Salinitas 1.6 Pengaruh material lamun buatan terhadap keanekaragaman dan kelimpahan crustacea di peraian pulau pari kepulauan seribu
. Indeks Keanekaragaman H’
Untuk pengolahan data keanekaragaman digunakan rumus Shanon– Wiener Krebs 1989, yaitu;
S
H’ = ∑ pi log
2
pi
i=1
dimana : H’
: Nilai Indeks Keanekaragaman. pi
: Proporsi jumlah individu spesies ke –i ni terhadap total individu N : niN.
N : Jumlah total individu semua spesies.
S : Jumlah jenis.
Nilai indeks keanekaragaman Shanon-Wiener mempunyai beberapa kategori menurut Hardjosuwarno 1990 dalam Darojah, 2005, dibagi menjadi
empat kriteria berdasarkan kondisi diversitas fauna bentik dengan kisaran: H’ 3,0
: Keanekaragaman sangat tinggi. H’ 1,6–3,0
: Keanekaragaman tinggi. H’ 1,0–1,5
: Keanekaragaman sedang. H’ 1
: Keanekaragaman rendah.
. Indeks Dominansi D
Metode indeks dominansi ‘Simpson’ digunakan untuk mengetahui adanya spesies jenis tertentu yang mendominansi habitat tertentu Krebs 1989 dalam
Werdiningsih, 2005, dengan rumus:
Keterangan: D
: Indeks dominansi Simpson. Pi
: Proporsi spesies ke-i dalam komunitas ni
: Jumlah individu spesies ke-i. N
: Jumlah total individu. Indeks Dominansi antara 0–1
D = 0, berarti tidak terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.
D = 1, berarti terdapat spesies yang mendominansi spesies lainnya atau struktur komunitas labil, karena terjadi tekanan ekologis.
. Indeks Keseragaman E
Indeks keseragaman dapat diketahui dengan cara membandingkan keanekaragaman dengan nilai maksimum Krebs 1989 dalam Werdiningsih,
2005, yang dinyatakan sebagai berikut:
Keterangan : H’ max : Nilai maksimum H’ = Log
2
S = 3,3219 log S. E
: Indeks keseragaman.
H’ : Indeks keanekaragaman.
S : Jumlah jenis.
Nilai indeks berkisar antara 0–1 E ≈ 0: keseragaman antara spesies rendah, artinya kekayaan individu
yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda. E = 1: keseragaman antarspesies relatif merata atau jumlah individu
masing-masing spesies relatif sama.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
. Deskripsi Habitat . Kondisi Habitat Lamun Alami, Pulau Pari
Berdasarkan hasil pengamatan dalam pengambilan sampel crustacea, didapat bahwa lokasi penelitian berada di Perairan Pulau Pari. Pengambilan
sampel crustacea dilakukan pada tiga titik stasiun antara lain stasiun Barat Daya, Utara dan Selatan. Pada perairan Barat Daya, Pulau Pari memiliki struktur
permukaan dengan rataan terumbu dan terdapat goba serta substrat yang berlumpur pasir. Lokasi stasiun tersebut merupakan titik penelitian yang baik,
karena didukung oleh hamparan padang lamun dan berhubungan langsung dengan laut lepas. Diduga stasiun Barat Daya memiliki beranekaragam jenis bentik
demersal atau pelagis yang hidup pada ekosistem padang lamun. Adapun di stasiun Barat Daya terdapat sebagian kecil mangrove yang
tumbuh disekitar pesisir padang lamun. Tumbuhan mangrove dan padang lamun yang terdapat di stasiun Barat Daya memiliki hubungan yang erat dilihat dari segi
ekologi. Kedua tumbuhan tersebut mampu memberikan habitat yang baik bagi bentik crustacea atau biota lainnya. Padang lamun merupakan salah satu
ekosistem perairan pantai yang menjadi habitat dari berbagai jenis binatang invertebrata termasuk beraneka jenis crustacea Moosa dan Aswandy, 1995.
Lamun yang terdapat di perairan Barat Daya antara lain dari jenis Enhalus acroides, yang memiliki struktur daunnya memanjang lanset lebih dari 30 cm.
Hampir sebagian besar di stasiun Barat Daya didominasi oleh jenis lamun tersebut, walaupun ada sebagian kecil terdapat jenis Thalassia sp. Diduga jenis
Enhalus sp lebih cocok dengan substrat dasar lumpur berpasir, sehingga dapat tumbuh subur dilingkungan tersebut.
