❏ Petrampilan S. Brahmana
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan dalam Sastra Indonesia
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume III No. 1 April Tahun 2007
DARI MALAIKAT KE DOA MOHON KEHANCURAN AGAMA: DEKONSTRUKSI ATAS PANDANGAN KEAGAMAAN
DALAM SASTRA INDONESIA
Pertampilan S. Brahmana
Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Abstract
This article tries to analyse the themes of the poems written by Saeful Badar and Gendhotwukir. The results of the analysis show that both pets deconstruct the religion view
of Indonesian society. Saeful Badar deconstructs angels whereas deconstructs the role of religion in creating peace.
Key words: poems, deconstruct
1. PENDAHULUAN
Secara tidak sengaja, saya menemukan dua puisi dari dua penyair yang berbeda di dunia siber ini.
Puisi yang pertama informasinya masuk ke dalam email saya, dan puisi yang kedua hasil berselancar
di dunia siber ini. Puisi pertama dengan judul Malaikat ditulis oleh Saeful Badar, seorang
pengelola Sanggar Sastra Tasik SST dari Tasikmalaya dan dipublikasikan di rubrik
Khazanah harian Pikiran Rakyat Bandung edisi 4 Agustus 2007. Ketika saya lacak ke situs harian
Pikiran Rakyat, puisi sudah dihapus. Sehingga puisi yang ada di dalam email saya tersebut saya
salinkan kembali untuk tulisan ini. Puisi yang kedua Doa Mohon Kehancuran Agama ditulis oleh
orang yang menamakan dirinya Gendhotwukir, dipublikasikan via situs Rumah Kiri.
Walaupun kedua puisi di atas ditulis oleh orang yang berbeda, dan entah mungkin tidak
saling mengenal, keduanya berada di dalam jalur yang sama yaitu agama. Keduanya
mendekonstruksi pikiran kaum umat beragama.
2. KARYA SASTRA DAN AGAMA
Hubungan atau persinggungan karya sastra dengan agama, bukanlah hal yang baru. Isi karya sastra
ada yang seiring sejalan dengan agama dan ada yang berbeda jalan. Isi karya sastra yang seiring
sejalan dengan ajaran agama misalnya para pemegang otoritas keagamaan - walaupun tanpa
mendapat mandat dari Tuhan - menghendaki karya sastra haruslah mendakwahkan agama kepada
manusia. Karya-karya sastra seperti ini dapat dikatakan seiring sejalan dengan agama.
Sedangkan isi karya-karya yang tidak seiring sejalan dengan ajaran agama antara lain
karya Hamzah Fansuri 1550-1600, akibatnya karya-karya Hamzah Fansuri dibakar. Pembakaran
terhadap karya-karyanya ini, katanya bukan dikarenakan pandangan keagamaannya, akan tetapi
karena pendapat Hamzah Fansuri yang bertentangan dengan pandangan penguasa pada
masanya. Kalau pandangan Hamzah Fansuri ini berkembang di tengah-tengah masyarakat, dapat
menggoyangkan kedudukan penguasa pada masa itu.
Penggalan puisi yang berisi perdebatan perihal pandangan Hamzah Fansuri ini adalah
LIIA itu kesudahaan kata Tauhid makrifat semata-mata
Hapuskan hendak sekalian perkara Hamba dan Tuhan tiada berbeda
Dikutip dari Liaw Yock Fang
Tafsiran atas penggalan puisi di atas, sama dengan AKU adalah YANG MAHA
TUNGGAL dan YANG MAHA TUNGGAL adalah AKU. AKU Hamzah Fansuri adalah
YANG MAHA TUNGGAL dan YANG MAHA TUNGGAL adalah AKU Hamzah Fansuri.
Maknanya Aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah Aku Hamba dan Tuhan tiada berbeda.
Penggalan puisinya selanjutnya:
Hamzah Fansuri di dalam Makah Mencari Tuhan di baitul Kaabah
Di Barus ke Kudus terlalu payah Akhirnya dapat di dalam rumah
Dikutip dari Liaw Yock Fang
❏ Petrampilan S. Brahmana
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan dalam Sastra Indonesia
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume III No. 1 April Tahun 2007
Dalam pandangan Hamzah Fansuri, Tuhan itu tidak perlu dicari jauh-jauh tetapi ada di
dalam hati setiap manusia, ini diungkapnnya.
Potongan Teks Puisinya Penafsirannya
Mencari Tuhan di baitul Kaabah
…… Akhirnya dapat di dalam
rumah Tuhan itu tidak perlu
dicari jauh-jauh. Tuhan itu “ada” bekerja di
dalam hati setiap manusia.
Pandangan di atas jelas berbeda, bertentangan, bertolak belakang dengan padangan
keagamaan yang berkembang pada masa itu dan pada masa kini karena antara Tuhan dan manusia
tidak mungkin bersatu. Hubungan Tuhan dengan manusia, seperti pencipta dengan karya
ciptaannya. Tuhan itu pencipta dan manusia itu ciptaan Tuhan. Keduanya tidak mungkin sama atau
disamakan. Jelas berbeda dengan pandangan Hamzah Fansuri tersebut.
