau menjadi tokoh utama protagonis, dan “aku” sebagai tokoh tambahan jika ia hanya menduduki peran tambahan, menjadi tokoh tambahan protagonis, atau berlaku sebagai saksi.

Adapun pada sudut pandang persona ketiga (gaya “dia”), pengarang menjadi seseorang yang berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, terus-menerus disebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam mengenali siap tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.

Sudut pandang persona ketiga dapat dibedakan lagi ke dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya. Yaitu sudut pandang “dia” mahatahu jika pengarang mengetahui segala hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan, termasuk motivasi yang melatarbelakanginya, dan sudut

pandang “dia” sebagai pengamat jika pengarang hanya menceritakan secara apa adanya dan tidak sampai mengetahui detil-detil yang khas. b. Unsur Ekstrinsik

unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau secara lebih khusus ia dapat


(46)

dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Walau demikian, unsur ekstrinsik cukup berpengaruh terhadap totalitas bangun cerita yang dihasilkan. Oleh karena itu unsur ekstrinsik sebuah novel haruslah tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.

Wellek dan Warren (1956), walau membicarakan unsur ekstrinsik tersebut cukup panjang, tampaknya memandangnya unsur itu sebagai sesuatu yang agak negatif, kurang penting. Pemahaman unsur ekstrinsik suatu karya, bagaimanapun akan membantu dalam hal pemahaman makna karya itu mengingat bahwa karya sastra tak muncul dari situasi kekosongan budaya.46

Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur-unsur yang dimaksud (Wellek dan Warren, 1956:75-135) antara lain adalah

1. Latar belakang kehidupan pengarang 2. Pandangan hidup pengarang

3. Situasi sosial, budaya yang melatari lahirnya karya sastra tersebut.


(47)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini, metode penelitian tersebut adalah meliputi jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan datadan teknik analisis data yang akan diuraikan sebagai berikut:

A. Jenis Penelitian

Dalam skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian pustaka (Library

Research). Karena skripsi ini mengkaji sumber data dari materi atau literatur yang

relevan dengan judul skripsi yang terdapat dalam sumber-sumber pustaka, maka skripsi ini secara khusus bertujuan mengumpulkan data atau informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruang perpustakaan, baik itu berupa buku, artikel, ataupun surat kabar yang ada kaitannya dengan skripsi ini dengan cara menelaah dan menganalisa sumber-sumber tersebut dan mencatat hasilnya untuk kemudian dikualifikasikan menurut kerangka yang sudah ditentukan.


(48)

B. Sumber Data

Hubberman menegaskan data kualitatif merupakan sumber dari deskripsi yang luas dan berlandasan kokoh serta memuat penjelasan tentang proses-proses yang terjadi dalam lingkup setempat. Dengan demikian, data verbal dapat difahami baik melalui alur peristiwa secara kronologis, narasi, maupun dialog yang dituangkan Yuli Badawi dalam novelnya Rumah Seribu Malaikat harus disikapi sebagai kesatuan tutur yang lebih lengkap berupa kata, kalimat, serta paragraf sehingga membentuk suatu wacana yang utuh.47

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitan ini, yaitu novel Rumah Seribu Malaikat karya Yuli Badawi.

2. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang masih berkaitan dengan masalah penelitian dan membahas interpretasi terhadap sumber primer.48.

Adapun data sekunder dalam penulisan skripsi ini adalah buku-buku pendidikan, artikel-artikel, dan sebagainya yang relevan dengan pembahasan skripsi.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi atau pengumpulan dokumen adalah cara mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya.