Substrat berlumpur juga terdapat di stasiun Utara yang berbatasan langsung dengan pulau kudus. Stasiun tersebut memiliki struktur dasar permukaan
yang curam dan tidak rata, ditambah juga kondisi dataran yang lunak, sehingga cukup sulit apabila melintasinya. Perairan di stasiun Utara kondisinya cukup
tenang dan gelombang arus yang kecil, karena letaknya tidak berhubungan langsung dengan perairan laut lepas. Perairan tersebut cukup ideal untuk dijadikan
tempat budidaya keramba khususnya jenis udang-udangan bagi masyarakat sekitar. Hal ini diduga kondisi lingkungan perairan yang mendukung salah
satunya suhu mencapai 29-34
o
C tabel 8. Padang lamun di stasiun Utara cenderung memiliki tingkat kerapatan yang
lebih rendah 12,1 bila dibandingkan dengan stasiun lainnya Barat Daya dan Selatan lihat lampiran 9. Jenis lamun yang terdapat di stasiun Utara antara lain
Enhalus acroides dan Thalassia sp. Diduga kedua jenis lamun tersebut tidak mendominasi satu sama lain dan kondisi lamunnya yang tidak lebat jarang,
sehingga kemungkinan bentik penghuni lamun khususnya crustacea jarang ditemukan. Tidak hanya ekosistem lamun yang terdapat di stasiun Utara, tetapi
ada juga ekosistem mangrove walaupun hanya sebagian kecil wilayahnya. Selain lokasi di Utara ada juga lokasi Selatan yang memiliki kondisi
padang lamun yang cukup baik, karena stasiun tersebut ditumbuhi oleh lamun jenis Cymodoceae rotundata, Thalassia sp dan Enhalus sp. Jenis Cymodoceae dan
Thalassia mendominasi padang lamun di stasiun tersebut. Substrat dasar lamunnya berpasir kasar dan halus serta permukaan dataran dengan rataan
terumbu. Disamping itu perairan bagian Selatan berdekatan dengan perkampungan nelayan dan dermaga, sehingga bagi masyarakat tersebut dijadikan
tempat mencari ikan dan udang-udangan. Lamun alami yang terdapat di 3 lokasi perairan dapat memberi keuntungan
tersendiri bagi crustacea dan terdapat suatu rantai makanan antar organisme tersebut. Bentik crustacea sebagai konsumen bagi lamun, karena dapat
memanfaatkan daun lamun sebagai pakan nutrisi, sedangkan lamun sebagai produsen dengan memanfaatkan detritus sisa pakan crustacea untuk dijadikan
nutrien bagi lamun.
. Lamun Buatan
Beberapa material lamun buatan yang dijadikan sebagai bahan alternatif lamun alami, antara lain material tali plastik dan sabut kelapa. Kedua material
tersebut tidak memiliki ukuran yang luas dan cukup untuk mewakili dari tiap stasiun, karena hanya untuk mengetahui keberadaan crustacea baik dari segi
diversitas keanekaragaman maupun kelimpahan jenis yang terdapat di area padang lamun. Salah satunya material tali plastik yang memiliki kondisi fisik
yang kuat dan tahan lama walaupun lebih cenderung kurang ramah lingkungan. Di duga material tali plastik mampu memberikan keuntungan bagi crustacea bentik di
lamun. Pada dasarnya material tali plastik memiliki kandungan bahan kimia anorganik. Hal ini disebabkan tali plastik memiliki kandungan polimer protein,
karet alam dan sejenisnya, mengandung zat pewarna yang berfungsi meningkatkan penampilan fisik Mujiarto, 2005.
Selain material tali plastik, sabut kelapa juga merupakan salah satu material yang digunakan untuk pengambilan sampel dan mengetahui keberadaan
crustacea. Bahan tersebut diketahui dapat mempengaruhi keberadaan biota crustacea antara lain dari jenis Amphipoda, Isopoda, Mysidacea dan sebagian dari
Decapoda, sehingga kemungkinan bahan tersebut mampu dijadikan sebagai alternatif dan pengganti lamun alami. Sabut kelapa memiliki tekstur fisik yang
kasar pada tiap untaian helaiannya, karena dengan kondisi tekstur tersebut diduga dapat menangkap zat–zat organik berupa kandungan mineral dan unsur hara lain
fitoplankton di perairan laut. Crustacea yang menempel pada material sabut kelapa memiliki keuntungan antara lain sebagai tempat persembunyian dan
berlindung sementara agar terhindar dari predator di wilayah padang lamun. Selain itu, dapat juga sebagai tempat mencari makan, karena diduga pada setiap
helai sabut kelapa terdapat zat organik pakan yang melekat, sehingga crustacea dapat dengan mudah mencari makan.