Akibat pandangannya tersebut, konsekuensi yang harus ditanggung Hamzah
Fansuri adalah semua karya-karyanya harus dibakar, maka menurut ceritanya karya-karya
Hamzah Fansuri dibakar habis oleh pihak yang berkuasa pada zamannya, yang paling keras
menentang pandangan Hamzah Fansuri tersebut adalah
Nurruddin Al-Raniri dan Abdul Rauf Singkel. Demikianlah Hamzah Fansuri
mendekonstruksi pandangan keagamaan pada zamannya.
Kurang lebih sama dengan Hamzah Fansuri adalah kisah Gatoloco pada masyarakat
Jawa. Cerita ini juga berada dalam jalur keagamaan, tetapi mendekonstruksi untuk
menghalangi perkembangan agama Islam di tanah Jawa.
Contoh dekonstruksiannya adalah sebagai berikut:
Nabi Mekah yang kau sembah, sudah tidak ada ujudnya, sudah meninggal
seribu tahun silam, tempatnya pun di tanah Arab, perjalanan ke sana tujuh
bulan ketika itu, itu pun dihadang laut, dan di sana tinggal hanya makamnya,
kalian sembah jungkir balik tiap hari, apa bisa sampai?
Contoh ketika Gatoloco mendekonstruksi pemikiran tiga orang kyiai tentang mata.
Ketika tiga orang kyai mengaku masing- masing memiliki dua mata, Gatoloco
terbahak-bahak sambil beteriak-teriak. “Kamu terlalu berani. Sungguh akan
celaka. Mengaku mata yang bukan milikmu. Nanti saya laporkan polisi
kamu. Mestinya kamu diikat karena mengaku matamu dua. Sekarang begini,
jika benar matamu dua, perintahkan yang satu kamu suruh terjaga dan satunya
tidur. Bergiliran. Dengan begitu, selama hidupmu tidak akan kecurian”.
“Ngaco. Mana ada mata melek bergiliran”
“Jika benar mata itu milikmu, kamu pasti punya kuasa. Seluruh perintahmu pasti
dituruti. Kalau tak menurut, itu berarti bukan matamu. Begitu kamu berani
mengaku-aku. Kamu dapat dari mana. Beli atau pinjam. Apa kamu diberi. Jika
ya, siapa yang memberi. Siapa saksinya. Hari apa diberikan, dan dimana. Hayo
jawab” Sukahar 1999: 19. ........
Ketiga guru kiyai bersama-sama berkata, “mana ada mata bergiliran?”
Gatoloco menjawab, “Bila kalian mengaku matamu tidak pisah, dari mana
kalian dapatkan? Dari membeli ataukah meminjam? Atau kalian diberi orang,
lalu siapa yang memberimu, siapa saksinya, dari mana dan hari apa?”
Ketika guru mendengarnya dengan geleng-geleng kepala, tak dapat berkata-
kata, dan akhirnya mereka berkata: “Ciptaan ayah ibuku”
Gatoloco terbahak-bahak, “Kiraku kedua orang tuamu tidak mengakuinya dalam
menciptakan dirimu. Mereka hanya merasakan kenikmatan cinta, itu sebagai
jalan terjadinya kalian. Mereka tak berniat menciptakanmu” Prawirataruna
1990: 46-47.
Dari penggalan dialog di atas, ada dua hal yang menjadi fokus perhatian, pertama masalah
penguasaan kedua mata yang dimiliki manusia dan proses kelahiran seorang manusia. Menurut
konstruksi ketiga kyai tersebut, kedua mata yang dimiliki seorang manusia, adalah miliknya, si
pemilik berkuasa atasnya, demikian juga dengan kelahiran manusia, manusia itu lahir atas restu
kedua orang tuanya.
Gatoloco mendekonstruksi pemikiran ketiga kyai tersebut di atas, dengan mengatakan,
kedua mata yang dimiliki seorang manusia itu
❏ Petrampilan S. Brahmana
Dari Malaikat ke Doa Mohon Kehancuran Agama:
Dekonstruksi atas Pandangan Keagamaan dalam Sastra Indonesia
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume III No. 1 April Tahun 2007
bukan miliknya, dia manusia itu tidak berkuasa atasnya, kalau memang benar kedua mata itu milik
manusia, “suruhlah berkedip bergantian, satu memejam yang satu membelalak. Sehingga selama
hidupnya manusia tidak akan dapat kecurian”. Kalau bisa berarti kedua mata itu benar-benar
milik manusia dan manusia itu berkuasa atasnya. Sedangkan tentang penciptaan manusia, manusia
itu dilahirkan orang tuanya bukan disengaja, tetapi hanyalah dampak dari ketika kedua orang yang
disebut orang tua tersebut “merasakan kenikmatan cinta”.
3. DARI PUISI MALAIKAT KE PUISI DOA MOHON KEHANCURAN