47 Michael Hubberman, A. Miles, Mattew B, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: Universitas

Indonesia, 1992), h. 1


(49)

D. Teknik Analisis Data

a) Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Yaitu sebuah analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami dan menangkap isi karya sastra tersebut.

b) Metode Deskriptif

Yaitu suatu cara yang digunakan untuk membahas objek penelitian secara apa adanya berdasarkan data-data yang ditemukan. Adapun teknik deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Dengan analisis kualitatif akan diperoleh gambaran sistematika mengenai isi suatu dokumen


(50)

BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Deskripsi Nilai-nilai yang Terkandung dalam Novel Rumah Seribu Malaikat

Pada bab empat ini, penulis akan mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam novel rumah seribu malaikat. Deskripsi nilai-nilai tersebut adalah hasil analisis penelitian penulis dengan menggunakan teori yang telah dirancang sebelumnya.

Adapun nilai-nilai yang yang akan penulis deskripsikan yaitu mengenai nilai-nilai akhlak, nilai personal, dan nilai sosial.

Nilai akhlak, secara etimologi berasal dari khalaqa, yang berarti perangai, tabiat, adat, atau sistem perilaku yang dibuat. Karenanya akhlak secara kebahasaan bisa baik atau buruk tergantung kepada tata nilai yang dipakai sebagai landasannya, meskipun secara sosiologis di Indonesia kata akhlak sudah mengandung konotosai baik, jadi orang yang berakhlak berarti orang yang berakhlak baik. Nilai akhlak yang telah penulis temukan dalam teks novel rumah seribu malaikat meliputi: nilai syukur nikmat, nilai sabar, nilai ikhlas, dan nilai takwa.


(1)

DAFTAR LAMPIRAN

PROFIL YULI BADAWI (Penulis Novel Rumah Seribu Malaikat)

Yuli Badawi lahir pada 1 Juli 1959 di Madiun, Jawa Timur, dengan nama lengkap Endang Yuli Purwati. Perempuan berpanggilan akrab Umi ini meraih gelar Sarjana Pendidikan di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung di bidang Pendidikan Agama Islam. Beliau mulai melakukan kegiatan social pada waktu menjadi guru di SKKPN1 Bandung, tahun 1986. Saat itu dia menemukan beberapa siswi tidak dapat mengikuti ulangan umum karena belum membayar SPP kemudian Yuli Badawi meminta bendahara SPP untuk memotong gajinya agar anak-anak bias ikut ulangan umum. Akhirnya, terbentuklah suatu kegiatan saweran bersama beberapa teman guru untuk membantu siswa-siswi yang membutuhkan.

Selain mengajar, Yuli Badawi juga melakukan aktivitas dakwah bersama suami di beberapa majelis taklim dan memberikan bimbingan manasik haji dan umrah. Beliau juga menjadi konsultan dalam berbagai kasus-kasus yang dihadapi para kawula muda, remaja juga keluarga muda.


(2)

Daftar Lampiran

Sinopsis Novel Rumah Seribu Malaikat

*KARYA YULI BADAWI & HERMAWAN AKSAN* Sinopsis Novel Rumah Seribu Malaikat

Judul Novel : Rumah Seribu Malaikat Jumlah Halaman : 1-424

Cetakan : 1, Mei Tahun 2012

Penerbit : Noura Books (PT Mizan Publika) Penulis : Yuli Badawi & Hermawan Aksan Desain & Isi Sampul : Windu Tampan

Nggak ada yang sia-sia, apalagi kalau kita melakukannya Lillahi ta'ala, apapun hasilnya kan bukan hak kita.

Sekilas, tidak ada bedanya keluarga Yuli & Badawi dengan keluarga lainnya. Perbedaan baru terlihat saat mereka diminta menyebutkan jumlah anak, mereka akan menjawab 16!