Adapun bahan sabut kelapa memiliki daya tahan yang cukup terbatas sebagai material lamun buatan. Diduga karena kondisi fisik yang cukup rentan
terhadap arus perairan laut dan teksturnya renggang, sehingga tiap beberapa waktu perlu penggantian yang baru. Material Sabut kelapa cenderung ramah
terhadap lingkungan ataupun baik untuk dijadikan penunjang habitat sementara bagi bentik crustacea. Hal ini juga karena bahan tersebut merupakan bahan
organik alternatif berasal dari buah kelapa tua yang memiliki serat kuat. Bagian serat sabut yang terkandung oleh tempurung kelapa dapat didayagunakan sebagai
absorben terutama polutan logam berat yang berbahaya dan mempunyai kemampuan untuk menyerap logam berat Pb, Fe dan Cu Putra, 2008.
Pada material tali plastik memiliki kondisi rimbunan lebih lebat bila dibandingkan dengan sabut kelapa yang agak renggang. Material tersebut dapat
dijadikan sebagai habitat alternatif yang bersifat sementara bagi crustacea yang melekat. Diduga dengan kondisi rimbunan yang lebat dapat dijadikan tempat
berkembang biak dan berteduh ataupun asuhan “nursery ground”. Kedua material tersebut memiliki fungsi yang hampir sama dilihat dari
segi fisik bahan kerimbunan, kandungan zat, struktur dan bentuk ataupun perolehan jumlah komposisi bentik crustacea tersebut. Perolehan komposisi jenis
crustacea pada material tali plastik lebih banyak daripada sabut kelapa. Lain halnya dengan material, lamun alami cenderung merupakan habitat yang secara
alami dapat menunjang bentik crustacea tersebut dapat hidup berkembang biak ataupun reproduksi secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama.
. . Kelimpahan jenis Crustacea . . . Lokasi Barat Daya
Pengambilan sampel crustacea di 3 stasiun penelitian yang dilakukan di perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu diperoleh bahwa stasiun Barat Daya
terdapat jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi yaitu Paracerceis sp Ordo Isopoda dan Cymadusa filosa Ordo Amphipoda. Paracerceis sp memiliki
kelimpahan sebesar 115 individum
2
, sedangkan Cymadusa filosa 67 individum
2
model artifisial sabut kelapaM
1
. Pada jenis yang memiliki kelimpahan terendah atau tidak memiliki kelimpahan pada model tersebut adalah Famili Gammaroidea,
Ceradocus Sheardi Ordo Amphipoda, Megaluropus sp Famili Megaluropidae; Liljeborgia brevicornis, Liljeborgia sp Ordo Amphipoda; Famili Liljeborgidae;
Orchestia sp, Podocerus kleidus, Anamixis sp, Chevalia aviculae, Leucothoe sp, Ordo Amphipoda, Dynamenella sp, Cymodoce velutina, Cymodoce sp,
Ianiropsis sp Ordo Isopoda; Cyclaspis sp Ordo Cumacea; Famili Euphausid, Alpheus sp Famili Alpheidae; Palaemonetes sp, Palaemon sp Ordo Decapoda;
Famili Palaemonidae, Spirontocaris sp Caridean. Jenis–jenis tersebut masing – masing memiliki kelimpahan antara 0–2 individum
2
. Model artifisial sabut kelapa M
1
mendukung kehidupan biota crustacea, sehingga tercatat pada jenis Paracerceis sp Ordo Isopoda dan Cymadusa filosa
Ordo Amphipoda memiliki kelimpahan jenis tertinggi. Hal ini diduga bahan sabut kelapa memiliki struktur rimbunan agak renggang, kasar dan didukung oleh
faktor lingkungan nutrien, dimana senyawa organik di perairan Barat Daya menempel pada substrat sabut, sehingga memudahkan jenis–jenis tersebut dapat
mencari makan dengan mudah dan hadir di substrat sabut kelapa. Model tali plastik M
2
memiliki kelimpahan jenis tertinggi adalah Paracerceis sp Ordo Isopoda dan Cymadusa filosa Ordo Amphipoda yang
masing – masing sebesar 126 dan 72 individum
2
.
K
elimpahan jenis terendah pada model tali plastik M
2
adalah Ceradocus sheardi Famili Gammaroidea, Listriella barnardi Famili Liljeborgidea, Eusiroidea sp, Anamixis sp, Chevalia
aviculae, Leucothoe sp, Cymodoce sp Ordo Isopoda, Palaemon sp Macrura; Ordo Decapoda, Spirontocaris sp Caridean dan Lacnopodus subacutus
Brachyura. Jenis–jenis tersebut tidak memiliki jumlah individu yang sama yaitu 0 individum
2
.
Jenis yang memiliki kelimpahan tertinggi pada model tali plastik M
2
hampir sama seperti model sabut kelapa M
1
. Hal ini disebabkan tali plastik memiliki kandungan polimer protein, karet alam dan sejenisnya, mengandung
zat pewarna yang berfungsi meningkatkan penampilan fisik Mujiarto, 2005. Oleh sebab itu, tali plastik dapat memberikan habitat baru sementara untuk
berlindung bagi kehidupan crustacea. Selain itu juga didukung oleh kondisi alaminya, pada jenis Paracerceis sp
yang termasuk Famili Sphaeromatidae isopoda penyebarannya bersifat kosmopolit dan menguasai zona intertidal pesisir. Beberapa spesiesnya terdapat
menempel pada substrat tonggak kayu atau serabut dan sekitar karang Kensley,
1978. Kondisi substrat berupa lumpur pasiran yang didiami oleh kedua jenis ini
mendominasi di stasiun Barat Daya. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro
berukuran 1-10 cm yang mampu menggali liang di dalam pasir dan organisme meiofauna mikro berukuran 0,1–1 mm yang hidup di antara butiran pasir dalam
ruang interaksi Ardi 2002 dalam Schmieg, 2007. Hal lain adanya komponen berupa lamun buatan dan alami pada stasiun Barat Daya yang saling memberi
asupan baik berupa kehidupan hunian maupun bereproduksi bagi Paracerceis sp isopoda dan Cymadusa filosa Amphipoda. Kelimpahan jenis crustacea dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel . Kelimpahan Crustacea individum Pada Stasiun Penelitian Barat Daya.
No Nama Crustacea
Modul Artifisial M
M
1 Famili Gammaroidae 2 Ceradocus sheardi
3 Anamaera hixoni 4 Megaluropus sp
5 Cymadusa filose 6 Orchestia sp
7 Liljeborgia brevicornis 8 Liljeborgia sp
9 Listriella barnardi 10 Podocerus kleidus
11 Famili Colomastigidae 12 Eusiroidea sp
13 Anamixis sp 14 Chevalia aviculae
15 Leucothoe sp 16 Dynamenella sp
17 Cymodoce setulosa 18 Paracerceis sp
19 Cymodoce velutina 20 Cymodoce sp A
21 Cymodoce sp B 22 Cymodoce sp C
23 Cymodoce natalensis 24 Ianiropsis sp
25 Ordo Mysidacea
26 Cyclaspis sp 27 Palaemonetes sp
28 Palaemonella sp 29 Palaemon sp
30 Famili Euphausidae 31 Alpheus sp
32 Spirontocaris sp 33 Lacnopodus subacutus
Keterangan: M
1
= Sabut Kelapa M
2
= Tali Plastik tambang
Sedikit atau tidak adanya kelimpahan jenis di stasiun Barat Daya bisa disebabkan karena kurang cocoknya lamun buatan dalam memerankan fungsi
ekologinya bila dibanding dengan yang alami dan kondisi rimbunan lamun buatan khususnya sabut kelapa yang kurang lebat, sedangkan pada lamun alaminya dapat
memproduksi detritus daun lamun untuk keperluan pakan crustacea. Kekurangan lainnya bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu parameter kecerahan.
Diduga apabila kecerahan yang cukup rendah kehadiran dari biota khususnya crustacea akan relatif banyak dan begitu juga sebaliknya.
. . . Lokasi Utara
Pantauan dari hasil pengamatan yang didapat bahwa terdapat kelimpahan jenis tertinggi yang berada di lokasi Utara antara lain pada Ordo Mysidacea dan
Paracerceis sp Ordo Isopoda yang masing–masing sebesar 24 dan 17 individum
2
. Jenis yang memiliki kelimpahan terendah antara lain Anamaera hixoni Ordo Amphipoda, Cymadusa filosa, Dynamenella sp Ordo Isopoda,
Cymodoce setulosa, Cymodoce velutina, Famili Euphausidea, Alpheus sp Ordo Decapoda, Thalamita prymna Brachyura, Thalamita sp dan Thalamita crenata.