Bayangkan 16 orang anak! Kadang membesarkan satu atau lebih anak saja sudah membuat orang tua merasa pusing tujuh keliling. Jadi bisa dibayangkan bagaimana situasi yang dihadapi Yuli & Badawi saat membesarkan 16 anak. Namun karena semuanya Lillahi ta'ala, maka tak ada yang terasa berat. Banyak anak memang bukan hal luar biasa di masyarakat kita apalagi dengan adanya pepatah banyak anak banyak rejeki. Namun perbedaan dengan keluarga Badani adalah 16 anak itu ada yang anak pungut! malah beberapa usianya sangat berdekatan, ada yang hanya selisih sekian hari. Bermula dari rasa kasihan melihat anak yang terlantar, Keluarga Badawi memutuskan mengurus seorang anak. Dari satu anak berkembang menjadi sekian anak. Ada anak-anak yang memang tinggal bersama mereka, ada yang dicarikan orang tua asuh, serta ada yang hanya dititipkan sebentar saat keadaan sudah memungkinkan maka sang anak bias di dibawa pulang. Usia anak-anak itu juga beragam sehingga kerepotannya juga beragam.


(3)

Mereka juga tidak membeda-bedakan apakah itu anak pungut atau anak kandung. Semuanya mendapat perlakuan yang sama. Bahkan "Para Ajudan" juga mendapat perlakuan sama. Beberapa yang tertarik ikut bekerja dengan keluarga ini namun masih dibawah umur diijinkan bergabung asalkan mau tetap bersekolah atas biaya keluarga Badami. Sungguh mulia hati mereka. Apa yang mereka punya dibagi bersama secara merata.

Mengurus 16 anak sungguh membutuhkan kemampuan yang hebat! Tidak saja dari unsur kesabaran dan tenaga, urusan keuangan juga harus mendapat perhatian. Namun jika semuanya dilakukan dengan niat tulus maka tak ada yang mustahil. Segala macam kebetulan limpahan rejeki mengalir menghampiri keluarga ini. Perkataan setiap anak membawa rejekinya masing-masing terbukti benar. Ada saja bantuan yang datang saat dibutuhkan dan tanpa perlu keluarga ini mengadahkan tangan untuk meminta, sesuatu yang pantang mereka lakukan. Padahal jika diukur secara matematika, entah bagimana gaji Yuli dan usaha Badawi cukup untuk membesarkan 16 anak ditambah para ajudan. Faktanya mereka hidup dengan layak.

Kedua suami istri, Yuli dan Badawi bagi saya merupakan pasangan yang diberi rahmat luar biasa oleh Allah SWT. Mereka terus diberi kesempatan untuk memperoleh pahala dengan membesarkan anak-anak terlantar. Mereka juga tidak membeda-bedakan dari mana asalnya anak itu. Apakah anak yang sengaja diterlantarkan orang tuanya, anak hasil hasil hubungan gelap, anak hasil pemerkosaan atau anak dari keluarga tak mampu. Mereka hanya ingin membesarkan dan memberikan bekal kehidupan berupa ilmu dan landasan agama tentunya.

Keiklasan Keluarga Badawi membesarkan sekian banyak anak perlu mendapat acungan jempol, walau mereka tidak mengharapkannya. Mereka bisa saja memberikan santunan sejumlah sekian kesebuah yayasan yang mengurusi anak-anak terlantar. Tapi bukan itu tujuan mereka, tujuan mereka adalah memberikan bekal kehidupan serta kehangatan sebuah rumah bagi setiap anak.

Saking rendah hatinya, Yuli sering malu jika ada pihak media yang ingin mewawancarinya. Ia merasa apa yang dilakukannya bersama suaminya bukanlah


(4)

sebuah kehebatan. Sering saat diminta menjadi bintang tamu dalam sebuah seminar ia merasa grogi karena tak tahu harus berbicara apa, ditambah lagi perasaan minder jika menilik pendidikannya dibandingkan nara sumber lainnya.

Sungguh kontras! Di bagian lagi sisi dunia, ada orang tua yang tega membiarkan anak-anaknya terlantar, bahkan ada yang tega menghabisi nyawanya karena hal sepele. Di ujung dunia yang lain, sebuah keluarga memohon diberikan kepercayaan seorang anak tanpa

mengenal lelah. Beruntungnya keluarga Badawi mendapat kesempatan berbuat baik.


(5)

Daftar Gambar

Yuli Badawi beserta anak asuhnya


(6)