Masing – masing jenis tersebut memiliki kelimpahan yang hampir sama dengan rata – rata antara 0-3 individum
2
. Jenis–jenis tersebut berlaku pada kedua model artifisial yaitu sabut kelapa M
1
dan tali plastik tambang M
2
. Jenis Paracerceis sp Ordo Isopoda merupakan paling dominan
menempati posisinya pada lokasi penelitian Utara dengan jumlah yang signifikan yaitu 17 individum
2
. Hampir seluruh koloni crustacea yang didapat merupakan salah satu jenis dari Ordo Isopoda. Umumnya kepadatan density dan diversitas
pada Ordo Isopoda diperoleh dari koleksi yang berada di sepanjang pantai pesisir dan zona karang yang dangkal Glynn, 1971.
Kelimpahan jenis crustacea pada lokasi Utara dapat dilihat di tabel 3.
Tabel . Kelimpahan Crustacea individum Yang Terdapat Pada Stasiun Utara.
Keterangan: M
1
= sabut kelapa M
2
= tali plastik tambang
Walaupun demikian jenis tersebut mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar baik yang berada di substrat alami maupun buatan dengan serabut atau
tonggak kayu untuk dijadikan habitat. Ordo Mysidacea memiliki kelimpahan lebih tinggi daripada Ordo Isopoda yang berada di lokasi Utara yaitu dengan
kelimpahan 24 individum
2
. Hal ini dikarenakan Ordo Mysidacea memiliki sifatnya yang hidup bebas epibentik di perairan dan hidup berkoloni serta
sifatnya yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat.
No Nama Crustacea
Model Artifisial M
M
1 Anamaera hixoni
2 2
Cymadusa filose 2
3 Dynamenella sp
1 4
Cymodoce setulosa 3
5 Paracerceis sp
1 6
Cymodoce velutina 3
7 Ordo Mysidacea
5 8
Famili Euphausidae 2
9 Alpheus sp
1 10
Thalamita prymna 1
11 Thalamita sp
1 12
Thalamita crenata 1
Kelompok Mysidacea pada tingkatan taksa genusnya secara spesifik tidak diketahui, karena keterbatasan data literatur yang diperoleh tentang kelompok
tersebut. Diketahui bahwa morfologi dan adaptasi dari Ordo Mysidacea sebagian besar menyerupai kelompok larva udang Macrura. Mysidacea memiliki karapas
yang hampir menutup seluruh dadanya, mata bertangkai dan embelan dada semua bercabang dua Romimohtarto dan Juwana, 2007. Adapun ciri khas yang
diperoleh dari kelompok Mysidacea salah satunya terdapat sepasang bulatan statocyst proximal pada bagian endopod uropods Meland Willassen, 2007.
Jenis tersebut merupakan spesies laut yang beradaptasi dan hidup sebagai hewan bentik dan pelagis, terdistribusi dari zona litoral pantai sampai laut terbuka hingga
kedalaman tinggi dan tersebar diseluruh lautan benua. Sebagian dari kelompok tersebut terdapat pada habitat laut dalam dan di tubir gua Meland Willassen,
2007
.
Ordo Mysidacea merupakan kelompok crustacea tingkat rendah, diduga dalam melakukan interaksi dengan lingkungannya saling memiliki sifat
ketergantungan dengan organisme lain atau sifat parasit. Substrat lamun buatan yang dipakai dalam penggunaannya berpengaruh terhadap keberadaan Mysidacea,
karena terlihat dari data yang ada pada lokasi penelitian ini memiliki jumlah individu lebih besar dari jenis yang lain. Hal ini disebabkan pengaruh dari lamun
buatan substrat sabut kelapa cukup terpenuhi sebagai tempat berkembang biak atau aktivitas lainnya dan dapat dijadikan perantara sumber zat organik esensial
bagi kelompok tersebut. Pengaruh lain karena lokasi Utara berdekatan langsung dengan ekosistem mangrove, sehingga nutrisi atau zat organik dari detritus daun
mangrove juga berperan dalam proses penyuplai energi yang dibutuhkan oleh kelompok Mysidacea.
Tingginya kelimpahan jenis dari kedua jenis tersebut di stasiun penelitian Utara disebabkan oleh sifatnya yang hidup bebas di perairan dan kondisi
lingkungan yang terpenuhi dalam mencari makan, karena terdapat zat organik berupa lamun alami yang merupakan habitat asli dalam memenuhi kebutuhannya
atau mikroalga serta substrat berlumpur. Adapun pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang
potensial bagi bentos pantai tersebut Ardi 2002 dalam Schmieg, 2007. Kondisi lamun buatan dari kedua model dengan bahan sabut kelapa M
1
dan tali plastik M
2
menentukan keberadaan dari kedua jenis tersebut, sehingga diduga stasiun ini merupakan habitat yang cukup cocok. Sumber makanan zat
organik yang menempel di lamun buatan khususnya pada bahan sabut kelapa akan dikonsumsi oleh crustacea, sehingga dapat dijadikan tempat mencari makan
sementara dengan kondisi lingkungan parameter yang sesuai. Lokasi tersebut juga berdekatan dengan ekosistem mangrove, sehingga dapat berinteraksi dengan baik.
Jenis yang memiliki kelimpahan sedikit bisa disebabkan karena kurang cocoknya lamun buatan dalam memerankan fungsi ekologinya bila dibanding
dengan yang alami. Aktivitas masyarakat nelayan di perairan dan kondisi parameter suhu yang mengalami perubahan signifikan dari minggu 3 ke 4 Tabel
6. Oleh sebab itu, hasil yang didapat dari rimbunan kedua artifisial sabut kelapa M
1
dan tali plastik M
2
relatif sedikit dengan jumlah kelimpahan antara 0–3 individum
2
dari Ordo Decapoda dan Amphipoda. Dampak tersebut dapat juga disebabkan oleh pengaruh kondisi lingkungan dimusim kemarau yang suhunya
mencapai 30-33
o
C dan salinitas 30-33
o
oo tinggi, sehingga memungkinkan perkembangan bakteri patogen Aeromonas Juwana, 2001.
. . . Lokasi Selatan
Pada stasiun Selatan terdapat kelimpahan jenis tertinggi yaitu jenis Cymadusa filosa Ordo Amphipoda dan Paracerceis sp Ordo Isopoda yang
masing – masing berjumlah 51 dan 17 individum
2
, sedangkan jenis yang memiliki kelimpahan terendah yaitu Gammaropsis sp Ordo Amphipoda,
Dynamenella sp Ordo Isopoda, Cymodoce velutina, Thalamita sp Brachyura, Ordo Mysidacea yang masing–masing kelimpahannya antara 0–1 individum
2
. Kelimpahan tertinggi dan terendah tersebut berlaku pada kedua model sabut
kelapa M
1
dan tali plastik M
2
. Ordo Mysidacea memiliki kelimpahan terendah pada model tali plastik M
2
. Jenis Cymadusa filosa Ordo Amphipoda dan Paracerceis sp Ordo
Isopoda, seperti halnya sama dengan lokasi sebelah Barat Daya yang mendominasi sebagian dari seluruh crustacea yang didapat dari lamun buatan
tersebut. Jenis Paracerceis sp Ordo Isopoda yang mendominasi seluruh stasiun dan berperan penting sebagai rantai makanan bagi organisme lain. Kedua jenis
tersebut yang memiliki kelimpahan tertinggi merupakan predator bagi organisme lain, salah satunya ikan dan juga crustacea lain seperti kepiting dan udang. Hal ini
karena hidupnya yang bebas dan menguasai daerah territorial serta tidak memiliki nilai ekonomis penting bagi masyarakat sekitar. Secara ekologi, jenis dari
Amphipoda berperan sebagai kutu dan hidupnya parasit pada organisme lain. Jenis Isopoda juga berperan sebagai parasit yang terbagi atas 2 kelompok
didasarkan pada hospesnya, yaitu Isopoda pada ikan dan crustacea lain Widyastuti, 2002. Pengaruh dari lamun buatan terhadap kedua jenis antara lain
Amphipoda dan Isopoda cukup ideal, karena materialnya berperan sebagai untuk dijadikan tempat perlindungan, asuhan dan bahkan untuk mencari makan.
Kelimpahan jenis crustacea pada stasiun selatan dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel . Kelimpahan Jenis Crustacea individum Pada Stasiun Selatan.
Keterangan: M
1
= sabut kelapa M
2
= tali plastik tambang
Jenis dari Decapoda yang diperoleh dari stasiun Selatan jumlah kelimpahannya antara 0–2 individum
2
. Sementara itu, jumlah yang dominannya berasal dari jenis Ordo Isopoda dan Ordo Amphipoda bila dibandingkan
kelompok Decapoda yang lebih sedikit. Hal ini diduga posisi peletakkan habitat
No Nama
Crustacea Model Artifisial
M M
1 Famili
Gammaroidae 2
2 2 Gammaropsis sp
1 3 Cymadusa filose
6 4 Cymadusa sp
2 3
5 Cymadusa
compta 2
1 6
Podocerus kleidus
3 1
7 Dynamenella sp 1
8 Paracerceis sp 10
9 Cymodoce
velutina 1
10 ordo Mysidacea 4
11 Thalamita sp 1
lamun buatan yang kurang efektif dan pada saat peletakkannya tidak diperoleh larva crustacea dari jenis ekonomis, seperti suku Portunidae dan Penaeidae. Hanya
sebagian kecil crustacea ekonomis yang didapat dari lamun buatan, salah satunya dari Ordo Brachyura Thalamita sp dan sebagian Ordo Mysidacea, walaupun
kedua jenis yaitu Ordo Mysidacea dan Brachyura menghuni ketiga lokasi stasiun. Jenis– jenis crustacea yang ekonomis maupun non ekonomis dapat dilihat pada
tabel 5.
Tabel . Data tabel Crustacea yang bernilai ekonomis dan non ekonomis.
Ordo Brachyura Thalamita sp memiliki tingkat kelimpahan yang sedikit dari lamun buatan yaitu 4,68 lokasi Utara dan 0,9 lokasi Selatan. Jenis
crustacea ini memiliki ukuran yang relatif kecil atau juvenil yang didapat dari lamun buatan dan bukan indukan. Hal ini diduga ada pengaruh dari faktor
lingkungan yaitu temperatur suhu yang rendah stasiun Selatan, karena sebagian jenis crustacea Brachyura memiliki sifat yang sensitif terhadap perubahan
lingkungan tersebut, sehingga hasil yang didapat lamun buatan relatif sedikit. Adapun pengaruhnya dari kelompok crustacea sendiri baik dari jenis Amphipoda
No
Crustacea
Ekonomis Non ekonomis
1 Thalamita sp Portunidae
Amphipoda 2
Thalamita prymna Isopoda
3 Thalamita crenata
Cumacea 4
Mysidacea Palaemonidae
5 -
Alpheidae 6
- Hyppolytidae
7 -
Xanthidae
ataupun Isopoda sebagai rantai makanan saling makan memakan. Jenis Isopoda berperan sebagai parasit yang terbagi atas 2 kelompok didasarkan pada
hospesnya, yaitu Isopoda pada ikan dan crustacea lain. Kondisi peranan dari lamun buatan tersebut cukup baik, dilihat dari segi
ekologi walaupun jumlah seluruh individu crustacea yang diperoleh lamun buatan relatif sedikit khususnya jenis crustacea ekonomis. Adapun lamun buatan yang
dihuni crustacea dipengaruhi oleh kondisi substrat dasar. Pada stasiun Selatan memiliki kandungan substrat dasar berpasir. Substrat berpasir umumnya miskin
akan organisme, kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat dan pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat
bagi organisme, karena aksi gelombang laut secara terus menerus menggerakkan partikel substrat Ardi 2002 dalam Schmieg, 2007
Dilihat dari tiap stasiun, ternyata stasiun Barat Daya memiliki kelimpahan individu tertinggi yang masing–masing berkisar antara 41 sampai 241 individum
2
berlaku pada kedua model lamun buatan. Kelimpahan individu di setiap stasiun berbeda. Tetapi dilihat dari rata–rata perolehan individu yang didapat dari tiap
stasiun, bahwasanya yang lebih dominan berada di stasiun Barat Daya, yang seluruh individu berjumlah 518 individum
2
Lampiran 5. Bila dibandingkan dengan stasiun lainnya baik Utara maupun Selatan
yang hanya berjumlah seluruh individu 64 dan 108 individum
2
Lampiran 6 dan 7. Jenis yang paling dominan menguasai ketiga stasiun tersebut antara lain dari
Ordo Amphipoda, Isopoda dan Mysidacea. Melimpahnya dari ketiga ordo tersebut disebabkan karena sifatnya yang kosmpolit dan adanya interaksi dari lamun
buatan maupun alami walaupun secara ekologis fungsinya tidak hampir sama.
Jenis dari Ordo Isopoda, Paracerceis sp merupakan jenis yang paling dominan menguasai ketiga stasiun penelitian yaitu berkisar antara 18 sampai 241
individum
2
berlaku pada kedua model lamun buatan. Kondisi dari kedua lamun buatan yang berada ditiap stasiun dapat
dijadikan tempat untuk perlindungan dan asuhan. Pada model sabut kelapa M
1
secara ekologi berpengaruh kuat pada crustacea salah satunya dari Ordo Isopoda sebagai tempat asuhan hidup nursery ground dan berkembang biak untuk
memenuhi kebutuhan siklus hidupnya. Hal ini juga karena bahan tersebut merupakan bahan organik alternatif berasal dari buah kelapa tua yang memiliki
serat kuat dan mampu menyerap polutan logam berat yang mencemari lingkungan.
Model tali plastik M
2
fungsinya hampir sama dengan model sabut kelapa dilihat dari segi ekologi dan manfaat bagi crustacea. Material tali plastik
memiliki kandungan polimer dan tidak dapat terurai oleh organisme laut khususnya fauna bentik, sehingga kurang ramah terhadap lingkungan. Perbedaan
jumlah kelimpahan individu crustacea yang terdapat dari kedua model M
1
dan M
2
di seluruh stasiun tidak terlampau jauh yaitu sebesar 393 dan 378 individum
2
, karena masing – masing model memiliki sifat yang menonjol dalam interaksi dengan biota crustacea.
Sabut kelapa M
1
merupakan bahan artifisial yang paling baik daripada bahan tali plastik M
2
, karena cenderung ramah lingkungan dan kisaran perbandingan jumlah kelimpahan individu yang diperoleh tidak terpaut jauh dan .
Hal ini diduga pada bahan sabut kelapa memiliki karakter yang cukup baik sebagai habitat baru sementara bagi pengunjung biota crustacea, karena struktur
sabut kelapa yang susunannya renggang, merupakan bahan organik dan permukaannya agak kasar. Senyawa organik atau nutrien yang berada di perairan
menempel pada lamun buatan tersebut dan memungkinkan bentik tersebut dapat hadir untuk mencari makan atau berteduh. Pada bahan tali plastik juga hampir
sama peranannya dengan sabut kelapa, tapi susunan dan strukturnya halus, berbau kimia, sehingga memungkinkan crustacea yang hadir lebih sedikit.
. . Indeks Keanekaragaman H’, Keseragaman E dan Dominansi D Jenis Crustacea.
. . Keanekaragaman Jenis.
Indeks keanekaragaman H’ umumnya tergolong sedang. Indeks keanekaragaman H’ tertinggi terdapat pada stasiun Utara sebesar 1,63. Hal ini
dapat dilihat pada Tabel 6, dimana pada stasiun Utara jumlah jenis tertinggi dan jumlah individu yang besar dimiliki oleh beberapa jenis berlaku pada kedua
model artifisial. Pada stasiun Utara dan Selatan memiliki jumlah jenis yang hampir sama, namun pada stasiun Selatan memiliki H’ yang lebih kecil 1,45 dari
stasiun Utara yaitu sebesar 1,63. Hal ini dikarenakan pada stasiun Utara ada dua jenis yaitu dari Ordo Mysidacea dan Paracerceis sp Ordo Isopoda yang jumlah
individunya lebih besar dibandingkan dengan jenis lainnya pada stasiun tersebut. Banyaknya jumlah dari kedua jenis tersebut, salah satunya jenis Isopoda
disebabkan karena sebagian besar jenis tersebut penyebarannya luas kosmopolit Aswandy, 1985. Adapun jenis Mysidacea berada di perairan pelagis, kadang –
kadang sebagai epibentik atau bentik dan hidupnya bebas serta terdistribusi diseluruh dunia Wikispesies, 2009. Data grafik keanekaragaman jenis crustacea
tiap minggu pada ketiga lokasi penelitian dapat dilihat pada lampiran 4.
Indeks keanekaragaman H’ terendah terdapat pada stasiun Selatan sebesar 1,45. Dengan tingkat keanekaragaman jenis terendah pada Stasiun
tersebut, maka menunjukan bahwa keanekaragaman populasi pada stasiun ini rendah dan stasiun tersebut memiliki jumlah jenis terendah yaitu 11 jenis, bila
dibandingkan dengan stasiun lain. Model artifisial berupa sabut kelapa M
1
dan tali plastik M
2
merupakan indikator yang baik di setiap stasiun dalam mengetahui keberadaan Ordo
Mysidacea. Dilihat dari rata–rata jumlah individu yang didapat hampir seluruh stasiun memilikinya, walaupun bukan yang termasuk dominan. Substrat pasir
lumpuran dan lumpur pasiran mendominasi hampir disemua stasiun pada perairan ini sehingga mendukung kehidupan Paracerceis sp Ordo Isopoda dan Ordo
Mysidacea. Indeks keanekaragaman jenis H’ tersebut umumnya tergolong sedang
dan tinggi. Tingkat keanekaragaman jenis H’ pada setiap stasiun tidak terpaut jauh dengan tingkat keanekaragaman jenis H’ rata–rata dari tiap stasiun adalah
1,55 yang tergolong sedang. Data hasil analisis indeks keanekaragaman H’, keseragaman E dan dominansi D jenis crustacea di Perairan Padang Lamun,
Pulau Pari, Kepulauan Seribu dapat dilihat seperti pada Tabel 6.